Вы находитесь на странице: 1из 26

Nama/ NIM : Muh. Faishal Nur Kamal/ 13.

7740

Jurusan/ Peminatan : Statistika / Sosial dan Kependudukan

Judul : Variabel-variabel yang Memengaruhi Knowledge-Action

Gap antara Pengetahuan dan Perilaku Peduli Lingkungan Hidup Rumah Tangga di

Indonesia pada Tahun 2013 (Analisis Data SPPLH 2013)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Lingkungan Hidup

Menurut UU No. 32 Tahun 2009, lingkungan hidup merupakan kesatuan

ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia

dan perilakunya, yang memengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia

serta makhluk hidup lain. Sementara itu menurut Soemarwoto (1977) dalam

Siahaan (2004), “lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi yang ada

dalam ruang yang ditempati manusia serta dapat mempengaruhi kehidupan

manusia” (hal. 4). Danusaputro (1980) dalam Siahaan (2004) menambahkan,

“lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia

dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan

memengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dalam jasad hidup lainnya” (hal.

4). Selanjutnya, menurut Siahaan (2004) dapat diketahui bahwa lingkungan hidup

terdiri dari beberapa unsur yaitu :

1
1. Semua benda, berupa manusia, hewan, tumbuhan, organisme, tanah, air, udara,

rumah, sampah, mobil, angin, dan lain-lain. Keseluruhan yang disebutkan ini

digolongkan sebagai materi. Sedangkan satuan-satuannya disebutkan sebagai

komponen;

2. Daya, disebut juga dengan energi;

3. Keadaan, disebut juga dengan kondisi atau situasi;

4. Perilaku atau tabiat;

5. Ruang, yaitu wadah berbagai komponen berada;

6. Proses inteaksi, disebut juga saling mempengaruhi, atau biasa pula disebut

dengan jaringan kehidupan.

Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup

Manusia dan lingkungan hidup tidak bisa terpisahkan satu sama lain.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2013), terdapat tiga

bentuk hubungan antara manusia dan lingkungan, yaitu manusia menguasai

lingkungan, lingkungan memengaruhi manusia, serta manusia dan lingkungan

saling memengaruhi dengan seimbang. Seiring bertambahnya populasi manusia

dan berbagai macam kebutuhannya, menjadikan manusia menjadi pihak yang lebih

dominan. Salah satu konsekuensi yang ditimbulkan adalah munculnya berbagai

permasalahan lingkungan hidup yang disebabkan oleh berbagai macam aktivitas

manusia. Hal tersebut menjadikan manusia memiliki tanggung jawab terhadap

lingkungan hidup di sekitarnya dan menjadi faktor yang berperan penting terhadap

persoalan yang berakibat pada terganggunya hubungan antara manusia dengan

2
lingkungan hidup di sekitarnya (Utina, 2012). Beberapa bentuk aktivitas manusia

yang berhubungan langsung dan dapat memengaruhi lingkungan hidup disekitarnya

antara lain :

1. Pengelolaan Sampah

Menurut UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sampah

adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk

padat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau

akibat proses alam yang menghasilkan timbulan sampah. Salah satu jenis sampah

yang sering dihasilkan adalah sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga adalah

sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk

tinja dan sampah spesifik. Menurut Kurnianti (2013) dalam Silvia et al. (2016),

sampah yang dihasilkan rumah tangga dapat berupa “plastik, kaca, sisa sayuran,

sisa buah-buahan, dan bagian organ hewan seperti ayam, ikan, dan sebagainya yang

tidak diperlukan” (hal. 23). Pemilahan terhadap sampah yang tergolong organik dan

anorganik merupakan langkah pertama dalam mengelola sampah (Suryati, 2009).

Setelah dilakukan pemilahan, sampah kemudian dapat dibuang ke tempat

pembuangan sementara (TPS) atau tempat pembuangan akhir (TPA), dibakar,

ditimbun, didaur ulang, dsb. Namun, membakar sampah seringkali dianggap

sebagai cara yang paling praktis untuk menghilangkan sampah yang menumpuk

(Suryati, 2014). Data BPS (2013) juga menunjukan bahwa perlakuan terhadap

sampah yang paling banyak dilakukan rumah tangga adalah dengan cara dibakar,

padahal pembakaran sampah menimbulkan pencemaran atau polusi udara yang

tidak hanya buruk bagi kesehatan, tetapi juga menghasilkan emisi gas rumah kaca

berupa CO2 yang berdampak buruk pada lingkungan.

3
2. Pemanfaatan Air

Menurut UU No. 7 Tahun 2004, air adalah semua air yang terdapat pada, di

atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air

permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Populasi manusia

yang semakin bertambah menyebabkan kebutuhan terhadap air semakin meningkat.

Di sisi lain, diketahui hanya kurang dari 1% air di bumi yang tersedia untuk

dikonsumsi (National Geographic Indonesia, 2016). Terlebih lagi, terbatasnya

sumber air juga menyebabkan akses terhadap air bersih menjadi sulit. Hal tersebut

dapat memicu terjadinya kelangkaan air. Selain hal-hal di atas, kelangkaan air juga

dapat disebabkan oleh area/kawasan resapan air yang semakin berkurang. Menurut

Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan

resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan

air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang berguna sebagai

sumber air. Adanya kawasan resapan air tersebut membuat air hujan dapat terserap

dengan baik untuk kemudian dimanfaatkan kembali melalui sumber air. Di samping

itu, penghematan air juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kelangkaan

air. Setitik air yang terbuang tiap detiknya menyebabkan berkurangnya air sebanyak

2400 galon (9000 liter) per tahunnya (Kunu, 2013). Maka dari itu, mencegah air

mengalir tanpa digunakan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.

