Вы находитесь на странице: 1из 17

REFERAT

TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF

Dokter Pembimbing:
dr. Ucu Nurahdiat Sp. An

Disusun oleh :
Marliani Hanifah
11-2016-382

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT BAYUKARTA, KARAWANG
PERIODE 24 FEB 2018 – 17 MARET 2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang kadang-
kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya,
pendarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan
terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada periode pasca bedah kadang-kadang
pevdarahan dan atau kehilangan cairan (dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja
memerlukan perhatian khusus.1,2
Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit cairan
(air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa.1,3,4 Gejala dari defisit
cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk didalamnya adalah rasa haus,
perasaan mengantuk, dan pusing kepala.1,5 Gejala dehidrasi ringan ini dapat
memberikan kontribusi terhadap memanjangnya waktu perawatan di rumah sakit yang
terlihat dari penelitian 17.638 pasien dengan hasil bahwa rasa kantuk dan pusing kepala
pasca bedah merupakan faktor predikator yang berdiri sendiri terhadap bertambah
lamanya waktu perawatan pasca bedah.6
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra
bedah, selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum
berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi
dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.2
Sampai saat ini terapi cairan dan elektrolit perioperatif masih merupakan topik yang
menarik untuk dibicarakan, karena dalam praktiknya, banyak hal yang sulit diukur atau
dinilai secara obyektif.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Cairan Tubuh

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat


berubah tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang.
Pada bayi usia <1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan
pada bayi usia >1 tahun mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan
pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan
berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan,
sedangkan pada wanita dewasa 50% berat badan.5 Hal ini terlihat pada tabel
berikut :
Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia5
USIA KILOGRAM BERAT (%)
BAYI PREMATUR 80
3 BULAN 70
6 BULAN 60
1-2 TAHUN 59
11-16 TAHUN 58
DEWASA 58 – 60
DEWASA DENGAN OBESITAS 40 – 50
DEWASA KURUS 70 - 75
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah,
maka resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan
ke dalam kompartemen ekstraseluler dibagi menjadi cairan intravaskular dan
intersisial.5

2
1. Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraseluler. Pada
orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraseluler (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat
badannya merupakan cairan intraselular.
2. Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif
cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah
usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga
dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda
cengan berat rata-rata 70 kg.5
Cairan ekstraselular dibagi menjadi 5:
a. Cairan Interstisial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstisial, sekitar
11-12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume
interstisial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2
kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.5
b. Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya
volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 L
dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah
merah, sel darah putih dan platelet.5
c. Cairan Transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu
seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan
sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan
transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak
dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.5

3
Body
100%

Water Tissue
60% (100) 40%

Intracellular space Extracellular space


40% (60) 20% (40)

Intracellular space Intravascular space


15% (30) 5% (10)

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh

B. CAIRAN PERIOPERATIF
Gangguan dalam keseimbangan caifran dan elektrolit merupakan hal
yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor
preoperatif, perioperatif dan postoperatif.5
Faktor-faktor preoperatif5 :
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk
oleh stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostic
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena
dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal
karena efek diuresis osmotik.

3. Pemberian obat

4
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi ekskresi air
dan elektrolit.
4. Preparasi bedah
Laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elektrolit dari
traktus gastrointestinal
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperative
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan
cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien
menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.
Faktor Perioperatif5 :
1. Induksi anestesi
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka
operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
Faktor postoperatif5 :
a) Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
b) Peningkatan katabolisme jaraingan
c) Penurunan volume sirkulasi yang efektif
d) Risiko atau adanya ileus postoperatif

a. Dasar-dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif2,13,14

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :

1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian

5
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan + 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari K+=1 mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringan (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan
yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak
dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali
menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,
translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan
meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan
berkeringan banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera
diganti sebelum dilakukan pembedahan.
3. Kehilangan cairan saat pembedahan
a. Perdarahan
Secara otoritas perdarahan dapat diukur dari :
- Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah
(suction pump).
- Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah
pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung + 10
ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap
darah + 100 – 10 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa
ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan
keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan
kada hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap
eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah

6
bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya
darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih
menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan
translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan
(evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka
pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau
lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara
masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat
mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstisial dan perpindahan
cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah
cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran
cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan
dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen
ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang
ekstraseluler.
4. Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan :
- Laju filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
- Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh
meningkatnya kadar aldosteron.
- Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya
retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules)
meningkat.

b. Pengganti Defisit Pra Bedah2,13,14


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement)
harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah
sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam

7
pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya.
Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan cairan hipotonis
seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang
karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang
dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan
penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa.
Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang
seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan
resusitasi carian atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

c. Terapi Cairan Selama Pembedahan 2,13,14


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan
dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan,
translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan
tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah
mata (ekstraksi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama
pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya : appendektomi dapat diberikan
cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4
ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan
adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau
Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk
pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam

Tabel 1. Rates of Fluid Administration to Replace Third Space Losses


Fluid Shift Example of Operation Rates * (Crystalloid)
Minor Tendon Repair 0 – 3 ml/kg/hr

8
Tympanoplasty
Moderate Hysterectomy Inguinal hernia 6 ml/kg/hr
Total hip replacement
Major Abdominal case with peritonitis 9 ml/kg/hr
*Includes 2 ml/kg/hr maintenance but not usual 3 ml crystaloid/ml blodd not
replaced with blood.
4. Penggantian darah yang hilang
Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV=Estimated Blood
Volume=taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi,
takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan
mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali
tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif.
Tabel 2. Perkiraan volume darah
Usia Volume darah
Neonatus
* Prematur 90 ml/kg BB
* Full term 85 ml/kg BB
Bayi 80 ml/kg BB
Dewasa
* Laki-laki 75 ml/kg/BB
* Wanita 65 ml/kg/BB

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan


laruatan kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan
pertimbangan berdasarkan :
a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan
b.Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi.
c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum
d.Kedaaan hemodinamik (tensi dan nadi)
e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit

9
g.Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah :
- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar
hemoglobin sebesar 1 gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.
- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin
3 gr%. Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya
sehingga diuresis + 1 ml/kgBB/jam.

d. Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah2,13,14


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal dibawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah torpis dalam keadaan basal sekitar
+ 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan
pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang
rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,
akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi
air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu
pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma
pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan
protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%.
Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila
perlua larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai
penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10
gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut
oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut.

