Вы находитесь на странице: 1из 73

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Pratiwi Siswaji Pembimbing : dr. Hery Susanto, Sp.A

NIM : 030.12.209 Tanda tangan :

A. IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama By. C Tn. D Ny. C

Umur 5 hari 32 tahun 26 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Alamat Jl. Rambutan 12 RT/RW 05/07, Kelurahan Kraton, Kec. Tegal


Barat

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan - SI SI

Pekerjaan - Wiraswasta Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - Rp. 4.500.000,- -

Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi BPJS

No. RM 894284

1
B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap Ibu kandung pasien pada


tanggal 1 November 2017 pukul 11:00 WIB, di Ruang Dahlia RSU Kardinah Tegal.

 Keluhan Utama : Menangis merintih

 Riwayat Penyakit Sekarang

Bayi laki-laki 0 hari datang ke IGD Ponek RSU Kardinah pada tanggal 26
Oktober 2017 pukul 21.40 WIB rujukan dari Rumah Bersalin Rahma dengan keluhan
utama menangis merintih dan diagnosa distres respirasi, neonatal infeksi dan neonatus
posterm.

Sebelumnya bayi lahir di RB Rahma pada tanggal 26 Oktober 2017 pukul


15.55 WIB dengan riwayat persalinan lahir spontan, ibu G1P0A0 hamil 41 minggu.
Saat lahir kondisi bayi tidak bugar, tidak segera menangis, terdengar merintih, tampak
sesak, gerakan bayi kurang aktif, tangan dan kaki bayi terlihat lemas dengan APGAR
skor 5-6, BBL 3400 gram, PB 48 cm. Air ketuban keruh, anus(+), meconium(+). Pada
bayi sudah sudah diberikan injeksi vit. K 0,5 cc intramuskular di paha kiri dan
diberikan injeksi dexamethasone ⅓ ampul.

Hasil pemeriksaan fisik di IGD RSUD Kardinah didapatkan bayi


menangis(+),merintih(+),retraksi(+),sianosis(-), gerakan aktif(-). Hasil tanda vital
berupa suhu adalah 36,8°C, HR 150x/menit, RR 92x/menit, SPO2 95% serta gula
darah sewaktu 90 mg/dl. Kemudian bayi dipindahkan ke Ruang NICU untuk
diberikan bantuan nafas menggunakan CPAP dan perawatan lanjutan.
Kondisi bayi saat ini (30/10/2017) tampak stabil dengan klinis masih sesak,
demam (+) suhu 38°C, kejang (+) , warna kulit tidak pucat, kuning atau biru, pasien
sudah BAB, BAK dan mendapatkan ASI melalui sonde.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Belum dapat di evaluasi

 Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit jantung
bawaan ataupun asma. Riwayat penyakit batuk-batuk lama atau pengobatan flek paru
2
juga disangkal. Riwayat diabetes mellitus pada ibu juga disangkal. Riwayat kejang
berulang juga disangkal.

 Riwayat Lingkungan Perumahan

Orang tua pasien tinggal di rumah pribadi. Rumah tersebut berukuran ± 40 x


20 m2, beratap genteng, berlantai ubin, berdinding tembok. Di rumah tersebut tinggal
kedua orang tua pasien dan pasien. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai
disapu sampai membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke
dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara
dalam rumah tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 15 m.

Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan
baik.

 Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien berprofesi sebagai Wiraswasta dengan penghasilan ± Rp


4.500.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Penghasilan
tersebut menanggung hidup 3 orang, kedua orang tua pasien dan pasien sendiri.

Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup.

 Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal

Ibu pasien berusia 26 tahun saat mengandung pasien serta merupakan


kehamilan yang pertama. Ibu memeriksakan kehamilan secara rutin teratur ke dokter
spesialis yaitu sebulan sekali sampai usia kehamilan 8 bulan, 2 minggu sekali setelah
usia kehamilan 8 bulan dan kemudian seminggu sekali saat usia kehamilan 9 bulan.
Ibu pasien mengaku sudah dilakukan imunisasi TT 2x dan sudah melakukan USG,
setiap dilakukan USG dikatakan janin dalam keadaan baik.

Riwayat demam (+) saat usia kehamilan 4 bulan, namun ibu tidak
memeriksakan ke dokter, hanya mengompres dengan air hangat dan mengistirahatkan
dirumah. Kemudian dalam 2 hari demam sudah turun dan keadaan ibu pasien
membaik, riwayat darah tinggi, perdarahan, kencing manis, kejang saat kehamilan,
infeksi saat kehamilan, ketuban pecah dini, riwayat minum obat tanpa resep dokter

3
dan jamu-jamuan selama hamil disangkal. Selama hamil ibu makan 3x sehari berupa
nasi, lauk pauk, sayur dan buah-buahan.

Kesan : Riwayat perawatan antenatal baik

 Riwayat Persalinan

o Tempat kelahiran : RB Rahma


o Penolong persalinan : Dokter spesialis obsgyn
o Cara persalinan : Pervaginam secara spontan
o Masa gestasi : 41 minggu, G1P0A0
o Air ketuban : Keruh
o Plasenta : tidak terdapat lilitan pada saat kelahiran
o Berat badan lahir : 3400 gram
o Panjang badan lahir : 48 cm
o Lingkar kepala : 33 cm
o Keadaan lahir : menangis pelan dan gerak kurang aktif
o Nilai APGAR : 5-6
o Kelainan bawaan : tidak ada
o Penyulit/ komplikasi : tidak ada

Kesan: Neonatus posterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan tidak bugar.

 Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan setelah kelahiran belum dapat dievaluasi.

 Corak Reproduksi Ibu

Ibu P1A0, pasien adalah anak pertama dan berjenis kelamin laki-laki

 Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien tidak pernah menggunakan KB.

 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

4
Pertumbuhan : Berat lahir 3400 gram, panjang badan 48 cm, lingkar kepala
33 cm dan lingkar dada 32cm.

Perkembangan : Riwayat perkembangan belum dapat di evaluasi

 Riwayat Makan dan Minum

Ibu memberikan ASI lewat sonde

 Riwayat Imunisasi

ULANGAN
VAKSIN DASAR (umur)
(umur)
BCG - - - - - - -
DTP/ DT - - - - - - -
POLIO - - - - - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B - - - - - - -

Pasien belum pernah diimunisasi sejak lahir karena keadaannya sejak lahir
tidak sehat, sehingga imunisasi ditunda
Kesan : Belum dilakukan imunisasi dasar.

 Silsilah Keluarga

Keterangan :

: Perempuan : Laki-laki : Pasien

5
C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2017 pukul 07.00 WIB di
Ruang NICU.
I. Kesan Umum
Tampak sakit sedang, lemah (+), tanda-tanda posterm(+),menangis(-), gerak
aktif (-), tampak sesak, retraksi (+), kejang (+), sianosis (-), pucat (-), ikterik (-
),terpasang ET Ventilator mode CMV dan sonde.

II. Tanda Vital


Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 127x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 35x/menit reguler
Suhu : 38,0 oC, Axilla
SpO2 : 96%

III. Data Antropometri


Berat badan sekarang : 3400 gram
Panjang badan sekarang : 48 cm
Lingkar Kepala sekarang : 34 cm

IV. Status Internus


i. Kulit: Tampak pucat (-), sianosis (-), ikterik (-),kulit pecah-pecah kasar dan
keriput, lanugo umumnya tidak ada
ii. Kepala: mesosefali, UUB teraba datar tidak tegang, mollage (-), kaput
suksedaneum (-), sefal hematom (-)
 Rambut: Hitam, tampak terdistribusi merata, tidak mudah dicabut.
 Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra(-/-)
, mata cekung (-/-).
 Hidung : Bentuk normal, simetris, sekret (-/-), pernafasan cuping
hidung (-)
 Telinga : Normotia, discharge (-/-), pinna keras, berbentuk dan
recoil (segera/segera)

6
 Mulut : Bibir kering (+), bibir sianosis (-), stomatitis (-), mukosa
hiperemis (-), lidah normoglossia.
iii. Leher: Pendek, simetris, pergerakan lemah, tumor (-), tanda trauma (-)
iv. Toraks: Dinding toraks normotoraks dan simetris.
o Paru:
 Inspeksi: Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi
(+)
 Palpasi: Simetris tidak ada hemithoraks yang tertinggal, areola
mammae penuh benjolan 5 mm.
 Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), ronki (+/+), hantaran
(+/+), wheezing(-/-)
o Jantung:
 Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.
 Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS V 1 cm midklavikula sinistra.
 Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).
v. Abdomen:
 Inspeksi: Tampak buncit, tali pusat sudah terlepas, hernia umbilikal (-).
 Auskultasi: Bising usus (+) normal.
 Palpasi: Supel, hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi: Timpani.
vi. Vertebrae : Spina bifida (-), meningokel (-)
vii. Genitalia: Jenis kelamin laki-laki, testis di skrotum dengan rugae yang
jelas.
viii. Anorektal : Anus (+), diaper rash (-)
ix. Ekstremitas:
Keempat ekstrimitas lengkap, simetris, tampak garis-garis pada seluruh
telapak kaki
Superior Inferior

Akral Dingin -/- -/-

Akral Sianosis -/- -/-

7
CRT <2” <2”

Oedem -/- -/-

Tonus Otot Normotonus Normotonus

Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

Ref. Fisiologis + +

Ref. Patologis - -

x. Refleks primitif:
 Refleks Oral
o Refleks Hisap : (+)
o Refleks Rooting : (+)
 Refleks Moro : Tidak dilakukan
 Refleks Palmar Grasp : (+)
 Refleks Plantar Grasp : (+)

D. PEMERIKSAAN KHUSUS

• Maturitas Bayi

Berat badan lahir : 3400 gr

Usia kehamilan : 41 minggu

Kesan:

Neonatus lebih
bulan, sesuai masa
kehamilan

8
• New Ballard Score

Maturitas neuromuskuler Poin Maturitas fisik Poin

Sikap tubuh 4 Kulit 4

Jendela siku-siku 4 Lanugo 4

Rekoil lengan 4 Lipatan telapak kaki 4

Sudut popliteal 4 Payudara 3

Tanda Selempang 3 Bentuk telinga 3

Tumit ke kuping 3 Genitalia (laki-laki) 4

Total 22 Total 22

Score
= maturitas neuromuskular + maturitas fisik
= 22+22 = 44 poin = 40 - 42 minggu
Kesan : maturitas bayi posterm 41 minggu

9
• Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Lingkar kepala bayi lahir : 33 cm


Lingkar kepala bayi usia 6 hari: 34 cm
Kesan: Mesosefali

• Bell Squash Score


Parameter Skor

Partus tindakan (SC, forcep, vakum ekstraksi, sungsang) 0


Ketuban tidak normal 1
Kelainan bawaan 0
Asfiksia 0
Preterm 0
Berat badan lahir rendah 0
Infeksi tali pusat 0
Riwayat penyakit Ibu 0
Riwayat penyakit kehamilan 0
Total Skor 1
Kesan <4 :
Observasi neonatal infeksi

10
• Gupte Score
Prematuritas 0
Cairan amnion berbau busuk 0
Ibu demam 2
Asfiksia (APGAR menit 1 ≤ 6) 2
Partus lama 0
Vagina tidak bersih 0
KPD 0
Total Skor 4

Kesan: Skrining Neonatal infeksi

• Downe Score

Hasil : 1  ada gangguan pernapasan

11
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal:

