Вы находитесь на странице: 1из 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang

mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak

ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat

dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian

penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana

sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit

pasien. Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan

pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut

dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar

mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Pada stadium lanjut,

pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti

nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami

gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan

keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya

pemenuhan/ pengobatan gejala fisik,, namun juga pentingnya dukungan terhadap

kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukandengan pendekatan interdisiplin

yang dikenal sebagai perawatan paliatif. (Doyle & Macdonald, 2003: 5)

Karena pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien

paliatif care, maka masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam

kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif

menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik,

psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik Perawatan paliatif adalah pelayanan

kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi

dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai

akhir hayatnya. (Doyle & Macdonald, 2003: 5).


Sedangkan saat ini hanya beberapa rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan

perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 6 (enam) ibu kota propinsi yaitudimulai

pada tanggal 19 Februari 1992 di RS Dr. Soetomo (Surabaya), disusul RS Cipto

Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo

(Makassar), RS Dr. Sardjito (Yogyakarta), dan RS Sanglah (Denpasar).. Keadaan sarana

pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata sedangkan pasien

memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik,

maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan arah bagi

sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan perawatan paliatif.

(KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007

tantangan yang kita hadapi pada di hari-hari kemudian nyata sangat besar. Meningkatnya

jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan

anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic

fibrosis,stroke, Parkinson, gagal jantung /heart failure, penyakit genetika dan penyakit

infeksi seperti HIV/ AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Oleh sebab itu, penulis membahas tentang ruang lingkup perawatan paliatif care

karena pelayanan kesehatan di Indonesia terutama perawat belum menyentuh kebutuhan

pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, atau penyakit yang termasuk

dalam lingkup perawatan paliatif.


B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan

memahami tentang Asuhan Keperawatan pada pasien Terminal Illness (Palliative

Care) HIV / AIDS.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pasien terminal illness (palliative care)

b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pasien terminal illness

(palliative care)

c. Mahasiswa mampu menetapkan tujuan dan kriteria hasil pasien terminal illness

(palliative care)

d. Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan pasienterminal illness

(palliative care)

e. Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan keperawatan terminal illness (palliative

care)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas

hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan

penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui

identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-

masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 kualitas hidup pasien adalah

keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya

dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya.

B. Tanda dan Gejala


Menurut komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala

yaoitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :
1. Gejala mayor
a. Berat badan menurun leih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demam/HIV ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari satu bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpeszoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidas orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus sitomegalo

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan

mengikut fasenya.

1. Fase akut

Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu

selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,

limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat

badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,

mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini

muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit,

faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik

narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan
hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita

HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.

2. Fase asimptomatik

Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV

akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara

langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA

virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien

dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.

3. Fase simptomatik

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah

terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir

pada penyakit yang disebut AIDS.

C. Tahap Berduka

Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat

terjadi pada pasien dengan penyakit terminal :

1. Denial ( pengingkaran )

Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat

menerima informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya.

2. Anger ( Marah )

Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan

meninggal.

3. Bergaining ( tawar-menawar )

Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar waktu untuk

hidup.

4. Depetion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan segera mati.ia

sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga dan

teman-teman.

5. Acceptance ( penerimaan)

Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan bahwa ia akan

meninggal. Ia akan berusaha keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang belum

terselesaikan.

D. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian

Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:

1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang

cepat dari fase akut ke kronik.

2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada

kondisi penyakit yang kronik.

3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi

pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.

4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit

kronik dan telah berjalan lama.

E. Pengkajian

Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya

untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat

terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan

damai. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup

kedalam empat fase, yaitu :

1. Fase prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau factor resiko penyakit

2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian

keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.


3. Fase kronis : klien bertempur dengan penyakit dan pengobatnnya, Pasti terjadi.

Klien dalam kondisi terminal akan mengalami masalah baik fisik, psikologis

maupun social-spiritual.

Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :


1. Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne

stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan

darah menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.


2. Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat

peristaltic, kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi

konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi

penyakit (mis Ca Colon), retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat

penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya : Trauma medulla spinalis,

oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal

ginjal
3. Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic

menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah

kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan

cairan menurun.
4. Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
5. Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat

mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran

menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang,

sensasi menurun.
4.  Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara

intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan

meningkatkan kenyamanan.
5.  Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan

masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang

sering.
6. Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami

banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan.

Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain

ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup,
kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier

komunikasi.
7. Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat

kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai

kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan

bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan

mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain

beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau

mengalami penderitaan sepanjang hidup.

Faktor-faktor yang perlu dikaji :


1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai

masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada

penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital,

mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien,

klien mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi

kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien

terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan

kemampuan klien dalam pemeliharaan diri.


2. Faktor Psikologis

Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat

harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa

mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.

Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain

ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali

tahap-tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.

3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,

karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak

ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.


Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat

harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat

memberikan dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat

untuk selalu menemani klien.


4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,

bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin

mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat

juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan

kehadiran tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.


5. Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal

Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang

mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi

individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau

menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien

terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus

dihindari.
6. Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan.

Perawat harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan

spiritual. Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan

menghadapi kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian

dapat terpenuhi.

F. Saat Memulai Terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan

jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.

Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi

syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara

memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4


Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai

terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.

b. Tersedia pemeriksaan CD4

Rekomendasi :

1.Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350

sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.

2.Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil

dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

3.Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang

Aktif

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu

pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam

tabel di bawah ini.

Tabel 7. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi


Progresif Multifocal

Leukoencephalopathy, ARV diberikan langsung setelah


Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis,

CMV, diagnosis infeksi ditegakkan


Kriptosporidiosis

ARV diberikan setidaknya 2 minggu


setelah pasien mendapatkan
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC
pengobatan infeksi opportunistik
C. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan

Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV

berdasarkan pada 5 aspek yaitu:

• Efektivitas

• Efek samping / toksisitas

• Interaksi obat

• Kepatuhan

• Harga obat

Prinsip dalam pemberian ARV adalah

2. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam

dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.

3. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan

mendekatkan akses pelayanan ARV .

4. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan

manajemen logistik yang baik.

1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

2 NRTI + 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + ATAU


Nevirapine)
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + ATAU

Efavirenz)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU
NVP Emtricitabine) + Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
TDF + 3TC (atau FTC) +
Emtricitabine) + Efavirenz)
EFV

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang

belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)

Pilihan yang
Populasi Target Catatan
direkomendasikan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan yang sesuai
(atau FTC) + EFV atau untuk sebagian besar pasien
NVP Gunakan FDC jika tersedia

AZT + 3TC + EFV

Perempuan hamil atau Tidak boleh menggunakan EFV pada


NVP trimester pertama
TDF bisa merupakan pilihan

Ko-infeksi

HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera setelah terapi
(FTC) + EFV TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple NRTI bila

EFV
tidak dapat digunakan

TDF + 3TC (FTC) +

Ko-infeksi EFV Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg


terutama bila TDF merupakan paduan

HIV/Hepatitis B atau NVP lini


pertama. Diperlukan penggunaan 2

kronik aktif ARV


yang memiliki aktivitas anti-HBV
D. Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan

Paduan terapi ARV

1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse

Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari

pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila

tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12

jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah

tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi

metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya

ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.

Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih

dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah

tersebut.

Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI

Hentikan NVP atau EFV

Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian

 Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah

penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna

mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi

NNR
Penggunaan NVP dan EFV

 NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara

 Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,

dan harga

 NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson

dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.

 Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus

dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi

 Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika

NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3

bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama

 Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250

sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki

dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-

nya.

 Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan

satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2

kali sehari.

 EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,

hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia

dibandingkan NVP
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat

(SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat

teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester

dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri

tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan

meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat

bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh

pasien

 EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,

pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester

pertama.

 EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang

mendapat terapi berbasis Rifampisin.

Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi

TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai

terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing

2. Pilihan pemberian Triple NRTI

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat

menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:

• Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin

• Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV


• Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah

AZT+3TC +TDF

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah

itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi

virologisnya kurang kuat.