3. Pemanfaatan Energi

Menurut Perpres No. 5 Tahun 2006, energi adalah daya yang dapat

digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan meliputi listrik, energi

mekanik, dan panas. Pemanfaatan energi adalah kegiatan yang menggunakan

energi, baik langsung maupun tidak langsung yang diambil dari sumber energi

4
(Samuel & Rohi, 2012). Di dalam Perpres No. 5 Tahun 2006 disebutkan bahwa

sumber energi adalah sebagian sumber daya alam (SDA) antara lain berupa minyak

dan gas bumi, batubara, air, panas bumi, gambut, biomasa dan sebagainya, baik

secara langsung maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan sebagai energi.

Sebagian dari sumber energi tersebut berasal dari sumber daya alam (SDA) yang

tidak dapat diperbarui. SDA yang tidak dapat diperbarui adalah SDA yan

jumlahnya terbatas karena penggunaannya lebih cepat daripada proses

pembentukannya dan apabila digunakan secara terus-menerus akan habis

(Wikipedia, 2017). Dikarenakan jumlahnya yang terbatas tersebut, pemanfaatan

energi secara berlebihan dapat berakibat pada kelangkaan energi. Penghematan

energi merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Menurut

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 31 Tahun 2005, diketahui

terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghemat energi, di antaranya

adalah menggunakan lampu hemat energi. Penggunaan lampu hemat energi dapat

menghemat listrik hingga 80% (National Geographic Indonesia, 2014). Selain itu,

efisiensi dalam menggunakan bahan bakar merupakan salah satu cara lain dalam

menghemat energi. Gouri Mirpuri (2011) mengungkapkan bahwa kebiasaan

menutup panci ketika memasak dapat menghemat energi hingga 70% (BPS, 2013).

Hal tersebut membuat masakan lebih cepat matang dan energi yang digunakan

menjadi lebih sedikit.

4. Pembuangan Emisi Karbon

Emisi karbon adalah buangan gas dari hasil pembakaran senyawa yang

mengandung karbon (Kidnesia, 2017). Emisi karbon merupakan salah satu

komponen gas rumah kaca (Ruslandi, 2013). Menurut situs Hijauku (2013), sektor

5
energi dan transportasi masih menjadi sumber utama dari emisi gas rumah kaca.

Seiring berjalannya waktu, penggunaan alat transportasi untuk menunjang aktivtas

sehari-hari semakin meningkat. Menurut data BPS, diketahui bahwa jumlah

kendaraan bermotor terus meningkat setiap tahunnya hingga menyentuh lebih dari

121 juta kendaraan bermotor pada tahun 2015. Tanpa adanya usaha untuk

mengurangi kendaraan bermotor, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan akan

semakin menumpuk di atmosfer dan memicu terjadinya pemanasan global yang

dapat berdampak buruk bagi lingkungan.

Perilaku Peduli Lingkungan Hidup

Menurut Sunaryo (2002), “dari sudut pandang biologis, perilaku adalah

suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan, yang dapat diamati

secara langsung maupun tidak langsung” (hal. 3). Sementara itu, menurut Kwick

(1974) dalam Notoatmodjo (1997) yang dikutip oleh Sunaryo (2002), “perilaku

adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan

dapat dipelajari” (hal. 3). Menurut Ensiklopedi Amerika, perilaku adalah suatu aksi

reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hawley dalam Himmam dan

Faturochman (1994) yang dikutip oleh Helmi (1999) mengungkapkan bahwa

perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem yang terdiri atas

beberapa asumsi dasar sebagai berikut :

1. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan;

2. Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia dan lingkungan;

3. Interaksi manusia-lingkungan bersifat dinamis;

6
4. Interaksi manusia-lingkungan terjadi dalam berbagai level dan tergantung pada

fungsi.

Salah satu asumsi dasar dari perilaku manusia adalah adanya interaksi

timbal balik yang menguntungkan antara manusia dan lingkungan. Hal tersebut

dapat tercapai apabila manusia peduli terhadap lingkungan hidup disekitarnya.

Menurut Dunlap & Jones (2002), kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah

tingkat kesadaran seorang individu akan permasalahan lingkungan hidup dan

kepedulian serta dukungan individu tersebut dalam memberikan solusi atas

permasalahan lingkungan hidup tersebut (Martinez, 2013, hal. 3). Ester (1981)

menambahkan, kepedulian lingkungan hidup mempunyai arti yang hampir sama

dengan sikap terhadap lingkungan hidup dan di dalamnya terdiri dari aspek kognitif

(kesadaran), afektif (kepedulian) dan psikomotorik (perilaku) terhadap lingkungan

hidup (Martinez, 2013, hal. 5).

