Вы находитесь на странице: 1из 35

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Trauma
yang menyebabkan fraktur pada tulang dapat berupa trauma langsung
dan tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan
langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma
tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang fraktur dapat
berbentuk transversa, oblik, atau spiral. (Pierce A. Grace & Neil R.
Borley 2007).
Secara klinis, fraktur dibedakan atas fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi
hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi
kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Luka
pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar menembus
kulit (from within) atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh
peluru atau trauma langsung (from without).
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang
memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko
infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan
fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting
untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi
yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang
berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting
yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.1 Makalah ini akan

1
membahas mengenai fraktur terbuka, diagnosis serta
penatalaksanaannya.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fraktur terbuka?
2. Bagaimana klasifikasi fraktur terbuka?
3. Bagaimana etiologi fraktur terbuka?
4. Diagnosa keperawatan fraktur terbuka

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi
hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi
kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.
Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar
menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena tertembus
misalnya oleh peluru atau trauma langsung (from without).

2. Klasifikasi Fraktur Terbuka


Penatalaksanaan fraktur terbuka ditentukan oleh jenis fraktur,
sifat cedera jaringan lunak (termasuk ukuran luka) dan tingkat
kontaminasi. Klasifikasi Gustilo untuk fraktur terbuka merupakan
klasifikasi yang digunakan secara luas. Menurut Gustilo, Merkow,
dan Templeman, fraktur terbuka dibagi menjadi 3 kelompok :
a. Tipe I
Luka kecil kurang dari 1cm panjangnya, biasanya karena
luka tusukan dari fragmen tulang yang menembus kulit.
Terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat tanda-
tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang
terjadi biasanya bersifat simple, transversal, oblik pendek atau
sedikit komunitif.
b. Tipe II
Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan
jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang
sedang dari jaringan dengan sedikit kontaminasi fraktur.

3
c. Tipe III
Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak
termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskuler dengan
kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya di sebabkan oleh
karena trauma dengan kecepatan tinggi.
Tipe III di bagi dalam tiga subtipe:
1) Tipe IIIA : Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah
walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap.
Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat.
2) Tipe IIIB : fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan
kerusakan dan kehilangan jaringan, terdapat pendorongan
(stripping) periost, tulang terbuka, kontaminasi yang hebat
serta fraktur komunitif yang hebat.
3) Tipe IIIC: fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan
arteri yang memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan
tingkat kerusakan jaringan lunak.

4
The Orthopaedic Trauma Association (OTA) mengeluarkan
klasifikasi fraktur dan dislokasi, fraktur terbuka dikategorikan
berdasarkan lima variabel utama, sebagai berikut :
a) luka kulit :
(1) Laserasi dengan tepi yang dapat didekatkan
(2) Laserasi dengan tepi yang tidak dapat didekatkan
(3) Laserasi yang berkaitan dengan degloving luas
b) cedera otot :
(1) Tidak ada nekrosis otot, beberapa cedera otot dengan fungsi
otot yang masih baik
(2) Hilangnya otot namun dapat berfungsi, terdapat beberapa
nekrosis lokal di zona cedera yang memerlukan eksisi, otot-
tendon utuh
(3) Otot mati, hilangnya fungsi otot, kompartemen eksisi parsial
atau lengkap, gangguan lengkap unit otot-tendon, defek otot
tidak dapat didekatkan
c) cedera arteri :
(1) Tidak ada gangguan pembuluh darah utama
(2) Cedera pembuluh tanpa iskemia distal
(3) Cedera pembuluh dengan iskemia distal
d) Kontaminasi :
(1) Tidak ada atau kontaminasi minimal
(2) Kontaminasi pada permukaan
(3) Kontaminan melekat pada tulang atau dalam jaringan lunak;
atau kondisi lingkungan berisiko tinggi (lumbung, tinja, air kotor,
dll)
e) Kehilangan tulang :
(1) Tidak ada

5
(2) Tulang hilang atau devaskularisasi fragmen tulang, tapi masih
terdapat beberapa hubungan antara fragmen proksimal dan
distal
(3) Kehilangan tulang segmental

