Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
MUCHAMAD YUSRON
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Muchamad Yusron
NRP P062050211
ii
ABSTRACT
MUCHAMAD YUSRON. Treatment of Acid Mine Drainage using Biofilm of
Sulfate Reducing Bacteria. Under supervision of DWI ANDREAS SANTOSA,
BIBIANA W. LAY and ANAS MIFTAH FAUZI.
iii
RINGKASAN
MUCHAMAD YUSRON. Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan
Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat. Dibawah bimbingan : DWI ANDREAS
SANTOSA, BIBIANA W. LAY dan ANAS MIFTAH FAUZI.
iv
Identifikasi dilakukan hanya pada isolat yang dianggap unggul dengan media
padat maupun media cair. Penentuan tipe morfologi, pewarnaan Gram dan
pewarnaan spora dilakukan dari biakan media padat.
Kegiatan kedua dilakukan untuk mempelajari faktor- faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat, antara lain pH, konsentrasi
(kandungan) sulfat, dan sumber karbon. Pada kegiatan ketiga, pengolahan air
asam tambang dilakukan dengan menggunakan kolom pengolahan pada kondisi
anaerob bakteri pereduksi sulfat tersuspensi. Kolom dibuat dari kaca dengan
ukuran diameter panjang 10 cm, lebar 15, dan tinggi 20 cm, sehingga total volume
kolom 3000 cm3 . Limbah asam tambang dimasukkan ke dalam kolom dengan
ditambahkan nutrisi starter berupa asam laktat sebanyak 10 mL/L limbah dan
isolat bakteri pereduksi sulfat yang telah ditumbuhkan. Tiga isolat yang
digunakan pada tahap ini adalah ICBB 8815, ICBB 8816, dan ICBB 8818.
Pada kegiatan keempat, unit pengolahan air asam tambang menggunakan
biofilm bakteri pereduksi sulfat terdiri dari 3 bak yang terbuat dari kaca, yakni bak
pengisi, bak pengolah dan bak penampung. Bak pengolah yang merupakan
reaktor anaerob dibuat dengan volume 6000 mL dan dimensi dengan ukuran
panjang 20 cm, lebar 15 cm dan tinggi 20 cm. Pada bak pengolah ini diisi 1500 g
limbah jerami dan 4000 g batu vulkan (sebagai media tumbuh biofilm), sehingga
volume efektif reaktor adalah 3000 mL. Pengolahan limbah dilakukan secara
anaerob dengan menggunakan sistem curah (batch). Imobilisasi bakteri pereduksi
sulfat dilakukan dengan membiarkan kolom dalam kondisi anaerob selama 14 hari
sehingga terbentuk biofilm. Pengamatan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat
yang menempel pada permukaan batu vulkan dilakukan dengan menggunakan
metode Scanning Electron Microscopy (SEM). Pengolahan limbah secara anaerob
dilakukan dengan 3 perlakuan, yaitu (1) jerami padi (sebagai kontrol), (2) jerami
padi dan ICBB 8815, dan (3) jerami padi dan ICBB 8818.
Dari penelitian ini diperoleh bahwa kondisi kolam penampungan yang
banyak mengandung sulfat dan pH rendah merupakan habitat yang sesuai untuk
pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Namun demikian kelompok bakteri tersebut
mempunyai karakteristik yang berbeda, dilihat dari waktu tumbuh dan
kemampuan mereduksi sulfat. Dari kegiatan isolasi ini diperoleh empat si olat
unggul bakteri pereduksi sulfat yang mampu tumbuh pada pH 3. Keempat isolat
tersebut tergolong dalam kelompok Desulfovibrio sp., bakteri yang berbentuk
batang, motil, tidak membentuk spora dan menggunakan laktat sebagai sumber
organik.
Aktivitas bakteri dalam mereduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Bakteri Desulfovibrio sp. dapat tumbuh pada pH rendah, namun pH
optimum untuk pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat adalah 5-7, dan mampu
mereduksi sulfat dengan tingkat efisiensi 82-90%. Kebutuhan laktat sebagai
sumber organik untuk aktivitas bakteri dapat dipenuhi dari bahan organik yang
mudah terlapuk.
Penggunaan reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi mampu mengurangi
kandungan sulfat dan logam terlarut limbah air asam tambang, namun diperlukan
waktu yang lama. Dalam waktu 30 hari kandungan sulfat berkurang sebesar
89%, kandungan logam terlarut berkurang 97% dan pH meningkat menjadi 7.
Pengolahan limbah air asam tambang menggunakan reaktor biofilm bakteri
pereduksi sulfat lebih efisien dibandingkan dengan reaktor bakteri pereduksi sulfat
v
tersuspensi. Pengolahan limbah dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat
selama 144 jam mampu menurunkan kandungan sulfat sebesar 77,16%; Mn
terlarut berkurang sebesar 88,72% dan Fe terlarut berkurang sebesar 69,72%.
Dengan kandungan sulfat awal sekitar 950 mg/L, untuk menurunkan kandungan
sulfat dalam limbah air asam tambang sesuai dengan peraturan pemerintah
diperlukan waktu sekitar 68-80 jam.
vi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh kara tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepenttingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut
Pertanian Bogor
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor
vii
PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG MENGGUNAKAN
BIOFILM BAKTERI PEREDUKSI SULFAT
MUCHAMAD YUSRON
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
viii
Judul Disertasi : Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Biofilm
Bakteri Pereduksi Sulfat
Nama : Muchamad Yusron
NRP : P062050211
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng
Anggota Anggota
Diketahui :
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan keha dirat Allah Yang Maha Kuasa yang
telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Pengolahan Air
Asam Tambang Menggunakan Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat”. Disertasi
ini merupakan salah satu syarat penyelesaian pendidikan program Doktor (S3)
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
1. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc. dan Dr. Ir.
Anas Miftah Fauzi, M.Eng. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing
yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sejak penyusunan
proposal, pelaksanan penelitian hingga selesainya penyusunan disertasi ini.
3. Ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Dwi
Andreas Santosa yang telah menyediakan bahan penelitian dan peralatan
laboratorium sehingga penulis dapat menyelesaikan keseluruhan tahapan
penelitian.
4. Perusahaan tambang batu bara PT. Bukit Asam, Muara Enim yang telah
mengijinkan penulis melakukan penelitian selama di lapang dan menyediakan
limbah air asam tambang.
x
7. Istri tercinta Erliza Noor yang selalu dengan sabar memberikan dorongan,
semangat dan doa yang tiada hentinya. Untuk kedua anak saya Faisal Rifqi
dan Raihan Rifqi terima kasih banyak atas pengertian, kesabaran dan doanya.
Akhirnya penulis berharap agar karya ilmiah ini dapat bermanfaat yang
yang membaca dan membutuhkan informasi yang berkaitan dengan disertasi ini.
Muchamad Yusron
xi
RIWAYAT HIDUP
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xv
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
Kerangka Pemikiran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
Novelty . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
Limbah Air Asam Tambang ........................... .... 10
Teknik Remediasi Air Asam Tambang ....................... 14
Bakteri Pereduksi Sulfat .................................. 19
Teknologi Biofilm ....................................... 28
Pembentukan Biofilm .................................... 29
xiii
Pengolahan Air Asam Tambang dengan Bioreaktor Biofilm Bakteri 69
Pereduksi Sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
KESIMPULAN DAN SARAN ................................. 82
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 84
LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xvi
21. Pola pertumbuhan tiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada reaktor 65
bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
22. Penurunan konsentrasi sulfat pada limbah air asam tambang pada 66
reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
23. Peningkatan sulfida yang terbentuk pada reaktor bakteri pereduksi 67
sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
24 Peningkatan pH limbah air asam tambang pada reaktor bakteri 68
pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
25. Penurunan konsentrasi logam terlarut limbah air asam tambang pada 69
reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
26. Foto permukaan batu vulkan hasil pengamatan dengan scanning 71
electron microscopy perbesaran 10.000x. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
27. Grafik penurunan konsentrasi sulfat dan produksi sulfida pada 74
reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
28. Grafik kenaikan pH limbah air asam tambang pada reaktor biofilm 75
bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29. Grafik peningkatan COD limbah air asam tambang pada reaktor 76
biofilm bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
30. Grafik penurunan konsentrasi logam terlarut limbah air asam 78
tambang dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . .
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xviii
21. Data pengamatan penurunan Fe dan Mn terlarut pada reaktor BPS 112
tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
22. Data pengamatan penurunan konsentrasi sulfat dalam reaktor biofilm 113
BPS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
23. Data pengamatan peningkatan konsentrasi sulfida dalam reaktor 114
biofilm BPS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
24. Data pengamatan kenaikan pH dalam reaktor biofilm BPS . . . . . . . 115
25. Data pengamatan penurunan Mn terlarut dalam reaktor biofilm BPS 116
26. Data pengamatan penurunan Fe terlarut dalam reaktor biofilm BPS 117
xix
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama empat dekade terakhir industri tambang menjadi salah satu tulang
punggung perkembangan ekonomi dan sosial di Indonesia. Hasil survei industri
pertambangan Indonesia yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers tahun
2002 (Wahju, 2003) memperlihatkan bahwa total kontribusi industri
pertambangan terhadap ekonomi nasional tahun 2001 sebesar Rp. 14,3 triliun dan
memberikan kontribusi terhadap perkembangan regional dan masyarakat
sebesar Rp. 279 miliar. Pada tahun 2004 produksi batu bara Indonesia mencapai
127 juta ton dan meningkat menjadi 150 juta ton pada tahun 2005. Dengan
produksi sebesar itu pada tahun 2004 Indonesia mampu mengekspor batubara
lebih dari 95 juta ton. Dari data yang ada saat ini, sumber batu bara (resources)
sebanyak 57,8 milyar ton. Dari jumlah tersebut hanya 7 milyar ton yang
merupakan cadangan pasti. Sebagian besar cadangan tersebut hanya tersebar di
Sumatera Selatan (37 persen), Kalimantan Timur (35 persen) dan Kalimantan
Selatan (26 persen).