Pengetahuan Perilaku Peduli Lingkungan Hidup

Menurut Suriasumantri (2003) dalam Sakti (2011), “pengetahuan adalah

segenap apa yang diketahui manusia tentang suatu objek tertentu termasuk

didalamnya ilmu yang akan memperkaya khasanah mentalnya baik secara langsung

ataupun tidak langsung” (hal. 68). Sementara itu menurut Notoatmodjo (2003)

dalam Sutarno & Utama (2012), pengetahuan adalah “hasil tahu yang terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, sehingga individu

tahu apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya” (hal. 137). Menurut

Notoadmodjo (2003) dalam Udiutomo (2011), unsur-unsur pengetahuan terdiri dari

7
1. Pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukannya;

2. Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat kebenaran dari apa yang

dilakukannya;

3. Sarana yang diperlukan untuk melakukannya;

4. Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang

dirasakannya.

Menurut BPS (2013), pengetahuan merupakan dasar dalam berperilaku.

Begitu juga untuk berperilaku peduli lingkungan hidup, perlu didasari oleh

pengetahuan mengenai hal tersebut. Pengetahuan perilaku peduli lingkungan hidup

dapat diartikan sebagai segenap apa yang diketahui manusia atas suatu kegiatan,

aktivitas, atau tindakan yang menunjukan kesadaran dan kepedulian terhadap

permasalahan lingkungan hidup (Danusaputro, 1980; Kwick, 1974; Dunlap &

Jones, 2002; Suriasumantri, 2003). Peningkatan terhadap pengetahuan perilaku

peduli lingkungan hidup menjadi penting untuk dilakukan dan salah satunya dapat

diupayakan melalui penyuluhan terkait lingkungan hidup dan/atau pendidikan

mengenai lingkungan hidup terhadap masyarakat.

Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Peduli Lingkungan Hidup

Hubungan antara pengetahuan dan perilaku peduli lingkungan hidup telah

digambarkan sejak awal 1970-an melalui US Linear Model sebagai model paling

tua dan paling sederhana dari perilaku ramah lingkungan (pro-environmental

behavior) (gambar 1). US Linear Model menunjukkan hubungan linear bahwa

pengetahuan lingkungan hidup yang dimiliki seorang individu akan mengarahkan

8
individu tersebut untuk memiliki kesadaran dan sikap peduli terhadap lingkungan

hidup yang kemudian pada akhirnya dianggap sebagai penyebab dari individu

tersebut untuk berperilaku ramah lingkungan atau peduli lingkungan hidup

(Kollmuss and Agyeman, 2002).

Environmental Environmental Pro-Environmental


Knowledge Attitude Behavior

Gambar 1. US Linear Model. (Sumber : Kollmuss and Agyeman, 2002, hal. 241).

Konsep diatas sesuai dengan penelitian Bradley et al. (1999) yang

mengungkapkan bahwa terdapat korelasi antara pengetahuan lingkungan hidup

dengan sikap peduli lingkungan hidup. Hines et al. (1987) juga menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara pengetahuan dan perilaku

terkait lingkungan hidup. Selain itu, menurut Kollmus & Agyeman (2002),

pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap terhadap lingkungan hidup bersama-sama

dengan keterlibatan emosional membentuk suatu hal yang kompleks yang

dinamakan kesadaran lingkungan hidup. Kesadaran lingkungan hidup tersebut yang

kemudian dapat menjadi pendorong bagi seorang individu untuk berperilaku peduli

lingkungan hidup.

Adapun pada kenyataannya, seiring berjalannya waktu terbukti bahwa

hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku peduli lingkungan hidup tidak

se-linear yang ditunjukkan oleh US Linear Model. Dalam kebanyakan kasus,

peningkatan pengetahuan dan kesadaran lingkungan hidup tidak selalu mengarah

pada perilaku peduli lingkungan hidup (Kollmuss & Agyeman, 2002). Di balik itu,

seringkali terjadi suatu kesenjangan (gap) yang menyebabkan perilaku peduli

9
lingkungan hidup yang dilakukan jauh dari keadaan yang diharapkan. Menurut

Frederiks et al. (2015a), hal tersebut dapat terjadi lantaran perkataan dan perbuatan

dari seorang individu terkadang merupakan hal yang sangat berbeda. Selain itu,

BPS (2013) menambahkan bahwa tingkat pengetahuan yang dimiliki seorang

individu terkait perilaku peduli lingkungan hidup belum tentu mendorong individu

tersebut untuk berperilaku peduli lingkungan hidup atau dengan kata lain terdapat

kemungkinan untuk terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku peduli

lingkungan hidup. Menurut Sligo & Jameson (2000), Kennedy et al. (2004), dan

Hall & Rogers (2002), dalam banyak ranah perilaku manusia (domains of human

behaviour), kesenjangan yang dimaksud dikenal dengan istilah knowledge-action

gap.

Knowledge-Action Gap

Knowledge-action gap merupakan fenomena yang dapat terjadi dalam

berbagai bidang keilmuan khususnya yang berhubungan dengan perilaku manusia.

