Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
MKDU 2012
• Alifatin N. A. I1A012024
• M. Riduan I1AO12077
Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib merupakan bagian dari perintah
agama. Demikian juga meninggalkan makanan yang haram adalah kewajiban yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Kesadaran masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini tak perlu
dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi suatu pedoman hidup.
Sebagai konsumen produk pangan, sudah seharusnya umat Islam mendapatkan jaminan dari para
produsen atas kehalalan produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim.
Faktanya, Konsumen sulit untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram
ataukah tidak, kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga berwenang di
dalam atau di luar negeri.
Meski begitu, tidaklah berarti produk tak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram.
Selain produk pangan, ada produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi perhatian
masyarakat yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan dengan cara ditelan atau
diminum.
Hingga saat ini penulis belum pernah melihat obat resep dokter yang berlabel halal. Bagaimanapun
juga obat yang ditelan pada hakekatnya adalah makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh
para perintis ilmu kedokteran seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah
makanan dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal yang tidak
bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status kehalalan obat-obatan terutama yang ditelan
adalah wajib adanya bagi kaum muslim.
Sekarang ini untuk produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi kehalalannya sudah diatur
melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996. Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk
pangan diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya, komponen
campurannya maupun proses produksinya.
Namun, sayang sekali pada prakteknya sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada
tiap produsen, tetapi hanya bersifat sukarela bergantung kepada kemauan produsen apakah mau
ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat halal.
Dan yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal ini belum menyentuh kepada produk
obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat kita sampai saat ini masih sangat-sangat permisif
terhadap status halalnya obat-obatan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang
berasal dari barang yang haram, misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena adanya
pemahaman tentang Hukum Darurat yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat
itu ada batasannya.
Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan yang sangat
darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging babi yang bisa halal dimakan
bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat Al-Baqarah : 173).
Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini kesannya terlalu diperlebar dan
berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di
balik tameng darurat. Kalau kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-
Qur’an maupun Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan yang
sangat terpaksa saja.
Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai hewan, yaitu bilamana minimal dalam
sehari semalam (misalnya di tengah gurun pasir) tidak menemukan makanan apapun, kecuali hanya
bangkai binatang itu saja satu-satunya. Namun mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi
sekedar untuk bisa bertahan hidup. Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan semakin
majunya bidang farmasi, maka banyak sekali variasi dan jenis obat-obatan yang umumnya berasal
dari bahan yang tidak haram. Dengan demikian masyarakat ataupun para dokter mempunyai
banyak pilihan atau alternatif dalam menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk
diresepkan bagi pasiennya.
Sementara itu banyak pula obat suntik lainnya yang khasiat dan fungsinya sama untuk kecing manis,
tetapi tidak berasal dari porcine atau babi. Lantas apakah masih bisa diyakini bahwa obat yang
berasal dari babi itu masih halal digunakan dengan alasan darurat, padahal ada obat lainnya yang
halal ? Bila hukum darurat ini dipahami dengan sebenarnya, maka pasti tidak akan ada muslim yang
berani menghalalkan obat yang berasal dari babi ini, karena dasar untuk hukum daruratnya saat ini
tidak terpenuhi.
Hal ini mengingat masih banyak pilihan merk obat lainnya yang tidak mengandung unsur babi. Oleh
karena itu pemahaman yang berasumsi bahwa benda apapun akan halal dikonsumsi bila untuk obat,
haruslah segera ditinggalkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan Syariah. Selama ini umumnya
masyarakat tidak mengetahui dari apa saja dibuatnya bahan aktif suatu obat. Demikian juga pada
brosur obat-obatan yang ada, produsen obat biasanya tidak menjelaskan asal-usul bahan aktif dan
bahan penyerta pada produk obatnya secara lengkap. Para dokter pun mungkin belum tentu
semuanya mengetahui asal-usul dibuatnya bahan dasar semua obat-obatan.
