Вы находитесь на странице: 1из 29

MAKALAH

TEOSOFI

“TASAWUF FALSAFI”
Dosen Pengampu : Moh. Anas Kholis, S.HI, M.HI

Oleh : Wahdan Al Musyarrof

NIM : 16660002

TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2018

0
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah atas segala rahmat, nikmat dan
hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan makalah teosofi yang berjudul “Tasawuf
Falsafi” dengan baik dan selesai tepat waktu.

Pengerjaan Makalah ini merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga


bagi penulis, karena dengan pengerjaan Makalah ini, penulis bisa memperdalam,
meningkatkan, serta mengimplementasikan apa yang telah didapatkan penulis selama
mempelajari mata kuliah Teosofi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini.

Tak lupa ucapan terima kasih dihaturkan kepada Bapak Moh. Anas Kholis,
S.HI, M.HI selaku dosen pengampu mata kuliah Teosofi karena tanpa beliau, penulis
tidak akan mendapat bimbingan dalam mempelajari mata kuliah Teosofi sehingga
penulis dapat mengerjakan makalah ini dengan lancar.
Perlu diketahui metode pembahasan masalah dalam makalah ini yaitu dengan
membandingkan dua atau lebih pembahasan dalam buku dengan opini pribadi
penulis.
Kesempurnaan hanyalah milikNya, manusia tentu tidak pernah sempurna.
Begitu pula dengan makalah ini tentu masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca.

Malang, Februari 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I : PENDAHULUAN 3

BAB II : PEMBAHASAN 5

A. Pengertian Tasawuf Falsafi 6


B. Karakteristik dan Maqam Tasawuf Falsafi 8
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi dan Ajaran-Ajarannya 20

BAB III : PENUTUP 27

DAFTAR PUSTAKA 28

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf terbagi menjadi beberapa aliran, seperti tasawuf akhlaqi, tasawuf irfani
dan tasawuf falsafi. Akan tetapi dalam makalah kecil ini hanya akan dibahas secara
lebih khusus mengenai tasawuf falsafi saja.

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat,


sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio
dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari.Perenungan ketuhanan kelompok sufi dapat dikatakan sebagai reaksi
terhadap corak pemikiran teologis pada masa itu. Di sisi lain, para filosof yang
bertujuan menjembatani antara agama dengan filsafat, terpaksa menjustifikasi
pemikiran-pemikiran mereka dengan al-qur`an dan al-hadits.

Oleh karena itu, penulis memandang perlu mempelajari aliran ini sebagai
sebuah perbandingan dengan aliran filsafat lainnya, dengan harapan dapat
menemukan kebenaran mengenai tasawuf yang paling sesuai dengan syari`at Islam.

3
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Tasawuf Falsafi?


2. Apa saja karakteristik Tasawuf Falsafi?
3. Siapa saja tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi beserta ajaran-ajarannya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian Tasawuf Falsafi


2. Untuk mengetahui karakteristik Tasawuf Falsafi
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi beserta ajaran-ajarannya

4
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi


mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlawi, tasawuf
falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi
falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan
sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah
ajaran filsafat di luar Islam, seperti yunani, persia, india, dan agama Nashari. Akan
tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunya
latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring
dengan ekspansi Islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap
berusaham menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan
dengan kedudukannya sebagai umat Islam.
Menurut at-taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-
samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja
yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang
sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi
tidak dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni,
karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi
pada panteisme.1
Tasawuf falsafi yakni tasawuf yang secara metodologis berusaha memadukan
antara visi tasawuf (intuitif) dan visi filsafat (rasional),karena itu tasawuf jenis ini
kaaya dengan pemikiran-pemikiran filosofis. Ajaran filsafat yang melandasi tasawuf

1 Moh. Toriquddin. Sekularitas Tasawuf, memurnikan Tasawuf dalam Dunia Modern. (Malang: UIN-
Malang Press.2008)hal. 174

5
falsafi sebagian besar adalah paham emanasi baik dan filsaf Yunani (Neo-Platonisme)
maupun paham emanasi yang lain

Berdasarkan pandangan-pandangan filsafat emanasi tersebut, para tokoh


tasawuf falsafi berkesimpulan bahwa melalui jalan tasawuf manusia dapat
membebaskan jiwanya ( al-nafs, al-lahut ) dari dominasi dan hegemoni badan/materi
(al-jism, al-nasut) dan pada gilirannya akan memperoleh limpahan sinar Ilahi secara
langsung (ma’rifah) setelah melewati pengalaman fana’ (ekstas). Dari terminal fana’
inilah akan diperoleh pengalaman-pengalaman ketuhanan berikutnya, seperti ittihad,
hulul, dan wahdah al-wujud dan sebagainya.2

1.2 Karakteristik dan Maqam Tasawuf Falsafi

Dalam tasawuf falsafi, terdapat pemikiran-pemikiran mengenai bersatunya


Tuhan dengan makhluknya. Ibnu Taimiyah menggolongkannya dalam konsep-konsep
maqam sebagai berikut:

A. Al-Fana’

Kalangan para sufi, diantaranya Al-Ghazali memandang maqam fana’


memiliki posisi sangat penting karena merupakan terminal akhit untuk memasuki
alam mukasyafah dan musyahadah, sedangkan maqam-maqam lain sebelum fana’
dipandang hanya sebagai Iorong-lorong kecil karena merupakan magam persiapan
untuk memasuki pintu gerbang penghayatan dari penyaksian Tuhan secara langsung.
Untuk itu dalam pengalaman fana’, seorang sufi mengatakan sebagai proses
beralihnya kesadaran diri dari alam inderawi ke alam kejiwaan atau batin dan alam
ketuhanan.3

Atas dasar pengertian di atas al-Qusyaity (w. 1074 M) memberi definisi fana’
sebagai berikut:

2 Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf.(Surabaya : JP Books.2007). hal 146


3 Op.Cit

6
Sirnanya (kesadaran) seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya yang terjadi
karena hilangnya kesadaran seseorang akan dirinya maupun makhluk lainnya.
Dirinya tetap ada dan makhluk lain juga tetap ada tetapi dia tidak sadar lagi terhadap
dirinya sendiri dan alam sekitarnya.