Industri pertambangan merupakan industri yang mendukung pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga menyebabkan perubahan lingkungan. Industri pertambangan
mempunyai potensi besar untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama
untuk daerah terpencil. Industri pertambangan dikenal sebagai industri pionir
karena investasi pertambangan memerlukan pembangunan infrastruktur yang
mampu membuka suatu wilayah dari isolasi geografis. Disisi lain industri
pertambangan juga merupakan industri yang dapat menimbulkan perubaha n
lingkungan secara drastis, sehingga dapat mengancam kelestarian fungsi
lingkungan dan fungsi sosial kehidupan masyarakat. Banyak sekali bukti
pencemaran lingkungan sebagai akibat kegiatan pertambangan.
Salah satu pencemaran lingkungan yang terjadi akibat aktifitas
pertambangan adalah air asam tambang. Air asam tambang terjadi karena adanya
proses oksidasi bahan mineral pirit (FeS2 ) dan bahan mineral sulfida lainnya.
Bahan mineral tersebut tersingkap ke permukaan tanah dalam proses pengambilan
bahan mineral tambang. Proses oksidasi tersebut terjadi dengan adanya mineral
2
pirit, air dan oksigen. Seperti diketahui deposit mineral batubara mengandung 1-
20 persen bahan pirit-sulfur dan sulfur organik (Johnson dan Hallberg, 2005).
Proses kimia dan biologi dari bahan-bahan mineral pirit tersebut
menghasilkan ion sulfat dengan tingkat kemasaman yang tinggi, atau yang lebih
dikenal dengan air asam tambang (Acid Mine Drainage). Air asam tambang
tersebut kemudian menyebar masuk ke tanah-tanah di sekitarnya dan bahkan
masuk ke aliran air sungai. Tingkat kemasaman yang tinggi pada limbah air asam
tambang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas
lingkungan dan kehidupan organisme. Sebagian besar tumbuhan dan hewan tidak
mampu hidup pada pH rendah, sehingga merusak keragaman ekosistem, dan
hanya mikroorganisme asidofil yang mampu bertahan dan hidup pada pH rendah
(Ingledew, 1990).
Tingkat kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam- logam
berbahaya, seperti As, Cd, Cr, dan Pb, yang sering berasosiasi dengan mineral
pirit (Sobolewski, 1999). Meningkatnya kelarutan logam- logam tersebut sangat
membahayakan organisme air, karena akan berakibat pada keracunan dan bahkan
dapat menyebabkan kematian hewan air. Oleh karena itu, peningkatan kelarutan
logam berbahaya tersebut akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem.
Keberadaan logam terlarut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan
kelangsungan hidup di lingkungan. Walaupun pada konsentrasi yang sangat
rendah efek ion logam terlarut dapat berdampak langsung ataupun terakumulasi
dalam rantai makanan (Suhendrayatna, 2001). Logam terlarut tersebut dapat
ditransfer dengan jangkauan yang sangat jauh di lingkungan, berpotensi
mengganggu kehidupan biota lingkungan dan pada akhirnya berpengaruh
terhadap kesehatan manusia.
Sampai saat ini limbah tambang di Indonesia, baik dalam bentuk air asam
tambang maupun limbah tailing, belum dikelola dengan baik, sehingga potensi
pencemaran lingkungan tanah dan sistem perairan darat sangat besar.
Pembentukan air asam tambang di Indonesia cukup tinggi, mengingat 95%
tambang di Indonesia adalah tambang terbuka dan intensitas hujan sangat tinggi.
Di daerah pertambangan batu bara di Kalimantan, walaupun tidak ada data yang
pasti, namun kondisi di lapang memperlihatkan pencemaran limbah air asam
3
tambang yang cukup luas. Namun demikian, sampai saat ini belum ada data
kuantitatif dampak kerusakan lingkungan sebagai akibat limbah air asam
tambang.
Tabel 1. Beberapa hasil studi penggunaan biofilm dalam pengolahan air asam tambang
Bakteri Tipe Carrier Suhu pH Laju alir Konsentrasi Waktu Laju Laju
reaktor *) matrix/sumber (oC) (mL/jam) sulfat awal tinggal pengisian reduksi Pustaka
organik (g/L) (jam) (g/L/jam) (g/L/jam)
Kultur campuran UPBR Pasir/laktat 25 4,5 156,6 2,5 16,2 0,155 0,02 Jong dan Parry,
(4,78 L) 2003
Campuran mulsa UPBR Pasir + pirit + - 6,46 - 3,66 - - 0,005 Waybrant et al.,
dan limbah gergaji (0,785 L) bahan organik 2002
Campuran UPBR Keramik berpori - 2,9 - - 2,0 12,0 0,167 0,132 Glombitza,
(0,85 L) /etanol 3,2 2001
Campuran UPBR (3,9 Batuan lava - 2,9 - - 1,97 4,2 0,469 0,271 Glombitza,
m3 ) /methanol 3,2 2001
Pupuk kandang UPBR Pupuk kandang 23-26 4,2 180 0,9 6,6 0,136 0,072 Tsukamoto dan
(7,85 L) /methanol Miller, 1999
Campuran UPBR Pasir/laktat - 4,5 36 1,484 21,8 0,068 0,031 Elliot et al.,
(2,515 L) 1998
Desulfovibro UPBR Pasir/laktat 25 7 65 0,9 6,5 0,138 0,015 Chen et al.,
desulfuricans (1,18 L) 1994
sering terjadi pada saat substrat sumber energi mikroorganisme berada dalam
jumlah yang kurang mencukupi (Marshal, 1998), sehingga mampu memanfaatkan
keterbatasan tersebut secara efisien. Donian (2002) mendefinisikan biofilm
sebagai sekumpulan sel mikrob yang berasosiasi dan menempel pada matriks
padatan terutama bahan-bahan polisakarida, serta bahan-bahan lain seperti
partikel batuan, mineral kristal, dan lain- lain. Pembentukan biofilm tersebut
menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi aktivitas mikrob (Santegoeds,
et al., 1998). Oleh karena itu, pembentukan dan pemanfaatan biofilm bakteri
pereduksi sulfat akan meningkatkan efektivitas bakteri dalam meningkatkan pH
dan mengendapkan logam berbahaya dalam limbah air asam tambang.
Berdasarkan permasalahan, secara ringkas permasalahan dan upaya yang
dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif limbah air asam tambang
disajikan pada Gambar 1.
AIR ASAM
TAMBANG
REMEDIASI
BAKTERI
PEREDUKSI SULFAT
REMEDIASI
ABIOTIK REMEDIASI
BIOLOGI
BIOFILM BAKTERI
PEREDUKSI SULFAT
LIMBAH RAMAH
LINGKUNGAN
1.5 Hipotesis
Sesuai dengan tujuan masing- masing tahapan kegiatan, maka hipotesis
penelitian secara keseluruhan adalah :
1. Kolam penampungan limbah air asam tambang di daerah pertambangan
batu bara merupakan habitat yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri
pereduksi sulfat.
9
1.7. Novelty
Teknik pengolahan limbah air asam tambang dengan menggunakan biofilm
bakteri pereduksi sulfat, dengan memanfaatkan batu vulkan sebagai matriks
pembawa dan limbah jerami padi sebagai sumber karbon organik.
10
Proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob
pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans dan L. ferrooxidans. T. ferrooxidans
mampu memanfaatkan Fe3+ untuk mengoksidasi senyawa sulfur, tetapi laju
oksidasi sulfur tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan oksidasi Fe2+
(Lizama dan Suzuki, 1989). Laju oksidasi FeS2 akan dipercepat dengan adanya
Fe3+ dan bakteri T. ferrooxidans (Fowler et al., 1999). Hossner dan Doolittle
(2003) mengemukakan bahwa dengan adanya aktivitas bakteri pengoksida, laju
oksidasi meningkat sampai 106 kali lipat, sedang Schrenk et al. (1998)
mengemukakan bahwa percepatan laju pelarutan pirit ole h bakteri mencapai 10-5
µmol Fe per sel per hari pada pH 0,7 dan suhu 42o C.
Keberadaan bakteri pengoksida Fe dan sulfur sangat mempengaruhi laju
oksidasi mineral pirit. Sand dan Gehrke (2006) mengemukakan bahwa bakteri
pengoksida T. ferrooxidans tidak ha nya mampu meningkatkan laju oksidasi pirit
melebihi laju oksidasi yang terjadi secara kimia, tetapi bakteri T. ferrooxidans
juga mampu berinteraksi langsung dengan mineral melalui sekresi ektraselular
atau melalui oksidasi dengan enzim spesifik mineral sulfida yang ada di
permukaan dinding sel, dengan mengikuti persamaan seperti di bawah ini
FeS2 + H2 O + 7/2O2 bakteri Fe2+ + 2SO4 2- + 2H+
Proses pelarutan dan oksidasi mineral oleh bakteri terjadi melalui
singgungan langsung bakteri dengan permukaan partikel mineral. Naveke (1986)
menggambarkan pentingnya peran bakteri dalam proses pelarutan dan oksidasi
pirit seperti pada Gambar 2. FeS2 akan terurai menjadi Fe2+ dan S2-. Selanjutnya
bakteri T. ferrooxidans akan berperan dalam mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+
seperti disajikan pada Gambar 3(a). T. ferrooxidans mengoksidasi Fe2+ untuk
menghasilkan energi yang kemudian dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan per-
kembangan sel bakteri. Sedangkan S2- atau S0 dioksidasi menjadi SO4 2- oleh T.
ferrooxidans bersama-sama denga n T. thiooxidans, seperti pada Gambar 3.