Dalam bidang kesehatan, Sligo & Jameson (2000) menjelaskan bahwa knowledge-

action gap adalah suatu keadaan yang terjadi ketika seorang individu mungkin

mengetahui cara-cara atau pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

kesehatan dirinya, tetapi dengan berbagai alasan, individu tersebut tidak

melakukannya. Kennedy et al. (2004) menambahkan bahwa dalam kasus di bidang

kedokteran, knowledge-action gap dapat terjadi ketika banyak intervensi

pendidikan kedokteran berusaha memperbaiki pengetahuan dokter namun gagal

mengubah perilaku dari dokter tersebut. Sementara itu, dalam bidang sosial dan

10
pendidikan, Hall & Rogers (2002) mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade

terakhir, para peneliti di bidang ilmu sosial dan pendidikan berusaha memahami

dan memetakan faktor-faktor yang dapat mendorong atau menghambat seorang

individu untuk menerapkan pengetahuan lingkungan hidup ke dalam perilaku

peduli lingkungan hidup. Dengan mengesampingkan bidang-bidang tersebut,

beberapa peneliti lain mengungkapkan bahwa secara umum knowledge-action gap

adalah ketidaksesuaian atau kesenjangan antara pemahaman atas suatu masalah dan

tindakan nyata yang diambil terkait masalah tersebut (Lebel, 2011). Selain itu,

menurut Perkins (2003) dan Pfeffer & Sutton (2000) dalam Dede et al. (2005),

knowledge-action gap adalah kesenjangan antara pemahaman saat praktik terbaik

dan praktik yang sebenarnya. Urban Sustainability Directors Network (USDN)

menambahkan bahwa knowledge-action gap secara luas dapat diamati dalam

masyarakat yang mayoritasnya sadar akan konsekuensi dari keputusan yang mereka

ambil, tetapi masih bertindak sebaliknya dari yang seharusnya dilakukan.

Adapun knowledge-action gap juga berkaitan dengan suatu konsep

berkelanjutan (sustainability). Menurut Sadusky (2014), keberlanjutan dari suatu

lingkungan hidup bergantung pada perubahan perilaku. Perubahan perilaku di

antaranya dapat dilakukan dengan mendorong tindakan-tindakan sadar lingkungan

yang dapat mengurangi dampak buruk pada lingkungan hidup. Namun, menurut

Barr (2006) dalam Sadusky (2014), memiliki pengetahuan tentang perilaku-

perilaku yang mendukung keberlanjutan lingkungan hidup tidaklah cukup, sebab

pada kenyataannya pengetahuan tersebut belum tentu secara otomatis mengarahkan

pada perilaku-perilaku yang mendukung keberlanjutan lingkungan hidup. Hal

tersebut senada dengan pernyataan Hall & Rogers (2002) dalam Frederiks et al.

11
(2015b), bahwa pengetahuan, kesadaran, dan pemahaman tentang isu-isu

lingkungan hidup, tidak selalu mengarahkan seorang individu untuk konsisten

berperilaku peduli lingkungan hidup, tetapi sebaliknya seringkali ditemukan

adanya knowledge-action gap sedemikian rupa sehingga meningkatnya

pengetahuan dan kesadaran lingkungan hidup tersebut tidak selalu diterjemahkan

ke perubahan perilaku yang bersesuaian dikarenakan adanya pengaruh berbagai

faktor yang membatasi atau memfasilitasi.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Knowledge-Action Gap

Istilah knowledge-action gap terdiri atas tiga bagian, yaitu pengetahuan

(knowlege), perilaku (action), dan kesenjangan (gap). Kesenjangan tidak akan

terjadi apabila perilaku peduli lingkungan hidup yang dilakukan sesuai dengan

pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mendorong

perilaku peduli lingkungan hidup menjadi penting untuk diteliti.

1. Jumlah Sumber Informasi terkait Lingkungan Hidup

Hines et al. (1987) dalam Kollmuss & Agyeman (2002) mengungkapkan

bahwa seorang individu tidak hanya harus memahami permasalahan lingkungan

hidup dan penyebab-penyebabnya (knowledge of issues), tetapi juga harus

memahami tindakan-tindakan yang dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan

individu tersebut terhadap permasalahan lingkungan hidup (knowledge of action

strategies). Untuk memperoleh pemahaman-pemahaman di atas, salah satunya

dapat dilakukan dengan banyak mengakses informasi terkait lingkungan hidup.

Informasi tersebut dapat diperoleh dengan mengikuti penyuluhan atau pelatihan

12
terkait lingkungan hidup dan melalui berbagai media informasi terkait lingkungan

hidup lainnya baik elekronik maupun non-elektronik. Informasi terkait lingkungan

hidup selain dapat memperkaya pengetahuan juga dapat menjadi dasar untuk

berperilaku peduli lingkungan hidup. Menurut Going for Green (GFG) (1998),

masyarakat perlu mendapatkan informasi yang mudah dipahami untuk mendorong

perubahan perilaku menjadi lebih peduli lingkungan hidup (Blake, 1999). Selain

itu, memadainya informasi yang diberikan juga perlu diperhatikan. Menurut Blake

(1999) kurangnya informasi yang memadai dapat menjadi penghalang utama antara

kepedulian dan perilaku peduli lingkungan hidup. Thogersen & Schrader (2012)

menambahkan bahwa kecukupan fakta untuk memenuhi kebutuhan informasi dan

untuk mentransfer pengetahuan yang ada, tidak hanya terkait dengan cara yang

tepat untuk mengkomunikasikannya, tetapi juga berkaitan dengan format, waktu,

dan konteks yang digunakan. Maka dari itu, dengan memiliki informasi yang

memadai dan mudah dipahami, diharapkan pemahaman terhadap permasalahan

lingkungan hidup akan semakin baik sehingga tumbuh kesadaran untuk lebih

berperilaku peduli lingkungan hidup.