 Laboratorium Darah (27/10/2017) pukul 11.19 WIB

Laboratorium Darah

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 14.4 g/dl 15.2-23.6

Leukosit 29.0 103/µl 13.0 - 38.0

Hematokrit 37.5 % 44-72

Trombosit 190.000 103/µl 229 – 553

Eritrosit 4.1 106/µl 4.3-6.3

RDW 14.4 % 11.5 – 14.5

MCV 92.1 U 98 - 122

MCH 35.4 Pcg 33 - 41

MCHC 38.4 g/dl 31 - 35

Kimia Klinik

GDS 91 mg/dL 40-60

Sero-Imunologi

CRP Positif 96 Negatif

Elektrolit

Natrium 132 mmol/l 132-147

Kalium 5.98 mmol/l 3.6-6.1

Klorida 103 mmol/l 40.0-60.0

12
 Babygram (27/10/2017)

Gambaran:
 Corakan infiltrat kedua paru
 Silhoutte sign (+)
 Cor CTR <0,56
 Udara intestine prominen, distensi ringan (+)
 Pre peritoneal fat line (+)
Kesan: HMD grade 2-3, Sub ileus

F. RESUME

Bayi laki-laki 0 hari datang ke IGD Ponek RSU Kardinah pada tanggal 26 Oktober
2017 pukul 21.40 WIB rujukan dari Rumah Bersalin Rahma dengan keluhan utama
menangis merintih dan diagnosa distres respirasi, neonatal infeksi dan neonatus posterm.
Riwayat persalinan bayi lahir spontan pukul 15.55 WIB, ibu G1P0A0 hamil 40 minggu.
Saat lahir kondisi bayi tidak bugar, tidak segera menangis, terdengar merintih, tampak
sesak, gerakan bayi kurang aktif, tangan dan kaki bayi terlihat lemas dengan APGAR
skor 5-6, BBL 3400 gram, PB 48 cm. Air ketuban keruh, anus(+), meconium(+). Pada
bayi sudah sudah diberikan injeksi vit. K 0,5 cc intramuskular di paha kiri dan diberikan
injeksi dexamethasone ⅓ ampul. Hasil pemeriksaan fisik di IGD RSUD Kardinah
didapatkan bayi menangis(+),merintih(+),retraksi(+),sianosis(-), gerakan aktif(-). Hasil
tanda vital berupa suhu adalah 36,8°C, HR 150x/menit, RR 92x/menit, SPO2 95% serta
gula darah sewaktu 90 mg/dl. Kemudian bayi dipindahkan ke Ruang NICU untuk
diberikan bantuan nafas menggunakan CPAP dan perawatan lanjutan.

Kondisi bayi saat ini, tampak stabil dengan klinis masih sesak namun sudah
berkurang , kejang (+), warna kulit tidak pucat, kuning atau biru, pasien sudah BAB,
BAK dan mendapatkan ASI melalui sonde.

13
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan nadi 128x/menit, laju nafas 37x/menit, suhu
36,7 oC dan SpO2 96%. Data antropometri didapatkan BB sekarang 3400 gram, PB
sekarang 48cm dan LK sekarang 34 cm dengan status neonatus posterm dan sesuai masa
kehamilan menurut Kurva Lubchenko. Status internus didapatkan KU Tampak lemah
(+), tanda-tanda posterm(+),menangis(-), gerak aktif (-), tampak sesak, retraksi (+),
kejang (+), sianosis (-), pucat (-), ikterik (-),terpasang ET Ventilator mode CMV dan
sonde dan ronkhi (+) pada kedua lapang paru Berdasarkan hasil pemeriksaan new
ballard score menunjukkan pasien berusia 40-41 minggu (posterm). Kesan lingkar
kepala mesosefal menurut Kurva Nellhaus. Pada perhitungan Downe score didapat skor
2, terdapat gangguan pernapasan ringan. Pada pemeriksaan penunjang laboraturium
darah didapatkan CRP positif 96 dan GDS 91 (hiperglikemia).

G. DAFTAR MASALAH

 Bayi lahir lewat bulan

 Bayi menangis merintih, lemah, tampak sesak,nafas cepat, retraksi (+)

 Letargi

 Demam

 Kejang (spastik)

 Hasil pemeriksaan penunjang : CRP (+) 96, hiperglikemia

H. DIAGNOSIS BANDING

Gangguan  Faktor intrapulmonal


pernapasan  Faktor ekstrapulmonal
 Factor metabolik

Neonatal Infeksi  Ante partum


 Durante partum
 Post partum

14
Observasi Kejang  Hipoksis Iskemik Ensefalopati

 Perdarahan Intrakranial

 Infeksi

 Gangguan metababolik

Neonatus Posterm  SMK(Sesuai Masa Kehamilan)


 BMK(Besar Masa Kehamilan )
 KMK(Kecil Masa Kehamilan)

I. DIAGNOSIS KERJA

 Distress Respirasi
 HMD grade 2-3
 Neonatal Infeksi
 HIE
 Neonatus Posterm

J. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
 Rawat intensif, observasi KU, monitor TTV
 Oksigenasi, pasang O2 CPAP PEEP 7, FiO2 40 %.
 Tunda Diet
 Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasi yang
mungkin.

b. Medikamentosa
 IVFD D10% 12 tpm
 Inj. Cefotaxim 2x150 mg
 Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
 Inj. Cefotaxim 2x150 mg
 Inj. Dopamin 5meq/kg/menit
 Inj. Sibital 60mg bila kejang

15
 Inj. Midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB/jam
 Inj. Surfaktan 1 vial = 8 ml

K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

L. PEMERIKSAAN ANJURAN

 Pemeriksaan Darah Rutin


 Pemeriksaan Elektrolit
 Pemeriksaan GDS
 Pemeriksaan Analisis gas darah
 Babygram

16
M. PERJALANAN PENYAKIT

26 Oktober 2017 pkl. 22.50 27 Oktober 2017 pkl 7.00


Tgl
Hari Perawatan ke-1 Hari Perawatan ke-2

S Bayi 0 hari. Demam (-), kejang (-) Bayi 1 hari. Demam (-), kejang (+)
tampak sesak (+), BAB/BAK (-/+), R. semalam 00.30, tampak sesak (-),
hisap (+), ASI (-), biru/kuning/pucat (-) BAB/BAK (-/+), R. hisap (+), ASI (+),
biru/kuning/pucat (-),

O KU : tampak sesak (+), menangis KU : tampak lemah (+), sesak (+),


merintih (+) sianosis (+) retraksi (+) menangis merintih (<<) sianosis (+)
nafas cepat (+) dan gerak aktif (<<), retraksi (+) nafas cepat (+) dan gerak
tanda posterm(+), terpasang CPAP aktif (<<), spastik (+),tanda posterm(+),
terpasang O2 VM mode CMV
TTV : HR 150x/m, RR 100x/m, S 35,9
0
C, SpO2 70%  jam 01.00 ET sambung TTV : HR 124x/m, RR 35x/m, S 36,3 0C,
ventilator mode CMV (HR 148x/menit,
SpO2 95%
SpO2 88%)
St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (+), SNV (+/+), Rh (-/-),
Thorax : retraksi (+), SNV (+/+), Rh (-/-
Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
), Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
baik
baik
Eks : AH +/+, CRT < 2”
Eks : AH -/-, CRT < 2”
BB : 3400 g
Genitalia : anus (+)
Terpasang CPAP, PEEP 7, PIP 16,
BB : 3400 g

17
Kebutuhan cairan : 374 cc FiO2 45%

Kebutuhan Na/K : 18.8/4.54 Babygram : HMD grade 2-3

Terpasang CPAP, PEEP 7, PIP 15,


FiO2 40%

A 1. Distres Respirasi 1. Gagal napas


2. Obs. Neonatal infeksi 2. Distres Respirasi
3. N. Posterm 3. Neonatal infeksi
4. HIE grade III
5. HMD grade 2-3
6. N. Posterm
P 1. O2 CPAP 1. O2 VM CMV
2. IVFD D10% 12 tpm 2. IVFD D10% 12 tpm
3. Inj. Cefotaxim 2 x 150mg 3. Terapi lanjut :
4. Inj. Meropenem 3x125 mg Inj. Ca - Inj. Cefotaxim 2x150 mg  STOP,
gluconas 1 x 0,7ml ganti Gentamicin 2x8mg
5. Inj. Dopamin 5meq/kg/menit - Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
6. Inj. Sibital 60mg extra jam 00.30 - Inj. Meropenem 3x125 mg
7. Babygram - Inj. Cefotaxim 2x150 mg
8. GDS  108 mg/dl  jam 00.30 4. Inj. Dopamin 5meq/kg/menit
9. Darah rutin 5. Inj. Sibital 60mg bila kejang
6. Diet : tunda
7. Inj. Midazolam 0,1-0,2
mg/kgBB/jam
8. Inj. Surfaktan 1 vial = 8 ml  jam
16.00 (HR 119, SpO2 93%)
9. Lab darah rutin, elektrolit, GDS,
CRP

18
28 Oktober 2017 pkl. 8.00 29 Oktober 2017 pkl 7.00
Tgl
Hari Perawatan ke-3 Hari Perawatan ke-4

S Bayi 2 hari. Demam (-), kejang (+) 2x Bayi 3 hari. Demam (-), kejang (-),
semalam jam 23.00 dan 03.30, tampak tampak sesak (-), BAB/BAK (+), R. hisap
sesak (-), BAB/BAK (+/+), R. hisap (+), (+), ASI (-), biru/kuning/pucat (-)
ASI (-), biru/kuning/pucat (-)

O KU : tampak sakit sedang, sesak (+), KU : tampak sakit sedang, tampak sesak,
menangis dan gerak aktif (+), retraksi menangis dan gerak aktif (+), retraksi
(+) (+)

TTV : HR 120x/m, RR 35x/m, S 36,3 TTV : HR 144x/m, RR 50x/m, S 36,7 0C,


0C, SpO2 95%
SpO2 93%
St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-),
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-),
Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-),retraksi
Wh (-/-),retraksi (+) ,S1S2 reg, m (-), g
(+)
(-)
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
baik
baik
Eks : AH +/+, CRT < 2”
Eks : AH +/+, CRT < 2”
BB : 3400 gr
BB : 3400 gr
Terpasang O2 VM CMV
Terpasang O2 VM CMV, PEEP 6, PIP
, PEEP 7, PIP 16, FiO2 35%
17, FiO2 35%
A 1. Gagal napas 1. Gagal napas
2. Distres Respirasi 2. Distres Respirasi
3. Neonatal infeksi 3. Neonatal infeksi

19
4. HIE grade III 4. HIE grade III
5. HMD grade 2-3 5. HMD grade 2-3
6. N. Posterm 6. N. Posterm
p 1. O2 VM 1. O2 VM
2. IVFD KAEN 1B 12 tpm 2. IVFD KAEN 1B 12 tpm
3. Terapi lanjut : 3. Terapi lanjut :
- Inj. Meropenem 3x125 mg - Inj. Meropenem 3x125 mg
- Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml - Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
- Inj. Gentamicin 2x8 mg - Inj. Gentamicin 2x8 mg
- Inj. PCT 4x30mg (k/p) - Inj. PCT 4x30mg (k/p)
- Dopamine 5 meq - Dopamine 5 meq
- Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam - Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam
4. Diet ASI 8x2,5-5mlsonde 4. Diet ASI 8x2,5-5mlsonde
5. Inj. Sibital 30 mg  bila kejang 5. Inj. Sibital 30 mg  bila kejang
6. Isap lendir 6. Isap lender
7. Monitor KU, TV 7. Monitor KU, TV

20
30 Oktober 2017 pkl. 7.00 31 Oktober 2017 pkl 8.00
Tgl
Hari Perawatan ke-5 Hari Perawatan ke-6

S Bayi 4 hari. Demam (+), kejang (+) Bayi 5 hari. Demam (-), kejang (+) jam
semalam, tampak sesak (+), BAB/BAK 06.30, tampak sesak (-), BAB/BAK (+),
(+kuning/+), R. hisap (+), ASI (+), R. hisap (+), ASI (+), biru/kuning/pucat
biru/kuning/pucat (-) (-)

