Вы находитесь на странице: 1из 13

POTRET KONDISI KESEHATAN MENTAL RAKYAT

INDONESIA

Oleh : A. Prayitno

Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Without mental health and sense of wellbeing, there is no real health

(Dr. Marc Danzon, WHO Director for Europe, 2004)

A PORTRAIT OF MENTAL HEALTH CONDITION RELATING TO THE


INDONESIAN PEOPLE

Abstract

Mental health is a key factor for the successful progress of the people within the framework
of national health development, with emphasis on national development. There is in effect
a significant relationship between physical and mental health, necessitating a holistic
approach. In commemoration of 100 years National Awakening Day on May 20,2008, a
portrait of the mental health conditions for the Indonesian people is hereby presented. A
constraint to cope with mental health problems is not sufficiently supported by legislation,
deliberation and budget, making it impossible for optimal implementation. Therefore, in
the future and because of its importance to enhance a country’s welfare, a mental health
development policy should accordingly be planned. In view of the ever increasing suicidal
and suicidal behavior case, this problem needs to be solved comprehensively to accomplish
better future results. The time is now to seek proper guidance in solving our nation’s
confused mental health problems and one of the remedies will be to legislate the Mental
Health Act and the establishment of a National Institute of Mental Health in this
country.

Key words : mental health, National Awakening Day, suicide, Mental Health Act,
National Institute of Mental Health

1
Abstrak

Kesehatan mental merupakan kunci keberhasilan bagi kemajuan bangsa Indonesia dalam
rangka pembangunan kesehatan nasional, bahkan pembangunan bangsa. Disadari bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara kesehatan fisik dengan kesehatan mental,
sehingga di dalam penanganannya harus bersifat bersifat holistik. Dalam rangka
memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 2008
dipaparkan potret kondisi kesehatan mental rakyat Indonesia pada saat ini.. Suatu hal
yang menjadi kendala selama ini penanganan kesehatan mental kurang didukung
denganlegislasi, perhatian dan anggaran yang memadai, sehingga dalam prakteknya
tidak dapat terselenggara dengan optimal. Oleh karena itu di masa yang akan datang,
mengingat begitu pentingnya kesehatan mental untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pembangunan kesehatan mental perlu dibuat kebijakan secara lebih
terencana. Khusus terhadap banyaknya orang yang melakukan bunuh diri dan perilaku
bunuh diri kiranya perlu dicarikan solusi yang komprehensif agar di masa mendatang
dapat ditanggulangi dengan lebih baik. Sudah saatnya kesehatan mental menjadi mitra
yang semestinya dijadikan acuan bagi masalah bangsa kita yang kian carut marut seperti
sekarang ini diperlukan Undang-Undang Kesehatan Mental dan wadah Lembaga
Kesehatan Mental Nasional .

Kata kunci : kesehatan mental, Hari Kebangkitan Nasional, bunuh diri, Lembaga
Kesehatan Mental Nasional

Pendahuluan

Tanggal 10 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental


Sedunia (World Mental Health Day). Di Indonesia, peringatan Kesehatan Mental
Sedunia dimulai sejak tahun 1993. Kiranya tepatlah apa yang dikemukakan oleh
Marc Danzon tersebut di atas, bahwa tanpa mental sehat dan rasa sejahtera, tidak
mungkin akan ada rasa sehat yang sesungguhnya. Dalam rangka memperingati
Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 2008, akan dipaparkan potret
kesehatan mental rakyat Indonesia pada saat ini. Sedangkan jargon Men sana in
corpore sano tidaklah selalu benar, karena orang yang berbadan sehat belum tentu
bermental sehat. Bahkan kita akan menikmati kesehatan fisik apabila kesehatan
mental kita dalam kondisi prima. Antara kesehatan mental dan kesehatan fisik
memang terdapat banyak keterkaitan yang signifikan. Seseorang yang menderita
sakit fisik yang parah biasanya didahului oleh proses psikologis yang lama dalam
kehidupan pribadinya.

