Вы находитесь на странице: 1из 20

TUGAS INDIVIDU

Mata Kuliah : Toksikologi Industri


Dosen : Dr. dr. Masyitha Muis., MS

TOKSIKOLOGI PADA KULIT

DISUSUN OLEH:

NUR INDAH LESTARI H

K012171064

KONSENTRASI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat
dan hidayaNyalah sehingga tugas makalah mata kuliah toksikologi industri yang
berjudul toksikologi pada kulit, dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Dalam penyusunan makalah ini, begitu banyak hambatan yang di hadapi
penulis. Tapi berkat bimbingan dan bantuan serta dorongan motivasi dari berbagai
pihak, semua kendala-kendala dan hambatan yang dihadapi penulis dapat teratasi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberi manfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Makassar, Maret 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 7
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 8
A. Definisi Toksikologi .................................................................................................. 8
B. Fisioogi Kulit ............................................................................................................. 8
C. Penyerapan Toksikan-Toksikan melalui Kulit......................................................... 10
D. Efek Toksik pada Kulit ............................................................................................ 13
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 20
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan industri di
Indonesia semakin berkembang pesat juga. Adanya perkembangan industri
yang semakin pesat maka tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa tersebut
akan menimbulkan dampak bagi kelangsungan hidup manusia, baik dampak
positif maupun dampak negatif. Dampak positif yang dapat dirasakan adalah
kondisi negara yang mengalami kemajuan dan dapat bersaing dengan negara
lain, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat serta penyediaan lapangan
pekejaan, sedangkan dampak negatif yang dapat dirasakan yakni terjadinya
polusi udara akibat dari asap pabrik/hasil produksi industri, kondisi
lingkungan yang tercemar, limbah dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan para pekerja. Kondisi kesehatan yang baik
merupakan potensi untuk meraih produktivitas yang baik pula. Sebaliknya
keadaan sakit atau gangguan kesehatan menyebabkan tenaga kerja tidak atau
kurang produktif dalam melaksanakan pekerjaannya.
Setiap pekerjaan tidak lepas dari penyakit akibat kerja. International
Labour Organization (ILO) pada tahun 2014 juga memaparkan bahwa
kesehatan kerja baru-baru ini menjadi prioritas yang jauh lebih tinggi,
mengingat bukti meningkatnya kerugian dan penderitaan yang sangat besar
akibat penyakit akibat kerja dan kesehatan yang buruk di berbagai sektor
pekerjaan yang berbeda. Meskipun diperkirakan bahwa penyakit fatal
menyumbang sekitar 85 persen dari semua kematian terkait pekerjaan, lebih
dari setengah dari semua negara tidak menyediakan statistik resmi untuk
penyakit akibat kerja.
Penyakit akibat kerja menimbulkan penyakit tidak menular yang
menyumbangkan banyak permasalahan pada kesehatan pekerja. Pada World
Health Statictics (2017), dipaparkan bahwa health worker merupakan salah
satu dari bagian indikator yang ingin dicapai oleh SDG’s (Suistanable

4
Development Goals) di tahun 2030, dimana pada WHS 2017 ini dijelaskan
bahwa pekerja harus terlindungi dari kondisi yang berbahaya, yang tidak
aman dan yang tidak sehat di lingkungan kerjanya (WHS, 2017).
Kondisi-kondisi berbahaya yang berada di lingkungan kerja perlu
diperhatikan dengan baik oleh pekerja, salah satunya ketika berhadapan
dengan bahan-bahan kimia berbahaya maupun beracun. Apabila zat kimia
dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi
tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan
oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut,
kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme
dan bentuk efek yang ditimbulkan.
Dalam perkembangan beradaban modern, masyarakat menuntut
perbaikan kondisi kesehatan dan kehidupan, diantaranya makanan bergizi,
mutu kesehatan yang tinggi, pakaian, dan sportasi. Untuk memenuhi tujuan
ini, berbagai jenis bahan kimia harus diproduksi dan digunakan, banyak
diantaranya dalam jumlah besar. Diperkirakan berribu-ribu bahan kimia telah
diproduksi secara komersial baik di negara-negara industri maupun di negara
berkembang. Melalui berbagai cara bahan kimia ini kontak dengan penduduk,
dari terlibatnya manusia pada proses produksi, distribusi ke konsumen,
hingga terakhir pada tingkat pemakai.
Telah dipostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik suatu tokson
sangat ditentukan oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya
kehadiran suatu zat yang berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum
tentu menghasilkan juga keracunan. Misal insektisida rumah tangga (DDT)
dalam dosis tertentu tidak akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi
manusia, namun pada dosis tersebut memberikan efek yang mematikan bagi
serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tersebut berada jauh dibawah
konsentrasi minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya apabila kita
terpejan oleh DDT dalam waktu yang relatif lama, dimana telah diketahui
bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai dilingkungan dan sangat lipofil,

