Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
0
umum laki-laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk esophagitis
adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk Barrett esofagus adalah 10:1.
Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini,
namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFENISI
adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme
antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan
kadar yang abnormal dan paparan yang berulang. bila terjadi refluks yang berulang-
ulang sehingga menyebabkan esophagus bagian distal terkena pengaruh isi lambung
untuk waktu yang lama. Kerusakan esophagus tersebut dikarenakan refluks cairan
2.2 EPIDEMIOLOGI
seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan.
non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di korea). Prevalensi
GERD meningkat pada orang tua ≥ 40 tahun. GERD terjadi pada sebagian umum laki-
laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk esophagitis adalah 2:1
- 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk Barrett esofagus adalah 10:1Di
2
Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Divisi
Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani
sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak –dalam waktu
yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa, 2). terjadi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus tidak lama. Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan
tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES).Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau retrograd yang terjadi
pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LES hanya
terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 rnmHg).
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah
3
antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan
ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif
Pemisah Antirefluks
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intrabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). Adanya hiatus hernia, 2). panjang
LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti
antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal.
pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam
terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi
LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses
menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa
Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia,
namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus
4
hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan
refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit
esofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik
kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus
tidak aktif.
5
Ketahanan Epitelial Esofagus
terdiri dari:
Membran sel
esofagus.
Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak adalah potensi daya
rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin
atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak
6
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara
infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian
H.pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya
terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung
kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala
H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien
yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant
gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta
memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi H.
keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien
asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H.
pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta
7
eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPl jangka
panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid
reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud
dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau
refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas viseral.
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa
menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian
derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan
endoskopik. Kadang- kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan
keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan
padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett' es
esofagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan Pada waktu menelan
makanan) dapat timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik
dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
8
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
high pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan toms LES
(misalnya theofilin).
akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien
2.5 DIAGNOSIS
makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain
yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas
bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan
9
keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang
lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinging dan lipatan mukosa, atau
10
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari
1). stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia,
2) hiatus hernia
3. Pemantauan pH 24 jam.
4. Tes Bernstein.
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari
sam jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien
dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti
yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri, maka
test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya
11
5. Manometri Esofagus.
Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien
dengan gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi
6. Sintigrafi Gastroesofageal.
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat
transit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini
masih diragukan.
7. Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Test/ Tes supresi
Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari
GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu sambil melihat
respons terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik
seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat
perbaikan dari 50%-75% gejala yang teriadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test
merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD
pada pelayanan kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan
gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun, anemia,
12
2.6 KOMPLIKASI
2.6.1 Esofagitis
merespon hal tersebut sehingga terjadilah suatu proses inflamasi. Terjadinya suatu
respon inflamasi ini bertujuan untuk menetralisir agen yang telah rusak dan memulai
tersebut cukup dalam, lama kelamaan akan terbentuk suatu tukak/ulkus dimana ulkus
tersebut sangat rapuh. Ulkus yang meradang tersebut lama-kelamaan akan mengikis
mukosa hingga sampai ke pembuluh darah esofagus (esofagitis erosive) sehingga pada
2.6.2 Striktur
telah pulih namun membentuk suatu jaringan fibrosis. Selanjutnya jaringan fibrosis
tersebut lama kelamaan akan menyusut dan menyempit sehingga lumen esofagus pun
ikut menyempit. Penyempitan ini disebut dengan striktur. Apabila penyempitan ini
semakin parah, hal ini dapat menyebabkan makanan yang masuk ke dalam esofagus
tidak dapat sampai ke lambung karena adanya obstruksi yang disebabkan oleh
metaplasia dari sel epitel squamous berubah menjadi esofagus columnar. Barret
13
merupakan factor resiko terjadinya adenoca esofagus. Perubahan epitel dari squamous
menjadi columnar pada esofagus terjadi pada saat proses penyembuhan dari esofagitis
erosive namun selama dalam masa proses pemulihan tersebut, refluks asam lambung
terhadap asam lambung tersebut maka sel epitel squamous esofagus tersebut lama
yang sering diakibatkan oleh muntah, ketika tear mengganggu submukosa arteriola,
dan perdarahan aktif tear dapat diobati dengan menggunakan endoskopi yaitu injeksi
epinefrin, koagulan, hemoclips atau ligasi band. Berbeda dengan peptic ulcers,
Mallory-weiss tear non bleeding dengan sentinel clot pada alasnya jarang rebleeds dan
lambung.
dan adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding pada
kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam kerongkongan dan
14
bisa terlihat sebagai penyempitan pada kerongkongan (penyempitan), sebuah
pembengkakan, daerah flat yang tidak normal (plaque), atau jaringan yang tidak
normal (fistula).
