Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PROFESIONALISME
SUSAN DWI OKTULANI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dr. Bihbah mencoba untuk mengamalkan pengetahuannya untuk menjadi seorang Family
Doctor dan juga berperan sebagai Five Star Doctor dalam mengelola klinik di Puskesmanya
dan di prakteknya. Pasien sangat menyukainya karena ia menghormati mereka dan dapat
meraasskan kesulitan-kesuliatan mereka. Saat ini ia dihadapi suatu masalah yang pelik.
Seorang ibu membawa kemenakannya, perempuan berusia 16 tahun yang hamil 4 bulan, dan
belum bersuami. Ia berharap dr.Bihbah mempunyai slusi untuk menutupi aib ini agar
keluarga mereka tidak menanggungn malu. Dalam perbincangan dengan remaja hamil itu,
terungkap bahwa remaja itu pengguna narkoba suntik dan teman kencannnya menderita HIV.
Begitu mendenngar pengakuan kemenkannya, si ibu menjaadi emosional dan berteriak-teriak
memarahianya dengan suara yang begitu keras sehingga semua orang di puskesmas dapat
mendengar dan mengetahui bahwa keluarga remaja itu mendapat aib.
B. TUJUAN
1. Mencari tahu bagaimana etika seorang dokter untuk menjadi dokter yang
profesional ?
5. Mencari tahu bagaiman etika seorang dokter dalam menangani pasien yang
menggunakan narkoba?
C. MANFAAT
1. Dapat mengetahui etika seorang dokter untuk menjadi dokter yang profesional
3. Mengetahui tentang etika seorang dokter jika permasalahan/aib pasien diktehi oleh
orang lain
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun permaslahan yang ditemukan pada skenario lima ini anatara lain :
Untuk menjadi dokter yang profasional berdasarkan etika kedokteran, ada beberapa
kewajiban yang harus di laksanakan oleh seorang dokter, yaitu kewajiban umum,
kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban dokter terhadapan sejawatnya, dan
kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya. Dan harus memenuhi beberapa ciri para
dokter untuk menjadi profesional.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis : “Setiap dokter senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Namun dalam sumpah
dokter, terdapat pernyataan: “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan.” Dalam pernyataan ini, yang dimaksud makhluk insani masih belum dapat
ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal kehidupan ditentukan, sehingga
menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
masih mengadakan perundingan tentang lafal sumpah dokter Indonesia melalui hasil
referendum dari anggota IDI untuk memilih apakah kata “mulai dari saat pembuahan”
hendak dihilangkan atau diubah.
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan advokasi, menjamin
keselamatan pasien, menghormati terhadap hak-hak pasien. Kriteria perilaku profesional
antara lain mencakup bertindak sesuai keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral
tinggi, memegang teguh etika profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi
gerak.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang
sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib
simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran,
aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya
norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang
mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur
dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai
pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code
of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada
waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk
sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal
adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut
berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code
of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah
dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip
moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan
dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan
atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical
ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan
latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy
(menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan
tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang
memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme
(pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak
latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu
(clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian
pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa
pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik
profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang.
Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan
Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di
rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis
Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi
dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih
berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang
kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh
MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik
(profesi) kedokteran.
Hubungan antara dokter dengan pasien adalah hubungan antar manusia dan
manusia. Dalam hubungan ini mungkin timbul pertentangan antara dokter dan
pasien, karena masing-masing mempunyai nilai yang berbeda. Masalah semacam
ini
akan dihadapi oleh Dokter yang bekerja di lingkungan dengan suatu sistem yang
berbeda dengan kebudayaan profesinya.
Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak jarang dokter harus berjuang
lebih dulu melawan tradisi yang telah tertanam dengan kuat. Dalam hal ini,
seorang Dokter tidak mungkin memaksakan kebudayaan profesi yang selama ini
dianutnya.
Mengenai etika kedokteran terhadap orang sakit antara lain disebutkan bahwa
seorang Dokter wajib:
Para Dokter di seluruh dunia mempunyai kewajiban yang sama. Mereka adalah
kawan-kaawn seperjuangan yang merupakan kesatuan aksi dibaawh panji
perikemanusiaan untuk memerangi penyakit, yang merupakan salah satu
pengganggu keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Penemuan dan
pengalaman baru dijadikan milik bersama. Panggilan suci yang menjiwai hidup
dan perbuatan telah mempersatukan mereka menempatkan para Dokter pada
suatu kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Hal-hal tersebut
menimbulkan rasa persaudaraan dan kesediaan tolong-menolong yang senantiasa
perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Sifat-sifat penting lain yang harus dimiliki oleh seorang Dokter Muslim ialah :
• Adanya belas kasihan dan cinta kasih terhadap sesama manusia, perasaan sosial
yang ditunjukkan kepada masyarakat.