5
akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu
relatif lama. Karena sifat fisiko kimia dari DDT, mengakibatkan DDT akan
terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga
apabila batas konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek
toksik. Efek atau kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik
yang bersifat kronis.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI NO.KEP.187/MEN/1999 telah
memaparkan tentang pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja.
Kegiatan industri yang mengolah, menyimpan, mengedarkan, mengangkut,
dan mempergunakan bahan-bahan kimia berbahaya akan terus meningkat
sejalan dengan perkembangan pembangunan sehingga berpotensi untuk
menimbulkan bahaya besar bagi industri, tenaga kerja, lingkungan maupun
sumber daya lainnya.
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan
kimia dan kulit adalah lapisan luar dari tubuh.kulit memiliki struktur berlapis.
Seperti kebanyakan organ, struktur kulit relatif rumit. Penderitaan kulit yang
paling umum akibat paparan zat-zat beracun adalah kanker kulit dan kondisi
kulit yang umum dari paparan kerja adalah dermatitis kontak, ditandai dengan
umumnya gatal, dan permukaan kulit kadang-kadang menyakitkan. Kulit
menderita dermatitis kontak menunjukkan beberapa gejala.Salah satunya
adalah eritema, atau kemerahan. Untuk menghindari toksikologi pada
kulit.maka kita di anjurkan untuk tidak terlalu sering terpapar zat zat beracun.
Disamping itu bila bekerja di daerah zat beracun hendaknya memakai alat
pelindung diri.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani Armin, dkk, dengan tujuan
untuk mengetahui penetapan kadar merkuri dalam krim pemutih kosmetika
herbal menggunakan spektrofotometri serapan atom, dimana dari hasil
analisis kualitatif menunjukkan bahwa semua sampel mengandung merkuri.
Kadar merkuri pada sampel 1, 2, 3 berturut-turut adalah sebesar 0,56%;
0,28% dan 0,45 %. Kadar Hg pada sampel tersebut melanggar Peraturan
Menkes RI No.376/MenKes/Per/VIII/1990 dan PerMenKes RI

6
No.445/MenKes/Per/V/1998 yang isinya melarang penggunaan merkuri
dalam sediaan kosmetika. Hal tersebut dapat berefek pada pengguna
kosmetik.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan toksikologi?
2. Bagaimana fisiologi kulit?
3. Bagaimana penyerapan toksikan-toksikan melalui kulit?
4. Bagaimana efek dari toksik pada kulit?

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Toksikologi
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan
sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik)
berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan system biologik lainnya.
Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan
efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk (Aisyah,
2013).
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan
kimia. Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas/kerusakan/ cedera pada
organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi
substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga
mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja
kimia yang merugikan terhadap organisme (Aisyah, 2013).
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut
berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut
telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan
penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai
kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi (Aisyah, 2013).

B. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh yang terbesar, yang mempunyai
fungsi-fungsi antara lain:
1. Perlindungan tubuh terhadap cedera, panas dan sinar radiasi.
2. Membantu menetrasi agen kimia tubuh.

8
3. Perlindungan terhadap invasi mikroorganisme.
4. Mempertahankan suhu tubuh.
5. Menghilangkan bahan-bahan yang membahayakan yang dihasilkan dari
aktivitas metabolisme.
6. Merupakan organ sensor luar yang mempunyai beberapa jenis sensor.