Proses oksidasi S2- menjadi SO4 2- mengikuti reaksi berikut,
S2- à So à S2O32- à S4 O6 2- à SO32- à SO42-
13
(a)
(b)
Gambar 3. Proses oksidasi besi dan sulfur oleh bakteri Thiobacillus sp.
dimana MS adalah logam sulfida dan M2+ adalah ion logam bervalensi 2. Ion
Fe2+ dan S0 akan teroksidasi oleh T. ferrooxidans membentuk Fe3+ dan SO4 2-.
Terbentuknya ion sulfat sangat mempengaruhi kemasaman lingkungan.
Pada pH 2.5 sampai 3.5, sulfat akan melarutkan ion- ion logam dari bentuk
karbonat dan oksidanya dan relatif rendah terhadap logam sulfida (Greenberg et
al., 1992). Disamping itu, adanya ion Fe3+ yang merupakan pengoksida kuat
mampu melarutkan mineral- mineral logam sulfida, seperti timbal, tembaga, seng
dan kadmium, seperti persamaan berikut :
MS + 2Fe3+ à M2+ + S2- + 3Fe2+
Melalui reaksi tersebut, logam- logam berat dalam mineral sulfida akan
teroksidasi menjadi ion logam yang terlarut (Leduc dan Ferroni, 1994). Dengan
adanya kandungan sulfat dan logam yang terlarut menyebabkan limbah air asam
tambang sangat berbahaya bagi kehidupan flora dan fauna, serta ekosistem secara
keseluruhan (Downing, 2002).
Tingkat kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam- logam
berbahaya, seperti As, Cd, Cr, Pb, dan Se. Meningkatnya kelarutan logam- logam
tersebut akan sangat membahayakan organisme air, karena akan berakibat pada
keracunan dan bahkan dapat menyebabkan kematian hewan air. Dengan
demikian, peningkatan kelarutan logam berbahaya tersebut akan mempengaruhi
keseimbangan ekosistem.
Tingkat kemasaman yang tinggi pada limbah air asam tambang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas lingkungan dan
kehidupan organisme. Sebagian besar tumbuhan dan hewan tidak mampu hidup
pada pH rendah, dan hanya mikroorganisme asidofil yang mampu bertahan dan
hidup pada pH rendah (Ingledew, 1990). Sampai saat ini limbah air asam
tambang ini belum dikelola dengan baik, sehingga mencemari sistem perairan
darat, dan bahkan mencemari perairan pesisir dan laut.
direduksi, seperti nitrat, proses ini tidak banyak berpengaruh terhadap proses
pembentukan dan pengolahan air asam tambang.
Mikroorganisme yang mampu melakukan fotosintesis akan memanfaatkan
basa lemah (bikarbonat) dan menghasilkan basa kuat (ion hidroksil) seperti
persamaan berikut ini,
6HCO3 - + 6H2O à C6 H12 O6 + 6O2 + 6OH-
Reduksi ion Fe3+ yang terlarut tidak menurunkan kemasaman larutan, sedangkan
reduksi senyawa Fe3+ dalam bentuk padatan akan mempengaruhi kemasaman
larutan, dengan mengikuti persamaan di bawah ini,
Fe(OH)3 + 3H+ + e- à Fe2+ + 3H2 O
dimana e- adalah donor elektron yang diperoleh dari bahan organik. Bakteri yang
mengkatalisis proses reduksi sulfat menjadi sulfida akan menghasilkan kondisi
alkalin dengan mengubah asam kuat (H2 SO4 ) menjadi asam yang lebih lemah
(H2 S) seperti persamaan berikut ini,
SO42- + 2CH2 O + 2H+ à H2 S + 2H2 CO3
H2 S dan 2H2 CO3 yang terbentuk selama proses reduksi SO4 2- dalam larutan akan
berkeseimbangan dengan senyawa H2 S, HS -, S2-, CO2 , HCO3 - dan CO32-.
Senyawa tersebut merupakan penyangga sehingga kemasaman larutan menjadi
netral atau agak basa.
Peningkatan nilai pH memperbaiki kondisi air asam tambang. Disamping
itu, proses reduksi SO4 2- merupakan mekanisme penting untuk menghilangkan
logam dari air asam tambang. Logam- logam tersebut akan bereaksi dengan
sulfida membentuk logam sulfida yang tidak larut, seperti persamaan berikut,
Zn2+ + H2 S à ZnS + 2H+
Dari semua teknik bioremediasi sistem pasif, lahan basah buatan dan
bioreaktor kompos merupakan dua teknik yang telah digunakan dalam sistem
pengolahan air asam tambang skala besar. Kelebihan utama dari sistem
pengolahan pasif adalah biaya pemeliharaan relatif murah, dan limbah padat dari
proses remediasi berupa endapan yang ada dalam sistem lahan basah. Namun
demikian sistem ini juga mempunyai kelemahan seperti membutuhk an lahan yang
cukup luas dan hasil yang terkadang tidak pasti seperti pada sistem pengolahan
secara kimiawi (Johnson dan Hallberg, 2005).
18
menjadi media tumbuh bagi tanaman lahan basah dan sumber energi bagi
pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Bakteri tersebut juga menghasilkan kondisi
alkalin melalui proses oksidasi bahan organik dan memanfaatkan energi yang
dihasilkan untuk reduksi sulfat. Reaksi pelepasan alkalin oleh bahan kapur dan
reduksi sulfat dengan adanya asetat sebagai senyawa organik digambarkan pada
persamaan reaksi berikut ini,
CaCO3 + H+ à Ca2+ + HCO3 -
SO42- + CH3 COO - à H2 O + CO2 + HCO3- + S2-
Dengan adanya aliran air asam tambang melalui bahan organik
menyebabkan kondisi anoksik. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan bakteri
pereduksi sulfat dan menghasilkan sulfida. Pada kondisi tidak ada oksigen bebas ,
oksidasi logam akan berjalan lebih lambat sehingga pembentukan logam
oksihidroksida juga lambat dibandingkan dengan kondisi aerob. Hilangnya logam
terjadi melalui pengendapan dalam bentuk logam sulfida, sebagian diserap oleh
tanaman, dijerap dalam bentuk bahan organik dan dalam bentuk logam hidroksida
dan logam oksihidroksida (Wouls dan Ngwenya, 2004). Kelemahan dari sistem
ini adalah terjadinya pelapisan batu kapur oleh logam hidroksida dan logam
oksihidroksida yang mengendap. Disamping itu, sistem ini membutuhkan area
yang cukup luas.
sulfat (SO4 2-), tiosulfat (S2 O32-) dan sulfit (SO3 2-) sebagai akseptor elektron
terminal dalam respirasi metabolismenya, yang kemudian direduksi menjadi
sulfida. Disamping itu, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bakteri pereduksi
sulfat juga memerlukan susbtrat organik – umumnya asam organik rantai pendek
– seperti asam laktat dan piruvat, yang dihasilkan oleh aktivitas fermentasi bakteri
anaerob lainnya. Bakteri pereduksi sulfat merupakan heterotrof anaerob. Sampai
saat ini telah dikenal lebih dari 10 genus bakteri pereduksi sulfat. Bakteri
pereduksi sulfat yang dikenal dan ditemukan secara luas di alam antara lain adalah
Desulfovibrio dan Desulfotomaculum (Moodie dan Ingledew, 1991).
Berdasarkan cara penguraian asam organik, bakteri pereduksi sulfat dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok (Kleikemper et al., 2002). Kelompok
pertama mengoksidasi senyawa donor secara tidak sempurna, dan menghasilkan
senyawa asetat. Kelompok Desulfotomaculum yang membentuk spora dan
Desulvofibrio yang tidak membentuk spora merupakan bakteri yang mengoksidasi
senyawa organik secara tidak sempurna. Kelompok kedua mampu tumbuh
menggunakan alkohol, asetat, asam lemak berbobot molekul tinggi, dan benzoat,
seperti Desulfotomaculum acetoxidans, Desulfobacter, Desulfococcus,
Desulfosacrina dan Desulfonema (Detmers et al., 2001). Beberapa spesies dan
genus bakteri anaerob dapat bertahan sementara dengan adanya oksigen, namun
membutuhkan lingkungan anaerob (tanpa oksigen) untuk pertumbuhannya.
juga berfungsi sebagai sumber energi. Skema proses metabolisme reduksi sulfat
dan pemanfaatan sumber karbon disajikan pada Gambar 4. Pada tahap awal
sumber karbon akan dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut
dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Pada kondisi dimana
hidrogen dipergunakan sebagai donor elektron, maka CO2 akan dimanfaatkan
sebagai sumber karbon. Beberapa sumber karbon yang dapat dipergunakan oleh
bakteri pereduksi sulfat disajikan pada Tabel 2.
ADP ADP
ADP ATP
Menghasilkan
elektron
Flovoproteins, sitochrome C3, dll.
ATP ATP
menghasilkan ATP
Tabel 2. Donor elektron dan sumber karbon bakteri pereduksi sulfat (Hansen,
1988)
Asam amino Lisin, serin, sistin, treonin, valin, leusin, isoleusin, aspartat,
glutamat, fenolalanin
Lain-lain Kolin, furfural, oksamat, fruktosa, benzoat, 2-, 3-, dan 4-OH-
benzoat, sikloheksan karbonat, hipurat, asam nikotin, indol,
antranilat, quinolin, fenol, p-cresol, katechol, resorcinol,
hidroquinin, protokatechuat, floroglusinol, pirogalol, 4-OH-
fenilasetat, 3-fenilpropionat, 2-aminobenzoat, dihydroksiaseton
Mekanisme lain adalah yang diusulkan oleh Odom dan Peck (1981).
Mekanisme ini merupakan model siklus hidrogen yang dimanfaatkan oleh bakteri
yang hidup dengan laktat sebagai sumber karbon organik (Gambar 6). Elektron
dari laktat akan digunakan oleh hidrogenase sitoplasma untuk menghasilkan
hidrogen yang dapat melewati membran sel dan digunakan oleh dehidrogenase
periplasma. Proton yang dihasilkan akan tetap berada di periplasma, sedangkan
elektron ditransfer keluar membran sel untuk mereduksi sulfat.
