Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB I

PENDAHULUAN
Congenital Talipes Equino-Varus (CTEV) atau clubfoot
merupakan suatu bentuk deformitas kompleks yang terjadi pada bayi
baru lahir (congenital).1 Deformitas pada CTEV meliputi deformitas
pada kaki dan ankle disebut talipes, berasal dari dua kata, talus (ankle)
dan pes (kaki). Deformitas ini meliputi tiga persendian, yaitu inversi
pada sendi subtalar, adduksi pada sendi talonavicular dan equinus pada
ankle joint. Clubfoot dapat dengan jelas terlihat saat bayi lahir ditandai
dengan empat komponennya, equinus, midfoot cavus, forefoot adduction,
dan hindfoot varus. Kelainan ini merupakan hasil abnormalitas
intraosseus (abnormal morfologi) dan interosseus (hubungan abnormal
antar tulang).2,5
Prevalensi clubfoot 1,52 per 1000 penduduk di Eropa. Penanganan
clubfoot biasanya surgical, yang mengkoreksi deformitas pada tahun
pertama kehidupan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, hanya 27%
yang hasilnya tetap baik setelah 30 tahun operasi.5 CTEV mengenai pria
lebih sering dari wanita dengan rasio 2:1, dan sekitar sepertiga kasus
CTEV mengenai kedua kaki (bilateral). CTEV biasanya muncul
sendirian tanpa disertai penyakit lain. Namun, apabila CTEV muncul
disertai adanya penyakit kongenital lain, maka hal inilah yang akan
memperberat hambatan penatalaksanaan clubfoot.1
Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya
paling cepat pada trimester kedua, namun biasanya diagnosis baru
terbukti ketika bayi lahir dan ditandai dengan adanya heel equinus dan
inverted foot terhadap tibia. Selain itu, dengan pemeriksaan harus
dibedakan antara kasus idiopatik dan nonidiopatik clubfoot. Perbedaan ini
akan menentukan prognosis dan rekurensi CTEV.4
Deformitas yang dihadapi pada pasien CTEV memerlukan terapi
dan penanganan sedini mungkin, sebaiknya pada minggu pertama
kehidupan bayi.3 Adapun, penanganan pada pasien CTEV dapat secara
operatif ataupun non operatif. Penatalaksanaan non operatif lebih

1
disukai karena efektif dan minimal infasiv dibandingkan tatalaksana
secara operatif. Terdapat beberapa teknik koreksi non operatif yang
populer diantaranya adalah metode ponseti dan metode french. Koreksi
CTEV ponseti dilakukan dengan teknik manipulasi dan serial cast.1,4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Pedis


Pedis pada manusia terdiri dari 26 tulang, yang dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
 7 tulang tarsal
 5 tulang metatarsal
 14 tulang phalanges
Pedis atau kaki, dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: kaki belakang
(hindfoot), kaki tengah (midfoot), kaki depan (forefoot). Kaki belakang terdiri dari
2 tulang dari 7 tulang tarsal yaitu tulang kalkaneus dan talus dan kelima sisa
tulangnya termasuk dalam kaki tengah, dan kaki depan terdiri dari tulang
metatarsal dan phalanges.

Gambar 1. Tulang Pedis dilihat dari sisi atas dan bawah

3
2.1.1. Anatomi tulang Pedis
Tulang tarsal terdiri dari 7 tulang yaitu calcaneus, talus, cuboidea
naviculare dan 3 tulang cuneiforme.
1. Tulang calcaneus
Tulang calcaneus adalah tulang yang terbesar yang terdapat di region
pedis, tulang ini berada di daerah tumit dan berfungsi untuk menopang
badan ketika tumit kita menyentuh permukaan. Tulang ini menjorok
keluar pada kaki bagian belakang, merupakan tempat melekatnya
ligament calcaneus. Tulang ini memiliki 3 dimensi dan berbentuk
persegi panjang dan memiliki 6 permukaan. Tulang calcaneus
memiliki 2 artikulasi yaitu dengan tulang cuboid dan talus.
2. Tulang Talus
Talus adalah tulang kedua terbesar pada tulang tarsal dan berada
diatas tulang calcaneus pada bagian belakang kaki. Tulag ini unik
karena 2 dari tiga permukaan tulang ditutupi oleh artikulasi kartilago
dan tulang ini tidak memilki insersio entah itu dari tendon atau otot.
Tulang ini memiliki 5 permukaan sendi semua memiliki fungsi
menahan berat badan. Tulang ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu
kepala, leher dan badan.
3. Tulang cuboid
Tulang cuboid terletak di sisi lateral kaki, didepan dari tulang
calcaneus dan dibelakang tulang ke empat dan kelima dari metatarsal.
4. Tulang naviculare
Tulang naviculare terletak pada medial pada kaki tengah diantara talus
dan 3 tulang cuneiforme.
5. Tulang Cuneiforme
Tulang cuneiforme terdiri dari 3 tulang yaitu cuneiforme medial,
tengah dan lateral.

4
Gambar 2. Tulang pedis dilihat dari sisi medial dan lateral
6. Tulang metatarsal
Tulang metatarsal terdiri dari tulang kesatu sampai kelima dihitung
dari medial ke lateral masing-masing memiliki kepala, leher dan basis.
Karakteristik umum tulang metatarsal; tulang-tulang metatarsal secara
kasar berbentuk silinder. Bentuknya mengecil dari ujung proksimal ke
ujung distal. Tulang ini melengkung di sumbu panjang, pada
permukaan plantar berbentuk cekung dan permukaan dorsal cembung.
7. Tulang phalanges atau jari-jari kaki
Tulang jari-jari kaki berjumblah sama dengan jari-jari tangan,
bentuknya pun lumayan sama ada jempol dan juga telunjuk serta 3 jari
lainnya meskipun dalam bentuknya berbeda dari segi ukuran.

5
Gambar 3. Tulang Pedis
2.1.2. Struktur persendian dan ligamen
Tulang-tulang tersebut diatas membentuk persendian-persendian sebagai
berikut:
a. Artikulatio talocruralis
Merupakan sendi antara tibia dan fibula dengan trachlea talus.
Sendi ini distabilkan oleh ligamen-ligamen:
▪ Sisi medial: lig. Deltoid yang terdiri dari:
◦ Lig. tibionavikularis
◦ Lig. calcaneotibialis
◦ Lig. talotibialis anterior dan posterior
▪ Sisi lateral:
◦ Lig. talofibularis anterior dan posterior
◦ Lig. Calcaneofibularis

Gerak sendi ini: ◦ Plantar fleksi


◦ Dorsofleksi
◦ Sedikit abduksi dan adduksi pergelangan kaki

b. Artikulatio talotarsalis
Terdiri dari 2 buah sendi yang terpisah akan tetapi secara fisiologi keduanya
merupakan 1 kesatuan, yaitu:
 Bagian belakang: artikulatio talocalcanearis/subtalar
Ligamen yang memperkuat adalah: lig. talocalcanearis anterior,
posterior, medial dan lateral