2
Diakui, bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa orang dengan gangguan
mental memperlihatkan angka kematian yang lebih tinggi yang disebabkan oleh
kanker dan penyakit jantung dibandingkan dengan penduduk pada umumnya.
Telah diteliti pula bahwa risiko meningkat 88% untuk menderita penyakit kanker
pada orang-orang tua yang menderita depresi. Demikian juga, orang-orang yang
menderita depresi berakibat 70% menderita penyakit jantung. WHO dan Bank
Dunia sudah wanti-wanti bahwa beban utama penyakit (the global disease burden)
di seluruh dunia pada tahun 2020 akan bergeser ke kesehatan mental (terutama
depresi) yang akan berlomba dengan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kesehatan mental merupakan fondasi untuk memperoleh kualitas hidup yang
lebih baik dan sekaligus menjadi warganegara yang kreatif dan aktif.

Mental yang Sehat dan yang Sakit.

Gangguan mental merupakan suatu spektrum yang luas antara sehat


mental (waras) dan gangguan mental yang parah. Lembaga WHO dalam setiap 10
tahunnya telah menerbitkan ICD (International Classification of Diseases) dan
terakhir pada tahun 1993 yang membagi semua penyakit menjadi kira-kira 100
kelompok penyakit, di mana 10% merupakan gangguan mental.

Kesehatan mental masyarakat sering diabaikan oleh pemerintah dan


masyarakat itu sendiri. Padahal, WHO pada tahun 2004 telah memperingatkan
Indonesia agar memperhatikan kesehatan mental masyarakatnya. Bahkan WHO
memprediksi, tahun 2015 kesehatan mental masyarakat Indonesia dalam kondisi
mengkhawatirkan. Jika tidak segera diatasi, maka akan seperti kasus narkoba,
HIV/AIDS dan lain-lain.

Departemen Kesehatan RI menerbitkan buku Pedoman Penggolongan


Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, tentang klasifikasi gangguan mental atau
gangguan jiwa. Seseorang dinyatakan menderita gangguan mental, apabila:
Pertama, sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang secara klinis cukup
bermakna yang berarti pikiran, emosi dan perilakunya jelas patologis. Kedua,
secara khas berkaitan dengan penderitaan (distress) bagi diri, lingkungan dan

3
masyarakatnya. Ketiga, ketidakmampuan (impaiment, disability) di dalam satu atau
lebih fungsi yang penting dari manusia yaitu dalam fungsi sosial dan pekerjaan.

Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sehat


adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sedangkan sehat jiwa atau
mental adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu
berjalan selaras dengan keadaan lain. Dengan demikian untuk menikmati mental
yang sehat diperlukan perkembangan fisik yang optimal pula. Di samping itu
WHO pada tahun 1959 telah merumuskan mental yang sehat sebagai berikut:

1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif walaupun kenyataan itu


buruk
2. Memperoleh kepuasan dalam perjuangannya.
3. Merasa lebih puas untuk memberi daripada menerima.
4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling
memuaskan.
6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk masa
depan.
7. Menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
8. Mempunyai daya kasih sayang yang besar (have the capacity of love).

Penelitian masyarakat mengenai kesehatan mental di Indonesia telah


beberapa kali dilaksanakan. Penelitian di Kecamatan Tambora yang merupakan
kecamatan paling padat di Indonesia pada tahun 1984-1985 menunjukkan bahwa
sepertiga pengunjung Puskesmas datang dengan keluhan mental-emosional,
walaupun bukan berarti mereka seluruhnya menderita gangguan mental.
Keluhan mental-emosional tersebut, misalnya, adalah cemas, sedih, malu, segan
atau malas, mudah marah, jengkel, benci, iri hati, curiga, mudah kaget, gugup,
sukar tidur, sering mengantuk, pelupa, konsentrasi kurang dan sebagainya.

4
Gangguan mental tidak selalu berarti psikosis (gila) yang hanya
merupakan 20% dari keseluruhan gangguan mental. Dari penelitian di Puskesmas
secara acak, ternyata tiga dari 10 pasien yang berobat menunjukkan keluhan
kejiwaan. Sedangkan penelitian epidemiologis di 10 kota besar di Indonesia, 20,1
persen penduduk Jakarta menunjukkan keluhan mental emosional. Hasil
penelitian di suatu bank yang sangat terkenal menunjukkan bahwa 37 persen
karyawan di suatu bagian tertentu menderita gejala gangguan mental.