3. Etiologi Fraktur Terbuka


Fraktur terbuka disebabkan oleh trauma dengan energi tinggi,
paling sering akibat benturan langsung, seperti akibat dari jatuh
atau tabrakan kendaraan bermotor. Cedera pada jaringan lunak
dan tulang setara dengan energi kinetik (EK = ½mv2 ), di mana m
adalah massa dan v adalah kecepatan tubuh .Dapat juga
disebabkan oleh luka tembak, maupun kecelakaan kerja. Fraktur
terbuka ini juga bisa terjadi secara tidak langsung, seperti tipe
cedera memutar dengan energi tinggi. Tingkat keparahan cedera
fraktur terbuka berhubungan langsung dengan lokasi dan besarnya
gaya yang mengenai tubuh. Ukuran luka bisa sangat kecil,
misalnya akibat tonjolan ujung tulang yang tajam. Fraktur terbuka
lainnya dapat melibatkan banyak tulang dan otot, dan dapat
merusak saraf dan pembuluh darah sekitarnya.

4. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung dan tak langsung
serta kondisi patologis, setelah terjadi fraktur dapat mengakibatkan
diskontinuitas tulang dan pergeseran fragmen tulang. Pergeseran
fragmen tulang otomatis menimbulkan adanya nyeri. Diskontinuitas
tulang dapat berakibat perubahan jaringan sekitar lalu terjadi
pergeseran fragmen tulang kemudian terjadi deformitas dan
gangguan fungsi yang berujung gangguan imobilitas fisik.
Perubahan jaringan sekitar juga dapat menyebabkan laserasi kulit

6
dimana terjadi kerusakan integritas kulit jika sampai menyebabkan
putus vena/arteri akan terjadi perdarahan lalu kehilangan volume
cairan yang berujung syok hipovolemik. Selain laserasi kulit juga
berakibat ke spasme otot yang meningkatkan tekanan kapiler
terjadi pelepasan histamin, protein plasma hilang maka terjadi
edema yang menyebabkan penekanan pembuluh darah dan dapat
terjadi penurunan perfusi jaringan. Diskotinuitas akibat terjadinya
fraktur dapat mengakibatkan terjadi kerusakan fragmen tulang yang
selanjutnya dapat mengakibatkan tekanan sesama tulang lebih
tinggi daripada kapiler kemudian terjadi reaksi stres pasien dimana
terjadi pelepasan katekolamin yang memobilisasi asam lemak
bergabung dengan trombosit maka terjadilah emboli yang akan
nmenyumbat pembuluh darah.

7
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah Nyeri(pain), hilangnya nyeri
(Fungsiolesa), deformitas, pemendekan ekstermitas, kripitasi,
pembengkakan local, dan perubahan warna (Smeltzer,2002)
Gejala umum fraktur adalah rasa sakit, pembengkakan dan
kelainan bentuk ( Reeves,2001).

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000), pemeriksaan diagnostik untuk fraktur
terbuka, yaitu:
a. Pemeriksaan rontgen: menetukan lokasi/luasnya fraktur trauma
b. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI :memperlihatkan fraktur
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan
jaringan lunak.

c. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai

d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat


(hemokonsentrasi) atau menurun, pendarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ respon stress normal setelah trauma.

e. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk


kliners ginjal.

f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah


transfuse multiple, atau cedera hati.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut mansjoer (2000), fraktur biasanya menyertai trauma.
Itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan

8
nafas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi
(circulation) apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan
tidak ada masalah lagi, baru dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan
penting dinyatakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS,
meningkat golden, period 1-6 jam, bila lebih dari 6 jam, komplikasi
infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
secara cepat, singkat dan lengkap, kemudian lakukan foto
radiologi. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa
sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih pada jaringan
lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.Tindakan pada
foto fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin, penundaan
waktu dapat mengakibatkan komplikasi infeksi, waktu yang optimal
untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period). Berikan antibiotic
untuk kuman gram positif dan negative dengan dosis tinggi.
Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka
fraktur terbuka.
Teknik debrimen adalah sebagai berikut:
a. Lakukan narcosis umum atau anastesi lokal bila luka ringan
atau kecil.

b. Bila luka cukup luas, pasang dulu torniket (pompa atau esmard)

c. Cuci seluruh esktremitas selama 5-10 menit, kemudian lakukan


pencukuran, lalu diirigasi dengan cairan NaCl steril atau air
matang 5-10 menit sampai bersih.

d. Lakukan tidakan desinfeksi dan pemasangan dulu.