Kecuali itu terjadinya fana’ sesungguhnya karena ada faktor eksternal yang
menjadi objek penglihatan batin sufi sebagaimana dijelaskan al-Junaidi (w, 910 M)

Hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat inderam karena melihat
sesuatu (Tuhan). Kemudian hilanglah sesuatu yang dilihat itu dan ini berlangsung
terus, silih berganti sehingga tidak ada lagi yang disadari dan dirasakan karena
semuanya telah sirna.

Dipandang dari sudut psikologi, karakteristik fana’ sufi adalah hilangnya


kesadaran dan perasaan, sehingga seseorang tidak merasakan lagi apa yang terjadi
dalam dirinya dan juga tidak merasakan lagi akan keakuannya serta alam sekitarnya.
Kecuali itu terlihat pula bahwa fana' sufi terkait dengan kondisi intuitif. Dalam
kondisi intuitif tersebut, seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya
terhadap egonya karena terkesima oleh objek pandangan meta inderawi sebagaimana
disebutkan al-Junaidi (w. 910 M) di atas.4
Pada perkembangannya yang awal terdapat dua aliran fana’. Pertama, paham
fana’ moderat yang biasa disebut yakni hilangnya kesadaran tentang segala sesuatu
selain Allah ketika seseorang larut dalam pengalaman ketuhanan. Paham ini
dipelopori Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi (w. 910 M). Kedua, paham
fana’ ekstrem yang biasa disebut fana’ fi al-Ittihad yaitu sirnanya segala sesuatu
selain Allah sehingga seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu,
bahkan tidak lagi melihat dirinya sendiri karena telah lebur dalam Dia yang
disaksikan yakni penyatuan dengan Yang Mahabenar. Dalam fana’ inilah seorang sufi
akan mengucapkan ucapan ganjil dan kontroversial yang lazim disebut syatahat
Berdasarkan kedua macam paham fana’ di atas sesungguhnya dalam proses
fana’ terdapat empat macam gejolak psikis yang dialami seorang sufi, yaitu as-Sakar,
4 Ibid., 147

7
asy-Syatahat, Zawal al-Hijab, dan Galab asy-Syuhud. Sakar adalah situasi kejiwaan
yang terpusat penuh kepada satu titik fokus sehingga ia melihat dengan perasaannya
yang penuh dan lupa terhadap hal lain. Syatahat secara harfiah berarti gerakan,
sedangkan dalam dunia tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang keluar di luar
kontrol kesadaran. Zawal al-Hijab secara harfiah berarti hilangnya tabir dan dalam
konteks fana’ berarti hilangnya kesadaran dimensi alam materi dan beralih ke alam
ketuhanan. Sedangkan Galab asy-Syuhud diartikan sebagai tahap kesempurnaan
musyuhadah (penyaksian), dalam tahap ini seseorang tidak lagi mengenal dirinya dan
alam sekitarnya karena semua perhatiannya terfokus hanya kepada Allah.5
Sejalan dengan uraian di atas R.A. Nicholson membedakan pengalaman fana’
menjadi tiga tahap. Pertama, tahap peralihan moral, dari moral tercela kepada moral
terpuji lewat jalan pengendalian nafsu-nafsu. Kedua, tahap hilangnya kesadaran
terhadap segala yang ada di sekitarnya karena baik pikiran, perasaan, dan
perbuatannya terpusat pada penghayatan kepada Tuhan. Ketiga, tahap lenyapnya
kesadaran akan keberadaan dirinya sendiri karena seluruh perasaannya terserap dalam
kesadaran serba Tuhan. Pada tahap ketiga seorang sufi mengalami puncak
penghayatan transendental.
Ketika menganalisa paham fana’, Ibn Taimiyyah membedakannya menjadi
tiga macam. Pertama, fana’ al iradah, yakni hilangnya kehendak seseorang karena ia
mengikuti kehendak Allah. Fana’ jenis ini dialami oleh para sufi moderat; seperti
Ma'ruf al-Karkhi (w. 816) Fudhail ibn ‘Iyadh (w. 803 M dan al-Junaidi (w. 910 M).
Di tempat lain fana’ al-iradah disebut juga fana’ al-lbadah yaitu lenyapnya kehendak
seseorang karena terfokus hanya beribadah kepada Allah. Kedua, fana’ al-syuhud,
yakni hilangnya kesadaran seseorang akan dirinya sendiri karena telah terserap dalam
Yang Mutlak, seperti keadaan fana’ yang dialami oleh Abu Yazid al-Bustami (w. 875
M), Abu Hasan an-Nuri dan sebagainya. Ketiga, fana’ al-wujud ,yakni hilangnya
kesadaran seseorang tentang wujud Tuhan karena telah mengambil tempat dan lebur
dalam makhluk, fana’jenis ini dialami oleh penganut paham hulul dan wahdah al-

5 Ibid., 149

8
wujud, seperti Abu Mansur al-Hallaj (w. 922 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), dan
sebagainya.

B. Al-Ma’rifah

Keadaan dekat dengan Tuhan yang menjadi tujuan para sufi telah
diformulasikan dalam berbagai terminologi, di antaranya adalah term al-Ma‘rifah.
Secara harfiah, al-Ma’rifah berarti pengetahuan. Dalam peristilahan para sufi diberi
arti: pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui hati sanubari. Dan
pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati merasa bersatu dengan
yang diketahui.6
Dalam kaitannya dengan al-Ma‘rifah, jiwa diyakini kaum sufi sebagai
instrumen penting karena dengannya, mereka merasa dapat menghayati segala rahasia
yang ada dalam alam gaib dan sebagai puncak penghayatan itu adalah ma‘rifat
kepada Tuhan. Menurut kaum sufi, dalam hati sanubari terdapat kekuatan yang
disebut ruh, berfungsi untuk mencintai atau rindu kepada Tuhan. Dalam ruh terdapat
sirr, berfungsi untuk berkontemplasi dan berpikir tentang Tuhan sehingga seorang
sufi dapat berkomunikasi dengan-Nya.
Secara analogi, al-Gazali (w. 1111 M) mengibaratkan kalbu sebagai cermin.
Sementara pengetahuan yang ditangkap kalbu adalah pantulan gambar realitas yang
terdapat dalam cermin kalbu, karena itu jika cermin hati itu kotor maka dia tidak
dapat memantulkan relitas-realitas pengetahuan. Menurutnya lagi, yang membuat
cermin kalbu tidak bersih adalah hawa nafsu tubuh, sementara ketaatan kepada Allah
serta berpaling dari tuntutan hawa nafsu itulah yang dapat membuat kalbu bersih
(cemerlang) sehingga dapat menangkap pengetahuan Tuhan.7
Lebih jauh al-Gazali (w. 1111 M) menjelaskan bagaimana proses pengetahuan
melalui instrumen kalbu sebagai berikut:
“Maka bagi kalbu ada dua pintu, satu pintu terbuka ke alam Malakut ,yaitu Lauh al-
Mahfudz dan alam para malaikat dan satu pintu lagi terbuka ke alam inderawi yang