Stigma Terhadap Pasien Gangguan Mental

Stigma (mark of change or disgrace) adalah sifat negatif yang menonjol pada
pribadi seseorang karena pengaruh lingkungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, 1988) sering ditujukan kepada pasien mental. Banyak yang
beranggapan bahwa seseorang itu menderita gangguan mental memang betul-
betul sudah “gila”. Ada seorang Ketua Umum Partai yang menyerang lawan
politiknya bahwa ia harus dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa. Kita sangat prihatin
bahwa pasien yang terganggu mentalnya dianggap sebagai “orang-orang jahat
dan terkutuk”, padahal mereka adalah pasien yang harus diperhatikan dan diberi
pengobatan. Dahulu pada tahun 1965 tahanan politik yang sakit dirawat di
bangsal pasien jiwa, sehingga pasien jiwa menjadi tersinggung, demikian pula
sebaliknya.

Kemungkinan lain adalah karena orang yang menderita gangguan mental


atau berkonsultasi pada psikiater dalah “orang gila” yang pada zaman dulu
memang belum ada obatnya dan hasil terapi yang tidak memuaskan. Pada
penyakit fisik apabila terapi yang tidak sesuai standar akan meninggal, tetapi
pasien mental akan terus hidup dan dianggap mengganggu. Sebagai analoginya
adalah pasien tuberkulosis, kusta (lepra) dan AIDS yang dianggap orang yang aib
dan berdosa. Padahal kemajuan ilmu kedokteran yang pesat lebih banyak
menyembuhkan penyakit-penyakit yang dulu dianggap aib. Dengan ditemukan
obat-obatan psikotropika generasi terbaru, nasib pasien gangguan mental makin
jadi baik daripada dulu.

5
Pada tahun 1985 penulis pernah ditugaskan sebagai ketua Tim Kesehatan
Jiwa Seleksi Calon Astronout yang terdiri atas dua orang psikiater militer,
seorang guru besar psikiatri, tiga orang psikiater Depkes, tiga orang psikolog
militer dan lima orang psikolog serta seorang guru besar psikologi (yang ternyata
tidak muncul) dari Universitas Indonesia. Konon ada yang berkeberatan
melibatkan psikiater dalam seleksi calon astronout tersebut. Akibatnya, penulis
yang waktu itu berpangkat Kolonel “diadili” pada bulan puasa selama tiga jam
oleh lima orang Guru Besar dan dua orang Jenderal di kantor BPPT untuk
membuktikan perlunya psikiater yang memimpin tim. Akhirnya mereka menjadi
sangat yakin, karena walaupun dari segi fisik dan psikologis baik, tetapi dalam
menghadapi stresor yang sangat berat di ruang angkasa, semua kemampuan
dapat hilang sama sekali. Proses seleksi 47 calon astronout yang berlangsung dua
minggu tersebut, yang menentukan adalah pemeriksaan psikiatri. Ternyata tiga
orang calon astronout yang terpilih, hasilnya diterima oleh NASA di Houston
tanpa diperiksa ulang.

Sejak adanya kejadian itu, seleksi Calon Taruna AKABRI harus dilengkapi
dengan pemeriksaan psikiatri militer, dengan akibat berkurangnya kasus-kasus
psikosis, desersi, gangguan kepribadian dan gangguan mental lainnya. Sekarang
di lingkup TNI juga untuk Calon Bintara dan Tamtama dilakukan pemeriksaan
psikiatri. Akhir-akhir ini juga Calon Presiden, Gubernur, Bupati anggota DPR dan
DPRD perlu surat keterangan sehat mental dari psikiater.

Lembaga Tinggi Negara yang sudah memandang perlu dilakukan


pemeriksaan psikiater adalah Badan Pemeriksa Keuangan RI dalam rangka
mencari pejabat-pejabat eselon III dan IV yang sehat mental dan jujur, sehingga
mereka nantinya yang akan menjabat eselon yang lebih tinggi sudah terseleksi.
Upaya untuk melakukan pembinaan kesehatan mental di lembaga lembaga tinggi
negara yang lain belum berhasil, misalnya di DPR RI dan Mahkamah Agung RI.
Walaupun telah diketahui banyak anggota DPR dan hakim agung yang dalam
tugasnya mengalami stresor psikososial yang berat dan menjadi tidak jujur. Hal
ini berbeda dengan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa,
misalnya di gedung putih (Capitol) selalu ditugaskan seorang psikiater khusus

6
untuk Presiden, karena dianggap juga sebagai “Presiden dunia”. Begitu juga
dengan gubernur, industrialis, pebisnis dan selebriti yang selalu punya langganan
psikiater yang merasa bangga dan merasa mempunyai status social yang tinggi
dengan dibina kesehatan mentalnya.