6
▪ Bagian depan: artikulatio talocalcaneonavicularis
Ligamen yang memperkuat adalah:
◦ Lig. tibionavikularis
◦ Lig. calcaneonaviculare plantaris
◦ Lig. bifurcatum: pars calcaneonavicularis (medial) dan pars
calcaneocuboid (lateral) berbentuk huruf V
Gerak sendi ◦ Inversi pergelangan kaki
ini: ◦ Eversi pergelangan kaki

c. Articulatio tarsotransversa (CHOPART)


Disebut juga sendi midtarsal atau ‘surgeon’s tarsal joint’ yang sering menjadi
tempat amputasi kaki.
Terdiri dari 2 sendi, yaitu:
 Articulatio talonavicularis
 Articulatio calcaneocuboid, yang diperkuat oleh:
◦ Pars calcaneocuboid lig. bifurcati di medial
◦ Lig. calcaneocuboid dorsalis di sebelah dorsal
◦ Lig. calcaneocuboid di sebelah plantar
Gerak sendi ◦ Rotasi kaki sekeliling aksis
ini ◦ Memperluas inversi dan eversi art. Talotarsalis

d. Artikulatio tarsometatarsal (LISFRANC)


Adalah sendi diantara basis os metatarsal I-V dengan permukaan sendi distal
pada os cuneiformis I-III
Rongga sendi ada 3 buah, yaitu:
 Diantara os metatarsal I dan cuneoformis I
 Diantara os metatarsal II dan III dengan cuneiformis II dan III
 Diantara os metatarsal IV dan V dengan cuboid
Ligamentum pengikatnya adalah:
◦ Ligg. Tarsi plantaris
◦ Ligg. Tarsi dorsalis
◦ Ligg. Basium os metatarsal dorsalis, interosea dan plantaris

7
e. Articulatio metacarpofalangeal
Ligamen pengikatnya adalah: lig. collateralia pada kedua sisi tiap sendi
Gerak sendi ◦ Fleksi-ekstensi sendi metacarpal
ini: ◦ Abduksi-adduksi sendi metacarpal
f. Artculatio interfalangeal
Ligamen pengikat: lig. colateral di sebelah plantar pedis
Gerak sendi ◦ Fleksi-ekstensi interfalang
ini: ◦ Abduksi-adduksi interfalang

2.1.3. Otot-otot penggerak kaki


Otot-otot penggerak kaki dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Otot-otot ekstrinsik
Adalah otot-otot yang berorigo dan bekerja di luar kaki. Otot-otot tersebut
adalah otot-otot tungkai bawah, yaitu:
 M. gastrocnemius
Otot ini berorigo pada condylus femoralis medialis dan lateralis
dan berakhir sebagai tendon Achilles yang berinsersi di sisi
posterior calcaneus.
Berfungsi untuk:
◦ Plantarfleksi
◦ Bersama dengan soleus, membantu supinasi sendi subtalar saat
segmen anterior kaki menapak di tanah
 M. soleus
Otot ini terletak dibawah gastrocnemius dan berorigo pada tibia
dan fibula bagian atas, dibawah sendi lutut. Berakhir sebagai
bagian dalam tendo Achilles.
Berfungsi untuk: plantarfleksi
 Otot ekstrinsik yang lain dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
 Kelompok lateral terdiri dari:
- M. peroneus longus dan brevis: berorigo pada sisi lateral
fibula. Peroneus brevis berinsersi di basis metatarsal V

8
sedangkan peroneus longus pada basis metatarsal I dan
suneiformis medialis di permukaan plantar.
Berfungsi untuk: eversi pergelangan kaki.
 Kelompok anterior terdiri dari:
- M. tibialis anterior: berorigo pada sisi lateral tibia dan
berinsersi di cuneiformis medialis dan basis metatarsal I.
Berfungsi untuk: ~ inversi pergelangan kaki
~ dorsofleksi pergelangan kaki
- M. ekstensor hallucis longus: berorigo pada permukaan
anterior fibula dan membran interoseus dan berinsersi di
atas falang distal ibu jari kaki.
Berfungsi untuk: ~ ektensi ibu jari kakai
~ membantu dorsofleksi pergelangan kaki
- M. ekstensor digitorum longus: berorigo pada condylus
tibia lateralis dan permukaan anterior fibula dan berakhir
sebagai 4 tendon yang melekat disisi dorsal ke-4 jari-jari
kaki. Di ujung tiap tendon terbagi tiga, 1 berinsersi di
atas falang tengah dan 2 lainnya berinsersi di atas falang
distal.
Berfungsi untuk: ~ ekstensi jari-jari kaki
~ bersama-sama dengan m.
peroneus tertius, yang merupakan bagian
dari ekstensor digirotum longus membantu
dorsofleksi dan eversi pergelangan kaki.
 Kelompok medial terdiri dari:
- M. tibialis posterior:berorigo pada tibia dan sisi posterior
fibula dan berinsersi di tarsal dan metatarsal medial.
Berfungsi untuk: ~ inversi pergelangan kaki
~ plantarfleksi
- M. fleksor hallucis longus: berorigo pada sisi lateral
fibula dan tibia, berinsersi di falang distal ibu jari kaki.
Berfungsi untuk: fleksi falang distal ibu jari kaki

9
- M. fleksor digitorum longus: berorigo pada sisi posterior
tibia dan berinsersi di sisi lateral falang distal ke-4 jari
kaki.
Berfungsi untuk: fleksi jari-jari kaki
b. Otot-otot intrinsik
Adalah otot-otot yang berorigo dan berinsersi pada kaki. Otot-otot tersebut
adalah otot-otot kaki. Otot-otot ini tidak dapat diperiksa secara individual dan
untuk detailnya, dapat merujuk ke buku-buku anatomi.. Yang termasuk otot-
otot intrinsik yaitu:
 Lapis I
 M. Abduktor digiti kuinti
 M. abduktor hallucis
 M. Fleksor digitorum brevis
 Lapis II
 M. Kuadratus plantaris
 Mm. Lumbricales
 Lapis III
 M. Adduktor hallucis kaput transversal dan oblik
 M. Fleksor hallucis brevis
 M. Fleksor digiti kuinti brevis
 Lapis IV
 Mm. Interosseus plantaris dan dorsalis
Otot-otot yang dipersarafi oleh n. plantaris medial, yaitu: m. abduktor
hallucis, fleksor digitorum brevis, fleksor hallucis brevis dan lumbricales I,
berfungsi untuk:
~ fleksi jari-jari kaki terutama pada sendi
metatarsofalangeal ibu jari
~ menstabilisasi falang jari pertama saat fase push-off saat
berjalan
Otot-otot yang dipersarafi oleh n. plantaris lateral, yaitu: m. abduktor
hallucis, abduktor digiti kuinti, fleksor digiti kuinti, kuadratus plantaris,
lumbricalea dan interosseus, berfungsi untuk:

10
~ mempertahankan arkus kaki
~ fleksi sendi metatarsofalangeal jari-jari kaki
~ adduksi dan abduksi jari-jari kaki

2.2. Definisi
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau sering disebut Clubfoot
adalah suatu anomali kongenital dengan gambaran klinis posisi talus menunjuk
ke arah bawah (equinus), bagian leher berdeviasi kearah tengah dan bagian
tubuh berotasi sedikit ke luar dalam hubungannya dengan kalkaneus; naviculare
dan seluruh kaki depan bergeser ke tengah dan berotasi menjadi supinasi
(deformitas varus gabungan).6
Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana talus (ankle),
pes (foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat seperti kuda, dan varus
9
berarti inversi dan adduksi (inverted and adducted).