3. Penggunaan AZT dan TDF

 AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal

 Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4

yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh

penggunaan AZT

 Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu

antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut

 TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas

dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar

0.5% sampai 2%

 TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit

data tentang keamanannya pada kehamilan

4. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu kali

sehari yang lebih mudah diterima ODHA


Perihal Penggunaan d4T

Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan

telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun

waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data

laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau

dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir

(TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa

penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain

lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis

yang menyebabkan kematian.

Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama

penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan

timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan

untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman

pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan untuk secara

bertahap mengganti penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF).

Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah

memutuskan sebagai berikut:

• Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi dan

belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya

• Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek

samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah 6

bulan
• Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai

obat substitusi gunakan TDF.

• Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk dikurangi

karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan penarikan secara

bertahap (phasing out) dan mendatang tidak menyediakan lagi d4T setelah

stok nasional habis.

5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)

Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi Lini Pertama,

hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila pasien

benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine).

Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua.

mengingat sumber daya yang masih terbatas

6. Paduan Obat ARV yang Tidak Dianjurkan Tabel 9.

Paduan ARV yang tidak dianjurkan

Paduan ARV Alasan tidak dianjurkan

Mono atau dual terapi untuk Cepat menimbulkan resisten


pengobatan infeksi HIV

kronis

d4T + AZT Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat)

Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis, hepatitis

d4T + ddI dan


lipoatrofi)
Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil

Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh

3TC + FTC digunakan


secara bersamaan

TDF + 3TC + ABC atau Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R dan
terkait dengan seringnya kegagalan virologi secara
TDF + 3TC + ddI
Dini

TDF + ddI + NNRTI

manapun Seringnya kegagalan virologi secara dini

F. Kepatuhan

Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana pasien mematuhi

pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter.

Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat.

Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap

kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien

mengkonsumsi ARV. .

Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV

yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang

optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi

timbul jika pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan

dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu

pasien untuk patuh minum obat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:

1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan

kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan

sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak

dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan


22
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa

yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan

membantu pasien.

2. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras / etnis,

penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal kelompok

dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial

(kesehatan jiwa, penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan

dan perilaku terhadap HIV dan terapinya).

3. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan

(FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan

(frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan efek

samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV.

4. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak

terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan

dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan

penambahan jumlah obat yang harus diminum.

5. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga kesehatan

yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien

terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi

tenaga kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan

keputusan, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan

kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien


Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV beserta

konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling dan dukungan kepatuhan harus

dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau pendukung sebaya/ODHA). Tiga langkah yang

harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan antara lain:

Langkah 1: Memberikan informasi

Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi, kemungkinan

timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan. Perlu diberikan informasi yang

mengutamakan aspek positif dari pengobatan sehingga dapat membangkitkan komitmen

kepatuhan berobat.

Langkah 2: Konseling perorangan

Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi kesiapan pengobatannya.

Sebagian klien sudah jenuh dengan beban keluarga atau rumah tangga, pekerjaan dan tidak

dapat menjamin kepatuhan berobat.

Sebagian klien tidak siap untuk membuka status nya kepada orang lain. Hal ini sering

mengganggu kepatuhan minum ARV, sehingga

23
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa

sering menjadi hambatan dalam menjaga kepatuhan. Ketidak siapan pasien bukan

merupakan dasar untuk tidak memberikan ARV, untuk itu klien perlu didukung agar mampu

menghadapi kenyataan dan menentukan siapa yang perlu mengetahui statusnya.

Langkah 3: Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat rencana

terapi.

Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan dengan diskusi untuk

mencari penyelesaian masalah tersebut secara bersama dan membuat perencanaan praktis.

Hal-hal praktis yang perlu didiskusikan antara lain:

 Di mana obat ARV akan disimpan?

 Pada jam berapa akan diminum?

 Siapa yang akan mengingatkan setiap hari untuk minum obat?

 Apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan sehari-hari?