Fungsi kulit yang terakhir tersebut yang selanjutnya dieksploitasi


untuk interface taktual. Keunikan sensor ini dibandingkan dengan indera lain
adalah bahwa indera taktual menyediakan informasi untuk individu dan
terutama untuk visualisasi dan kerusakan sensor terhadap kualitas lingkungan
fisik seperti temperatur, persepsi terhadap tekstur, posisi, dan pergerakan
(Tarwaka, 2015).
Dengan tujuan untuk memberikan pedoman desain untuk interface
yang lebih baik melalui pemahaman terhadap beberapa modalitas sensor
kulit, syaraf, dan respon kulit terhadap rangsangan luar maka perlu dipahami
oengetahuan tentang fisiologi kulit itu sendiri. Permukaan kulit terbuat dari
suatu conglomeration sel mati. Di bawah permukaan kulit, terdapat lapisan
sangat tipis dan lapisan pemisah yang biasanya disebut “epidermis” yang
mempunyai ketebalan yang cukup bervariasi antara 0,4 mm s/d 1,6 mm. Di
bawah epidermis terdapat bagian yang disebut dengan “dermis” yang
mempunyai ketebalan 5 s/d 7 kali lebih tebal dari epidermis dan dihubungkan
dengan suatu membran dan hipodermis. Hypodermis merupakan bagian kulit
ketiga dan merupakan lapisan terakhir yang sangat elastis dan mempunyai sel
lemak yang aktif. Kulit merupakan organ yang sangat sensitif terhadap
tekanan baik tekanan positif maupun negatif, vibrasi, temperatur, voltase, dan
arus listrik (Tarwaka, 2015).
Eksposisi (pemajanan) yang paling mudah dan paling lazim terhadap
manusia atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya kosmetik,
produk rumah tangga, obat topikal, cemaran lingkungan, atau cemaran
industri di tempat kerja, ialah pemejanan sengaja atau tidak sengaja pada
kulit. Pemajanan kulit terhadap tokson sering mengakibatkan berbagai lesi

9
(luka), namun tidak jarang tokson dapat juga terabsorpsi dari permukaan kulit
menuju sistem sistemik.

C. Penyerapan Toksikan-Toksikan melalui Kulit


Kulit manusia berhubungan dengan beberapa agent-agent beracun.
Untungnya kulit tidak sangat permeabel dan karena itu merupakan perintah
yang relatif baik yang memisahkan manusia dari lingkungannya.
Bagaimananpun, beberapa zat kimia dapat diserap oleh kulit dalam jumlah-
jumlah yang cukup untuk menghasilkan efek-efek sistemik. Untuk contoh,
gas-gas saraf seperti SARIN siap diserap oleh kulit yang utuh. Juga carbon
tetra chlorida dapat diserap oleh kulit untuk menghasilkan kerusakan liver,
dan beragam insektisidainsektisida telah menghasilkan kematian pekerja-
pekerja perkebunan sesudah penyerapan melalui kulit yang utuh.
Supaya toksikan diserap melalui kulit, zat kimia itu harus menembus
sel-sel epidermis, sel-sel kelenjar keringat, atau kelenjar-kelenjar scea, atau
masuk melalui follikel-follikel rambut. Meskipun jalan follikel bisa
membolehkan masuknya sejumlah kecil toksikan dengan segera, kebanyakan
zat kimia menembus sel-sel epidermis, yang menyusun daerah permukaan
yang besar dari kulit. Kelenjar-kelenjar keringat dan folikel-folikel rambut
tersebar diseluruh kulit dalam jumlah yang beragam tetapi secara
perbandingan berupa jarang luas penampang lintang total mereka adalah
mungkin diantara 0,1 dan 1,0 % dari luas kulit.
Agar satu zat kimia diserap melalui jalan percutaneous dia harus
menembus lapisan luar yang tersusun padat dari sel-sel epidermis yang berzat
tanduk dan berkeratin, melalui germ layer dari epidermis, melalui corium, dan
terus ke dalam sirkulasi sistemik (Gambar 3-4). Karena itu, agar toskikan
diserap melalui kulit, zat kimia harus menembus sejumlah besar sel-sel.
Berbeda, apabila toksikan diserap oleh paru-paru dan Tr.GI, zat kimia itu
boleh menembus hanya dua sel. Fase pertama penyerapan melalui kulit
adalah DIFFUSI toksikan melalui epidermis, dan dalam daerah ini beradanya
rintangan yang membatasi kecepatan penyerapan toksikan-toksikan melalui

