Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1. M3 pengertian dan klasifikasi gangguan pada hati, pancreas, dan kandung empedu
2. M3 Epidemiologi gangguan pada hati, pancreas, dan kandung empedu
3. M3 Etiologi dan factor risiko gangguan pada hati, pancreas, dan kandung empedu
4. M3 Patofisiologi dan pathogenesis gangguan pada hati, pancreas, dan kandung empedu
5. M3 Manifestasi klinis, Diagnosis dan pemeriksaan penunjang gangguan pada hati, pancreas, dan
kandung empedu
6. M3 Tatalaksana gangguan pada hati, pancreas, dan kandung empedu
7. M3 Komplikasi dan prognosis gangguan pada hati, pancreas, dan kandung empedu
8. M3 Kasus rujukan gangguan pada hati, pancreas, dan kandung empedu
Kolelitiasis
Pengertian Kolelitiasis
Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan penyakit yang di dalamnya terdapat
batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau
pada kedua-duanya. Mowat (1987) dalam Gustawan (2007) mengatakan kolelitiasis adalah material atau
kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu.
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan batu terutama
yang tersusun dari kolesterol (Smeltzer dan Bare, 2002). Komposisi dari batu empedu merupakan
campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik (Gustawan, 2007).
a) Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol dari seluruh beratnya, sisanya terdiri dari protein
dan garam kalsium. Batu kolesterol sering mengandung kristal kolesterol dan musin glikoprotein. Kristal
kolesterol yang murni biasanya agak lunak dan adanya protein menyebabkan konsistensi batu empedu
menjadi lebih keras (Gustawan, 2007). Batu kolesterol terjadi karena konsentrasi kolesterol di dalam
cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam
kandung empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Kolesterol yang
merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung
pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita
batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam
hati; keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari
getah empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol
merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan
peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer dan Bare, 2002).
b) Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak larut, terdiri dari kalsium bilirubinat,
kalsium fosfat, dan kalsium karbonat. Kolesterol terdapat dalam batu pigmen dalam jumlah yang kecil
yaitu 10% dalam batu pigmen hitam dan 10-30% dalam batu pigmen coklat. Batu pigmen dibedakan
menjadi dua yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat, keduanya mengandung garam kalsium
dari bilirubin. Batu pigmen hitam mengandung polimer dari bilirubin dengan musin glikoprotein dalam
jumlah besar, sedangkan batu pigmen coklat mengandung garam kalsium dengan sejumlah protein dan
kolesterol yang bervariasi. Batu pigmen hitam umumnya dijumpai pada pasien sirosis atau penyakit
hemolitik kronik seperti thalasemia dan anemia sel sikle. Batu pigmen coklat sering dihubungkan dengan
kejadian infeksi (Gustawan, 2007). Batu pigmen akan terbentuk bila pigmen takterkonyugasi dalam
empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu (Smeltzer dan Bare, 2002).
C . Batu campuran Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan
hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua.
Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol
(Garden, 2007).
Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak berbeda
jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (Sjamsuhidayat, 2010; Lesmana , 2014).
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok risiko tinggi yang disebut ”4 Fs” : forty
(usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty (obesitas)
(Reeves, 2001).
Pembentukan batu empedu adalah multifaktorial. Studi sebelumnya telah mengindentifikasi jenis
kelamin perempuan, bertambahnya usia, kegemukan, riwayat keluarga dengan batu empedu, etnis,
jumlah kehamilan merupakan faktor risiko batu empedu (Hung, 2011; Chen, 2014;Tsai, CH, 2014).
1. Umur
Frekwensi batu empedu akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah usia 40 tahun risiko
terjadi batu empedu 4 hingga 9 kali lipat. Lin dkk menjelaskan bahwa usia tua memiliki paparan panjang
untuk banyak faktor kronis seperti hiperlipidemia, konsumsi alkohol, dan DM. Hal ini akan menyebabkan
penurunan motilitas kandung empedu dan terbentuknya batu empedu (Lin, 2014).