O KU : tampak lemah, sesak (+), menangis KU : tampak sakit sedang, tampak sesak,
dan gerak aktif (+), retraksi (-), terpasang menangis dan gerak aktif (+), retraksi (-)
ET Ventilator mode CMV
TTV : HR 127x/m, RR 35x/m, S 36,7 0C,
TTV : HR 128x/m, RR 37x/m, S 38 0C,
SpO2 96%
SpO2 96%
St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-),
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
(+/+), Wh (-/-), hantaran (+),S1S2 reg, m
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
(-), g (-)
baik
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
Eks : AH +/+, CRT < 2”
baik
BB : 3400 g
Eks : AH +/+, CRT < 2”
Terpasang O2 VM CMV, PEEP 6, PIP
BB : 3400 g
17, FiO2 35%
Terpasang O2 VM CMV, PEEP 6, PIP
17, FiO2 35%

A 1. Gagal napas 1.Gagal napas


2. Distres Respirasi 2.Distres Respirasi
3. Neonatal infeksi 3. Neonatal infeksi

21
4. HIE grade III 4. HIE grade II
5. HMD grade 2-3 5. HMD grade 2-3
6. N. Posterm 6. N. Posterm
P 1. O2 CMV 1. O2 CMV
2. IVFD KAEN 1B 12 tpm 2. IVFD KAEN 1B 12 tpm
3. Terapi lanjut : 3. Terapi lanjut :
- Inj. Meropenem 3x125 mg - Inj. Meropenem 3x125 mg
- Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml - Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
- Inj. Gentamicin 2x8 mg - Inj. Gentamicin 2x8 mg
- Inj. PCT 4x30mg (k/p) - Inj. PCT 4x30mg (k/p)
- Dopamine 5 meq - Dopamine 5 meq
- Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam - Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam
4. Infus PCT 4x30mg (k/p) 4. Diet ASI 8x20-30 ml sonde
5. Diet ASI 8x10-20 ml sonde 5. Isap lendir teratur
6. Ulang GDS,darah rutin

1 November 2017 pkl. 7.00 2 November 2017 pkl 8.00


Tgl
Hari Perawatan ke-7 Hari Perawatan ke-8

S Bayi 6 hari. Demam (-), kejang (+) Bayi 7 hari. Demam (+) semalam jam
semalam, tampak sesak (-), BAB/BAK (- 21.45, kejang (-), tampak sesak (-),
/+), R. hisap (+), ASI (+), biru(- BAB/BAK (+), R. hisap (+), ASI (+),
)/kuning(+)/pucat (-) biru/kuning(+)/pucat (-)

O KU : tampak sesak (-), menangis dan KU : tampak sakit sedang, tampak sesak,
gerak aktif (+), retraksi (-), ikterik(+) menangis dan gerak aktif (+), retraksi (-
), ikterik(+)kr II
TTV : HR 111x/m, RR 37x/m, S 37 0C,
TTV : HR 144x/m, RR 38x/m, S 36,8
SpO2 91%
0C,SpO 92%
2

St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn

22
Hidung : nafas cuping hidung (-/-) Hidung : nafas cuping hidung (-/-)

Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-),
Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-) Wh

Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
baik
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
Eks : AH +/+, CRT < 2” baik

Terpasang O2 VM CMV, PEEP 6, PIP Eks : AH +/+, CRT < 2”


17, FiO2 35%
Terpasang O2 VM CMV, PEEP 7 , PIP
15, FiO2 30%

Lab 1/11/17 pkl 18.02 WIB

HB/Ht/L/T/E :

13/35.9/10/265/3.7

MCV/MCH/MCHC:

96/34.8/36.2

Bilirubin total : 9.09 mg/dl

Bilirubin direk : 0.25 mg/dl

Bilirubin indirek 8.84 mg/dl

A 1. Gagal napas 1. Gagal napas


2. Distres Respirasi 2. Neonatal infeksi
3. Neonatal infeksi 3. HMD grade 2-3
4. HMD grade 2-3 5. HIE grade 2
5. HIE grade 2 6. Hiperbilirubinemia
6. N. Posterm 7. N. Posterm

23
P 1. O2 VM 1. O2 VM
2. IVFD KAEN 1B 12 tpm 2. IVFD KAEN 1B 14 tpm
3. Terapi lanjut : 3. Terapi lanjut :
- Inj. Meropenem 3x125 mg - Inj. Meropenem 3x125 mg
- Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml - Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
- Inj. Gentamicin 2x8 mg - Inj. Gentamicin 2x8 mg
- Inj. PCT 4x30mg (k/p) - Inj. PCT 4x30mg (k/p)
- Dopamine 5 meq - dopamine 5 meq
- Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam - Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam
4. Diet : ASI 8x10-20ml sonde 4. Diet ASI 8x10-20 ml (sonde)
5. Ulang darah rutin dan bilirubin 5. Fototerapi 24 jam
6. Isap lendir

3 November 2017 pkl. 7.00 4 November 2017 pkl 8.00


Tgl
Hari Perawatan ke-9 Hari Perawatan ke-10

S Bayi 7 hari. Demam (-), kejang (-) Bayi 8 hari. Demam (-), kejang (-),
semalam, tampak sesak (-), BAB/BAK (- tampak sesak (+), BAB/BAK (+/+), R.
/+), R. hisap (+), ASI (+), biru(- hisap (+), ASI (+), biru/kuning(-)/pucat
)/kuning(-)/pucat (-) (-)

O KU : tampak sesak (-), menangis dan KU : tampak sakit sedang, tampak sesak,
gerak aktif (+), retraksi (-), ikterik(-) menangis dan gerak aktif (+), retraksi (-)

TTV : HR 111x/m, RR 38x/m, S 37 0C, TTV : HR 145x/m, RR 40x/m, S 36,7


0C,SpO 96%
2
SpO2 99%
St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (+), SNV (+/+), Rh

24
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), (+/+), hantaran (+)Wh (-/-), S1S2 reg, m
Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-) (-), g (-)

Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
baik baik

Eks : AH +/+, CRT < 2” Eks : AH +/+, CRT < 2”

Terpasang O2 SIMV CMV, PEEP 7, Terpasang O2 SIMV, PEEP 7 , PIP 15,


PIP 17, FiO2 30% FiO2 30%

A 1. Gagal napas 1. Gagal napas


2. Neonatal infeksi 2. HMD grade 2-3
4. HMD grade 2-3 3. HIE grade 2
5. HIE grade 2 4. Sepsis
6. N. Posterm 5. N. Posterm

P 1. O2 SIMV 1. O2 SIMV
2. IVFD KAEN 1B 12 tpm 2. IVFD KAEN 1B 12 tpm
3. Terapi lanjut : 3. Terapi lanjut :
- Inj. Meropenem 3x125 mg - Inj. Meropenem 3x125 mg
- Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml - Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
- Inj. Gentamicin 2x8 mg - Inj. Gentamicin 2x8 mg
- Inj. PCT 4x30mg (k/p) - Inj. PCT 4x30mg (k/p)
- Dopamine 5 meq - Dopamine 5 meq
- Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam - Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam
4. Diet : ASI 8x20-30ml sonde 4. Diet : ASI 8x30ml sonde
5. Fototerapi sampai jam 08.00 WIB 5. Ulang darah rutin,elektrolit
6. Cek GDS  Jam 08.00 = 71 mg/dl 6. Isap lendir

25
5 November 2017 pkl. 7.00 6 November 2017 pkl 8.00
Tgl
Hari Perawatan ke-11 Hari Perawatan ke-12

S Bayi 9 hari. Demam (-), kejang (-) Bayi 10 hari. Demam (-), kejang (-),
semalam, tampak sesak (-), BAB/BAK (- tampak sesak (+), BAB/BAK (+/+), R.
/+), R. hisap (+), ASI (+), biru(- hisap (+), ASI (+), biru/kuning(-)/pucat
)/kuning(-)/pucat (-) (-)

O KU : lemah, sadar, tampak sesak (<<), KU : tampak sakit sedang, tampak sesak,
menangis dan gerak aktif (+), retraksi (-), menangis dan gerak aktif (+), retraksi (-)
ikterik(-)
TTV : HR 115x/m, RR 40x/m, S 36,9
TTV : HR 168x/m, RR 35x/m, S 36,4 0C,SpO 95%
2

0C, SpO2 99%


St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/ -
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), ), hantaran (+)Wh (-/-), S1S2 reg, m (-),
Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-) g (-)

Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
baik baik

Eks : AH +/+, CRT < 2” Eks : AH +/+, CRT < 2”

Lab darah rutin (4/11/17) Terpasang O2 VM CMV, PEEP 7 , PIP


15, FiO2 30%
Hb : 13,1 g/dl

Leukosit : 10,4 x103 /ul

Trombosit : 54 x103 /ul

Eritrosit :3,8x106/ul

RDW/MCV/MCH/MCHC

26
:13,8/88.9/34.7/39.0

Elektrolit :

Natrium/K/Cl : 140/5.42/115

Terpasang O2 VM SIMV, PEEP 7, PIP


17, FiO2 35%

A 1. Gagal napas 1. Gagal napas perbaikan


2. HMD grade 2-3 2. HMD grade 2-3
3. HIE grade 2 3. Sepsis
4. Sepsis 4. N. Posterm
5. N. Posterm
P 1. O2 SIMV 1. O2 CPAP
2. IVFD KAEN 1B 12 tpm 2. IVFD KAEN 1B 12 tpm
3. Terapi lanjut : 3. Terapi lanjut :
- Inj. Meropenem 3x125 mg - Inj. Meropenem 3x125 mg
- Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml - Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
- Inj. Gentamicin 2x8 mg - Inj. Gentamicin 2x8 mg
- Inj. PCT 4x30mg (k/p) - Inj. PCT 4x30mg (k/p)
- Dopamine 5 meq 4. Diet : ASI 8x30ml sonde
- Midazolam 0,1 mg/kgBB/jam 5. Inj. Midazolam dan dopamine 
4. Diet : ASI 8x20-30ml sonde STOP

7 November 2017 pkl. 7.00 8 November 2017 pkl 8.00


Tgl
Hari Perawatan ke-13 Hari Perawatan ke-14

S Bayi 11 hari. Demam (-), kejang (-), Bayi 12 hari. Demam (-), kejang (-),
tampak sesak (-), BAB/BAK (-/+), R. tampak sesak (-), BAB/BAK (+/+), R.
hisap (+), ASI (+), biru(-)/kuning(- hisap (+), ASI (+), biru/kuning(-)/pucat
)/pucat (-) (-)

27
O KU : lemah, sadar, tampak sesak (-), KU : tampak sakit sedang, tampak sesak
menangis dan gerak aktif (+), retraksi (-), (-), menangis dan gerak aktif (+),
ikterik(-) retraksi (-), ikterik (-)

TTV : HR 158x/m, RR 48x/m, S 36,8 TTV : HR 132x/m, RR 42x/m, S 36,6


0C, SpO2 91% 0C, SpO2 95%

St. generalis : St. generalis :

Kepala dan mata : dbn Kepala dan mata : dbn

Hidung : nafas cuping hidung (-/-) Hidung : nafas cuping hidung (-/-)

Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/ -
Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-) ), hantaran (+)Wh (-/-), S1S2 reg, m (-),
g (-)
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
baik Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
baik
Eks : AH +/+, CRT < 2”
Eks : AH +/+, CRT < 2”
Terpasang O2 CPAP, PEEP 7, PIP 17,
FiO2 35% Terpasang O2 CPAP, PEEP 7, PIP 17,
FiO2 35%

A 1. Gagal napas perbaikan 1. Gagal napas perbaikan


2. HMD grade 2-3 2. HMD grade 2-3
3. Sepsis 3. Sepsis
4. N. Posterm 4. HIE grade 2
7. N. Posterm
P 1. O2 low flow 1. O2 (k/p)
2. IVFD KAEN 1B 12 tpm 2. IVFD KAEN 1B 12 tpm
3. Terapi lanjut : 3. Terapi lanjut :
- Inj. Meropenem 3x125 mg - Inj. Meropenem 3x125 mg
- Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml - Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml
- Inj. Gentamicin 2x8 mg - Inj. Gentamicin 2x8 mg
- Inj. PCT 4x30mg (k/p) - Inj. PCT 4x30mg (k/p)
4. Latihan menetek 4. Diet : ASI 8x30ml sonde