Harus direncanakan mekanisme untuk mengingatkan klien berkunjung dan mengambil

obat secara teratur sesuai dengan kondisi pasien.

Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan petugas kesehatan.

Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci kesinambungan perawatan dan

pengobatan pasien. Sikap petugas yang mendukung dan peduli, tidak mengadili dan

menyalahkan pasien, akan mendorong klien untuk bersikap jujur tentang kepatuhan makan

obatnya.
Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV

Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan pasien untuk memulai terapi

ARV dapat dilakukan dengan cara:

 Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut minum obat

dengan semua kemunginan efek samping dan kegagalan pengobatan.

 Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik

 Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak terlewatkan

 Mampu menyelesaikan terapi TB dengan sempurna.

 Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.

 Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau dikatakan dua

kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.

 Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan kondisi pasien

baik kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika perlu disertai dengan banyak

minum wajib menanyakan sumber air, dll).

 Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa membuat pasien takut

terhadap pasien, ingatkan bahwa semua obat

24
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa

mempunyai efek samping untuk menetralkan ketakutan terhadap ARV.

 Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap

menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau

menggunakan alat suntik steril bagi para penasun.

 Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan obat

ARV yang diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk komunikasi

dengan dokter untuk diskusi dengan dokter tentang obat-obat yang boleh

terus dikonsumsi dan tidak.

 Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat

memenuhi janji/jadwal berkunjung.

 Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak patuhan

tanpa menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa minum obat.

25
 Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek lain

diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi ketidak

patuhan pasien.

Unsur Konseling untuk Kepatuhan Berobat

 Membina hubungan saling percaya dengan pasien

 Memberikan informasi yang benar dan mengutamakan manfaat postif dari

ARV

 Mendorong keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu

menemukan seseorang sebagai pendukung berobat

 Mengembangkan rencana terapi secara individual yang sesuai dengan

gaya hidup sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan

sebagai pengingat minum obat

 Paduan obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil

yang harus diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua kali

sehari), dan meminimalkan efek samping obat.

26
 Penyelesaian masalah kepatuhan yang tidak optimum adalah tergantung

dari faktor penyebabnya.

Semakin sederhana paduan obat ARV semakin tinggi angka kepatuhan

minum obat.

Kepatuhan sangat diperlukan untuk keberhasilan pengobatan, akan

tetapi kepatuhan tidak boleh menjadi hambatan untuk akses pengobatan

ARV sehingga petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk menjalin

hubungan yang baik dan membantu pasien untuk mencapai kondisi

kepatuhan yang baik

Perlu diingat bahwa pasien yang tidak dapat mengambil obat TIDAK

selalu berarti tidak patuh minum obat.

Kepatuhan dapat dinilai dari laporan pasien sendiri, dengan menghitung sisa

obat yang ada dan laporan dari keluarga atau pendamping yang membantu

pengobatan. Konseling kepatuhan dilakukan pada setiap kunjungan dan dilakukan

secara terus menerus dan berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien

merasa bosan.

27
F. DiagnosaKeperawatan
1. Biologi :
- ketidakefektifan termogulasi b.d penurunan imunitas Tubuh
- katidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan

asupan oral
- intoleransi aktivitas b.d keadaan mudah letih, kelemahan,

malnutrisi dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit


2. Psikologi :
- ansietas b.d ancaman nyata terhadap kesejahteraan diri
- harga diri rendah b.d penyakit kronis, krisis stuasional
3. Social :
- isolasi soaial b.d stigma, ketakutan orang lain terhadap

penyebaran infeksi
- Tidak efektifnya mekanisme koping keluarga b.d kemampuan

dalam mengaktualisasi diri


4. Spiritual :
- distress spiritual b.d penyakit infeksi kronis
G. Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa Tujuan dan criteria hasil Intervensi

keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC : NIC :