Hal ini karena di dalam kurikulum pendidikan dokter, masalah asal-usul bahan dasar pada setiap
jenis obat ini tidak dibahas secara lengkap. Dalam materi kuliah tentang obat bagi mahasiswa
kedokteran memang lebih ditekankan kepada mempelajari masalah mekanisme kerja obat di dalam
tubuh, termasuk dalam hal khasiat obat, reaksi kimia, dosis, efek samping dll. Sedangkan masalah
teknologi bahan obat maupun teknis pembuatan obat tidak dipelajari lebih jauh, karena masalah ini
adalah bidangnya kalangan farmasi. Oleh karena itu para ahli farmasi muslim perlu sekali
menjelaskan, bahan aktif obat apa saja yang berasal dari bahan-hahan yang haram, agar umat Islam
mudah untuk menghindarinya. Hal ini mengingat bahwa obat-obatan itu umumnya adalah produk
impor dari luar negeri, yang diciptakan atau diformulasikan oleh ilmuwan yang belum tentu
mengenal masalah halal dan haram.
2. Alkohol (Etanol)
Bahan obat lainnya yang mungkin masih dianggap darurat adalah alkohol (etanol) yang biasa
dipakai sebagai pelarut pada obat-obatan sirup jenis tertentu. Masalah alkohol ini memang ada
perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin tentang status halal dan haramnya di dalam obat,
terutama dalam penggunaan untuk campuran obat-obat sirup. Namun, perlu juga kita ketahui, hasil
rapat Komisi Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang
mengandung alkohol minimal 1 % (satu persen).
Menurut analisis para pakar, memang minuman beralkohol (etanol) di atas 1% akan berpotensi
memabukkan. Hal ini merujuk pada keterangan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim dan Ahmad.
Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang meminum air jus buah-buahan
yang sudah didiamkan lebih dari 2 (dua) hari karena bisa memabukkan (khamar). Menurut pakar
teknologi pangan, memang air jus buah yang didiamkan lebih dari 2 hari di dalam suhu kamar akan
menghasilkan alkohol (etanol) dengan kadar sekitar 1 %.
Dengan adanya patokan 1 % ini, maka akan mudahlah bagi kita untuk memilih dan menentukan
apakah suatu produk obat sirup itu dikatagorikan sebagai minuman keras atau bukan. Pembatasan
kadar alkohol ini sangat perlu dan dimaksudkan untuk mencegah, karena prinsip Islam itu adalah
mencegah ke arah yang haram.
Pada acara muzakarah tentang alkohol dalam minuman yang diselenggrakan MUI pada tahun 1993,
dr Kartono Muhammad MPH, selaku ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu,
mengatakan bahwa fungsi alkohol dalam obat yang diminum sudah dapat digantikan dengan bahan
lain sehingga disarankan untuk mencari alternatif pengganti alkohol dengan jenis pelarut lainnya
yang lebih aman secara Syariah.
Kenyataan yang ada di masyarakat sekarang ini tidak sedikit obat-obatan sirup tertentu yang
mengandung kadar alkohol yang lebih dari batas 1 %, baik obat resep dokter maupun obat yang
dijual bebas. Akan tetapi ternyata merk obat sirup yang tanpa alkohol ataupun yang alkoholnya
kurang dari 1%, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada obat sirup yang berkadar alkohol lebih dari
1%. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan darurat untuk menghalalkan obat sirup yang kadar
alkoholnya lebih dari 1 %, karena masih banyak pilihan obat lainnya baik yang berbentuk sirup
maupun pil atau serbuk puyer yang memang tanpa alkohol.
Bila alkohol atau etanol ini berada pada campuran obat-obatan antiseptik untuk pemakaian pada
tubuh bagian luar atau permukaan kulit, dan bukan untuk diminum, tentunya masih bisa
dimaklumi. Meskipun larutan antiseptik kulit umumnya berkadar alkohol 70 %, hal ini tidak perlu
untuk dipermasalahkan, karena obat luar ini tidak untuk diminum. Bila melihat dalilnya di
dalam Alquran maupun hadis bahwa khamar (minuman keras) itu hanyalah haram
untuk diminum. Tetapi, bila minuman keras ini hanya disentuh atau dioleskan ke
permukaan kulit maka tidak akan menjadikannya haram. Mungkin untuk masalah ini
masih terdapat perbedaan pendapat di antara kaum muslimin.
