Вы находитесь на странице: 1из 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Pembuluh Darah Koroner

Arteri coronaria kanan dan kiri adalah arteri yang memperdarahi jantung.
Arteri coronaria kanan berasal dari sinus anterior aortae dan berjalan ke depan antara
truncus pulmonalis dan auricula kanan memberikan cabang-cabang ke atrium kanan
dan ventrikel kanan. Pada pinggir inferior jantung pembuluh ini melanjutkan diri ke
posterior sepanjang atrioventricularis untuk beranastomosis dengan a.coronaria kiri.
Ia mempercabangkan r.marginalis, yang memperdarahi ventrikel kanan, dan
r.interventricularis posterior, yang memperdarahi kedua ventrikel. Ramus
interventricularis posterior beranastomosis dengan r.interventricularis anterior yang
merupakan cabang a.coronaria kiri pada sulcus interventricularis posterior.3.4

Gambar 2.1 Anatomi arteri koroner

Arteri coronaria kiri, yang lebih besar dibandingkan dengan a.coronaria


kanan, berasal dari sinus posterior aortae kiri dan berjalan ke depan antara truncus
pulmonalis dan auricula kiri. Kemudian pembuluh ini masuk ke sulcus
atrioventricularis dan bercabang menjadi r.interventricularis anterior dan
r.circumflexus. Ramus intervetricularis anterior berjalan ke bawah menuju apeks
jantung dalam sulcus interventricularis anterior. Kemudian pembuluh ini berjalan

13
14

sekitar apeks untuk beranastomosis dengan r.interventricularis posterior yang


merupakan cabang a.coronaria kanan. Ramus interventricularis anterior
memperdarahi ventrikel kanan dan kiri dan septum interventricularis.3,4

Ramus circumflexus mengikuti sulcus atrioventricularis, mengitari pinggir


kiri jantung, dan berakhir dengan anastomosis dengan a.coronaria kanan. Ramus
circumflexus memperdarahi atrium kiri dan ventrikel kiri.3

Pembuluh koroner terdiri dari 3 lapisan, yaitu tunika intima (lapisan


dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika adventisia (lapisan luar). 2.3

3.2 Sindrom Koroner Akut (SKA)

3.2.1 Definisi

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan


manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. Sindrom koroner akut mencakup :

 ST elevation myocard infarct (STEMI)

 Non-ST elevation myocard infarct (NSTEMI)

 Unstable angina pectoris (UAP) 4,5

3.2.2 Epidemiologi

Penyakit jantung koroner yang bermanifestasi klinis akut sebagai SKA sampai
saat ini masih merupakan penyebab kematian utama di berbagai benua mulai dari
Amerika, Eropa dan Asia yang meliputi juga Indonesia.4.5,1

The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta


penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta
orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun.
Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun, dan tidak
ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.4–6 Penyakit jantung koroner
15

juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika. Di Indonesia


penyakit jantung koroner telah menempati angka prevalensi 7,2 % pada tahun 2007 di
Indonesia.1,5

3.2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya atherosklerosis secara umum dibagi menjadi faktor


risiko mayor yaitu hiperkolesterolemia, hipertensi, merokok, diabetes mellitus dan
riwayat keluarga. Faktor risiko minor yaitu laki-laki, obesitas, stress, kurang olah
raga, menopause dan lain-lain. 1,6

Jika dilihat dari angka kejadiannya, arteriosklerosis lebih banyak diderita oleh
kaum pria dibandingkan dengan wanita, karena diduga faktor hormonal seperti
estrogen melindungi wanita. Setelah menopause perbandingan wanita dengan pria
yang menderita penyakit arteriosklerosis adalah sama. Selain itu kebiasaan merokok
yang umumnya ditemukan pada pria dapat merangsang proses arteriosklerosis karena
efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksid (CO) dapat menyebabkan
hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat
menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedang
glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensititif dinding arteri.2,3,5

3.2.4 Patofisiologi

a. Ruptur Plak
Ruptur plak ateroslerotik merupakan salah satu penyebab terjadinya
SKA, yang diakibatkan oklusi subtotal atau total dari arteri koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik
terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi
plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari
timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang
16

paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak.5,7
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet
dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi STEMI, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
UAP. 5,7