10
kulit. Secara lebih khusus rintangan itu adalah stratum Corneum-membran
multiselluler, kohesif dan tipis yang terdiri dari lapisan permukaan yang mati
dari kulit. Penelaahan telah menunjukkan bahwa stratum corneum dilengkapi
lagi sekitar setiap dua minggu pada orang dewasa.
Proses yang rumit ini secara garis besar meliputi DEHYDRASI dan
POLIMERISASI dari bahan-bahan intraselluler, yang akhirnya menghasilkan
satu lapisan sel yang kering, yang secara biologis inaktif, dan berisi keratin.
Dalam peristiwa keratinisasi ini, dinding-dinding sel menebal dua kali
dikarenakan penglihatan atau pendepositoan bahan-bahan yang tahan secara
kimia. Jadi, terjadi satu perubahan keadaan fisik jaringan tersebut dan satu
perubahan yang sejalan dalam ke diffusiannya, yakni satu transformasi dari
satu medium cair berair ke satu membran keratin yang setengah padat dan
kering ditandai oleh kemampuan berdiffusi yang sangat rendah.
Zat-zat yang polar terlihat berdiffusi melalui permukaan luar dari
stratum corneum yang terhidrasi yang terdiri dari serabut-serabut protein
sedangkan molekul-molekul nonpolar melarut dan berdiffusi melalui matrix
lipid yang tak berair diantara serabut-serabut protein (Blank dan Scheuplein
1969). Kecepatan diffusi toksikan-toksikan non polar dihubungkan ke
kelarutannya dalam lemak dan berhubungan secara terbalik ke berat molekul.
Dalam Startum Corneum manusia disana ada perbedaan bermakna di dalam
struktur dan Sifat kimia dari satu daerah tubuh ke yang lain dan ini
dipantulkan dalam permeabilitas kulit tersebut. Kulit dari daerah-daerah
tubuh telapak kaki dan telapak tangan sangat berbeda dari yang didaerah-
daerah lain, lapisan tanduk dari telapak tangan dan telapak kaki disesuaikan
untuk mendukung berat dan geekan dan lapisan bertanduk yang berbentuk
membran dari permukaan tubuh yang tersisa disesuaikan untuk kelenturan
ketidak permeabilitasan dan perbedaan perabaan halus. Sementara Stratum
Corneum adalah jauh lebih tebal pada telapak tangan dan kaki (di daerah-
daerah yang mati adalah 400 sampai 600 mikro meter) dari pada lengan,
punggung, kaki-kaki dan perut (8-15 mikro meter)., dia memiliki diffusifitas
lebih banyak persatuan ketebalan. Permeabilitas kulit tergantung atas