4. Ulkus Peptikum, luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan
lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah termakan oleh asam
disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan trauma.
2.7 PENATALAKSANAAN
15
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang
dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai
berikut:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan umuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta
16
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini
GERD merupakan atau ten-masuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cema
bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi
supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki
gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong
kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H) atau golongan
prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat
dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton IPPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata
lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia
Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini
pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step
down.
atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
17
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on demand
therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika
adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya
lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana
GERD.
Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD :
1. Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD
tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadan HCl, obat ini
dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat
ini adalah 1). Rasanya kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama
alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.
2. Antagonis Reseptor H2
18
Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk
terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
Dosis pemberian:
Ranitidin : 4 x 150 mg
Famotidin : 2 x 20 mg
Nizatidin : 2 x 150 mg
3. Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit
ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namur pada prakteknya,
rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di
pompa proton.. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap
susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia. Dosis:
3 x 10 mg
Domperidon : Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek
samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah
19
otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esofageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan
Cisapride : Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
domperidon.
Dosis 3 x 10 mg sehari
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek
langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena
Dosis: 4 x 1 gram
obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H,K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembertukan asam
20
penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat serta yang
Omeprazole : 2 x 20 mg
Lansoprazole :2x30mg
Pantoprazole :2x40mg
Rabeprazole :2x 10 mg
Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial yang dapat
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini
Omeprazole 1 x 20 mg
Lansoprazole 1 x 30 mg
Pantoprazole 1 x 40 mg
Rabeprazole 1 x 10 mg
Esomeprazole 1 x 40 mg
demand therapy.
21
Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pelayanan
Antasid +1 0 0 0
Prokinetik +2 +1 0 +1
Antagonis +2 +2 +1 +1
reseptor H2
Antagonis reseptor +3 +3 +1 +1
H2 + prokinetik
Antagonis reseptor +3 +3 +2 +2
H2 dosis
Penghambat pompa +4 +4 +3 +4
proton
Pembedahan +4 +4 +3 +4
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktur dan perdarahan Sebagai
dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus, dapat
terjadi perubahan mukosa esofagus dari skuamous menjadi epitel kolumnar yang
metaplastik. Keadaan ini disebut sebagai esofagus Barrett (Barrett's esophagus) dan
merupakan suatu keadaan premaligna. Risiko terjadinya karsinoma pada Barrett '
22
a. Striktur Esofagus
Jika pasien mengeluh disfagia dengan diameter striktur kurang dari 13 mm,
dapat dilakukan dilatasi busi (Hurst bougie, Maloney bougie. Savarry bougie,
b. Barrett Esofagus
Esofagus Barrett dapat diobati secara medikamentosa. Berikut ini adalah algoritme
a. Terapi Bedah
1). Diagnosis tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala-gejala lain seperti
rasa kembung, cepat kenyang dan mual-mual yang lebih lama untuk menyembuhkan
memberikan respons terhadap terapi PPI. Begitu pula halnya dengan adenokarsinoma;
5). Terjadi striktur; 6). Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES.
Terapi bedah merupakan terapi altematif yang penting jika terapi medikamentosa
gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang
b. Terapi Endoskopi
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi ada pasien GERD, yaitu:
23
implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implant
2.5 PROGNOSIS
diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika
adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya
lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana
GERD.
BAB III
24
LAPORAN KASUS
3.1 ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama : Ny. J
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Keluhan utama
25
Muntah kecoklatan.
Muntah kecoklatan, keadaan ini dialami sejak 3 hari SMRS, muntah kecoklatan
bercampur makanan, tidak ada darah, muntah sebanyak 5x/hr, banyaknya sekitar 1
gelas aqua/ kali. Muntah ini disertai rasa mual, hingga pasien tidak memiliki nafsu
makan. Pasien sudah mengeluhkan adanya keluhan sering muntah ini sejak 8 bulan
yang lalu, keluhan muntah kecoklatan ini disertai rasa terbakar di dada yang tidak
disertai penjalaran baik ke lengan maupun ke punggung. Pasien juga merasakan rasa
pahit di mulut. Tidak ada nyeri maupun kesulitan menelan. Pasien mengeluhkan sering
kadang pasien terbangun dan sulit tidur, Pasien juga mengeluhkan sering bersendawa
dan perutnya terasa kembung serta cepat terasa kenyang ketika makan
pasien tidak mengeluhkan adanya batuk dan demam. BAB pasien normal dan
BAK normal tidak ada keluhan BAK keruh atau berbuih, pasien mengaku sejak 6 bulan
terakhir tidak mengalami menstruasi dan periksa tes kehamilan hasilnya negativ.
