Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
Arteri coronaria kanan dan kiri adalah arteri yang memperdarahi jantung.
Arteri coronaria kanan berasal dari sinus anterior aortae dan berjalan ke depan antara
truncus pulmonalis dan auricula kanan memberikan cabang-cabang ke atrium kanan
dan ventrikel kanan. Pada pinggir inferior jantung pembuluh ini melanjutkan diri ke
posterior sepanjang atrioventricularis untuk beranastomosis dengan a.coronaria kiri.
Ia mempercabangkan r.marginalis, yang memperdarahi ventrikel kanan, dan
r.interventricularis posterior, yang memperdarahi kedua ventrikel. Ramus
interventricularis posterior beranastomosis dengan r.interventricularis anterior yang
merupakan cabang a.coronaria kiri pada sulcus interventricularis posterior.3.4
13
14
3.2.1 Definisi
3.2.2 Epidemiologi
Penyakit jantung koroner yang bermanifestasi klinis akut sebagai SKA sampai
saat ini masih merupakan penyebab kematian utama di berbagai benua mulai dari
Amerika, Eropa dan Asia yang meliputi juga Indonesia.4.5,1
Jika dilihat dari angka kejadiannya, arteriosklerosis lebih banyak diderita oleh
kaum pria dibandingkan dengan wanita, karena diduga faktor hormonal seperti
estrogen melindungi wanita. Setelah menopause perbandingan wanita dengan pria
yang menderita penyakit arteriosklerosis adalah sama. Selain itu kebiasaan merokok
yang umumnya ditemukan pada pria dapat merangsang proses arteriosklerosis karena
efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksid (CO) dapat menyebabkan
hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat
menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedang
glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensititif dinding arteri.2,3,5
3.2.4 Patofisiologi
a. Ruptur Plak
Ruptur plak ateroslerotik merupakan salah satu penyebab terjadinya
SKA, yang diakibatkan oklusi subtotal atau total dari arteri koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik
terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi
plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari
timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang
16
paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak.5,7
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet
dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi STEMI, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
UAP. 5,7
A. Anamnesa
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA, sifat nyeri
dada pada angina sebagai berikut : 4,5
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
18
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal.
B. Pemeriksaan fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien
infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia
dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukan
hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). 2,4,5
Tanda fisis lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu
sampai 38 0C dapat dijjumpai dalam minggu pertama pasca STEMI. 4,5
C. Pemeriksaan Penunjang
EKG
a. STEMI
b. NSTEMI
c. UAP
LAB
a. STEMI
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
21
Creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
b. NSTEMI
c. UAP
3.2.6 Penatalaksanaan
A. Tatalaksana Awal
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.5
2. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark
atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.5
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark
inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga
harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor
sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi
nitrat.5
23
3. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4
mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi
vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan
efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. 5
4. Acetyl salicyc acid (ASA)
ASA merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 76-162 mg.5
Pasien STEMI dengan onset nyeri dada <12 jam dan dengan elevasi segmen
ST menetap atau diduga blok cabang berkas kiri baru harus menjalani reperfusi
mekanis Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau farmakologis. Reperfusi dini
akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan
dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure dan takiaritmia ventrikular yang maligna.
dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam
pertama IMA.
Pedoman NICE menyatakan bahwa semua pasien yang pernah MI akut harus
mendapat kombinasi aspirin, beta blocker, statin dan ACEi.11
1. Terapi Antiplatelet
Terapi platelet esensial untuk semua pasien kardiovaskular untuk
mengurangi risiko trombosis koroner. Aspirin 75 mg harus diberikan terus
selama hidup. Pasca PCI primer, terapi antiplatelet ganda dengan clopidogrel
diberikan minimum selama 2 bulan.
2. Beta Blocker
Beta blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil.
Studi ISIS-1 menunjukkan pemberian dini beta blocker bermanfaat
menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam setelah MI, dengan cara
menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi ukuran infark. Juga mengurangi
resiko pecahnya pembuluh darah jantung dengan menurunkan tekanan darah,
juga mengurangi resiko ventrikular dan aritmia supraventrikular yang
disebabkan aktivasi simpatetik. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien diberi
beta blocker kardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan
tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit.
25
Pasien harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen
ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan, yaitu:9
a. Terapi antiiskemia
b. Terapi antikoagulan
c. Terapi antiplatelet
d. Revaskularisasi koroner
26
a. Terapi Antiiskemia
Nitrat
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat
sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian NTG
intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10 ug/menit
tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <100
mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat oral atau
dapat menggantikan NTG intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-
24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil
atau obat sekelasnya dalam 24 jam sebelumnya.
Penyekat Beta
Penyekat Beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60
kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti
verapamil dan diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada
persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan penyekat beta dan
pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap
walaupun dengan pemberian NTG intavena, morfin sulfat dengan dosis 1-5
mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.
b. Terapi Antikoagulan
Tersedia beberapa antikoagulan antara lain: unfaractionated heparin (UFH),
low molecular weight heparin (LMWH), fondaparinux, dan bivalirudin.
