Вы находитесь на странице: 1из 11

Tugas Makalah

ETIKA ADMINISTRASI NEGARA


(Kasus Dalam Etika Jabatan Oleh Pejabat Publik)

OLEH

TAMRIN IJI
C1A115159

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb

Segala puja puji hanya bagi Allah swt, yang telah melimpahkan segala rahmat
dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh dosen dengan tepat waktu.
Begitu pula dalam penyususan Makalah yang berjudul “ KASUS DALAM
ETIKA JABATAN OLEH PEJABAT PUBLIK”, pasti tidak luput dari kesalahan
maupun kekurangan , di karenakan sedikitnya pengetahuan penulis mengenai materi
yang penulis buat, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati izinkan penulis
menghaturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak terkait yang telah membantu
tersusunnya makalah ini.
Semoga makalah yang penulis buat ini menjadi berguna bagi kita semua,
terima kasih

Wassalammu’alaikum Wr. Wb

Kendari, 7 APRIL 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................

I.I Latar Belakang .............................................................................................

I.2 Rumusan Masalah .......................................................................................

I.3 Tujuan ..........................................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN .......................................................................................

2.I Pengertian Etika Jabatan Publik ...............................................................


2.2 Dua tuan .......................................................................................................
2.3 Pelecehan kepercayaan ...............................................................................
2.4 Oportunisme berkelanjutan .......................................................................
2.5 Contoh Kasus................................................................................................

BAB III. PENUTUP ................................................................................................

3.I Kesimpulan ..................................................................................................

3.2 Saran ............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

Etika publik berawal dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk
karena konflik kepentingan dan korupsi.Berbagai upaya perbaikan birokrasi dan
organisasi politik telah dilakukan. Komisi-komisi dibentuk, pejabat-pejabat diganti,
tetapi korupsi tidak kunjung surut dan pelayanan publik memburuk. Ketika perbaikan
birokrasi dan pengetatan pengawasan dilakukan tetapi korupsi tetap merajalela,
berarti kesalahan berada dalam sistem organisasi itu sendiri. Hal krusial yang perlu
dilakukan adalah mengubah sistem organisasi dengan mengintegrasikan etika public
ke dalam organisasi pelayanan publik.

Etika publik tidak hanya menekankan kode etik atau norma, namun juga
dimensi reflektifnya. Etika publik akan membantu para pejabat dan politisi dalam
mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan sekaligus alat evaluasi yang
memperhitungkan konsekuensi etisnya. Karena itu, fokus diarahkan pada modalitas
etika, yaitu bagaimana menjembatani jurang antara norma moral (apa yang
seharusnya dilakukan) dan tindakan faktual. Keprihatinan etika publik pada modalitas
inilah yang membedakannya dari ajaran-ajaran saleh atau moral yang lain.

I.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini adalah

1. Bagaimanakah etika jabatan public


2. Bagaimana kasus dari pelecehan etika jabatan public

I.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjawab dari permasalahan
yang ditujukan diatas.
BAB II
PEMBAHASAN

