Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB I

PENDAHULUAN

Kornea adalah selaput bening mata yang tembus cahaya dan merupakan lapis jaringan
yang menutup bola mata. Kornea memiliki daya bias terkuat yang berfungsi dalam tajam
penglihatan.1 Fungsi kornea sebagai membran pelindung dan jendela ini mengakibatkan
kornea rentan tehadap trauma dan kerusakan pada lapisan epitel yang mengakibatkan
masuknya mikroorganisme ke dalam kornea sehingga menyebabkan peradangan.1,2
Peradangan pada kornea disebut keratitis yang diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea
yang terkena, seperti keratitis superfisial dan interstisial atau profunda. Peradangan yang
terjadi akan mengakibatkan kekeruhan pada media kornea, sehingga akan terjadi penurunan
tajam penglihatan. Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan protozoa.1,2
Penyebab virus yang mengakibatkan infeksi pada kornea termasuk infeksi virus pada
saluran nafas seperti adenovirus. Virus herpes simpleks dan virus herpes zoster adalah virus
tersering menyebabkan keratitis virus. Saat ini, keratitis virus adalah penyakit mata penyebab
ulkus kornea paling umum di Amerika. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika, 50-90%
orang dewasa ditemukan antibodi HSV-1, yang mengindikasikan terjadinya paparan virus.
Insiden infeksi virus herpes simpleks pada mata yaitu 0,15%. Selain itu, diperkirakan
ditemukan 20.000 kasus baru, dan keratitis virus herpes simpleks ini juga merupakan
penyebab tersering kebutaan dengan 500.000 orang pernah mengalami penyakit ini.1,2,3
Gejala yang ditemukan pada keratitis virus antara lain mata merah, mata berair, nyeri,
silau, mata terasa mengganjal seperti kelilipan, dan terjadinya penurunan penglihatan.1,2,3,4
Biasanya keratitis virus ditemukan bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala
konjungtiva, ataupun tanda akut.1 Keratitis pada umumnya didahului defisiensi vitamin A, dry
eye, abnormalitas ukuran dan bentuk kornea, trauma dan kerusakan epitel, daya imunitas yang
berkurang, penggunaan kortikosteroid, dan herpes genital.1,2 Penularan penyakit pada
umumnya melalui kegiatan sehari-hari seperti kontaminasi kontak tangan, instrumen medis,
kolam renang, ataupun barang-barang pribadi.3 Tidak ada pengobatan spesifik pada
konjungtivitis virus karena pada umumnya sembuh sendiri, namun hendaknya menghentikan
replikasi virus dalam kornea.2
Dalam SKDI, keratitis virus merupakan kompetensi 3A, sehingga dokter umum harus
mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
bukan gawat darurat. Selanjutnya mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
1
penanganan pasien selanjutnya dan menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Penulisan
telaah ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
diagnosis, serta tatalaksana dari keratitis virus. Diharapkan telaah ilmiah ini dapat bermanfaat
untuk memberikan informasi terkait keratitits virus, sehingga kebutaan akibat ulkus kornea
sebagai komplikasi dapat dicegah dan menjadi salah satu sumber pustaka mengenai keratitis
virus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang tembus cahaya dan merupakan lapis
jaringan yang menutup bola mata. Kornea memiliki daya bias terkuat yang berfungsi
dalam tajam penglihatan.1

2.1.1 Anatomi Kornea

Gambar 1. Anatomi kornea2


Kornea adalah jaringan transparan atau selaput bening mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas lima lapis.1,2 Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan,
berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks
refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25
dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia.4
Dalam mencukupi nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa
dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah
satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva.4

3
Gambar 2. Kandungan lapisan air mata di kornea4,6

2.1.2 Histologi Konjungtiva


Secara histologis, lapisan sel kornea ter diri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.1,2 Berikut
lapisan-lapisan kornea:1
1) Epitel
- Terdiri atas 5 lapis sel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis
sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal
menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2) Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

4
3) Stroma
- Menyusun 90% ketebalan stroma.
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercaban; terbentuknya sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4) Membran Descemant
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus menerus seumur hidup,
memiliki ketebalan 40 mikrometer.
5) Endotel
- Berasal dari mesotelium, hanya satu lapisan, bentuk heksagonal, besar 20-40
mikrometer. Endotel melekat pada membran descemant melalui hemidesmosom
dan zonula okluden.