6 Ibid., 151
7 Ibid., 152

9
berkaitan dengan alam dunia dan alam empiri. Alam empiri dan alam dunia juga
merupakan cerminan dari alam malakut berikut berbagai pantulan alam malakut
yang lain. Adapun terbukanya pintu ke arah alam inderawi kiranya sudah jelas bagi
anda. Adapun terbukanya pintu hati bagian dalam ke arah alam malakut dan lauh al-
mahfudz maka bisa anda ketahui secara yakin, yaitu dengan membayangkan
keajaiban-keajaiban mimpi dan pandangan hati di dalam tidur terhadap hal-hal yang
akan terjadi di waktu yang akan datang atau di masa lampau dengan tanpa
tanggapan inderawi. Dan sesungguhnya terbukanya pintu hati tersebut (hanya) bagi
orangyang menyendiri untuk bezikir kepada Allah”
Terdapat beberapa istilah yang terkait dengan al-ma‘rifah, di antaranya adalah
al-kasyf (mukasyafah) yang berarti, tersingkapnya tabir karena pengalaman tersebut
bersifat langsung sehingga dapat mengetahui hakikat sesuatu. Juga dikenal istilah al-
musyahadah yang secara harfiah berarti penyaksian (berhadap-hadapan). Dalam
istilah tasawuf dipahami sebagai penyaksian langsung dengan mata hati terhadap
Tuhan baik lewat kehadiran sifat-sifat-Nya maupun kebesaran-Nya dalam segala
sesuatu. Karena itu dari ucapan-ucapan para sufi yang mengalami keadaan ma‘rifat
dapat dipahami bahwa mereka melihat Tuhan pada segala sesuatu yang merupakan
tanda (ayat) daripada-Nya.
Pengalaman ma'rifah, kasyf atau musyahadah mengimplikasikan datangnya
pengetahuan ilham atau ilmu ladduni, yakni pengetahuan yang diberikan Allah secara
langsung kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya, baik mengenai urusan dunia
maupun akhirat.
Dalam sejarah tasawuf, tampaknya Ma‘ruf al-Karkhi (w. 815 M) adalah orang
yang pertama kali memunculkan term al-ma‘rifah ketika dia memberi definisi
tasawuf dengan bersikap zuhud dan ma‘rifat. Selain Ma‘ruf al-Karkhi (w. 815 M),
Abu Sulaiman al-Darani (w. 844 M) juga telah menggunakan istilah ma‘rifat pada
saat menjelaskan makna tasawuf. Meskipun demikian kelihatannya tokoh yang
pertama kali menganalisis ma‘rifat secara konseptual adalah Dzun an-Nun al-Misri
(w. 859 M). Ia membagi ma‘rifat ke dalam tiga tingkatan: Pertama, marifat orang
awam (ma‘rifahal-awan) ; kedua, ma‘rifat para teolog dan filosof (ma‘rifah al-

10
mutakallimin wa al-failasuf) dan ketiga, ma‘rifat para wali yang mengenal Allah
melalui hati sanubari (ma'rifah al-‘arifin). Dengan demikian dilihat dari sudut
Epistemologi terdapat metode ma‘rifah yang berbeda, yakni metode transmisi
(taqlidi), metode rasional (‘aqli), dan metode intuitif (kasyfi).8
Dengan kata lain ma'rifat awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan
terhadap informasi-informasi verbal tentang Tuhan tanpa menyelidiki dan membuat
argumen-argumen. Selanjutnya ma‘rtfat para teolog dan filosof adalah lewat
pemahaman dan pembuktian dengan argumen-argumen rasional. Sedangkan bagi para
sufi adalah dengan penghayatan dan penangkapan langsung terhadap objek (Tuhan)
lewat rasa (az- zauq). Karena itu ketika mendiskripsikan pengalaman ma'rifat, Dzun
an-Nun al-Misri (w. 859 M) mengatakan; aku mengenal Tuhanku lewat dan dengan
Tuhanku, sekiranya bukan karena Tuhanku aku tak dapat mengenal Tuhanku.

Ma'rifat kaum sufi dipandang paling tinggi nilainya dan paling meyakinkan
karena pengalaman tersebut diperoleh bukan melalui belajar, usaha atau pembuktian-
pembuktiah, tetapi merupakan ilham yang dilimpahkan langsung oleh Allah ke dalam
hati hamba-Nya yang paling rahasia. Dengan demikian dia mengenal Tuhan dengan
Tuhannya sebagaimana diungkapkan Dzun an-Nun di atas.
Imam al-Gazhli (w. 1111 M) memasukkan ma'rifat ke dalam ‘ilm al-
Mukasyafah dan selanjutnya menjelaskan bahwa fenomena perolehan ma'rifat
sebagai ‘ilm al-Mukasyafah adalah terbukanya tabir rahasia ketuhanan bagi para wali
yang berupa penyaksian berbagai keajaiban surgawi dan keadaan yang dialami orang-
orang yang telah menipggal dunia. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ma’rifat
merupakan pengetahuan penyaksian (musyahadah) yang diperoleh lewat pengamatan
secara langsung terhadap objek yang diketahui. Utamanya tentang Tuhan. Penyaksian
terhadap Tuhan bagi para wali adalah kelezatan paling besar yang dapat dirasakan
manusia di dunia. Dan orang yang dapat memperoleh penyaksian tersebut akan
mendapatkan karunia penyaksian yang lebih besar lagi di akhirat.
Namun perlu dipahami bahwa apa yang dimaksudkan Al-Gazali (w. 1111 M)
bukanlah penyaksian terhadap Zat Tuhan. Melainkan penyaksian terhadap kebesaran
8 Ibid,153