termoregulasi 1. Hidration Temperature regulation

2. Adherence (pengaturansuhu)

Behavior 1.1 Monitor suhu

3. Immune status tubuh minimal tiap

4. Risk control 2 jam

5. Risk detection 1.2 Rencanakan

monitor suhu

KriteriaHasil : secara continue

- Keseimbanganantarapr 1.3 Monitor TD, nadi,

28
oduksipanas, panas RR

yang diterima, dan 1.4 Monitor warna dan

kehilangan panas. suhu kulit


- Seimbang antara
1.5 Monitor tanda-
produksi panas, panas
tanda hipotermi
yang diterima, dan
dan hipertermi
kehilangan panas
1.6 Tingkatkan intake
selama 28 hari
cairan dan nutrisi
pertama kehidupan.
- Keseimbangan asam 1.7 Selimuti pasien

basa bayi baru lahir untuk mencegah


- Temperature stabil :
hilangnya
36,5-37 C
- Tidak ada kejang kehangatan tubuh
- Tidak ada perubahan
1.8 Ajarkan pada
warna kulit
- Glukosa darah stabil pasien cara
- Pengendalian risiko :
mencegah
hipertermia
keletihan akibat
- Pengendalian risiko:
panas
hyporthermia
- Pengendalian risiko:
1.9 Diskusikan tentang
Proses menular
pentingnya
- Pengendian risiko:
pengaturan suhu
paparan sinar matahari
dan kemungkinan

efek negative dan

kedinginan

29
1.10 Beritahu tentang

indikasi terjadinya

keletihan dan

penanganan

emergency yang

diperlukan

1.11 Ajarkan indikasi

dari hipotermi dan

penanganan yang

diperlukan

1.12 Berikan anti

piretik jika perlu

2 Ketidakseimban Setelah dilakukan 2.1 Kaji adanya alergi

gan nutrisi tindakan keperawatan makanan

kurang dari selama 3x24 jam 2.2 Monitor adanya

kebutuhan b.d diharapkan nutrisi kurang penurunan berat badan

penurunan teratasi dengan kriteria 2.3 Yakinkan diet yang

asupan oral hasil: dimakan mengandung

- -Adanya peningkatan tinggi serat untuk

berat badan sesuai mencegah konstipasi

dengan tujuan 2.4 Berikan informasi


- -Berat badan ideal
tentang kebutuhan
sesuai dengan tinggi
informasi

30
badan 2.5 Kolaborasi dengan
- Tidak ada tanda-tanda
ahli gizi untuk
malnutrisi
- menunjukkan menentukan jumlah

penigkatan fungsi kalori dan nutrisi yang

pengecapan dan dibutuhkan pasien

menelan
- Tidak terjadi

penurunan berat badan

yang berarti

3 Intoleransi Setelah dilakukan 3.1 Bantu klien untuk

aktivitas b.d tindakan keperawatan mengidentifikasi

keadaan mudah selama 3x24 jam aktivitas yang mampu

letih, kelemahan, diharapkan Pasien dilakukan

malnutrisi bertoleransi terhadap 3.2 Bantu klien untuk

dangan aktivtas dengan kriteria membuat jadwal

gangguan hasil: latihan diwaktu

keseimbangan - Berpartisipasi dalam luang.

cairan dan aktivitas fisik tanpa 3.3 Sediakan penguatan

elektroit disertai peningkatan yang positif bagi

tekanan darah, nadi yang aktif

dan RR beraktivitas
- -Mampu melakukan
3.4 Monitor responfisik,
aktivtas sehari-hari
emosional, social dan
(ADLs) secara

31
mandiri spiritual.
- Keseimbangan
3.5 Kolaborasi dengan
aktivitas dan istirahat
Tenaga Rehabilitasi

Medik dalam

merencanakan

program terapi yang

tepat.