• Harus berbudi luhur, dapat dipercaya oleh pasien, dan memupuk keyakinan
profesional.
• Seorang dokter harus dapat dengan tenang melakukan pekerjaannya dan harus
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.
• Bersikap mandiri dan orisinal karena pengetahuan yang diwarisi secara turun
temurun dari buku-buku masih jauh memadai.
• Seorang dokter muslim harus lebih banyak mendengar dan lebih sedikit bicara,
• Seorang dokter muslim tidak boleh berkecil hati dan harus merasa bangga akan
profesinya karena semua agama menghormati profesi dokter
3. Bagaimana etika seorang dokter jika permasalahan/aib pasien diketahui oleh orang lain ?
Jika permasalahan/aib pasien diketahui oleh orang lain secara otomatis pasien tersebut akan
mendapatkan stigma dan deskriminasi dari masyarakat maupun lingkungannya. Oleh sebab
itu dokter mempunyai peran dan menerapkan etika kedokterannya untuk menghadapi
masalah tersebut. Dokter dapat memberikan saran dan nasehat kepada pasien, agar tidak
minder karena stigma dan diskriminasi yang diperoleh dari luar . dan dokter dapat melakukan
penyuluhan dan sosialisaswi mengenai hal yang bersangkutan dengan permasalahan yang
sama yang dialami oleh pasien.
Permaslahan ini berhubungan dengan Rahasia Profesi Dokter. Berdasarkan agama islam,
menyimpan rahasia orang lain diperintahkan bagi setiap muslim lebih-lebih jika ia dokter,
karena dengan sengaja membeberkan rahasia dan perasaannya kepada dokter mereka serta
percaya terhadap profesi dokter.
Dokter harus membubuhkan stempel rahasia pada semua informasi yang diperoleh melalui
penglihatan, pendengaran, atau kesimpulan. Semangat islam juga mengajar agar ketentuan
hukum menekankan hak pasien agar melindungi rahasia-rahasia yang dipercayakan kepada
dokternya. Pembocoran rahasia akan merugikan praktek kedokteran, disamping merintangi
beberapa pasien dalam mencari pertolongan kedokteeran.
4. Bagaiman etika seorang dokter dalam menangani pasien yang menderita HIV/AIDS?
Dari uraian diatas dr. Asrul Sani mengatakan, sampai saat ini biasanya AIDS
berakhir dengan kematian Karena penyakit HIV/AIDS ini belum ditemukan obat
medisnya, sehingga seseorang yang menderita HIV/AIDS tidak bisa di obati, namun
hanya bisa di beri dukungan, saran, dan pengobatan alternatif umtuk mengindari
penularan dan memberi semangat hidup kepada meraka. Sehingga mereka dapat
melakukan aktifitasnya sebagaimana sebelumnya. Fenomena tersebut akan semakin
menghilangkan potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS.
Berbagai potensi (strength) yang dimiliki dalam proses pendidikan, pekerjaan dan
kegiatan lain akan berangsur menurun. Selain itu berbagai kesempatan (opportunity)
yang berupa dukungan keluarga, kesempatan pengembangan terkalahkan oleh adanya
diskriminasi dan stigma tersebut. Seorang dokter mempunyai tanggung jawab besar
dalam menghadapi pasien penderita HIV/AIDS. Dengan demikian dokter harus
mampu menyikapi pasien penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi dengan
caranya sebagai dokter.
Selain itu dalam Buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan
Kesejahteraan Remaja tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa ( tanpa
membedakan) seperti sikap terhadap orang sehat atau penderita penyakit lain. Seorang
dokter harus dapat menghindari sikap membedakan, apalagi memusuhi, karena akan
menyebabkan penderita tertekan. Karena penderita HIV/AIDS membutuhkan
dukungan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan mampu berbuat banyak bagi
masyarakat, yaitu dengan membangkitkan kepercayaan mereka dan dokter dapat
memberilah dukungan serta kasih sayang. Dokter harus mampu memberilah
pemahaman terhadap permasalahan yang mereka hadapi dan cara mengatasinya.
Menasehati, agar jangan merasa tertekan secara berlebihan karena semua orang pasti
diberi cobaan. Menurut dr.Lita, cara merawat penderita HIV dan AIDS itu pertama
kita coba untuk membayangkan diri kita sendiri sebagai pengidap penyakit tersebut.