2.3. Epidemiologi
Insiden CTEV sebesar 1 kasus setiap 1000 kelahiran hidup. Lebih
sering ditemukan pada bayi laki-laki dengan perbandingan kasus laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Deformitas bilateral terjadi pada sepertiga kasus.7
Insidensi akan semakin meningkat (pada 25% kasus) bila ada riwayat
keluarga yang menderita CTEV. Kemungkinan munculnya CTEV bila ada
riwayat keluarga yaitu sekitar 1:35 kasus, dan sekitar 1:3 (33%) bila anak
terlahir kembar identik.9

2.4. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang telah diajukan sebagai penyebab deformitas
ini, termasuk faktor genetik, defek sel germinativum primer, anomali vaskuler,
faktor jaringan lunak, faktor intra uterine, dan faktor miogenik. Etiologi yang
sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. Pada beberapa kelainan
adanya perkembangan defek fetal dimana terjadi ketidakseimbangan otot
invertor dan evertor. akan tetapi banyak teori mengenai etiologi CTEV, antara
lain:

11
2.4.1. Faktor mekanik intra uteria
Merupakan teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates.
Dikatakan bahwa kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena
kompresi eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939) mengatakan
bahwa adanya oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari
luar karena keterbatasan gerak fetus.8
2.4.2. Herediter
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase
fibula (6,5 – 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu
kehamilan). Ketika terjadi gangguan perkembangan saat kedua fase
tersebut, maka kemungkinan terjadinya CTEV akan meningkat.4
2.4.3. Defek neuromuscular
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat
dari adanya defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang
menemukan gambaran histologis normal. Peneliti menemukan adanya
jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan tendon sheath pada
clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang.
Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan
PDGF pada pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam
kasus-kasus resisten.4
2.4.4. Gangguan perkembangan fetus
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-
kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis.
Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya muskulus yang tidak
berfungsi (muscle wasting) pada bagian ipsilateral, dimana hal ini
kemungkinan dikarenakan berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior
selama masa perkembangan.8
2.4.5. Defek plasma sel primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan
CTEV dan 14 kaki normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher dari
talus selalu pendek, diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial dan
plantar. Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal tersebut dikarenakan

12
defek dari plasma sel primer.8

2.5. Patologi Anatomi


Deformitas mayor clubfoot termasuk hindfoot varus dan equinus dan
forefoot adductus dan cavus. Kelainan ini merupakan hasil abnormalitas
intraosseus (abnormal morfologi) dan abnormalitas interosseus (hubungan
abnormal antar tulang).4
Deformitas intraosseus paling sering muncul di talus, dengan neck
talar yang pendek dan medial dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada
permukaan inferior talus, facet medial dan anterior belum berkembang.
Kelainan pada calcaneus, cuboid, dan navicular tidaklah terlalu parah
dibandingkan talus. Pada calcaneus ditemukan lebih kecil dari kaki normal, dan
sustentaculum yang belum berkembang.4
Deformitas interosseus terlihat seperti medial displacement dari
navicular pada talar head dan cuboid pada calcaneus, secara berurutan.
Herzenberg dkk menunjukkan bahwa talus dan calcaneus lebih internal rotasi
sekitar 20 terhadap aksis tibiofibular pada clubfoot dibandingkan dengan kaki
normal. Pada studinya, body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam
ankle mortise. Adanya internal tibial torsion pada clubfoot masih kontroversial.
Kontraktur dan fibrosis ligament sisi medial kaki, termasuk spring ligament,
master knot of Henry, ligament tibionavicular, dan fascia plantaris, juga
berkontribusi dalam abnormalitas clubfoot.6
Abnormalitas otot telah diamati selama operasi release deformitas
clubfoot. Dobbs dkk melaporkan bahwa flexor digitorum accesorius longus
muscle terlihat pada anak-anak yang menjalani operative release sekitar 6,6%
dan lebih banyak lagi pada anak-anak dengan adanya riwayat keluarga
(prevalensi 23%). Flexor digitorum accesorius longus dilaporkan ada sekitar
1% sampai 8% pada cadaver dewasa normal. Anomalous soleus muscle juga
telah dijelaskan dan dilaporkan berhubungan dengan tingginya angka rekurensi.4
Studi pada suplai darah telah menunjukkan abnormalitas atau tidak
adanya arteri tibialis anterior sekitar 90% dari clubfoot. Tidak adanya arteri
tibialis anterior juga dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini

13
meningkatkan risiko komplikasi vaskuler jika salah satu arteri dominan
terkena saat comprehensive soft-tissue release atau Achilles tenotomi.4

2.6. Klasifikasi
Ada beberapa system skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai
Negara, namun system klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling banyak
digunakan. Keduanya memberikan nilai berdasarkan pemeriksaan fisik.7
1. Pirani Score

Gambar 4. Klasifikasi deformitas Clubfoot Pirani

14
2. Dimeglio Score

Gambar 5. Klasifikasi deformitas Clubfoot Dimeglio

15
Gambar 6. Klasifikasi deformitas Clubfoot Dimeglio

2.7. Diagnosis
Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya paling
cepat pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi
yang ditandai dengan adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia. True
clubfoot harus dibedakan dengan postural clubfoot, dimana kaki tidak dapat
sepenuhnya dikoreksi secara pasif. Postural clubfoot terjadi karena posisi janin
saat di dalam uterus. Pada kelainan ini tidak didapatkan kontraktur yang
signifikan, skin creases yang dalam atrofi dan rigiditas ekstremitas.4

16
Dalam pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus yang
dihadapi idiopatik atau nonidiopatik. Pada kasus nonidiopatik akan memiliki
prognosis yang lebih buruk dan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi.
CTEV dengan arthrogryposis, diastrophic dysplasia, Mobius atau Freeman-
Sheldon syndrome, spina bifida dan spinal dysraphism, serta fetal alcohol
syndrome penanganannya hampir pasti meliputi tindakan operatif. Terkecuali
CTEV dengan Down syndrome dan Larsen syndrome, penanganan
seringkali hanya secara nonoperatif.4

2.8. Gambaran Klinis


Pada CTEV (clubfoot) sudah jelas ditemukan kelainannya sejak baru
lahir. Kedua kakinya berputar dan terpelintir ke dalam sehingga alas kakinya
menghadap ke posteromedial. Lebih tepatnya, pergelangan kaki (ankle) dalam
posisi equinus, telapak kaki inversi dan forefoot dalam keadaan adduksi dan
supinasi. Kadang terdapat kelengkungan yang besar (cavus) dan talus menonjol
keluar pada permukaan dorsolateral kaki. Tumit biasanya kecil dan tinggi, terlihat
kurus.6