Gambar 3. Lapisan histologi Kornea4

2.1.3 Perdarahan dan Persarafan


Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliaris longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowaman

5
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus krause untuk sensasi dingin
ditemukan di daerah limbus Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi
endotel dan erjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.1,2

2.1.4 Fisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau
keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa”
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam
mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada
endotel berdampak jauh lebih parahdaripada kerusakan pada epitel.
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema
stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi.2
Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal in imungkin
merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial
dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi. Penetrasi kornea utuh
oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh
dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui
kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar
yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun
sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman
mudahterkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri,
virus, amuba, dan jamur.2

6
2.2 Definisi Keratitis Virus
Keratitis virus adalah peradangan yang terjadi pada kornea yang disebabkan
oleh virus. Keratitis virus dikenal dengan nama lain keratitis herpes simpleks dan
keratitis virus varisella-zoster.1,2

2.3 Epidemiologi Keratitis Virus


Keratitis virus adalah penyakit mata penyebab ulkus kornea paling umum di
Amerika.1,2,5 Pada penelitian yang dilakukan di Amerika, 50-90% orang dewasa
ditemukan antibodi HSV-1, yang mengindikasikan terjadinya paparan virus. Insiden
infeksi virus herpes simpleks pada mata yaitu 0,15%. Selain itu, diperkirakan
ditemukan 20.000 kasus baru, dan keratitis virus herpes simpleks ini juga merupakan
penyebab tersering kebutaan dengan 500.000 pernah mengalami penyakit ini. Keratitis
herpes simpleks lebih sering ditemukan pada laki-laki1,2,3
Selain itu pada penderita keratitis virus, virus herpes dilaporkan sering
ditemukan di ganglion trigeminal dengan umur lebih dari 60 tahun saat dilakukan
autopsi.5

2.4 Klasifikasi Keratitis Virus


Secara umum, keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan yang
terkena. Keratitis dibagi menjadi Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial
dan Keratitis Pungtata Subepitel). Keratitis pungtata adalah keratitis dengan
infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel. Keratitis
virus diklasifikasikan menjadi keratitis herpes simpleks, yang dibagi menjadi
bentuk epitelial atau stromal dan keratitis varicella-zoster.1,2,3,7

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab virus yang mengakibatkan infeksi pada kornea termasuk infeksi
virus pada saluran nafas seperti adenovirus. Virus herpes simpleks dan virus
herpes zoster adalah virus tersering menyebabkan keratitis virus.1,2
Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan
parasit intraselular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung,
rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak
dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang

7
mengandung virus. Virus herpes atau HSV dibagi menjadi dua. Antara lain HSV-1
yang sering ditemukan pada area orofaring, sedangkan HSV-2 lebih sering
ditemukan di area genital, meskipun masing-masing virus dapat menyerang di
daerah daerah tersebut.2,4,5
Faktor risiko yang juga menyebabkan terjadinya keratitis herpes simples
adalah lemahnya sistem imun pejamu. Selain itu juga pada orang yang sering
menggunakan obat kortikosteroid. Sedangkan penyebab terjadinya keratitis virus
varicella zoster adalah infeksi primer dan rekurensi pada penyakit cacar.2

2.6 Patofisiologi
Virus melakukan pembelahan atau replikasi virus di dalam epitel, yang akan
mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superfisial atau lebih
pada keratitis epitelial. Pada keratitis stromal, diakibatkan oleh karena reaksi
imunologik tubuh pasien sendiri terhadap virus yang menyerang. Antigen virus dan
antibodi pasien bereakasi di dalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel
radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen (virus)
yang juga akan merusak jaringan stromal di sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan
pengobatan dimana pada yang epitelial dilakukan terhadap virus dan pembelahan
dirinya sedang pada keratitis stromal dilakukan pengobatan menyerang virus dan
reaksi radangnya.1

2.7 Gejala Klinis


Pasien dengan keratitis herpes simpleks mengeluh nyeri pada mata,
fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun
terutama jika bagian pusat yang terkena. Infeksi primer Herpes simpleks pada mata
biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang
ulseratif, serta pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga
disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada
dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu
dimana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.1,2
Serangan keratitis herpes jenis rekurens yang umum dapat dipicu oleh demam,
pajanan berlebihan terhadap sinar UV, trauma, awal menstruasi, atau sumber