Dengan mengetahui mana aktifitas yang berisiko menularkan HIV dan AIDS dan
mana yang tidak , kita dapat memperlakukan penderita secara wajar. Dan kita tetap
harus memperhatikan prosedur P3K ketika melakukan perawatan kepada penderita.
Dari uraian pelayanan kesehatan diatas, dapat dilakukan dalam empat bentuk
pelayanan kesehatan, yaitu dengan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Namun,untuk perawatan penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong nyawanya
seorang dokter cukup melakukannya dengan kegiatan preventif dan kuratif. Karena
kegiatan preventif ini bertujuan untuk pencegahan penularan dan penyebaran
HIV/AIDS dari penderita HIV/AIDS tersebut kepada masyarakat. Selain itu juga
dilakukan interverensi oleh dokter kepada masyarakat untuk menghapus pandangan
negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Terhadap penderita HIV/AIDS seorang dokter
memberikannya edukasi agar tidak melakukan penularan kepada orang lain dan
konseling agar merasa lebih berarti dalam kehidupanya. Sedangkan kegiatan kuratif
disini bukanlah penyembuhan dalam arti kata sebenarnya, karena HIV/AIDS
termasuk yang incureble. Namun, tindakan perawatan ini dilakukan di sarana
kesehatan lebih bersifat care daripada curenya.
Dikarenakan penyakit HIV/AIDS belum ada obatnya, maka seorang dokter
dapat pula menerapkan suatu metode penanganan infeksi HIV/AIDS pada penderita
HIV/AIDS, yaitu dengan Terapi Antiretrovirus yang sangat aktif. Terapi ini telah
sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996 yaitu
setelah ditemukannya HAART (highly active antiretroviral therapy ) yang
menggunakan protease inhibitor. Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya
pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan serta kesiapan mental pasien,
saat memilih waktu memulai perawatan awal. Tetapi terapi ini juga menimbulkan
efek samping seperti penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan
kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Terapi Antiretrovirus ini terbukti efektif
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS. Obat ini bekerja
menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV. Walaupun demikian obat ini tidak
mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek samping yang
berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup. Jika kepatuhan penderita
kurang maka dapat menyebabkan resistensi obat.
Jadi seorang dokter harus mampu memberikan saran, dukungan, dan lain
sebaginya agar seorang pasien penderita HIV AIDS mempunyai semangat hidup dan
kepercayaan diri kembali.
5. Bagaiman etika seorang dokter dalam menangani pasien yang menggunakan narkoba?
Namun, terapi ini tak boleh dilakukan dengan obat metadon dan subutek. Sebab zat
tersebut adalah sintesa putau, morfin, heroin dan sejenisnya. Berdasarkan penelitian,
pengobatan dengan zat tersebut bisa menyebabkan pasien menjadi bergantung kepada
obat tersebut.
Jika hal ini dilakukan, pasien akan ketergantungan dengan obat-obat dari dokter. Bisa
jadi bandar narkobanya nanti malah dijalankan para dokter.
Selain penanganan medis, pasien penderita narkoba bisa diobati dengan pendekatan
psikologis secara halus. Mereka akan dikaji mengapa bisa memakai narkoba, menjadi
kecanduan, dan sebagainya. Secara sosial, pengguna NAZA perlu dipertanyakan
mengapa menjadi broken home, berperilaku keras dan kasar kepada orang lain.
Jika segala permasalahan dan kesulitan dikembalikan kepada Tuhan si pasien dengan
memohon perlindungan, maka ia akan terhindar dari rasa takut, khawatir dan stres,
sehingga kemudian tak akan terlibat lagi dalam penyalahgunaan NAZA.
Terapi psikoreligius ini bisa dilakukan dengan menjalankan shalat, berdoa, mengaji,
dan mendalami cara-cara agama memerangi narkoba.
Selain itu bisa juga dengan pendalaman tauhid dan silaturrahim kepada ahli agama.
Juga menanamkan pada keluarga semangat terhindar dari siksa api neraka, dengan
menjauhi keterlibatan penggunaan narkoba.
Terapi unsur agama ini tak hanya penting bagi pasien penyalahguna NAZA, tapi juga
bagi anggota keluarganya dalam menciptakan suasana rumahtangga yang religius dan
penuh kasih sayang.
a. Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Etika
Kedokteran.
Terkait dengan pemberian informasi kepada pasien ada beberapa yang harus
diperhatikan :
2. Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dimengerti oleh
orang awam.
4. Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan atau kesehatan pasien
atau pasien menolak untuk diberikan infomasi (KODEKI, pasal 5)
5. Untuk tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasive yang lain, informasi
harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi. Apabila dokter
yang bersangkutan tidak ada, maka informasi harus diberikan oleh dokter yang
lain dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggng jawab.
Salah satu kewajiban rumah sakit terhadap pasien adalah harus memberikan
penjelasan mengenai apa yang diderita pasien, dan tindakan apa yang harus
dilakukan (KODERSI, Bab III Pasal 10)
b. Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum
Kedokteran.
Pasien dalam menerima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan
diterimanya (Undan-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
52). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup :
Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada pasien tentang
tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien
(PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Dokter dan Dokter Gigi pasal 17)
Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh
informasi yang jelas tentang penyakitnya.
Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien
meminta untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali
dengan penghentian terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau
kehilangan nyawa pasien
Jadi pasien isi rekam medic bukan milik pasien sebagaimana pada PERMENKES
sebelumnya (1989)tentang rekam medic. Pasien hanya boleh memilikinya dalam
bentuk ringkasan rekam medik
4. Jika seorang pasien mengalami kejadian yang tidak diharapkan selama dalam
perawatan dokter, dokter yang bersangkutan atau penanggunjawab pelayanan
kedokteran (jika terjadi di sarana pelayanan kesehatan) harus menjelaskan
keadaan yang terjadi akibat jangka pendek atau panjang dan rencana tindakan
kedokteran yang akan dilakukan secara jujur dan lengkap serta memberikan
empati.
Cara yang dapat dilakukan oleh seorang dokter adalah dengan melakukan anmnesis terhadap
pasien yang sesuai dengan etika dokter terhadap pasiennya, sehingga seorang dokter
mengetahui apa keluhan dan kesulitan yang dialami oleh pasien tersebut.
Karen tujuan dari anamnesis adalah memperoleh data atau informasi tentang
permasalahan yang sedang dialami atau dirasakan oleh pasien, untuk membangun
hubungan yang baik antara seorang dokter dan pasiennya, sebagai pintu pembuka
untuk membangun hubungan dokter dan pasiennya sehingga mampu mengembangkan
keterbukaan dan kerjasama dari pasien untuk tahap-tahap pemeriksaan selanjutnya.
80% hasil anamnesis dapat menegakkan diagnosis.
b. dan aloanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan bukan pada pasiennya, tapi pada
orang lain.
a. introduction
b. identitas pasien
c. keluhan utama
h. anamnesis system.
i. merangkum anamnesis
Dalam melakukan anamnesis ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
seorang dokter, antara lain :
1. Tempat dan suasana
2. Penampilan dokter
3. Periksa kartu dan data pasien
4. Dorongan kepada pasien untuk menceritakan keluhannya
5. Gunakan bahasa/istilah yang mampu dimengerti
6. Buat catatan
7. Perhatikan pasiennya
8. Gunakan metode yang sistematis
Setelah melakukan beberapa tahapan anamnesis tersebut, maka seorang dokter akan
dapat mengetahui apa saja kaluhan dan kesulitan yang di alami oleh pasien tersebut
berdasarkan data yang diperoleh. Namun, anamnesis yang dilakukan berdasarkan
etika seorang dokter.yaitu etika utntuk menjadi dokter yang profesional.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Seorang dokter harus faham dan dapat menerapkan etika kedokteran agar
seorang dokter menjadi dokter yang profesional. Baik etika terhadap tuhan,
etika dokter terhadap pasien, dan etika dokter terhadap teman sejawat.
2. Seorang dokter mampu menutupi aib/ permasalah pasien terhadap orang lain.
3. Seorang dokter mampu menyikapi pasien yang terkena HIV dan menggunakan
narkoba berdasarkan etika kedokterannya.
4. Dan seorang dokter dapat menghornati pasiennya, agar pasien merasa nyaman.
Serta dapat menenangkan pasien atau keluarganya agar dapat menerima
diagnosis yang disimpulkan oleh dokter.
B. SARAN
Saran dari kelompok kami agar para dosen dan dokter bisa menjelaskan dengan jelas,
bagaimana etika kedokteran itu sebenarnya. Karena kami belum mendapatkan materi tentang
etika kedokteran sebelumnya.
Daftar Pustaka
Dion ett. 2008. Appreciative Inquiry : Melakukan Perubahan dengan Berfokus pada
Kekuatan. http://appreciative inquiry.com/html. Akses Oktober 2008