Gambar 7. Gambaran kaki dengan CTEV


Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat

17
diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari
posisi varus. Kaki yang kaku ini yang membedakan dengan kaki equinovarus
paralisis dan postural atau positional karena posisi intra uterin yang dapat
dengan mudah dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak sendi pergelangan
kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila
disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottom
dengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal.
Maleolus lateralis akan terlambat pada kalkaneus, pada plantar fleksi dan
dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan maleoulus lateralis terlihat
tipis dan terdapat penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya.6
Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal
anterior tulang kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran medial,
plantar dan terlambat pada maleolus medialis, tidak terdapat celah antara
maleolus medialis dengan tulang navikularis. Sudut aksis bimaleolar menurun
dari normal yaitu 85° menjadi 55° karena adanya perputaran subtalar ke
medial.10
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot
tibialis anterior dan posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan
otot-otot peroneal lemah dan memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal
kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki memendek. Otot triceps surae
mempunyai kekuatan yang normal.10
Bayi harus selalu diawasi untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan
misalnya dislokasi pinggul congenital dan spina bifida. Tidak ditemukannya
lipatan mengindikasikan arthogryposis, lihatlah apakah ditemukan adanya
kelainan sendi yang lain.6

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang
tarsal, calcaneus, dan metatarsal. Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-tulang
tersebut telah cukup terosifikasi, dan pemeriksaan radiologi dapat dilakukan
dengan proyeksi film anteroposterior dan lateral dengan stress dorsofleksi.4

18
Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal (30-500) dan talo-
metatarsal I (0-100), sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut talocalcaneal
(30-500) dantibiocalcaneal (10-200). Sudut-sudut tersebut akan
menghilang/berkurang pada CTEV,sehingga dapat memprediksi keparahan dan
respon terhadap intervensi yang akan diberikan.9

Gambar 8. Sudut-sudut radiografi pada deformitas Clubfoot

19
Gambar 9. Radiografi pada deformitas Clubfoot

2.9. Diagnosis Banding


- Postural clubfoot : terjadi karena posisi fetus dalam uterus. Jenis
abnormalitas kaki ini dapat dikoreksi secara manual. Postural clubfoot
memberi respons baik pada pemasangan gips serial dan jarang relaps.
- Metatarsus adductus (atau varus): suatu deformitas tulang metatarsal
saja. Forefoot mengarah ke garis tengah tubuh, atau berada pada
aposisi adduksi. Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi
dan pemasangan gips serial.

2.10. Tatalaksana Tatalaksana Non-Operatif


2.10.1. Metode Ponseti
Tatalaksana dengan menggunakan teknik ponseti merupakan
penatalaksanaan dengan memanipulasi daerah sekitar talar secara gentle diikuti
dengan pemasangan long leg casts secara berkala, setiap 6 minggu sekali. Sekitar
90% kasus CTEV membutuhkan dilakukannya tenotomy achilles untuk
memperbaiki deformitas yang ada. Kemudian pasien diharskan mengenakan
sepatu boot dan bar brace selama 23 jam perhari dalam 3 bulan, lalu, selama
hanya waktu tidur sampai tahun ke-4.1

20
Metode Ponseti pertama kali diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti pada
akhir tahun 1940an sebagai respon terhadap terapi operatif yang sedang popular
namun masih menimbulkan nyeri dan deformitas residu. Teknik ini
merupakan metode spesifik yang meliputi manipulasi serial, casting, dan
tenotomy tendon achilles. Termasuk didalamnya adalah penggunaan foot
abduction brace untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya relaps.2
Tatalaksana CTEV sebaiknya dimulai pada minggu pertama kehidupan sang
bayi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kaki yang estetik, fungsional,
bebas nyeri. Namun, koreksi CTEV masih dapat dilakukan bahkan hingga
pasien menginjak usia 9 tahun. Prinsip terapi meliputi koreksi pasif yang
gentle, mempertahankan koreksi untuk periode waktu yang lama, dan
pengawasan anak hingga usai masa pertumbuhan. Pengawasan diperlukan
karena walaupun telah terkoreksi, 50% kasus akan terjadi rekurensi dan
adanya kontraktur soft tissue dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan
sendi. Tata laksana non-operatif lebih disukai di berbagai belahan
dunia.3
Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik dengan orang tua
pasien, dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4 tahun. Terapi
dapat dimulai dalam beberapa hari setelah kelahiran. Batas akhir usia belum

21
ditentukan dikarenakan adanya keberhasilan metode ini saat diterapkan pada
anak usia lebih dari 1 tahun. Tercatat sekitar 95% kasus yang ditangani
dengan metode ini tidak memerlukan posterior medial dan lateral release.
Terkadang diperlukan sedasi pada anak-anak usia lebih dari 15 bulan karena
nyeri yang ditimbulkan saat manipulasi.2
Dalam setiap sesi manipulasi, disarankan bersamaan dengan waktu
memberi makan anak. Hal ini bertujuan agar sang anak lebih relaks sehingga
lebih mudah saat pemasangan cast. Serial casting dapat menggunakan bahan
plaster atau fiberglass dan tidak ditemukan perbedaan hasil diantara kedua
bahan tersebut. Cast terpasang dipasang dari jari kaki hingga 1/3 atas paha

dengan lutut fleksi 900 dan akan diganti setiap 5-7 hari2. Biasanya diperlukan
5-6 kali penggantian cast untuk mendapatkan koreksi yang baik. Walaupun
biasanya metode Ponseti digunakan pada idiopathic clubfoot, pada beberapa
kasus dapat juga digunakan pada non-idiopathic clubfoot (yang disertai dengan
arthrogryposis, myelomeningocele, berbagai syndrome genetic, dan kelainan
neuromuskuler. Metode Ponseti juga digunakan pada complex clubfoot dan
kasus relaps meski telah menjalani extensive soft tissue release surgery.2
Deformitas cavus dikoreksi terlebih dahulu dengan cara supinasi
forefoot relatif terhadap hindfoot melalui penekanan pada metatarsal I. Pada
kebanyakan kasus, deformitas cavus akan terkoreksi dengan satu kali
pemasangan long leg cast. Forefoot adduction, hindfoot varus, dan hindfoot
equinus akan dikoreksi pada pemasangan cast ke 2-4. Koreksi aduksi forefoot
dan hindfoot varus dilakukan secara simultan dengan supinasi pedis dan
counterpressure pada head of
talus. Dengan teknik ini calcaneus, navicular dan cuboid akan displace
secara gradual ke lateral. Manuver penting ini mengoreksi mayoritas
deformitas dari clubfoot dan harus dilakukan pada setiap sesi dengan
memperhatikan tiga hal:
1. Abduksi forefoot harus dilakukan dengan dengan sedikit supinasi
pedis, sehingga koreksi pada deformitas cavus tetap terjaga dan
colinearity dari metatarsal tetap terjaga.
2. Dorsofleksi premature terhadap tumit dilarang dilakukan, hal ini

22
bertujuan agar calcaneus dapat terabduksi secara bebas dibawah
talus dan eversi ke posisi pedis netral, serta mencegah rocker bottom
deformity.
3. Counterpressure pada pada sisi lateral head of talus. Koreksi hindfoot
varus dan calcaneal inversion akan sulit bila counterpressure
diberikan pada sisi lateral pedis, bukan pada sisi lateral head of talus.
Secara umum diperlukan 3-4 minggu manipulasi dan casting untuk
melonggarkan sisi medial struktur ligamen pada tulang tarsal dan
molding parsial dari persendiannya.4