Gangguan Mental yang Sering Terdapat di Indonesia

Diperkirakan terdapat 450 juta orang yang menderita gangguan mental


dan perilaku di seluruh dunia dan 200 juta di antaranya ada di Asia. Gangguan
mental dan perilaku tersebut adalah:

1. Gangguan mental akibat stres kehidupan

Rakyat Indonesia yang sedang dihimpit oleh berbagai macam krisis


sekarang ini banyak menderita gangguan mental ini. Yang kita
saksikan setiap hari di televisi adalah tidak ada hari tanpa demo atau
tindak kekerasan dan perusakan. Hampir semua iklan di media massa
elektronik dan cetak adalah obat-obatan untuk penyakit akibat stres
kehidupan, misalnya sakit maag, sakit kepala, dan pinggang, reumatik,
pegal linu, cepat letih, tidur “kurang berkualitas”, batuk yang tidak
sembuh-sembuh dan sering pilek yang dikategorikan sebagai gangguan
psikosomatik.

2. Depresi dan ansietas (kecemasan) dan perkiraan 6% dari penduduk


atau kira-kira 13 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia. Mereka
biasanya enggan berobat ke psikiater, tapi lebih banyak ke dokter
umum, spealisis penyakit dalam dan saraf, bahkan ke dukun dan
paranormal.
3. Skizofrenia yaitu gangguan mental berat yang merupakan penghuni
terbesar rumah sakit jiwa. Faktor risiko terjadinya gangguan mental ini
adalah faktor genetik, salah asuh dan faktor sosio-kultural terutama
kemiskinan. Jumlahnya 1,5 permil atau tiga juta orang dari 220 juta
rakyat Indonesia. Daya tampung di 40 rumah sakit jiwa dan bagian

7
psikiatri di rumah sakit umum memperkirakan berjumlah hanya
10.000 tempat tidur
4. Gangguan depresi berat dan gangguan bipolar (psikosis manik
depresif) yaitu gangguan mental tergolong psikosis dengan gejala
bergantian antara episode manik (maniakal) dan depresif. Pada
episode depresif kemungkinan pasien akan melakukan bunuh diri.
Jumlahnya diperkirakan setengah juta orang.
5. Gangguan stres pasca-trauma yang timbul setelah orang mengalami
stresor psikososial yang sangat berat, seperti bencana alam,
peperangan, perkosaan, penyiksaan dan penggusuran. Dengan
banyaknya bencana alam dan kerusuhan sosial, pasien ini bertambah
banyak. Bencana tersebut, misalnya tsunami, gempa bumi, banjir,
lumpur panas, konflik komunal dan kerusuhan massal.
6. Penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba dan zat adiktif lainnya.
Menurut Badan Narkotika Nasional RI, jumlahnya sekitar empat juta
orang dan yang meninggal karena overdosis 50.000 orang pertahun.
Hingga sekarang pasien narkoba masih dianggap sebagai kriminal
sehingga hanya sedikit yang ditangani di fasilitas kesehatan mental.
7. Gangguan mental organik karena gegar otak, keracunan, infeksi dan
kekurangan gizi. Misalnya, akibat dari busung lapar pada masa balita
akan berpengaruh pada inteligensi dan perilaku pada masa dewasa.
Kekurangan zat yodium juga menyita banyak inteligensi rakyat kita.
Trauma kepala yang terjadi karena pemukulan pada perkelahian
massal, kerusuhan dan demo menambah jumlah pasien ini.
8. Retardasi mental juga makin meningkat dengan lebih baiknya
pelayanan kesehatan, sehingga dapat terus bertahan hidup dengan
kondisi yang terbelekeng, diperkirakan mereka berjumlah 25 permil
atau 3,75 juta orang.
9. Epilepsi (ayan) akibat kelainan otak yang mengakibatkan gangguan
kepribadian diperkirakan berjumlah 0,26 permil dari penduduk atau
satu juta orang.
10. Perilaku bunuh diri .