9
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian
tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah
terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur
adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang
menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan
dimana rasa sakit terjadi.

10
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri
yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri
atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu
dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama
tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang

11
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang
bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium,
zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah

12
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas
klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan
pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan
tidur serta penggunaan obat tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.

13
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani
rawat inap.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang
terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain
itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya.
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan
pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

14
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi
dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.

(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,


sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan


baik fungsi maupun bentuk.

b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin


(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

15
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.

16
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.

(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.

17
(c) Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak
ada kesulitan BAB.
3) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler.
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-
hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan

18
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan


kelembaban kulit.
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
(4) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat
pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap
arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan
pasif.(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

19
4) Pemeriksaan Diagnostik
5) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca
sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-
ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum
atau biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
(1) Tomografi:
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.

20
(2) Myelografi:
menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat
yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan
potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
6) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase
(AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
7) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.

21
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan
adanya infeksi pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

C. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan:


1. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tirah baring dan Meningkatkan stabilitas,


imobilisasi sesuai indikasi. meminimalkan gangguan akibat
perubahan posisi.

2. Bila terpasang gips/bebat,


Mencegah gerakan yang tak perlu
sokong fraktur dengan bantal akibat perubahan posisi.
atau gulungan selimut untuk
mempertahankan posisi yang
netral.

Penilaian kembali pembebat perlu


3. Evaluasi pembebat terhadap
dilakukan seiring dengan
resolusi edema. berkurangnya edema

Traksi memungkinkan tarikan pada


4. Bila terpasang traksi, aksis panjang fraktur tulang dan
mengatasi tegangan otot untuk
pertahankan posisi traksi (Buck, mempercepat reunifikasi fragmen
Dunlop, Pearson, Russel) tulang

Menghindari iterupsi

22
penyambungan fraktur.
5. Yakinkan semua klem, katrol
dan tali berfungsi baik. Keketatan kurang atau berlebihan
dari traksi eksternal (Hoffman)
mengubah tegangan traksi dan
6. Pertahankan integritas fiksasi mengakibatkan kesalahan posisi.
eksternal.

Menilai proses penyembuhan


tulang.

7. Kolaborasi pelaksanaan kontrol


foto.

2. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,


cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi Mengurangi nyeri dan mencegah


bagian yang sakit dengan tirah malformasi.
baring, gips, bebat dan atau
traksi
Meningkatkan aliran balik vena,
mengurangi edema/nyeri.
2. Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.
Mempertahankan kekuatan otot
dan meningkatkan sirkulasi
3. Lakukan dan awasi latihan

23
gerak pasif/aktif. vaskuler.

4. Lakukan tindakan untuk Meningkatkan sirkulasi umum,


meningkatkan kenyamanan menurunakan area tekanan lokal
dan kelelahan otot.
(masase, perubahan posisi)

Mengalihkan perhatian terhadap


5. Ajarkan penggunaan teknik
nyeri, meningkatkan kontrol
manajemen nyeri (latihan terhadap nyeri yang mungkin
napas dalam, imajinasi visual, berlangsung lama.
aktivitas dipersional)

6. Lakukan kompres dingin Menurunkan edema dan


selama fase akut (24-48 jam mengurangi rasa nyeri.
pertama) sesuai keperluan.

7. Kolaborasi pemberian analgetik Menurunkan nyeri melalui


mekanisme penghambatan
sesuai indikasi.
rangsang nyeri baik secara sentral
maupun perifer.