Gambar 10. Teknik Koreksi Ponseti4


Equinus merupakan deformitas terakhir yang dikoreksi, dan koreksi
harus dilakukan ketika hindfoot dalam posisi sedikit valgus dan pedis abduksi

700 relative terhadap cruris. Derajat abduksi tampak ekstrem namun diperlukan
untuk mencegah rekurensi deformitas. Equinus dapat dikoreksi dengan
dorsofleksi pedis secara progresif setelah varus dan adduksi pedis telah
terkoreksi. Dorsofleksi pedis dilakukan dengan penekanan pada seluruh bagian
telapak kaki dan kurangi penekan pada head metatarsal untuk menghindari
rocker bottom deformity. Equinus dapat dengan sempurna dikoreksi melalui
stretching dan casting yang progresif. Setelah cast keempat, pedis harus bisa
abduksi 500 dan varus harus sudah terkoreksi, namun biasanya equinus masih
ada. Calcaneus akan terkoreksi dengan sendirinya tanpa manipulasi menjadi
eversi dan dorsofleksi. Setelah cast dilepas, foot abduction orthosis (sering
disebut Denis Browne bar and shoes) diberikan untuk mencegah rekurensi

23
deformitas, untuk remodeling persendian dengan tulang-tulang dalam posisi
baik, dan untuk meningkatkan kekuatan otot kaki. Alat ini berupa sepatu
yang terhubung dengan dynamic bar (kira-kira sepanjang bahu pasien).
Rotasi sepatu terhadap bar sekitar 60-700 eksternal rotasi pada kaki clubfoot dan
400 eksternal rotasi pada kaki normal. Alat ini dipakai 22- 23 jam sehari selama
3 bulan, lalu saat tidur malam dan siang (12-14 jam sehari) hingga anak
berusia 1 tahun, dan saat tidur malam hingga usia 3-4 tahun. Pasien disarankan
untuk control satu bulan berikutnya dan dilanjutkan dengan interval 3 bulan.2
Orthosis terdiri dari dua sepatu yang dihubungkan dengan sebuah
papan yang mampu memposisikan sepatu selebar bahu. Papan harus mampu
menahan sepatu 700 eksternal rotasi dan 5-100 dorsofleksi. Pada kasus unilateral,
kaki normal harus berada di 400 eksternal rotasi. Menahan kaki selebar bahu
membantu abduksi pedis. Orthosis digunakan setiap hari hingga 3-4 bulan,
lalu dilanjutkan pemakaian saat tidur siang dan malam selama 2-4 tahun. Pada
90% kasus diperlukan adanya Achilles tenotomy (percutaneous Achilles
Tenotomy/ pAT) untuk mengoreksi kontraktur equinus. Tindakan ini
dilakukan dengan anestesi local pada anak usia dibawah 1 tahun (tanpa
adanya overlengthening atau kelemahan otot) dan dengan sedasi di ruang
operasi untuk anak yang lebih tua. Untuk anestesi local disarankan hanya
menggunakan anestesi topical terlebih dahulu dan anestesi injeksi diberikan
setelah prosedur tenotomy. Hal ini untuk menghindari kesulitan dalam palpasi
tendon sehingga berpotensi merusak neurovaskuler di area tersebut. Tenotomy
dapat dilakukan dengan thin cataract knife yang steril di klinik (setelah
EMLA cream menganastesi kulit secara local selama 30 menit). Beberapa
dokter lebih memilih mengerjakan di ruang operasi untuk anak >3 bulan,
karena akan lebih mudah memasang cast tanpa adanya
resistensi dari anak.4
Setelah steril, pedis ditahan oleh asisten dengan tekanan dorsofleksi
yang ringan hingga sedang. Tekanan yang terlalu kuat akan cenderung
mengencangkan kulit dan menyulitkan untuk palpasi tendon dengan baik. Pisau
memasuki kulit sepanjang batas medial tendon Achilles. Karena biasanya
calcaneus terelevasi pada fat pad, maka penting untuk memotong tendon 0,5 – 1

24
cm proksimal dari insersinya, dimana akan cenderung untuk menyebar ke
tuberositas calcaneus. Setelah dimasukkan, pisau didorong ke medial tendon dan
dirotasikan di bawahnya. Counterpressure dengan jari telunjuk dari arah
berlawanan akan mendorong tendon ke pisau dan mencegah laserasi yang tidak
diinginkan. Pergerakan yang berlebihan dari pisau ke arah lateral akan berisiko
mencederai vena saphena dan nervus suralis. Tenotomy yang berhasil ditandai
dengan palpable pop dan adanya kemampuan untuk dorsofleksi tambahan sejauh
15-200. Tidak perlu ada jahitan dan dipasangkan cotton cast padding steril, diikuti
dengan pemasangan long leg cast pada maksimal dorsofleksi dengan abduksi 70
derajat. Pedis diimobilisasi selama 3-4 minggu; kebanyakan bayi memerlukan
imobilisasi sekitar 3 minggu, pemasangan lebih lama masih diperbolehkan untuk
anak berusia >6 bulan. Long leg cast dipasang dengan posisi abduksi 60-700 dan
dorsofleksi 5-100. Suatu studi menyebutkan bahwa penyembuhan tendon terjadi
dalam 3 minggu saat terpasang cast.2
Suatu alternatif dari percutaneous heel cord tenotomy telah disarankan
oleh Alvarez dkk. Toksin Botulinum A diinjeksikan ke kompleks otot triseps
surae untuk melemahkan fungsinya. Dilaporkan keberhasilan jangka pendek
sekitar 50 dari 51 bayi dengan clubfoot. Teknik modifikasi diterapkan pada
kaki yang complex idiopathic atau atypic. Kaki ini biasanya pendek dan tebal,
dengan fixed equinus dan posterior crease yang dalam, serta hiperfleksi
metatarsal. Saat pemasangan cast, forefoot harus diabduksi, dan dorsofleksi
melalui penekanan pada head metatarsal, serta pAT dilakukan lebih awal.
Terkadang penekanan pada metatarsal sebelum mengoreksi calcaneal varus
mengakibatkan iatrogenic conves foot atau rocker bottom deformity. Keadaan
ini ditangani dengan pemasangan cast dalam posisi slight equinus selama 1-2
minggu untuk retraksi plantar ligament. Kasus relaps merupakan tantangan
dalam penangan clubfoot. Biasanya intoleransi saat pemakaian brace adalah
penyebabnya. Kebanyakan kasus relaps ditemukan deformitas varus dan equinus
hindfoot. Pada relaps awal, penanganan hanya dengan serial casting dan
dilanjutkan dengan brace. Bila setelah cast terdapat <150 dorsofleksi, diperlukan
Achilles tenotomy ulangan.2
Untuk anak lebih dari 3 tahun dengan kombinasi hindfoot varus dan

