Вы находитесь на странице: 1из 13

Makalah Sejarah Hukum Indonesia

Posted on 09.54 by Kahfi Dg Tuju


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sudah merupakan kewajiban bagi manusia diciptakan oleh Tuhan untuk hidup bersama dengan
manusia lainnya maupun lingkungan sekitarnya untuk bermasyarakat serta saling menjaga hak
dan kewajiban diri atas sesama manusia.
Dalam hidup bermasyarakat ini kita saling menjalin banyak hubungan dengan orang lain,
masing-masing dari kita memiliki kepentingan tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Adakalanya kepentingan-kepentingan ini dapat menjadi sengketa dan pertentangan
antara kepentingan kita dan orang lain. Untuk menghindari hal tersebut kita ingin menyelesaikan
semua sengketa kita dengan tertib dan damai maka dari itu kita akan membuat ketentuan atau
kaidah hukum yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat.
Dengan begitu kepentingan anggota masyarakat akan lebih terjaga dan terlindungi, apabila
kaidah hukum itu dilanggar, maka yang bersangkutan akan diberikan sanksi atau hukuman .
Yang dimaksud kepentingan di sini adalah hak-hak dan kewajiban pidana yang diatur dalam
Hukum Pidana Materiil atau lazim disebut sebagai Hukum Acara Pidana.

Hukum Acara Pidana adalah sekumpulan peraturan yang membuat bagaimana caranya orang
bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya suatu pihak yang terserang kepentingannya
mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak sekaligus memutus perkara dengan adil,
bagaimana melaksanakan keputusan hakim yang kesemuanya bertujuan agar hak dan kewajiban
yang telah diatur dalam hukum pidana materiil itu dapat berjalan dengan semestinya, sehingga
terwujud tegaknya hukum dan keadilan.

Dengan demikian kedudukan hukum acara pidana amat penting , karena adanya hukum acara
pidana, masyarakat merasa adanya kepastian hukum bahwa setiap orang berhak
mempertahankan hak pidananya dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan
pelanggaran terhadap hukum pidana yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat
dituntut melalui pengadilan. Selain itu hukum acara pidana juga berfungsi untuk menegakan ,
mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam pratik melalui
perantaraan peradilan. Dengan hukum acara pidana diharapkan akan tercipta ketertiban dan
kepastian hukum dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat kita tarik adalah :


Bagaimanakah sejarah munculnya Hukum Acara Pidana dan masuknya ke Indonesia ?
C. Manfaat Penyusunan

Manfaat daripada penyusuan makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah hukum acara pidana
secara singkat namun jelas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Acara Pidana Sebelum Zaman Kolonial Belanda

Pada waktu penjajah Belanda datang pertama kali di Indonesia telah tercipta hukum yang lahir
dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut Hukum Adat. Pada masa primitive
pertumbuhan hukum, yang dalam dunia modern dipisahkan dalam hukum privat dan hukum
publik, tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Penduduk nusantara tidak membedakan
antara hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Penduduk nusantara menggunakan hukum
adat untuk menyelesaikan masalah pidana maupun perdata di kalangan mereka. Cara pembuktian
yang digunakan sering kali menggunakan kekuatan kekuatan gaib.

Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam untuk menyelesaikan
masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai diadakan pembedaan antara masalah
pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa selalu berpedoman kepada Al Quran,
hadits dan hasil ijtihad.
Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum.
Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat
oleh para ahli hukum.

Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena dimanapun
manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum.
Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum acara pidana modern. Hukum
pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui
proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat
berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum acara pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku
aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan
kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang
raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab adilullah berlaku
dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan hukum
acara pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.

Hukum Kerajaan tersebut lazimnya disebut sebagai hukum adat. Hukum itu ada sebelum
kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang
Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang
mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum
perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum
pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh
aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama
resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat
Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.

Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat
tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini
dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan
hukum pidana di wilayah yang bersangkutan.

Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan
dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal
adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi
hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

Selain itu Hukum Acara perdata tidak terpisah dari Hukum Acara Pidana. Tuntutan Perdata dan
tuntutan pidana merupakan suatu kesatuan, termasuk lembaga – lembaganya.
Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta adalah suatu
totalitas yaitu bahwa Manusia beserta makhluk lain dan Lingkungannya merupakan suatu
kesatuan, alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan. Sehingga yang paling utama adalah
keseimbangan dan keharmonisan antara satu dengan yang lainnya. Segalanya perbuatan yang
menggangu keseimbangan itu merupakan pelanggaran hukum (adat).

