Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seperti yang kita ketahui bahwa Glomerulonefritis akut (GNA) merupakan


suatu kumpulan gejala yang ditandai oleh penurunan mendadak laju filtrasi
glomerulus. Pada anak lebih sering terkena Glomerulonefritis akut pasca
streptococcus (GNAPS) terjadi perubahan dari GNA ke GNAPS yang diikuti
dengan adanya reaksi antigen antibody.Glomerulonefritis akut pasca
streptokokkus ( GNAPS ) adalah salah satu penyebab tersering penyakit pada
anak di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, serta merupakan
penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan bahkan pada beberapa
kasus dapat menyebabkan kematian bila terlambat diidentifikasi atau bila
tindakan suportif tidak segera diberikan,kematian umumnya terjadi terutama
pada fase akut akibat gagal ginjal akut. GNAPS biasanya ditandai dengan
manifestasi klinik berupa edema, hematuria,hipertensi,oligouria serta
insufiensi ginjal, GNA juga sering disebut sebagai sindrom nefritik akut
(SNA). GNAPS banyak ditemukan pada anak umur 3-8 tahun dengan rasio
anak laki-laki : perempuan adalah 2:3. WHO mempekirakan 472.000 kasus
GNAPS terjadi setiap tahunnya secara global dengan 5.000 kematian setiap
tahunnya. Penelitian yang dilakukan di Sri Manakula Vinayagar Medical
College and Hospital India pada periode waktu Januari 2012–Desember 2014
ditemukan 52 anak dengan diagnosis GNAPS. Dari 52 pasien ditemukan 46
anak (88,4%) dengan GNAPS, usia pasien berkisar antara 2,6– 13 tahun, 27
anak (52%) pada kelompok usia 5-10 tahun. GNAPS merupakan salah satu
penyebab tersering penyakit glomerular di negara-negara sedang berkembang,
dan juga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap
akhir serta tingginya angka morbiditas pada anak, bahkan pada beberapa kasus
dapat menyebabkan kematian bila terlambat diidentifikasi atau bila tindakan
suportif tidak segera diberikan.
Pada makalah ini akan membahas mengenai GNA( Glomelurus Nefritis
akut ) dan GNAPS pada anak. Selain membahas mengenai konsep dasar
GNA, pada makalah ini akan di bahas mengenai asuhan keperawatan pada
anak dengan GNA.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan
glomerulonefritis akut
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahu tentang definisi dari GNA (Glomelurus Nefritis
Akut)
b. Untuk mengetahui tentang etiologi dari GNA (Glomelurus Nefritis
Akut)
c. Untuk mengetahui mengenai manifestasi klinis dari GNA (Glomelurus
Nefritis Akut)
d. Untuk mengetahui mengenai patofisiologi GNA (Glomelurus Nefritis
Akut)
e. Untuk mengetahui mengai komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan GNA (Glomelurus Nefrtis Akut)
f. Untuk mengetahui mengenai Penatalaksanaan pasien denganGNA
(Glomelurus Nefritis Akut)
g. Untuk mengetahui Asuhuan keperawatan pada pasien dengan GNA
(Glomelurus Nefritis Akut).
BAB II

KONSEP TEORI

A. Definisi

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.


Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasu sebagai proteinuria
dan atau hematuria. ( Price Wilson, 2006)
Glumerulonefritis akut adalah istilah yang secara luas digunakan yang
mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di
glomerulus. Glomerulonefritis dapat diklasifikasikan sebagai cedera
glomerulus primer atau sekunder. (Brunner Suddarth, 2001)
Glomerulonefritis mencakup beragam penyakit, sebagian besar yang
disebabkan oleh reaksi imunologi yang mengakibatkan perubahan
proliferative dan inflamasi pada struktur glomerular. Glomerulonefritis dapat
berupa akut atau kronis. (Black Hawks, 2014)
Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu yang dikarakterisasi oleh cedera
glomerular dengan onset mendadak.Kebanyak GNA di perantarai secara
imunologis untuk GNAPS( glomerulonefritis akut), data menunjukan bahwa
kompleks imun yang terbentuk bersama antigen streptokokus terlokasi pada
dinding kapiler glomerolus, mengaktifkan system komplemen, dan memulai
respon proliferates serta radang. GNAPS dapat terjadi dapat terjadi pada
epidemic atau dapat sporadic yang terakhir ini lebih lazim. Bentuk sporadic
bersifat musiman puncak musim dingin semi dikaitkan dengan infeksi
pernafasan, dan puncak lain pada musim panas- gugur dikaitkan dengan
bioderma. Serotype streptococcus B hemolitikus yang paling lazim
dihubungakan dengan infeksi nasofaring adalah tipe 12, sendangkan tipe 49
merupakan yang paling sering ditemui selama wabah GNAPS yang berkaitan
dengan bioderma.
B. Etiologi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di
traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus
betahemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25 dan 29. Hubungan antara
glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali
oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut
setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus betahemoliticus
golongan A, dan meningkatnya titer anti streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa
laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12
dan 25 lebih bersifat nefritogen dari pada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui
sebabnya. Kemungkinan faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor
alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akuit setelah infeksi kuman
streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik
akut yang ditandai dengan timbulnya hematuria,edema,hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejal ini timbul setelah infeksi kuman
streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas
atau pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus terutama
menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3 tahun. Sebagian
besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya dapat mengalami
perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit,
sehingga pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit
dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan
masyarakat maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut juga dapat disebabkan oleh sifilis, keracunan
seperti keracunan timah hitam tridion, penyakit amiloid, trombosit vena
renalis, ourpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.(Rudolph, 2006)
C. Manifestasi klinis
1. Hematuria merupakakan suatu karrakteriksitk yang muncul pada GNA
warna urine yang muncul seperti keruh, berwarna kola,berwarna seperti
teh atau berwarna seperti karat.
2. Oliguria (keluaran urine berkurang)
3. Nyeri panggul
4. Edema adalah gejala yang paling sering muncul biasanya mula-mula
mengani daerah periorbita. Derajat edema sangat bervariasi dan
bergantung pada sejumlah faktor dengan diantaranya luas keterlbatan
glomerulus, asupan cairan oral dan derajat protein. Tanda-tanda ini
cenderung lebih nyata pada wajah dipagi hari,kemudian menyebar ke
abdomen dan ekstremitas di siang hari ( edema sedang mungkin tidak
terlihat oleh seseorang yang tidak mengenal anak dengan baik )
5. Suhu badan umumnya tidak seberapa tinggi, tetapi dapat terjadi tinggi
sekali pada hari pertama merupakan tanda dari adanya infeksi dari
streptococcus yang menjadi penyebab dari GNA
6. Hipertensi merupakan salah satu tanda utama terjadinya GNA hingga saat
ini penyebab pasti terjadi hipertensi belum diketahui namun dikaitkan
dengna penambahan ECF terdapat pada 60-70 % anak dengan GNA pada
hari pertama dan akan kembali normal pada akhir minggu pertama juga.
Namun jika terdapat kerusakan jaringan ginjal, tekanan darah akan tetap
tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen jika keadaaan
penyakitnya menjadi kronik
7. Dapat timbul gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan dan
diare
8. Bila terdapat ensafalopati hipertensif dapat timbul sakit kepala,kejang, dan
kesadaran menurun
9. Fatigue (keletihan atau kelelahan) (Rudolf, 2006)
D. Patofisiologi
Kasus klasik GNA terjadi setelah infeksi streptococus pada tenggorokan
atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu.
Organisme penyebab lazim adalah streptococcus β hemolitikus A tipe 12 atau
4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Namun, sebenarnya bukan
streptococcus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terapat suatu
antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan unsur
membran plasma streptokokal-spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi
dalam darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus tempat kompleks tersebut
secara mekanisme terperangkap dalam membran basalis. Selanjutnya
komplemen akan terfikasi mengakibakan lesi dan peradangan yang menarik
leukosit polimerfonukelar (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagosit
dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis
gomerulus (GBM). Sebagai espon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi
sel-sel endotel yang diikuti sel-sel magesium dan selanjutnya sel-sel epitel.
Semakin meningkatnya kebocoran kapiler glomerulus menyebabkan protein
dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk ginjal,
mengakibatkan proteinuria dan hematuria.
Gambaran APSGN yang paling sering ditemukan adalah hematuria,
proteinuria, edema, dan hipertensi. Gejala umum yang berkaitan dengan
permulaan penyakit adalah rasa lelah, anoreksia, kadang-kadang demam, sakit
kepala, mual dan muntah. Peningkatan titer antistreptolisin O (ASO) dapat
menyatakan adanya antibodi terhadap organisme streptokokus. Kadar
komplemen serum mungkin rendah akibat deplesi. Temuan umum ini
memperkuat hipotesis bahwa penyakit ini mempunyai dasar imun.
Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi natrium dan air.
Di pagi hari serng terjadi edema wajah terutama edema wajah periorbita,
meskipun eema lebih nyata di bagian anggota bawah tubuh ketika menjelang
siang. Derajat edema biasanya bergantung pada berat peradangan glomerulus,
apakah disertai payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan
pembatasan garam.
Hipertensi hampir selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah
mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan
ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengan
jelas.(Price Wilson, 2006)