25
supination forefoot memerlukan pendekatan yang berbeda. Hindfoot varus dan
adduction dikoreksi terlebih dahulu dan diikuti dengan serial casting. Setelah
terkoreksi, dilakukan full tibialis tendon transfer ke cuneiform ketiga dan diikuti
dengan casting selama 6 bulan tanpa perlu pemakaian brace lagi.2
Rekurensi parsial biasanya terjadi pada 2-3 tahun pertama, sekitar 1/3
kasus relaps, dan penyebab paling sering adalah ketidakpatuhan pemakaian
brace orthosis. Koreksi pada relaps tahun pertama cukup dengan manipulasi
dan serial cast, untuk anak yang lebih tua akan lebih sulit memasang cast.
Pemakaian brace merupakan keharusan untuk menjaga hasil koreksi. Pada 2/3
kasus relaps lainnya memerlukan intervensi bedah, namun tidak untuk anak <18
bulan. Jenis operasi meliputi heel cord lengthening, posterior ankle release, atau
plantar facial release akan mampu mengembalikan plantigrade foot. Pada
pasien lebih dari 2-3 tahun dynamic swing phase supination deformity akan
muncul sebagai akibat medial overpull dari tendon tibialis anterior. Reduksi
inkomplit dari navicular ke head of talus akan mengubah fungsi tendon ini dari
dorsifleksor menjadi foot supinator. Bila tidak dikoreksi, keadaan ini akan
menjadi hindfoot varus berulang. Pada pasien-pasien ini dilakukan transfer
anterior tibialis ke tiga cuneiform setelah beberapa koreksi dengan cast. Untuk
mencegah bowstringing, tendon sebaiknya dibiarkan di bawah anterior
retinaculum ankle. Sangat penting untuk menilai rekurensi equinus karena
untuk menentukan kebutuhan Achilles tendon Z- lengthening saat transfer
tibialis anterior. Walaupun operasi akan sukses, namun tidak menjamin hasil
akan menjadi plantigrade. Pada beberapa studi, pasien relaps yang memerlukan
tindakan operatif sekitar 32-35%. Prosedur paling umum yang dikerjakan adalah
transfer tendon tibialis anterior yang mengoreksi swing phase supination. Pada
pasien relaps yang gagal dalam terapi non operatif dan memerlukan complete
posteromedial release biasanya terdeteksi dini dan mendapatkan operasi sebelum
mereka berusia 2 tahun.

2.10.2. Metode French


Selain metode Ponseti, terdapat satu metode populer lain sebagai
alternative menghindari tindakan operasi, yaitu French atau functional method.

26
Metode ini memerlukan manipulasi setiap harinya dan diikuti dengan
pemakaian adhesive tapping untuk menjaga posisi kaki yang telah dikoreksi
dengan peregangan (stretching). Pemakaian taping akan tetap memberikan
beberapa pergerakan, berbeda dengan Ponseti. Metode ini juga focus pada
penguatan otot peroneussebagai cara untuk menjaga hasil koreksi.2 Terapi harian
berlangsung selama dua bulan, lalu menjadi 3 kali seminggu selama enam bulan.
Saat kaki telah berhasil terkoreksi, tetap dilakukan home exercise dan night
splint hingga sang anak mencapai usia berjalan, kira-kira usia 2-3 tahun.4
Tujuan dari terapi ini adalah mereduksi talonavicular joint, stretch out
dari medial tissue, dan secara berurutan mengoreksi forefoot adduction, hindfoot
varus, dan calcaneus equinus.4 Pada tahap pertama, os navicular di-release secara
progresif dari malleolus medial dan dari posisi medialnya pada head talus.
Awalnya, relaksasi ini akan belum sempurna karena talus masih pada posisi
patologis, namun akan membaik seiring waktu. Tahap kedua adalah mengoreksi
forefoot adduction dengan stabilisasi dari adduksi menyeluruh calcaneus-forefoot
block. Manuver ini meregangkan semua sendi (naviculocuneiform, cuneiform-
metatarsal, dan MTP). Setelah semua sendi teregang, forefoot adduction akan
terus berkurang dengan melanjutkan peregangan medial skin crease. Untuk
menjaga pasif ROM yang baru, ekstensor ibu jari dan peroneal harus dikuatkan.
Untuk itu, terapis merangsang reflek kutaneus dengan memijat halus bagian
lateral pedis. Tahap ketiga adalah reduksi progresif dari hindfoot varus. Diawali
setelah talonavicular joint tereduksi dan dapat dilakukan bersamaan dengan
koreksi forefoot adduction. Calcaneus bergerak secara gradual kearah posisi netral
dan akhirnya menjadi valgus. Ankle tereksternal rotasi bersamaan saat calcaneus
diposisikan menjadi valgus. Lutut dijaga tetap 90 derajat selama maneuver.
Tahap akhir dari program ini adalah mengoreksi equinus dari calcaneus, dimana
sering sulit karena kontraktur dari posterior soft tissue yang tidak mudah
diregangkan dengan manipulasi. Calcaneus dibawa secara progresif dari plantar
fleksi ke dorsofleksi sementara lutut tetap dalam fleksi. Lalu lutut diekstensikan
dengan hati-hati. Manuver ini dilakukan berulang-ulang.Lateral arch ditopang
dengan baik untuk melindungi midfoot teregang (midfoot break). Walaupun
dikatakan menyebabkan inflamasi, fibrosis dan kekakuan, metode ini memberikan

27
keseimbangan otot dan suasana biomekanik yang mengubah pola pertumbuhan
strukutr osteokondral dari pedis. Dimeglio pada 1996 melaporkan keberhasilan
metode ini sebesar 74%, tanpa memerlukan intervensi bedah. Adapun tindakan
posterior release dilakukan bila ada residual equinus. Kelemahan dari metode ini
adalah butuh komitmen orang tua untuk menjalani terapi harian selama dua bulan
awal.2

Gambar 11. Teknik French

2.11. Tatalaksana Operatif


Tindakan operatif sebaiknya dihindari dan dibatasi hanya sebagai terapi
tambahan terapi konservatif. Indikasi tindakan operatif adalah pada kasus
resisten, kasus yang berkaitan dengan sindroma dan neurogenic, kasus rekuren,
dan adanya deformitas residu setelah tindakan extensive soft tissue release.2
Operasi berulang sebaiknya dihindari karena haya akan mengakibatkan