8
imunosupresi lokal atau sistemik lainnya. Umumnya terjadi unilateral, tetapi lesi
bilateral dapat terjadi pada 4-6% kasus dan paling sering pada pasien atopik.2
1) Gejala pertama yang ditemukan adalah iritasi, fotofobia, dan mata berair. Bila
kornea bagian sentral terkena, juga terlihat sedikit gangguan penglihatan. Karena
anestesi kornea umumnya timbul di awal infeksi, gejala mungkin minimal dan
pasien tidak datang berobat.2
2) Lesi paling khas adalah ulkus dendritik. Ini terlihat pada epitel kornea, memiliki
bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluorescein membuat
dendritik mudah terlihat, sayangnya, keratitis herpes dapat juga menyerupai
banyak infeksi kornea lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial lesi
kornea.2

Gambar 4. Gambaran dendritik dengan penggunaan fluorescein.7

3) Ulserasi geografik adalah bentuk penyakit dendritik kronik dengan lesi dendritik
halus yang bentuknya lebih lebar. Tepian ulkus tidak terlalu kabur. Sensasi kornea,
seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Dokter harus selalu mencari adanya
tanda ini. Lesi epitelial kornea lain yang ditimbulkan oleh HSV adalah keratitis
bebercak, keratitis epitelial stellata, dan keratitis filamentosa. Namun, semua ini
hanya sementara dan sering menjadi dendritik yang khas dalam satu atau dua hari.2

9
Gambar 5. Gambaran ulserasi geografik HSV dengan menggunakan fluorescein dan pewarnaan rose
bengal.3

Gambar 6. Gambaran dendritik pada keratitis virus7


4) Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan oleh infeksi HSV. Bayangan mirip hantu
yang bentuknya sesuai dengan defek epitel asli, tetapi sedikit lebih besar, terlihat
di daerah tepat di bawah lesi epitel. Hantu itu tetap superfisial, tetapi sering
bertambah nyata karena pemakaian obat anti-virus, khususnya idoxuridine.
Biasanya lesi ini tidak menetap lebih dari satu tahun.2
5) Keratitis disformis adalah bentuk penyakit stroma yang paling umum pada infesi
HSV. Stromanya edema di daerah sentral yang berbentuk cakram, tana infiltrasi
cukup, dan biasanya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup untuk
menghasilkan lipatan-lipatan di membran descment. Edema adalah tanda yang
paling menonjol, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi
minimal. Gambaran klinis serupa terlihat pada keratitis endotelial primer
(endotelitis), yang dapt disertai uveitis anterior dengan tekanan intraokuler yang
meninggi dan peradangan fokal pada iris. Ini dianggap sebagai akibat replikasi
virus di dalam berbagai struktur di bilik mata depan.2

10
Gejala klinis dari keratitis virus varicella-zoster berbeda dari keratitis HSV
yang hanya mengenai epitel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior
sejak awal terjadi. Seringkali juga terjadi kehilangan sensai kornea.2

2.8 Diagnosis banding dan diagnosis


Keratitis termasuk dalam gejala mata merah dengan penglihatan turun
mendadak. Oleh karena itu, keratitis harus dapat di diagnosis banding dengan
uveitis dan glaukoma akut. Berikut ringkasan objektif pada glaukoma, uveitis, dan
keratitis.1

Tabel 1. Ringkasan gejala objektif mata merah dengan penglihatan turun mendadak.1
Gejala subjektif Glaukoma akut Uveitis akut Keratitis akut
Injeksi silier + ++ +++
Injeksi konjungtiva ++ ++ ++
Kekeruhan kornea +++ - +/+++
Kelainan pupil Midriasi non reaktif Miosis iregular Normal/miosis
Kelainan BMD Dangkal Normal Normal
Tekanan intra Tinggi Rendah Normal
okular
Sekret - - -
Kelenjar pre - - -
aurikular