2. Akses Internet mengenai Informasi terkait Lingkungan Hidup

Internet adalah jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan

jaringan komputer yang terorganisir di seluruh dunia melalui telepon atau satelit

(KBBI). Internet merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk

mengakses informasi terkait lingkungan hidup. Keberadaan internet yang mudah

dijangkau, dapat diakses kapan saja dan oleh siapa saja, serta memiliki konten yang

beraneka ragam membuat informasi yang tersalurkan melalui internet relatif lebih

mudah diterima oleh banyak kalangan. Terlebih lagi, saat ini banyak dari media-

13
media tradisional seperti tv, radio, surat kabar dsb. yang tersedia secara online di

internet sehingga dapat dikatakan internet merupakan media terbaik untuk

menyampaikan informasi (Jessica, 2011). Maka dari itu, dengan keunggulan-

keunggulan internet di atas, diharapkan penyampaian informasi terkait lingkungan

hidup dapat dilakukan dengan lebih baik serta mudah dimengerti oleh masyarakat

sehingga dapat menjadi dorongan untuk lebih berperilaku peduli lingkungan hidup.

3. Keikutsertaan dalam Program Penyuluhan terkait Lingkungan Hidup

Penyuluhan adalah kegiatan komunikasi dengan menyebarkan pesan,

menanamkan keyakinan sehingga masayarakat tidak hanya sadar, tahu, dan

mengerti, tetapi juga mau melakukan sesuatu yang dianjurkan dan dikehendaki oleh

komunikator (Yuliana, 2012). Penyuluhan atau pelatihan terkait lingkungan hidup

adalah salah satu cara yang efektif untuk menyampaikan informasi terkait

lingkungan hidup. Sebagai bagian dari pendidikan lingkungan hidup

(environmental education), penyuluhan terkait lingkungan hidup berfokus pada

kepedulian dan sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan tantangannya,

pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan hidup dan tantangannya,

perubahan perilaku terhadap lingkungan hidup dan mengembangkan peningkatan

kualitas lingkungan hidup, keahlian untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan

lingkungan hidup, partisipasi untuk menerapkan pengetahuan dan keahlian terkait

program lingkungan hidup (Wikipedia, 2016). Dengan mengikuti penyuluhan atau

pelatihan terkait lingkungan hidup, diharapkan seseorang akan menambah

pengetahuannya dan merubah perilakunya ke arah peduli lingkungan (BPS, 2013).

14
4. Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup

Menurut PP No. 73 Tahun 2005, kepedulian adalah sikap atau perilaku

seseorang terhadap hal-hal yang bersifat khusus, pribadi, dan strategis dengan ciri

keterkaitan, keinginan dan aksi untuk melakukan sesuatu kegiatan. Sementara itu,

kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah sikap memperhatikan dan

mengindahkan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia sehingga interaksi antara

manusia dengan lingkungan hidup dapat terjaga dengan baik (Wulandari, 2016).

Schultz (2001) dan Stern & D´ıez (1994) dalam Manzanal et al. (2007)

mengungkapkan bahwa sikap peduli lingkungan hidup berfokus pada keyakinan

tentang konsekuensi kerusakan lingkungan hidup yang mungkin terjadi pada diri

sendiri, manusia lain, atau makhluk hidup lainnya. Menurut Kollmuss & Agyeman

(2002), sikap peduli lingkungan hidup dapat memengaruhi intensi atau keinginan

untuk berperilaku peduli lingkungan hidup. Kaiser et al. (1999) menambahkan

bahwa sikap peduli lingkungan hidup merupakan prediktor yang kuat untuk

menggambarkan perilaku peduli lingkungan hidup. Hines (1987) dalam Kollmuss

& Agyeman (2002) mengungkapkan bahwa seorang individu dengan sikap peduli

lingkungan hidup yang kuat, memiliki kecenderungan untuk lebih berperilaku

peduli lingkungan hidup.

5. Klasifikasi Daerah Tempat Tinggal

Secara garis besar, daerah tempat tinggal atau pemukiman dapat dibedakan

menjadi daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Keduanya memiliki situasi dan

kondisi yang berbeda-beda, yang dapat menjadi latar belakang karakteristik sosial,

ekonomi, dan demografi dari masyarakatnya. Perkotaan merupakan daerah

pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian

15
besar penduduknya bekerja di luar pertanian, sedangkan perdesaan adalah daerah

pemukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan air

sebagai syarat penting bagi terwujudnya pola kehidupan agraris penduduk di tempat

itu (KBBI). Wilayah perdesaan yang relatif masih asri dibandingkan dengan

wilayah perkotaan, membuat masyarakat perdesaan lebih banyak berinteraksi

dengan alam atau lingkungan hidup di sekitarnya. Studi Hinds & Spark (2008)

membuktikan bahwa masyarakat di UK khususnya pelajar yang dibesarkan di

wilayah perdesaan memiliki sikap dan pandangan yang lebih positif terhadap

lingkungan hidup dibandingkan dengan pelajar yang dibesarkan diwilayah

perkotaan. Selain itu, Berenguer et al. (2005) menunjukkan bahwa masyarakat yang

hidup di perdesaan memiliki sikap yang lebih baik dan perilaku peduli lingkungan

hidup yang lebih konsisten dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di

perkotaan. Namun dalam kasus lain, Chen et al. (2011) mengungkapkan bahwa

masyarakat China yang tinggal di perkotaan besar, lebih mungkin terlibat dalam

perilaku peduli lingkungan hidup dibandingkan masyarakat China yang tinggal

diperkotaan kecil. Studi Lowe & Pinhey (1982) dan Tremblay & Dunlap (1978)