28
kekakuan sendi, luka operasi, pengerasan jaringan dan bahkan atrofi karena
imobilisasi dalam waktu lama. Salah satu penyebab operasi berulang biasanya
adalah koreksi yang tidak adekuat, sehingga memerlukan koreksi berikutnya.
Dengan menggunakan Ponsetti atau French method, jumlah operasi
akan lebih sedikit pada kasus-kasus relaps atau kegagalan koreksi. Biasanya
posterior release, seperti Achilles tendon lengthening dan posterior
capsulotomy dari sendi tibiotalar dan subtalar, cukup untuk mengoreksi sisa
equinus dan minimal hindfoot varus. Sekitar 15% idiopati clubfoot
memerlukan posteromedial release. Beberapa teknik operasi dan prosedur telah
dikemukakan untuk mengembalikan clubfoot kembali ke posisi anatomis,
beberapa diantaranya adalah: 1. Turco : One stage posteromedial release
Koreksi terhadap calcaneus dengan dilakukan subtalar release (lateral, posterior,
medial) dan juga calcaneofibular ligament. 2. Carrol : Plantar fascial release
dan capsulotomy dari calcaneocuboid joint 3. Goldner : Koreksi dari rotasi
talus dan tibiotalar joint release 4. McKay dan Simons : Prosedurnya lebih
ekstensif, mayoritas struktur peritalar dibebaskan.
Komplikasi pasca operasi dapat ditemui bila tidak dilakukan
pengawasan yang baik, meliputi beberapa hal diantaranya: 1. Hilangnya koreksi
Penyebabnya adalah setelah minggu ke 4 pasca operasi, cast menjadi terlalu
longgar dan tidak diganti sehingga posisi kaki akan berubah. Bila terjadi infeksi
luka operasi, posisi kaki harus tetap dipertahankan saat perawatan luka.
Walaupun terjadi infeksi pada pin tract, sangat penting untuk tetap
dipertahankan mengingat risiko hilangnya koreksi dan navicular dorsal
subluxation bila pin dilepas secara premature. Perawatan luka dan pemberian
antibiotic dapat diberikan hingga waktu pelepasan pin sesuai waktunya. 2.
Navicular dorsal subluxation Hal ini menyebabkan kaki cavovarus yang
memendek. Dikatakan sering terjadi setelah prosedur Turco dan Carrol, serta
pelepasan pin yang premature. Terjadi rotasi subluksasi, dimana bagian
medial navicular terputar ke superior. Operasi revisi dilakukan untuk mereduksi
navicular dan sebaiknya pada anak <6 tahun. 3. Valgus overcorrection
Gejalanya berupa nyeri pada bagian medial kaki dan memerlukan operasi
revisi untuk memperbaikinya. 4. Dorsal bunion Pada clubfoot, hal ini terjadi

29
karena overpull otot fleksor ibu jari pada kaki yang lemah untuk plantar
fleksi (kelemahan triceps). Dikoreksi dengan kapsulotomi sendo MTP yang
terfleksi, pemanjangan flexor hallucis longus tendon, dan release atau transfer
flexor hallucis brevis untuk menjadi ekstensor.
Revisi dan Prosedur Sekunder Timbulnya rekurensi walupun pernah
tercapai hasil koreksi yang memuaskan, merupakan hal yang memerlukan
perhatian khusus. Biasanya rekurensi diakibatkan oleh koreksi yang tidak
sempurna pada awalnya. Bila kita sudah yakin bahwa koreksi telah
sempurna maka perlu dicurigai adanya suatu”true recurrence” yang dapat
disebabkan oleh kelainan lainnya, seperti kelainan neurologis (occult spinal
dysraphism). Untuk ememastikannya diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi
dan MRI. Prevalensi terjadinya rekurensi setelah dilakukan soft tissue release
berkisar pada 10%., namun tidak semua memerlukan revisi karena persepsi dan
keputusan dokter dan keluarga berbeda-beda. Dalam menentukan revisi harus
dipertimbangkan komplikasinya, seperti kekakuan dan kelemahan otot akibat
tindakan bedah dan imobilisasi berulang. Tujuan tindakan revisi adalah untuk
mendapatkan “the realistic foot” dengan sesedikit mungkin prosedur bedah.
Jadi operasi revisi dilakukan harus dengan mengetahui masalah atau deformitas
yang ingin dikoreksi, seperti posisi kaki yang buruk (supinasi/inversi) yang
nantinya akan menimbulkan nyeri.
Soft Tissue Surgery Percutaneus Achilles Tenotomy Prosedur ini
dilakukan untuk membantu mengoreksi residual equinus dengan memanjangkan
tendon Achilles. Manfaat yang didapat dengan prosedur ini adalah dapat
mengurangi lamanya pengobatan, menurunkan risiko rekurensi, mencegah talar
flattening (nut cracker effect) atau convex foot, dan mengurangi jumlah surgical
release. Adapun risiko yang menyertai seperti triceps insufficiency dan
posterior tibial vascular nerve lesion.3
Complete transverse section dilakukan sekitar 1-2 cm dari insersi.
Masukkan blade tip ukuran 11 atau jarum ke bagian medial tendon dan
pindahkan ke posterolateral. Tanda telah tercapainya complete sectioning adalah
adanya click-like perception dari hiatus pada tendon saat dorsofleksi 15-20o.
Setelah 21 hari diimobilisasi dengan LLC (femoropedal immobilization) tendon

30
akan terlihat continuous melalui ultrasound dan struktur akan tampak normal
setelah 1 tahun.3
Anterior Tibial Muscle Surgery Muscular disequilibrium sering terjadi
pada m.tibialis anterior pasca terapi, termasuk pemanjangan tendon Achilles.
Ditandai dengan dynamic supination pedis saat oscillating phase, dengan
kurangnya anteromedial support, piano key sign dan forefoot supination
pada dorsofleksi aktif ankle.3 Bila tidak terkoreksi setelah usia berjalan, akan
menyebabkan risiko deformity fixation (pes cavus, forefoot adduction, hindfoot
varus, navicular dorsal subluxation). Operasi ini direkomendasikan untuk
dilakukan saat pasien berumur 2-3 tahun, dan biasanya ditujukan untuk kasus-
kasus rekurensi dengan flexible foot. Beberapa tindakan yang tercakup
didalamnya adalah; Transfer sebagian tendon tibialis anterior ke cuboid untuk
menjaga keseimbangan dorsofleksi, transfer anterior tibialis tendon ke lateral
cuneiform. Prosedur ini merupakan bagian integral dari penanganan rekurensi
Ponseti. Tercatat 15,2% rekurensi kembali, namun tindakan ini dapat mencegah
degenerative joint lesion. Kemudian, Z-lengthening tendon anterior tibialis.
Prosedur ini juga dikerjakan pada Posteromedial release. Dengan
memanjangkan bagian medial akan memendekkan tendon anterior tibialis.3
Posteromedial Soft-tissue Release (PMR) Dengan memanjangkan tendon dan
membelah aponeurosis dan kapsul sendi, PMR akan mengoreksi tibiotarsal
dan subtalar equinus, CPB adduction dan mediotarsal adduction. Operasi ini
sebaiknya dilakukan sebelum usia 1 tahun. Diawali dengan posterior release
lalu menuju bagian medial pedis. Talonavicular joint untuk sementara
direduksi maksimal untuk mencegah navicular dorsal subluxation. Bila terjadi
adduksi akibat incomplete correction atau orientasi calcaneocuboid joint yang
patologis, lateral column pedis dapat dipendekkan melalui calcaneus
substraction osteotomy (Lichtblau technique). Didapatkan koreksi pada 75-
85% kasus dengan 20-40% rekurensi, yang akan memerlukan operasi revisi.
Adapun risiko lain adalah hipo dan hiperkoreksi, dorsal bunion, dan triceps
insufficiency. Kualitas terapi akan menurun seiring waktu. Sekitar 20 tahun
pasca operasi akan timbul keluhan seperti nyeri, menurunnya kekuatan dan
daya tahan, walaupun tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Terdapat juga

31
forefoot dorsoflexion dan adduksi dengan hindfoot equinus. PMR merupakan
pilihan terakhir pada kasus resisten terhadap terapi konservatif.3
Bony Surgery Lateral Column Shortening Terkadang koreksi tidak
dapat dilakukan karena adanya length disparity pada kedua sisi kaki (medial
dan lateral). Prosedur Evans menyarankan untuk mengombinasikan
posteromedial release dengan lateral column shortening. Calcaneal Osteotomy
Dapat dilakukan pada fixed heel varus tanpa atau pun dengan deformitas
residual yang signifikan. Prosedur ini dapat dikombinasikan dengan prosedur
lain dan tidak mengganggu prosedur triple arthrodesis di masa mendatang.
Supramalleolar Osteotomy Adanya toe-in gati yang persisten, >2 standar
deviasi, merupakan indikasi pada 8- 25% pasien. Triple Arthrodesis Untuk
anak lebih dari 10 tahun, penanganan deformitas residu adalah triple
arthrodesis. Prosedur ini bukkan hanya untuk mengoreksi deformitas residu
anamun untuk mempertahankan posisi seteleah koreksi.