11
dan kekuasaan-Nya sehingga membawa keyakinan yang mendalam terhadap wujud
Tuhan dan selanjutnya menjadi pendorong untuk selalu beribadah dan beramal salih
dengan kegairahan yang sangat prima.
Di sisi lain al-Gazali menjelaskan tentang validitas pengalaman ma'rifat
sebagai ‘ilmu al-yaqin sebagai berikut:

“Sesungguhnya ilmu yang bersifat yakin adalah terbukanya berbagai ilmu dengan
jelas sehingga tidak tersisa keragu-raguan dan tidak pula dibarengi kemungkinan
salah dan bimbang serta keadaan hati tidak akan dapat menampung kadar ilmu
tersebut.”
Dengan tercapainya ma'rifat itu berarti terbukanya tabir atau hijab bagi
seorang sufi untuk mengenal segala sesuatu yang gaib. Akan tetapi, menurut Ibn
Khaldun, seorang sufi hakiki, tidaklah menganggap tinggi ilmu kasyf ini, bahkan
pengetahuan-pengetahuan kasyf dipandang sebagai cobaan dan karenanya mereka
memohon kepada Allah untuk dilepaskan dari semua itu. Katanya lebih lanjut bahwa
para sahabat sesungguhnya telah melakukan mujahadah dan mereka pun mendapat
bagian karamah yang melimpah ruah tetapi tidak menganggap tinggi ilmu
mukasyafah itu.9

C. Al-Ittihad

Al-Gazali (w. 1111 M) menggambarkan pengalaman spiritual kedekatannya


dengan Tuhan, bahwa kondisi tersebut tidak bisa dirumuskan dengan kata-kata apa
pun sehingga sebagian orang merasakan bersatu dengan Tuhan (Ittihad), Tuhan
mengambil tempat pada dirinya ( hulul) dan (seseorang) sampai pada Tuhan (wusul).
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Ittihad adalah kondisi seorang sufi
ketika mencapai puncak penghayatan fana’ dan ma‘rifat kemudian dirasakannya
bersatu dengan Tuhan. Pandangan ini sebagai konsekuensi logis dari dasar filosofi
yang dianut para sufi bahwa jiwa/nafs manusia adalah aspek immateri manusia yang
memiliki relasi ontologis dengan Tuhan sehingga barang siapa dapat membebaskan

9 Ibid., 155

12
jiwa/ nafsnya dari dominasi jasmaniahnya maka ia akan memperoleh jalan kembali
kepada Tuhan sebagai sumbernya dalam perasaan ittihad.
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 875 M) dipandang sebagai
tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan paham ittihad. Dia memperoleh
pengalaman Ittihad setelah berkontemplasi yang menyebabkan dirinya lebur (fana')
dan terserap sepenuhnya dalam kesadaran Tuhan. Dalam dialog-dialognya yang
terkenal secara kronologis dia menginformasikan pengalaman ittihad-nya sebagai
berikut:
“Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan, dan Dia berkata: Hai
Abu Yazid, sesungguhnya makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab:
“Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika hal itu kehendak-Mu,
maka aku tak berdaya untuk menentang kehendak-Mu itu. Untuk itu hiasilah
aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka
akan berkata: “Telah kami lihat Engkau”. Tetapi, yang mereka lihat
sesungguhnya adalah Engkau, sebab ketika itu aku tidak ada di sana”
Rangkaian dialog di atas merupakan ilustrasi tentang proses terjadinya
pengalaman ittihad pada diri Abu Yazid (w. 875 M). Pada bagian awal dialognya itu
dilukiskan alam ma'rifat (gnosis) yang masih menggambarkan dualisme (dalam
dialog Tuhan dan Abu Yazid) dan selanjutnya memasuki alam fana' sebagai pintu
gerbang memasuki dunia ketuhanan yang digambarkan dengan pemberian pakaian
dan perhiasan keesaan-Nya. Akhirnya, terjadilah pengalaman bersatu (Ittihad) dengan
Tuhan sebagaimana digambarkan pada akhir dialog yang sudah tidak ada lagi
dualisme (yang tampak hanya Tuhan).10
Keadaan ittihad itu lebih diperjelas lagi dalam ungkapan Abu Yazid (w. 875
M) selanjutnya:
“Tuhan berkata: Hai Abu Yazid, semua mereka adalah makhluk-Ku kecuali
engkau. Aku pun menjawab: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku
adalah Engkau”
Lebih tegas lagi dia berkata:

10 Ibid., 159

13
“Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah
Aku.”
“Mahasuci Aku, Mahasuci Aku, Mahabesar Aku”

Ungkapan-ungkapan di atas muncul dalam keadaan fana’, karenanya di luar


kontrol kesadaran dirinya. Dalam terminologi tasawuf ungkapan di atas disebut al-
syathu atau jamaknya syatahat, secara harfiah berarti getaran, yaitu getaran kata hati
yang meluap-luap ketika Abu Yazid (w. 875 M) dalam pengalaman spiritual mabuk
cinta dan melihat Tuhan. Dan karena ucapan- ucapan itu muncul di luar kesadaran,
maka tidak berarti yang mengucapkannya mengaku sebagai Tuhan. Dalam hal ini
Abu Yazid menjelaskan sendiri
“Sesungguhnya Dia yang berbicara melalui lisan saya sedang saya sendiri
dalam keadaan fana’”
Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang berbicara lewat lisannya,
ketika mengeluarkan syatahat itu. Berdasarkan ucapan Abu Yazid yang terakhir dan
sebagian penulis, misalnya Harun Nasution berpendapat bahwa ucapan itu
sesungguhnya adalah ucapan Tuhan yang diilhamkan kepada Abu Yazid. Pendapat ini
didasarkan pada penggalan ucapan fa qultu bihi (aku berbicara dengan perantaraan-
Nya) pada ucapan Abu Yazid yang lain sebagai berikut:
“...Maka pembicaraanpun terputus,katapun menjadi satu (pula) dan
seluruhnya menjadi satu (juga). Ia pun berkata: “Hai Engkau”, maka dengan
perantaraan-Nya aku menjawab: Hai Aku, engkaulah yang satu. Aku
menjawab,: “Akulah yang satu”Ia menjawab: “Engkau adalah Engkau”. Aku
menjawab kagi: Aku adalah Aku.”
Pendapat lain, misalnya al-Jurjani mengatakan bahwa ucapan Abu Yazid
termasuk dari syatahat yang berarti ucapan keliru yang muncul dari ahl al-ma‘rifah
dalam keadaan terpaksa dan mereka mengungkapkannya tanpa izin Tuhan. Bahkan
ada pula yang tidak memberi penilaian (netral), seperti Imam Abu Nasr as-Sarraj (w.
988 M). Dia tidak memberi penilaian, apakah kata-kata (syatahat) Abu Yazid
merupakan kata-kata Tuhan atau kata-katanya sendiri. Ia hanya menyarankan agar