mengeluhkan sering terbangun malam sampai 5-6 kali di malam hari, pasien juga
mengeluhkan adanya banyak minum, pasien dapat minum 2 botol aqua besar dalam
sehari, tetapi pasien mengeluhkan tidak banyak makan, pasien juga mengaku BB nya
26
pasien mengeluhkan keadaan yang sama sejak 8 bulan yg lalu dan 6 kali di rawat di
RS.
Riwayat kebiasaan
Keadaan Umum
Tanda Vital
27
Frekuensi Nafas : 24 x/mnt
Suhu : 36,5 C
Status Gizi
BB : 58 kg
TB : 150 cm
Umum
Mata
Alis : Normal
Telinga
28
Bentuk : Normal
Pendengaran : Normal
Hidung
Penyumbatan : (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Mulut
Leher
Umum : Simetris
29
Trachea : Ditengah
Thorax
Bentuk : Simetris
Paru
Jantung
30
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : flat, kulit normal, hernia umbilicalis (-/-), hernia inguinalis (-/-)
Genitalia
Penis : Normal
Ekstremitas
Superior : Sendi bengkak (-/-), tremor (-/-), akral pucat (-/-) dingin (-/-)
Edema (-/-), cyanosis (-/-), reflex biceps (+/+), reflex triceps (+/+)
Inferior : Sendi bengkak (-/-), akral pucat (-/-) dingin (+/+), edema (-/-),
Hasil Laboratorium:
31
23/10/10 25/10/10 26/10/10
Leukosit 10.900 9600 5.000 – 10.000 /uL
HB 10,3 g/dl 11,5 g/dl 12 – 16 g/dl
Ht 32,8% 35,7% 36 -48 %
Trombo 506.000 518.000 200.000–400.000 /uL
Kimia Darah Lengkap
GDP 215 mg/dl 60-100
G2PP 232 mg/dl 70-150
GDS 222 mg/dl 187 mg/dl 60 – 150 mg/dl
SGOT 10 U/L P<25 / W<31 UI
SGPT 11 U/L P<41 / W<32 UI
Bilirubin Total 0,4 mg/dl 0 – 1,0 mg/dl
Bilirubin Direct 0,1 mg/ dl 0 – 0,25 mg/dl
Bilirubin Indirect 0,3 mg/dl 0 – 0,75 mg/dl
Protein Total 7,4 g/L 6,6 – 8,7 mg/dl
Albumin 3,6 g/L 3,2 – 4,5 g/dl
Globulin 3,8 g/L 2,3 – 3,5 g/dl
Cholesterol 236 mg/dl 150 – 220 mg/dl
Trigliserida < 200 mg/dl
HDL P>35 / W>45 mg/dl
LDL <190 mg/dl
Asam Urat 6,7 mg/dl P 2,5 – 7 / W 2 – 6 mg/dl
HBA1C 13,2 %
Ureum 75,4 mg/dl 60,1 mg/dl 10 – 40 mg/dl
Creatinin 2,7 mg/dl 1,8 mg/dl 0,5 – 1,5 mg/dl
Natrium 133 mmol/L 135-155
kalium 3,3 mmol/L 3,6-5,5
chlorida 96 mmol/L 95-108
32
Hasil Pemeriksaan endoscopy:
3.5 DIAGNOSIS
33
3.6 PENATALAKSANAAN
IVFD RL 10 tpm
Ranitidin inj 2x1 amp
Omeprazole 2x1 tab
Captopril 2x50 mg
Amlodipin 1x 10 mg
Primperan 1 amp/12 jam
RI 3x6 UI
Inpepsa syr 4x 1C
Cek Kimia Darah Lengkap (KDL)
Endoscopy
3.7 PROGNOSIS
Vitam : bonam
functionam: bonam
Tanggal S O A P
Hari I Rasa panas CM, E4V5M6 TD: Hematemesis e.c IVFD RL 10 tpm
8/1/ 2011 terbakar di dada 180/120, N: 84 x/i, susp gastritis Ranitidin inj 2x1
(+), muntah (+) RR: 20 x/i erosive + DM amp
isi makanan, T: 36ºC, type II Omeprazole 2x1 tab
muntah darah(-), Abdomen:soefl, uncontrolled Ondansentron 2x1
luka di kaki kanan NT(-), timpani, BU amp
(+) (+) Normal Captopril 3x 25 mg
Amlodipin 1x 10
mg
Primperan 2x1 amp
RI 3x4 UI
Inpepsa syr 4x 1C
34
Hari II Rasa panas CM, E4V5M6 TD: Hematemesis e.c IVFD RL 10 tpm
9/1/ 2011 terbakar di dada 160/110, N: 80 x/i, susp gastritis Ranitidin inj 2x1
(+), muntah (+) RR: 24 x/i erosive + DM amp
berupa buih T: 36ºC, type II Omeprazole 2x1 tab
seperti liur, Abdomen: uncontrolled Captopril 2x50 mg
muntah darah (-), distended (+), Amlodipin 1x 10
luka di kaki kanan soefl, NT(-), mg
(+) timpani, BU (+) Primperan 1 amp/12
Normal jam
RI 3x6 UI
Inpepsa syr 4x 1C
Hari III Rasa panas CM, E4V5M6 TD: Hematemesis e.c IVFD RL 10 tpm
11/1/ terbakar di dada 140/90, N: 80 x/i, susp gastritis Ranitidin inj 2x1
2011 (+), muntah (+) RR: 24 x/i erosive + DM amp
T: 36ºC, type II Omeprazole 2x1 tab
Abdomen: uncontrolled Captopril 2x50 mg
distended (+), Amlodipin 1x 10
soefl, NT(-), mg
timpani, BU (+) Primperan 1 amp/12
Normal jam