2.I Pengertian Etika Jabatan Publik

Bicara soal etika, maka akan sengat erat kaitannya dengan masalah moral,
akhlak, dan baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari hukum positif yang berlaku di
masyarakat. Kaitannya dengan sosok pejabat publik atau penyelenggara negara, maka
etika akan menggambarkan sejauh mana kualitas mental dan moral pejabat tersebut.
Perilaku korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan setumpuk perilaku lainnya yang
meresahkan masyarakat dapat dikategorikan sebagai hilangnya nilai-nilai etika yang
seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat publik.
Apalagi jika hal tersebut telah menjadi sebuah kultur, maka tentunya akan
sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa, dimana maju tidaknya bangsa
tersebut sangat bergantung kepada kualitas mental dan moral serta kemampuan para
pemimpinnya.
2.2 Dua tuan
Dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, menteri adalah pembantu
Presiden. Maka, ketika seseorang diminta Presiden dan bersedia menjadi menteri
dalam kabinet pemerintahannya, pada saat itu juga dia terikat komitmen, bahkan jika
pun tanpa kontrak politik tertulis, secara etis untuk mengabdi dan melayani Presiden
hingga masa akhir jabatan.
Namun, sistem pemilu dan kepartaian Indonesia memberi peluang kepada
para menteri kabinet, terutama mereka yang mengikatkan diri dalam partai politik,
untuk diajukan sebagai calon anggota badan perwakilan (DPR, DPD, DPRD) dalam
suatu proses pemilu. Tidak ada keharusan untuk mundur dari jabatan saat seorang
menteri dipastikan sebagai calon tetap anggota Dewan.
Ketika hasil pemilu memastikan seorang menteri sebagai calon anggota
Dewan terpilih, saat itu juga dia telah terikat kepada ”tuan” baru, yaitu pemilih.
Apalagi jika penetapan calon terpilih itu berdasar prinsip suara terbanyak, ikatan etik
politik calon bersangkutan dengan pemilih (konstituen) makin nyata dan kuat.
Kompleksitas etika muncul dari kesejajaran waktu antara menyelesaikan tugas
sebagai menteri dan menepati komitmen sebagai perwakilan rakyat terpilih. Pada
waktu bersamaan seorang menteri harus menyatakan komitmen dan pengabdian
untuk dua tuan yang secara substantif bertolak kepentingan.

2.3 Pelecehan kepercayaan


Menteri yang memastikan tetap pada jabatannya mengambil risiko untuk
kehilangan semua jabatan publik. Sebab, dia harus menyerahkan kursi DPR yang
sudah di depan mata kepada orang lain, sementara untuk waktu tidak lama lagi dia
harus pensiun dari jabatan menteri.
Keputusan ini mungkin sekali dinilai ”bagus” di mata presiden. Juga ada
kandungan komitmen etik untuk menyelesaikan tugas hingga akhir masa jabatan.
Tindakan seperti ini dapat saja berefek pada peluang untuk diminta kembali oleh
presiden yang terpilih untuk masa bakti kedua untuk berada dalam jajaran cabinet
baru.
Bukan tidak mungkin harapan seperti itu dapat dibaca sebagai sikap
pragmatis. Sebab, diakui atau tidak, jabatan menteri lebih memberi keuntungan
ekonomi-politik daripada jabatan sebagai anggota DPR.
Namun, jelas tidak ada jaminan menteri bersangkutan pasti akan mendapat
tempat di kabinet baru mendatang. Dinamika dan tuntutan kekuasaan baru Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mungkin mengubah konstalasi/kalkulasi politik yang
berdampak tersingkirnya menteri bersangkutan dari pertimbangan politik presiden.
Di mata konstituen, keputusan menolak jabatan sebagai anggota DPR akan
dengan mudah dipahami sebagai pelecehan kepercayaan. Penetapan calon anggota
Dewan, terpilih berdasar perolehan suara terbanyak memastikan, menteri
bersangkutan memperoleh kepercayaan terbesar dibandingkan dengan para calon lain
yang separtai. Melepas kepercayaan pemilih demi mempertahankan jabatan menteri
sama dengan mengingkari makna kedaulatan rakyat dalam proses pemilu.
2.4 Oportunisme berkelanjutan
Meletakkan jabatan menteri di pengujung akhir masa bakti demi jabatan
sebagai anggota DPR untuk waktu lima tahun mendatang juga menimbulkan sinisme
publik. Sekilas, keputusan itu terkesan bijak karena memantulkan komitmen politik
yang menghormati kepercayaan pemilih. Presiden harus dikalahkan demi suara
terbanyak yang memercayakan keperwakilan politik kepada menteri bersangkutan.
Namun, sulit untuk memastikan bahwa para mantan menteri itu akan tegas dalam
komitmen menjalankan mandat pemilih sebagai perwakilan politik hingga akhir masa
bakti.
Jika tidak salah mengingat, bukankah beberapa di antara mereka pada
pengalaman lima tahun lalu melepaskan keanggotaan DPR demi jabatan menteri yang
ditawarkan Presiden saat itu? Jabatan menteri tetap dilihat lebih memberi keuntungan
ekonomi-politik daripada jabatan sebagai anggota DPR.
Karena itu, bukan tidak mungkin para mantan menteri akan dengan senang
hati menanggalkan keanggotaan DPR-nya jika tawaran kembali dibuka Presiden
Yudhoyono untuk kelak duduk dalam jajaran kabinet baru.
Jika tawaran terbuka kembali dan anggota DPR yang mantan menteri maupun
anggota DPR terpilih menerima tawaran itu, peluang dan keputusan semacam ini
hanya akan menegaskan tradisi politik yang secara berulang-ulang terus menerabas
etika jabatan publik.
Hasilnya, bukan tegaknya etika jabatan publik, tetapi oportunisme politik
berkelanjutan. Hasil ini hanya akan membuktikan kegagalan demi kegagalan yang
dialami Indonesia untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan
demokratis.
Masa depan Indonesia tampak akan menuntut makin tegaknya etika jabatan
publik. Hingga kini, banyak pembaruan kelembagaan telah dicapai. Demikian pula,
pengaturan dan peraturan baru telah dibuat untuk memastikan prosedur politik
transparan dan partisipatif, serta tata kelola pemerintahan efisien dan bertanggun
jawab.
Namun, kelembagaan dan pengaturan baru itu tampak menjadi sia-sia karena
tidak dilambari etika para aktor untuk secara sukarela, konsisten, dan konsekuen
mematuhinya. Yang ada hanya siasat menelikung demi kepentingan pragmatis.