Gambar 2.2 Terbentuknya plak

b. Trombosis dengan Agregasi Trombosit


Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antar lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti
lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya
trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa yang ada dalam plak tak
stabil. Setelah berhubungan darah, faktor jaringan berintinteraksi dengan
faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan
pembentukan trombin dan fibrin.2,5,6
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih
luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi
17

ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan


berperan dalam memulai trombosis yang intermiten. 5.6
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting terhadap
terjadinya SKA. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif
yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan pada tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak
yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus. 5.7
d. Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel. Adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan
iskemia. 5.7

3.2.5 Penegakan Diagnosa

A. Anamnesa

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA, sifat nyeri
dada pada angina sebagai berikut : 4,5

 Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial

 Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

 Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

 Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
18

 Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.

Diagnosis banding nyeri dada antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal.

B. Pemeriksaan fisik

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien
infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia
dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukan
hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). 2,4,5

Tanda fisis lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu
sampai 38 0C dapat dijjumpai dalam minggu pertama pasca STEMI. 4,5

C. Pemeriksaan Penunjang
 EKG
a. STEMI

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST


mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosa infark miokard gelombang Q sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi
bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami UAP atau NSTEMI.
Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya, istilah infark transmural
19

digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R


dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada
korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural)
sehingga terminologi infark miokard gelombang Q dan non Q menggantikan
infark miokard mural/transmural. 4,5,6

b. NSTEMI

Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan


hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Trombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) III Registry; adanya depresi segmen ST baru
sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al,
menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk meningkat secara
progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen
ST maupun perubahan troponin T, keduanya memberikan tambahan informasi
prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI. 5.6

c. UAP

Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun


stratifikasi risiko pasien UAP. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga
salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang
nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,05 mm dan gelombang T
negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan
karena hal lain. Pada UAP, sebanyak 4% mempunyai EKG yang normal, dan
pada NSTEMI, sebanyak 1-6% EKG juga normal. 5.6
20

Gambar 2.3 Gambaran EKG pada SKA

 LAB
a. STEMI

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase CKMB dan


cardiac specifik troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala infark miokard, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker. 4,5,6

Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal


menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). 2,5.6

 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

 Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
21

 Creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

 Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

b. NSTEMI

Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang


lebih disukai, karena lebih spesifik dari pada enzim jantung tradisional seperti
CK dan CKMB. Pada pasien dengan infark miokard, peningkatan awal
troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2
minggu. 5,6

c. UAP

Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CKMB telah diterima


sebagai petanda paling penting dalam diagnosa SKA. Menurut ESC dan ACC
dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam.
Troponin tetap positif dalam 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan
tingkat kenaikan troponin. 5,6

CKMB kurang spesifik untuk diagnosa karena juga diketemukan di


otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosa infark akut dan akan meningkat
dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. 5,6

3.2.6 Penatalaksanaan
A. Tatalaksana Awal

Tatalaksana prarumah sakit 5,6

a. pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

b. segera memanggil tim medis mengenai yang dapat melakukan tindakan


resusitasi
22

c. transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta


staf medis dokter dan perawat yamg terlatih
d. melakukan terapi reperfusi

Tatalaksana di ruang emergensi 2,5,6,8

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:


mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.5

1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.5
2. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark
atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.5
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark
inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga
harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor
sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi
nitrat.5
23

3. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4
mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi
vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan
efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. 5
4. Acetyl salicyc acid (ASA)
ASA merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 76-162 mg.5

Terapi Reperfusi 5,6,8

Pasien STEMI dengan onset nyeri dada <12 jam dan dengan elevasi segmen
ST menetap atau diduga blok cabang berkas kiri baru harus menjalani reperfusi
mekanis Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau farmakologis. Reperfusi dini
akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan
dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure dan takiaritmia ventrikular yang maligna.

PCI primer merupakan Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti


dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif
24

dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam
pertama IMA.

Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen


activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat
ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang
selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik
fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase.5

Terapi Sekunder 5,6,8

Pedoman NICE menyatakan bahwa semua pasien yang pernah MI akut harus
mendapat kombinasi aspirin, beta blocker, statin dan ACEi.11

1. Terapi Antiplatelet
Terapi platelet esensial untuk semua pasien kardiovaskular untuk
mengurangi risiko trombosis koroner. Aspirin 75 mg harus diberikan terus
selama hidup. Pasca PCI primer, terapi antiplatelet ganda dengan clopidogrel
diberikan minimum selama 2 bulan.
2. Beta Blocker
Beta blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil.
Studi ISIS-1 menunjukkan pemberian dini beta blocker bermanfaat
menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam setelah MI, dengan cara
menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi ukuran infark. Juga mengurangi
resiko pecahnya pembuluh darah jantung dengan menurunkan tekanan darah,
juga mengurangi resiko ventrikular dan aritmia supraventrikular yang
disebabkan aktivasi simpatetik. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien diberi
beta blocker kardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan
tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit.
25

3. Terapi Penurun Kadar Lipid


Manfaat HMG Co-A reductase inhibitor (statin) jelas ditunjukkan pada
beberapa studi termasuk Heart Protection Study, yaitu dengan simvastatin 40
mg/hari, terjadi perbaikan outcome dan penurunan angka kematian untuk
semua pasien kardiovaskuler. Manfaat ini tidak tergantung pada kadar awal
kolesterol/LDL.11
4. ACE Inhibitor
ACEi mulai diberikan dalam 24-48 jam pasca-MI pada pasien yang
telah stabil, dengan atau tanpa gejala gagal jantung. ACEi menurunkan
afterload ventrikel kiri karena inhibisi sistem renin-angiotensin, menurunkan
dilatasi ventrikel. ACEi harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi naik
sampai dosis tertinggi yang dapat ditoleransi. Kontraindikasinya hipotensi,
gangguan ginjal, stenosis arteri ginjal bilateral, dan alergi ACEi. Elektrolit
serum, fungsi ginjal dan tekanan darah harus dicek sebelum mulai terapi dan
setelah 2 minggu.11
5. Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron (eplerenone) dilisensikan sebagai terapi pasca-
MI yang dimulai dalam 3-14 hari MI, lebih disukai setelah terapi ACEi.
Setelah maksimum terapi eplerenone 12 bulan, pasien LVSD dapat diterapi
dengan spironolakton sesuai dengan pedoman NICE untuk gagal jantung.
Kadar potasium/kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor.11

Penatalaksanaan UAP/NSTEMI 5,6,8

Pasien harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen
ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan, yaitu:9

a. Terapi antiiskemia
b. Terapi antikoagulan
c. Terapi antiplatelet
d. Revaskularisasi koroner
26

a. Terapi Antiiskemia
 Nitrat
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat
sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian NTG
intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10 ug/menit
tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <100
mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat oral atau
dapat menggantikan NTG intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-
24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil
atau obat sekelasnya dalam 24 jam sebelumnya.
 Penyekat Beta
Penyekat Beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60
kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti
verapamil dan diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada
persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan penyekat beta dan
pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap
walaupun dengan pemberian NTG intavena, morfin sulfat dengan dosis 1-5
mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.
b. Terapi Antikoagulan
Tersedia beberapa antikoagulan antara lain: unfaractionated heparin (UFH),
low molecular weight heparin (LMWH), fondaparinux, dan bivalirudin.
Pilihan tergantung strategi awal (invasif segera, invasif dini atau konservatif).

Pada strategi infasif segera, UFH, enoksaparin atau bivalirudin harus segera
diberikan.
27

c. Terapi Antiplatelet
 ASA
Peran penting ASA adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah
dibuktikan pada penelitian klinis multiple dan beberapa meta-analisis,
sehingga ASA menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan UAP/NSTEMI.6
ASA direkomendasikan pada semua pasien UAP/NSTEMI tanpa
kontraindikasi dengan dosis loading awal 160-325 mg (non-enteric) dan
dengan dosis pemeliharaan 75-100 mg jangka panjang.

