Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan
glomerulonefritis akut
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahu tentang definisi dari GNA (Glomelurus Nefritis
Akut)
b. Untuk mengetahui tentang etiologi dari GNA (Glomelurus Nefritis
Akut)
c. Untuk mengetahui mengenai manifestasi klinis dari GNA (Glomelurus
Nefritis Akut)
d. Untuk mengetahui mengenai patofisiologi GNA (Glomelurus Nefritis
Akut)
e. Untuk mengetahui mengai komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan GNA (Glomelurus Nefrtis Akut)
f. Untuk mengetahui mengenai Penatalaksanaan pasien denganGNA
(Glomelurus Nefritis Akut)
g. Untuk mengetahui Asuhuan keperawatan pada pasien dengan GNA
(Glomelurus Nefritis Akut).
BAB II
KONSEP TEORI
A. Definisi
E. Komplikasi
1. Oesteodistrofi Ginjal
Istilah “oesditrofi ginjal” mencakup keseluruhan spektrum penyakit tulang
yang dijumpai pada CFR. Penurunan kemampuan ginjal mengekresikan
fosfor diduga merupakan peristiwa pemicu terjadinya oesteodistrofi.
Dengan suatu diet normal,beban fosfor yang diabsorbsi akan melebihi
kebutuhan tubuh. Ginjal mempertahankan homeostasis fosfor dengan
mengatur proporsi fosfor hasil filtrasi yang diekskresi dalam urine.
Seiiring menurunnya fungsi ginjal, pembuangan fosfor serum meningkat
dan kalsium diendapkan sebagai kasium fosfat. Konsentrasi kalsium
terionisasi di plasma menurun drastis, merangsang sekresi parathonormon
( PTH). Parathormon memiliki dua pengaruh utama : meningkatkan
sekresi fraksional fosfor oleh ginjal dan melepas kalsium dari rangka.
Hiperfosfatemia dan hiposalaksimia untuk sementara akan dikoreksi.
Dengan terus menurunnya fungsi ginjal, dibutuhkan kadar PTH yang
semakin lama semakin tinggi. Pada akhirnya ekskresi fosfor juga adekuat
dari ginjal tidak dimungkinkan lagi, terlepas dari derajat
hiperparatiroidisme yang terjadi. Anak dengan dominasi rakitis atau
oesmalasia memiliki kadar PTH tinggi dan juga fosfat alkali, tetapi produk
kalsium fosfor tidak meningkat. Secara radiografis, anak kecil
memperlihatkan temuan rakitis : oestomalasia terjadi pada anak yang fusi
episifisnya sudah terjadi. Oestomalasia juga terlihat pada pasien dengan
akumulasi alumunium berlebihan di dalam tulang, berbeda dengan
penderita oestomalasia karena defisiensi vitamin D, kadar kalsium serum
mereka normal atau tinggi dan kadar PTH rendah. Manifestasi klinis
oestodistrofi ginjal bergantung pada usia pasien serta durasi penyakit.
Pencegahan dan pengelolaan penyakit tulang merupakan tantangan besadr
dalam menatalaksanakan anak dengan ginjal. Semua anak penderita CRF
harus dianggap menderita oestodistrofi. Tidak ada pengujian pasti untuk
tahap dini penyakit ini. Sebagian anak membutuhkan tambahan kalsium
diluar dan diatas jumlah yang secara insidental diperoleh dari dosis
pengikat fosfot oleh CaCo3 guna mempertahankan kadar kalsium serum
yang normal. Efek terapi harus di pantau melalui serangkaian perhitungan
kadar serum kalsium, fosfor, dan fosfatase alkali, serta dengan
memperoleh radigram periodik. Kepatuhan, khusunya terhadap pengikat
fosfat, sering kali buruk dan dibutuhkan penyemangatan terus-menerus
2. Kelainan Neurologik
Anak dengan gagal ginjal berat akan rentan terhadap bergam masalah
neurologik. Kejang tidak jarang ditemukan;ini biasanya terjadi sekunder
akibat hipertensi, meskipun kelainan metabolik seperti hiponatremia,
hipokalsemia, atau nitrogen urea yang sangat tinggi terkadang dapat juga
dipersalahkan. Ensafalopati dan neuropati perifer merupakan komplikasi
terkenal dari uremia kronis; kedua kondisi tersebut dianggap terjadi akibat
peningkatan kandungan alumunium di SSP, hiperparatiroidisme, atau
tertahannya toksin uremik. Pada orang dewasa,disfungsi neurologik yang
secara klinis signifikan belum akan muncul hingga gagal ginjal telah
mencapai stadium lanjut. Sebaliknya, otak yang sedang berkembang
tampaknya justru secara khusus rentan terhadap uremia, dan bayi serta
anak kecil yang bhakan hanya menderita CRF pada derajat sedangpun
berda pada resiko untuk mengalami ensafalopati. Secara khas, anak akan
terlihat hipotonik dan dengan perkembangan motorik terhambat. Pada
anak yang lebih tua, grjala neurologik nyata yang dianggap terjadi akibat
CRF tidak lazim dijumpai. Meskipun kecepatan hantaran saraf dapat
melambat, gejala klinis neuropati perifer jarang ada. Ensafalopati uremik,
yang ditandai dengan kebingungan, sentakan mioklonik, asteriksis,
seangan kejang dan stupor, terkadang dijumpai pada anak ESRD yang
tidak diobati.