Tabel 3. Data termodinamika oksidasi beberapa sumber karbon dan energi selama reduksi sulfat secara biologi (Postgate, 1984).
? Go
Reaksi Tipe
(Kcal/reaksi;
Kcal/mole SO4 2-)
2 CH5 COCOO- (laktat) + SO4 2- à 2CH3 COO- + 2CO2 + 2H2 O + S2- - 33,60
Oksidasi tidak sempurna
2C4 H4 O5 2- (malat) + SO4 2- à 2CH3 COO- + 2CO2 + 2 HCO3 - + S2- - 43,30
a pKa(7.0) pKa(12.9)
H2 S (g) H2 S (l) HS- S2- (Lens et al., 1998)
dimana HS - terbentuk pada pH netral, S2- terbentuk pada pH tinggi dan bersifat
terlarut, sedang H2 S terbentuk pada pH rendah dan bersifat tidak terlarut. Ion
sulfida (S2-) yang terbentuk akan bereaksi dengan ion logam terlarut untuk
membentuk lo gam sulfida yang tidak larut mengikuti persamaan berikut,
M2+ + S2- MS (s)
2+
dimana M adalah kation logam bervalensi dua.
Proses reduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh beberapa kondisi, antara lain
waktu tinggal, pH, suhu, oksigen terlarut, dan potensial redoks. Bakteri pereduksi
sulfat adalah bakteri anaerob obligat yang membutuhkan lingkungan mikro
anaerob dengan nilai potensial redoks < -100 mV. Willow dan Cohen (2003)
mengemukakan bahwa pH optimal bagi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat
berkisar antara 5 sampai 8, sedang Suyasa (2002) memperoleh bahwa bakteri
pereduksi sulfat yang diisolasi dari ekosistem air hitam Kalimantan mampu
menyesuaikan diri pada pH 2.5, dan menunjukkan pertumbuhan yang pesat pada
kisaran pH antara 4 dan 7.
28
aliran yang lebih tinggi (Hrenovic et al., 2005). Kondisi ini yang memungkinkan
bahwa teknologi biofilm mampu meningkatkan efisiensi bioremediasi. Masak et
al. (2003) membuktikan bahwa dengan menggunakan teknik biofilm laju
penghilangan meningkat secara signifikan.
Melihat keunggulan biofilm, teknologi ini telah banyak diterapkan pada
pengendalian pencemaran lingkungan, terutama untuk menguraikan senyawa
organik menjadi senyawa anorganik, seperti penguraian pentan dengan
menggunakan Arthrobacter sp. (Ionata et al., 2005), penguraian limbah toluen
(Di Lorenzo et al., 2005), remediasi limbah merkuri (von Canstein et al., 2001),
serta dalam pencemaran lingkungan lainnya.
Kegiatan Pertama
Eksplorasi dan identifikasi bakteri pereduksi sulfat
Kegiatan Kedua
Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai kondisi
lingkungan
Kegiatan Ketiga
Pengolahan air asam tambang dengan reaktor anaerob bakteri
pereduksi sulfat tersuspensi
Kegiatan Keempat
Pengolahan air asam tambang dengan reaktor biofilm bakteri
pereduksi sulfat
secara perlahan- lahan sampai penuh dan ditutup rapat. Media tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 35 o C.
Tumbuhnya bakteri pereduksi sulfat ditandai dengan berubahnya media
menjadi berwarna hitam (dengan terbentuknya sulfida) yang menunjukkan
aktivitas bakteri pereduksi sulfat. Pengamatan dilakukan saat perubahan warna
hingga seluruh media berwarna hitam. Isolat yang tumbuh diberi skor tingkat
kepekatan wana hitamnya.
3.2.1.2. Pemurnian
Pemurnian isolat dilakukan dengan metode pengenceran (Tauro et al.,
1986). Isolat yang diperoleh dikocok dengan vorteks hingga terbentuk suspensi.
Tingkat pengenceran sepuluh kali dilakukan dengan memindahkan secara aseptik
1 mL suspensi mikrob ke dalam tabung yang berisi 9 mL larutan fisiologi 0,85%
lalu dihomogenisasi. Suspensi tersebut diencerkan lebih lanjut dengan cara yang
sama hingga pada tingkat pengenceran 1012 . Suspensi pada tingkat pengenceran
terakhir dipindahkan secara aseptik sebanyak 1 mL ke dalam tabung ulir yang
telah berisi media cair steril 1/3 bagian, lalu media ditambahkan secara perlahan-
o
lahan hingga penuh dan ditutup rapat dan diinkubasi pada suhu 35 C.
Pengamatan dilakukan terhadap waktu pertumbuhan biakan mulai dari munculnya
warna hitam hingga seluruh tabung menghitam. Isolat yang tumbuh pada tingkat
pengenceran terakhir diindikasikan sebagai biakan dengan satu jenis sel bakteri
pereduksi sulfat.
3.2.1.3. Seleksi
Seleksi dilakukan dengan pembiakan isolat murni dalam media cair dengan
kandungan sulfat masing- masing 500 mg/L dengan variasi pH dari 6, 4, dan 3.
Sebanyak 1 mL suspensi mikrob dipindahkan secara aseptik ke dalam tabung ulir
yang telah berisi 1/3 bagian media cair (500 mg/L sulfat dengan pH 6), kemudian
ditambahkan media perlahan-lahan hingga penuh dan diinkubasi pada suhu 35 o C.
Perlakuan yang sama dilakukan terhadap semua isolat yang dikarakterisasi
dengan variasi pH. Pada hari ke 21 dilakukan pengukuran sisa sulfat dan pH
34
larutan. Isolat yang dipilih adalah yang mampu tumbuh pada pH rendah dengan
kemampuan mereduksi sulfat dan meningkatkan pH media yang tinggi.
3.2.1.4. Identifikasi
Identifikasi dilakukan hanya pada isolat yang dianggap unggul. Identifikasi
dilakukan dengan media padat maupun media cair. Untuk penentuan tipe
morfologi, pewarnaan Gram dan pewarnaan spora isolat diambil dari biakan
media padat. Masing- masing isolat ditumbuhkan pada media selektif pada
dengan komposisi hara yang sama dengan media cair. Sebanyak 1 mL suspensi
mikrob dipindahkan secara aseptik dengan mikropipet ke dalam cawan petri yang
telah berisi media padat steril. Suspensi mikrob disebar secara merata di
permukaan media, kemudian dimasukkan ke dalam tabung anaerob yang
o
dilengkapi dengan gaspak dan indikator. Biakan diinkubasi pada suhu 35 C
selama lebih dari 7 hari.
Setiap koloni yang tumbuh dipindahkan secara aseptik ke dalam agar miring
dan diinkubasi secara anaerob. Koloni yang tumbuh dibiakkan lagi ke dalam
media cair dengan cara yang sama. Isolat tersebut diidentifikasi lebih lanjut
dengan uji fisiologis dan biokimia. Karakterisasi fisio logis dan biokimia
dilakukan dengan berpedoman pada Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology (Holt et al., 1994).
Identifikasi bakteri dilakukan dengan menggunakan metode sebagai
berikut :
a. Pewarnaan Gram
Bakteri dari isolat yang diuji dioleskan pada kaca obyek. Olesan difiksasi
panas secara hati- hati, selanjutnya diwarnai dengan pewarna ungu kristal
selama satu menit lalu dibilas dengan akuades. Pewarnaan selanjutnya
adalah dengan yodium selama dua menit sebelum dibilas dengan etanol
95% selama 30 detik dan dicuci dengan aquades. Selanjutnya olesan
diwarnai dengan safranin selama 30 detik, kemudian kelebihan warna
dibilas sebelum diamati di bawah mikroskop. Gram positif akan berwarna
biru atau ungu, sedang Gram negatif akan berwarna merah muda.
35
b. Pewarnaan spora
Olesan isolat yang diuji disiapkan pada kaca obyek, lalu difiksasi panas.
Selanjutnya diakukan pewarnaan dengan hijau malakit dan dipanasi secara
hati-hati selama 10 menit. Olesan didinginkan dan dibilas dengan aquades
sebelum diwarna i dengan safranin selama satu menit. Sisa air kemudian
ditiriskan dan diamati di bawah mikroskop. Jika biakan membentuk spora
akan berwarna hijau dan sel vegetatif berwarna merah muda.
c. Pengujian karakter fisiologi dan biokimia
Untuk menentukan genus bakteri pereduksi sulfat dari isolat yang diperoleh
dilakukan pengujian karakter fisiologis dan biokimia dengan berpedoman
pada Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Pemanfaatan bahan
organik oleh bakteri ditentukan dengan pembiakan isolat pada media dengan
kandungan bahan organik tertentu untuk melihat kemampuan bakteri
memanfaatkan bahan organik. Pengamatan dilakukan dengan melihat
kemampuan tumbuh bakteri pada media tersebut.
tersuspensi seperti pada Gambar 8. Kolom dibuat dari kaca dengan ukuran
panjang 10 cm, lebar 15, dan tinggi 20 cm, sehingga total volume kolom 3000
mL. Limbah asam tambang dimasukkan ke dalam kolom bersama-sama dengan
ditambahkan nutrisi starter berupa asam laktat sebanyak 10 mL/L limbah dan
isolat bakteri pereduksi sulfat yang telah ditumbuhkan. Tiga isolat yang
digunakan dalam percobaan ini adalah isolat yang mampu tumbuh pada pH 3 dan
mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi.
Bak Keran
Pengisi
Penampung gas
Reaktor anaerob
Bak penampung
merupakan reaktor anaerob dibuat dengan volume 6000 mL dan dimensi dengan
ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm dan tinggi 20 cm. Pada bak pengolah ini diisi
1500 g limbah jerami dan 4000 g batu vulkan, sehingga volume efektif reaktor
adalah 3000 mL, seperti pada Gambar 9.
Bak Keran
Pengisi
Penampung gas
diukur dari pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat yang ditandai dengan perubahan
warna media (hitam).