Hazairin dalam tulisannya berjudul “Negara tanpa penjara” dalam Tiga Serangkai Tentang
Hukum menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara. Hukum
pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia searing digantungkan pada kekuasaan Tuhan.
Bentuk – bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht
bagian X yang disebut juga dalam buku Supomo tersebut, yaitu sebagai berikut :

1. Pengganti kerugian “immaterial” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan.
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
peganti kerugian rohani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib
4. Penutup malu, permintaan maaf
5. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluat Tata Hukum.

B. Sejarah Hukum Acara Pidana Setelah Zaman Pendudukan Kolonial Belanda di


Indonesia

Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia
mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian
selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami
pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian
pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.

Masa pemberlakuan hukum acara pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie).

VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan "kekuasaaan wilayah" di
Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten
General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.

Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya
di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan
aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.

Pada tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari
Gubernur Jenderak van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang diberi nama
Statuten van Zeventien. Pada tahun 1850 himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventien
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah :

1. hukum satatuta yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.


2. hukum Belanda kuno
3. asas-asas hukum Romawi.

Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika statuta
tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan
hukum Romawi bcrlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht).

Statuta Betawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang mempunyai batas utara : pulau-
pulau Teluk Betavvi, di timur : sungai Citarum, di selatan : Samudera India, di barat : Sungai
Cisadane.
Ini mcrupakan teori saja, karena prakteknya orang pribumi tetap tunduk kcpada hukum adatnya.
Di daerah lain tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal
pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem
Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.

Pada tahun 1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 muncul
kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Pebruari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :
1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi
golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku
KUHP untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing.

2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daannede gelijk-gestelde (Stbl. 1872 Nomor 85),
mulai berlaku 1 Januari 1873.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu
tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumka3n, plakaat peraturan itu kemudian dilepas
tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang
sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan
kembali peraturan-peraturan itu.

Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang
dibuat pada tahun 1642. Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan
Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun
bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan
lain.
Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut
sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.

Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga
diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan
adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain:

1. sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat
memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan-peraturan;
2. sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang
terjadi karena permasalahan alat bukti; dan
3. adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat
dengan hukum pidana yang dibawa VOC.

Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap
sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan,
sehingga perlu dipidana yang setimpal.

Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon
yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain
mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang
berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost
Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara
digantikan oleh Inggris.

Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah
koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah
berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.

KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang menyebutkannya suatau karya
agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun
Ned strafvordering 1926 yang lebih moderen itu. Dalam usaha menengok masa lampau itu kita
terbawa oleh rus kepada perubahan penting perundang-undangan di negeri Belanda pada tahun
1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan Prancis. Pada waktu itu,
golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk
undang-undang sangat kuat.

Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali
bilamana kelaziman tersebut ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yanghukum yang
tertulis dan terbuat dengan sengaja ). Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan
pribumi dipedalan, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-undang
Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffls untuk menyelami hukum adat sepanjang
pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini
ditangguhkan.

Sebelum berlakunya perundang-undangan baru di negeri Belanda, yaitu dalam tahun 1836.
Scholten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan perundang-
undangan baru di Hindia Belanda disamping jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia
memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr P. Mijer,
ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-
undangan baru itu di Hindia Belanda.

Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848 berdasarkan pengumuman
Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat
IR. Mr Wichers mengadaan beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi ia
mempertahankan hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut disahkan oleh
Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16, dan dikuatkan
dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam Sbld 1849 nomor
63. Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene Inlands Reglement atau
HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk
lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu ditempatkan dibawah
pamongpraja.

Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM) atau parket itu secara bulat dan tidak
terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah officier van justitie dan procureur
generaal. Dalam praktek IR masih masih berlaku disamping HIR di Jawa dan Madura. HIR
berlaku dikota-kota besar seperti Djakarta (Batavia), Bandung, Semarang, Surabaya, Malang,
dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku IR. Untuk golongan bumi putera, selain yang
telah disebutkan di muka, masih ada pengadilan lain seperti Districhtsgerecht,
regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapat magistraatsgerecht menurut ketentuan
Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil-kecil. Sebagai pengadilan
yang tertinggi meliputi seluru “Hindia Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-
putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur dalam pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO.