4 Ansietas b.d Setelah dilakukan Anxiety Reduction

ancaman nyata tindakan keperawatan 3 x ( peneurunan kecemasan)

terhadap 24 jam diharapkan 4.1 Gunakan pendekatan

kesejahteraan diri ansietas dapat teratasi yang menyenagkan

dengan Kriteria Hasil: 4.2 Nyatakan dengan jelas

- Klien mampu harapan terhadap

mengidentifikasi dan pelaku pasien

mengungkapkan ejala 4.3 Jelaskan semua

cemas prosedur dan apa yang


- Mengidentifikasi,
dirasakan
mengungkapkan, dan
4.4 Pahami prespektif
menunjukkan teknik
pasien terhadap situasi
mengontrol cemas
- Vital sign dalam batas stress

normal 4.5 Temani pasien untuk


- Postur tubuh, ekspresi
mengurangi takut
wajah, bahasa tubuh
4.6 Dengarkan dengan

32
dan tingkat aktivitas penuh perhatian

menunjukkan 4.7 Instruksikan pasien

kurangnya kecemasan menggunakan teknik

relaksasi

4.8 Berikan obat untuk

mengurangi

kecemasan

5 harga diri rendah Setelah dilakukan Self extem enhancement

b.d penyakit tindakan keperawatan 3 x 5.1 Tunjukkan rasa

kronis, krisis 24 jam diharapakan percaya diri terhadap

stuasional masalah ahrga diri rendah kemampuan pasien

teratasi dengan Kriteria untuk mengatasi

Hasil : situasi

- Adaptasi terhadap 5.2 Dorong pasien

ketidakdayaan fisik : mengidentifikasikan

respon adaptif klien kekuatan dirinya

terhadap tantangan 5.3 Ajarkan keterampilan

fungsional penting perilaku yang positif


- Menunjukkan
melalui
penilaian pribadi
5.4 Buat steatment positif
tentang harga diri
- Mengungkapkan terhadap pasien

penerimaan diri 5.5 Dukung pasien untuk


- Komunikasi terbuka
- Menggunakan strategi menerima

33
koping efektif 5.6 Kaji alasan-alasan

untuk mengkritik atau

menyalahkan diri

sendiri

5.7 Kolaborasi dengan

sumber-sumber lain

( petugas dinas sosial,

perawat specialis

klinis, dan layanan

keagamaan )

Body image enhancement

counseling

5.8 Mengguakan proses

pertolongan interaktif

yang berfokus pada

kebutuhan, masalah

atau perasaan pasien

dan orang terdekat

untuk meningkatkan

atau mendukung

koping pemecahan

masalah
6 IsolasiSosial NOC : Socialization enhacement

Definisi : kesepian 6. Social interactive 6.1 Fasilitasi dukungan

34
yang dialami skills. kepada pasien oleh

individu dan 7. Stress level. keluarga, teman

dirasakan saat 8. Social support. dankomunitas.

didorong oleh 9. Post-trauma 6.2 Dukung hubungan

keberadaan orang syndrome. dengan orang lain

lain dan sebagai KriteriaHasil : yang mempunyai

pernyataan - Iklm social keluarga minat dan tujuan yang

negative atau :lingkungan yang sama.

mencengkam. mendukung yang 6.3 Dorong pasien

bercirikan hubungan melakukan kegiatan

Batasan dan tujuan anggota social dan komunitas.

karakteristik : keluarga. 6.4 Berikan uji


- Partisipasi waktu
Objektif : pembatasan
luang: menggunakan
1. Tidak ada interpersonal.
aktivitas yang
dukungan 6.5 Berikan umpan balik
menarik,
orang yang tentang peningkatan
menyenangkan, dan
dianggap dalam perawatan dan
menenangkan untuk
penting penampilan diri atau
meningkatkan
2. Perilaku aktivitas lain.
kesejahteraan.
yang tidak - Keseimbangan pada 6.6 Hadapkan pasien pada

sesuai perasaan: mampu hambatan penilaian,

dengan menyesuaikan emosi jika memungkinkan.

perkemban sebagai respon 6.7 Dukung pasien untuk

35
gan terhadap keadaan mengubah lingkungan

3. Afek tertentu. seperti jalan-jalan


- Keparahan kesepian:
tumpul 6.8 Fasilitasi pasien yang
mengendalikan
4. Bukti mempunyai penurunan
keparahan
kecacatan sensory seperti
responemosi, social
(mis:fisik, penggunaan kaca mata
atau eksistensi
mental) dan alat pendengaran.
terhadap isolasi.
5. Ada - Penyesuaian yang 6.9 Fasilitasi pasi enpasien

didalam tepat terhadap tekanan untuk berpartisipasi

subcultural emosi sebagai respon dalam diskusi dengan

6. Sakit, terhadap keadaan group kecil.

tindakan tertentu. 6.10 Membantu pasien


- Tingkat persepsi
tidak mengembangkan atau
positif tentang status
berarti meningkatkan
kesehatandan status
7. Tidak ada keterampilan social
hidup individu.
kontak - Partisipasi dalam interpersonal.