11
keduanya, DIFFUSIFITAS stratum corneum dan KETETEBALAN nya. Jadi
toksikan-toksikan siap menembus scrotum karena dia sangat tipis dan
memiliki diffusifitas tinggi; toksikan-toksikan menembus kulit perut kurang
cepat karena dia lebih tebal dan Diffusifitasnya kurang; dan toksikan-toksikan
cukup sulit menembus telapak kaki karena dia memilikisatu jarak yang besar
untuk diseberangi meskipun dia menunjukkan diffusifitas yang terbesar.
Fase Kedua dari penyerapan melalui kulit adalah DIFFUSI mengenai
toksikan melalui dermis, yang adalah jauh dibawah stratum corneum sebagai
satu perintang diffusi. Dalam perbandingan ke stratum corneum, dermis
mengandung satu medium diffusi berair, tidak pemilih, dan berpori.
Toksikan-toksikan menembus daerah ini oleh diffusi sederhana kedalam
sirkulasi sistemik, yang tergantung atas aliran darah effektif, gerakan cairan
intersisial. Limfatik dn mungkin faktor-faktor lain seperti gabungan dengan
pembangunpembangun dermal.
Absorpsi toksikan-toksikan melalui kulit berubah dibawah sejumlah
keadaan-keadaan. Karena stratum corneum memainkan satu peran yang kritis
didalam penentuan permeabilitas kulit, pelecetan atau penyingkiran dari
lapisan ini menyebabkan satu kenaikan mendadak dalam permeabilitas kulit
untuk semua jenis-jenis molekul, besar atau kecil. Larut dalam lemak dan
larut dalam air. Agent-agent yang melukai seperti asam-asam, basa, gas-gas
mustard akan merusak perintang dan menaikkan permeabilitas. Air
memegang suatu peran yang sangat penting dalam permeabilitas kulit. Di
bawah keadaan-keadaan normal Stratum Corneum itu selalu sebagian di
hidrasi. Kulit secara normal mengandung sekitar 90 gram air pergram
jaringan kering. Air yang banyak ini menaikkan permeabilitas Stratum
Corneum kira-kira sepuluh kali lipat melebihi ketika dia sungguh-sungguh
kering.
Atas penambahan hubungan dengan air, Stratum Corneum dapat
bertambah secara maksimal beratnya dari ikatan yang sangat erat dengan air 3
– 5 kali lipat yang menghasilkan permebilitas naik 2-3 kali lipat. Pemahaman-
pemahaman atas penyerapan-penyerapan kulit dari toksikan selalu

12
menggunakan metode DRAIZE dan kawan-kawan (1944) dimana sekeliling
binatang itu dibungkus dengan plastik dan zat kimia diletakkan diantara
plastik dan kulit. Ini membasahi stratum Corneum dan memperkuat
penyerapan toksikan.
Berbagai-bagai pelarut-pelarut seperti DMSO (Dimetil sulfoxida
juga dapat mempermudah penembusan dari toksikan-toksikan melalui kulit.
DMSO meningkatkan permeabilitas stratum CORNEUM. Sedikit informasi
yang diperoleh mengenai mekanisme peningkatan permeabilitas oleh DMSO
ini. Bagaimanapun, telah disarankan bahwa DMSO :
1) Banyak menyingkirkan bagian lipid dari stratum corneum yang membuat
lubang-lubang atau shunt-shunt buatan dalam membran.
2) Menghasilkan perubahan-perubahan gambaran yang reversible dalam
struktur protein oleh substitusi molekul-molekul air yang tak terpisahkan.
3) Fungsi-fungsi sebagai suatu agent yang menggembungkan.

D. Efek Toksik Pada Kulit


Kulit memiliki luas permukaan besar hingga dua m2 untuk orang
dewasa. Area yang luas ini, bersama dengan paparan eksternal kulit berarti
bahwa itu adalah situs umum dari kontak dengan zat beracun, terutama di
tempat kerja. Telah diperkirakan bahwa sekitar sepertiga dari semua
melaporkan kerja eksposur zat beracun adalah melalui kulit, dan nomor jauh
lebih besar yang memproduksi relatif gejala minor tetap unreported. Penyakit
kulit merupakan sebagian besar dari pekerjaan dan masalah konsumen dengan
bahan kimia industri dan produk konsumen.

13
Penderitaan kulit yang paling umum akibat paparan zat-zat beracun

dan yang paling kondisi kulit yang umum dari paparan kerja adalah dermatitis

kontak, ditandai dengan umumnya jengkel, gatal, dan permukaan kulit

kadang-kadang menyakitkan. Kulit menderita dermatitis kontak menunjukkan

beberapa gejala. Salah satunya adalah eritema, atau kemerahan. Permukaan

kulit dapat dikenakan scaling, di mana serpihan permukaan off. Penebalan

dan pengerasan dapat terjadi, kondisi klinis dikenal sebagai indurasi. Terik,

suatu kondisi yang disebut vesiculation, juga dapat terjadi.kulit menderita

dengan dermatitis kontak biasanya menunjukkan edema, dengan akumulasi

cairan di antara sel-sel kulit. Ada dua kategori umum dermatitis kontak :

iritan dan dermatitis kontak alergi dermatitis.