E. Komplikasi
1. Oesteodistrofi Ginjal
Istilah “oesditrofi ginjal” mencakup keseluruhan spektrum penyakit tulang
yang dijumpai pada CFR. Penurunan kemampuan ginjal mengekresikan
fosfor diduga merupakan peristiwa pemicu terjadinya oesteodistrofi.
Dengan suatu diet normal,beban fosfor yang diabsorbsi akan melebihi
kebutuhan tubuh. Ginjal mempertahankan homeostasis fosfor dengan
mengatur proporsi fosfor hasil filtrasi yang diekskresi dalam urine.
Seiiring menurunnya fungsi ginjal, pembuangan fosfor serum meningkat
dan kalsium diendapkan sebagai kasium fosfat. Konsentrasi kalsium
terionisasi di plasma menurun drastis, merangsang sekresi parathonormon
( PTH). Parathormon memiliki dua pengaruh utama : meningkatkan
sekresi fraksional fosfor oleh ginjal dan melepas kalsium dari rangka.
Hiperfosfatemia dan hiposalaksimia untuk sementara akan dikoreksi.
Dengan terus menurunnya fungsi ginjal, dibutuhkan kadar PTH yang
semakin lama semakin tinggi. Pada akhirnya ekskresi fosfor juga adekuat
dari ginjal tidak dimungkinkan lagi, terlepas dari derajat
hiperparatiroidisme yang terjadi. Anak dengan dominasi rakitis atau
oesmalasia memiliki kadar PTH tinggi dan juga fosfat alkali, tetapi produk
kalsium fosfor tidak meningkat. Secara radiografis, anak kecil
memperlihatkan temuan rakitis : oestomalasia terjadi pada anak yang fusi
episifisnya sudah terjadi. Oestomalasia juga terlihat pada pasien dengan
akumulasi alumunium berlebihan di dalam tulang, berbeda dengan
penderita oestomalasia karena defisiensi vitamin D, kadar kalsium serum
mereka normal atau tinggi dan kadar PTH rendah. Manifestasi klinis
oestodistrofi ginjal bergantung pada usia pasien serta durasi penyakit.
Pencegahan dan pengelolaan penyakit tulang merupakan tantangan besadr
dalam menatalaksanakan anak dengan ginjal. Semua anak penderita CRF
harus dianggap menderita oestodistrofi. Tidak ada pengujian pasti untuk
tahap dini penyakit ini. Sebagian anak membutuhkan tambahan kalsium
diluar dan diatas jumlah yang secara insidental diperoleh dari dosis
pengikat fosfot oleh CaCo3 guna mempertahankan kadar kalsium serum
yang normal. Efek terapi harus di pantau melalui serangkaian perhitungan
kadar serum kalsium, fosfor, dan fosfatase alkali, serta dengan
memperoleh radigram periodik. Kepatuhan, khusunya terhadap pengikat
fosfat, sering kali buruk dan dibutuhkan penyemangatan terus-menerus
2. Kelainan Neurologik
Anak dengan gagal ginjal berat akan rentan terhadap bergam masalah
neurologik. Kejang tidak jarang ditemukan;ini biasanya terjadi sekunder
akibat hipertensi, meskipun kelainan metabolik seperti hiponatremia,
hipokalsemia, atau nitrogen urea yang sangat tinggi terkadang dapat juga
dipersalahkan. Ensafalopati dan neuropati perifer merupakan komplikasi
terkenal dari uremia kronis; kedua kondisi tersebut dianggap terjadi akibat
peningkatan kandungan alumunium di SSP, hiperparatiroidisme, atau
tertahannya toksin uremik. Pada orang dewasa,disfungsi neurologik yang
secara klinis signifikan belum akan muncul hingga gagal ginjal telah
mencapai stadium lanjut. Sebaliknya, otak yang sedang berkembang
tampaknya justru secara khusus rentan terhadap uremia, dan bayi serta
anak kecil yang bhakan hanya menderita CRF pada derajat sedangpun
berda pada resiko untuk mengalami ensafalopati. Secara khas, anak akan
terlihat hipotonik dan dengan perkembangan motorik terhambat. Pada
anak yang lebih tua, grjala neurologik nyata yang dianggap terjadi akibat
CRF tidak lazim dijumpai. Meskipun kecepatan hantaran saraf dapat
melambat, gejala klinis neuropati perifer jarang ada. Ensafalopati uremik,