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1. Di USA 10-
20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-l
18
3. Genetik
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa riwayat keluarga, genetika, diet, dan kebiasaan budaya
memiliki peran utama dalam timbulnya batu empedu.
Analisis pasangan kembar dari The Swedish Twin Registry menunjukkan factor genetik 25% merupakan
faktor risiko terjadinya batu empedu. Dimana ABCG8 D19H genotipe heterozigot atau homozigot telah
meningkatan risiko terjadinya batu empedu secara signifikan. ABCG8 D19H dapat menyebabkan
penyerapan kolesterol di usus rendah, meningkatkan kolesterol serum, dan sintesis kolesterol di hati
tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi insulin.
Penelitian barubaru ini didapatkan fakta bahwa, kerentanan seseorang terhadap terjadinya batu
empedu dipengaruhi oleh Mucin gene polymorphisms atau FGFR4 polymorphism.
The mucin-like protocadherin gene (MUPCDH) polymorphism rs375865 dianggap sebagai penanda
genetik untuk memprediksi terjadinya penyakit batu empedu (Ciaula, 2013).
4. Obesitas
Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan faktor pro-inflamasi. Hal ini
akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan membuat empedu menjadi jenuh dengan
meningkatkan sekresi empedu dari kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu (Lin,
2014). Berat badan lebih dan obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis (Ko, 2006). Orang
dengan obesitas terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi kolesterol dalam empedu. Pada saat yang
sama, jumlah yang dihasilkan kolesterol berbanding lurus dengan kelebihan berat badan (Doggrell SA,
2006). Siklus berat badan, independen dari BMI, dapat meningkatkan risiko kolelitiasis pada pria.
Fluktuasi berat badan yang lebih besar dan siklus berat badan lebih terkait dengan risiko yang lebih
besar (Tsai CJ, 2006).
5. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Pada studi yang dilakukan di Taiwan
menunjukkan bahwa sindroma metabolik berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya batu empedu
dihubungan dengan usia dan jenis kelamin (Smelt, 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan di negara
barat dilaporkan bahwa usia, jenis kelamin, BMI, hiperlipidemia, penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi
alkohol, diabetes mellitus berkaitan erat dengan terjadinya batu empedu (Lin, 2014). Penurunan level
High density lipoprotein (HDL) merupakan salah satu risiko terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier
utamanya berasal dari HDL – C. Penurunan konsentrasi HDL – C dikaitkan dengan resistensi insulin.
Penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan kadar Trigliserida (TG) menyebabkan penurunan
kontraksi dari kandung empedu yang berakibat pembentukan batu empedu (Mendez, 2005).
6. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus (DM) dikaitkan dengan terjadinya batu empedu masih kontroversi. Beberapa studi di
barat dilaporkan bahwa DM berkaitan dengan batu empedu dimana hiperglikemi umumnya terdapat
pada grup batu empedu pada analisis univariat tetapi tidak terdapat pada grup batu empedu dengan
multi logistik regresi. Penelitian pada tikus dengan hiperinsulinemia terdapat spesifik spesifik FOXO1
protein yang dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi kolesterol dalam bile (Kovacs, 2008).
Hiperglikemia menghambat sekresi bile dari hati dan dapat menggangu kontraksi dari kantung empedu
serta menpunyai efek terhadap molititas dari kandung empedu hal ini dapat meningkatkan risiko
terjadinya batu empedu (Chen, 2014).
Etiologi Kolelitiasis
Penyebab dan faktor resiko terjadinya batu empedu masih belum diketahui secara pasti.
Kumar et al (2000) dalam Gustawan (2007) mendapatkan penyebab batu kandung empedu adalah
idiopatik, penyakit hemolitik, dan penyakit spesifik non-hemolitik.
Faktor risiko
Schweizer et al (2000) dalam Gustawan (2007) mengatakan anak yang mendapat nutrisi parenteral total
yang lama, setelah menjalani operasi by pass kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan anak
perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal mempunyai resiko untuk menderita kolelitiasis.
Pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal, pembentukan batu empedu terjadi karena
adanya peningkatan saturasi kolesterol bilier (Smeltzer dan Bare, 2002).
Kegemukan merupakan faktor yang signifikan untuk terjadinya batu kandung empedu. Pada keadaan ini
hepar memproduksi kolesterol yang berlebih, kemudian dialirkan ke kandung empedu sehingga
konsentrasinya dalam kandung empedu menjadi sangat jenuh.
Patogenesis
Faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan
supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri
dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus (Erpecum, 2011).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi
yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena
sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk
alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah
mengalami perkembangan batu empedu (Guyton & Hall, 2008).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam
perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu
secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam
duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus (Sjamsuhidayat, 2010).
2.6 Patofisiologi
Manifestasi Klinis
- Tindakan promotif yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengajak masyarakat untuk hidup
sehat, menjaga pola makan, dan perilaku atau gaya hidup yang sehat.
- Sedangkan tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalisir faktor risiko
penyebab kolelitiasis, seperti menurunkan makanan yang berlemak dan berkolesterol,
meningkatkan makan sayur dan buah, olahraga teratur dan perbanyak minum air putih.
Tatalaksana
Komplikasi
Komplikasi yang umum dijumpai adalah kolesistisis, kolangitis, hidrops dan emfiema. Kolesistisis
merupakan peradangan pada kandung empedu, dimana terdapat obstruksi atau sumbatan pada leher
kandung empedu atau saluran kandung empedu, yang menyebakan infeksi dan peradangan pada
kandung empedu. Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu yang terjadi karena adanya
infeksi yang menyebar akibat obstruksi pada saluran empedu. Hidrops merupakan obstruksi kronik dari
kandung empedu yang biasa terjadi di duktus sistikus sehingga kandung empedu tidak dapat diisi lagi
oleh empedu. Emfiema adalah kandung empedu yang berisi nanah. Komplikasi pada pasien yang
mengalami emfiema membutuhkan penanganan segera karena dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidajat
(2005) dan Schwartz (2000)).
Kasus Rujukan
Kolelitiasis kompetensi 2
Kolangitis
Pengertian
Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang tersumbat baik secara parsiil
atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam lumen saluran empedu misalnya batu
koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput
pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-
karsinoma atau striktur saluran empedu.
EPIDEMIOLOGI
Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi menyebabkan kesakitan dan
kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat ditemukan pada semua ras.
Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang
dominan diantara keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60
tahun.
ETIOLOGI
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi struktur saluran
empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat penyebab obstruksi, kolangitis tidak
akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi. Kasus obstruksi akibat keganasan hanya 25-40% yang
hasil kultur empedunya positif. Koledokolitiasis menjadi penyebab tersering kolangitis.(3,8)
Patofisiologi
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis cairan empedu, kolonisasi bakteri
dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Kuman-kuman ini berasal dari flora duodenum yang masuk
melalui sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandung empedu yang meradang akut,
penyebaran ke hati akibat sepsis atau melalui sirkulasi portal dari bakteri usus. Karena tekanan yang
tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, kuman akan kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan
aliran darah dan mengakibatkan sepsis. Bakteribili (adanya bakteri disaluran empedu) didapatkan pada
20% pasien dengan kandung empedu normal. Walaupun demikian infeksi terjadi pada pasien-pasien
dengan striktur pasca bedah atau pada anastomasi koledokoenterik. Lebih dari 80% pasien dengan batu
koledokus terinfeksi, sedangkan infeksi lebih jarang pada keganasan . Kegagalan aliran yang bebas
merupakan hal yang amat penting pada patogenesis kolangitis akut. Mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi pada kolangitis akut yang sering dijumpai berturut-turut adalah kumankuman
aeroba gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella, kemudian Streptococcus faecalis dan akhirnya bakteri anaerob
seperti Bacteroides fragilis dan Clostridia. Pula kuman-kuman Proteus, Pseudomonas dan Enterobacter
enterococci tidak jarang ditemukan. Bacteribili tidak akan menimbulkan kolangitis kecuali bila terdapat
kegagalan aliran bilier yang akan memudahkan terjadinya proliferasi kuman pada saluran empedu yang
mengalami stagnasi, dan atau tekanan dalam saluran empedu di dalam hati meningkat sedemikian rupa
sehingga menyebabkan refluks kuman ke dalam darah dan saluran getah bening. Kombinasi dari
stagnasi dan peningkatan tekanan tersebut akan menimbulkan keadaan yang serius pada kolangitis
supuratif. Beberapa dari efek serius kolangitis dapat disebabkan oleh endotoksemia yang dihasilkan oleh
produk pemecahan bahteri gram negatif. Endotoksin diserap di usus lebih mudah bila terdapat obstruksi
bilier, karena ketiadaan garam empedu yang biasanya mengkhelasi endotoksin sehingga mencegah
penyerapannya. Selanjutnya kegagalan garam empedu mencapai intestin dapat menyebabkan
perubahan flora usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupfer yang jelek dapat menghambat kemampuan hati
untuk mengekstraksi endotoksin dari darah portal. Bilamana kolangitis tidak diobati, dapat timbul
bakteremia sistemik pada sepertiga kasus dan pada kasus-kasus yang lanjut, dapat timbul abses hati.