14
seseorang tidak berprasangka buruk terhadap orang (sufi) yang mengucapkan kata-
kata syatahat dan menjauhi tuduhan-tuduhan yang menunjukkan pengingkaran
terhadap pengalaman Ittihad sufi dalam keadaan fana’ itu.11

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, proses Ittihad versi Abu Yazid
adalah naiknya jiwa/nafs manusia ke hadirat Tuhan bukan melalui immanensi, yaitu
sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya sementara yang disadari
dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah Bahkan dia tidak menyadari dirinya
sendiri karena dirinya telah lebur dalam Dia yang dilihat.

D. Al-Hulul

Paham hulul merupakan salah satu tipe pandangan tasawuf falsafi dan
merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad. Ide al-hulul pertama kali
dimunculkan oleh Husein ibn Mansyur al-Hallaj (w. 922 M).
Pengertian hului secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yakni dia yang telah mensucikan dirinya dari sifat-sifat
kemanusiaannya melalui pengalaman fana. Batasan ini berdasarkan pandangan al-
Hallaj (w. 922 M) bahwa secara dasariah manusia memiliki dua unsur, yaitu unsur
ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Karena itu, barang siapa yang telah
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya (Nasut} kemudian memberdayakan sifat-
sifat ketuhanannya (lahut) melalui proses fana’, maka Tuhan akan mengambil tempat
dalam dirinya (immanensi) dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dalam
bentuk hulul.12
Secara filosofis ide tentang relasi lahut - Nasut bertolak dari analisa al-Hallaj
(w. 922 M) tentang proses kejadian manusia. Dia berpendapat bahwa Adam sebagai
manusia pertama dicipta kan Tuhan sebagai copy Tuhan sebagaimana terdapat pada
ungkapan syair-syairnya.

11 Ibid., 161
12 Ibid., 162

15
“Mahasuci zat yang sifat kemanusiaannya membukakan rahasia cemerlang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk
manusia yang makan dan minum”
Gagasan tentang hubungan lahut- Nasut juga didasarkan pada analisis teologis al-
Hallaj tentang perintah Allah kepada Malaikat untuk sujud kepada Adam
sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an yang artinya:
“Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada Malaikat ; Sujudlah kepada
Adam., lalu mereka bersujud kecuali iblis” ( QS. Al-Baqarah: 34)
Dari perinlah Allah kepada Malaikat untuk sujud kepada Adam, oleh al-Hallaj
(w. 922 M) ditarik kesimpulan bahwa hal itu karena dalam diri Adam terdapat unsur
ketuhanan (lahut) sehingga dia harus disujudi sebagaimana Allah. Dari pandangan
tersebut memunculkan pandangan filsafat antropologi hulul sebagaimana dapat
dipahami dari syair-syair al-Hallaj berikut:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwa-ku
sebagaimana anggur dicampur air suci
Jika ada sesuatu yang menyentuh-Mu, ia pun menyentuhku
Dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku
aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia Yang kucintai adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat di satu tubuh
Jika Kau lihat aku, maka aku lihat Dia
Dan jika Kau lihat Dia, maka Kau lihat aku jua.

Dalam syair ini, al-Hallaj (w. 922 M) menggambarkan persatuannva dengan


Tuhan, laksana persatuan antara dua jiwa dalam satu tubuh. Karena Itu persatuan
dalam konsep paham hulul berbeda dengan persatuan dalam konsep ittidad, yaitu
naiknya jiwa manusia ke dalam jiwa Tuhan. Sedangkan hului didefinisikan
bertempatnya roh Tuhan dalam diri manusia sehingga keduanya lebur menjadi satu
(proses immanensi).13

13 Ibid., 163

16
Kecuali itu dari syair diatas terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama
sekali tidak hancur atau lebur. Dengan demikian, sesungguhnya paham hulul ini
bersifat figuratif dan bukan dalam arti riil karena berlangsung dalam ketidaksadaran
psikologis dalam keadaan fana’ serta dalam ‘iradah Tuhan. Atas dasar pandangan
manusia diciptakan tuhan sesuai citra-Nya makna perpaduan dalam hulul adalah
munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang mengambil tempat dalam diri
manusia. Bukan hubungan perpaduan Tuhan dan manusia secara riil. Oleh karena itu,
ucapan al-Hallaj “Ana al-Haq” (Aku adalah Tuhan Yang Mahabenar) yang meluncur
dari lisannya bukanlah sebagai pengakuan bahwa dirinya adalah Tuhan dalam makna
hakiki, sebab yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan, tetapi
melalui lisan al-Hallaj. Pemahaman ini berdasarkan penyataan al-Hallaj dalam syair
berikut:

Aku adalah rahasia Yang Maha Benar


Aku bukanlah Yang Maha Benar itu
Bahkan aku yang benar
Maka bedakanlah antara kami

Pada kesempatan yang lain al-Hallaj juga mengatakan:

“Dan hamba itu tidak berkata dalam ucapannya sendiri, melainkan gerakan
lidah yang diberikan kepada-Nya dengan sifat (kalam)Nya sebagaimana
pohon yang dihadapkan kepada Musa dan firman Tuhan muncul darinya.”

Ide hulul dalam perkembangannya melahirkan ide tentang Nur Muhammad


(al-Nur al-Muhammadi) sebagai materi awal dari seluruh ciptaan yang plural (jamak)
seperti halnya teori logos dalam filsafat emanasi. Juga memunculkan ide tentang
kesatuan agama yang mengasumsikan bahwa walaupun agama-agama secara
fenomena bermacam-macam dan berbeda-beda, namun secara esensial dan
transendental adalah sama, karena semuanya menuju satu tujuan, yaitu Tuhan.