Oleh karena itu walaupun larutan antiseptik ini kadar alkoholnya hingga 70 %
dan sangat berpotensi memabukkan atau bahkan bisa mematikan bila
diminum, tapi tidaklah terlarang untuk dioleskan ke kulit yang luka. Jatuhnya
hukum haram itu apabila larutan memabukkan ini diminum, dan bukannya
dioleskan ke kulit. Dengan demikian, penggunaan alkohol yang berkadar lebih
dari 1 % untuk penggunaan antiseptik di permukaan kulit yang terinfeksi atau
luka, masih bisa diterima oleh dalil Syariah.
Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Thariq bin
Suaid Al Ju’fie, bahwasanya Suaid menanyakan kepada Rasulullah SAW
mengenai khamar, lalu Rasulullah SAW melarangnya. Kemudian ia
menjelaskan kepada Rasulullah bahwa minuman keras ini dibuatnya untuk
pengobatan, lalu beliau bersabda : ”Sesungguhnya khamar itu bukan obat,
tapi justru penyakit.”
Dalam hal obat yang berpotensi memabukkan, barangkali hanya obat bius
(anestesi) saja yang bisa dikatagorikan darurat. Bagaimanapun juga,
sesungguhnya orang yang dibius di kamar operasi bedah itu, pada dasarnya
adalah orang yang sengaja dibuat mabuk hingga tak sadarkan diri, hanya saja
mabuknya terkendali.
Namun status darurat bagi obat bius pun ada batasannya. Tentu saja
batasannya adalah: siapa yang memakainya dan untuk apa tujuannya.
Dengan demikian status darurat obat bius ini hanyalah berlaku bila digunakan
oleh ahlinya untuk tujuan pengobatan yang rasional, dan bukan untuk drug
abuse atau penyalahgunaan obat, seperti untuk teler atau mabuk-mabukan.
Oleh karena itu hukum darurat obat bius ini akan berlaku bila pemakaiannya
bukan untuk perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah SWT.
Plasenta atau ari-ari ini memang selalu ditemukan pada semua makhluk hidup
jenis mamalia yang sedang hamil, dan akan lepas dibuang dari rahim ketika
melahirkan setelah keluarnya bayi. Adapun plasenta yang sering digunakan
untuk kosmetika atau produk kesehatan tersebut, bisa berasal dari plasenta
hewan atau dari plasenta manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa sekarang ini pada layar televisi sering dijumpai
iklan produk kecantikan atau produk untuk kesehatan yang tanpa kita sadari
menggunakan plasenta sebagai salah satu bahan aktifnya. Plasenta dalam
bentuk krim yang dioleskan ke permukaan kulit maupun dalam bentuk pil
yang ditelan, diyakini dapat berfungsi untuk regenerasi sel-sel kulit sehingga
dapat mempertahankan kulit agar tetap sehat, segar, muda dan cantik. Tidak
hanya itu, plasenta juga diyakini mampu mengembalikan kemulusan kulit
akibat luka atau penyakit kulit. Tetapi dari manakah plasenta ini berasal?
Menurut ahli farmasi, yang paling banyak digunakan oleh industri obat-
obatan di luar negeri, justru adalah plasenta manusia yang diperoleh dari
berbagai rumah sakit bersalin di sana. Kalaupun plasentanya berasal dari
hewan, tentunya konsumen pun tidak akan tahu hewan apa yang diambil
plasentanya, apakah babi, sapi ataukah apa? Dalam ingredien atau daftar
komposisi pada kemasan produk obat berplasenta ini memang biasanya tidak
disebutkan asal-usul plasentanya.
