Вы находитесь на странице: 1из 4

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakanakn, didapatkan hasil sebagai berikut :


Praktikum ini dilaksanakan disekitar Jurusan Biologi, FMIPA, UNAND. Pada tabel
diatas dibuat plot dengan ukuran plot 25 x 25 cm. pada plot ini ditemukan 3 jenis
tumbuhan yaitu Sp. 1, Sp. 2, dan Sp. 3. Pada plot dengan ukuran 25 x 50 cm ditemukan
2 jenis tumbuhan yaitu Sp. 4 dan Sp. 5. Pada plot 50 x 50 ditemukan 1 jenis tumbuhan
yaitu Mimosa sp. Sedangkan tumbuhan pada plot 50 x100 ditemukan 3 jenis tumbuhan
yaitu Sp. 7, Sp. 8, dan Sp. 9. Pada plot kedua ditemukan 2 jenis individu yang berbeda,
sehingga nilai pi masih besar, kemudian diperbesar kembali, dan pada plot ke 4
ditemukan 3 jenis individu, hasil perhitungan Pi masih menurun. Persentase Pi semakin
lama semakin menurun, apabila ukuran plot diperluas. Hal ini dikatakan minimal area,
karena kecenderungan tumbuhan jenis lain tumbuh kecil. Dari tabel diatas
dapat dilihat, ditemukannya dua belas jenis spesies pada plot terakhir tanpa ada lagi
penambahan jenis baru, sehingga tidak dilanjutkan lagi pada plot berikutnya.
Penyebaran minimal area yang diambil untuk dianalisis sangat ditentukan keadaan
medan dan keadaan topografi. Untuk itu terlebih dahulu harus dilakukan survai
tinjauan umum dan pendahuluan. Dari survai tinjauan tersebut baru ditentukan bentuk
penyebaran minimal area yang akan diambil untuk dianalisis (Odum, 1994).

Inilah yang dikatakan dengan metode minimal area. Metode minimal area
merupakan metode yang cepat, tepat dan sederhana. Metode ini digunakan untuk
menentukan komposisi komunitas, frekuensi spesies dan kisaran kondisi. Dengan
metode didapatkan plot-plot memuat spesies tertentu yang merupakan
angka presentase (Resosoedarmo).
Suin (2003) mengatakan bahwa ukuran petak contoh atau plot harus ditentukan
dengan jelas sebelum dilakukannya analisis. Berbeda ukuran tumbuhan yang dianalisis
berbeda pula ukuran petak contoh yang diambil. Ukuran petak contoh tidak boleh kecil
dari minimal area yang cocok bagi vegetasi yang dianalisis. Bentuk luas minimum
dapat berbentuk bujur sangkar, empat persegi panjang dan dapat pula berbentuk
lingkaran. Luas petak contoh minimum yang mewakili vegetasi hasil luas minimum.
Michael (1995) mengatakan petak contoh dapat dibuat bermacam-macam bentuknya.
Petak contoh dapat berupa lingkaran, bujur sangkar, atau persegi. Pemilihan bentuk
petak contoh lebih banyak didasarkan pada kemudahan dalam menganalisis. Petak
yang berbentuk lingkaran, baik sekali digunakan untuk menganalisis padang rumput
dan belukar, sedangkan pada hutan petak berupa lingkaran tidak efisien
Suin (2000) mengatakan bahwa analisis minimal area ini tergantung pada tiga
factor yaitu populasi dalam minimal area yang dibuat contoh yang diambil harus dapat
dihitung dengan tepat, luas satuan tiap petak jelas dan pasti dan petak contoh yang
diambil harus dapat mewakili seluruh area daerah penelitian
Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragam spesies yang rendah karena
komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang
dominan (Indriyanto. 2008). Menurut Kalima (2013) dengan nilai kurang dari 10%
berarti pula kondisi keanekaragaman vegetasinya tidak stabil. Hal ini sangat
dimungkinkan karena aksesibilitas yang mudah bagi masyarakat memasuki kawasan
dan adanya perubahan komposisi tumbuhan liar menjadi tanaman budidaya di sebagian
kawasan. Akses yang mudah dan dekat dengan pemukiman penduduk merupakan salah
satu faktor penting dalam perubahan komposisi dan keragaman spesies vegetasi hutan
(Zuhri dan Mutaqien. 2011).
Meyer (1952, dalam Onrizal et al. 2005) menyatakan bahwa tegakan hutan
dengan distribusi diameter pohon seperti kurva “L” disebut sebagai hutan dalam
kondisi seimbang (balanced forest). Kondisi demikian umum terjadi di hutan-hutan
tropis sebagaimana juga hasil penelitian Sidiyasa (2009) di Hutan Lindung Sungai
Wain, Kalimantan Timur dan penelitian di kawasan hutan Mangrove Taman Nasional
Alas Purwo oleh Heriyanto dan Subiandono (2012).
Keberadaan semaksemak diharapkan akan membantu ke arah ini karena
menurut teori Bawa dan Hadley (1990, dalam Prameswari dan Sudarmono. 2011)
menyebutkan bahwa adanya semak akan melindungi dan memperbanyak terjadinya
pertumbuhan semai yang merupakan prosesregenerasi di masa mendatang.
Perbedaan jumlah tumbuhan pada suatu vegetasi dapat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan seperti suhu, kelembaban, keadaan tanah, senyawa organik dan lain-lain.

Selain itu penambahan suatu areal akan dihentikan bila pengamatan pada areal areal
berikutnya ditemukan jenis tumbuhan yang sama dengan areal sebelumnya, secara acak
yang masih di dalam luas area tertentu lalu didalamnya dibuat plot. Metode lingkungan
merupakan metode yang tepat, tepat dan sederhana. Metode ini digunakan untuk
menentukan komposisi komunitas, frekuensi spesies dan kisaran kondisi dengan
metode ini 20-30 transek dalam kebanyakan kondisi digunakan tiap baris, jumlah titik
inilah yang memuat spesies tertentu merupakan angka presentase (Rasyid, 1993).

Indriyanto. (2008). Ekologi Hutan. Jakarta: T. Bumi Aksara.


Michael P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratarium. UI
Press. Jakarta.
Odum, 1998. Dasar- Dasar Ekologi. Gadjah mada University Press. Yokyakarta.
Onrizal, Kusmana, C., Saharjo, B.H., Handayani, I.P. dan T. kato. (2005). Komposisi
Jenis dan Struktur Hutan Kerangas Bekas Kebakaran di Taman Nasional
Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Biodiversitas, 6 (4), 263-265.
Prameswari, D. dan Sudarmono. (2011). Struktur dan Komposisi Vegetasi di Cagar
Alam Telaga Ranjeng dan Implikasi Konservasinya. Jurnal PenelitianHutan
dan Konservasi Alam, 8 (2), 189-196.
Sidiyasa, K. (2009). Struktur dan Komposisi Tegakan serta Keanekaragamannya di
Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 6 (1), 79-93.
Suin, N.M.2000. Metode Ekologi. Andalas University Press. Padang.
Titi Kalima. (2013). Populasi dan Habitat Kampis (Hernandia nymphaeifolia (c. presl.)
kubitzki) di Hutan Lindung Ujung Genteng. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam, 10 (1), 63-79.
Zuhri, M. dan Z. Mutaqien. (2011). Perubahan Komposisi Vegetasi dan struktur Pohon
pada Plot Meijer (1959-2009) di Gunung Gede, Jawa Barat. Buletin Kebun
Raya, 14 (1), 37-45.

Вам также может понравиться