mata bermain, penggunaan 6.11 Kurangi stigma

8. Dipenuhi aktivitas oleh anak isolasi dengan

dengan usia 1-11 tahun untuk menghormati martabat

pikiran meningkatkan pasien.

sendiri kesenangan, hiburan, 6.12 Gali kekuatan dan

9. Menunjukk dan perkembangan. kelamahan pasien


- Meningkatkan
an dalam berinteraksi
hubungan yang efektif

36
permusuha dalam perilaku social.

n pribadi, interaksi

10. Tindakan social dengan orang,

berulang kelompok atau

11. Afek sedih, organisasi.


- Ketersediaan dan
ingin
peningkatan
sendirian
pemberian actual
12. Menunjuka
bantuan yang andal
n perilaku
dari orang lain.
yang tidak - Menungkapkan

dapat penurunan perasaan

diterima atau pengalaman

oleh diasingkan.

kelompok

kultural

yang

dominan

13. Tidak

komunkati,

menarik

diri

Subjektif :

1. Minat yang

37
tidak sesuai

dengan

perkemban

gan

2. Mengalami

perasaan

berbeda

dari orang

lain

3. Tidak

percaya

diri saat

berhadapan

dengan

public

4. Mengungk

apkan

perasaan

kesendirian

yang

didorong

oleh orang

lain.

38
5. Mengungk

apkan

perasaan

penolakan.

6. Mengungk

apkan nilai

yang tidak

dapat

diterima

kelompok

cultural

dominan.

Factor yang

berhubungan :

1. Perubahan

status

mental

2. Gangguan

penampilan

fisik
7 Tidak efektifnya Setelah dilakukan Coping Enhancement

ekanisme koping tindakan keperawatan 1 x 7.1 Kaji koping keluarga

keluarga b.d 24 jam diharapakan terhadap sakit pasein

39
kemampuan Keluarga dapat dan perawatanny

dalam mempertahankan suport 7.2 Biarkan keluarga

mengaktualisasi sistem dan adaptasi mengung -kapkan

diri terhadap perubahan akan perasaan secara verbal

kebutuhannya dengan 7.3 Ajarkan kepada

criteria hasil : keluaraga tentang

- pasien dan keluarga penyakit dan

berinteraksi dengan transmisinya.

cara yang konstruktif


- - keluarga bisa

menerima keadaan

klien
8 distress spiritual Setelah dilakukan 1.1 bina hubungan saling

b.d penyakit tindakan keperawatan 3 x percaya dengan

infeksi kronis 24 jam diharapkan masalh pasien

distress spiritual dengan 1.2 kaji factor penyebab

criteria hasil : gangguan spiritual


- -mampu membina
pada pasien
hubungan saling
1.3 bantu pasien
percaya dengan
mengung -kapkan
perawat
- -mampu perasaan terhadap

mengungkapkan spiritual yang di

penyebab gangguan yakini

spiritual 1.4 bantu klien mengem


- -mengungkapkan

40
perasaan dan pikiran -bangkan skill untuk

tentang spiritual yang mengatasi perubahan

diyakininya spiritual dalam


- aktif melakukan
kehidupan
kegiatan spiritual atau
1.5 fasilitasi pasien
keagamaan
- - ikut serta dalam dengan alat-alat

keadaan keagamaan ibadah sesuai

keyakinan atau

agama yang di anut

oleh pasien

1.6 bantu pasien untuk

ikut serta dalam

kegiatan keagamaan

1.7 bantu pasien

mengevaluasi

perasaan setelah

melakukan kegiatan

ibadah atau kegiatan

spiritual lainnya.

D. EvaluasiKeperawatan

41

Вам также может понравиться