Efisiensi masing- masing isolat diuji pada tiap-tiap pengamatan didasarkan pada
masa inkubasi sebagai berikut :
(A – B)
Efisiensi = x 100%
A
A = nilai sebelum proses
B = nilai sesudah proses
Dari hasil pengamatan efektivitas dilakukan analisis sidik ragam dan uji Duncan.
Perbandingan parameter yang ditetapkan ditunjukkan dengan kurva dan diagram.
1. PIT G 1-1 20 +
2. PIT G 3-1 20 +
3. PITG 3-2 12 ++
4. ALP1 21 +
5. ALP2 13 ++
6. ALP3 9 +++
7. SALURAN ALP 20 +
8. KPL 4-1 13 ++
9. KPL 4-2 7 ++++
10. TOWER 4-1 6 ++++
11. TOWER 4-2 7 +++
12. KTU-1 6 ++++
13. KTU-2 22 +
14. TUPAK 1 19 +
15. TUPAK 2 21 +
16. TUPAK 3 9 +++
17. LINTANG 1 9 ++
18. LINTANG 2 9 ++
19. KANDIS 1 18 +
20. KANDIS 2 18 +
21. KANDIS 3 16 +
22. KANDIS 4 19 +
23. KPL MERE 1 14 +
24. KPL MERE 2 8 ++
25. LIMAU TEMBE 1 12 +
26. LIMAU TEMBE 2 9 +++
Keterangan :
+ = hitam tipis di bagian bawa +++ = hitam merata
++ = hitam tipis hampir merata ++++ = hitam pekat merata
44
Tabel 5. Nilai pH dan kandungan SO4 2- contoh air asam tambang di Muara Enim,
Sumatera Selatan
a b c
Gambar 10. Indikasi terjadinya reduksi sulfat oleh bakteri pereduksi sulfat hasil
isolasi di kolam penampungan limbah air asam tambang di Muara
Enim, Sumatera Selatan : (a) kontrol, (b) hitam tipis hampir merata
dan (c) hitam pekat merata. Warna hitam menunjukkan endapan
logam sulfida yang terbentuk dari hasil reduksi sulfat menjadi
sulfida.
45
ICBB 8818 yang mencapai 91,79% pada pH 6, tetapi hanya sebesar 84,28% pada
pH 3. Pada pH 3 total sulfat yang tereduksi oleh 6 isolat yang mampu tumbuh
berkisar antara 71,47% sampai 84,28%.
Tabel 7. Kemampuan reduksi sulfat isolat murni bakteri pereduksi sulfat pada
konsentrasi sulfat 500 mg/L dan pH awal 3, 4 dan 6
pH 6 pH 4 pH 3
Isolat
pH SO42- % pH SO42- % pH SO42- %
(mg/L) Reduksi (mg/L) Reduksi (mg/L) Reduksi
ICBB 8818 8,32 41,06 91,79 7,65 68,54 86,29 6,74 78,58 84,28
ICBB 8815 8,15 43,25 91,35 7,60 69,44 86,11 6,57 80,24 83,95
ICBB 8816 7,91 44,89 91,02 7,22 70,12 85,98 6,68 84,64 83,07
ICBB 8813 7,90 45,32 90,94 7,10 70,24 85,95 6,59 106,08 78,78
ICBB 8819 7,80 45,06 90,99 7,40 90,64 81,87 6,40 106,82 78,64
ICBB 8825 7,75 57,80 88,44 7,10 89,50 82,10 6,59 115,26 76,95
ICBB 8817 7,70 62,40 87,52 7,00 112,58 77,48 6,40 142,67 71,47
ICBB 8811 7,70 60,58 87,88 7,00 92,58 81,48 tt - -
ICBB 8814 7,60 90,26 81,95 7,0 120,25 75,95 6,00 140,28 71,94
ICBB 8812 7,60 78,29 84,34 7,00 108,11 78,38 tt - -
ICBB 8823 7,50 95,25 80,95 7,05 115,28 76,94 tt - -
ICBB 8824 7,30 100,85 79,83 7,00 125,58 74,88 tt - -
ICBB 8822 7,20 113,25 77,35 6,90 133,12 73,38 tt - -
ICBB 8821 7,20 120,21 75,96 6,90 140,25 71,95 tt - -
ICBB 8820 7,20 126,25 74,75 7,00 136,15 72,77 tt - -
Keterangan : tt = tidak tumbuh
Karakteristik Isolat
bahkan tidak tumbuh pada pH 3, tetapi pada pH netral kedua isolat tersebut
tumbuh lebih cepat, yakni antara 1-3 hari. Pada pH di atas 5, ICBB 8818 mampu
tumbuh 3 hari setelah inkubasi. ICBB 8818 tumbuh lebih cepat dibandingkan
dengan ketiga isolat bakteri pereduksi sulfat lainnya.
hari
ICBB 8813 12 5 4 4 3
ICBB 8815 11 6 3 3 3
ICBB 8816 10 5 4 3 3
ICBB 8818 8 4 3 1 1
ICBB 8819 tt 5 3 2 2
ICBB 8825 tt 7 5 5 5
Catatan : tt = tidak tumbuh
14
12
Waktu tumbuh (hari)
10
0
ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818
Isolat
struktur enzim dan protein lain dalam sel, karena aktivitas fisiologis intraselular
selalu berada dalam kondisi mendekati netral. Oleh karena itu, sel bakteri perlu
melakukan penyesuaian apabila kondisi lingkungan di luar sel terlalu masam atau
terlalu basa.
Kemasaman lingkungan juga mempengaruhi pembentukan energi dalam sel.
Kondisi pH yang terlalu masam atau terlalu basa akan menghambat pembentukan
ATP, sedangkan kondisi pH netral pembentukan ATP berjalan lebih cepat
(Garland, 1977; Mitchell, 1961). ATP adalah protein penghasil energi yang
dipergunakan dalam pertumbuhan sel. Kondisi demikian yang menyebabkan pada
pH rendah waktu tumbuh bakteri lebih lama dibandingkan dengan pH mendekati
netral (Tabel 9). Hal ini sejalan dengan hasil beberapa penelitian lain (Elliot et
al., 1998; Johnson et al., 1993; Kolmert dan Johnson, 2001). Untuk dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik bakteri membutuhkan kond isi kemasaman media
yang optimum. Umumnya bakteri pereduksi sulfat membutuhkan kemasaman
optimum pada pH 5-6 (Elliot et al., 1998; Bratcova et al., 2002). Dikemukakan
pula bahwa pada kondisi kemasaman di bawah atau di atas nilai pH tersebut
pertumbuhan dan aktivitas bakteri pereduksi sulfat akan terhambat. Pada tingkat
kemasaman yang terlalu tinggi, beberapa isolat bakteri bahkan tidak mampu
tumbuh. Pada penelitian ini, dua isolat, yaitu ICBB 8819 dan ICBB 8825, tidak
dapat tumbuh pada pH 3.
Respon masing- masing isolat bakteri pereduksi sulfat terhadap kondisi
kemasaman lingkungan berbeda. Sebagai contoh, isolat ICBB 8819 tidak mampu
tumbuh pada pH 3, tetapi pada pH optimum (pH antara 5-7) mampu tumbuh lebih
cepat dibandingkan dengan isolat ICBB 8813, ICBB 8816 dan ICBB 8818. Pada
suhu optimum isolat ICBB 8819 tumbuh 2-3 hari setelah inokulasi, sedangkan
isolat ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818 tumbuh 3-4 hari
setelah inkubasi.
Kondisi kemasaman lingkungan juga menentukan pertumbuhan bakteri
pereduksi sulfat. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa bakteri ditunj ukkan
dengan kerapatan optik (Gambar 12). Metode ini merupakan cara yang baik
untuk melihat pertumbuhan bakteri tanpa harus mengganggu kultur bakteri
(Black, 2005). Pada penelitian ini kerapatan optik diukur 21 hari setelah inkubasi.
52
0,60
0,40
0,20
0,00
ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818
Isolat
Dari Gambar 12 terlihat bahwa empat isolat yang diuji mampu tumbuh pada pH 3,
tetapi pertumbuhannya agak terhambat, yang ditunjukkan dengan nilai kerapatan
optik lebih kecil dari 0,61. Pada pH 4 dan pH 5 pertumbuhan bakteri meningkat,
dimana kerapatan optik berkisar antara 0,75-0,81, tetapi menurun pada pH 6 dan
pH 7. Pada pH 7 kerapatan optik sekitar 0,65.
Penurunan biomassa bakteri pada pH 6 dan pH 7 berkaitan dengan
pembentukan sulfida. Pada pH 6 dan pH 7 bakteri mulai tumbuh pada hari 1-3
setelah inkubasi, sedangkan pada pH rendah bakteri mulai tumbuh pada hari 8-12
setelah inkubasi, sehingga pada hari ke 21 jumlah sulfida yang terbentuk pada pH
6 dan pH 7 lebih banyak diband ingkan dengan pada pH lebih rendah. Sulfida
merupakan faktor yang dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri dan kematian
bakteri. Postgate (1984) melaporkan bahwa sulfida terserap ke dalam sel dan
merusak protein sehingga sel tersebut tidak aktif. Barathi et al. (1990)
mengemukakan bahwa yang lebih berperan dalam aktivitas sel bakteri pereduksi
sulfat adalah dalam bentuk logam sulfida, sedangkan O’Flaherty dan Colleran
(1998) melaporkan bahwa pertumbuhan bakteri dipengaruhi baik oleh H2 S
maupun sulfida total, tergantung pada pH . Pada pH di bawah 7,2, pengaruh H2 S
akan lebih dominan, sedangkan apabila nilai pH di atas 7,2, pertumbuhan bakteri
lebih dipengaruhi oleh sulfida total.