Gejala klinik
Gejala klinik bervariasi dari yang ringan yang memberikan respons dengan penatalaksanaan konservatif
sehingga memungkinkan intervensi aktif sampai bentuk berat yang refrakter terhadap terapi medik dan
bisa berakibat fatal.
- Hampir selalu pada pasien kolangitis akut didapatkan ikterus dan disertai demam, kadang-
kadang menggigil.
- Pada sebagian kecil kasus ini batu koledokus tidak didapatkan ikterus, hal ini dapat diterangkan
karena batu di dalam duktus koledokus tersebut masih mudah bergerak sehingga kadang-
kadang aliran cairan empedu lancar, sehingga bilirubin normal atau sedikit saja meningkat.
Kadang-kadang tidak jelas adanya demam, tetapi ditemukan lekositosis.
- Fungsi hati menunjukkan tanda-tanda obstruksi yakni peningkatan yang menyolok dari GGT atau
fosfatase alkali.
- SGOT/SGPT dapat meningkat, pada beberapa pasien bahkan dapat meningkat secara menyolok
menyerupai hepatitis virus akut.
- Seringkali didapatkan nyeri hebat di epigastrium atau perut kanan atas karena adanya batu
koledokus. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang
nyeri bersifat konstan. Trias dari Charcot (demam, nyeri perut bagian atas atau kanan atas serta
ikterus) didapatkan pada 54%.
DIAGNOSIS
Diagnosis kolangitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan adanya keluhan demam, ikterus, dan sakit
pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan demam dengan gejala perut
yang minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80%
penderita.(1,3,8)
B. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali, ikterus, gangguan
kesadaran, sepsis, hipotensi dan takikardi. (4,9)
C. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar pasien.
Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau trombositopenia kadang – kadang dapat
ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia
sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk
alkali fosfatase dan transaminase serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik. (3, 4, 9)
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:
1. Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos abdomen jarang
memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium
tinggi dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.(3,13)
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu
kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus.
Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya
gravitasi.(3,12,13)
3. CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu kandung empedu.
Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan
ketepatan sekitar 70-90 persen.
4. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan lensa atau kaca
untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography
(ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat
mengobati penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.
5. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan kandung empedu
serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test
ini paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat
mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak
anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik
dengan label 99mTc.
6. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip kerja yang sama
dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama
12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh
hepar dan di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.
7. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan kolangitis. Pada
sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi
saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan
kolangitis dan dengan demikian harus ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah
pasien yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus
tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi
retrograd endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan
anatomi atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar
5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat harus diberikan sebelum
instrumentasi pada semua kasus.