28
5. latihan menetek
Tgl 11 November 2017 pkl. 7.00 13 November 2017 pkl 7.00

Hari Perawatan ke-17 Hari Perawatan ke-19

S Bayi 17 hari. Demam (-), kejang (-), Bayi 19 hari. Demam (-), kejang (-),
tampak sesak (-), BAB/BAK (-/+), R. tampak sesak (-), BAB/BAK (+/+), R.
hisap (+), ASI (+), biru(-)/kuning(- hisap (+), ASI (+), biru/kuning(-)/pucat
)/pucat (-) (-)

O KU : sadar, tampak sesak (-), menangis KU : lemah, sadar, tampak sesak (-),
dan gerak aktif (+), retraksi (-), menangis dan gerak aktif (+), retraksi (-
ikterik(-) ), ikterik(-)

TTV : HR 148x/m, RR 48x/m, S 36,8


0C, SpO2 91%
TTV : HR 132x/m, RR 42x/m, S 36,6
St. generalis : 0C, SpO2 95%

Kepala dan mata : dbn St. generalis :

Hidung : nafas cuping hidung (-/-) Kepala dan mata : dbn

Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Wh (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/ -
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor ), hantaran (+)Wh (-/-), S1S2 reg, m (-),
baik g (-)

Eks : AH +/+, CRT < 2” Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor
baik

Eks : AH +/+, CRT < 2”

A 1. Gagal napas perbaikan 1. Gagal napas perbaikan


2. HMD grade 2-3 2. HMD grade 2-3
3. Sepsis 3. Sepsis

29
4. HIE grade 2 4. HIE grade 2
5. N. Posterm 7. N. Posterm
P 1. O2 (k/p) 1. O2 (k/p)
2. Aff infus  evaluasi tanpa infus 2. p.o Cefixime 2x15 mg
3. Terapi lanjut : 3. Diet ASI
- Inj. Meropenem 3x125 mg
- Inj. Ca Gluconas 1x0,7 ml ACC PULANG
- Inj. Gentamicin 2x8 mg
- Inj. PCT 4x30mg (k/p)
4. Latihan menetek
5. Diet 8x60-70 ml

30
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Distres Respirasi

Definisi

Gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda
takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau
memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik
sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah
melalui PDA (Stark 1986). 1

Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah penyakit yang disebabkan oleh


ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan
surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005). 1

ARDS adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas gejala
dispnea, pernafasan cepat lebih dari 60 kali permenit, sianosis, merintih pada saat ekspirasi.
Terdapat retraksi pada suprasternal, interkostal dan epigastrium. Pada penyakit ini terjadi
perubahan paru yaitu berupa pembentukan jaringan hialin pada membran paru yang rusak.
Kerusakan pada paru timbul akibat kekurangan komponen surfaktan pulmonal. Surfaktan
adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan pada ruang antar alveoli sehingga dapat
mencegah pergesekan dan timbulnya kerusakan pada alveoli yang selanjutnya akan
mencegah terjadinya kolaps paru 2

Epidemiologi

Sindrom distres pernapasan, juga dikenal sebagai penyakit membran hyaline, terjadi
hampir secara eksklusif pada bayi prematur. Kejadian dan tingkat keparahan sindrom
gangguan pernafasan berhubungan terbalik dengan usia gestasi bayi yang baru lahir.2

Kegawatan pernafasan (Acute Respiratory Distress syndrome ) pada anak merupakan


penyebab utama kematian pada bayi baru lahir, diperkirakan 30% dari semua kematian
neonatus disebabkan oleh penyakit ini atau komplikasinya. Penyakit ini terjadi pada bayi
prematur, insidennya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. 60-

31
80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi
antara 32-36 minggu, sekitar 3% pada bayi yang lebih dari 37 minggu. (Yuliani, 2001).1

Etiologi

RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia
kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab
defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksual
sesaria. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk
menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru
kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah
bayi lahir dan akan bertambah berat.3,4

RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi
karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan
penyebab sindrom ini.

Pada bayi prematur, sindrom distres pernafasan berkembang karena sintesis dan sekresi
surfaktan yang terganggu yang menyebabkan atelektasis, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(V / Q), dan hipoventilasi dengan hipoksemia resultan dan hiperkarbia. Analisa gas darah
menunjukkan asidosis pernapasan dan metabolik yang menyebabkan vasokonstriksi paru,
yang mengakibatkan integritas endotel dan epitel terganggu dengan kebocoran eksudat
protein dan pembentukan selaput hialin (oleh karena itu namanya). 2

Defisiensi relatif surfaktan menurunkan kepatuhan terhadap paru (lihat gambar di


bawah) dan kapasitas residu fungsional, dengan peningkatan ruang mati. Mismatch V / Q
yang dihasilkan besar dan shunt kanan-ke-kiri mungkin melibatkan sebanyak 80% dari curah
jantung.2

a. Penyakit Membran Hialin

Penyakit membran hialin (PMH) merupakan gangguan pernapasan yang disebabkan


imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500 gram. Surfaktan mulai dibentuk pada usia kehamilan 24-28
minggu oleh karena itu kejadian PMH berbanding terbalik dengan usia gestasi. Angka

32
kejadian PMH pada neonatus dengan usia gestasi <30 minggu 60%, usia gestasi 30-34
minggu 25%, dan pada usia gestasi 35-36 minggu adalah 5%. Faktor predisposisi lain adalah
kelahiran operasi kaisar dan ibu dengan diabetes.

Gejala klinis

 Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan subkostal, napas cuping hidung, dan
sianosis yang terjadi dalam beberapa jam pertama kehidupan. 

 Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan, adanya PMH dapat
disingkirkan.

Pemeriksaan pencitraan 


Foto toraks AP dengan gambaran pencitraan berupa :

 Bentuk toraks yang sempit disebabkan hipoaerasi dan volume paru berkurang 


 Gambaran ground-glass, retikulogranuler menyeluruh serta perluasan ke perifer

 Gambaran udara bronkus (air bronchogram). 


 Gambaran granularitas, yaitu distensi duktus dan bronkiolus yang terisi udara dengan

alveoli yang mengalami atelektasis. 


 Tata laksana PMH yang semakin baik, seperti penggunaan surfaktan dan pemberian

CPAP segera setelah bayi lahir menyebabkan gambaran tidak klasik pada foto
toraks.

Klasifikasi

Terdapat 4 klasifikasi berdasarkan beratnya PMH, yaitu: 


 Derajat I : bercak retikulogranuler dengan air brochogram 


 Derajat II : bercak retikulogranular menyeluruh dengan air bronchogram 


 Derajat III : opasitas lebih jelas, dengan air bronchogram lebih jelas meluas

ke cabang 
di perifer; gambaran jantung menjadi kabur. 


 Derajat IV :seluruh lapangan paru terlihat putih(opak), Tidak tampak

33
airbronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga “white lung”

Keadaan hipoksemia pada PMH dapat menyebabkan terjadinya perdarahan intrakranial,


perdarahan paru, dan gagal jantung kongestif akibat left to right shunt melalui PDA.
Sedangkan komplikasi penggunaan bantuan ventilasi dapat terjadi pulmonary interstitial
emphysema (PIE), pneumotoraks. pneumomediastinum, pneumopericardium, pneumo-
peritoneum,pneumatocele.

Gambar 1. Derajat Penyakit Membran Hialin

b. Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM)

Sindrom aspirasi mekonium merupakan penyebab terbanyak distres pernapasan pada


bayi cukup atau lebih bulan. Mekonium yang masuk ke dalam saluran napas menyebabkan
terjadinya obstruksi bronkial, air-trapping (akibat partikel mekonium menyumbat bronkus
kecil di perifer), dan pneumonitis kimiawi. Dapat terjadi komplikasi pneumotoraks,
pneumomediastinum, hipertensi pulmonal, pirau kanan ke kiri serta kerusakan otak akibat
anoksia.

34
Gambaran klinis

Bayi cukup/lebih bulan dengan distres pernapasan berupa takipneu, retraksi, merintih,
dan sianosis.

Pemeriksaan pencitraan

Foto toraks AP dengan gambaran pencitraan berupa :

 Gambaran bervariasi tergantung banyaknya aspirasi mekonium/cairan ketuban.


Aspirasi cairan ketuban yang jernih biasanya cepat menghilang, namun bila
bercampur dengan mekonium memerlukan waktu lebih lama. 


 Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru 


 Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping 


 Efusi pleura minimal (20%). 


 Dapat terjadi pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan. 


 Bila mekonium terhisap dalam jumlah yang banyak, dapat terjadi atelektasis paru

atau emfisema obstruktif. 


 Komplikasi jangka panjang adalah bronkospasme atau penyakit paru reaktif

Gambar 2. Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM)

35
c. Bronchopulmonary Dysplasia

Bronchopulmonary dysplasia (BPD) pada awalnya didefinisikan sebagai penyakit


paru kronik pada bayi prematur dengan distres pernapasan yang mendapat terapi oksigen
dengan ventilator mekanik sekurang-kurangnya satu minggu. Definisi lain menyebutkan
adanya kebutuhan oksigen dalam 28 hari kehidupan untuk mempertahankan tekanan oksigen
arteri >50 mmHg. Kelainan ini dapat disebabkan penyakit paru lain seperti sindrom aspirasi
mekonium dan pneumonia. Sebagian besar BPD disebabkan pemberian oksigen dengan
tekanan positif (akibat baro trauma atau toksisitas oksigen). Angka kejadian BPD 12% pada
neonatus usia gestasi < 33 minggu.

Gambaran Klinis

 Anak tidak bisa lepas oksigen sampai usia 28 hari, takipneu, takikardi, retraksi,
desaturasi oksigen, kehilangan berat badan.
 Edema paru, infeksi, serta status gizi yang buruk merupakan faktor potensial untuk
terjadinya BPD.

Pemeriksaan Pencitraan

Foto toraks AP dengan gambaran pencitraan berupa :

 Gambaran opak kasar, iregular, berbentuk garis atau rope-like yang menunjukkan
adanya atelektasis atau fibrosis pada paru dengan daerah lusen menyerupai kista yang
menunjukkan adanya hiperekspansi akibat air-trapping, hiperaerasi paru, dan
pergeseran struktur normal akibat atelektasis.

Gambar 3.
d.
36
d. Transient Tachypnea of the Newborn (TTN)


Biasanya pada bayi cukup bulan atau sedikit prematur, lahir dengan operasi sesar,
precipitous labour.

Gejala klinis

Anak mengalami distres pernapasan ringan segera setelah lahir yang membaik dalam
beberapa jam kemudian, umumnya kurang dari 24 jam. Bila tidak segera membaik pikirkan
kemungkinan neonatal pmeumonia.

Pemeriksaan Pencitraan

Foto toraks AP dengan gambaran pencitraan berupa :

 Hiperinflasi paru atau normal, fisura interlobaris terlihat opak karena terdapat cairan,
efusi pleura, fuzzy vessel atau densitas bergaris.

Gambar 4. Transient Tachypnea of the


Newborn (TTN)
 d.

37
e. Pneumonia Neonatal

Pneumonia neonatal disebabkan infeksi intrauterin atau selama persalinan. umumnya


infeksi bakterialis. Pada bayi prematur, infeksi E. coli merupakan penyebab yang biasa
ditemukan.

Gambaran Klinis

Distres pernapasan, takipneu, tanpa demam.

Pemeriksaan Pencitraan

Foto toraks AP dengan gambaran pencitraan berupa :

 Pneumonia neonatal merupakan kelainan pada alveoli yang tersebar. 



 Gambaran dapat berupa garis-garis opak perihilar menyerupai TTN atau infiltrat

luas hampir homogen menyerupai HMD. 

 Pada neonatus cukup bulan dengan gambaran ground glass yang menyerupai HMD,

pikirkan terlebih dahulu pneumonia yang biasanya disebabkan streptokokus. 

 Terkadang dapat dijumpai efusi pleura (tidak seperti HMD). 