yang ditandai dengan kebingungan, sentakan mioklonik, asteriksis,
seangan kejang dan stupor, terkadang dijumpai pada anak ESRD yang
tidak diobati.
3. Anemia
Anemia normositik normokrom merupakan kondisi biasa pada anak CRF.
Penelitian yang melibatkan subjek dalam jumlah besar telah
memperlihatkan suatu korelasi linear anatar GFR dengan hematokrit,
meskipun hubungan ini sering kali tidak jelas pada pasien orang per orang.
Defisiensi eritopoitin relatif tampaknya merupakan alasan utama anemia.
Pasien dengan gagal ginjal berat atau hematokrit rendah sering kali
memiliki kadar serum eritropitin di dalam rentang rerata untuk individu
normal; sebaliknya, orang dengan ginjal normal yang memliki kadar
eritopoitin serum rendah tetapi terukur mengindikasi bahwa sejumlah kecil
eritopoitin ini dapat diproduksi dilokasi ekstrarenal seperti hati. Berbagai
faktor lain juga telah diimplikasikan pada anemia CRF. Rentang usia sel
darah merah lebih pendek pada plasma yang uremik. Pada sebagian anak,
mielofibrosis dianggap terjadi akibat hiperparatiroidisme dapat
nmemperberat anemia. Penuruna toleransi latihan fisik serta kardiomegal
biasa terjadi pada anak anemia dengan CRF. Sejumlah gejala lain telah
dikaitkan dengan anemia, termasuk anoreksia, insomnia, depresi,
ketidakmintan terhadap seks, serta perubahan perilaku.
4. Gagal Tumbuh
Retardasi pertumbuhan linear lazim dijumpai pada anak dengan CRF.
Maturasi rangka juga melambat sehingga baik tinggi maupun usia tulang
mereka tertinggal di belakang usia kronologik reterdasi pertumbuhan
terutama merupakan masalah yang berat pada bayi karena sekitar separuh
tinggi akhir dewasa dicapai pada usia 2tahun, untuk durasi gagal ginjal
yang sama kehilangan potensi tinggi badan dalam masa bayi akan lebih
bermakna dibandingankan masa-masa yang lain. Pada anak yang lebih tua,
pubertas seringkali tertunda dan fusi epifisis dpat berlangsung tanpa
lonjakan pertumbuhan pubertas yang lazim terjadi. Reterdasi pertumbuhan
pada gagal ginjal disebabkan oleh banyak hal. Malnutrisi jelas memiliki
peran yang besar. Anak dengan gagal ginjal sering kehilangan nafsu
makan. Asupan kalori sebesar <80% RDA biasanya akan disertai dengan
penurunan laju pertumbuhan. Oestodistrofi ginjal juga kemungkinan besar
turut berperan pada kegagalan pertumbuhan. Asidosis metabolik
meningkatkan kehilangan kalsium dari rangka dan dapat memperburuk
oestodistrofi. Akhirnya kondisi seperti uropati obstruktif yang memiliki
dampak lebih besar pada tubulus dibandingkan glomerulus telah dikaitkan
dengan kehingan air serta natrium secara berkala berlebihan melalui urine,
yang juga mungkin memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan.
Langkahg terpenting dalam penatalaksanaan kegagalan pertumbuhan
adalah mengamankan status nutrisi anak. Asupan kalori bahkan harus
lebih tinggi agar terjadi pertumbuhan yang memuaskan. Jika perlu, harus
dibetikan nutrisi suplemental melalui selang lambung atau melalui
gastrotomi. Upaya-upaya tersebut dapat memelihara laju pertumbuhan
untuk mengejar ketinggalan pada anak dengan CRF. Penatalaksanaan CRF
membutuhkan kerja dan komunikasi di antara keluarga serta anggota tim
medis. Sebagaimana penyakit kronis lain, masalah emosional merupakan
hal yang lazim pada anak dengan CRF. Dengan pengelolaan secara
agresif, cacat klinis dapat diminimalkan. Meskipun demikian sebagian
besar anak dengan gagal ginjal akan mengalami perjalanan penyakit yang
progresif, dan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari akibat upaya
terapi akan semakin meningkat seiring memburuknya fungsi.(Rudolph,
2006)