Namun, apa pun khasiat yang bisa ditemukan di dalam air kencing ini, bagi
umat Islam tak ada alasan darurat untuk meminumnya selama masih ada obat
lainnya yang bisa digunakan. Apalagi kalau meminum air seni dari tubuhnya
sendiri ini hanya sekedar untuk mencoba-coba saja, maka harus dihindarkan
oleh kaum muslim. Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama
menyoroti masalah pengobatan tradisional dengan air seni maupun tentang
penggunaan plasenta manusia pada obat dan kosmetika. Untuk memberikan
kejelasan kepada masyarakat luas dan menghindari kesalah pahaman, secara
khusus MUI dalam Munas tahun 2000 yang lalu telah membahas masalah
plasenta manusia dan terapi urine ini.
Dalam Keputusan Fatwa MUI nomor: 2/Munas /VI/ MUI/ 2000 ditetapkan bahwa
:
Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan
satu orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah
adalah ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan
dari minimal 3 orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien
akan berisiko meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya
atau obat berplasenta, sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa
digunakan, maka status air kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi
orang tersebut pada saat itu.
Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat
kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah
secara hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat
ini untuk berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan
mengandung plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-
bahan yang tertulis di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah
kewaspadaan agar tidak terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi.
Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang
ini di pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan
aktifnya terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang
atau pelancar air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk
menstimulasi aktifitas kelenjar air susu ibu, agar setelah melahirkan produksi
ASI-nya meningkat. Namun perlu juga diketahui bahwa masih ada obat jenis
lain yang khasiatnya serupa tapi tidak mengandung plasenta manusia.
Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu
banyak sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali
alternatif yang bisa dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam
menuliskan resepnya. Oleh karena itu sekarang ini tidak ada alasan darurat
bagi umat Islam untuk meminum air kencingnya sendiri maupun
menggunakan bahan yang mengandung plasenta manusia dengan dalih untuk
pengobatan.
Terlebih lagi karena obat-obatan itu umumnya adalah produk dari luar negeri
yang belum dijaminan kehalalannya, maka perlu sekali adanya perlindungan
bagi kalangan konsumen umat Islam agar tidak terjebak mengkonsumsi
produk yang haram. Kalaulah produk makanan dan minuman bisa diberikan
label halal, mengapa produk obat-obatan yang diminum atau ditelan tidak
diberi sertifikat halal? Padahal pada hakekatnya obat itu adalah makanan dan
makanan pun adalah obat. Obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa
dipisah-pisahkan.
Oleh karena itu kepastian dan jaminan halalnya produk pangan khususnya
obat-obatan di Indonesia yang mayoritas muslim ini, sudah selayaknya
diprioritaskan oleh produsen dan diatur oleh pemerintah. Penulis sebagai
muslim sekaligus sebagai tenaga medis, secara pribadi sangat mengharapkan
sekali dan menantikan hadirnya obat-obatan yang bersertifikat halal atau ada
jaminan kehalalannya. Bila hal ini terealisasi maka tidak akan ada lagi
keraguan ketika menuliskan resep obat apapun. Semoga saja sertifikasi halal
bagi obat-obatan, khususnya jenis obat yang diminum atau ditelan, baik obat
resep dokter maupun obat bebas, akan menjadi kenyataan di kelak kemudian
hari. Rasulullah Saw bersabda : “Setiap daging (jaringan tubuh) yang tumbuh
dari makanan haram, maka api nerakalah baginya.” (HR At-Tirmidzi)
Dalam dunia kedokteran, organ babi merupakan bahan yang paling sering dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, misalnya untuk keperluan transplantasi. Mengapa harus babi? Ternyata
hewan yang haram dan najis ini paling memiliki kemiripan dengan organ manusia. Struktur DNA
nya pun memiliki kemiripan dengan struktur DNA manusia. Dengan demikian organ babi dan
bagian-bagian tubuhnya paling kompatibel dengan tubuh manusia.