Gambar 5. Pneumonia Neonatal


f. Pulmonary Interstitial Emphysema

Pulmonary intersitial emphysema (PIE) dapat merupakan komplikasi pemberian


oksigen dengan tekanan postitif pada penatalaksanaan HMD. Bila terjadi ruptur alveolus atau

38
saluran napas terminal, udara akan masuk ke ruang interstitial paru menyebabkan PIE.
Kemudian udara masuk bronchovascular sheat menyebar ke perifer. Bila paru telah
mengalami PIE maka komplikasi pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumoperikardium,
penumoperitoneum, serta emboli udara sangat mungkin terjadi.

Gambaran Klinis

Neonatus dalam pemberian bantuan ventilasi mengalami perburukan.


Pemeriksaan Pencitraan

Foto toraks AP dengan gambaran pencitraan berupa :

Gambaran lusen udara berberbetuk gelembung kecil atau bergaris. Merupakan prekursor
terjadinya pneumotoraks.

Gambar 6. Pulmonary Interstitial Emphysema

g. Pneumotoraks

Ruang pleura berada diantara pleura parietalis dan viseralis. Pleura viseralis melekat
pada parenkim paru dan bergerak bersama paru. Bila udara masuk ke dalam ruang pleura,
maka pleura parietalis akan terpisah dari pleura viseralis. Pleura viseralis terlihat sebagai
garis putih tipis yang melekat pada paru.

39
Gambaran Klinis

 Perburukan klinis pada neonatus dalam pemberian terapi oksigen menggunakan


CPAP. 

 Dapat terjadi spontan. 

 Pneumotoraks luas dapat menyebabkan tamponade jantung. 


Pemeriksaan Pencitraan 


Foto toraks AP 
dengan gambaran pencitraan berupa :

 Bila pada foto toraks AP diragukan, lakukan pemeriksaan right/left lateral decubitus
dengan sinar horisontal. Pada posisi yang dicurigai, penumotoraks terdapat di bagian
atas.
 Pneumotoraks ringan terlihat sebagai bayangan lusen pada hemitoraks lateral yang
mendorong paru ke medial. Pneumotoraks yang luas selain menyebabkan
pendorongan paru ke medial hingga menyebabkan kolaps seluruh paru, juga dapat
mendorong struktur di mediastinum ke arah kontralateral.

Gambar 7. Pneumotoraks

40
h. Pneumomediastinum

Pneumomediatinum dapat merupakan komplikasi PIE. Keadaan ini juga dapat terjadi
spontan.

Gambaran Klinis

Pneumotoraks dan pneumomediastinum perlu dicurigai bila terjadi perburukan klinis


pada neonatus dalam pemberian terapi oksigen menggunakan CPAP.

Pemeriksaan Pencitraan

Foto toraks AP dan lateral

Gambar 8. Pneumediastinum

i. Pneumoperikardium

Keadaan lain sebagai komplikasi terapi oksigen dengan tekanan positif adalah
bocornya udara ke ruang perikardium sehingga terjadi pneumoperikardium.

Gambaran Klinis

Pada pneumoperikardium berat dapat terjadi tamponade jantung.

Pemeriksaan Pencitraan

Foto toraks AP dengan gambaran pencitraan berupa :

41
 Pneumoperikardum terlihat sebagai bayangan lusen yang mengelilingi jantung
 Perbedaaannya dengan pneumomediastinum, pada pneumomediastinum udara
tidak mengelilingi jantung namun naik ke arah kranial mengelilingi timus atau
menyebabkan terangkatnya timus serta meluas ke subkutis sehingga pada
perabaan terdapat krepitasi di daerah leher

Gambar 9. Pneumoperikardium

j. Pneumoperitonium

Pemberian oksigen dengan tekanan positif pada PMH juga dapat menimbulkan
kebocoran udara ke dalam ruang peritonium dan menyebabkan pneumoperitoneum. Perforasi
saluran pencernaan juga dapat menimbulkan pneumoperitonium, misalnya pada enterokolitis
nekrotikans yang mengalami perforasi atau obstruksi usus.

Gambaran Klinis

Pada pneumoperitonium luas perut terlihat membuncit dan pada pemeriksaan fisik
ditemukan pekak hati menghilang.

Pemeriksaan Pencitraan

Pilihan foto abdomen untuk melihat pneumoperitonium :

 Foto abdomen AP supine sinar horisontal 



 Foto abdomen left/right lateral decubitus 

 Foto abdomen AP tegak 


42
Gambaran Pencitraan 


 Foto abdomen supine sinar horisontal dipilih bila neonatus atau anak sakit
berat sehingga tidak dapat dilakukan perubahan posisi. 

 Pada posisi ini, udara bebas dalam jumlah sedikit terlihat sebagai bayangan
lusen berbentuk segitiga di anterior abdomen berbatasan dengan loop usus dan
dinding abdomen. Udara bebas dalam jumlah banyak tampak sebagai
bayangan lusen di anterior/di bawah dinding abdomen yang menyebabkan
pendorongan usus ke posterior.

 Apabila anak dapat dirubah posisinya, pada foto abdomen LLD udara bebas
dalam jumlah sedikit akan tampak sebagai bayangan lusen di antara dinding
abdomen dan hati yang merupakan tempat tertinggi di abdomen sehingga
udara bebas terkumpul di daerah ini. Pada kedaaan berat udara bebas akan
mendorong organ didekatnya ke posterior.
 Foto abdomen terlentang AP hanya dapat memperlihatkan udara bebas dalam
jumlah yang sangat banyak membentuk bayangan lusen superimpose dengan
bayangan usus (socker ball sign). Pada foto abdomen AP tegak akan terlihat
bayangan lusen dibawah diafragma yang mendorong hati dan limpa ke kaudal
bila jumlah udara bebas cukup banyak. 


Gambar 9. Pneumoperitonium

43
Patofisiologi

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna karena
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.5

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang
tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara
bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi
alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. 5

Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma dan keracunan oksigen,
menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal
sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline
yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai
membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan
ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD).5

Manifestasi Klinis

Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh
tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala
klinis yang ditujukan.5

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel
dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak nafas pada

44
bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernafasan
cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96
jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
RDS yaitu : pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,
kedua, bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru. Ketiga, alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram
udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak
dapat dilihat. 5

Penatalaksanaan

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi
masalah kegawatan pernafasan meliputi :5

1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.

2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.

3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.

4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.

5. Mencegah hipotermia.

6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

 Penatalaksanaan secara umum :

a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila
bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %

• Pantau selalu tanda vital


• Jaga kepatenan jalan nafas
• Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu

• Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan


• Lakukan penilaian lanjut

45
c. Bila terjadi kejang, potong kejang

d. Segera periksa kadar gula darah

e. Pemberian nutrisi adekuat

Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan


kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik
atau menajemen lanjut: 4

Gangguan nafas ringan

Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir
tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama
terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus gangguan napas ringan
merupakan tanda awal dari infeksi sistemik. 5

Gangguan nafas sedang

Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.5 Jika ada tanda
berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar
sepsis.

 Suhu aksiler > 39˚C

 Air ketuban bercampur mekonium

 Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18
jam)

Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu abnormal dan
nilai ulang setelah 2 jam. Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada
perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar sepsis. Jika suhu normal,
pantau bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila tidak ada
tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila bayi tidak menunjukan
perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi O2 secara bertahap .

46
Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI
peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum. 5

Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali
tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi
tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan. 5

Gangguan nafas berat

Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam pengamatan
ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar
sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI peras dengan menggunakan
salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada
perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60
kali/menit. 5

Penatalaksanaan medis:

Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:

 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder


 Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan cairan paru
 Fenobarbital
 Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
 Metilsantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)

Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat
dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan )

2.2. Neonatal Infeksi


Infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir ada dua yaitu: early infection (infeksi dini)
dan late infection (infeksi lambat). Disebut infeksi dini karena infeksi diperoleh dari si ibu
saat masih dalam kandungan sementara infeksi lambat adalah infeksi yang diperoleh dari
lingkungan luar, bisa lewat udara atau tertular dari orang lain. 1

47
Infeksi awitan dini Infeksi awitan lambat

(Early Onset ) (Late Onset )

Terjadi dalam 72 jam pertama setelah lahir Terjadi lebih dari 72 jam setelah lahir

Sumber infeksi : Traktus genitalia maternal Sumber infeksi : Nosokomial atau


masyarakat
Presentasi klinis: Distres respirasi dan
pneumonia Presentasi klinis : Septikemia, pneumonia
atau meningitis
Faktor risiko predisposisi :
Faktor risiko predisposisi :
 BBLR (<2.500 gram) atau prematur
 Demam pada ibu dengan bukti infeksi  BBLR
bakterial dalam 2 minggu sebelum persalinan  Prematuritas
 Ketuban keruh bercampur mekoneum dan
Sepsis didapat dari Rumah Sakit :
atau bau
Perawatan di ruang intensif, pemakaiaan
 Ketuban pecah dini > 24 jam
ventilator mekanik, prosedur invasif,
 Pemeriksaan dalam vagina selama persalinan
pemberian cairan parenteral, penggunaan
yang tidak bersih
cairan untuk mengatasi syok
 Partus lama
 Asfiksia neonatorum
Adanya ketuban keruh bercampur mekoneum
Sepsis didapat dari masyarakat : higiene
atau 3 kriteria di atas, indikasi untuk memulai
buruk, perawatan tali pusat tidak bersih,
pemberian antibiotik. Bayi dengan 2 faktor
pemakaian botol susu, pemberian makan
risiko harus dilakukan pemeriksaan skrining
dini
sepsis dan diobati sesuai hasil kultur.

Epidemiologi

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 mendapatkan angka
kematian bayi (AKB) di Indonesia, 35 bayi per 1000 kelahiran hidup. Bila dirincikan 157.000
bayi meninggal per tahun atau 430 bayi per hari. Beberapa penyebab kematian bayi
disebabkan berat badan lahir rendah, asfiksia, tetanus, infeksi, dan masalah pemberian
minum. Penyebab kematian neonatal kelompok umur 0-7 hari adalah prematuritas dan berat

48
badan lahir rendah/low birth weight (LBW) 35%, diikuti oleh asfiksia lahir 33,6%.
Sedangkan penyebab kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari adalah infeksi 57,1%
(termasuk tetanus, sepsis, pnemonia, diare), dan masalah minum 14,3%.1

Infeksi neonatal dapat terjadi intrauterin melalui transplasental, didapat intrapartum


saat melalui jalan lahir selama proses persalinan, atau pascapartum akibat sumber infeksi dari
luar setelah lahir. Infeksi intrapartum dapat terjadi pada saat melalui jalan lahir atau infeksi
asendens bila terjadi partus lama dan ketuban pecah dini. Kelompok virus yang sering
menjadi penyebab termasuk herpes simplex, HIV, cytomegalovirus (CMV), dan hepatitis B
yaitu virus yang jarang ditularkan secara transplasental. Sedangkan kelompok kuman
termasuk Streptokokus grup B Gram negatif, kuman enterik Gram negatif (terutama Escheria
coli), gonokokus dan klamidia. Infeksi pasca persalinan terjadi karena kontak dengan ibu
yang terinfeksi secara langsung misalnya ibu yang menderita tuberkulosis (meskipun dapat
ditularkan intrauterin), melalui ASI (HIV, CMV), kontak dengan petugas kesehatan lain, atau
kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi bakterial sistemik dapat terjadi kurang dari 1%,
penyakit virus 6%-8% dari seluruh populasi neonatus dan infeksi bakteri nosokomial 2%-
25% dari bayi yang dirawat di NICU. 5

Infeksi awitan dini apabila terjadi dalam lima hari pertama kehidupan pada umumnya
disebabkan karena infeksi intrauterin atau intrapartum sedangkan infeksi awitan lambat
terjadi sesudah umur tujuh hari dan sering terjadi selama pasca persalinan dan akibat
kolonisasi nosokomial.6Menurut perkiraan WHO, terjadi sekitar 5 juta kematian neonatus
pada tahun 1995 dan menurun menjadi 4 juta pada tahun 2004, namun tetap 98% terjadi di
negara sedang berkembang. Sebagian infeksi dilaporkan di Korea terjadi akibat paparan
dengan kuman dan sumber dari lingkungan pada saat pasca persalinan.