RI 3x6 UI
Inpepsa syr 4x 1C
35
BAB IV
ANALISA KASUS
4.1 Anamnesis
Riwayat asma dan penggunaan obat Riwayat asma (+), penggunaan obat
asma asma(-)
Gejala
36
nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa rasa terbakar di dada yang tidak disertai
nyeri biasanya dideskripsikan sebagai penjalaran baik ke lengan maupun ke
rasa terbakar (heartburn), punggung.
37
berlemak, minum alkohol dan kopi, dan obat tertentu, yang semuanya dapat
menyebabkan relaksasi dari otot sfingter bawah esofagus dan refluks asam lambung,
yang mana pada pasien ini di dapatkan kebiasaan makan-makanan pedas dan asam.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan adanya muntah kecoklatan yang tidak
disertai dengan darah,dan muntah disertai rasa mual, pasien juga mengeluhkan adanya
rasa terbakar di dada yang tidak disertai penjalaran baik ke lengan maupun ke
punggung, rasa pahit di mulut, sering bersendawa lalu pasien mengeluhkan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan terutama saat berbaring, pasien tidak
ada mengeluhkan adanya disfagia dan odinofagi, Pada Pasien ini juga tidak ditemukan
adanya nafas berbau dan infeksi telinga.
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa
terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan
menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian,
derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan
endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan
keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan
padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s
esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi
ulserasi esophagus yang berat.
Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan
yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau
keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran
berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
keras meningkat lebih sulit. Gejala-gejala lain pada gastroesophageal reflux termasuk
nyeri dada, luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash), rasa
bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis).
38
dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan
sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut
Barrett’s esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada.
Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa
orang.
Pasien pada kasus ini memiliki riwayat asma, dari teori didapatkan bahwa
Dalam keadaan normal GERD ini tidak terjadi karena adanya mekanisme anti refluk
pada Lower Esofageal Spincter (LES). Refluk ini terjadi bila tidak ada (hilangnya)
perbedaan tekanan antara LES dengan laring. Ada beberapa teori yang dikemukakan
mengenai hubungan GERD dengan Asma antara lain adalah : Stimulasi pada reflek
esofagopulmnaris/esofagolaringeal, reflek dari esofagus bagian distal menstimuli
reflek vagal yang menyebabkan bronkokonstriksi ( reflux theory). Mekanisme lain
adalah refluk esfagobrokhial ; asam dari esofagus dapat menstimuli reseptor asam yang
sensitif disaluran nafas bagian atas, menimbulkan bronkospasme.
Pada pembahasan dinyatakan bahwa gastroesofageal reflux didapatkan pada
45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal,
refluksesfagopulmoner dan obat relaksan otot polos yaitu golongan beta adrenergik,
aminofilin, inhibitr fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi LES esofagus.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor
predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah
gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan
tonus LES (misalnya teofilin).
