Вы находитесь на странице: 1из 8

PAPER

Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Bayi


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Basic Life Support
Dosen Pembimbing : Ns. Ahmat Pujianto, S.Kep.,M.Kep
Disusun oleh :
Firda Sefy Fardila (22020116120005)
Alya Nuur Taufiana (22020116120008)
Khosidah (22020116120024)
Kurnati Dwi Setyaningsih (22020116120025)
Khoirul Bariyah (22020116120047)
Gita Rahayu Rachmawati (22020116120048)
Nabella Khairinnissa (22020116130081)
Tika Rahmawati (22020116130082)
Prakash Ramadhan (22020116130106)
Annisa Maarifatul Isna (22020116130114)
Nisa Dieni Utami (22020116140101)
Nur Chamidah (22020116140108)

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
Resusitasi Jantung Paru pada Bayi

A.Definisi

Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan


kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya
fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).
Sedangkan menurut Rilantono, dkk (1999) resusitasi mengandung arti harfiah
“menghidupkan kembali”, yaitu dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Resusitasi jantung paru terdiri atas dua komponen utama yakni: bantuan hidup
dasar (BHD) dan bantuan hidup lanjut (BHL). Selanjutnya adalah perawatan
pasca resusitasi.

Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan
nafas (Airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi darah. Usaha ini
harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti
nafas dan segera memberikan bantuan ventilasi dan sirkulasi. Usaha BHD ini
bertujuan dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan
alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (bantuan hidup
lanjut).

Resusitasi dilakukan pada keadaan henti nafas, misalnya pada korban


tenggelam, stroke, obstruksi benda asing di jalan nafas, inhalasi gas, keracunan
obat, tersedak, tersengat listrik, koma dan lain-lain. Sedangkan henti jantung
terjadi karena fibrilasi ventrikel, takhikardi ventrikel, asistol dan disosiasi
elektromekanikal.

B. Tujuan

Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan


segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997).
Tindakan resusitasi ini dimulai dengan penilaian secara tepat keadaan dan
kesadaran penderita kemudian dilanjutkan dengan pemberian bantuan hidup
dasar (basic life support) yang bertujuan untuk oksigenasi darurat. (AHA, 2003).

Tujuan tahap II (advance life support) adalah untuk memulai kembali


sirkulasi yang spontan, sedangkan tujuan tahap III (prolonged life support) adalah
pengelolaan intensif pasca resusitasi. Hasil akhir dari tindakan resusitasi akan
sangat tergantung pada kecepatan dan ketepatan penolong pada tahap I dalam
memberikan bantuan hidup dasar.

Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara


manual dari kekurangan oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan
darah hitam daripada tidak sama sekali. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi
yang adekwat sangat diperlukan dengan segera karena sel-sel otak menjadi
lumpuh apabila oksigen ke otak terhenti selama 8 – 20 detik dan akan mati apabila
oksigen terhenti selama 3 – 5 menit (Tjokronegoro, 1998). Kerusakan sel-sel otak
akan menimbulkan dampak negatif berupa kecacatan atau bahkan kematian.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Resusitasi

Hipoksia yang disebabkan kegawatan pernafasan akan mengaktifkan


metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama,
metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya
keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan
otak dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997). Selanjutnya dapat terjadi depresi
pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang bahkan dapat
menyebabkan kematian.

Depresi nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang


hanya dapat diatasi dengan pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase
jantung eksternal dan koreksi keadaan asidosis. Hanya setelah oksigenasi dan
perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas respirasi dimulai (Yu dan Monintja,
1997). Pendapat tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan
segera. Makin lambat dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan
makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan makin tinggi pula resiko kematian
dan kecacatan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nelson (1999) yang
menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana penderita dengan henti nafas
menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata laksana karena peningkatan
hasil akhir pasca henti pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya
resusitasi jantung paru.

Resusitasi akan berhasil apabila dilakukan segera setelah kejadian henti


jantung atau henti nafas pada saat kerusakan otak yang
menetap (irreversible) belum terjadi. Kerusakan otak yang menetap akan terjadi
apabila kekurangan O2 dalam darah tidak segera dikoreksi atau apabila sirkulasi
terhenti lebih dari 3 – 5 menit (Tjokronegoro, 1998).

Keberhasilan resusitasi tergantung kepada :

1. Keadaan miokardium.
2. Penyebab terjadinya henti jantung.
3. Kecepatan dan ketepatan tindakan.
4. Mempertahankan penderita di perjalanan ke rumah sakit.
5. Perawatan khusus di rumah sakit.
6. Umur (tetapi tidak terlalu menentukan).

D. Tatalaksana Tindakan Resusitasi

1. Penilaian Bayi

Penilaian kegawatan pada bayi dan anak yang mengalami kegawatan


tidak lebih dari 30 detik yang meliputi:

a) Airway
Apakah ada obstruksi yang menghalangi jalan nafas, apakah
memerlukan alat bantu jalan nafas, apakah ada cedera pada leher.
b) Breathing
Frekuensi nafas, gerak nafas, aliran udara pernafasan, warna
kulit/mukosa.
c) Circulation
Frekuensi, tekanan darah, denyut sentral, perfusi kulit (capillary
refilling time, suhu, mottling), perfusi serebral, reaksi kesadaran (tonus
otot, mengenal, ukuran pupil, postur).