2.5 Contoh Kasus


Pertama, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa konsep etika dan
pandangan tentang perlunya mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publik di
Indonesia masih sangat langka. Orang yang menegakkan etika itu malah dianggap
sebagai orang aneh. Benarkah Pejabat yang Beretika adalah suatu hal yang langka di
Indonesia?
Hal ini pula yang turut menjadi keresahan seorang Sri Mulyani Indrawati,
yang kini telah menanggalkan jabatannya sebagai Menteri Keuangan RI. Saat
berbicara dalam 'Kuliah Umum tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik' di Jakarta,
Selasa (18/5/2010) malam, Sri Mulyani menyinggung persoalan situasi kultur politik
di Indonesia dan sikap pejabat publik yang mengenyampingkan etika.
Lebih jauh lagi, wanita yang akrab disapa Bu Ani ini mengatakan, bahwa
telah terjadi "perkawinan" kepentingan dalam sistem politik di Indonesia saat ini.
Banyak pejabat publik yang mengambil keputusan politis yang dibangun di atas
kepentingan pribadi atau dengan kata lain etika politiknya masih jauh dari ideal.
Sri Mulyani menuturkan, banyak pejabat negara yang memiliki bisnis justru
sengaja mengambil keuntungan dari keputusan yang dibuatnya sendiri. Menurutnya
hal tersebut adalah suatu penyakit yang dibawa sejak masa orde baru namun saat ini
justru terlihat lebih terbuka. "Ini adalah suatu hal yang merupakan penyakit di zaman
orde baru, namun dulu dibuat tertutup. Sekarang malah dibuat seolah telah terbuka
dengan keputusan demokratis dan dengan check and balance, tapi sebenarnya tanpa
etika," tuturnya.
Berkaca pada pengalamannya, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa ia sering
kali meminta keluar dari ruang rapat pejabat publik yang kebetulan menjadi komisaris
pada perusahaan yang sedang dibahas dalam rapat tersebut. Sikap tegas itu justru
dibalas dengan cibiran. "Ada satu saat saya membuat rapat, dan rapat ini jelas
berhubungan dengan perusahaan. Kebetulan yang diundang adalah beberapa
komisaris perusahaan itu. Saya minta yang terkait dan berafiliasi dengan yang
dibicarakan silahkan keluar. Mereka malah bilang, Mba Ani jangan sadis begitu,"
ujarnya. Namun, ia melanjutkan, tak mudah untuk mengubah etika politik para
pejabat publik yang telah dianut selama bertahun-tahun.
Namun bila kita berkaca pada fakta yang ada di lapangan, nampaknya belum
ada sanksi yang tegas terhadap ‘ulah' pejabat publik yang tak beretika. Barangkali
disinilah urgensi merumuskan etika pejabat publik berikut sanksi-sanksi
administratif, politik, dan hukum sekaligus agar kasus-kasus sejenis tidak terulang di
masa depan. Begitu pula, mestinya ada mekanisme "hukuman" bagi para pejabat
publik yang mempertahankan pejabat publik lain yang berbohong atau yang terlibat
kasus korupsi. Semoga ke depannya, sosok pejabat publik yang benar-benar
menjunjung tinggi etika, moral dan integritas bukan lagi menjadi sebuah barang
langka di tengah-tengah bangsa yang ‘konon katanya' adalah bangsa yang
bermartabat.
Kedua, empat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu menyatakan mundur
dari jabatan karena akan segera dilantik sebagai anggota DPR periode 2009-2014.
Sementara dua menteri lainnya akan tetap pada jabatannya hingga akhir masa bakti
20 Oktober 2009.
Kedua macam tindakan itu tampak dianggap wajar. Jika dicermati, setiap
tindakan itu membawa nuansa ”pelanggaran” terhadap etika pejabat atau jabatan
publik.
BAB III
PENUTUP