 Klopidogrel

Pada semua pasien, direkomendasikan klopidogrel dosis loading 30 mg


sehari, dilanjutkan klopidogrel 75 mg sehari. Klopidogrel harus dilanjutkan
sampai 12 bulan kecuali ada risiko perdarahan hebat.

 Antagonis Glikoprotein IIb/IIIa

Antagonis reseptor GP IIb/IIIa, misalnya tirofiban atau eptifibatide merupakan


inhibitor kuat agregasi platelet. Obat-obat tersebut menghambat pembentukan
fibrinogen pada platelet. Walaupun antagonis reseptor GP IIb/IIIa
menghambat pembentukan thrombus, uji klinik menunjukkan bahwa mereka
hanya efektif untuk pasien NSTEMI resiko tinggi, atau untuk pasien yang
potensial mendapat PCI yang ditunda, jika digunakan bersama dengan aspirin
dan heparin/LMWH.

d. Revaskularisasi Koroner

Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik, strategi invasif saat ini
direkomendasikan pada pasien UAP/NSTEMI dengan risiko tinggi/sedang.
Pasien ini sebaiknya mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin
enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel sebaiknya dimulai
segera, jika kateterisasi diundur >24-36 jam, dan angiogram awal
menyingkirkan indikasi untuk CABG segera.
28

3.3 Atrial Fibrilasi

3.3.1 Definisi

Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium
sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke
nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan
terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler.
Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara
permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol.1,3
Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak
terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang
sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di
atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate
yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat. Ketika ini
terjadi, atrium dan ventrikel tidak bekerja sama sebagaimana mestinya. 1,3
Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama yang tidak teratur
dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bias normal/lambat/cepat). Kecepatan QRS
biasanya normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada
menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat
didefinisikan. 1,3

Gambar 1. Contoh gambaran irama jantung normal dan atrial fibrilasi


29

Pada dasarnya, jantung dapat melakukan kontraksi karena terdapat adanya


sistem konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada atrial
fibriasi, nodus SA tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini
menyebabkan tidak teraturnya konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel.
Akibatnya, detak jantung menjadi tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut
jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan berlangsung dalam menit ke minggu bahkan
dapat terjadi bertahun-tahun. Kecenderungan dari atrial fibrilasi sendiri adalah
kecenderungan untuk menjadi kronis dan menyebabkan komplikasi lain. 1,3
3.3.2 Epidemiologi
FA merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari
dan paling sering menjadi penyebab seorang harus menjalani pelayanan di rumah
sakit. Walau bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung,
namun FA berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. 1,3
Pada tahun 2001, jumlah pasien dengan atrial fibrilasi mencapai 2,3 juta di
Amerika dan 4,5 juta pasien di Eropa. Pada populasi umum prevalensi atrial fibrilasi
terdapat sekitar1-2% dan diperkirakan kejadian atrial fibrilasi akan terus meningkat
0,1% setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas. Pada umur di bawah 50
tahun prevalensi atrial fibrilasi berkurang dari 1% dan meningkat menjadi lebih dari
9% pada usia 80 tahun. Sedangkan prosentase stroke yang berasal dari atrial fibrilasi
berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari pasien yang secara
struktural terdiagnosis atrial fibrilasi memiliki jantung yang normal. FA lebih banyak
dijumpai pada pria dibandingkan wanita, namun beberapa kepustakan mengatakan
prevalensinya sama.4
FA merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap kejadian stroke
emboli. Kejadian stroke iskemik pada pasien AF non valvular ditemukan sebanyak
5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak dibanding pasien tanpa atrial fibrilasi. Pada studi
Framingham resiko terjadinya stroke emboli 5,6 kali lebih banyak pada AF non
valvular dan 17,6 kali lebih banyak pada AF valvular dibandingkan dengan kontrol. 1,3
30