Patogenesis

Infeksi pada bayi baru lahir sering ditemukan pada BBLR. Infeksi lebih sering
ditemukan pada bayi yang lahir dirumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir diluar
rumah sakit. Bayi baru lahir mendapat kekebalan atau imunitas transplasenta terhadap kuman
yang berasal dari ibunya. Sesudah lahir, bayi terpapar dengan kuman yang juga berasal dari
orang lain dan terhadap kuman dari orang lain.

Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc membaginya dalam 3
golongan, yaitu :

49
1. Infeksi Antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui
sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin melalui
jalan ini ialah :

a. Virus, yaitu rubella, polyomyelitis, covsackie, variola, vaccinia, cytomegalic


inclusion
b. Spirokaeta, yaitu treponema palidum ( lues ) ;
c. Bakteri jarang sekali dapat melalui plasenta kecuali E. Coli dan listeria
monocytogenes. Tuberkulosis kongenital dapat terjadi melalui infeksi plasenta.
Fokus pada plasenta pecah ke cairan amnion dan akibatnya janin mendapat
tuberkulosis melalui inhalasi cairan amnion tersebut.

2. Infeksi Intranatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban
pecah. Ketubah pecah lama ( jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi
lebih dari 12 jam ), mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentisitas dan
amnionitik. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh misalnya pada
partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina. Infeksi janin terjadi dengan
inhalasi likuor yang septik sehingga terjadi pneumonia kongenital selain itu infeksi
dapat menyebabkan septisemia. Infeksi intranatal dapat juga melalui kontak langsung
dengan kuman yang berasal dari vagina misalnya blenorea dan ” oral trush ”.

3. Infeksi Pascanatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi yang
berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan
alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau sebagai akibat infeksi silang. Infeksi
pasacanatal ini sebetulnya sebagian besar dapat dicegah. Hal ini penting sekali karena
mortalitas sekali karena mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi
mendapat infeksi dengan kuman yang sudah tahan terhadap semua antibiotika
sehingga pengobatannya sulit.

50
Diagnosis

Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah. Biasanya diagnosis dapat ditegakkan dengan
observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan yang teliti, dan dengan
pemeriksaan fisik serta laboratorium.

Diagnosis dini dapat ditegakkan bila kita cukup waspada terhadap kelainan tingkah
laku neonatus. Neonatus terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam pertama dan bayi
tersebut tidak menderita penyakit maupun kelainan congenital tertentu, namun tiba-tiba
tingkah lakunya berubah, hendaknya selalu diingat bahwa kelainan tersebut disebabkan
infeksi.

Menegakkan kemungkinan infeksi bayi baru lahir sangat penting, terutama pada bayi
BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan angka kematian yang
tinggi. Di samping itu, gejala klinis infeksi yang perlu mendapat perhatian yaitu 6,9:

 Bayi malas minum


 Bayi tertidur
 Tampak gelisah
 Pernafasan cepat
 Berat badan turun drastis
 Terjadi muntah dan diare
 Panas badan dengan pola bervariasi
 Aktivitas bayi menurun
 Pada pemeriksaan dapat ditemui: bayi berwarna kuning, pembesaran hepar, purpura, dan
kejang-kejang
 Terjadi edema dan sklerema

Ada 2 skoring yang digunakan untuk menemukan diagnosis neonatal infeksi yaitu “Bell
Squash Score” dan “Gupte Score”: 10-1

 Bell Squash Score :


1. Partus tindakan
2. Ketuban tidak normal
3. Kelainan bawaan

51
4. Asfiksia
5. Preterm
6. BBLR
7. Infeksi tali pusat
8. Riwayat penyakit ibu
9. Riwayat penyakit kehamilan
Hasil: < 4  Observasi NI; > 4  NI

 Gupte Score:

No. Penilaian Skor

1. Prematuritas 3

2. Cairan amnion berbau busuk 2

3. Ibu demam 2

4. Asfiksia 2

5. Partus lama 1

6. Vagina tidak bersih 2

7. KPD 1

Hasil: 3-5  screening NI; > 5  NI

Diagnosis infeksi neonatal didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan


pemeriksaan penunjang (laboratorium). Salah satu panduan yang digunakan untuk
mendiagnosis infeksi neonatal bahkan yang berlanjut menjadi sepsis tertera pada tabel
dibawah ini :

Kategori A Kategori B
• Kesulitan bernapas • Tremor
(misalnya, apnea, napas lebih dari 30 • Letargi atau lunglai
kali per menit, retraksi dinding dada, • Mengantuk atau aktivitas

52
grunting pada waktu ekspirasi, berkurang
sianosis sentral) • Iritabel atau rewel
• Kejang • Muntah (menyokong
• Tidak sadar kecurigaan sepsis)
• Suhu tubuh tidak normal • Perut kembung
(tidak normal sejak lahir dan tidak (menyokong kecurigaan sepsis)
memberi respons terhadap terapi • Tanda klinis mulai tampak
atau suhu tidak stabil sesudah sesudah hari ke empat
pengukuran suhu normal selama tiga (menyokong kecurigaan sepsis)
kali atau lebih, menyokong • Air ketuban bercampur
diagnosis sepsis) meconium
• Persalinan di lingkungan yang • Malas minum sebelumnya
kurang higienis minum dengan baik
(menyokong kecurigaan sepsis) (menyokong kecurigaan sepsis)
• Kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis
(menyokong kecurigaan sepsis)

Identifikasi faktor resiko infeksi harus menjadi perhatian khusus sehingga dapat
diberikan tatalaksana efektif seawal mungkin dengan harapan menurunkan mortalitas dan
memperbaiki morbiditas akibat sepsis. Pengelompokan faktor-faktor resiko sepsis menjadi
faktor resiko mayor dan minor merupakan salah satu langkah awal pendekatan diagnosis
sepsis neonatorum. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi,
harus tetap mendapatkan perhatian khusus. Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua
faktor risiko minor maka diagnosis sepsis harus dilakukan secara proaktif dengan
memperhatikan gejala klinis serta dilakukan pemeriksaan penunjang sesegera mungkin.
Adapun masing-masing kriteria adalah sebagai berikut :

Kriteria mayor :

 Ketuban pecah >24 jam


 Denyut jantung janin yang menetap >160 kali per-menit
 Ibu demam ; saat intrapartum suhu >38C
 Korioamnionitis

53
 Ketuban berbau
Kriteria minor :

 Ketuban pecah antara 12-24 jam


 Jumlah leukosit maternal >15.000 sel/mL
 Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
 Apgar score rendah (menit ke-1 <5, menit ke- 5 menit <7)
 Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram
 Usia gestasi < 37 minggu
 Kehamilan ganda
 Keputihan pada ibu yang tidak diobati.
 Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati

Diagnosis laboratorium
a. Diagnosis pasti infeksi neonatal ditegakkan berdasarkan biakan darah, cairan
serebrospinal, urin, dan infeksi lokal
b. Diagnosis tidak langsung :
 Jumlah leukosit, hitung jenis, leukopenia <5000 /mm3, leukositosis >12000/mm3,
hanya bernilai untuk sepsis awitan lambat
 Neutropenia (<1500/mm3 ), neutrofilia (<7000/mm3) hanya bernilai untuk sepsis
awitan lambat
 Rasio I:T ( >0,18 )
 Trombositopenia (<100,000/mm3)
 C-reactive protein positif (>6 mg/L), merupakan nilai prognostik
 ESR (erytrocyte sedimentation rate) atau micro-ESR pada dua minggu pertama (nilai
normal dihitung pada usia hari ketiga)
 Haptoglobin, fibrinogen dan leukocyte elastase assay.
 Pengecatan gram cairan aspirat lambung positif (bila >5 neutrophils/LPB) atau
ditemukan bakteri
 Pemeriksaan fibonektin
 Pemeriksaan sitokin, interleukin-1, soluble interleukin 2receptor, interleukin-6, dan
tumour necrosis factor –a, dan deteksi kuman patogen GBS & ECK 1 dengan,
pemeriksaan latex particle agglutination dan countercurrent immunoelectrophoresis.
 Polymerase chain reaction suatu cara baru untuk mendeteksi DNA bakteri.
54
 Prokalsitonin merupakan petanda infeksi neonatal awitan dini dan lambat, memberikan
hasil yang cukup baik pada kelompok risiko tinggi.
 Pada neonatus yang sakit berat, kadar prokalsitonin merupakan petanda infeksi yang
lebih baik dibanding C- reactive protein dan jumlah leukosit.
 Kadar prokalsitonin 2 mg/ml mungkin sangat berguna untuk membedakan penyakit
infeksi bakterial dari virus pada neonatus dan anak

Analisis pada sistem hematologi sesaat setelah bayi lahir berperan sebagai indikator
diagnosis sepsis. Narasima dkk (2011) melakukan penelitian mengenai signifikansi
Hematological scoring system (HSS) pada diagnosis sepsis awitan dini pada bayi baru lahir.
Berdasarkan jumlah dari total HSS diklasifikasikan menjadi tidak ada sepsis apabila total
skor  2, probable sepsis jika skor 3-4 dan diagnosis sepsis atau infeksi apabila skor  5.
Jumlah PMN total mempunyai nilai sensitivitas (89,47%) paling tinggi diantara parameter
hematologi yang lain sedangkan rasio PMN total dan jumlah trombosit mempunyai nilai
spesifisitas yang sama sebesar 75% dalam membantu diagnosis sepsis awitan dini. Dengan
mempertimbangkan nilai sentivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif pada
penelitian tersebut didapatkan bahwa rasio I:T rasio merupakan tes yang paling terpercaya
dalam mendiagnosis sepsis. 11

Penyakit Infeksi pada Neonatus

Adapun beberapa penyakit infeksi yang dapat dialami oleh BBL yaitu :

a) Infeksi berat

1. Sepsis neonatorum

Sepsis neonatorum atau meningitis sering didahului oleh keadaan hamil dan
persalinan sebelumnya seperti dan merupakan infeksi berat pada neonatus dengan
gejala-gejala sistemik.

