Вы находитесь на странице: 1из 10

TUGAS MAKALAH INTERAKSI OBAT

ANALISIS INTERAKSI OBAT DENGAN OBAT DALAM


FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMIKA
Dengan Judul :
Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Penyakit Gagal Jantung Rawat Inap Di
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang Tahun 2008
DOSEN PENGAMPU : Yulia Dwi Andarini, M.P.H, Apt

DISUSUN OLEH:
Eva Nordiana
Pitaloka Uswatun Hasanah
Rima Daulay
Salamatul Maimanah
Zuhria Annur

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
NGAWI
2018/1439
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat
lain (interaksi obat- obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa
kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat
digunakan bersama-sama. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat
peningkatan toksisitas atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu
diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan
dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa
digunakan bersama - sama.
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai
dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi,
waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau
tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi
farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk
mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya. Pasien
gagal jantung adalah suatu pasien yang mengalami kelainan jantung sehingga
jantung tidak mampu dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan.
2. Rumusan Masalah
A. Bagaimanakah proses interaksi obat secara farmakokinetik?
B. Bagaimanakah proses interaksi obat secara Farmakodinamik?
3. Tujuan
A. Untuk mengetahui terjadinya proses interaksi obat secara
farmakokinetik
B. Untuk mengetahui terjadinya proses interaksi obat secara
farmakodinamik
BAB II
PEMBAHASAN
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat- obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan
bersama-sama. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan
toksisitas atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga
perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama - sama. Kejadian
interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a. Dokumentasinya masih sangat kurang
b. Seringkali lolos dri pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan
mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan
interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi
idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa
penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit
pasien.
c. kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual,
di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau
berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme
antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau
penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan
bersama-sama, pemberian kronik).
Pasien gagal jantung adalah suatu pasien yang mengalami kelainan jantung
sehingga jantung tidak mampu dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Pasien gagal jantung pada umumnya harus diberikan
sedikitnya empat jenis pengobatan yakni, inhibitor ACE (angiostensin converting
enzim), diuretik, β bloker, digoksin. Beberapa pasien terkadang juga memerlukan
perlakuan tambahan seperti pemberian senyawa antagonis aldosteron, bloker
reseptor angiostensin dan hidralasin/isosorbid dinitrat. Pasien gagal jantng biasanya
menderita komplikasi suatu penyakit sehingga membuutuhkan berbagai macam
obat- obatan. Pemberian obat secara komplikasi tanpa mempertimbangkan dengan
baik dapat merugikan pasien karena bisa terjadi interaksi obat.
Interaksi Farmakokinetik
1. Absorpsi
Obat-obat yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna
ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat
melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun
aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan
difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih
rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi
(contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi.
Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat
dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel,
sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di
bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat
absorpsinya biasanya sempurna.
2. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat
kerja di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor.
Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah
terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi
pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini.
Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi
depot untuk obat-obat larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-obat
yang sangat larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan
barbiturat.Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein
darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk
berikatan dengan asam-α- glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma
protein binding) dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan persen obat yang
terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi tidak aktif, sedangkan obat
yang tidak terikat, biasa disebut fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau
lebih obat yang sangat terikat protein digunakan bersama-sasam, terjadi kompetisi
pengikatan pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah
satu obat dari ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat
bebas dalam darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat
lain, akan terjadi peningkatan kadar obat bebas yang terdistribusi melewati berbagai
jaringan.
3. Metabolisme
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai
reseptor, berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus
larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi
senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui
ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II.
Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. Oleh enzim
mikrosomal hati yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang
lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang
larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang tidak atau
kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua
fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar
interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari
pada fase II.
4. Ekskresi
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat
empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula
dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati
membran glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus.
Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran
darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif
yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel
tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk
mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi aktif tubuli
ginjal, perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal.
a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
b. perubahan pH urin
c. Perubahan aliran darah ginjal
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek
yang aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam
plasma. Hal ini terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat
pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan
seperti interaksi-interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh, tetapi
terjadinya interaksi tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek farmakologi obat
yang dipengaruhi.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif non analitik dan
dikelompokan menjadi :
1. Karakteristik pasien, meliputi jenis kelamin, kelompok umur, dan lama
rawat inap.
2. Identifikasi interaksi obat berdasarkan jumlah pasien, jenis interaksi obat
berdasarkan jumlah kasus dan level signifikansi.
Dalam analisis pada jenis kelamin Pria lebih berisiko dibanding wanita
karena secara alami wanita memproduksi hormon estrogen sehingga berisiko
rendah terkena penyakit jantung dibandingkan pria. Perbedaan ini akan hilang saat
wanita mengalami menopause, wanita berisiko terkena penyakit jantung yang sama
dengan pria. Tingginya angka kejadian pada wanita diakibatkan umur pasien
sebagian besar berada diatas 40 tahun dimana pada umur demikian wanita memiliki
risiko yang sama dengan pria, serta berdasarkan umur angka terbesar dalam
penyakit gagal jantung tersebut di umur 41 tahun.
Dalam kasus pada interaksi obat terlihat jenis interaksi farmakodinamik
potensinya terkecil (22,93%). Meskipun demikian, karena jenis interaksi ini dapat
diramalkan sebelumnya, maka suatu upaya untuk meminimalkan adanya interaksi
farmakodinamik harus dilakukan dengan meningkatkan kompetensi petugas medis
maupun petugas farmasi di rumah sakit. Dari 148 kasus yang potensial berinteraksi,
terdapat 24 jenis kasus penggunaan obat bersamaan yang berpotensi menimbulkan
interaksi. Untuk meminimalkan interaksi ini maka selang waktu pemberian obat
diatur minimal 2 jam perlu dilakukan guna meminimalisir potensial interaksi.
Interaksi obat dengan obat
1. Digoksin dan furosemid
Furosemid menyebabkan gangguan elektrolit, sehingga mempengaruhi
digoksin menginduksi terjadinya aritmia, interaksi tersebut termasuk interaksi
farmakodinamik dengan onset lambat. Ukur kadar plasma kalium dan magnesium
pada saat penggunaan kombinasi obat ini. Adanya interaksi tersebut dapat diatasi
dengan penggunaan kalium dan magnesium dalam darah. Di samping itu juga dapat
dilakukan pemberian suplemen pada pasien dengan kadar kalsium dan magnesium
yang rendah. Pencegahan kehilangan kalium dan magnesium dengan penggantian
diuretik hemat kalium juga bermanfaat.
2. Digoksin dan amiodaron
Interaksi antara digoksin dan amiodaron menyebabkan level serum dari
digoksin meningkat. Interaksi ini termasuk interaksi yang tidak diketahui
mekanismenya dengan onset lambat. Amiodaron meningkatkan efek farmakologi
dan toksikologi dari digoksin dengan mekanisme yang tidak diketahui. Karena itu
perlu dimonitor tandatanda dan simptom dari toksisitas digoksin. Perlu diperhatikan
pula penurunan level serum digoksin apabila sedang diterapi dengan amiodaron.
3. Isoniazid dan rifampisin
Hepatotoksisitas mungkin terjadi pada kecepatan lebih tinggi daripada
dengan salah satu dari obat itu sendiri. Interaksi isoniazid dan rifampisin termasuk
interaksi farmakokinetik dengan onset lambat. Jika perubahan dalam tes fungsi liver
terjadi, dilakukan pemutusan dari salah satu obat.
4. Digoksin dan spironolakton
Kombinasi ini dapat merugikan jantung. Diuretika menghilangkan
kelebihan cairan tubuh. Umumnya diuretika mengurangi kadar kalium tubuh.
Kurangnya kalium menyebabkan jantung menjadi amat peka terhadap digitalis dan
risiko keracunan terhadap digitalis meningkat dengan gejala mual, bingung,
gangguan penglihatan, sakit kepala, kurang penglihatan, tidak ada nafsu makan,
bradikardia, takhikardia, dan aritmia jantung. Gejala yang perlu diwaspadai adalah
menurunnya kadar kalium seperti lemah otot atau kejang, pengeluaran urin banyak,
pusing dan pingsan. Interaksi antara teofilin dan simetidin termasuk interaksi
farmakokinetik dengan onset lambat. Pengatasan dilakukan dengan mengurangi
dosis untuk menghindari toksisitas (pengurangan 30-50% awal telah diusulkan) dan
memonitor efek.
5. Interaksi antara teofilin dan rifampisin
Interaksi antara teofilin dan rifampisin termasuk interaksi farmakokinetik
dengan onset lambat. Pengatasan yang dilakukan yakni memonitor pemberian
teofilin jika dibutuhkan dengan penyesuaian dosis teofilin dan menghentikan
pemberian rifampisin atau penyesuaian dosis.
6. Asetosal dan deksametason
Efek salisilat dapat berkurang. Akibatnya, gejala penyakit mungkin tidak
terkendali dengan baik kecuali jika takaran salisilat ditambahkan menjadi lebih
tinggi dari takaran lazim.
7. Amoksisilin dan alopurinol
Kecepatan amoksisilin menginduksi ruam kulit lebih tinggi bilamana
digunakan bersamaan. Alopurinol mungkin menyambung potensi ruam amoksisilin
dengan mekanisme tidak diketahui. Jika ruam kulit muncul dosis alopurinol
diturunkan atau alternatif terapi obat lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
A. Interaksi farmakokinetik adalah proses interaksi obat di dalam tubuh.
Meliputi proses terjadinya diabsorbsi, didistribusi, dimetabolisme dan
dieksresikan.
B. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja
pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama
sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa
terjadi perubahan kadar obat dalam plasma.
C. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif non analitik
dan dikelompokan menjadi :
a. Karakteristik pasien, meliputi jenis kelamin, kelompok umur, dan
lama rawat inap.
b. Identifikasi interaksi obat berdasarkan jumlah pasien, jenis interaksi
obat berdasarkan jumlah kasus dan level signifikansi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, ISO Farmakoterapi, ISFI, Jakarta, hal 93.
Harkness, R., 1989, Interaksi Obat, diterjemahkan oleh Agoes, G., dan Widianto,
M,B,
Penerbit ITB, Bandung, hal 160-161.
Setiawati, A., dan Nafrialdi, 2008, Obat Gagal Jantung, dalam Gunawan, G. S.,
Setiabudy,
R., Nafrialdi., dan Elysabeth, Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Bagian
Farmakologi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, hal 300- 302

Вам также может понравиться