dalam Arcury & Christianson (1993) menunjukkan bahwa kepedulian lingkungan

hidup masyarakat perkotaan lebih besar dari masyarakat perdesaan. Arcury &

Christianson (1993) menambahkan bahwa situasi, kondisi, serta fasilitas di

perkotaan yang didominasi oleh anak muda, berkualitas pendidikan baik, serta

berpandangan luas dan terbuka membuat masyarakatnya lebih memiliki kepedulian

dan sikap positif terhadap lingkungan hidup. Dikarenakan beberapa temuan yang

saling bertentangan tersebut, Buttel (1987) dalam Arcury & Christianson (1993)

berpendapat bahwa hubungan klasifikasi daerah tempat tinggal dengan

16
karakteristik terkait lingkungan hidup dapat dikatakan masih ambigu atau dapat

bermakna ganda.

6. Keberadaan Kegiatan Kerja Bakti

Menurut Hines et al. (1987), perilaku peduli lingkungan hidup dapat

dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional. Salah satu faktor situasional tersebut

adalah adanya kesempatan-kesempatan untuk memilih tindakan-tindakan yang

berbeda (opportunities to choose different actions). Dalam hal ini, yang dimaksud

dengan kesempatan dan tindakan yang berbeda adalah adanya kesempatan untuk

turut berkontribusi bagi kelestarian lingkungan hidup, tetapi dengan keputusan

untuk berpartisipasi atau tidak kembali ke masing-masing individu. Adanya

kegiatan kerja bakti, dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk turut

menjaga kelestarian lingkungan hidup di sekitarnya. Budaya kerja bakti merupakan

modal sosial yang sudah ada sejak lama di Indonesia. Kegiatan kerja bakti antara

lain dapat diwujudkan dengan membersihkan parit atau selokan, membersihkan

jalan, penanaman pohon di sepanjang pinggir jalan, dan kegiatan lain yang terkait

dengan usaha untuk melestarikan lingkungan (BPS, 2013). Pada umumnya,

kegiatan kerja bakti merupakan suatu program atau kebijakan yang diterapkan di

lingkungan RT, RW, komplek perumahan, desa, atau kelurahan yang bertujuan

untuk mengajak masyarakat secara bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan

di wilayahnya. Lehner (2011) dalam European Comission (2012) mengungkapkan

bahwa kebijakan lingkungan hidup (environmental policy) memiliki peran dalam

mendukung dan mendorong perilaku peduli lingkungan hidup. Maka dari itu,

dengan adanya kegiatan kerja bakti, diharapkan akan tumbuh kesadaran masyarakat

untuk lebih berperilaku peduli lingkungan hidup.

17
7. Pendapatan Rumah Tangga

Menurut BPS (2013), pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang

diterima oleh rumah tangga bersangkutan baik yang berasal dari pendapatan kepala

rumah tangga maupun pendapatan anggota-anggota rumah tangga. Pendapatan

rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan kondisi

ekonomi rumah tangga. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap perilaku

peduli lingkungan hidup. Menurut Hines et al. (1987), hambatan ekonomi

(economic constraint) yang dapat berasal dari kondisi ekonomi yang kurang baik,

merupakan salah satu faktor situasional yang dapat menghambat perilaku peduli

lingkungan hidup. Dari hasil meta analisis yang dilakukan oleh Hines et al. (1987),

diketahui bahwa individu dengan pendapatan yang lebih tinggi, lebih mungkin

untuk terlibat dalam perilaku peduli lingkungan hidup di banding individu dengan

pendapatan yang lebih rendah. Hal tersebut senada dengan Blake (1999) yang

mengungkapkan bahwa kekurangan uang (lack of money) dapat menjadi hambatan

sosial dan institusional yang mencegah seorang individu untuk berperilaku peduli

lingkungan hidup. Maka dari itu, diharapkan dengan semakin tingginya pendapatan

rumah tangga yang diperoleh, kecenderungan rumah tangga untuk lebih berperilaku

peduli lingkungan hidup akan semakin besar.

2.2 Penelitian Terkait

Abbas & Singh (2012) melakukan suatu penelitian dengan judul A Survei of

Environmental Awareness, Attitude, and Participation amongst University Students

: A Case Studi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan

18
kesadaran lingkungan hidup dari mahasiswa, perilaku terhadap lingkungan hidup,

serta tingkat partisipasi mereka dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan

hidup. Sumber data yang digunakan adalah data primer dengan metode penarikan

sampel stratified random sampling. Analisis yang digunakan adalah analisis

deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingginya tingkat pengetahuan

lingkungan hidup dan sikap yang positif terhadap lingkungan hidup dari

mahasiswa. Namun, tingkat partisipasi mahasiswa dalam perlindungan dan

pelestarian lingkungan hidup terhitung rendah sehingga dapat disimpulkan terdapat

faktor lain selain pengetahuan dan kesadaran lingkungan hidup yang dapat

mendorong partsipasi aktif mahasiswa dalam perlindungan dan pelestarian

lingkungan hidup.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Ahmad, Noor & Ismail (2015) dengan