39
Teori Fakta pada Pasien
Pemeriksaan Fisik
40
refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain
yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas
GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD). Ditemukannya
kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan
histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau
regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat
memastikan adanya Barret’s esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti
yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.
Pada pasien ini kesan endoscopynya adalah esofagitis, gastropathy, GERD LA
CLASS B, yang maknanya terdapat erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan
diameter > 5mm tanpa saling berhubungan.
Dari hasil endoscopy lainnya pada pasien ini adalah fundus normal, corpus,
antrum, pylorus mucosa hyperemis, edem, banyak sisa makanan, adanya corpus dan
antrum yang edem serta ditemukannya banyak sisa makanan ini menunjukkan bahwa
pada pasien ini mengalami pengosongan lambung yang lambat atau gastroparesis, yang
mana gastroparesis ini merupakan salah satu komplikasi dari penyakit diabetes
41
mellitus, teori mengenai adanya delayed gastric emptying yang mana pada kasus-kasus
GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks
ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan
dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui
bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada
hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed gastric emptying) dan
dilatasi lambung
Rasa perut cepat kenyang, penuh dan bloating merupakan gejala umum terkait
dengan gastroparesis diabetic. Sebanyak 50 % pasien diabetes mengalami
pengosongan lambung yang lambat atau gastroparesis. Gejala gangguan saluran cerna
bagian atas pada pasien diabetes dab hubungan antara gejala dengan disfungsi motilitas
lambung contohnya disfungsi neuromuscular lambung (gastropati diabetic) akan
dibahas. Gastropati diabetic merupakan abnormalitas neuromuscular pada perut pada
pasien diabetes. Gangguan ini terdiri dari gaster disritmia, antral dilatasi, antral
hipomotilitas, dan gastroparesis.
Gastroparesis diabetik adalah kondisi klinik yang mengenai pasien-pasien
diabetes mellitus. Kondisi ini ditandai oleh perlambatan pengosongan lambung dan
dihubungkan dengan gejala gastrointestinal bagian atas tanpa adanya obstruksi
mekanik. Perlambatan pengosongan lambung pada pasien-pasien diabetes diakibatkan
oleh hiperglikemia yang tidak terkontrol, gizi buruk, dan dehidrasi, yang akan
menyebabkan kualitas hidup yang buruk, perawatan lama di rumah sakit, dan
menurunnya tingkat produktivitas. Namun, mendiagnosis gastroparesis diabetik tidak
semudah yang dibayangkan, gejalanya tidak spesifik dan banyaknya diagnosis
banding. Begitu pula, penatalaksanaannya juga tak mudah, diagnosis umumnya
terlambat, pelayan kesehatan tidak mengenali gastroparesis diabetik sebelum timbul
komplikasi serta masih adanya bias terapi. Penelitian terkontrol acak mengenai terapi
gastroparesis diabetik pun masih sangat sedikit. Sehingga, keterampilan menegakkan
diagnosis serta menatalaksana pasien gastroparesis diabetik penting diketahui dan
dikuasai oleh dokter umum.
42
Mengenai definisi gastroparesis diabetik belum ada konsensus yang jelas. Bell
et al. menjelaskan gastroparesis diabetik sebagai neuropati yang terjadi di saluran cerna
pada pasien diabetes. Talley menggunakan istilah diabetik gastropati merujuk pada
sindrom klinik dari gejala saluran cerna atas yang memperlihatkan gangguan motilitas
pada pasien diabetes dengan atau tanpa keterlambatan pengosongan lambung. Namun,
seluruhnya setuju bahwa keterlambatan pengosongan lambung pada gastroparesis
diabetik terjadi tanpa adanya obstruksi mekanik. Pedoman dari American
Gastroenterological Association (AGA) tentang diagnosis dan terapi gastroparesis
menyatakan bahwa diagnosis gastroparesis sebaiknya didasarkan pada adanya gejala
dan tanda yang sesuai, perlambatan pengosongan lambung, dan tidak adanya lesi
obstruksi struktural di lambung atau usus halus.