3.3.3 Etiologi

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya FA ada banyak hal. Faktor usia
berpengaruh terhadap atrial fibrilasi karena dengan bertambahnya umur maka
semakin tinggi resiko terjadinya atrial fibrilasi. Usia merupakan salah satu faktor
terkuat dalam kejadian atrial fibrilasi. Sebuah studi di Framingham menyebutkan
bahwa meningkatnya kejadian atrial fibrilasi pada beberapa kondisi yaitu usia di atas
50 tahun. 1,3
Selain itu, untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
atrial fibrilasi tersebut harus dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan
jantung maupun kelainan di luar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan
atrial fibrilasi dibagi berdasarkan: 1,3
Kelainan Jantung yang berhubungan dengan AF :
 Penyakit Jantung Koroner
 Kardiomiopati Dilatasi
 Kardiomiopati Hipertrofik
 Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik
 Aritmia Jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick
sinus syndrome.
 Perikarditis
Kelainan di luar Jantung yang berhubungan dengan AF : 1,3
 Diabetes militus
 Hipertiroidisme
 Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer,
emboli paru akut.
 Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada pasien
sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik.

3.3.4 Patofisiologi
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses
aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses
31

aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis
superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang
dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang
dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA). 1,3
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau
wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari
fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya
sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang
atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran
atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi
penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan
sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan
terjadinya atrial fibrilasi. 1,3

Gambar 3. A. Proses aktivasi fokal atrial fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelet
Reentry Atrial Fibrilasi
32

Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel


kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot
ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran
atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara
adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan
darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan
menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian
juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi
atrium. 1,3

3.3.4.1 Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Atrial Fibrilasi


Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh karena itu
atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian,
darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi
pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu,
dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup
selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan atrial fibrilasi, walaupun
timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. 1,3

3.3.4.2 Patofisiologi Pembentukan Trombus pada Atrial Fibrilasi


Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan
atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE (Ekokardiogram Transesophageal),
trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli
dibandingkan dengan AF tanpa stroke emboli. 2/3sampai ¾ stroke iskemik yang
terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena stroke emboli. Beberapa
penelitian menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan thrombosis.
Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai
kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah
33

peningkatan faktor von Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen
protrombin 1,2. Sohaya melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit,
koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya AF. 1,3

3.3.5 Klasifikasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal
antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada
tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang
P. Beberapa keperpustakaan tertulis ada beberapa sistem klasifikasi atrial fibrilasi
yang telah dikemukanakan, seperti : 1,3
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
 AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali
permenit
 AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60
kali permenit
 Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali
permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat diklasifikasikan
menjadi :
 AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark
miokard akut)
 AF dengan hemodinamik stabil
3. Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi (AF)
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
 AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
 AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih
kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara
spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya
kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.
 AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7
hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke
irama sinus.
34

 AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari.
Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus
(resisten).

Gambar 2. Skema klasifikasi AF menurut AHA.

4. Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), atrial


fibrilasi juga sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu
 AF akut : waktu berlangsungnya atau onset yang kurang dari 48 jam
 AF kronik : atrial fibrilasi yang berlangsung lebih dari 48 jam.
5. Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari :
 AF primer : jika tidak disertai penyakit jantung lain atau penyakit sistemik
lainnya.
 AF sekunder : jika disertai dengan penyakit jantung lain atau penyakit
sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral dan lain-lain.
6. Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk gelombang P yaitu
 Coarse AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bisa dikenali.
 Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus.

3.3.6 Manifestasi Klinis

Pada manifestasi klinik, atrial fibrilasi dapat simptomatik dan dapat pula
asimptomatik. Gejala-gejala atrial fibrilasi sangat bervariasi tergantung dari
35