53
Isolat
pH ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818
awal Sisa % Sisa % Sisa % Sisa %
Sulfat Reduksi Sulfat Reduksi Sulfat Reduksi Sulfat Reduksi
(mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L)
250
Kandungan Sulfat (mg/L)
200
150
100
50
0
ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818
Isolat
Gambar 13. Kandungan sulfat pada akhir penelitian pada level pH yang berbeda
mg/L dan 301,93 mg/L berturut-turut untuk pH 3, 4, 5, 6 dan 7. Hal ini sejalan
dengan persentase reduksi sulfat, dimana makin tinggi pH larutan, makin banyak
sulfat yang tereduksi (Tabel 10). Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa sulfida
yang dihasilkan oleh isolat ICBB 8818 lebih tinggi dibandingkan dengan isolat
lainnya. Hal ini sejalan dengan total sulfat yang mampu direduksi oleh isolat
ICBB 8818, yakni sebesar 90,72%, sedang total sulfat yang direduksi oleh ketiga
isolat lainnya kurang dari 90%.
300
Kandungan Sulfida (mg/L)
280
260
240
220
ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818
Isolat
Gambar 14. Total sulfida yang terbentuk pada akhir pengamatan pada level pH
yang berbeda
10
8
pH akhir
4
ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818
Isolat
Gambar 15. Pengaruh pH dan bakteri pereduksi sulfat terhadap nilai pH akhir
Proses reduksi sulfat menjadi sulfida akan menurunkan tingkat kemasaman karena
konsentrasi H2 SO4 yang merupakan asam kuat berkurang dan berubah menjadi
asam lemah. Disamping itu, bikarbonat yang terbentuk merupakan senyawa yang
bersifat alkalin, dan mengikat ion H+ yang merupakan sumber kemasaman
limbah. Dengan demikian, makin banyak ion SO4 2- yang tereduksi, makin tinggi
pH larutan.
Peningkatan pH awal media meningkatkan jumlah sulfat yang tereduksi
(Tabel 10), tetapi jumlah sulfat yang tereduksi tidak berbanding lurus dengan
?pH. Tabel 11 memperlihatkan bahwa ?pH antara pH awal dan akhir percobaan
cenderung menurun. Pada pH awal 3, ?pH pada awal dan akhir percobaan lebih
besar dari 3,5, tetapi ?pH menurun dengan semakin tingginya pH awal. Pada pH
awal 7, ?pH berkisar antara 0,88 – 1,36. Dari data tersebut terlihat adanya pH
akhir tertinggi yang dapat dihasilkan, yakni sekitar 8. Kondisi ini kemungkinan
disebabkan oleh kemampuan bakteri untuk menghasilkan senyawa penyangga,
sehingga pH lingkungan tidak terlalu tinggi. Hal ini terjadi karena selama proses
reduksi sulfat, bakteri pereduksi sulfat menghasilkan bikarbonat sehingga mampu
mengontrol pH di sekitar lingkungan mikronya (Cohen, 2005). Ion bikarbonat
yang dihasilkan selama proses reduksi sulfat akan membentuk kesetimbangan
antara CO2 , HCO3-, dan CO32-.
57
?pH
Isolat
pH 3 pH 4 pH 5 pH 6 pH 7
ICBB 8813 3,59 3,09 2,31 1,75 0,88
ICBB 8815 3,57 3,60 2,56 2,15 1,25
ICBB 8816 3,68 3,22 2,22 1,91 0,97
ICBB 8818 3,74 3,65 3,30 2,32 1,36
Tabel 12. Waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat pada beberapa level
konsentrasi sulfat pada pH 4
Konsentrasi SO4 2- (mg/L)
Isolat
1000 1500 2500 3500
hari
ICBB 8813 5 5 5 5
ICBB 8815 6 4 8 7
ICBB 8816 5 5 6 6
ICBB 8818 2 6 6 6
Tabel 13. Pengaruh konsentrasi sulfat awal terhadap total sulfat yang tereduksi
3500 mg/L. Efisiensi reduksi sulfat tidak ditentukan oleh konsetrasi sulfat awal,
tetapi lebih ditentukan oleh sumber organik yang tersedia. Dalam reaksi reduksi,
untuk mereduksi 1 mol sulfat diperlukan 2 mol laktat. Oleh karena itu, walaupun
sulfat yang tersedia meningkat, tetapi karena jumlah sumber organik yang tersedia
terbatas membatasi proses reduksi sulfat. Isolat ICBB 8818 mempunyai
kemampuan mereduksi sulfat lebih tinggi dibandingkan ketiga isolat lainnya.
Penurunan kandungan sulfat diikuti dengan peningkatan kandungan sulfida
yang terbentuk (Gambar 17). Total sulfida yang terbentuk meningkat dengan
meningkatnya kandungan sulfat awal. Pada kandungan sulfat awal 1000 mg/L,
total sulfida yang terbentuk adalah 286,96 mg/L, meningkat menjadi 511,90 mg/L
dengan peningkatan konsentrasi sulfat awal 3500 mg/L. Isolat ICBB 8818
menunjukkan kecenderungan membentuk sulfida lebih tinggi dibandingkan
dengan ketiga isolat lainnya. Hal ini sejalan dengan kemampuan isolat bakteri
59
pereduksi sulfat dalam mereduksi sulfat, dimana isolat ICBB 8818 mampu
mereduksi sulfat lebih banyak dibandingkan ketiga isolat lainnya.
75
50
25
0
8813 8815 8816 8818
Isolat
600
Kandungan Sulfida (mg/L)
500
400
300
200
100
0
8813 8815 8816 8818
Isolat
Gambar 17. Pengaruh konsentrasi sulfat awal terhadap kandungan sulfida yang
terbentuk
60
Tabel 14. Waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat pada laktat, limbah jerami
padi dan limbah kulit kayu sebagai sumber karbon organik
ICBB 8813 5 8 tt
ICBB 8815 6 10 tt
ICBB 8816 5 9 tt
ICBB 8818 4 6 tt
bakteri pereduksi sulfat. Disamping sebagai donor elektron, sumber karbon juga
berfungsi sebagai sumber energi. Pada tahap awal sumber karbon akan dioksidasi
dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi
sulfat menjadi sulfida.
Penggunaan jerami padi sebagai sumber karbon mampu menyediakan
karbon sesuai kebutuhan bakteri pereduksi sulfat. Jerami padi merupakan sumber
bahan organik yang mudah terurai, sehingga akan melepaskan senyawa organik
yang dibutuhkan dalam aktivitas bakteri. Gotoh dan Onikura (1971) melaporkan
bahwa pada kondisi anaerob, jerami padi akan mengalami fermentasi dan
melepaskan laktat, asetat, format, dan propionat. Wang et al. (2008)
mengemukakan bahwa senyawa tersebut mulai terlepas 3 hari setelah inkubasi.
Senyawa-senyawa organik tersebut masih dilepaskan sampai 16 minggu setelah
inkubasi.
Penggunaan limbah kulit kayu tidak mampu mendukung pertumbuhan
bakteri pereduksi sulfat. Dalam percobaan ini, tidak ada satupun isolat yang
tumbuh pada media yang menggunakan limbah kulit kayu sebagai sumber karbon.
Hal ini mungkin berkaitan dengan komposisi kimia kulit kayu. Richard (1998)
melaporkan bahwa komposisi utama kulit kayu adalah selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Dikemukakan bahwa kandungan lignin pada kayu berkisar antara 26-27%,
sedangkan kandungan lignin pada jerami padi adalah 7% (Antongiovanni dan
Sargentini, 1991). Lignin merupakan komplek polimer fenilpropane sehingga
sulit didekomposisi (Richard, 1998; McCrady, 1991; Haug, 1993). Oleh karena
itu, tingginya kandungan lignin pada baha n organik menjadi penghambat fisik
proses pelapukan. Van Soest (1994) mengemukakan bahwa pada kondisi
lingkungan anaerob, lignin dapat bertahan pada rentang waktu yang sangat lama.
Perbedaan sumber karbon organik menyebabkan perubahan kurva
pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat (Gambar 18). Kurva pertumbuhan bakteri
pereduksi sulfat mengalami pergeseran pada perlakuan jerami sebagai sumber
karbon organik. Pada perlakuan ini, laktat tidak langsung tersedia bagi aktivitas
bakteri, tetapi beberapa hari kemud ian. Hal ini yang menyebabkan fase awal
pertumbuhan terjadi lebih lambat. Pada media dengan laktat sebagai sumber
karbon, bakteri tumbuh dengan cepat, dan mencapai puncaknya pada hari ke 18-
62
0,6
0,4
0,2
0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Gambar 18. Pengaruh sumber karbon organik terhadap pola pertumbuhan bakteri
pereduksi sulfat Desulfovibrio sp. ICBB 8818
20 setelah inkubasi. Kondisi berbeda diperoleh pada media dengan jerami padi
sebagai sumber karbon. Pertumbuhan bakteri lebih lambat dan mencapai
puncaknya 24 hari setelah inkubasi. Keterlambatan tumbuh tersebut disebabkan
ketersediaan laktat, dimana pada jerami padi perlu diuraikan terlebih dahulu
sebelum tersedia bagi aktivitas bakteri. Pada hari ke 30 setelah inkubasi, aktivitas
bakteri yang tumbuh pada media laktat telah mengalami penurunan, diindikasikan
dengan penurunan kerapatan optik, yakni di bawah 0,40. Hal berbeda ditunjukkan
dengan bakteri yang tumbuh pada media jerami padi, dimana pada hari ke 30
kerapatan optik masih tinggi, yakni sekitar 0,65.
Perbedaan pertumbuhan bakteri sebagai akibat perbedaan sumber karbon
menyebabkan perbedaan kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat. Jumlah
sulfat yang tereduksi oleh bakteri yang tumbuh pada jerami padi lebih tinggi
dibandingkan dengan laktat sebagai sumber karbon (Gambar 19). Total sulfat
yang tereduksi pada media laktat adalah 86,53%, sedangkan pada media jerami
padi, total sulfat yang tereduksi sebesar 89,59%. Isolat ICBB mampu mereduksi
sulfat paling tinggi, yakni 88,79% pada media laktat dan 90,39% pada media
jerami padi. Penurunan kandungan sulfat diikuti dengan peningkatan kandungan
sulfida yang terbentuk (Gambar 20). Rata-rata sulfida yang terbentuk pada media
laktat adalah 286,96 mg/L dan 298,08 mg/L pada media jerami padi.