Pada kenyataannya tidak hanya benang jahit yang diambil dari tubuh babi, melainkan juga
bagian-bagian yang lain, seperti enzim, hormon, protein dan serum. Enzim babi sering
dimanfaatkan dalam pembuatan vaksin dan bahan aktif obat. Sementara yang sudah banyak
diketahui dunia medis, insulin yang merupakan kebutuhan mendesak bagi para penderita
diabetes, hampir semuanya berasal dari insulin babi. Sekali lagi, karena insulin babi lah yang
paling cocok dan tidak menimbulkan penolakan dari tubuh manusia.
Alternatif lain yang juga sudah diaplikasikan adalah organ yang terbuat dari metal atau sintetis.
Pada kasus katup paru-paru dan jantung saat ini sudah ditemukan organ buatan yang terbuat dari
metal. Namun sebenarnya dari segi resiko penggunaan bahan metal ini akan menimbulkan
penolakan dari dalam tubuh pasien karena dianggap sebagai benda asing.
Dari kasus-kasus yang sudah diungkapkan di atas memang terlihat aspek daruratnya. Kalau
sampai saat ini belum ada alternatif yang lebih baik atau minimal sama dengan penggunaan
organ babi, mungkin hal itu masih bisa ditoleransi. Bagaimanapun dalam hal demikian resiko
jika tidak menggunakan organ babi bisa saja berakibat fatal hingga meninggal dunia. Oleh
karena itu penggunaan barang haram dan najis tersebut dianggap dalam kondisi darurat yang
dengan terpaksa membolehkan penggunaan bahan haram.
Pada kasus-kasus yang lain, aspek darurat ini masih perlu dipertanyakan lebih lanjut. Seperti
pada penggunaan cangkang kapsul yang berasal dari gelatin babi. Untuk obat-obatan tertentu
yang sangat mendesak dan harus dibungkus dengan cangkang kapsul babi tersebut, mungkin
masih bisa dimaklumi. Tetapi untuk aplikasi yang tidak mendesak atau kurang terlalu penting
bagi seorang konsumen, apakah penggunaan gelatin babi tersebut masih bisa ditoleransi?
Saat ini selain obat-obatan, banyak pula multi vitamin dan suplemen makanan yang juga
dibungkus dengan cangkang kapsul. Vitamin dan suplemen makanan ini memang dibutuhkan
oleh kalangan tertentu, tetapi tidak terlalu mendesak. Apalagi untuk sekedar menjaga stamina,
meningkatkan vitalitas dan untuk menjaga kesegaran kulit. Misalnya saja vitamin E yang
dibungkus dengan kapsul lunak (soft capsule) yang peluang menggunakan gelatin babinya cukup
tinggi. Nah, apakah dengan demikian penggunaan gelatin babi ini termasuk dalam kategori
darurat?
Selain itu proses pembuatan berbagai jenis vaksin juga memungkinkan penggunaan enzim atau
media dari babi atau hewan lainnya (kera). Majelis Ulama Indonesia memang pernah
mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin tersebut, mengingat mudhorot yang lebih besar jika
vaksinasi dihentikan sama sekali. Hal ini dilakukan dengan catatan bahwa beberapa produsen
vaksin tersebut akan melakukan riset guna menghasilkan vaksin yang berasal dari bahan-bahan
halal. Dengan demikian penggunaan alternatif bahan halal untuk kasus tertentu, misalnya vaksin,
sebenarnya masih terbuka lebar. Tinggal bagaimana para peneliti dan produsen obat ini mampu
menggunakan segenap kemampuannya untuk melakukan riset guna menghasilkan obat dan
vaksin halal.
Untuk menjawab tantangan tersebut dan memberikan alternatif obat-obatan halal, memang perlu
definisi yang lebih jelas mengenai darurat ini. Peran Ulama sangat dibutuhkan dalam
memberikan acuan, sehingga para praktisi dan produsen obat bisa menggunakannya secara tepat.
Selain itu perlu kajian yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten untuk menggali
alternatif-alternatif obat halal yang tidak berasal dari babi atau bahan-bahan haram lainnya.
SUMBER http://tamanfirdaus.multiply.com/reviews/item/22