Dalam mendiagnosis keratitis virus dapat dilakukan antara lain sebagai


berikut:8
1. Anamnesis berdasarkan gejala klinis. Gejala klinis yang dapat ditemukan
antara lain kemerahan pada mata, discharge, iritasi, gata, dan fotofobia. Pada
beberapa keadaan gejala baru ditemukan pada minggu kedua awal.2,9
2. Berkurangnya atau tidak adanya sensasi pada kornea terdapat pada keratitits
herpes
3. Melakukan pemeriksaan dengan sitologi pada badan inklusi di sampel terkait.
4. Mikroskop elektron
5. Melakukan kultur pada jaringan atau mendeteksi antigen virus

11
6. Melakukan PCR untuk mengidentivikasi HSV dari jaringan dan cairan sel
epitel kornea sangat akurat dan spesifik, namun membutuhkan biaya banyak.
Sebenanya juga dapat dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV
dan cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat
dibiakkan pada membran korio-allantoisembrio telur ayam dan pada banyak
jenis lapisan sel jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak
khas).2
Namun pada kebanyakan kasus, diagnosis seringali berdasarkan klinis
yaitu terdapat ulkus dendritik atau geografik yang khas dan tes sensibilitas
yang ditemukan keadaan sensasi kornea sangat menurun atau hilang sama
sekali.2
Berikut cara membedakan penyebab keratitis virus oleh karena herpes
simpleks atau varicella-zoster.

Tabel 2. Perbedaan Keratitis Herpes Simpleks dan Keratitis Varicella-Zoster.8


Gejala Herpes simpleks virus Varicella zoster virus
Distribusi dermatom Tidak lengkap Lengkap
Nyeri Sedang Sangat nyeri
Morfologi dendrit Ulserasi di sentral Kecil tanpa ulserasi
dengan terminal bulbs atau terminal bulbs
Postherpetic neuralgia Tidak ada Dapat dijumpai
Atrofi iris Tidak lengkap Sektoral
Bilateral Jarang Tidak ada
Rekurensi keratitis pada Sering Jarang
epitel
Hipostesi kornea Sektoral atau Dapat lebih parah
menyeluruh

2.9 Penatalaksanaan
Terapi pada keratitis herpes simpleks hendaknya bertujuan menghentikan
replikasi virus di dalam kornea,sambil mengurangi efek merusak respons radang.2
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial,
karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban

12
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun
epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin
5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan.
Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam. Terapi dengan obat topikal tanpa
debridement epitel bersifat menguntungkan karena tidak perlu ditutup, tetapi
terdapat bahaya keracunan obat.2,10

2) Terapi obat:1,7
- IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan
diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam).
- Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
- Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.
- Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
- Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada
orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif
3) Terapi bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun
hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif.2

4) Pengendalian mekanisme pemicu yang mereaktivasi infeksi HSV


Infeksi rekurens pada mata banyak dijumpai, kira-kira sepertiga dari seluruh
kasus, dalam 2 tahun serangan pertama. Pemicu dapat dihindari misalnya dengan
penggunaan aspirin dalam mencegah demam, menghindari pajanan berlebihan
sinar matahari atau sinar ultraviolet, dan dapat minum aspirin sebelum menstruasi.
Dapat digunakan antiviral profilaksis bentuk topikal dan atau oral, misalnya
menjelang bedah refraksi kornea dengan laser.2,5
Pada keratitis virus varicella-zoster obat antiviral intravena dan oral telah
dipakai dengan hasil lebih baik untuk mengobati herpes zoster oftalmik.
Khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oral acyclovir adalah
800mg lima kali sehari selama 10-14 hari.; valacyclovir 1g tiga kali sehari selama

13
7-10 hari, famciclovir 500mg per 8 jam selama 7-10 hari. Terapi hendaknya
dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan (rash). Peran antiviral topikal kurang
meyakinkan. Kortikosteroid mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis berat,
uveitis, dan glaukoma sekunder, namun masih kontroversional. Terapi ini mungkin
diindikasikan untuk mengurangi insidens dan hebatnya neuralgia pascaherpes,
tetapo memiliki risiko komplikasi steroid yang cukup bermakna.2

2.10 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang paling sering terjadi adalah ulkus kornea. Ulkus kornea
nantinya akan dapat menyebabkan kebutaan.2

2.11 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari pemicu dari
terjadinya serangan keratitis herpes. Selain itu dapat diberikan terapi antiviral
topikal sebagai profilaksis agar kornea tidak terlibat dan sebagai terapi untuk
penyakit kornea.2 Selain itu untuk saat ini sedang dikembangkan vaksin herpes
simpleks yang diharapkan dapat menurunkan kejadian keratitis virus.2