2. Posisi Bayi

Untuk dapat dilakukan resusitasi jantung paru, penderita harus dibuat


dalam posisi terlentang dan diusahakan satu level atau datar. Posisi untuk
bayi baru lahir (neonatus) leher sedikit ekstensi, atau dengan meletakkan
handuk atau selimut di bawah bahu bayi sehingga bahu terangkat 2-3 cm.

3. Posisi Penolong

Penolong sebaiknya berdiri disamping penderita dalam posisi dimana


ia dapat melakukan gerakan bantuan nafas dan bantuan sirkulasi tanpa
harus merubah posisi tubuh.

E. Teknik Resusitasi

1. Airway : membuka jalan nafas

a) Tentukan derajat kesadaran dan kesulitan nafas.


b) Buka jalan nafas dengan cara tengadahkan kepala dan topang dagu
(head tilt and chin lift) bila tidak terdapat cedera kepala atau leher
dengan cara satu tangan pada dahi, tekan ke belakang. Jari tangan lain
pada rahang bawah, dorong keluar dan ke atas. Gerakan ini akan
mengangkat pangkal lidah ke atas sehingga jalan nafas terbuka. Lidah
yang jatuh ke belakang sering menjadi penyebab obstruksi jalan nafas
pada penderita yang tidak sadar.
c) Gerakan mendorong rahang ke bawah ke depan (jaw thrust) juga
dapat membuka jalan nafas bila diketahui terdapat cedera leher atau
kepala.
d) Membersihkan benda asing dapat dilakukan dengan :
 Finger sweep: yaitu dengan menggunakan jari telunjuk dan jari
tengah penolong untuk membebaskan sumbatan jalan nafas yang
diakibatkan oleh sisa makanan.
 Heimlich maneuver.
 Abdominal/chest thrust.

e) Suction (pengisapan): yaitu membersihkan jalan nafas dilakukan


pengisapan lendir/cairan dengan menggunakan suction. Pada bayi
dimulai dengan mengisap mulut terlebih dahulu kemudian bagian
hidung supaya tidak terjadi aspirasi dan dilakukan tidak lebih dari 5
detik.
f) Setelah jalan nafas terbuka harus dinilai/evakuasi pernafasan dengan
melihat, mendengar dan merasakan adanya hembusan nafas.

2. Breathing

a) Dekatkan pipi penolong pada hidung dan mulut penderita, lihat dada
penderita.
b) Lihat, dengar dan rasakan pernafasan ( 5 – 10 detik).
c) Jika tidak ada nafas lakukan bantuan nafas buatan/Ventilasi Tekanan
Positif (VTP) .
d) Pada anak > 1 tahun pasang sungkup yang menutupi mulut, sedangkan
hidung dapat dijepit dengan jari telunjuk dan ibu jari penolong.
e) Lakukan tiupan nafas dengan mulut atau balon resusitasi. Berikan
nafas buatan untuk neonatus 30-60 kali/menit, dan 20 kali untuk bayi
dan anak yang kurang dari 8 tahun.
f) Evaluasi pemberian nafas buatan dengan cara mengamati gerakan
turun naik dada. Bila dada naik maka kemungkinan tekanan adekwat.
Bila dada tidak naik cek kembali posisi anak, perlekatan sungkup,
tekanan yang diberikan, periksa jalan nafas apakah ada mucus atau
tidak bila ada dapat dilakukan penghisapan dengan suction.
g) Setelah dilakukan ventilasi selama satu menit, evaluasi apakah bayi
atau anak dapat bernafas secara spontan, Lakukan penilaian pulsasi
tidak boleh lebih dari 10 detik. Jika pulsasi ada dan penderita tidak
bernafas, maka hanya dilakukan bantuan nafas sampai penderita
bernafas spontan.

3. Circulation

a) Jika pulsasi tidak ada atau terjadi bradikardi maka harus dilakukan
kompresi dada sehingga memberikan bantuan sirkulasi disertai bantuan
nafas secara ritmik dan terkoordinasi. Pada neonatus pemberian kompresi
jantung diberikan bila didapat pulsasi bayi.
b) Posisi tempat kompresi :
 Pada neonatus: 1 jari dibawah linea interpapilaris.
 Pada bayi: Sternum bagian bawah.
 Pada anak: 2 jari diatas prosesus xipoideus.
c) Tangan yang melakukan kompresi :
 Neonatus : menggunakan 2 jari tangan atau 2 ibu jari.
 Bayi : dengan menggunakan 2 jari.
Daftar Pustaka

Hudak,CM dan Gallo, BM. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan


Holistik. Alih Bahasa Monika E. dkk.Edisi VI, Volume I . Jakarta : EGC

Jumiarni dkk. 1995. Asuhan Keperawatan Perinatal. Jakarta : EGC

Markum, AH. 1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI

Nelson, B. 2000. Ilmu Kesehatan Anak vol 2 edisi 15. Jakarta : EGC

Ngastiyah. 1997.Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Rilantono, L I. dkk. 1999. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.

Saifuddin, A B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal


Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1


Jakarta : CV Sagung Seto

Surasmi, A. dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Tjokronegoro, A dkk. 1998. Panduan Gawat Darurat, Jilid I Jakarta : Balai


Penerbit FKUI.

Yu Vy and Monintja, HE. 1997. Beberapa Masalah Perawatan Intesif


Neonatus. Jakarta : FKUI

Yunanto, dkk. 2003. Laporan Penelitian : Pengaruh BBLR Untuk Terjadinya


Asfiksia Neonatorum di RSU Ulin Banjarmasin 2002-2003. Banjar Baru
: FKU Lambung Mangkurat/ Perinasia Cabang Kalsel.

Вам также может понравиться