Dermatitisdoes iritasi tidak melibatkan respon imun dan biasanya

disebabkan oleh kontak dengan zat korosif yang menunjukkan ekstrim pH,

kemampuan oksidasi, dehidrasi tindakan, atau kecenderungan untuk

melarutkan lipid kulit. Dalam kasus ekstrim paparan, sel-sel kulit yang rusak

dan hasil bekas luka permanen. Kondisi ini dikenal sebagai luka bakar kimia.

Paparan terkonsentrasi asam sulfat, yang menunjukkan keasaman ekstrim,

atau asam nitrat pekat, yang denatures kulit protein, dapat menyebabkan luka

bakar kimia yang buruk. Tindakan oksidan yang kuat dari 30 % hidrogen

peroksida juga menyebabkan luka bakar kimia. Bahan kimia lain yang

menyebabkan luka bakar kimia termasuk amonia, kapur (CaO), klorin, etilen

oksida, hidrogen halida, metil bromida, oksida nitrogen, unsur phosporous

putih, fenol, hidroksida logam alkali (NaOH, KOH), dan toluene diisosianat.

14
Dermatitisoccurs kontak alergi ketika individu menjadi peka terhadap bahan

kimia yang oleh paparan awal, setelah eksposur selanjutnya membangkitkan

respon ditandai dengan dermatitis kulit.

Dermatitis kontak alergi adalah hipersensitivitas tipe IV yang

melibatkan sel T dan makrofag bukannya antibodi.Ini adalah respon yang

tertunda yang terjadi satu atau dua hari setelah paparan, dan sering hanya

membutuhkan jumlah yang sangat kecil alergen yang menyebabkan itu.

Secara harfiah puluhan zat telah terlibat sebagai agen penyebab dermatitis

kontak. Beberapa di antaranya adalah zat diterapkan pada kulit langsung

sebagai produk higienis. Termasuk dalam kategori ini adalah bacitracin

antibiotik neomycin dan, pengawet benzalkonium klorida, kortikosteroid

terapi, dan dichlorophene antiseptik. Di antara zat-zat lain yang menyebabkan

dermatitis kontak alergi adalah formaldehida, asam abietic dari tanaman,

hydroquinone, monomer akrilik, pewarna triphenylmethane, 2-

mercaptobenzthiazole, pphenylene diamina, Tetramethylthiuram, 2,4-

dinitrochlorobenzene, pentaeritritol triacrylate, epoxy resin, garam dikromat,

merkuri, dan nikel.

Urtikaria, umumnya dikenal sebagai gatal-gatal, adalah reaksi alergi

tipe I yang dihasilkan sangat cepat dari paparan racun yang subjek telah

menjadi peka. Hal ini ditandai dengan rilis histamin dari jenis sel darah putih.

Histamin menyebabkan banyak gejala alergi reaksi, termasuk edema jaringan.

Selain edema, eritema, dan menemani bekas dibangkitkan pada kulit,

urtikaria disertai dengan gatal parah. Dalam kasus yang parah, seperti terjadi

15
pada beberapa orang sebagai hasil dari sengatan lebah atau tawon, urtikaria

dapat menyebabkanan afilaksis sistemik, berpotensi fatal reaksi alergi.

Kulit responsesof fototoksik terjadi sebagai hasil dari penyerapan

radiasi, terutama sinar matahari dan radiasi ultraviolet di daerah UVB dari

290 sampai 320 nm. Karena radiasi UVB adalah jauh lebih efektif dalam

menyebabkan gejala fototoksik dari baik radiasi ( 320-400 nm) UVA atau

cahaya tampak (400-700 nm), referensi akan dibuat untuk itu dalam diskusi

fototoksisitas. foton radiasi yang diserap oleh kelompok fungsional yang

disebut kromofor pada biomolekul. yang paling chromophores signifikan

dalam kulit adalah molekul DNA, yang dapat dimodifikasi dengan menyerap

energi foton. Juga menjabat sebagai kromofor dalam kulit asam amino dan

bahan yang dikeluarkan oleh pemecahan protein, termasuk triptofan dan asam

urocanic. Kulit mengandung pigmen pelindung, melanin, disintesis dari asam

amino tirosin, yang secara efektif menyerap UVB dan melindungi orang dari

efek sinar matahari. Tingkat melanin berbeda dalam masyarakat, yang tinggi

pada individu darkerskinned dan sangat rendah pada mereka dengan kulit

yang lebih ringan. Produksi melanin (suntan) dapat dipromosikan oleh

paparan sinar matahari alami atau buatan.