kecepatan laju irama ventrikel, lamanya atrial fibrilasi, dan penyakit yang
mendasarinya. Gejala-gejala yang dialami terutama saat beraktivitas, sesak nafas,
cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. Umumnya gejala dari atrial fibrilasi
lain adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan
ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga memberikan gejala
lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing,
kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Akan tetapi, lebih dari 90%
episode dari atrial fibrilasi tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut. 1,3
Tanda dan gejala lain pada atrial fibrilasi seperti palpitasi. Palpitasi
merupakan salah satu gejala yang sering muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi
akibat respon ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi dapat juga terjadi pada
pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi belum menjadi gejala yang spesifik
untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk menunjukkan adanya atrial
fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan keluhan kesulitan bernafas seperti sesak,
syncope, pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh
pasien dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat, sesak nafas dan
lemas. 1,3
Sering pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit kepala seperti
berputar-putar dan melayang tetapi tidak sampai pingsan. Serta nadi tidak teratur,
cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan
pingsan (syncope) ataupun dengan pusing yang tak terkendali. Kondisi ini akibat
menurunnya suplai darah ke sitemik dan ke otak.
Atrial fibrilasi dapat mencetuskan gejala iskemik dengan dasar penyakit
jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada atrial fibrilasi
akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan gagal jantung kongestif
pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. 1,3
Pasien dengan AF biasanya memiliki peningkatan resiko stroke yang
signifikan (hingga >7 kali populasi umum). Pada atrial fibrilasi, resiko stroke
meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di atrium
36

sehingga menurunkan kemampuan kontraksi jantung khususnya pada atrium kiri


jantung. Di samping itu, peningkatan resiko stroke tergantung juga pada jumlah
faktor resiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan atrial fibriasi memang memiliki
faktor resiko tambahan lain dan juga merupakan penyebab utama dari stroke. 1,3
Sedangkan hubungan antara atrial fibrilasi dengan penyakit katup jantung
telah lama diketahui. Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya
atrial fibrilasi dan mempunyai resiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi
tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian atrial fibrilasi
ditemukan pada satu di antara lima pasien. Atrial fibrilasi juga dapat merupakan
tampilan awal dari perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung pada miksoma
atrial. Aritmia jantung lain seperti Woff-Parkinson-White dapat berhubungan dengan
atrial fibrilasi. Hal yang menguntungkan adalah apabila dilakukan tindakan ablasi
pada jalur aksesori ekstranodal yang menjadi penyebab sindroma ini, akan
mengeliminasi atrial fibrilasi pada 90% kasus. Aritmia lain yang berhubungan dengan
atrial fibriasi misalnya takikardia atrial, AVNRT (Atrio Ventricular Nodal Reetrant
Tachycardia) dan bradaritmia seperti sick sinus syndrome dan gangguan fungsi sinus
node lainnya. 1,3
Atrial fibrilasi juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non-
kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik ditemukan 45% dan diabetes militus 10%
dari pasien atrial fibrilasi. Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti penyakit
paru obstruktif kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3% pasien atrial
fibrilasi tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone AF. Lone AF
ini dikatakan tidak berhubungan dengan resiko tromboemboli yang tinggi pada
kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut resiko ini tetap
akan meningkat. 1,3
37

3.3.7 Penegakan Diagnosis


38

1. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode
FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang
mungkin dikeluhkan pasien antara lain: 1,3
 Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang,
gemuruh guntur, atau kecipak ikan didalam dada.
 Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
 Presinkop atau sinkop
 Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik.
Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus
berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien. Selain mencari gejala-gejala
tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai mengalami FA harus
meliputi pertanyaan-pertanyaan yang relevan, seperti: 1,3
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi
gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran
kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
• Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
• Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan
(dengan kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).
39

2. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway),
pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk
mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan
informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA. 1,3
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen
sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat
pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar
110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia
atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia. 1,3
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis
mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas
penyakit jantung koroner. 1,3
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin
mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK, asma)
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA.
Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit
jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya
bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan
tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya
40

hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba
dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA. 1,3
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri
atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer. 1,3
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi
perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau
curah jantung yang menurun. 1,3
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks dapat ditemukan
pada hipertiroidisme. 1,3

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/ penyakit yang
tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi menunjukkan
bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan
kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain: 1,3
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi
dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretic tersebut meningkat pada
41

pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali


dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
• D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
• Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
• Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
• Uji toksikologi atau level etanol

4. Elektrokardiogram (EKG)
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya
mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas,
digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS
yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain: 1,3
• Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit.
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus
interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Blok berkas cabang
• Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari
pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.

5. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang dapat
ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru
(misalnya emboli paru, pneumonia). 1,3
42

6. Uji latih atau uji berjalan enam-menit


Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan 6-
menit). Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia
kelas 1C dan dapat digunakan juga untuk mereproduksi FA yang dicetuskan oleh
aktivitas fisik. 1,3

7. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini.Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama
bermanfaat untuk : 1,3
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
• Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
• Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
• Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk : 1,3
• Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
• Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)

8. Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI)


Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin diperlukan
untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti CT scan atau MRI
seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila direncanakan ablasi FA.
Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta anatomis dari atrium kiri dan
VP. 1,3
43

3.3.8 Tatalaksana
Baru-baru ini dikenalkan skor simtom yang disebut skor EHRA (European
Heart Rhythm Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang dapat
digunakan untuk menilai perkembangan gejala selama penanganan FA. Skor klinis
ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar disebabkan oleh FA, dan
diharapkan skor tersebut dapat berkurang seiring dengan konversi ke irama sinus atau
dengan kendali laju yang efektif. 1,3

Klasifikasi simtom terkait FA (skor EHRA ).


Kelas EHRA
EHRA I Tanpa gejala
EHRA II Gejala ringan, aktivitas harian normal tidakterpengaruh
EHRA III Gejala berat, aktivitas harian terganggu
EHRA IV Gejala melumpuhkan, aktivitas harian terhenti

Seorang ahli yang sedang menangani FA, tidak hanya harus melakukan
penilaian dan pengobatan awal yang tepat, tetapi juga harus merencanakan tindak
lanjut yang terstruktur.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA adalah1,3
 Mengembalikan irama sinus
 Mengontrol laju irama ventrikel
 Pencegahan komplikasi tromboemboli
Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah pasien tersebut dapat
dilakukan konversi ke irama sinusatau cukup dengan pengontrolan laju irama
ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera
dilakukan konversi, sedangkan pada FA permanen sedikit kemungkinan kembali ke
iram asinus, alternative pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel
dipertimbangkan. 1,3
44

1. Kardioversi
Pengembalian irama sinus pada FA akan mengurangi gejala, memperbaiki
hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah tromboemboli,
dan memperbaiki atrium. Dapat dilakukan secara elektrik ataupun
farmakologis, namun farmakologis kurang efektif dibandingkan elektrik.
Perlunya pemberian antikoagulan untuk mencegah tromboemboli atau stoke.
2. Kardioversi Farmakologis
Paling efektif jika dilakukan dalam 7 hari setelah terjadi FA. Perlu
diperhatikan dalam pemilihan obat untuk terapi. Salah satu efek samping obat
antiaritmia adalah pro-aritmia, maka perlu diperhatikan obat sesuai kondisi
pasien.
3. Kardioversi Elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik tidak stabil akibat laju ventrikel yang cepat
disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop, perlu segera dilakukan kardioversi
elektrik dimulai dengan 200J, bila tidak berhasil dinaikkan 300J. Pasien
dipuasakan dan dilakukan anestesi jangka pendek.
4. Mempertahankan irama sinus
Bila telah terjadi konversi ke irama sinus maka hal ini perlu dipertahankan
dengan pengobatan profilaksis.
5. Pengontrolan laju irama ventrikel
Obat yang sering digunakan dalam mengontrol irama ventrikel adalan
digoksin, kalsium antagonis (verapamil, diltiazem), dan penyekat beta. Laju
irama yang dianggap terkontrol adalah 60-80 kali/menit saat istirahat dan 90-
115 kali/menit saat aktivitas.
6. Pencegahan Tromboemboli
Tromboemboli merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah kardioversi.
Pemberian antikoagulan seperti warfarin dan aspirin sebelum dilakukan
kardioversi sangat dianjurkan. 1,3
45

FA baru

Paroksismal Persisten Permanen

Tidak perlu terapi Antikoagulan dan


kecuali dengan gejala control laju jantung
hipertensi, angina, dll

Pertimbangkan obat
antiaritmia dan
kardioversi

Terapi antiaritmia
jangka panjang/tidak
diperlukan

Gambar. Algoritma Penatalaksanaan FA

Вам также может понравиться