17
E. Wahdah al-Wujud
Paham wahdat al-wujud sesungguhnya merupakan perluasan dari paham hulul
yang diformulasikan oleh Muhy ad-Din Ibn al-Arabi (w. 638 H). Aspek lahut yang
ada pada paham hulul diganti dengan al-Haqq (Tuhan), sedangkan aspek Nasit diganti
menjai al-Khalq (makhluk). Al-Haqq dan ol-Khalq adalah dua sisi bagi segala
susuatu. Aspek lahir sesuatu wujud disebut al-Khalq dan aspek batinnya dteebut al-
Haqq. Dengan demikian, aspek lahir memiliki sifat kemakhlukan sedangkan aspek
batin memiliki sifat ketuhanan. Meskipun demikian, aspek terpenting/pokok adalah
aspek batin (al-Haqq). sebab ia merupakan esensi dari setiap wujud.14
Jika dianalisa secara mendasar, paham wahdah al-wujud sesungguhnya
didasarkan pada renungan filsafat tentang penciptaan. Menurut Ibn Arabi (w. 1240
M), alam ini diciptakan oleh Allah dari ‘ain (esensi) wujud Tuhan, sehingga apabila
Tuhan ingin melihat diri-Nya, maka dia cukup melihat alam ini. Dengan kata lain,
walaupun pada lahirnya alam ini tampak berbeda-beda, tapi pada setiap yang ada itu
terdapat sifat ketuhanan (al-Haqq) dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi
esensi ('ain) sesuatu itu. Dari perenungan filosofis inilah timbulnya paham kesatuan
wujud (wahdah al wujud) dengan pengertian bahwa alam yang tampak beraneka itu
sesungguhnya adalah satu wujud. Secara analog dapat diibaratkan seperti orang yang
melihat bayangannya dalam beberapa cermin, betapa pun banyaknya bayangan itu.
namun orangnya adalah satu, sebab bayangan tidak memiliki esensi sebagaimana
diungkapkan oleh Imam Ibn Arabi (w. 1240 M) sebagai berikut:

“Wujud yang hakiki hanyalah wujud Allah. Sedangkan wujud makhluk


hanyalah bayang-bayang dan yang punya bayangan (Tuhan) atau gambar
dalam cermin dan orang yang bcrcermin. Maka makhluk adalah bayangan,
sedangkan al-Haqq (Tuhan) adalah Yang Mahasuci. Karena itu makhluk
adalah tiruan”

14 Ibid., 167

18
Atas dasar pemikiran itu. Ibn Arabi (w. 1240 M) lewat ungkapan puitisnya
telah menggambarkan paham tersebut sebagai berikut:

Wahai yang menjadikan segala sesuatu pada diri-Nya


Engkau, bagi ciptaan-Mu adalah manunggal
Engkau ciptakan apa yang tak terhigga adanya
Pada Engkau, maka Engkaulah yang sempit dan yang lapang”

Dari ungkapan di alas dapat dipahami bahwa antara wujud Tuhan dengan
wujud alam adalah terjalin dalam hubungan wujud mutlak dan wujud nisbi.Karena
Itu, wujud alam adalah wujud Tuhan yang menampakkan diri dalam bentuk entitas-
entias yang bersifat nisbi fan sifat mungkin. Dengan demikian, perbedaan antara al-
Haqq dan al-khalq hanyalah dari segi kekhususannya saja, yaitu jika dilihat dengan
mata dalam realitas empirik, maka dia adalah al-khalqdan jika dalam segi kemutlakan
wujudnya maka ia adalah al-Haqq.15
Karena paham wahdah al-wujud memandang dalam wujud hanya ada satu
realitas, maka paham ini sering dituduh sebagai paham pantheisme, monisme atau
monisme-pantheistik yang intinya adalah menyamakan Tuhan dengan alam. Misalnya
Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa wahdah al-wiyud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam yang dalam istilah modern sinonim dengan pantheisme. Ia mengatakan
bahwa orang-orang yang berpegang pada paham wahdah al-wujud menyatakan
bahwa wujud adalah satu dan wahdah al-wujud yang dimiliki oleh Sang Pencipta
adalah sama dengan kemungkinan yang dimiliki makhluk.

1.3 Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi dan Ajaran-Ajaran Pokoknya

A. Ibn Arabi

15 Ibid., 169

19
Nama lengkapnya adalah Muhammad binAli bin Ahmad bin 'Abdullah al-
Tha'i al-Haitami. Ia lahir di Murda, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari
keluarga berpangkal hartawan, dan ilmuwan.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang (kesatuan wujud). Meskipun demikian
istilah yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia,
tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan
mengkritik ajaran sentralnya tersebut.16
Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada
hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara
keduanya dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud
khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indera lahir dan akal
yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya
dari kesatuan Dzatiyah, yang segala sesuatu ber himpun pada-Nya. Kalau antara
khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Menurut Ibn
Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang
keduanya bahwa keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi
yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya
adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya,
yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Makhluk diciptakan oleh Khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada
wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud
selain Tuhan tidak mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu
Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai Wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan
hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya, yaitu wujud
Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki.
Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat
tajalli dan madzhar(penampakan) Tuhan. Alam ini merupakan madzhar(penampakan)
dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya Itu

16 Moh. Toriquddin. Sekularitas Tasawuf, memurnikan Tasawuf dalam Dunia Modern. (Malang: UIN-
Malang Press.2008)hal. 175

20
kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk Dzat yang tinggal dalam
kemujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.17

B. Al-Jilli

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli. Ia lahir pada tahun
1365 M dijilan (Gilang sebuah propinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat pada
tahun 1417 M. Nama Al-Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah
seorang sufi yang terkenal dari Baghdad.
Ajaran tasawuf al-Jilli yang terpenting adalah paham Insan Kamil(manusia
sempurna). Menurut al-Jilli, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan. Tuhan
mempunyai sifat-sifat, seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan
sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi
selanjutnya adalah setelah Tuhan mendatakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan
dengan Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan
pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala
hakikat-Nya. Melalui konsep ini, dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi
penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya
sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat dasarnya merupakan milik insan
kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Hal itu karena sifat
dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insan kamil.
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak
dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya
dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama
Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin
insan kamil.