2.12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien CTEV meliputi komplikasi
setelah dilakukannya koreksi, adapun komplikasi yang timbul setelah koreksi non
operatif yaitu rocker bottom deformity, slipped cast, pressure sores, koreksi
deformitas yang tidak sesuai harapan.1 Selain itu, komplikasi yang dapat timbul
pasca operasi diantaranya adalah hilangnya koreksi, navicular dorsal subluxation,
valgus overcorrection, dan dorsal bunion.4

2.13. Prognosis
Rekurensi diartikan sebagai hilangnya ROM pasif baik pada abduksi,
dorsofleksi ataupun keduanya, yang memerlukan penanganan dan casting
kembali. Kejadian rekurensi pada CTEV tidak dapat dicegah walaupun koreksi
inisial nya baik, karena pada dasarnya CTEV memiliki tendensi untuk berulang.1
Keberhasilan koreksi dengan metode french dilaporkan sebanyak 74% pasien, dan
tanpa membutuhkan intervensi surgical kembali.2 Sementara pada penggunaan
metode ponseti, relaps clubfoot masih cukup dipermasalahkan terutama karena
adanya intolerensi brace, walaupun, rekurensi masih dapat terjadi pada pasien

32
yang terpasang brace dengan baik. Relaps paling banyak muncul pertama kali
pada hindfoot. Relaps dini dapat diperbaiki dengan penggunaan casting berulang
diikuti pemakaian foot abduction brace. Apabila, terdapat kurang dari 150 dari
dorsofleksi ankle setelah casting, maka mungkin dibutuhkan tenotomy berulang
tendon achilles.

KASUS PASIEN
1. Data Pasien
Nama : Bayi Ny. RBD
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 9 Juni 2017
Alamat : Jl. Lettu Karim Kadir Lr. Masjid Lama, Karang Jaya,
Gandus, Kota Palembang
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Pekerjaan Ayah : Swasta
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 0001009588

2. Anamnesis
Keluhan
Kaki kanan dan kiri pengkor semenjak lahir. Belum pernah berobat
sebelumnya. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

3. Pemeriksaan Fisik
Status Lokalis (Kaki)
Inspeki: betis terlihat kurus, deformitas berupa equinus pada pergelangan
kaki, varus pada hindfoot/tumit dan adduksi serta supinasi pada forefoot.
Palpasi: deformitas terfiksir dan tidak dapat dikoreksi secara pasif.

33
Saat digerakkan: meskipun kaki pada bayi normal dapat terlihat dalam posisi
equinovarus tetapi dapat di dorsofleksikan sampai jari menyentuh bagian
depan tungkai bawah.

Kanan Kiri
Look Tampak deformitas equinus (+), Tampak deformitas equinus
varus (+), warna sama dengan (+), varus (+), warna sama
kulit sekitar, luka (-), oedem (-), dengan kulit sekitar, luka (-),
shortening (+) oedem (-), shortening (+)
Feel Nyeri tekan (-), suhu sama Nyeri tekan (-), suhu sama
dengan suhu tubuh, krepitasi (-), dengan suhu tubuh, krepitasi
sensibilitas (-), pulsasi dorsalis (-), sensibilitas (-), pulsasi
pedis (+), crt <2 detik dorsalis pedis (+), crt <2
detik
Move Gerakan aktif Gerakan aktif

4. Foto Klinis

34
5. Diagnosis

35
Congenital Talipes Equionovarus (CTEV) Bilateral

6. Tatalaksana
Ponseti cast serial

BAB III
KESIMPULAN
Congenital talipes equinovarus atau CTEV merupakan salah satu
deformitas pada bayi yang paling sering ditemui. Walaupun sudah banyak teori
yang diajukan, belum ada yang dapat menjelaskan secara sempurna penyebab
terjadinya CTEV. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis, dimana terdapat
supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel varus pada sendi subtalar,
equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial terhadap lutut. Pemeriksaan
radiologis sebagai penunjang tidak memberikan informasi yang cukup berarti.
Biasanya CTEV muncul sebagai kelainan tersendiri, namun tidak jarang
merupakan bagian dari suatu sindrom.
Penatalaksanaan CTEV meliputi dua aspek, yaitu non operatif dan
operatif. Para ahli setuju bahwa terapi non operatif haruslah menjadi pilihan
utama terapi. Metode Ponseti dan French method telah banyak digunakan di
berbagai belahan dunia dan memiliki hasil akhiryang memuaskan. Tindakan

36
operatif diperlukan hanya bila terapi non operatif gagal, hal ini karena komplikasi
jangka panjang yang lebih buruk dibandingkan terapi non operatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. NSWGuideline. Congenital Talipes Equino-varus. NSW Gov Health.
2014; pp 1-37
2. M. B. Dobbs MD and C. A. Gurnett MD. Update on Clubfoot: Etiology
and Treatment. The Association of Bone and Joint Surgery. 2009.
467:1146-1153
3. F. Bergerault, J. Fournier, and C. Bonnard. Idiopathic Congenital
Clubfoot: Initial Treatment. Elsevier Masson. 2013. S150-S159
4. Agganugraha, I. Congenital Talipes Equino-Varus. Denpasar. 2016. pp 1-
24.
5. D. Zhao, J. Liu, L. Zhao, Z. Wu. Relapse of Clubfoot after Treatment with
the Ponseti Method and the Function of the Foot Abduction Orthosis.
Clinics on Orthopedy Surgery. 2014;6: 245-252.
6. Solomon, Louis. 2001. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures:
Talipes Equinovarus ( idiophatic clubfoot ), 488-490

37
7. Canale, S.T dan Beaty, J.H. 2007. Campbell's Operative Orthopaedics
11th ed. Philadelphia: Elsevier.
8. Roye, B., Hyman, J., Roye, D. 2004. Congenital Idiopatic Talipes
Equinovarus. www.americanacademyofpediatric.org
9. Nordin S. Controversies in congenital clubfoot: literature review
[Internet]. 2002 [cited 2008 jul 29]. Available from: www.mjm.com
10. Shelter, B. 1998. Textbook of Disorders and Injuries of the
Musculoskeletal System: Deformities of the foot, 473-476.Clinics on
Orthopedy Surgery. 2014;6: 245-252.

38

Вам также может понравиться