3.I Kesimpulan
Dengan posisi strategis sebagai pejabat publik, para pejabat harus profesional
di bidang mereka dengan terus menjaga etika profesi sebagai pejabat negara, dengan
memperhatikan berbagai sisi etis dalam seluruh tindakan dan kebijakan mereka.
Seorang pejabat negara profesional yang mencintai profesi dan jabatannya, yang
melakukan tugas mulia dalam mengemban misi kenegaraan, akan selalu menjunjung
tinggi etika profesi jabatan. Bahwa lewat profesinya sebagai seorang pejabat negara,
dia wajib menjaga nama baik dan citra sejawatnya di depan publik.

Hal itu amat penting, karena apa pun yang dilakukan pejabat publik akan
berpengaruh bagi kehidupan warga negara. Karena pengaruh tersebut, tidak ada jalan
lain, yakni para pejabat harus menjaga agar perilaku dan kebijakan mereka selalu baik
serta tetap berpijak di jalur etika. Sebab, di samping itu, apa pun perilaku dan
kebijakan yang mereka ambil merupakan garansi yang membuat warga negara tetap
menaruh hormat dan kepercayaan kepada mereka. Ini juga untuk meyakinkan warga
negara bahwa para pejabat negara yang dipilihnya benar-benar pantas memimpin
mereka dengan perilaku yang baik, terhormat, dan menjadi panutan.

Demi menjaga rasa hormat publik terhadap pejabat negara, dan demi
memelihara etika profesi sebagai pejabat negara yang memiliki tugas-tugas mulia
kenegaraan, sekaligus sebagai wujud komitmen tinggi pemerintah dalam menegakkan
supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, perseteruan antara pejabat negara itu
harus segera diakhiri secara elegan dan proporsional.

3.2 Saran
Pemerintah seharusnya lebih berperan lagi dalam menangani kasus yang
sangat penting ini,karena etika dalam pejabat public sangat penting. Dari kasus diatas
bisa menjadi contoh kurangnya perang pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.gramediashop.com/book/detail/9789792272062/Etika-Publik-untuk-
Integritas-Pejabat-Publik-Politisi

http://srimulyani.net/2010/10/15/pejabat-publik-dan-etika-publik

file:///C:/Users/Acer/Downloads/KUMPULAN MAKALAH RODLIAL RAMDHAN


T.A._

Вам также может понравиться