Efek akut yang paling umum dari paparan dosis beracun UVB

adalah eritema, umumnya dikenal sebagai sunburn, hasil dari proses

fotooksidasi pada kulit. Karena zat dirilis dari sel kulit terpapar UVB yang

berlebihan, efek sistemik, termasuk demam, menggigil, dan umumnya

perasaan sakit, dapat menyebabkan juga. Gejala kronis paparan UVB yang

16
berlebihan termasuk perubahan pigmentasi, seperti bintik-bintik, dan

kerusakan kulit umum dan kerutan. Perhatian terbesar adalah potensi untuk

membentuk lesi kanker. Ini termasuk baik basal dan karsinoma sel skuamosa.

Efek tersebut paling serius adalah pengembangan melanoma ganas, yang

sangat serius bentuk kanker kulit.

Fotosensitifitas, atau porfiria, adalah kepekaan yang abnormal

terhadap radiasi ultraviolet dan terlihat cahaya. Sebuah kecenderungan

genetik untuk ketidakmampuan untuk memperbaiki kerusakan kulit dari sinar

matahari yang dapat menyebabkan photosensitivity, seperti dapat paparan

beberapa bahan kimia, terutama chlorinated senyawa aromatik. Efek ini

terikat dengan malfungsi enzimatik dalam biosintesis heme, molekul protein

terkandung dalam hemoglobin darah. Ketika biosintesis ini tidak berfungsi

dengan baik, molecular fragmen heme (porfirin) menumpuk di kulit, di mana

mereka mencapai keadaan tereksitasi bila terkena cahaya 400 sampai 410 nm

(band Soret) dan bereaksi dengan molekul O2 untuk menghasilkan radikal

bebas yang merusak biomolekul dalam jaringan kulit.

Fototoksisitas terjadi saat kulit terkena sinar matahari, terutama di

wilayah UVA dari 320 hingga 400 nm, memerah dan mengembangkan lepuh

sebagai konsekuensi dari kehadiran spesies kimia tertentu. Spesies kimia

fototoksik yang menghasilkan reaksi seperti itu yang mana seorang individu

baik secara langsung terkena pada kulit atau sistemik. Senyawa ini menyerap

radiasi ultraviolet dan, seperti porfirin dibahas di atas, masukkan keadaan

tereksitasi berinteraksi dengan O2 untuk menghasilkan spesies oksidan yang

17
merusak dan radikal bebas. Banyak spesies kimia, termasuk furocoumarins,

hidrokarbon polisiklik aromatik, tetrasiklin, dan sulfonamid, dapat

fototoksik.

Photoallergyis mirip gejala dan mekanisme untuk dermatitis kontak

alergi, kecuali bahwa gejala berkembang setelah paparan sinar matahari.

Subjek mengembangkan suatu alergi respon terhadap cahaya setelah

sensitisasi dengan bahan kimia. Kondisi ini diamati pada pertengahan 1900-

an pada individu yang telah menggunakan sabun yang mengandung agen

antibakter, termasuk tetrachlorosalicylanilide dan tribrom osalicylanilide,

yang harus diambil dari pasar produk perawatan pribadi.

Cacat pada pigmen kulit dapat terjadi karena terpapar bahan kimia.

Hyperpigmentationoccurs dari peningkatan produksi dan deposisi melanin.

Hypopigmentationoccurs dengan hilangnya kulit pigmen, memberikan

penampilan albino putih. Di antara bahan kimia yang menyebabkan

hiperpigmentasi adalah organik yang mudah menguap dari tar batubara,

antrasena, merkuri, timbal, dan hydroquinone. hipopigmentasi dapat hasil dari

paparan hydroquinone dan turunannya, mercaptoamines, germisida fenolik,

dan butylated hydroxytoluene.