3. Anemia
Anemia normositik normokrom merupakan kondisi biasa pada anak CRF.
Penelitian yang melibatkan subjek dalam jumlah besar telah
memperlihatkan suatu korelasi linear anatar GFR dengan hematokrit,
meskipun hubungan ini sering kali tidak jelas pada pasien orang per orang.
Defisiensi eritopoitin relatif tampaknya merupakan alasan utama anemia.
Pasien dengan gagal ginjal berat atau hematokrit rendah sering kali
memiliki kadar serum eritropitin di dalam rentang rerata untuk individu
normal; sebaliknya, orang dengan ginjal normal yang memliki kadar
eritopoitin serum rendah tetapi terukur mengindikasi bahwa sejumlah kecil
eritopoitin ini dapat diproduksi dilokasi ekstrarenal seperti hati. Berbagai
faktor lain juga telah diimplikasikan pada anemia CRF. Rentang usia sel
darah merah lebih pendek pada plasma yang uremik. Pada sebagian anak,
mielofibrosis dianggap terjadi akibat hiperparatiroidisme dapat
nmemperberat anemia. Penuruna toleransi latihan fisik serta kardiomegal
biasa terjadi pada anak anemia dengan CRF. Sejumlah gejala lain telah
dikaitkan dengan anemia, termasuk anoreksia, insomnia, depresi,
ketidakmintan terhadap seks, serta perubahan perilaku.
4. Gagal Tumbuh
Retardasi pertumbuhan linear lazim dijumpai pada anak dengan CRF.
Maturasi rangka juga melambat sehingga baik tinggi maupun usia tulang
mereka tertinggal di belakang usia kronologik reterdasi pertumbuhan
terutama merupakan masalah yang berat pada bayi karena sekitar separuh
tinggi akhir dewasa dicapai pada usia 2tahun, untuk durasi gagal ginjal
yang sama kehilangan potensi tinggi badan dalam masa bayi akan lebih
bermakna dibandingankan masa-masa yang lain. Pada anak yang lebih tua,
pubertas seringkali tertunda dan fusi epifisis dpat berlangsung tanpa
lonjakan pertumbuhan pubertas yang lazim terjadi. Reterdasi pertumbuhan
pada gagal ginjal disebabkan oleh banyak hal. Malnutrisi jelas memiliki
peran yang besar. Anak dengan gagal ginjal sering kehilangan nafsu
makan. Asupan kalori sebesar <80% RDA biasanya akan disertai dengan
penurunan laju pertumbuhan. Oestodistrofi ginjal juga kemungkinan besar
turut berperan pada kegagalan pertumbuhan. Asidosis metabolik
meningkatkan kehilangan kalsium dari rangka dan dapat memperburuk
oestodistrofi. Akhirnya kondisi seperti uropati obstruktif yang memiliki
dampak lebih besar pada tubulus dibandingkan glomerulus telah dikaitkan
dengan kehingan air serta natrium secara berkala berlebihan melalui urine,
yang juga mungkin memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan.
Langkahg terpenting dalam penatalaksanaan kegagalan pertumbuhan
adalah mengamankan status nutrisi anak. Asupan kalori bahkan harus
lebih tinggi agar terjadi pertumbuhan yang memuaskan. Jika perlu, harus
dibetikan nutrisi suplemental melalui selang lambung atau melalui
gastrotomi. Upaya-upaya tersebut dapat memelihara laju pertumbuhan
untuk mengejar ketinggalan pada anak dengan CRF. Penatalaksanaan CRF
membutuhkan kerja dan komunikasi di antara keluarga serta anggota tim
medis. Sebagaimana penyakit kronis lain, masalah emosional merupakan
hal yang lazim pada anak dengan CRF. Dengan pengelolaan secara
agresif, cacat klinis dapat diminimalkan. Meskipun demikian sebagian
besar anak dengan gagal ginjal akan mengalami perjalanan penyakit yang
progresif, dan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari akibat upaya
terapi akan semakin meningkat seiring memburuknya fungsi.(Rudolph,
2006)
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis:
1. Edema
Furosemide (1-2) mg/KgBB/harioral dibagi atas 2 dosis sampai edema
turun.
2. Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi darurat agens yang paling efektif adalah
diazoksid, diberikan melalui injeksi IV dosis 2 mg/kgBB. Furosemid IV
secara bersamaan dengan dosis 2 mg/kgBB.
Untuk hipertensi berat tanpa ensefalopati dapat diobati dengan pemberian
obat vasodilator, seperti hidralazin (0,15-0,30 mg/kg/dosis) atau nifedipin
(0,2-0,3 mg/kg/dosis). Dosis ini diulangi setiap 1-3jam.
Penggunaan diuretik lengkung, seperti furosemid, dapat mempercepat
penyembuhan hipertensi.
Penatalaksanaan keperawatan:
1. Edema
Membatasi cairan pada jumlah yang dibutuhkan guna mengganti
kehilangan tak kentara. Istirahat di tempat tidur (bed rest) sampai
menghilang, dengan posisi kaki lebih tinggi (trendelenderg). Diit yang
berupa pembatasan masukan garam (0,5-1 gr/hari) dan cairan selama
edema.
2. Anuria atau oliguria berat dan menetap dapat terjadi pada 5-10% anak
dengan AGN dengan demikian mengahruskan rawat inap.
3. Hipertensi
Hipertensi ringan sampai sedang paling efektif diobati dengan tirah baring,
pembatasn cairan, dan dosis pengobatan yang disebutkan diatas dalam
frekuensi yang lebih jarang. Diet rendah natrium rendah protein bila
hipertensi nyata.(Rudolf, 2006)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Orang tua
c. Identitas Saudara Kandung
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang :
1) Keluhan Utama
2) Riwayat Keluhan Utama
3) Keluhan Pada Saat Pengkajian
3. Riwayat Kesehatan Lalu
a. Prenatal care
b. Natal care
c. Post natal
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
5. Riwayat Nutrisi
6. Riwayat psikososial
Kemungkinan anak mengalami masalah perkembangan, mekanisme
koping anak atau keluarga dan pengalaman hospitalisasi sebelumnya.
7. Riwayat tumbuh
Anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan dan peningkatan
kebutuhan kalori sebagai akibat dari kondisi penyakit.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala: keadaan rambut dan higiene kepala (warna rambut,
penyebaran, kebersihan). Cek adanya benjolan, nyeri tekan, tekstur
rambut.
b. Mata : inspeksi terdapat adanya edema pada palpebra.
c. Telinga: posisi, ukuran, aurikel, lubang telinga, pemakaian alat bantu
d. Hidung: cek posisi, bentuk, keadaan septum. Andanya sekret atau
tidak.
e. Mulut: keadaan gigi, gusi, lidah, bibir.
f. Leher: pemeriksaan kelenjar tiroid, kelenjar limfe.
g. Pemeriksaan Thorak: bentuk dada, irama pernafasan, pengembangan di
waktu bernafas, tipe pernafasan, suara nafas, suara tambahan biasanya
ronchi.
h. Pemeriksaan Jantung
i. Pemerikasaan Abdomen
j. Pemeriksaan ginjal: kaji karakteristik urine, (biasanya muncul
hematuria, warna urine digambarkan berwarna keruh, berwarna kola,
berwarna seperti teh atau berwarna karat).
k. Pemeriksaan ekstremitas atas
l. Pemeriksaaan ekstremitas bawah: biasanya terdapat edema.
m. Pemeriksaan Genetalia
n. Pemeriksaan neurosensori: biasanya terdapat gangguan yang
berhubungan dengan hipertensi.
o. Pemeriksaan Integumen: terdiri dari warna, kelembapan suhu,
temperatur, turgor lesi atau tidak.
p. Pemeriksaan muskuloskletal: pada tahap pemeriksaan ini, yang
diperiksa adalah kekuatan tonus otot.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d kelebihan natrium
2. Nyeri akut b.d agens cedera biologis (infeksi)
3. Hipertermi b.d penyakit
DAFTAR PUSTAKA
DISUSUN OLEH :
Josepha Mariana Tamaela (010114A132)
Nita Agustina Wardani (010114A086)
Silvyana Dwi Saputri (010114A110)
Siti Sumarni (010114A113)
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
UNGARAN
2017