Pilihan tergantung strategi awal (invasif segera, invasif dini atau konservatif).
Pada strategi infasif segera, UFH, enoksaparin atau bivalirudin harus segera
diberikan.
27
c. Terapi Antiplatelet
ASA
Peran penting ASA adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah
dibuktikan pada penelitian klinis multiple dan beberapa meta-analisis,
sehingga ASA menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan UAP/NSTEMI.6
ASA direkomendasikan pada semua pasien UAP/NSTEMI tanpa
kontraindikasi dengan dosis loading awal 160-325 mg (non-enteric) dan
dengan dosis pemeliharaan 75-100 mg jangka panjang.
Klopidogrel
d. Revaskularisasi Koroner
Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik, strategi invasif saat ini
direkomendasikan pada pasien UAP/NSTEMI dengan risiko tinggi/sedang.
Pasien ini sebaiknya mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin
enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel sebaiknya dimulai
segera, jika kateterisasi diundur >24-36 jam, dan angiogram awal
menyingkirkan indikasi untuk CABG segera.
28
3.3.1 Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium
sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke
nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan
terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler.
Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara
permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol.1,3
Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak
terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang
sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di
atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate
yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat. Ketika ini
terjadi, atrium dan ventrikel tidak bekerja sama sebagaimana mestinya. 1,3
Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama yang tidak teratur
dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bias normal/lambat/cepat). Kecepatan QRS
biasanya normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada
menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat
didefinisikan. 1,3
3.3.3 Etiologi
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya FA ada banyak hal. Faktor usia
berpengaruh terhadap atrial fibrilasi karena dengan bertambahnya umur maka
semakin tinggi resiko terjadinya atrial fibrilasi. Usia merupakan salah satu faktor
terkuat dalam kejadian atrial fibrilasi. Sebuah studi di Framingham menyebutkan
bahwa meningkatnya kejadian atrial fibrilasi pada beberapa kondisi yaitu usia di atas
50 tahun. 1,3
Selain itu, untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
atrial fibrilasi tersebut harus dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan
jantung maupun kelainan di luar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan
atrial fibrilasi dibagi berdasarkan: 1,3
Kelainan Jantung yang berhubungan dengan AF :
Penyakit Jantung Koroner
Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati Hipertrofik
Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik
Aritmia Jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick
sinus syndrome.
Perikarditis
Kelainan di luar Jantung yang berhubungan dengan AF : 1,3
Diabetes militus
Hipertiroidisme
Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer,
emboli paru akut.
Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada pasien
sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik.
3.3.4 Patofisiologi
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses
aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses
31
aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis
superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang
dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang
dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA). 1,3
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau
wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari
fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya
sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang
atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran
atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi
penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan
sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan
terjadinya atrial fibrilasi. 1,3
Gambar 3. A. Proses aktivasi fokal atrial fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelet
Reentry Atrial Fibrilasi
32
peningkatan faktor von Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen
protrombin 1,2. Sohaya melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit,
koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya AF. 1,3
3.3.5 Klasifikasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal
antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada
tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang
P. Beberapa keperpustakaan tertulis ada beberapa sistem klasifikasi atrial fibrilasi
yang telah dikemukanakan, seperti : 1,3
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali
permenit
AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60
kali permenit
Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali
permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat diklasifikasikan
menjadi :
AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark
miokard akut)
AF dengan hemodinamik stabil
3. Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi (AF)
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih
kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara
spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya
kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.
AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7
hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke
irama sinus.
34
AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari.
Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus
(resisten).
Pada manifestasi klinik, atrial fibrilasi dapat simptomatik dan dapat pula
asimptomatik. Gejala-gejala atrial fibrilasi sangat bervariasi tergantung dari
35
kecepatan laju irama ventrikel, lamanya atrial fibrilasi, dan penyakit yang
mendasarinya. Gejala-gejala yang dialami terutama saat beraktivitas, sesak nafas,
cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. Umumnya gejala dari atrial fibrilasi
lain adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan
ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga memberikan gejala
lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing,
kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Akan tetapi, lebih dari 90%
episode dari atrial fibrilasi tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut. 1,3
Tanda dan gejala lain pada atrial fibrilasi seperti palpitasi. Palpitasi
merupakan salah satu gejala yang sering muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi
akibat respon ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi dapat juga terjadi pada
pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi belum menjadi gejala yang spesifik
untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk menunjukkan adanya atrial
fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan keluhan kesulitan bernafas seperti sesak,
syncope, pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh
pasien dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat, sesak nafas dan
lemas. 1,3
Sering pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit kepala seperti
berputar-putar dan melayang tetapi tidak sampai pingsan. Serta nadi tidak teratur,
cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan
pingsan (syncope) ataupun dengan pusing yang tak terkendali. Kondisi ini akibat
menurunnya suplai darah ke sitemik dan ke otak.