8
Suasana perasaan (mood) kalau sedang dalam kondisi sangat buruk,
seseorang dapat mengakhiri nyawanya sendiri. Belakangan, kasus bunuh
diri di kalangan remaja belakangan mulai meningkat. Data resmi di
Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, selama 2006 tercatat 62 kasus
bunuh diri. Jumlah ini merupakan kelipatan tiga kali lebih banyak daripada
angka tahun sebelumnya. Bunuh diri dan percobaan bunuh diri sudah
menjadi berita sehari-hari di media massa. Akhir-akhir ini timbul kasus-kasus
membunuh orang lain, kemudian melakukan bunuh diri. Sebagai contohnya,
seorang ibu yang membunuh empat orang anaknya, kemudian bunuh diri.
Juga beberapa anggota polisi yang membunuh atasannya, teman, pacar dan
isterinya .

Director of WHO’s Department of Mental Health and Substance Abuse,


Benedetto Saraceno (2005) menyatakan : “The average number of deaths due
to suicide in Indonesia is 24 deaths for every 100.000 population”. Dengan
demikian dari 220 juta rakyat Indonesia yang melakukan bunuh diri 50.000
orang per tahun atau 150 orang sehari. Sedangkan percobaan bunuh diri 20
kali kelipatannnya. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya bunuh diri di
Indonesia sudah “lengkap”, yaitu pengangguran mendekati 40 juta,
kemiskinan, mahalnya biaya keprluan hidup dan sekolah, penggusuran
pemukiman dan kaki lima, lingkungan psikososial yang parah, kesenjangan
kaya dan miskin, pekerja migran dan gangguan mental, terutama depresi
yang tidak tertangani secara optimal. “Penyakit” korupsi misalnya, jaramg
ditinjau sebagai masalah kesehatan mental yang serius. Pelaku korupsi
adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan meraih prestasi
kemanusiaan dan memilih jalan pintas sebagai cara menyelesaikan masalah,
mirip mekanisme perilaku bunuh diri. Dari perspektif yang berbeda, korupsi
merupakan bentuk delinquency yang mengandung unsur kekerasan
terselubung terhadap kemanusiaan.

Perilaku menyimpang lainnya di masyarakat adalah sulitnya mencari


orang yang jujur, menggergaji rel kereta api yang kemudian menjarah

9
korbannya setelah keretanya terguling, memasang “jangkar” dengan tujuan
mengempeskan ban kendaraan, menjarah korban lalu lintas dan sebagainya.

Pembinaan Kesehatan Mental

Dengan besarnya masalah kesehatan mental di Indonesia, tentunya


diperlukan upaya yang besar dan serius oleh setiap pemimpin di pemerintahan,
legislatif, yudikatif dan masyarakat bahkan di keluarga. Penanganan gangguan
mental tidak mungkin hanya dilakukan oleh psikiater yang jumlahnya hanya 500
orang dan sekitar 50 rumah sakit jiwa dan fasilitas kesehatan jiwa lainnya
(sebagai pembanding Finlandia dengan penduduk 6 juta, jumlah psikiater 600
orang atau Amerika Serikat yang mempunyai lebih dari 20.000 psikiater). Apalagi
menurut Majalah Time pada bulan November 2003, biaya perawatan pasien
mental di Indonesia kurang dari satu dollar sehari. Kesehatan mental perlu dibina
dengan integrasi antara profesi psikiater, dokter, psikolog, antropolog, rohaniwan
secara lintas sektoral. Dulu pada tahun 1980-an hampir di setiap provinsi
dibentuk Badan Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (BPKJM) yang diketuai oleh
Gubernur dan dipelopori oleh Gubernur Ali Sadikin, tetapi sekarang tidak
terdengar lagi gaungnya. Undang-undang Kesehatan Jiwa Tahun 1966 yang
diterbitkan pada masa Presiden Soekarno sudah sejak tahun 1992 dihapus dan
hingga kini penggantiannya dengan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan
Jiwa belum juga diterbitkan. Sudah waktunya kita mempunyai Undang-Undang
Kesehatan Mental untuk memayungi semua peraturan dan kebijakan dalam
membina kesehatan mental rakyat Indonesia.

Khusus terhadap generasi muda, terdapat banyak unsur keluarga yang


berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mental. Keluarga memiliki
pengaruh yang sangat berarti terhadap perkembangan kepribadian atau
kesehatan mental anak dan remaja. Unsur-unsur keluarga yang dipandang
berpengaruh itu adalah menyangkut keberfungsian dan perlakuan keluarga.

Pertama, keberfungsian keluarga. Seiring dengan perjalanan hidupnya


yang diwarnai oleh faktor internal (kondisi fisik, psikis, dan moralitas para

10
anggota keluarga), dan faktor eksternal (perubahan sosial budaya), maka masing-
masing keluarga mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang
semakin kokoh dalam menerapkan fungsinya (fungsional-normal), namun ada
juga keluarga yang mengalami keretakan atau ketidakharmonisan (disfungsional-
tidak normal).