14
BAB III
KESIMPULAN

Kornea adalah selaput bening mata yang tembus cahaya dan merupakan lapis
jaringan yang menutup bola mata. Kornea memiliki daya bias terkuat yang berfungsi
dalam tajam penglihatan.1 Peradangan pada kornea dikenal dengan keratitis. Keratitis
virus adalah peradangan yang terjadi pada kornea yang disebabkan oleh virus.
Keratitis virus dikenal dengan nama lain keratitis herpes simpleks dan keratitis virus
varisella-zoster.1,2
Keratitis virus adalah penyakit mata penyebab ulkus kornea paling umum di
Amerika. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika, 50-90% orang dewasa
ditemukan antibodi HSV-1, yang mengindikasikan terjadinya paparan virus. Insiden
infeksi virus herpes simpleks pada mata yaitu 0,15%. Selain itu, diperkirakan
ditemukan 20.000 kasus baru, dan keratitis virus herpes simpleks ini juga merupakan
penyebab tersering kebutaan dengan 500.000 pernah mengalami penyakit ini. Keratitis
herpes simpleks lebih sering ditemukan pada laki-laki1,2,3,4
Keratitis virus diklasifikasikan menjadi keratitis herpes simpleks, yang
dibagi menjadi bentuk epitelial atau stromal dan keratitis varicella-zoster.1,2,3 Penyebab
virus yang mengakibatkan infeksi pada kornea termasuk infeksi virus pada saluran
nafas seperti adenovirus. Virus herpes simpleks dan virus herpes zoster adalah virus
tersering menyebabkan keratitis virus.1,2
Pasien dengan keratitis herpes simpleks biasanya akan mengeluh nyeri pada
mata, fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun
terutama jika bagian pusat yang terkena, dan menurun atau tidak ada sensasi sama
sekali pada kornea. Lesi paling khas ditemukan adalah ulkus dendritik. Saat ini,
diagnosis seringkali cukup berdasarkan klinis yaitu terdapat ulkus dendritik atau
geografik yang khas dan sensasi kornea yang sangat menurun atau hilang sama sekali.
Terapi pada keratitis herpes simpleks bertujuan menghentikan replikasi virus di
dalam kornea,sambil mengurangi efek merusak respons radang. Terapi dimulai dengan
debridement, terapi antiviral, terapi bedah, dan mencegah reaktiviasi virus.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah ulkus kornea. Ulkus kornea nantinya
akan dapat menyebabkan kebutaan.2

15
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari pemicu dari
terjadinya serangan keratitis herpes. Selain itu dapat diberikan terapi antiviral topikal
sebagai profilaksis agar kornea tidak terlibat dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. FKUI. Jakarta :124- 135
2. Vaughan D, Asbury T, dan Eva PR. 2015. Oftalmologi Umum. 17th ed. Editor : Susanto.
D, Jakarta : EGC
3. Wang Jim C. 2016. Herpes Simplex Keratitis Treatment and management. Editor:
Andrew A Dahl. Ophtalmology:Medscape
4. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA.2014. External disease and cornea. 8th edition Italia:
American Academy of Ophtalmology; FSC
5. Babu MS, Balammal G, Sangeetha G, et.al.2011. A Review on Viral Keratitis Caused by
Herpes Simplex Virus. Journal of Science.2011; 1 (1):1-10
6. Pflugfelder SC. 2011. Tear dysfunction and the cornea: LXVIII Edward Jackson
Memorial Lecture. Am f Ophthalmol. 2011;152(6):900-909.
7. Welder, JD. 2012. Herpes Simplex Keratitis.Ophtalmology and visual sciences:
University of Lowa Health Care
8. Uvaraj T. 2008. Viral Keratitis. Department of Ophthalmology, Medical College
Hospital. 2008; 3 (20):278-285
9. Azher TN, Yin XT, Tajifirouz D, et al. 2017. Herpes Simplex Keratitis: Challenges in
Diagnosis and Clinical Management. Clinical Ophtalmology 2017; 11: 185-191
10. Rishi M, Pratibha M, Rao, et al. 2016. Management and Treatment of Herpes Simplex
Keratitis. Op Ac Jo Micbiol & Bitechnol. 2016; 1(1): 000104

17

Вам также может понравиться