17 Ibid., 176

21
Menurut Arbeny, konsep iman karnil al-Jilli dekat dengan konsep hulul al-
Hallaj dan konsep iitihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu
pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad.18

C. Ibn Sab'in

Nama lengkapnya adalah Abd al-Haq ibn Ibrahim Ibn Nashr al-Akki al-Mursi,
seorang sufi filosofis dan filosof peri- patetik Andalusia. Ia lebih dikenal dengan Ibn
Sab'in dan terkadang Quthb al-Din atau Abu Muhammad. Ia lahir pada tahun 1217
M/614 H. di Valle de Ricote, Murcia, Andalusia. Ia dikenal di Eropa disebabkan
jawaban-jawabannya atas pertanyaan Frederik II, Penguasa Sicilia. Dia berasal dari
keturunan Arab dan lahir dari keluarga terhormat.
Ibn Sab'in dikatakan telah menulis sebanyak 41 buku, tetapi kebanyakan
darinya tidak diketahui keberadaannya
Ibn Sab'in mengatakan bahwa jika seseorang melihat kepada jagad raya dan
apa yang berada di bawahnya dari manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan,
kemudian ia memisah-misah dan membagi-baginya, menyusun dan
menyambungkannya, maka ketika ia kembali kepada dirinya, ia akan mendapatkan di
dalam dirinya apa-apa yang ada di dalam jagad raya dan apa-apa yang berada di
bawahnya dengan bentuk yang lebih indah dan lembut Karena ia melihat dirinya
seperti sebuah contoh dari alam ini. Dan sesungguhnya keseluruhan atau kesatuan itu
merupakan emanasi dari yang satu. Ibn Sab'in menyebut kesatuan tersebut dengan al-
Ihatlah yang maksudnya bahwa wujud secara keseluruhan adalah satu kesatuanm
Menurutnya bahwa wujud berdasarkan jenisnya terbagi tiga: 1. Wujud muthlaq, yaitu
Allah sendiri 2.Wujud muqayyah, yaitu suatu wujud zat yang bergantung kepada
wujud lainnya. Wujud alam bukanlah wujud yang sebenarnya namun pada hakikatnya
adalah wujud dari wujud yang pertama. 3. Wujud muqaddar, yaitu segala peristiwa
yang akan terjadi di masa akan datang. Wujud sebenarnya adalah wujud muqayyad
yang belum terjadi. Jadi semua wujud sebenarnya adalah wujud yang pertama

18 Ibid., 178

22
Hamka menjelaskan faham Ibn Sab'in sebagai berikut:
"Menurut Ibnu Sab'in, adalah sumber segala akal yang mengatur alam ini,
yang terbit daripadanya karena semata-mata limpahan (faidah) dan "in'aam"
(anugerah). Puncak segala akal ialah al-Aqlul Fa'al (Akal pembuat) dan
dialah mengatur bumi dan segala yang ada dalam bentuknya yang tetap. Dan
dialah mashdar (tempat timbul) jiwa insani. Oleh karena jiwa-jiwa manusia
itu timbul daripada Akal Pembuat itu, maka jiwa-jiwa itu senantiasa ingin
hendak kembali kepadanya. Apabila manusia telah menyediakan diri untuk
belajar dan merenung dan tidak puas-puasnya menyelidiki, akan berubah
bahagialah dia dengan ma'rifatul kamilat (pengetahuan yang sempurna) dan
hakikat mujjarradat (hakikat semata-mata) sampai tercapai pertemuan
dengan al-Aqlul Fa'al itu. Permulaan dan kesudahan wujud adalah Allah. Di
antaranya tidak ada apa-apa lagi, walaupun Adam (tidak ada). Dia jadi
dengan sendirinya. Karena kalau demikian timbullah bertali-tali berlingkar-
lingkaryang tiada putus; kainat (segala yang ada) yang lain adalah madzhar
(kenyataan) daripada-Nya, Adanya, dari ilmu-Nya dan iradat-Nya, dan
daripada-Nyalah hayat seluruhnya dan wujud seluruhnya. Wujud alam itu
adalah 'aradhi (mendatang). Sebab itu yang ada itu hanya satu pada hakikat-
Nya, bahkan Dialah wujud semesta. Kainat yang nampak ini hanyalah wujud
majazi belaka bukan hakiki. Jadi, kembali fahamnya kepada wihdatul wujud
juga.”19

D. Al-Suhrawardi
Al-Suhrawardi nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya al-Suhrawardi.
Tahun kelahirannya belum dapat diketahui secara pasti, namun tahun wafatnya
adalahl 191 M. Filosof yang berasal dari Alepo ini dijuluki al-Maqtul (yang terbunuh)
atau al-Syahid(sang Syuhada), karena kematiannya dihukum bunuh. Ia merupakan
filosof pasca Ibn-Rusyd yang inti pemikirannya terletak dalam usahanya untuk
mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika, serta kewajiban

19 Ibid., 180

23
pard pencari yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran cari manapun sum-
bernya; baik dalam filsafat Yunani, pemikiran Persia Kuno,Neo-Platonisme Muslim
maupun sufisme.20