Faktor resiko :

• Persalinan (partus) lama atau terlantar


• Persalinan dengan tindakan operasi vaginal
• Infeksi/febris pada ibu
• Air ketuban bau, warna hijau

55
• KPD, lebih dari 24 jam
• Prematuritas & BBLR
• Gawat janin atau depresi neonates

Tanda dan gejala :

 Bayi tdk mau/tdk bisa menetek


 Bayi tampak sakit, tidak aktif, & sangat lemah
 Hipotermia/hipertermia, tetapi dpt normal
 Bayi gelisah& menangis
 Bayi kesulitan napas
 Dapat disertai kejang, pucat, atau ikterus

Prinsip pengobatan :

 Metabolisme tbh dipertahankan kebutuhan nutrisi dipenuhi


 Pengobatan antibiotika secara IV
 Ampisilin 200 mg/kg/hr 3-4x peberian & gentamisin 5 mg/kg/hr 2x pemberian
 Kloramfenikol 25 mg/kg /hr 3-4x pemberian
 Pemeriksaan laboratorium rutin
 Biakan darah & uji resistensi
 Fungsi lumbal & biakan cairan serebrospinalis & uji resistensi
 Tindakan & pengobatan lain diberikan atas indikasi

2. Meningitis pada Neonatus

Biasanya didahului oleh sepsis. Gejala diantara lain :

• Mula -mula seperti sepsis kemudian disertai kejang,


• UUB menonjol, kaku kuduk

Pengobatan sama dgn pengobatan sepsis, hanya berbeda dalam lama pengobatan,
yaitu 21 hari

3. Aspirasi pneumonia

56
Aspirasi pneumonia terjadi pada intrauterin karena inhalasi likuor amnion yang
septik dan menyebabkan kematian terutama bayi dengan BBLR karena reflex
menelan dan batuk yang belum sempurna. Gejala :

 Sering tidur atau letargia


 Berat badan turun drastic
 Kurang minum
 Terjadi serangan apnea (Apneu neonatal)
 Dicurigai bila ketuban pecah lama, keruh, bau

Pengobatan :

 Resusitasi pada bayi baru lahir

 Pertahankan suhu tbh

 Beri antibiotika spektrum luas_ampisilin+gentamisin

b) Infeksi ringan

1. Oftalmia Neonatorum
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae saat
bayi lewat jalan lahir14. Gejala :

 Konjungtiva hiperemis, edema palpebra, ada pus, mengeluarkan sekret


kental kehijauan/kekuningan

 Stadium lanjut_korne terserang_buta


 Diagnosis ditegakkan dgn pemeriksaan sekret mata

Tindakan :

 Bayi harus diisolasi


 Cuci mata bayi dengan larutan garam fisiologis sampai lendir hilang,
keringkan dengan kasa steril

 Beri tetes mata/salep antibiotika setiap 15 menit pd jam pertama setiap


1 jam selama 24 jam_3x sehari selama 3 hr sampai mata normal

57
 Beri antibiotika IM pada bagian depan lateral paha (penisilin kristalin)
atau ampisilin per oral

 Obati orang tua bayi dari gonorrhoeae

2. Infeksi Umbilikus (Omfalitis)


Merupakan infeksi pd pangkal umbilikus yang disebabkan oleh infeksi
Staphylococcus aureus. Gejala :

 Terdapat radang & mengeluarkan nanah, merah & ada edema


 Pada keadaan berat dapat menjalar ke hepar
 Pada keadaan kronik terjadi granuloma

Pengobatan :

 Berikan salep yag mengandung neomisin&basitrasin, serta salep gentamisin


 Bila terdapat granulomadiberi Argentinitras 3%

3. Monialisis
 Disebabkan jamur Candida albicans
 Tidak menimbulkan gejala
 Pada kondisi tubuh yang menurun atau pada penggunaan antibiotika /
kortikosteroid yang lama dapat terjadi pertumbuhan berlebihan jamur yang
kemudian menyebabkan terjadinya stomatitis pada neonatus dan pada
akhirnya mengakibatkan kematian.

4. Stomatitis
Merupakan infeksi yang dimulai sebagai bercak putih di lidah, bibir, dan

mukosa mulut.

Pengobatan :

 Lokal dapat diberikan gentian violet 0,5% dioleskan pada lidah dan
mukosa mulut
 Obat lain seperti nistatin dgn dosis 3x 100.000 unit/hr
 Dapat juga diberi ampoterisin (fungilin) selama 1 minggu

58
Prinsip Umum Pencegahan Infeksi

Dengan mengamati praktik pencegahan infeksi di bawah akan melindungi bayi, ibu
dan pemberi perawatan kesehatan dari infeksi. Hal itu juga akan membantu mencegah
penyebaran infeksi : 15

 Berikan perawatan rutin kepada bayi baru lahir.


 Pertimbangkan setiap orang ( termasuk bayi dan staf ) berpotensi menularkan
infeksi.
 Cuci tangan atau gunakan pembersih tangan beralkohol.
 Pakai – pakaian pelindung dan sarung tangan.
 Gunakan teknik aseptik.
 Pegang instrumen tajam dengan hati – hati dan bersihkan dan jika perlu sterilkan
atau desinfeksi instrumen dan peralatan.
 Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin dan buang sampah.
 Pisahkan bayi yang menderita infeksi untuk mencegah infeksi nosokomial.

Asuhan Neonatus Pencegahan Infeksi

Berikan perawatan rutin bayi baru lahir :

 Setelah enam jam pertama kehidupan atau setelah suhu tubuh bayi stabil, gunakan
kain katun yang direndam dalam air hangat untuk membersihkan darah dan cairan
tubuh lain ( misal: dari kelahiran ) dari kulit bayi, kemudian keringkan kulit.
Tunda memandikan bayi kecil ( kurang dari 2,5 kg pada saat lahir atau sebelum
usia gestasi 37 minggu ) sampai minimal hari kedua kehidupan.
 Bersihkan bokong dan area perineum bayi setiap kali mengganti popok bayi, atau
sesering yang dibutuhan dengan menggunakan kapas yang direndam dalam air
hangat bersabun, kemudian keringkan area tersebut secara cermat.

Pastikan bahwa ibu mengetahui peraturan posisi penempatan yang benar untuk
meyusui untuk mencegah mastitis dan kerusakan putting

59
2.3. HYPOXIC ISCHAEMIC ENCEPHALOPATHY

Definisi

Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi oksigen


dalam darah arteri, dan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke sel atau organ
yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut11. Sedangkan ensefalopati
sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi mengalami gangguan
tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan12.

Hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) adalah suatu sindroma yang ditandai


dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak
akut yang disebabkan karena asfiksia13. HIE merupakan penyebab penting kerusakan
permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau
14.
kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental Sedangkan ensefalopati sendiri
adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi mengalami gangguan tingkat
kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan15.

Epidemiologi

Hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) merupakan penyebab penting kerusakan


permanen sel-sel pada Susunan Saraf Pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau
kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental. Angka kejadian HIE berkisar 0,3-
1,8%. Australia (1995), angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup,
sedangkan angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian
kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Apgar Score 1-3 pada menit
pertama terjadi pada 2,8% bayi lahir hidup dan AS 5 pada menit ke 5 pada 0,3% bayi lahir
hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25-30%
yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental permanent.11,12,16,17

Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di negara-
negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid. Insiden HIE di
Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 bayi aterm yang lahir hidup1. Di Australia (1995),
Angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian
intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian kematian masa neonatal
berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan ensefalopati hipoksik

60
iskemik meninggal pada masa neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan
neurodevelopmental permanent17.

Etiologi dan Faktor Risiko

Hipoksia pada fetus disebabkan oleh16 :

1. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi
selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2.
2. Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau tekanan
uterus pada vena cava dan aorta.
3. Relaksasi uterus kurang karena pemberian oksitosin berlebihan akan menyebabkan
tetani.
4. Plasenta terlepas dini.
5. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.
6. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.
7. Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date.

Setelah lahir, hipoksia dapat disebabkan oleh:

1. Anemia berat karena perdarahan atau penyakit hemolitik.


2. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan oleh infeksi
berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau adrenal.
3. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan sebab
defek serebral, narkosis atau cedera.
4. Kegagalan oksigenasi karena CHD berat atau penyakit paru.

Faktor-faktor resiko HIE : .11,12,16,17

 Hipertensi selama kehamilan atau pre-eklampsia

 Restriksi pertumbuhan intra-uterin

 Terlepasnya plasenta

 Anemia fetus

 Postmaturitas

61
 Persalinan non fisiologis

 Malpresentasi termasuk vasa previa

Patofisiologi dan Patologi

Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia, hipotensi,
turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis respiratorius. Respon sistim
sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan aliran pintas melalui duktus venosus,
duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung
dan adrenal, hati, ginjal dan usus secara sementara

Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat ringan
hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler karena peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel endotel merupakan tanda
nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan petekie tampak pada perikardium, pleura,
timus, jantung, adrenal dan meningen. Hipoksia intrauterin yang memanjang dapat
menyebabkan PVL dan hiperplasia otot polos arteriole pada paru yang merupakan
predesposisi untuk terjadi hipertensi pulmoner pada bayi. Distres nafas yang ditandai dengan
gasping, dapat akibat aspirasi bahan asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo
dan skuama)(4). 16,17

Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah lahir
akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada usia kehamilan.
Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks (lebih lanjut akan terjadi atrofi
kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi kurang bulan akan terjadi PVL
(selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status marmoratus basal ganglia dan IVH. Pada
bayi cukup bulan lebih sering terjadi infark fokal atau multifokal pada korteks yang
menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika dibandingkan dengan bayi kurang bulan.
Identifikasi infark terbaik dilakukan dengan CT Scan atau MRI. Edema serebral
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, dan sering terjadi pada HIE berat.Excitatory
asam amino mempunyai peran penting dalam patogenesis cedera asfiksia otak. 11,16

62
Patofisiologi cedera otak karena cedera hipoksik-iskemik dapat disederhanakan
menjadi dua fase patologis berupa cedera otak dalam beberapa minggu disebut fase
kegagalan energi primer dan fase kegagalan energi sekunder, yaitu gangguan perkembangan
saraf dalam beberapa bulan atau tahun, serta periode laten di antara dua fase tersebut.

Fase kegagalan energi primer ditandai dengan penurunan aliran darah otak yang
menyebabkan penurunan transpor oksigen dan substrat lain ke jaringan otak. Kejadian ini
menyebabkan metabolisme anaerob, peningkatan asam laktat, penurunan ATP, penurunan
transpor transeluler, serta peningkatan kadar natrium, air, dan kalsium intrasel. Proses
tersebut berakhir pada kematian sel dan nekrosis. Setelah fase kegagalan energi primer,
metabolisme serebral kembali pulih karena reperfusi dan reoksigenasi, namun berlanjut ke
fase kegagalan energi sekunder yang berakibat apoptosis sel dan hasil akhir yang lebih buruk.

63
Saat onset dan resolusi fase kegagalan energy primer pada bayi dengan HIE tidak selalu
diketahui pasti.

Fase laten yang berada di antara fase kegagalan energi primer dan fase kegagalan
energi sekunder merupakan saat optimal untuk memulai terapi agar mengurangi cedera otak,
karena terhindar dari fase kegagalan energi sekunder.

Penyebab cedera hipoksik, yaitu asfiksia intrauterin atau postnatal. Asfiksia


intrauterine terjadi jika pertukaran udara dan aliran darah plasenta terganggu. Gangguan
tersebut disebabkan faktor janin, perfusi plasenta yang tidak adekuat, gangguan oksigenasi
maternal, terputusnya sirkulasi umbilikal. Sedangkan asfiksia postnatal bisa disebabkan
penyakit membran hialin, pneumonia, aspirasi mekonium, penyakit jantung kongenital. Hal
ini menyebabkan depresi perinatal yang berlanjut pada berkurangnya pertukaran oksigen dan
karbondioksida dan timbulnya asidosis laktat berat. Jika episode hipoksikiskemik ini cukup
parah untuk merusak otak, maka akan terjadi kondisi hypoxic-ischemic encephalopathy
dalam 12-36 jam.

Manifestasi Klinis

Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga beberapa
hari sebelum persa linan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan peningkatan tahanan
vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus. Penurunan detak jantung janin dengan variasi
irama jantung juga sering dijumpai. Pencatatan detak jantung janin secara terus menerus
memperlihatkan pola deselerasi yang bervariasi atau melambat dan analisa darah dari kulit
kepala janin menunjukkan pH<7,2. Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau
respiratorik. Terutama pada bayi menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan
dasar untuk memberikan oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera
mengakhiri kehamilan untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP.

Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung mekoneum
dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya terjadi depresi
pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa jam kemudian, bayi akan
tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau tonus tampak normal.11,16,17.

Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau


kecacatan berat tergantung pada derajat ensefalopati hipoksik iskemik.

64
1. Derajat 1 : 1,6%
2. Derajat 2 : 24%
3. Derajat 3 : 78%
4. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi kecacatan
neurologi berat.

Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka rata-


rata kematian atau kecacatan berat :

1. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik) : 95%

2. Kelainan sedang (slow wave activity) : 64%

3. Kelainan ringan atau tanpa kelainan : 3,3%

Tabel 1. Gradasi HIE pada bayi cukup bulan

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda-tanda HIE. Cerebral edema dapat berkembang dalam 24 jam kemudian dan
menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat
memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis standar obat antikonvulsan.