63
90
70
60
8813 8815 8816 8818
Isolat
300
Kandungan Sulfida (mg/L)
250
200
150
100
8813 8815 8816 8818
Isolat
Gambar 20. Pengaruh sumber karbon terhadap total sulfida yang terbentuk
tambang disajikan pada Tabel 15. pH air limbah sangat masam, yakni antara
2,92-3,30. Kondisi ini terjadi karena kandungan ion SO4 2- tinggi (925-950 mg/L).
Tingginya tingkat kemasaman limbah menyebabkan logam terlarut cukup tinggi,
terutama untuk Fe dan Mn, berturut-turut 6,99-7,22 mg/L dan 11,31-11,77 mg/L.
Kualitas air limbah ini jauh melebihi baku mutu air limbah, seperti yang telah
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113
Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Menurut
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003, baku
mutu air limbah bagi usaha kegiatan pertambangan batu bara mempunyai pH
antara 6-9, kandungan Fe total tidak lebih dari 7 mg/L, kandungan Mn total tidak
lebih dari 4 mg/L, dan residu tersuspensi tidak lebih dari 400 mg/L. Sedangkan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, batas maksimal kandungan sulfat
yang masih diperbolehkan adalah 400 mg/L. Oleh karena itu, limbah air asam
tambang tersebut perlu diolah sebelum dapat dibuang ke air permukaan.
Tabel 15. Karakteristik kimia limbah air asam tambang PIT-1, Bangko Barat,
Muara Enim
PIT-1 Ambang Batas
pH 2,92-3,30 6-9 2)
SO4 2- (mg/L) 925-950 < 400 1)
Fe (mg/L) 6,99-7,22 < 7 2)
Mn (mg/L) 11,31-11,77 < 4 2)
Zn (mg/L) 0,99-1,99 -
Pb (mg/L) 0,28-0,32 -
Co (mg/L) 0,26-0,27 -
1)
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
2)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003
0,8
0,6
0,4
0,2
0
5 10 15 20 25 30 35
Gambar 21. Pola pertumbuhan tiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada reaktor
bakteri pereduksi sulfat tersuspensi
66
ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818. Populasi bakteri mulai menurun setelah
25 hari. Pada akhir percobaan, 35 hari setelah inkubasi, kerapatan optik hanya
berkisar antara 0,29 dan 0,34. Dari data tersebut terlihat bahwa fase kematian
bakteri mulai terjadi 30 hari setelah inkubasi.
1000
Kandungan Sulfat (mg/L)
800
600
400
200
0
0 5 10 15 20 25 30
Gambar 22. Penurunan konsentrasi sulfat pada limbah air asam tambang pada
reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi
67
300
Kandungan Sulfida (mg/L)
200
100
0
0 5 10 15 20 25 30
Gambar 23. Peningkatan sulfida yang terbentuk pada reaktor bakteri pereduksi
sulfat tersuspensi
6
pH
0
0 5 10 15 20 25 30
Gambar 24. Peningkatan pH limbah air asam tambang pada reaktor bakteri
pereduksi sulfat tersuspensi
mg/L dan 0,23-0,28 mg/L, masing- masing untuk Fe dan Mn. Logam tersebut
bereaksi dengan S2- membentuk logam sulfida yang tidak larut (mengendap).
Hasil ini memperlihatkan bahwa penggunaan reaktor bakteri pereduksi sulfat
tersuspensi secara nyata mampu mengurangi kandungan sulfat dan logam terlarut
dalam limbah air asam tambang dengan tingkat efisiensi antara 88-90%, dan
reduksi logam terlarut sekitar 97%, serta mampu meningkatkan pH dari sekitar 3
menjadi 7. Namun demikian, untuk mendapatkan tingkat efisiensi tersebut
diperlukan waktu yang cukup lama, yakni sekitar 30 hari. Bahkan untuk
memperoleh kandungan sulfat yang diperbolehkan (400 mg SO4 2-/L) diperlukan
waktu lebih dari 21 hari. Hal ini dianggap terlalu lama untuk pengolahan limbah
di lapang. Disamping itu, dengan sistem sel bakteri tersuspensi, masih ada
kemungkinan terjadinya bakteri yang terbuang (wash out) ke lingkungan bersama-
sama dengan pembuangan air limbah. Oleh karena itu, untuk mempertahankan
jumlah populasi bakteri yang optimum, diperlukan penambahan bakteri ke dalam
reaktor.
69
12
Konsentrasi (mg/L)
9
0
ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818
Isolat
Gambar 25. Penurunan konsentrasi Fe dan Mn terlarut limbah air asam tambang
pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi
bahwa batu vulkan merupakan media yang cukup sesuai untuk pelekatan dan
pertumbuhan biofilm bakteri.
[a] [b]
[c] [d]
Gambar 26. Foto permukaan batu vulkan hasil pengamatan dengan scanning
electron microscopy perbesaran 10.000x. (a) Permukaan batu
vulkan tanpa perlakuan (blanko), (b) Perlakuan jerami padi, (c)
Perlakuan jerami padi dan ICBB 8815, dan (d) Perlakuan jerami
padi dan ICBB 8818. Lingkaran dan tanda panah menunjukkan
bakteri pereduksi sulfat yang tumbuh menempel pada permukaan
batu vulkan
Tabel 16. Jumlah koloni bakteri pereduksi sulfat terimobil pada batu vulkan
No. Isolat Batu Jumlah koloni terhitung Jumlah koloni
vulkan (g) (cfu/g)
Petri 1 Petri 2 Petri 3
1 Blanko 25 - - - -
2. Kontrol 25 - - - -
3. ICBB 8815 25 40x109 103x109 52x109 1,6-4,1 x 109
4. ICBB 8818 25 53x109 190x109 153x109 2,1-7,6 x 109
bahwa isolat ICBB 8818 mampu tumbuh pada kondisi biofilm dengan populasi
lebih tinggi dibandingkan dengan isolat ICBB 8815. Perbedaan populasi tersebut
secara langsung akan mempengaruhi kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat.
Pengolahan limbah air asam tambang dengan menggunakan reaktor bakteri
pereduksi sulfat yang terimobilisasi menghasilkan efisiensi penurunan sulfat lebih
tinggi dibandingkan dengan reaktor bakteri tersuspensi. Efisiensi reduksi sulfat
sebsar 77,72-80,76% pada reaktor bakteri terimobilisasi diperoleh pada waktu
tinggal 6 hari. Pada reaktor bakteri tersuspensi, tingkat efisiensi reduksi sulfat
tersebut dicapai pada hari ke 21 (Gambar 22). Hal ini disebabkan dengan
melekatnya bakteri pada permukaan batu, membentuk struktur dan lingkungan
mikro yang menguntungkan untuk mempertahankan kehidupan sel bakteri.
Penempelan sel bakteri pada batu vulkan meningkatkan jumlah sel bakteri per
volume tertentu, sehingga meningkatkan efisiensi reduksi sulfat.
Disamping itu, dalam kondisi terimobilisasi sel bakteri lebih toleran
terhadap bahan beracun (toksik) konsentrasi tinggi dari pada kondisi tersuspensi.
Dalam proses reduksi sulfat dihasilkan sulfida, dimana senyawa ini bersifat racun
terhadap sel bakteri pereduksi sulfat. Hal ini dapat dilihat dari proses reduksi
sulfat yang terus terjadi pada konsentrasi sulfida yang terus meningkat.
Penurunan konsentrasi sulfat diikuti dengan peningkatan konsentrasi sulfida
dalam limbah air asam tambang (Gambar 27). Dalam proses reduksi sulfat,
sulfida yang terbentuk kemungkinan dapat bereaksi dengan logam dan mengendap
dalam reaktor, sebagian menguap dalam bentuk gas. Oleh karena itu, total sulfida
yang teruk ur adalah sulfida yang terlarut dalam limbah air asam tambang. Dari
hasil pengukuran tersebut diperoleh bahwa pada akhir pengamatan (144 jam),
total sulfida yang terbentuk adalah 251,89 mg/L dan 243,33 mg/L, masing- masing
untuk isolat ICBB 8818 dan ICBB 8815.
Penggunaan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat mampu meningkatkan
pH air limbah dari sekitar 3,05 me njadi pH 7 (Gambar 28). Kenaikan pH menjadi
lebih dari 6 dicapai dengan waktu tinggal 2 jam. Kenaikan pH tersebut juga
terjadi pada perlakuan kontrol tanpa inokulasi bakteri pereduksi sulfat.
Peningkatan yang sangat tajam ini kemungkinan bukan disebabkan oleh
penurunan sulfat, tetapi disebabkan oleh hasil penguraian lebih lanjut dari
74
ICBB 8818
1000
600
y = -143,15Ln(x) + 1004,2
2
R = 0,9619
400
y = 47,395Ln(x) - 19,512
2
R = 0,9592
200
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
ICBB 8815
1000
800
Konsentrasi (mg/L)
600
y = -139,22Ln(x) + 1010,8
R 2 = 0,9635
400
y = 46,085Ln(x) - 22,026
2
200 R = 0,9623
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
Gambar 27. Grafik penurunan konsentrasi sulfat dan produksi sulfida pada
reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat : ICBB 8818 (Atas) dan
ICBB 8815 (Bawah)
75
KONTROL
8
7
6
y = 0,3512Ln(x) + 5,3206
5 2
R = 0,3748
pH
4
3
2
1
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
ICBB 8818
8
7
6
y = 0,4949Ln(x) + 4,9172
5 2
R = 0,6381
pH
4
3
2
1
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
ICBB 8815
8
7
6
y = 0,4379Ln(x) + 5,2015
5 2
R = 0,5105
pH
4
3
2
1
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
Gambar 28. Grafik kenaikan pH limbah air asam tambang pada reaktor biofilm
bakteri pereduksi sulfat : Kontrol (Atas), ICBB 8818 (Tengah),
ICBB 8815 (Bawah)
76
senyawa organik yang terbentuk hasil fermentasi jerami padi. Pada kondisi
anaerob jerami padi mengalami fermentasi membentuk senyawa organik, seperti
asam laktat, asam asetat, alkohol dan gliserol. Hasil penelitian Wang et al. (2008)
dan Mostafa et al. (2001) membutikan bahwa jerami padi mengalami fermentasi
menghasilkan berbagai macam senyawa organik, termasuk diantaranya adalah
etanol, asam asetat, asam laktat dan gliserol. Hasil serupa juga ditunjukkan dari
penelitian Kumari et al. (2008), dimana pengamatan pada akhir percobaan
menunjukkan pH larutan tabil pada kondisi alkalin.