Usahanya itu didorong oleh adanya sebagian dari cita-dita para filosof
sebelumnya, khususnya dari Ibn Sina yang dianggapnya belum selesai. Ibn Sina
menurutnya merasakan dorongan yang kuat untuk meninggalkan jalan Peripatetik
yang telah ditempuhnya selama ini dengan baik di bawah sinar pendekatan mistik dan
eksperiensial ke arah kebenaran yang disebutnya sebagai iluminasi (isyrak). Ia terus
berusaha melaksanakan maksudnya itu dengan memanfaatkan kesempatan sepe-
nuhnya atas sentimen-sentimen anti-Paripatetik Ibn Sina'dan aspirasi-aspirasi mistik
serta eksperiensial yang telah diusahakannya untuk memenuhinya bersama orang-
orang yang mempunyai semangat yang sama.
Salah seorang penulis biografi dan komentatornya yang terkemuka, Syams al-
Din al-Syahrazuri (w.kl.1281) memberi penghargaan yang luar biasa kepadanya
dengan menyebutnya sebagai pengarang yang menggabungkan dua kebijakanya itu
antara yang eksperiensial (al-dzauqiyah) dan yang diskursif (al-bahtsiyah), dan
sebagai pengarang yang telah memperoleh kedudukan yang mantap dalam hal
kebijakan yang tersebut pertama serta telah diakui oleh para ahli sebagai filosof yang
tidak tersaingi pada zamannya. Selanjutnya dalam sebuah risalahnya yang berjudul
al-Masy'ari, ia telah benar-benar mengenal materi pokok, baik dari kebijaksanaan
lama maupun modem dan juga telah menanggalkan prasangka-prasangka para filosof
Peripatetik dan menegakkan kembali ajaran para bijaksanawan kuno dalam suatu cara
yang tidak pemah dikenal sebelumnya. Beberapa sufi seperti al-Bustami dan al-
Halhu' mungkin saja telah mencapai kedudukan yang sama dalam jalan mistikisme
praktis, tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang dapat menggabungkan
antara yang teoritis dan yang praktis dengan keahlian yang demikian sempurna.
Pemikiran filsafat Illuminasionis dari al-Suhrawardi itu dapat dilihat dalam
karyanya yang beijudul al-Masy'ari sebagaimana tersebut di atas.

20 Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada.1995) hal.142

24
Tentang wujud ia berkata bahwa masalah penting dalam hal ini adalah
mengenai wujud dan esensi. Menurutnya wujud bagi esensi tidaklah sama dengan
predikat-bagi, subyek seperti yang diduga sementara orang. Karena atas dasar
prasangka yang tersebut terakhir itu esensi tidak mungkin ada sebelum, sesudah atau
bersamaan waktunya dengan wujud dengan cara yang sedemikian, rupa, sehingga
yang partikular tidak menjelma melalui wujud yang menentukan esensinya,
melainkan terlepas darinya atau berada di sampingnya, Namun hal itu ganjil sekali.
Diskusi tentang wujud itu kemudian membawa al-Suhrawardi secara logis ke
dalam diskusi tentang Wujud Niscaya (Tuhan). Dalam hubungan ini ia bersikap kritis
terhadap pembuktian Ibn Sina mengenai eksistensi Wujud Niscaya itu, atas dasar
bahwa ia sama sekali dialektis, karena Ibn Sina mempertahankan bahwa wujud
adalah sebuah aksiden yang dibubuhkan kepada esensi, dan karena itu esensi
mendahului eksistensi, yang telah terbukti salah. Pembuktiannya sendiri, sekalipun
tidak secara tajam, berbeda dalam struktur logikanya, namun bersifat lebih langsung.
Segala sesuatu yang mungkin membutuhkan sebuah sebab, karenanya seluruh
rangkaian entitas yang mungkin di dunia ini membutuhkan sebuah sebab seperti itu.
Karena ia harus membentuk bagian rangkaian itu dalam dirinya sendiri, maka ia
membutuhkan sebuah sebab lain dan seterusnya ad infinitum. Padahal sebuah rang-
kaian tak terbatas, adalah rancu. Karena itu Wujud Niscaya, yang bagaimanapun
mustahilnya haruslah menjadi dasar bagi rangkaian itu.
Selanjutnya tentang filsafat Iluminasionis yang menjadi perhatian utamanya
ialah Hikmat al-lsraq yaitu sifat dan penyebaran cahaya, dan cahaya menurutnya
adalah bersifat material dan tak dapat didefinisikan. Karena itu jika "terang” diartikan
sebagai sesuatu yang tidak membutuhkan definisi, maka jelaslah cahaya, seperti
entitas yang paling terang di dunia ini, tidak membutuhkan definisi juga. Sebagai
realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap
entitas, baik yang fisik maupun non-fisik, sebagai sebuah komponen yang esensial
darinya. Segala sesuatu selain dari "Cahaya Mumi" adalah tersusun dari sesuatu yang
tidak membutuhkan substratum yang merupakan substansi gelap, atau dari bentuk
substansi ini, yaitu adanya kegelapan dan sejauh benda-benda itu dapat menerima

25
baik cahaya maupun kegelapan, ia dapat disebut "ismus-ismus" (bentuk tunggalnya:
barzakh). Yang dipandang dari dirinya sendiri bahwa setiap ismus itu adalah gelap
dan cahaya apa pun yang dimilikinya harus berasal dari sebuah sumber luar,
Mengenai pandangan kosmologis dan metafisik lainnya yang dianggap oleh
para ahli sebagai berasal dari para filosof lain, menurut Suhrawardi, hal itu adalah
berasal dari pandangan dunia yang dibangun oleh Avicena. Ia menyatakan
persetujuannya; tetapi ia jugaberusaha dengan mengutip Kitab Suci atau inti ajaran
tasawuf.
Dengan demikian secara umum al-Suhrawardi telah melakukan sintesa secara
kritis terhadap pandangan-pandangan filosof Islam sebelumnya, terutama Ibn Sina.
Dan yang demikian itu merupakan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan
pemikiran filsafat dalam dataran praktis.21

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

21 Ibid., 147

26
Dari uraian panjang diatas kita dapat mengambil suatu hikmah dan beberapa
kesimpulan, diantaranya adalah:
Ø Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlawi, tasawuf
falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Ø Empat objek tasawuf falsafi yang menjadi perhatian para sufi filosof adalah
o Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, instusi serta intropeksi diri yang timbul
darinya.
o Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat
rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang
wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang
penciptanya.
o Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
o Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-
samar (syathayyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya, menyetujui, ataupun menginterprestasikannya dengan
interprestasi yang berbeda-beda
Ø Tokoh-tokoh tasawuf falsafi antara lain Ibn Arabi, Al Jilli, Ibn Sa’in dan Al-
Suhrawardi

DAFTAR PUSTAKA

Toriqoudin,Mohammad,Sekularitas Tasawuf,Malang:UIN Malang,2008

27
Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf. Kudus: JP Books.2007

Abuddin Nata. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
1995

Sholikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam. Jakarta: Narasi. 2008

Riyadi, Kadir, Abdul. Antropologi Tasawuf. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2014

28

Вам также может понравиться