Kita terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang – undangan di negeri Belanda pada
tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan Prancis.Pada waktu itu,
golongan logis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk
undang – undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman – kelaziman
tidak merupakan hukum, kecuali bilamana kelaziman tersebuit ditunjuk dalam undang – undang
(aturan hukum yang tertulis dan terbuat dengan sengaja)Sebelum itu, VOC pada tahun 1747 telah
mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang
“Javasche wetten” (undang – undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffles
untuk menyelami hukum adapt sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri
Belanda itu maka usaha ini ditangguhkan. Mr. H.L. Wichers seorang legis yang berasal dari
Groningen. Pada waktu masih di Belanda ia mempelajari rancangan Panitia Scholten. Ia
berpengalaman sebagai bekas jaksa dan anggota dewan pertimbangan agung. Ia berangkat ke
Hindia Belanda pada bulan Mei 1846. Tiga pekerjaan utama yang; diselesaikan selama satu
setengah tahun, yaitu pertama peraturan mengenai peradilan, kedua mengenai perbaikan kitab
undang-undang yang telah ditetapkan itu, dan ketiga pertimbangan tentang berlakunya hukum
Eropa untuk orang Timur. Isi dari firman Raja tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 yang
diumumkannya di Indonesia dengan Sbld 1847 Nomor 23 yang terpenting ialah yang tersebut
Pasal 1 dan Pasal 4. Peraturan – peraturan hukum yang dibuat untuk “Hindia Belanda” yaitu
sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum tentang Perundang – Undangan; (AB).


2. Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Pengadilan (RO).
3. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW).
4. Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (WvK)
5. Ketentuan – ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jatuh pailit dan
terbukti tidak mampu, begitu pula kala diadakan penangguhan pembayaran utang (Pasal 1)
6. Peraturan acara perdata untuk (Hooggerechtshof dan Raad van Justitie).
7. Peraturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara criminal
mengenai golongan Bumiputra dan orang – orang yang dipersamakan (Pasal 4).
Yang disebut di atas ini yang disebut reglement op de uitofening van de politie, de burgelijke
rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Oosterlingen of Java en Madoera.

C. Sejarah Hukum Acara Pidana Setelah Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku
di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara
Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar
Gun Seirei melalui Osamu Seirei.

Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942.
Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk
sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.

Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain,
termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan
pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling.
Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang
ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada
dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum acara pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang
di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun
1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan
Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana
khusus.
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada undang-undang
(Osama Serei} Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai
peraturan peralihan Jawa dan Madura.

Pasal 3 Osamu Serei tersebut berbunyi:

"Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang dan pemerintah


yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer."

Jadi, hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan raja/ratu
yang tidak berlaku lagi. Peraturan yang semacam dikeluarkan juga di luar Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,
karena terjadi uninikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3
Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.

Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda
dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi.
Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di
Makassar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang
berkedudukan di Jakarta.

Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing
wilayah.

D. Sejarah Hukum Acara Pidana setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945

Pasca Kemerdekaan keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi
kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan :

"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."

Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan suatu peraturan pada
tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi :
"Untuk ketertiban masyarakat berdasar atas Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami Presiden menetapkan peraturan
sebagai berikut ;
Pasal I
"Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang
tersebut."
Pasal II
"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945."
Barulah dengan Undang—Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar
atas WvSI.
Ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang
berlaku sekarang (mulai 1946) iaiah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942
dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan keadaan Negara
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Srrafrecht mor Nederlandsch
Indie diubah menjadi Wetboek van Strufrechz yang dapat disebut Kitab Undang - Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan KUHAP.
Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terhadap
Wetboek van Strafrecht 8 Maret Tahun 1942 (saat mulai pendudukan Jepang) ialah :
1. Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian
sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagaj negara
merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
2. Pasal VI mengubah dengan resmi nama Wetbcek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
menjadi Wetboek van Stmfrecht (saja) yang dapat disebut juga dengan nama Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Pasal VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHAP itu
sebanyak 68 ketentuan.
4. Diciptakan delik-delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI, tetapi
kemudian dengan Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Pasal XVI tersebut dicabut.
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Shafrecht atau KUHP itu sampai kinipun
masih di dalam bahasa Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun
1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia.
Jadi, apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum (hakim,iaksa, polisi dan pengacara) adalah
terjemahan di dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah
dan saat penerjemahan sama halnya dengan yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949 kembali lagi
ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah Aksi Militer I, terutama
meliputi kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang,
Surabaya, Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh Nusatenggara, Sulawesi,
Kalimantan, Maluku dan Irian Barat.