43
Gastric Tone
Tonus fundus tidak relaksassi (balloon distensi)
Penatalaksanaan
Antagonis Reseptor H2
Simetidin, Ranitidin : 4 x 150 mg, IVFD RL 10 tpm
Famotidin, Nizatidin Ranitidin inj 2x1 amp
Sukralfat
Dosis: 4 x 1 gram Inpepsa syr 4x 1C
Penatalaksanaan DM dan
RI 3x6 UI
gastroparesis
Modifikasi gaya hidup, medikamentosa
(OAD, Insulin), obat-obatan
prokinetik, agen antiemetik,
Terapi/Penatalaksanaan
44
1. Modifikasi gaya hidup, beberapa advice yang semestinya disampaikan kepada
pasien ini adalah: meninggikan posisi kepala pada saat tidur sehingga
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus, mengurangi konsumsi
lemak, menurunkan berat badan , menghindari makanan/minuman seperti
coklat, teh, peppermint, kopi dan soda
2. Medikamentosa, pada pasin ini diberikan terapi dari golongan PPI, Antagonis
Reseptor H2, prokinetik, sukralfat, , ini sudah sesuai dengan pengobatan GERD.
3. Tatalaksana untuk penyakit lainnya, yaitu jika terdapat hipertensi. Captopril 2
x 12,5 mg (dosis awal untuk hipertensi berat, dinaikkan bertahap bisa sampai 3
x 50 mg, maksimal 150 mg/hari)., dan terapi untuk penyakit DM pasien ini
adalah insulin.
4. pengobatan pasien gastroparesis diabetik adalah untuk menjaga kadar glukosa
darah terkontrol, mengontrol gejala saluran cerna atas, menjamin hidrasi dan
nutrisi yang cukup, meningkatkan pengosongan lambung, dan mencegah
komplikasi seperti dehidrasi, malnutrisi, dan perawatan di rumah sakit.
Penatalaksanaan medis dengan obat-obatan prokinetik, agen antiemetik, dan
analgesik dibutuhkan untuk mengontrol gejala gastroparesis diabetik.
45
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
dilakukan pada pasien ini maka diagnosa pada pasien ini adalah GERD, DM tipe II
2. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tambahan lengkap yang membantu
3. Penatalaksanaan yang didapatkan pada pasien ini memenuhi standar terapi yang
46
DAFTAR PUSTAKA
Bell RA, Jones-Vessey K, Summerson JH. Hospitalizations and outcomes for diabetic
gastroparesis in North Carolina. South Med J 2002;95:1297–9
Dent J. Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia. Gut 2002, 50
(suppl. IV): iv 17-iv20.
Dent J., Brun J, Fendrick AM, Fennerty MB, Janssens J, Kahrilas PJ, Lauritsen K,
Reynolds JC, Shaw M, Talley NJ. An evidence-based appraisal of reflux disease
management - The Genval Workshop Report. Gut 1999; 44 (Suppl.2): Sl-S6.
Fass R, Ofman JJ. Gastroesohageal reflux disease - should we adopt a new conceptual
framework?. Am J Gastroenterol. 2002; 97(8): 1901-1909.
Fock K.M., Talley N., Hunt R., Fass R, Nandurkar S, Lam S.K., Goh K.L., Sollano J.
Report of the Asia-Pacific Consensus on The Management of gastroesophageal
reflux disease. J Gastroenterol Hepatol. 2004; 19:11-20.
Gardner JD, Stanley SR, Robinson M. Integrated acidity and the pathophysiology of
gastroesophageal reflux disease. The American Journal of Gastroenterology.
2001; 96(5): 1363-1370.
47
Inadomi JM, Jamal R, Murata GH, Hoffman RM, Lavezola, Vigie JM, Swanson KM,
Sonnenberg A. Step-down management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology 2001; 121: 1095-1100.
Lazenby PJ, Hardwig SM. Chronic cough, asthma, and gastroesophageal refux. Current
Gastroenterology Report 2000; 2: 217-223.
Martin CJ. Heartburn, regurgitation and noncardiac chestpain. In Talley NJ, Martin CJ
(eds). Clinical Gastroenterology, I` edition, Sydney, MacLennan & Petty Pty
Limited, 1996: 1-19.
Powell LW. Mouth, pharynx and oesophagus. In Powell LW, Piper DW (eds).
Fundamental of gastroenterology. 41 edition. Sydney, ADIS Health science Press
1984: 1-13.
Syafruddin ARL. Peranan derajat keasaman lambung dan tonus fingter esofagus bawah
terhadap esofagitis pada dispepsia. Laporan Penelitian Akhir, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 1998.
Zarling EJ. A review of reflux esophagitis around the world. WJG, 1998; 4(4): 1996;
12 (2 suppl): 2-24.
Zhang TC. Endoscopic studies of reflux esophagitis. JAMA Southeast Asia 1996; 1212
Supp1.1:22
48