10
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama,
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter
pupil, jalan napas, frekuensi napas, suhu tubuh dan warna kulit.

e. Pilihan Jenis Cairan2,13,14


1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES=CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di
setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan
alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruch cairan kristaloid di ruang intravaskuler
sekitar 20-30 menit.
Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah
sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edama
perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema
jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian
Mills, dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuat penelitian yang
dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial.

Tabel 3. Komposisi Cairan Kristaloid


Solution Tonicity Na+ Cl- K+ Ca2 Glucose Lactate
5% Hypo (253) 50
Dextrose in
water
Normal Iso (308) 154 154
saline

11
D5 ¼ NS Iso (330) 38,5 38,5 50
D5 ½ NS Hyper 77 77 50
(407)
D5NS Hyper 154 154 50
(561)
Lactated Iso (273) 130 109 4 3 28
Ringers
D5LR Hyper 130 109 4 3 50 28
(525)

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan
lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walaupun agak hipotonis dengan susunan yang
hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan
kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan
berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchlorenmic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotuik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hemorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang
banyak (misal luka bakar).

12
Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross
match”. Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid :
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5 dan
2,5%)
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 600 C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma
selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh
sebab itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali
menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
b. Koloid sintesis, yaitu :
1) Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000 – 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan
dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah
lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas)
darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat
mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,
meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
2) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-
rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46%

13
lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan
koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang).
Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta
starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume
yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai
plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak
mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk
resusitasi cairan pada penderita gawat.
3) Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul
rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam
gelatin, yaitu :
a. Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
b. Urea linked gelatin
c. Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita
gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama
dari golongan urea linked gelatin

Tabel 4. Perbedaan cairan kristaloid dan cairan koloid


Sifat-sifat Kristaloid Koloid
1. Berat Molekul Lebih kecil Lebih besar
2. Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam sirkulasi
3. Faal Hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
4. Penggunaan Untuk Dehidrasi Pada perdarahan massif
5. Untuk koreksi Diberikan 2-3x jumlah Sesuai jumlah perdarahan
perdarahan perdarahan

14
BAB III
SIMPULAN

Terapi cairan perioperatif merupakan pemberian cairan pada periode sebelum,

sesaat, dan setelah operasi. Terapi cairan perioperatif dilakukan dengan tujuan untuk

melengkapi kebutuhan cairan dan elektrolit dalam mempertahankan perfusi jaringan

yang adekuat, mencegah, dan mengoreksi adanya defisit cairan.

Pemberian terapi cairan perioperatif dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu pre

operatif, intra operatif, dan post operatif. Cairan kristaloid, cairan koloid, maupun darah,

adalah jenis cairan yang digunakan dalam pemberian terapi cairan. Pemilihan jenis

cairan yang diberikan dibedakan oleh komposisi cairan yang diberikan. Pemilihan rute

pemberian cairan adalah hal yang perlu diperhatikan. Pemilihan rute pemberian cairan

didasari pada beberapa pertimbangan seperti durasi pemberian cairan.

Dalam pemberian terapi cairan terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi,

seperti gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, hingga terjadinya infeksi. Pemberian

terapi cairan sesuai dengan prosedur dapat mencegah terjadinya komplikasi dan

mempercepat penyembuhan pasien pasca operasi.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J. Anaesh.
2003;47(5):380-387.
2. Kaswiyan U. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi.
Fakultas Kedokteran UnPad/RS Hasan Sadikin. 2000.
3. Holte K, Kehlet H. Compensatory fluid administration for preoperative
dehydration – does it improve outcome? Acta Anaesthesiol Scand. 2002; 46:1089-
93.
4. Keane PW, Murray PF. Intravenous Fluids in Minor Surgery. Their effect in
Recovery from Anaesthesia. 1986; 41:635 – 7.
5. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. Fifth edition.
Missouri: Elsevier – mosby; 2005.p3-227.
6. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. Ninth edition.
Pennsylvania:W.B. Saunders company; 1997:375-393.
7. Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi cairan pada pembedahan.
Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, 2002.
8. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. Second edition.
Pennsylvania: Springhous; 2002:3-189.
9. Schwartz SI, ed. Principles of Surgery Companion Handbook. Seventh edition.
New York.
10. Silbernagl F, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart: Thieme;
2000:122 – 3.
11. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University – Center for
Veterinary Health. 2006 (Diakses tanggal 29 September 2007). Tersedia dari :
http://member.tripod.com/lyser/ivfs.htm
12. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif
FK UNDIP: Semarang; 2004:1-60.
13. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. Fifth
edition. Philadelphia:Lippincot Williams and Wilkins; 2006:74-97.
14. Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Jakarta : Media Aesculapius; 2000:1-58.
15. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online] 2006 Mar [dikutip 6
Okt 2007]. Tersedia dari: URL: http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.
16. Fakultas Kedokteran UnPad. Protokol Tindakan Bedah. Bandung.2003.
17. Graber MA. Terapi cairan, elektrolit dan metabolik. Edisi 2. farmedia; 2003:17-
40.

16

Вам также может понравиться