E.Proses Penyusunan KUHAP ( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana )


Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan untuk membangun segala segi kehidupan.
Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan kolonial.
Penggunaan istilah “hukum acara pidana” sudah merupakan pemilihan yang tepat dibandingkan
dengan “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana di negara Belanda memakai istilah
strafvordering yang kalau diterjemahkan adalah “tuntutan Pidana” oleh karena itu menurut Prof.
Dr. Jur. Andi Hamzah istilah Inggris Criminal prosedure law lebih tepat daripada istilah Belanda.
Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen
Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana. Pada
waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman,
penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut dilimpahkan kepada
Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu Mahkamah Agung,
Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut
diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12
September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil pemerintah,
ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284.
Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan
kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang –
undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya usaha
untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun 1983 telah
ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang – undangan pidana
khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini.
1. Penyidik
2. Jaksa.
3. Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang – undangan
(Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).
Pada tahun 1965 Indonesia memulai proses Pembuatan KUHAP dan diberi nama Draft belum
sempurna, pada tahun 1967 dibentuklah panitia intern departemen kehakiman untuk membahas
hukum pidana dan HAM pada seminar hukum II di Semarang, namun masih belum menemukan
jalan keluar dari pembuatan KUHAP ini.
Kemudian pada tahun 1974 , Menteri Kehakiman yang sebelumnya adalah Prof. Oemar Seno
Aji, diganti oleh Prof. Mochtar Koesoemoatmaja. Beliau lebih mengintensifkan pembuatan
RUUHAP, menyimpan draft V (karena sebelumnya sudah terjadi perubahan draft sebanyak IV
kali), dan menyerahkanya ke kabinet. Selanjutnya pada tahun 1979 RUUHAP diserahkan ke
DPR-RI untuk mendapatkan persetujuan, namun persetujuan ini mendapat jawaban dari DPR-RI
pada tanggal 9 september 1981 dalam sidang gabungan (SIGAB) komisi I dan III DPR RI.
Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR pada
tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang – undang pada
tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG ACARA PIDANA
(Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 32

Setelah menunggu sekian lama, setidak-tidaknya sudah masuk dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) pada 2000-2004, 2004-2009 dan 2009-2014, pembaruan terhadap Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
mendapatkan momentumnya. Pada 6 Maret 2013, Pemerintah secara resmi menyerahkan
Rancangan KUHAP yang memuat 286 pasal kepada DPR. Selanjutnya, DPR merespon
penyerahan rancangan tersebut dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) yang diketuai oleh Aziz
Syamsuddin. Metode pembahasan yang disepakati adalah dengan menggunakan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM). Setelah pasal-pasal dalam RKUHAP tersebut diklasifikasikan
dalam permasalahan dan diberi nomor, terdapat 1.169 nomor DIM .

Kini, kurang lebih satu tahun berlalu, menurut catatan pemantauan Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK) yang tergabung dalam Komite untuk Pembaruan Hukum Acara
Pidana (KuHAP), hingga Maret 2014 telah dilaksanakan 5 (lima) kali rapat kerja antara
Pemerintah dengan Panja RKUHAP. Catatan penting dari kelima sidang tersebut adalah, pada
rapat kerja 21 November 2013, Pemerintah dan DPR mengambil kesepakatan mengenai
beberapa nomor DIM, yaitu
:
1. 729 nomor DIM dinyatakan tetap .
2. 69 nomor DIM dinyatakan tetap namun dengan catatan.
3. 97 nomor DIM dinyatakan perubahan terhadap redaksional.
4. 208 nomor DIM dinyatakan pembahasan mengenai substansi.
5. 28 nomor DIM dinyatakan meminta penjelasan.
6. 38 nomor DIM dinyatakan baru.