Kedua, pola hubungan orang tua-anak (sikap atau perlakuan orang tua
terhadap anak). Secara antropologis, dikemukakan lima prinsip effective parenting,
yaitu sebagai berikut: (a) Menyusun standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun
dapat dipahami. Dalam hal ini anak diharapkan untuk berperilaku dengan cara
yang tepat sesuai dengan usianya. (b) Menaruh perhatian terhadap perilaku anak
yang baik dan memberikan reward (ganjaran). Perlakuan ini perlu dilakukan
sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa mereka
sering menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang,
namun membiarkannya ketika melakukan yang baik. (c) Menjelaskan alasannya
(tujuannya), ketika meminta anak untuk mengerjakan sesuatu. (d) Mendorong
anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain. (e) Menegakkan
aturan secara konsisten.

Untuk menanggulangi masalah kesehatan mental tersebut kita harus


optimis terutama dalam prevensi baik dan tidak menambah stres atau
penderitaan rakyat. Sekarang sudah dirintis dalam beberapa hal, misalnya,
penurunan harga obat generik terutama psikotropika yang perlu digunakan
dalam jangka panjang. Jaringan Pengaman Sosial serta perhatian, compassion dan
kasih-sayang dari Presiden dan para menteri dalam menangani korban-korban
bencana alam serta aktivitas perorangan dan yayasan-yayasan yang menangani
pasien mental secara tulus dan ikhlas. Di bidang ilmu pengetahuan dan
penelitian sudah saatnya kita mempunyai Lembaga Kesehatan Mental Nasional
seperti yang telah ada di negara-negara lain.

Penulis masih ingat beberapa tahun yang lalu waktu mengunjungi


Intramuros di Manila melihat patung-patung Presiden Filipina dari Laurel hingga
Gloria Macapagal Arroyo. Waktu bertemu dengan orang yang berjualan, penulis

11
bertanya: “What do you think about your presidents?” Ia menjawab:” They are all
corruptors, they should be hanged on the trees! But some of them are good corruptors”.
Siapa dan apa kriterianya, ia menjawab Marcos dan Erap Estrada karena mereka
menaikkan gaji dan menurunkan harga bahan-bahan pokok serta membangun
sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyat. Kita berharap agar para
penyelenggara negara sekarang bukan lagi pelaku koruptor, tetapi pemimpin
yang dapat menyejahterakan rakyat sehingga dapat meringankan dan
mengurangi kasus-kasus gangguan mental rakyat Indonesia.

Penutup

Banyaknya jumlah pasien dengan gangguan kesehatan mental di Indonesia


dan fenomena bunuh diri yang akhir-akhir ini terjadi, disebabkan kondisi
kesehatan mental rakyat Indonesia terus mengalami penurunan . Selain itu, juga
didorong pengaruh situasi ekonomi, sosial dan politik yang tidak pasti
bersamaan dengan makin mundurnya Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index).
Penduduk Indonesia yang besar jumlahnya mengalami masalah kesehatan
mental yang besar pula dalam jumlah dan jenis gangguan mentalnya pada saat
kita memperingati 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Masalah kemiskinan,
pengangguran dan ketidakadilan turut berperan dalam menambah jumlah
gangguan mental. Tetapi kita sebagai bangsa yang besar, harus optimistik akan
dapat mengatasi masalahnya untuk menjadi bangsa yang maju, cerdas, beradab
dan sehat mentalnya. Arah kebijakan Pemerintah sekarang sudah banyak yang
benar dengan memperhatikan penanggulangan kemiskinan, pengangguran,
penanganan korban bencana alam yang lebih memadai, pemberantasan KKN,
empati para pejabat pemerintah terhadap rakyat yang menderita dan pengobatan
untuk orang miskin yang ditanggung oleh negara.
Untuk menanggulangi masalah kesehatan mental yang besar tersebut
diperlukan komitmen pada para penyelenggara negara dan pemimpin
masyarakat yang ditindallanjuti dengan menerbitkan Undang-Undang Kesehatan
Mental dan dibentuknya Lembaga Kesehatan Mental Nasional.

12
Jakarta, 22 Januari 2008

13

Вам также может понравиться