Вы находитесь на странице: 1из 10

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIK / CHRONIC KIDNEY DISEASE

I. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut
secara bertahap (Doenges, 1999).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus
yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2007).
CKD atau gagal ginjal kronik (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius)
dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah (Smeltzer & Bare, 2001).
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal
yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration rate
(GFR) (Nahas & Levin,2010). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai
kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).

II. ETIOLOGI
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi, yaitu
sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015). Keadaan lain
yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit peradangan seperti
glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat perkembangan janin dalam
rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan
infeksi saluran kemih yang berulang (Wilson, 2005).
III. Klasifikasi Stadium

Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan kemampuan ginjal

dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk memfasilitasi penerapan pedoman

praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan peningkatan kualitas pada evaluasi, dan juga

manajemen CKD (National Kidney Foundation, 2002). Berikut adalah klasifikasi stadium CKD.

Tabel Stadium CKD

GFR
Stadium Deskripsi (mL/menit/1.73 m2)
Fungsi ginjal normal,
tetapi temuan urin,
abnormalitas struktur
1 atau ciri genetik ≥90
menunjukkan adanya
penyakit ginjal

Penurunan ringan
fungsi ginjal, dan
temuan lain (seperti
2 pada stadium 1) 60- 89
menunjukkan adanya
penyakit ginjal

Penurunan sedang
3a 45- 59
fungsi ginjal

Penurunan sedang
3b 30-44
fungsi ginjal

Penurunan fungsi
4 15- 29
ginjal berat

5 Gagal ginjal <15


Sumber: (The Renal Association, 2013)
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh pasien sekaligus
sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD yang dialami, maka nilai
GFRnya akan semakin kecil (National Kidney Foundation, 2010).

Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan klinisnya
dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan GFR sebagai
presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN)
(Wilson, 2005). Kadar BUN dapat diukur dengan rumus berikut (Hosten, 1990):
28
60
Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama merupakan
stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak menunjukkan gejala dan kreatinin serum
serta kadar BUN normal. Gangguan pada fungsi ginjal baru dapat terdeteksi dengan pemberian
beban kerja yang berat seperti tes pemekatan urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti
(Wilson, 2005). Stadium kedua disebut dengan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini, ginjal sudah
mengalami kehilangan fungsinya sebesar 75%. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai
meningkat melebihi nilai normal, namun masih ringan. Pasien dengan insufisiensi ginjal ini
menunjukkan beberapa gejala seperti nokturia dan poliuria akibat gangguan kemampuan
pemekatan.
Tetapi biasanya pasien tidak menyadari dan memperhatikan gejala ini, sehingga
diperlukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti (Wilson, 2005). Stadium akhir dari gagal ginjal
disebut juga dengan end-stage renal disease (ESRD). Stadium ini terjadi apabila sekitar 90%
masa nefron telah hancur, atau hanya tinggal 200.000 nefron yang masih utuh. Peningkatan
kadar BUN dan kreatinin serum sangat mencolok. Bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 mL
per menit atau bahkan kurang. Pasien merasakan gejala yang cukup berat dikarenakan ginjal
yang sudah tidak dapat lagi bekerja mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit. Pada
berat jenis yang tetap sebesar 1,010, urin menjadi isoosmotis dengan plasma. Pasien biasanya
mengalami oligouria (pengeluran urin < 500mL/hari). Sindrom uremik yang terjadi akan
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian bila tidak dilakukan
RRT (Wilson, 2005).
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

IV. PATOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan
kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat.
Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat
dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens
subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24
jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat tidak
berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat
selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan
indikator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan
protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan
dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu
untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap
akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari
tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko
terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan
resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan
natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam
(H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi
fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan
anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat
dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga
terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi
oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal
balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan
peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan
penurunan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak
berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di
tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang,
selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat
didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik
dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek
kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan
dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan
darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
V. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau
sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001) antara lain :
Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -
angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan
berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis,
anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran,
tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam
usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau
ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati
( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan
eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.

VI. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami

beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta

Suwitra (2006) antara lain adalah :

1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :
1. Laboratorium :
a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang
rendah.
b. Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin
kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi akibat pendarahan saluran cerna, demam,
luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini
berkurang ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes
Klirens Kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia : biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunya dieresis
d. Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D3
pada GGK.
e. Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang.
f. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
g. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal
( resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer ).
h. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan peninggian
hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
i. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph yang menurun,
BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.
2. Radiology
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau adanya
suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses diagnostic akan memperburuk keadaan ginjal,
oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
3. IIntra Vena Pielografi (IVP)
Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter.
4. USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia,
gangguan elektrolit (hiperkalemia)

VIII. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN


Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
- peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
- Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung )
c) Operasi
- Pengambilan batu
- transplantasi ginjal

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3.
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

Вам также может понравиться