Jerawat, ditandai dengan letusan kulit umumnya dikenal sebagai

komedo atau whiteheads ditambah berbagai pustula, kista, dan lubang-lubang

pada permukaan kulit, dapat disebabkan oleh paparan bahan kimia. Jenis

yang paling menonjol dari induksi kimia jerawat adalah chlor acne, yang

dihasilkan dari paparan hidrokarbon terklorinasi.

18
Selain lesi pada wajah, dalam kasus yang parah chloracne ditandai

dengan kista dan lainnya manifestasi dari jerawat pada bahu, punggung, dan

bahkan alat kelamin.

Peradangan granulomatosa terjadi dalam kasus di mana jaringan

kulit membangun sekitar lokasi paparan iritan. Pengenalan bahan asing

seperti bedak atau silika ke dalam kulit dapat menyebabkan kondisi ini.

Dalam beberapa kasus, hal itu terjadi sebagai respons terhadap paparan

beberapa logam, termasuk berilium dan kromium.

Toxic epidermal necrolysisoccurs ketika epidermis kulit dihancurkan

oleh aksi toxicants dan menjadi terpisah dari dermis. Kondisi ini sangat

mengganggu kemampuan kulit untuk mengatur pelepasan panas, cairan, dan

elektrolit. Metabolit obat anticonvulsive carbamazepine telah terlibat dalam

nekrolisis epidermal toksik.

Kanker kulit adalah jenis kanker yang paling umum. Kerusakan

DNA kulit dari sinar matahari adalah penyebab paling umum dari kanker

kulit. Hal ini menyebabkan mutasi yang mengakibatkan pembentukan sel

kanker dan yang menekan respon imun yang biasanya mencegah replikasi

sel-sel tersebut.kelas bahan kimia paling sering dikaitkan dengan penyebab

kanker kulit adalah polisiklik aromatik hidrokarbon dari sumber seperti tar

batubara. Ini dapat dimetabolisme menjadi zat elektrofilik yang mengikat

dengan DNA untuk memulai kanker. Arsenik dalam air minum telah

didirikan sebagai penyebab lesi prakanker, disebut keratosis arsenik, dan sel

skuamosa karsinoma kulit.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai
kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik)
berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan system biologik
lainnya..
2. Eksposisi (pemajanan) yang paling mudah dan paling lazim terhadap
manusia atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya
kosmetik, produk rumah tangga, obat topikal, cemaran lingkungan, atau
cemaran industri di tempat kerja, ialah pemejanan sengaja atau tidak
sengaja pada kulit. Pemajanan kulit terhadap tokson sering
mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun tidak jarang tokson dapat
juga terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem sistemik.
3. Beberapa zat kimia dapat diserap oleh kulit dalam jumlah-jumlah yang
cukup untuk menghasilkan efek-efek sistemik. Untuk contoh, gas-gas
saraf seperti SARIN siap diserap oleh kulit yang utuh. Juga carbon tetra
chlorida dapat diserap oleh kulit untuk menghasilkan kerusakan liver,
dan beragam insektisidainsektisida telah menghasilkan kematian pekerja-
pekerja perkebunan sesudah penyerapan melalui kulit yang utuh.
4. Penderitaan kulit yang paling umum akibat paparan zat-zat beracun dan
yang paling kondisi kulit yang umum dari paparan kerja adalah
dermatitis kontak, ditandai dengan umumnya jengkel, gatal, dan
permukaan kulit kadang-kadang menyakitkan. Efek akut yang paling
umum dari paparan dosis beracun UVB adalah eritema, umumnya
dikenal sebagai sunburn, hasil dari proses fotooksidasi pada kulit. Cacat
pada pigmen kulit dapat terjadi karena terpapar bahan kimia. Jerawat,
ditandai dengan letusan kulit umumnya dikenal sebagai komedo atau
whiteheads ditambah berbagai pustula, kista, dan lubang-lubang pada
permukaan kulit, dapat disebabkan oleh paparan bahan kimia.

20

Вам также может понравиться