8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, Menilai erkembangan masalah


petunjuk verbal dan non verval, klien.
perubahan tanda-tanda vital)

24
3. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran
darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan


melakukan latihan mencegah kekakuan sendi.
menggerakkan jari/sendi distal
cedera.
Mencegah stasis vena dan sebagai
petunjuk perlunya penyesuaian
2. Hindarkan restriksi sirkulasi
keketatan bebat/spalk.
akibat tekanan bebat/spalk
yang terlalu ketat.
Meningkatkan drainase vena dan
menurunkan edema kecuali pada
adanya keadaan hambatan aliran
arteri yang menyebabkan
3. Pertahankan letak tinggi penurunan perfusi.
ekstremitas yang cedera
kecuali ada kontraindikasi
Mungkin diberikan sebagai upaya
adanya sindroma profilaktik untuk menurunkan
kompartemen. trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan
masalah klien dan perlunya
4. Berikan obat antikoagulan
intervensi sesuai keadaan klien.
(warfarin) bila diperlukan.

5. Pantau kualitas nadi perifer,

25
aliran kapiler, warna kulit dan
kehangatan kulit distal cedera,
bandingkan dengan sisi yang
normal.

4. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,


perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru,
kongesti)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan Meningkatkan ventilasi alveolar dan


napas dalam dan latihan batuk perfusi.
efektif.
Reposisi meningkatkan drainase
sekret dan menurunkan kongesti
2. Lakukan dan ajarkan paru.
perubahan posisi yang aman
sesuai keadaan klien.
Mencegah terjadinya pembekuan
darah pada keadaan tromboemboli.
3. Kolaborasi pemberian obat Kortikosteroid telah menunjukkan
keberhasilan untuk
antikoagulan (warvarin, mencegah/mengatasi emboli
heparin) dan kortikosteroid lemak.
sesuai indikasi.

Penurunan PaO2 dan peningkatan


PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia,

26
hipokalsemia, peningkatan LED
dan kadar lipase, lemak darah dan
4. Analisa pemeriksaan gas
penurunan trombosit sering
darah, Hb, kalsium, LED, lemak berhubungan dengan emboli
dan trombosit lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan


perubahan mental merupakan
tanda dini insufisiensi pernapasan,
mungkin menunjukkan terjadinya
emboli paru tahap awal.

5. Evaluasi frekuensi pernapasan


dan upaya bernapas,
perhatikan adanya stridor,
penggunaan otot aksesori
pernapasan, retraksi sela iga
dan sianosis sentral.

5. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka


neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan Memfokuskan perhatian,


aktivitas rekreasi terapeutik meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu
(radio, koran, kunjungan menurunkan isolasi sosial.
teman/keluarga) sesuai
keadaan klien.

27
2. Bantu latihan rentang gerak Meningkatkan sirkulasi darah
pasif aktif pada ekstremitas muskuloskeletal, mempertahankan
tonus otot, mempertahakan gerak
yang sakit maupun yang sehat sendi, mencegah kontraktur/atrofi
sesuai keadaan klien. dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.

Mempertahankan posis fungsional


ekstremitas.
3. Berikan papan penyangga kaki,
gulungan trokanter/tangan
sesuai indikasi.
Meningkatkan kemandirian klien
dalam perawatan diri sesuai
4. Bantu dan dorong perawatan kondisi keterbatasan klien.
diri (kebersihan/eliminasi)
sesuai keadaan klien. Menurunkan insiden komplikasi
kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
5. Ubah posisi secara periodik
sesuai keadaan klien.
Mempertahankan hidrasi adekuat,
men-cegah komplikasi urinarius
dan konstipasi.

6. Dorong/pertahankan asupan
cairan 2000-3000 ml/hari. Kalori dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-
7. Berikan diet TKTP. pertahankan fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis


perlu untuk menyusun program

28
8. Kolaborasi pelaksanaan aktivitas fisik secara individual.
fisioterapi sesuai indikasi.

Menilai perkembangan masalah


klien.

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi


klien dan program imobilisasi.

6. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan


traksi (pen, kawat, sekrup)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko


nyaman dan aman (kering, kerusakan/abrasi kulit yang lebih
luas.
bersih, alat tenun kencang,
bantalan bawah siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah


penonjolan tulang dan area Meningkatkan sirkulasi perifer dan
meningkatkan kelemasan kulit dan
distal bebat/gips. otot terhadap tekanan yang relatif
konstan pada imobilisasi.

3. Lindungi kulit dan gips pada Mencegah gangguan integritas kulit


dan jaringan akibat kontaminasi
daerah perianal
fekal.

29
4. Observasi keadaan kulit,
penekanan gips/bebat terhadap Menilai perkembangan masalah
kulit, insersi pen/traksi. klien.

7. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer


(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi
tulang)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril Mencegah infeksi sekunderdan


dan perawatan luka sesuai mempercepat penyembuhan luka.
protokol
Meminimalkan kontaminasi.

2. Ajarkan klien untuk


mempertahankan sterilitas
insersi pen. Antibiotika spektrum luas atau
spesifik dapat digunakan secara
profilaksis, mencegah atau
3. Kolaborasi pemberian mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
antibiotika dan toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
sesuai indikasi.
Leukositosis biasanya terjadi pada
proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi
pada osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme
4. Analisa hasil pemeriksaan

30
laboratorium (Hitung darah penyebab infeksi.
lengkap, LED, Kultur dan
sensitivitas luka/serum/tulang) Mengevaluasi perkembangan
masalah klien.

Observasi tanda-tanda vital dan


tanda-tanda peradangan lokal
pada luka.

8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan


kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah
interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

Kaji kesiapan klien mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran


program pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti
program pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi dan


Diskusikan metode mobilitas dan kemandirian klien dalam
ambulasi sesuai program terapi perencanaan dan pelaksanaan
fisik. program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan klien


untuk mengenali tanda/gejala dini
Ajarkan tanda/gejala klinis yang yang memerulukan intervensi lebih
memerluka evaluasi medik (nyeri lanjut.
berat, demam, perubahan sensasi

31
kulit distal cedera)

Persiapkan klien untuk mengikuti Upaya pembedahan mungkin


terapi pembedahan bila diperlukan untuk mengatasi
diperlukan. maslaha sesuai kondisi klien.

D. Implementasi
Merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat memberikan
intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien.
(potter & perry, 2009)

E. Evaluasi
Merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat
untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien. (potter & perry, 2009)

32
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat.
Penyebabnya bisa berupa trauma langsung dan tidak langsung.
Diagnosis fraktur terbuka didapatkan dari hasil anamnesa,
pemeriksaan fisik serta penunjang berupa pemeriksaan radiologis.
Tujuan dari tatalaksana fraktur terbuka adalah untuk mengurangi
resiko infeksi, terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi
anggota gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam
penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan
segera, secara hati-hati, debridemen yang berulang-ulang, stabilisasi
fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian
antibiotik yang adekuat.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, kami mengharapkan kritikan
yang sifatnya membangun sehingga dalam penyusunan makalah
kami selanjutnya dapat menyelesaikan dengan baik. Agar mahasiswa
Akper Pelamonia dapat mengetahui penanggulangan fraktur terbuka.

33
DAFTAR PUSTAKA

Rasjad, C.,2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Trauma, Fraktur Terbuka,


Edisi ke-3. Jakarta: PT Yarsif Watampone; 317-478

Solomon, L., Warwick, D., dan Nayagam, S., 2010. Apley's System of
Orthopaedics and Fractures. Edisi ke 9. Florida : CRC Press

Orthopaedic Trauma Association, 2010. A New Classification Scheme for


Open Fractures. J Orthop Trauma ;24:457–465

American Academy of Orthopaedics Surgeons, 2011. Open Fractures. B


Available from http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582.
Diakses 19 Mei 2016

Buteera, A.M., Byimana J., 2010. Principles of Management of Open


Fractures. East Cent. Afr. j. surg.; 14(2) : 2-8

Schaller, T.M., 2016. Open Fractures. Available from :


http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#aw2aab6b3.
Diakses 19 Mei 2016

Salter, R.B., 1999. Fractures and Joint Injuries-General Features. Dalam :


Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System. Edisi
Ke-3. Baltimore : Lippincott William & Wilkins; 447-70

Lakatos, R., dan Herbenick, M.A., 2011. General Principles of Internal


Fixation. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1269987-overview. Diakses 19
Mei 2016

34
American Academy of Orthopaedic Surgeons. Internal Fixation and External
Fixations for Fractures. Available from :
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00196. Diakses 19 Mei 2016

Chapman, M.W., 2001. Open Fractures in in Chapman’s Orthopaedic


Surgery. Edisi ke 3. Baltimore : Lippincott Williams & Wilkins

35

Вам также может понравиться