Atrial fibrilasi dapat mencetuskan gejala iskemik dengan dasar penyakit
jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada atrial fibrilasi
akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan gagal jantung kongestif
pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. 1,3
Pasien dengan AF biasanya memiliki peningkatan resiko stroke yang
signifikan (hingga >7 kali populasi umum). Pada atrial fibrilasi, resiko stroke
meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di atrium
36
1. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode
FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang
mungkin dikeluhkan pasien antara lain: 1,3
Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang,
gemuruh guntur, atau kecipak ikan didalam dada.
Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
Presinkop atau sinkop
Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik.
Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus
berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien. Selain mencari gejala-gejala
tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai mengalami FA harus
meliputi pertanyaan-pertanyaan yang relevan, seperti: 1,3
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi
gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran
kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
• Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
• Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan
(dengan kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).
39
2. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway),
pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk
mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan
informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA. 1,3
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen
sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat
pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar
110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia
atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia. 1,3
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis
mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas
penyakit jantung koroner. 1,3
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin
mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK, asma)
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA.
Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit
jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya
bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan
tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya
40
hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba
dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA. 1,3
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri
atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer. 1,3
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi
perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau
curah jantung yang menurun. 1,3
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks dapat ditemukan
pada hipertiroidisme. 1,3
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/ penyakit yang
tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi menunjukkan
bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan
kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain: 1,3
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi
dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretic tersebut meningkat pada
41
4. Elektrokardiogram (EKG)
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya
mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas,
digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS
yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain: 1,3
• Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit.
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus
interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Blok berkas cabang
• Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari
pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.
5. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang dapat
ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru
(misalnya emboli paru, pneumonia). 1,3
42
7. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini.Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama
bermanfaat untuk : 1,3
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
• Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
• Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
• Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk : 1,3
• Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
• Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)
3.3.8 Tatalaksana
Baru-baru ini dikenalkan skor simtom yang disebut skor EHRA (European
Heart Rhythm Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang dapat
digunakan untuk menilai perkembangan gejala selama penanganan FA. Skor klinis
ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar disebabkan oleh FA, dan
diharapkan skor tersebut dapat berkurang seiring dengan konversi ke irama sinus atau
dengan kendali laju yang efektif. 1,3
Seorang ahli yang sedang menangani FA, tidak hanya harus melakukan
penilaian dan pengobatan awal yang tepat, tetapi juga harus merencanakan tindak
lanjut yang terstruktur.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA adalah1,3
Mengembalikan irama sinus
Mengontrol laju irama ventrikel
Pencegahan komplikasi tromboemboli
Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah pasien tersebut dapat
dilakukan konversi ke irama sinusatau cukup dengan pengontrolan laju irama
ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera
dilakukan konversi, sedangkan pada FA permanen sedikit kemungkinan kembali ke
iram asinus, alternative pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel
dipertimbangkan. 1,3
44
1. Kardioversi
Pengembalian irama sinus pada FA akan mengurangi gejala, memperbaiki
hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah tromboemboli,
dan memperbaiki atrium. Dapat dilakukan secara elektrik ataupun
farmakologis, namun farmakologis kurang efektif dibandingkan elektrik.
Perlunya pemberian antikoagulan untuk mencegah tromboemboli atau stoke.
2. Kardioversi Farmakologis
Paling efektif jika dilakukan dalam 7 hari setelah terjadi FA. Perlu
diperhatikan dalam pemilihan obat untuk terapi. Salah satu efek samping obat
antiaritmia adalah pro-aritmia, maka perlu diperhatikan obat sesuai kondisi
pasien.
3. Kardioversi Elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik tidak stabil akibat laju ventrikel yang cepat
disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop, perlu segera dilakukan kardioversi
elektrik dimulai dengan 200J, bila tidak berhasil dinaikkan 300J. Pasien
dipuasakan dan dilakukan anestesi jangka pendek.
4. Mempertahankan irama sinus
Bila telah terjadi konversi ke irama sinus maka hal ini perlu dipertahankan
dengan pengobatan profilaksis.
5. Pengontrolan laju irama ventrikel
Obat yang sering digunakan dalam mengontrol irama ventrikel adalan
digoksin, kalsium antagonis (verapamil, diltiazem), dan penyekat beta. Laju
irama yang dianggap terkontrol adalah 60-80 kali/menit saat istirahat dan 90-
115 kali/menit saat aktivitas.
6. Pencegahan Tromboemboli
Tromboemboli merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah kardioversi.
Pemberian antikoagulan seperti warfarin dan aspirin sebelum dilakukan
kardioversi sangat dianjurkan. 1,3
45
FA baru
Pertimbangkan obat
antiaritmia dan
kardioversi
Terapi antiaritmia
jangka panjang/tidak
diperlukan