Pembentukan senyawa organik ini dalam reaktor ditandai dengan
peningkatan COD limbah (Gambar 29). Parameter COD (Chemical Oxygen
Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimiawi menjadi CO2 dan H2 O. Makin tinggi
senyawa organik yang terbentuk, makin tinggi COD limbah. COD limbah air
asam tambang adalah 15,13 mg/L, dan mengalami peningkatan dengan
meningkatnya waktu tinggal. COD pada waktu tinggal 144 jam adalah 280,00
mg/L. Nilai COD tersebut masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan,
sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-
51/MENLH/10/1995.
300
250
y = 43,435Ln(x) + 66,167
COD (mg/L)
200
R2 = 0,8782
150
100
50
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
Gambar 29. Grafik peningkatan COD limbah air asam tambang pada reaktor
biofilm bakteri pereduksi sulfat
77
Kandungan logam terlarut pada limbah air asam tambang menurun dengan
peningkatan waktu tinggal dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat (Gambar
30). Dengan waktu tinggal 144 jam, logam Mn dan Fe terlarut mengalami
penurunan masing- masing sebesar 88,70% dan 69,70%. Logam tersebut bereaksi
dengan ion sulfida membentuk logam sulfida yang tidak larut. Reaksi dan
pengendapan logam sulfida tersebut ditentukan oleh konstanta kelarutan (KSp)
masing- masing senyawa, makin rendah nilai KSp makin cepat senyawa tersebut
Pada kondisi homogen, MnS akan mengendap lebih cepat sebelum FeS
mengendap. Namun demikian larutan dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi
sulfat bukan larutan homogen, sehingga proses pengendapan juga dipengaruhi
oleh faktor lain seperti transport massa, reaksi pengikatan oleh bahan organik,
atau pengikatan dengan bahan polimer ekstraseluler yang diproduksi oleh bakteri.
Kondisi demikian menyebabkan Fe terlarut berkurang bersamaan dengan
penurunan kandungan Mn terlarut. Hal serupa terjadi pada pengendapan Pb dan
Fe dalam biofilm bakteri pereduksi sulfat seperti yang ditunjukkan oleh Beyenal
dan Lewandoski (2004).
ICBB 8818
12
Konsentrasi (mg/L)
8
y = -1,1235Ln(x) + 8,6606
R2 = 0,8039 y = -1,5173Ln(x) + 8,1233
R2 = 0,8363
4
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
ICBB 8815
12
Konsentrasi (mg/L)
8
y = -1,0093Ln(x) + 8,4112
2
R = 0,798 y = -1,5627Ln(x) + 8,7256
2
R = 0,8848
4
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (jam)
Gambar 30. Grafik penurunan konsentrasi logam terlarut limbah air asam
tambang dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat: ICBB
8818 (Atas) dan ICBB 8815 (Bawah)
mengolah limbah air asam tambang adalah 80 jam untuk isolat ICBB 8815 dan 68
jam untuk isolat ICBB 8818.
Penurunan logam terlarut juga mengikuti persamaan logaritmik, seperti pada
Gambar 30. Konsentrasi awal Mn dan Fe terlarut dalam limbah air asam tambang
masing- masing adalah 11,31-11,77 mg/L dan 6,99-7,22 mg/L. Dengan
menggunakan persamaan logaritmik tersebut, dengan waktu pengolahan antara
79
periode waktu tertentu. Pada areal pertambangan batu bara PT Bukit Asam tidak
ada data pasti berapa volume limbah yang terbentuk dalam periode waktu tertentu,
namun diperkirakan sekitar 3000 m3 air asam tambang terbentuk dalam waktu
satu bulan. Dengan volume limbah tersebut, ukuran reaktor biofilm bakteri
pereduksi sulfat yang sesuai adalah 300 m3 dengan dimensi panjang 100 m, lebar
3 m dan tinggi 2 m. Reaktor dirancang kondisi anaerob, sehingga rancangan yang
mudah adalah dibuat di bawah tanah dalam bentuk gorong-gorong (Gambar 31).
Dengan bentuk dan dimensi tersebut, diharapkan air limbah dapat mengalir lebih
merata sehingga meningkatkan waktu kontak dengan permukaan biofilm.
Jerami padi
Batu vulkan
Gambar 31. Sketsa rancangan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat untuk
pengolahan air asam tambang di lapang
Faktor lain yang menentukan efisiensi reduksi sulfat dalam reaktor adalah
populasi bakteri yang tumbuh dalam biofilm. Untuk mendapatkan jumlah
populasi yang diharapkan, reaktor yang telah diisi dengan jerami padi, batu vulkan
dan kultur murni bakteri pereduksi sulfat dibiarkan dalam kondisi anaerob selama
2 minggu atau lebih. Hasil penelitian skala laboratorium menunjukkan bahwa
dengan waktu tersebut populasi bakteri yang tumbuh cukup memadai untuk
mereduksi sulfat dengan tingkat efisiensi sekitar 80%.
Hal selanjutnya yang perlu diperhitungkan adalah waktu tinggal. Dari hasil
penelitian tingkat laboratorium diperoleh waktu tinggal 68-80 jam untuk
menurunkan konsentrasi sulfat sampai memenuhi baku mutu limbah air asam
tambang. Apabila menggunakan sistem curah (batch), pengolahan limbah air
asam tambang akan lebih mudah, yakni dengan membiarkan limbah dalam
81
kondisi anaerob selama 68-80 jam sebelum limbah tersebut dialirkan ke badan
sungai. Apabila menggunakan sistem aliran sinambung (continous flow), maka
diperlukan perhitungan lanjutan untuk menentukan laju alir. Dengan volume
reaktor 300 m3 dan waktu tinggal 68-80 jam, maka laju alir yang diperlukan
adalah 1,04-1,23 L/detik.
82
5.1. KESIMPULAN
5.2. SARAN
Isolat Pewarnaan Bentuk Bentuk Koloni Warna Motilitas Anaerob Endospora Sumber Suhu Penghasil Species
Gram Sel Koloni Karbon Pertumbuhan Sulfida
oC
ICBB 8813 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
ICBB 8814 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
ICBB 8815 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
ICBB 8816 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
ICBB 8817 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
ICBB 8818 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
ICBB 8819 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
ICBB 8825 Negatif Batang Bulat tak Putih- + + - Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp.
beraturan krem
pH 6-9
Lampiran 7. Data hasil pengukuran sulfida yang terbentuk pada beberapa level
pH media
Laktat
Isolat Ulg Waktu tumbuh pH SO42- Sulfida
(hari) (mg/L) (mg/L)
ICBB 8813 i 5 7,10 170,38 274,56
ii 6 7,05 182,43 269,43
iii 5 7,12 182,43 269,43
Rata2 5 7,09 178,41 271,14
StDev 0,58 0,04 6,96 2,96
ICBB 8815 i 6 7,62 122,18 295,09
ii 7 7,60 116,15 289,96
iii 6 7,58 128,2 289,96
Rata2 6 7,60 122,18 291,67
StDev 0,58 0,02 6,03 2,96
ICBB 8816 i 5 7,12 128,2 289,96
ii 5 7,25 122,18 295,09
iii 6 7,28 128,2 289,96
Rata2 5 7,22 126,19 291,67
StDev 0,58 0,09 3,48 2,96
ICBB 8818 i 4 7,68 104,1 295,09
ii 4 7,68 110,13 295,09
iii 3 7,58 122,18 289,96
Rata2 4 7,65 112,14 293,38
StDev 0,58 0,06 9,21 2,96
106
Lampiran 15. Data pengukuran waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat, kenaikan
pH, sisa sulfat dan sulfida yang terbentuk pada media dengan
jerami padi sebagai sumber karbon organik
Laktat
Isolat Ulg Waktu tumbuh pH SO42- Sulfida
(hari) (mg/L) (mg/L)
ICBB 8813 i 8 6,70 122,18 295,09
ii 8 6,68 116,15 295,09
iii 7 6,78 122,18 289,96
Rata2 8 6,72 120,17 293,38
StDev 0,58 0,05 3,48 2,96
ICBB 8815 i 9 6,90 104,10 295,09
ii 10 7,05 98,08 300,22
iii 10 6,95 98,08 300,22
Rata2 10 6,97 100,09 298,51
StDev 0,58 0,08 3,48 2,96
ICBB 8816 i 9 6,88 104,10 300,22
ii 9 6,92 98,08 295,09
iii 8 6,94 98,08 300,22
Rata2 9 6,91 100,09 298,51
StDev 0,58 0,03 3,48 2,96
ICBB 8818 i 6 7,17 98,08 300,22
ii 6 7,24 98,08 300,22
iii 5 7,20 92,05 305,35
Rata2 6 7,20 96,07 301,93
StDev 0,58 0,04 3,48 2,96
107
Lampiran 16. Data pengukuran pola pertumbuhan (kerapatan optik) bakteri pereduksi sulfat ICBB 8818 pada media dengan laktat dan
jerami padi sebagai sumber karbon organik