65
Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh
hipokalsemia dan hipoglikemia 11,12,16,17

Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,
hipertensi persisten pulmonary, sindromadistress nafas, perforasi gastrointestinal, hematuria
dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada masa perinatal.

Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas dan
insufisiensi sirkulasi.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan
pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase lanjut dan
pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan. 11,12,16,17

1. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi
kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.
2. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko terjadi
kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang memperlihatkan
hipodensitas berat atau perdarahan berat.
3. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya dan
sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.
4. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan SEP.
Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal pada usia < 4
hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan mempunyai kelainan
pada pengamatan di usia selanjutnya.

Tatalaksana

Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan sistim
organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk mengatasi cedera
jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan (Martin AA, 1995).

Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-iskemik dan
berisiko cedera sekunder adalah:

66
1. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi. Tanda yang mungkin didapat adalah denyut
jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor APGAR rendah dan berkepanjangan),
perlu resusitasi (intubasi, kompresi dada, pemberian epinefrin), asidosis berat (pH
umbilikal <7,0 dengan atau base deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis
awal abnormal atau hasil EEG abnormal.
2. Perawatan suportif intensif. Untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak yang adekuat,
dibutuhkan perawatan suportif seperti koreksi gangguan hemodinamis (hipotensi, asidosis
metabolik), ventilasi adekuat, koreksi gangguan metabolik seperti kadar glukosa, kalsium,
magnesium, dan elektrolit lainnya, penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi
organ-organ lain. Salah satu faktor utama perawatan intensif adalah menjaga ventilasi dan
perfusi adekuat. Kekurangan oksigen akan menyebabkan gangguan autoregulasi
serebrovaskuler dengan konsekuensi bertambahnya cedera sel-sel otak. Sedangkan
hiperoksia berat pada awal masa kehidupan akan menyebabkan peningkatan stres
oksidatif yang pada akhirnya memperburuk status neurologis jangka panjang.
3. Pertimbangan intervensi untuk memperbaiki proses cedera otak yang sedang terjadi.
Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi intervensi farmakologi dan non-
farmakologi. Meskipun banyak terapi neuroprotektif telah diteliti, hingga saat ini tidak
ada agen neuroprotektif yang aman dan efektif mengobati sekuele neurologis setelah
kejadian HIE pada neonatus. Tujuan terapi neuroprotektif adalah untuk mengurangi
kerusakan serebral dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas yang toksik,
menghambat masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron, dan mengurangi edema
serebral.

Terapi Medikamentosa

Secara umum, efek farmakologi yang diharapkan adalah efek antioksidan,


antiinflamasi, dan antiapoptosis. Efek antioksidan diharapkan dapat mengurangi radikal
bebas yang toksik dan menghambat masuknya kalsium yang berlebih ke dalam sel saraf.

Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis
awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 40-50mg/kg/hari
intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam 0,1mg/kg dapat digunakan
untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor dalam
24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar
fenobarbital yang berfungsi terapeutik berkisar 20-40mg/mL. 13,16,17

67
Allopurinol memiliki efek antioksidan dan diketahui dapat mengurangi pembentukan
radikal bebas yang merusak jaringan dan dapat menjaga sawar darah otak. Penelitian pada
manusia menggunakan 500 mg allopurinol intravena sesaat sebelum persalinan pada bayi
yang dicurigai asfiksia janin. Dalam beberapa tahun terakhir, cannabinoid diketahui memiliki
fungsi neuroprotektor karena dapat memodulasi respons neuronal dan glial.

Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam


menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba, allopurinol
mempunyai peranan sebagai additive cerebral coolingsebagai neuroprotektor. Penelitian
lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan penggunaan allopurinol pada neonatus
dengan HIE. 13,16,17

Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat menurunkan


cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya menurunkan tekanan intra
kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil akhir penderita dengan HIE.

Makin banyak bukti klinis dan eksperimental bahwa recombinant human


erythropoietin (rhEPO) memiliki efek neuroprotektif dengan mengikat reseptor EPO di
neuron dan glia. Dosis rendah rhEPO (300 atau 500 U/kg) berhubungan dengan penurunan
risiko kematian dan disabilitas pada bayi HIE ringan cukup bulan, sedangkan dosis tinggi
rhEPO (2500 U/kg) diberikan dalam 48 jam pertama kehidupan meningkatkan perbaikan
perkembangan neurologis, menurunkan aktivitas kejang, perbaikan abnormalitas EEG dalam
2 minggu, dan mengurangi abnormalitas neurologis dalam 6 bulan pada bayi cukup bulan
dengan HIE ringan atau sedang.

Terapi Non Medikamentosa

1. Terapi Hipotermia13,16:

Terapi hipotermia bertujuan untuk menurunkan temperature struktur dalam otak yang
rentan, yaitu ganglia basal, hingga suhu 32-34°C selama 72 jam yang diterapkan segera
setelah resusitasi atau maksimal 6 jam setelah terjadi hipoksik iskemik. 13,16

a. Selective Head Cooling with Mild Systemic Hypothermia

Tujuan dari terapi pendinginan selektif pada kepala adalah untuk mencapai proses
penurunan suhu yang adekuat pada temperature serebral yang akan berefek pada

68
pendinginan sistemik ringan (suhu inti tubuh). Ini dilakukan dengan melakukan
pendinginan pada permukaan kepala.

b. Whole Body Cooling

Pendinginan seluruh tubuh (whole body cooling) memfasilitasi proses pendinginan


yang homogen pada seluruh struktur otak, termasuk regio perifer maupun sentral.

Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti kipas atau
cold packs yang ditaruh di sekitar bayi, atau yang lebih terpercaya dengan
menggunakan selimut atau matras pendingin.

Terapi hipotermia bersifat neuroprotektif dengan cara mengurangi laju metabolism


otak, melemahkan pelepasan zat eksitatorik (glutamate, dopamine), memperbaiki cedera
iskemik, menaikkan reuptake glutamate dan menghambat produksi nitrit oksida yang bersifat
toksik dan radikal bebas sehingga mengurangi kerusakan sel saraf dan memperbaiki fungsi
saraf, mencegah kejadian kecacatan dan menurunkan angka mortalitas. 13,16

Terapi hipotermi dilakukan berdasarkan beberapa faktor berikut:

 Berat lahir ≥1800 gram


 Hasil analisis gas darah
 Riwayat kejadian perinatal akut
 Skor APGAR
 Kebutuhan untuk resusitasi
 Pemeriksaan fisik (kejang, tingkat kesadaran, aktivitas spontan, postur, tonus, refleks
primitif, dan parameter sistem saraf otonom)

Saat tepat untuk memulai terapi hipotermi yang efektif dan optimal adalah sesegera
mungkin dalam usia kehidupan enam jam, serta dijaga hingga 48-72 jam. Selama terapi,
beberapa parameter harus dipantau, antara lain laju dan fungsi jantung, tekanan darah,
elektrolit, gas darah, gula darah, factor koagulasi.15 Setelah terapi selesai, proses
penghangatan harus dilakukan bertahap dan perlahan menggunakan selimut penghangat atau
udara hangat.

69
Efek samping jangka pendek terapi hipotermi adalah peningkatan sinus bradikardi
dan peningkatan signifikan trombositopenia. Namun, keuntungan terapi hipotermi jauh lebih
signifkan dibandingkan kejadian efek samping jangka pendek.

2. Sel Punca/ Stem Cell Therapy


Pada cedera hipoksik-iskemik, terjadi kerusakan sel yang berakibat nekrosis dan
apoptosis. Terapi sel punca bertujuan untuk mengganti sel-sel rusak serta efek pelepasan
faktor tropik dan faktor anti-apoptosis yang memiliki efek antiinflamasi. Akan tetapi, jenis
dan sumber sel terbaik masih belum diketahui, kebanyakan peneliti menggunakan sel punca
neural atau sel punca mesenkimal.

Beberapa penelitian menggunakan darah tali pusat sebagai sumber sel punca karena
diketahui kaya akan sel punca; keuntungannya mudah didapat, kaya sel punca primitif, tidak
membutuhkan imunosupresan untuk transplantasi autologus, dan dapat disimpan hingga ≥30
tahun. Sedangkan kerugiannya adalah jumlah sel terbatas, berpotensi menularkan infeksi dan
penyakit genetik. Pertanyaan lain adalah mengenai penggunaan agen imunosupresif, jumlah
sel yang ditransplan, saat terapi, dan efek terapi apabila dikombinasi dengan terapi hipotermi.
Jalur pemberian terapi melalui jalur intrakardiak (melalui arteri umbilikal), intravena, dan
intranasal memberikan hasil baik dan komplikasi minimal.

Prognosis

Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan kardiopulmoner yang
dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat HIE. Apgar score rendah pada 20 menit
pertama, tidak adanya pernafasan spontan pada 20 menit pertama dan adanya tanda kelainan
neurologi yang menetap pada usia 2 minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk
memprediksi kemungkinan kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik
yang berat. Mati otak yang terjadi setelah diagnosis HIE ditegakkan berdasarkan penurunan
kesadaran berat (koma), apnea dengan PCO2 yang meningkat dari 40 hingga >60 mmhg dan
hilangnya refleks batang otak (pupil, okulocephalic, oculovestibular, kornea, muntah dan
menghisap). Gejala klinis tersebut ditunjang dengan hasil EEG.

Follow up

Sejak awal, orang tua atau keluarga pasien perlu diberi penjelasan kemungkinan yang
terbail dan terburuk akibat ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan fisik, rehabilitasi
medis dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit, penderita yang mengalami

70
ensefalopati hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi secara berkesinambungan
dipoliklinik khusus dengan melibatkan beberapa keahlian disiplin ilmu, seperti neonatologi,
pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh kembang anak, rehabilitasi medik, orthopedik
dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani
penderita ensefalopati hipoksik iskemik.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Suraatmaja S.Kapita Selekta Gastroentrologi Anak. Jakarta : Sagung seto. 2007;h:146.


2. Definisi ARDS. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/976034-
overview#showall. Accessed on 5 Sept 17
3. Jon Palmer. Prematurity, Dysmaturity, Postmaturity. Neonatology. New Bolton Center ;
University of Pennsylvania. November 16 2005
4. Suraatmaja S.Kapita Selekta Gastroentrologi Anak. Jakarta : Sagung seto. 2007;h:146.
5. Kitterman J.Enterokolitis Nekrotikan. Dalam: Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol. 1. Ed
20.Jakarta:EGC.2006;h:297-300
6. Piazza AJ,Stoll BJ.Digestive System Disorder.D:Kliegman RM,et all.Nelson Textbook of
Pediatric.Ed 18.Philadelphia.Saunders Elsevier.2007;h:755-756
7. William J C, 2010. Necrotizing Enterocolitis. Merck Sharp & Dohme Corp. Diunduh dari:
http://www.merck.com tanggal 03 Juli 2010.
8. Lavene MI, Tudehope DI, Sinha S.Essensial Neonatal Medicine.Ed 4.Australia:Blackwell
Publishing.2008;h:254-257
9. Claud EC,Caplan M.Necrotizing Enterocolitis.Dalam:Walker WA,et
all.PediatricGastrointestinalDisease.Massachuset:McGrawHill.2004;h:873-877
10. Caplan M.Neonatal Necrotizing Enterocolitis.Dalam:Martin RJ,Fanaroff AA,Walsh
MC.Fanarof and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine Diseases of the Fetus and Infant.Ed
8.Philadelphia:Mosby Elsevier:2006 ;h1403-1410
11. Kosim et al. Buku Ajar Neonatologi. UKK IDAI. Jakarta 2008
12. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004.)
13. Harthaway, W.E et all, Pediatrics Diagnosis & Treatment, A Lange Medical Book, by
Appleton & Lange, 2010.
14. Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern Nepal: A
Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics 2008; 121:e1381-e1390
(doi:10.152/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
15. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h. 278-9.
16. Zanelli, et al. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. Emedicine Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/976034
17. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, , Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2007.

72
73

Вам также может понравиться