DIAGNOSIS BANDING
1. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak
di dalam kantong Hartmann. Pada keluhan utama dari kolesistikus akut adalah nyeri perut di kuadran
kanan atas, yang kadang-kadang menjalar ke belakang di daerah skapula. Biasanya ditemukan riwayat
kolik dimasa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan nyeri kolik yang sekarang. Pada kolesistitis,
nyeri menetap dan disertai tanda rangsang peritoneal berupa nyeri tekan dan defans muskuler otot
dinding perut. Kadang-kadang empedu yang membesar dapat diraba. Pada sebagian penderita, nyeri
disertai mual dan muntah.7
2. Pankreatitis
Pankreatitis adalah radang pankreas yang kebanyakan bukan disebabkan oleh infeksi bakteri atau
virus, akan tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas yang keluar dari saluran pankreas. Biasanya
serangan pankreatitis timbul setelah makan kenyang atau setelah minum alkohol. Rasa nyeri perut timbul
tiba-tiba atau mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di daerah pertengahan epigastrium dan biasanya
menjalar menembus ke belakang. Rasa nyeri berkurang bila pasien duduk membungkuk dan bertambah
bila terlentang. Muntah tanpa mual dulu sering dikeluhkan dan muntah tersebut sering terjadi sewaktu
lambung sudah kosong. Gambaran klinik tergantung pada berat dan tingkat radang. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Kira-kira 90% disertai demam, takikardia,
dan leukositosis.7,9
3. Hepatitis
Hepatitis merupakan salah satu infeksi virus pada hepar yang terdiri dari hepatitis A, hepatitis B,
hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E. Hepatitis B merupakan hepatitis yang paling sering terjadi.
Keluhan utamanya yaitu nyeri perut pada kuadran kanan atas sampai di ulu hati. Kadang disertai mual,
muntah dan demam. Sekitar 90% kasus hepatitis merupakan infeksi akut. Sebagian menjadi sembuh dan
sebagian lagi menjadi hepatitis fulminan yang fatal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal adalah konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi
dan perlindungan antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan
antibiotik oral. Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan bakteriologi yang
diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah
pilihan yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan
antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan metronidazole atau clindamycin memberikan
perlindungan antibakterial terhadap anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan
antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia.
DEKOMPRESI BILIARIS
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan berespon terhadap
terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati kembali ke normal
seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau malahan memburuk
dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian
besar kasus, dekompresi biliaris segera paling baik dilakukan secara non operatif baik dengan jalur
endoskopik maupun perkutan. Yaitu:(2,3)
a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin buruk, dapat
dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta membersihkan duktus
koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu
berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada
penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu.(7,12)
b. Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu kolesterol.
Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak
melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam.
Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit(7)
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu saluran empedu dengan
menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan pencitraan flouroskopi sebelum
prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan
material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi penghancuran yang adekuat atau telah diberikan
pelepasan jumlah gelombang kejut yang maksimum.(3, 7, 9)
c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi
saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga
dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik. (7,13)
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi (kolangitis
supuratif) adalah sebagai berikut:
A. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa
muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran
empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang
menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple.7
B. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif(9)
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi bakteremia
pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi
bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.
C. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika empedu
terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi yang sangat
fatal.
D. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada eksplorasi
duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak
mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
E. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma dan
perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk dikontrol.
D. Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan sistem bilier yang
merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus besar bagian asendens. Refluks
pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem
duktus yang menyebabkan drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses subprenikus.
Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam beberapa hari setelah operasi.
Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi dengan
perkutaneus atau drainase endoskopik adalah:
* Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)
* Sepsis
PROGNOSIS
Tergantung berbagai faktor antara lain :
Pengenalan dan pengobatan diri
Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara dini dan diikuti dengan drainase
yang tepat serta dekompresi traktus biliaris.
Respon terhadap terapi
Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang diberikan (misalnya antibiotik)
maka prognosisnya akan semakin baik.
Namun sebaliknya, respon yang jelek akan memperberat penyakit tersebut.
Kondisi Kesehatan Penderita
Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor yang menentukan prognosis
penyakit ini. Biasanya penderita yang baru pertama kali mengalaminya dan berespon baik terhadap terapi
yang diberikan, prognosisnya akan baik.