Selain catatan atas beberapa nomor DIM diatas, perkembangan pembahasan di DPR belum
beranjak dari beberapa topik. Dimana terhadap topik pembahasan tersebut, juga belum
ditemukan kesepakatan. Beberapa hal yang masih dalam tahap pembahasan tersebut adalah:
1. Nomor DIM 9, mengenai dasar mengingat;
2. Nomor DIM 15, mengenai penghapusan nomenklatur penyelidikan; dan
3. Nomor DIM 17, mengenai pengertian penuntut umum dan penuntutan.

Dengan mempertimbangkan kondisi dan pembahasan yang berkembang di DPR, maka sebaiknya
pembahasan terhadap Rancangan KUHAP (RKUHAP) saat ini dihentikan dan dilanjutkan pada
DPR periode mendatang.
Pembahasan terhadap RKUHAP sepatutnya disandarkan pada 2 (dua) prasyarat, yaitu (i)
ketersediaan waktu yang cukup, dan (ii) dirumuskannya metode pembahasan yang efektif juga
partisipatif. Dua prasyarat ini berpotensi tidak akan terpenuhi, apabila pembahasan tetap
dipaksakan oleh DPR periode 2009-2014 .

Praktis, DPR hanya memiliki sekitar 109 hari kerja dalam waktu kurang lebih 9 (sembilan) bulan
untuk menyelesaikan masa tugasnya di periode ini, terhitung mulai 15 Januari 2014 (pembukaan
Masa Sidang III Tahun Persidangan 2013-2014) sampai dengan 1 Oktober 2014 (pelantikan
anggota DPR periode 2014-2019). Kurun waktu itu diselingi oleh dinamika pemilihan umum,
baik legislatif (9 April 2014) maupun presiden (9 Juli 2014), yang tentu saja menguras cukup
banyak waktu dan perhatian anggota DPR, khususnya PanjaRKUHAP.

Waktu yang tersedia sangat singkat. Sementara di sisi lain, secara kuantitas, jumlah pasal dan
daftar inventarisasi masalah yang dibahas cukup banyak. Selain itu, secara kualitas, materi yang
dibahas juga cukup kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan berdampak luas
pada struktur hukum serta hak asasi manusia. Substansi KUHAP sangat penting dan fundamental
bagi jalannya proses peradilan pidana. Apabila dipaksakan dalam kondisi dan waktu yang tidak
mendukung, maka tentu akan berpengaruh pada kualitas substansi yang dihasilkan. KUHAP di
kemudian hari akhirnya akan rentan dipermasalahkan .

Dorongan ke depan adalah agar Pemerintah dan DPR (dalam hal ini Panja RKUHAP)
menghentikan pembahasan hingga periode DPR 2009-2014 berakhir. Selanjutnya, mendorong
agar Pemerintah dan DPR memasukkan perubahan KUHAP sebagai agenda dan prioritas di
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), baik 5 (lima) tahunan maupun prioritas 1 (satu)
tahunan. Tidak luput, metode pembahasan yang efektif dan partisipatif juga merupakan
keharusan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada waktu penjajah Belanda datang pertama kali di Indonesia telah tercipta hukum yang lahir
dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut Hukum Adat.
Masa pemberlakuan hukum acara pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie).

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku
di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara
Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar
Gun Seirei melalui Osamu Seirei.

Pasca Kemerdekaan keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi
kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan :
"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."

Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan suatu peraturan pada
tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi :
"Untuk ketertiban masyarakat berdasar atas Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami Presiden menetapkan peraturan
sebagai berikut ;
Pasal I
"Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang
tersebut."
Pasal II
"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945."
Barulah dengan Undang—Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar
atas WvSI.
Penggunaan istilah “hukum acara pidana” sudah merupakan pemilihan yang tepat dibandingkan
dengan “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana di negara Belanda memakai istilah
strafvordering yang kalau diterjemahkan adalah “tuntutan Pidana” oleh karena itu menurut Prof.
Dr. Jur. Andi Hamzah istilah Inggris Criminal prosedure law lebih tepat daripada istilah Belanda.

Вам также может понравиться