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis:
1. Edema
Furosemide (1-2) mg/KgBB/harioral dibagi atas 2 dosis sampai edema
turun.
2. Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi darurat agens yang paling efektif adalah
diazoksid, diberikan melalui injeksi IV dosis 2 mg/kgBB. Furosemid IV
secara bersamaan dengan dosis 2 mg/kgBB.
Untuk hipertensi berat tanpa ensefalopati dapat diobati dengan pemberian
obat vasodilator, seperti hidralazin (0,15-0,30 mg/kg/dosis) atau nifedipin
(0,2-0,3 mg/kg/dosis). Dosis ini diulangi setiap 1-3jam.
Penggunaan diuretik lengkung, seperti furosemid, dapat mempercepat
penyembuhan hipertensi.
Penatalaksanaan keperawatan:
1. Edema
Membatasi cairan pada jumlah yang dibutuhkan guna mengganti
kehilangan tak kentara. Istirahat di tempat tidur (bed rest) sampai
menghilang, dengan posisi kaki lebih tinggi (trendelenderg). Diit yang
berupa pembatasan masukan garam (0,5-1 gr/hari) dan cairan selama
edema.
2. Anuria atau oliguria berat dan menetap dapat terjadi pada 5-10% anak
dengan AGN dengan demikian mengahruskan rawat inap.
3. Hipertensi
Hipertensi ringan sampai sedang paling efektif diobati dengan tirah baring,
pembatasn cairan, dan dosis pengobatan yang disebutkan diatas dalam
frekuensi yang lebih jarang. Diet rendah natrium rendah protein bila
hipertensi nyata.(Rudolf, 2006)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Orang tua
c. Identitas Saudara Kandung
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang :
1) Keluhan Utama
2) Riwayat Keluhan Utama
3) Keluhan Pada Saat Pengkajian
3. Riwayat Kesehatan Lalu
a. Prenatal care
b. Natal care
c. Post natal
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
5. Riwayat Nutrisi
6. Riwayat psikososial
Kemungkinan anak mengalami masalah perkembangan, mekanisme
koping anak atau keluarga dan pengalaman hospitalisasi sebelumnya.
7. Riwayat tumbuh
Anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan dan peningkatan
kebutuhan kalori sebagai akibat dari kondisi penyakit.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala: keadaan rambut dan higiene kepala (warna rambut,
penyebaran, kebersihan). Cek adanya benjolan, nyeri tekan, tekstur
rambut.
b. Mata : inspeksi terdapat adanya edema pada palpebra.
c. Telinga: posisi, ukuran, aurikel, lubang telinga, pemakaian alat bantu
d. Hidung: cek posisi, bentuk, keadaan septum. Andanya sekret atau
tidak.
e. Mulut: keadaan gigi, gusi, lidah, bibir.
f. Leher: pemeriksaan kelenjar tiroid, kelenjar limfe.
g. Pemeriksaan Thorak: bentuk dada, irama pernafasan, pengembangan di
waktu bernafas, tipe pernafasan, suara nafas, suara tambahan biasanya
ronchi.
h. Pemeriksaan Jantung
i. Pemerikasaan Abdomen
j. Pemeriksaan ginjal: kaji karakteristik urine, (biasanya muncul
hematuria, warna urine digambarkan berwarna keruh, berwarna kola,
berwarna seperti teh atau berwarna karat).
k. Pemeriksaan ekstremitas atas
l. Pemeriksaaan ekstremitas bawah: biasanya terdapat edema.
m. Pemeriksaan Genetalia
n. Pemeriksaan neurosensori: biasanya terdapat gangguan yang
berhubungan dengan hipertensi.
o. Pemeriksaan Integumen: terdiri dari warna, kelembapan suhu,
temperatur, turgor lesi atau tidak.
p. Pemeriksaan muskuloskletal: pada tahap pemeriksaan ini, yang
diperiksa adalah kekuatan tonus otot.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d kelebihan natrium
2. Nyeri akut b.d agens cedera biologis (infeksi)
3. Hipertermi b.d penyakit
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M, dkk. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC) 2015-


2017. USA: Elsevier

Herdman,T.H & Kamitsuru,S. 2015. NANDA International


DiagnosaKeperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC

Moorhead,Sue, dkk. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC) 2015-2017.


USA: Elsevier

Axton,Sharon ; Terry Fugate. 2013. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik


Edisi 3. Jakarta : EGC.
Rudolph,Abraham M, Colin D. Rudolph dan Julie I E Hoffman. 2006. Buku Ajar
Pediatrikvolume 2. Jakarta : EGC
Anderson Price, Silvya;Lorraine McCarty Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep
klinis proses-proses Penyakit volume 2. Jakarta : EGC
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak II
DOSEN PENGAMPU:FIKI WIJAYANTI, S.Kep., Ns., M.Kep

DISUSUN OLEH :
Josepha Mariana Tamaela (010114A132)
Nita Agustina Wardani (010114A086)
Silvyana Dwi Saputri (010114A110)
Siti Sumarni (010114A113)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
UNGARAN
2017

Вам также может понравиться