judul Investigating Students’ Environmental Knowledge, Attitude, Practice and

Communication. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

pengetahuan, sikap dan praktek siswa tentang lingkungan hidup dan komunikasi

tentang lingkungan hidup yang efektif. Penelitian ini mengumpulkan data dari 895

sampel siswa dari 16 institut pendidikan tinggi di Malaysia menggunakan survei

Knowledge, Action, Practice (KAP) yang dilaksanakan sebagai bagian dari

kampanye kesadaran lingkungan hidup dari Universiti Sains Malaysia. Sampel

dipilih secara non-probabiliity dengan keikutsertaan secara sukarela. Metode

analisis yang digunakan adalah analisis korelasi dan regresi linier sederhana. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa secara umum siswa memiliki tingkat pengetahuan

dan sikap yang baik terhadap lingkungan hidup, namun dalam praktek tentang

lingkungan hidup masih kurang baik, hal ini dibuktikan dengan hubungan yang

19
siginifikan positif namun lemah antara pengetahuan dan praktek tentang lingkungan

hidup serta antara sikap dan praktek tentang lingkungan hidup. Selain itu, terkait

dengan komunikasi yang paling efektif tentang lingkungan hidup, diketahui bahwa

media internet merupakan media yang paling banyak dipilih siswa untuk

mendapatkan informasi tentang lingkungan hidup.

Suatu penelitian dilakukan oleh Ito (2016) dengan judul Underlying Gaps

between Environmental Knowledge and Behavior in the City of Toyota. Penelitian

ini bertujuan untuk menganalisis gap yang terjadi antara pengetahuan dan perilaku

peduli lingkungan hidup di kota Toyota, jepang. Penelitian ini dilatarbelakangi

studi sebelumnya yang menyatakan bahwa pengetahuan lingkungan hidup

penduduk kota Toyota meningkat semenjak pemerintah Jepang menjadikan kota

tersebut sebagai kota percontohan lingkungan hidup. Namun, penduduk kota

Toyota tidak terlihat berperilaku sesuai pengetahuan yang dimilikinya. Sampel

dalam penelitian ini adalah anggota dari organisasi non-profit tentang lingkungan

hidup yang berkantor di Toyota yang dipilih secara non-probability. Pengumpulan

data dilakukan secara focus group interview yang membahas mengenai

permasalahan gap antara pengetahuan dan perilaku. Hasil focus group interview

menunjukkan bahwa gap yang terjadi atau alasan penduduk Toyota tidak

berperilaku lingkungan hidup adalah disebabkan oleh faktor ekologis dan ekonomi

dan beberapa faktor lainnya seperti faktor keamanan dan kenyamanan.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Arcury & Christianson (1993) dengan

judul Rural-Urban Differences in Environmental Knowledge and Actions.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pandangan, kepedulian,

pengetahuan dan perilaku peduli lingkungan hidup di perkotaan dan perdesaan

20
beserta faktor-faktor sosial demografi yang memengaruhinya. Penelitian ini

dilatarbelakangi oleh usaha untuk meningkatkan kualitas dari program pendidikan

lingkungan hidup. Dengan mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap peduli

lingkungan hidup antara perkotaan dan perdesaan, diharapkan para praktisi

lingkungan dapat mengetahui wilayah mana yang paling membutuhkan pendidikan

lingkungan hidup. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan

telepon yang dilakukan oleh University of Kentucky Survey Research Center

kepada 624 penduduk yang tersebar di 14 dari 39 wilayah Cekungan Sungai

Kentucky. Sampel dalam penelitian ini merupakan penduduk usia 18 tahun ke atas

yang berasal dari ke 14 wilayah tersebut yang kemudian dibagi ke dalam dua strata,

yaitu Kentucky Timur dan Kentucky Tengah yang ditiap stratanya diambil sampel

dengan penarikan sampel secara sederhana (simple random sampling). Metode

analisis yang digunakan adalah uji chi square dan uji f. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki

pandangan dan pengetahuan yang lebih luas terhadap permasalahan lingkungan

hidup dibanding penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan. Namun, dalam

perilaku peduli lingkungan hidup antara perkotaan dan perdesaan tidak terdapat

perberbedaan. Sementara itu terkait dengan faktor sosial demografi, diketahui

bahwa pendapatan, umur, dan jenis kelamin berpengaruh terhadap pandangan dan

pengetahuan tentang lingkungan hidup.

Suatu penelitian dilakukan oleh Barkatin et al. (2016) dengan judul Analisis

Perilaku Pelajar terhadap Lingkungan Studi Kasus Pendidikan Menengah di

Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan antara lain untuk mengetahui pengaruh

lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, persepsi, norma

21
subjektif, sikap terhadap intensi perilaku dan pengaruh intensi perilaku terhadap

perilaku pelajar terhadap lingkungan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya

program adiwiyata yang bertujuan untuk mewujudkan warga sekolah yang

bertanggung jawab dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

melalui tata kelola sekolah yang baik untuk mendukung pembangunan

berkelanjutan. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa siswi kelas XI SMA/SMK

yang berada di Kecamatan Parung, Kecamatan Ciseeng dan Kecamaan Gunung

Sindur, Kabupaten Bogor. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah

purposive sampling dengan jumlah sampel 363 siswa siswi dari 9 SMA/SMK.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner kepada

responden dan kepala sekolah dari sampel. Metode analisis yang digunakan adalah

Sructural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

variabel yang berpengaruh terhadap intensi perilaku pelajar adalah (1) norma

subjektif, (2) persepsi, (3) lingkungan sekolah, (4) sikap, (5) lingkungan keluarga,

dan (6) lingkungan masyarakat. Selanjutnya, intensi perilaku pelajar diketahui

mempengaruhi perilaku pelajar terhadap lingkungan. Sementara itu, dari hasil

penelitian diketahui juga bahwa pada lingkungan masyarakat variabel yang paling

berpengaruh adalah kerja bakti lingkungan.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Kumurur (2008) dengan judul

Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan

terhadap Lingkungan Hidup Kota Jakarta. Dilatarbelakangi oleh permasalahan

lingkungan hidup yang kompleks di Jakarta, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan kepedulian atau perilaku mahasiswa

ilmu lingkungan terhadap lingkungan hidup di Jakarta kemudian menguji hubungan

22
antara jenis kelamin dan umur terhadap pengetahuan, sikap, dan kepedulian

mahasiswa ilmu lingkungan terhadap lingkungan hidup di Jakarta. Populasi yang

diteliti adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dan

mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Sampel

diambil berdasarkan metode cluster random sampling sehingga didapatkan sampel

sejumlah 106 mahasiswa. Metode analisis yang digunakan adalah Chi Square. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan

dan sikap yang baik terhadap lingkungan hidup, namun kepedulian terhadap

lingkungan hidup masih rendah. Jenis kelamin hanya mempunyai hubungan yang

signifikan dengan pengetahuan tentang lingkungan hidup. Umur hanya mempunyai

hubungan signifikan dengan kepedulian atau perilaku terhadap lingkungan hidup.

Pengetahuan mempunyai hubungan signifikan dengan sikap dan kepedulian atau

perilaku, tetapi sikap tidak berhubungan dengan kepedulian atau perilaku terhadap

lingkungan hidup di Jakarta.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Akhtar & Soetjipto (2014) dengan

judul Peran Sikap dalam Memediasi Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku

Minimisasi Sampah pada Masyarakat Terban, Yogyakarta. Dilatarbelakangi oleh

kondisi lingkungan hidup di Indonesia yang memprihatinkan dikarenakan perilaku

manusia dan fakta bahwa pengetahuan lingkungan hidup yang sudah baik ternyata

tidak sejalan dengan perilaku peduli lingkungan hidup, penelitian ini berfokus pada

salah satu perilaku peduli lingkungan hidup yaitu perilaku minimisasi sampah dan

bertujuan untuk melihat pola hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku

dalam minimisasi sampah. Populasi penelitian adalah orang dewasa berusia 20-60

tahun di RW 02 dan RW 11 Kelurahan Terban, Gondokusumo, Yogyakarta, dengan

23
sampel sebanyak 105 orang (tidak disebutkan metode penarikan sampelnya).

Metode analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis) dan Sobel Test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pegetahuan tidak langsung

meningkatkan perilaku secara signifikan. Terdapat efek tidak langsung

pengetahuan terhadap perilaku minimisasi sampah melalui sikap terhadap

minimisasi sampah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap minimisasi

sampah memediasi pengaruh pengetahuan terhadap perilaku minimisasi sampah.

2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan landasan teori dan penelitian terkait yang telah diuraikan, maka

knowledge action gap dalam penelitian ini akan diteliti sebagai variabel terikat

(dependent variable), sedangkan variabel-variabel yang diduga menjadi faktor-

faktor yang memengaruhi knowledge-action gap berupa jumlah sumber informasi

terkait lingkungan hidup, akses internet mengenai informasi terkait lingkungan

hidup, keikutsertaan dalam program penyuluhan terkait lingkungan hidup,

kepedulian terhadap lingkungan hidup, klasifikasi daerah tempat tinggal,

keberadaan kegiatan kerja bakti, dan pendapatan rumah tangga akan diteliti sebagai

variabel bebas (independent variable). Untuk menggambarkan hubungan antara

variabel-variabel tersebut, maka disusunlah kerangka pikir sebagai berikut :

24
Jumlah sumber informasi terkait
lingkungan hidup

Akses internet mengenai informasi


terkait lingkungan hidup

Keikutsertaan dalam program


penyuluhan terkait lingkungan hidup
Knowledge-
action gap
Kepedulian terhadap lingkungan
hidup

Klasifikasi daerah tempat tinggal

Keberadaan kegiatan kerja bakti

Pendapatan rumah tangga

Gambar 2. Kerangka Pikir (Sumber : Di adaptasi dari Hines et al., 1987; Blake,
1999; Kollmuss & Agyeman, 2002)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini

dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. Variabel jumlah sumber informasi terkait lingkungan hidup diduga berpengaruh

signifikan negatif terhadap terjadinya knowledge-action gap.

2. Variabel akses internet mengenai informasi terkait lingkungan hidup diduga

berpengaruh signifikan negatif terhadap terjadinya knowledge-action gap.

3. Variabel keikutsertaan dalam program penyuluhan terkait lingkungan hidup

diduga berpengaruh signifikan negatif terhadap terjadinya knowledge-action

gap.

25
4. Variabel kepedulian terhadap lingkungan hidup diduga berpengaruh signifikan

negatif terhadap terjadinya knowledge-action gap.

5. Variabel klasifikasi daerah tempat tinggal diduga berpengaruh signifikan

terhadap terjadinya knowledge-action gap.

6. Variabel keberadaan kegiatan kerja bakti diduga berpengaruh signifikan negatif

terhadap terjadinya knowledge-action gap.

7. Variabel pendapatan rumah tangga diduga berpengaruh signifikan negatif

terhadap terjadinya knowledge-action gap.

26

Вам также может понравиться