Вы находитесь на странице: 1из 29

Jurnal Reading

Hipertensi Pulmonal : Patofisiologi dan Jalur Pemberian Sinyal

Oleh :

Ratna Oktaviani G99142018

Reza Yunita Sari G99142021

Vanny Scarlett Valentine G99142121

Arafi Afra Linda Pangestika G99142122

Pembimbing :

Sri Lilijanti W., dr., Sp.A (K)

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

2015
Abstrak

Hipertensi pulmonal (PH) ditandai dengan perubahan patologis pada jalur


pemberian sinyal sel di dalam aksis ventrikel kanan-arteriol pulmonal-alveoli
yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler pulmonal dan disfungsi
ventrikel kanan (RV). Ciri histopatologi Cornerstone dari vaskulopati PH
mencakup penebalan tunika intima, hipertrofi konsentris, dan fibrosis perivaskular
dari arteriol paru bagian distal. Adanya lesi pleksogenik adalah hal yang
patognomonik dari hipertensi arteri pulmonalis (PAH); ketika digambarkan,
bentuk berat/parah dari perubahan ini dikaitkan dengan obliterasi subtotal dari
lumen pembuluh darah. Luasnya perubahan ventrikel kanan pada PH berkorelasi
dengan keparahan gejala klinis dan menandakan hasil yang buruk. Farmakoterapi
spesifik PH saat ini yang bertujuan untuk mengurangi gejala dengan cara
memiliki target pada jalur pemeberian isyarat sel untuk
vasodilatasi/vasokonstriksi pulmonal, tidak sepenuhnya memperbaiki vaskuler
paru dan, dengan demikian, sebagian besar gagal untuk mempertahankan
hemodinamik kardiopulmonal normal dalam jangka panjang. Dengan demikian,
penentuan mekanisme molekuler yang bertanggung jawab untuk memperbaiki
vaskular paru pada PH memberikan potensi nilai terapeutik yang besar, terutama
jalur yang meningkatkan proliferasi sel yang resisten terhadap apoptosis,
mengganggu bioenergetika sel normal untuk mengubah fungsi sel, dan/atau
memodulasi respon abnormal berat yang merespon terhadap kerusakan pembuluh
darah paru. Bab ini mengulas tentang wawasan terbaru pada patofisiologi dan
mekanisme penyakit PH, dan membahas jalur sinyal sel baru yang melibatkan
microRNA dan disfungsi mitokondria dalam pengembangan fenotip PH.

2
1. Pendahuluan

Perubahan maladaptif terhadap fenotip arteriol pulmonalis yang


menghasilkan disfungsi vaskular pulmonal, tekanan ventrikel kanan, dan gagal
jantung kanan adalah mekanisme patofisiologi PH. Dua hipotesis dari terjadinya
PH mengusulkan bahwa pada terdapatnya suatu predisposisi genetik dan/atau
substrat molekuler, paparan terhadap mediator lingkungan dan biologis tertentu
dari kerusakan vaskuler mengawali sebuah kaskade dari peristiwa yang memberi
isyarat pada sel, yang memuncak pada malformasi struktur dan penurunan fungsi
dari arteriol pulmonal. Meskipun belum ada kejadian yang diketahui memicu
yang terjadinya PH, disfungsi endotel pulmonal dan penurunan level nitrit oksida
telah diteliti pada setiap stage PH. Vaskuler pulmonal merupakan jaringan
vaskular dengan densitas terbesar pada system vaskular manusia. Sehingga
gangguan kecil pada jalur sinyal yang mengatur struktur dan fungsi sel dalam
sirkulasi alveolar-paru dapat menyebabkan perubahan bermakna pada kerja
kardiopulmonal. Ciri histopatologi cornerstone PH adalah perubahan arteriol
pulmonal distal yang ditandai dengan penebalan intima, proliferasi tidak teratur
dari sel endotel arteri pulmonal yang resisten apoptosis (PAEC) dan sel otot polos
pembuluh darah paru (PSMC), peningkatan fibrosis perivaskular, dan dalam
bentuk tertentu dari PH, genesis lesi plexiogenik. Obliterasi subtotal luminal dari
arteriol pulmonal kecil maupun sedang, reaktivitas abnormal dari pembuluh darah
pulmonal, dan peningkatan tonus pembuluh darah paru berkontribusi pada
peningkatan resistensi vaskular pulmonal dan hilangnya fungsi sirkulasi ventrikel
kanan- paru. Pemahaman mengenai jalur sinyal pada PAEC, PSMC, fibroblast
paru, dan miosit ventrikel kanan yang terjadi akibat respon terhadap cedera, telah
menyebabkan pengembangan pada farmkaoterapi PH-spesifik. Terapi ini
bertujuan untuk memperbaiki tonus pembuluh darah paru dengan mengembalikan
nitrit oksida dan jalur sinyal yang dimediasi prostasiklin, atau melalui
penghambatan aktivasi kanal kalsium vaskuler yang bergantung pada endothelin-1
(ET-1) maupun yang tidak dari yang meningkatkan memicu mitogenesis vaskular
dan vasokontriksi. Disamping hal ini, meskipun demikian, hasil klinis di PH tetap
kurang, terutama pada pasien hipertensi arteri paru (PAH), di mana angka

3
kematian mendekati 10% dalam waktu 1 tahun diagnosis. Pengamatan ini telah
mendorong dimensi baru dalam investigasi yang menekankan kelainan pada
fungsi mitokondria, metabolisme sel, dan respon microRNA (mir)-dependent
terhadap hipoksia berpotensi terlibat dalam mekanisme patogenesis PH.

Gambar 1. Patobiologi hipertensi arteri pulmonal. Hipotesis PAH berupa faktor


resiko molecular dan genetic, paraparan lingkungan, dan stimuli biologis pada
kerusakan kardiovaskular atau pulmonal yang meningkatkan kadar stress oksidan,
disfungsi mitokonria, dan upregulasi microRNA spesifik, yang mendisregulasi
jalur sinyal sel yang bertanggungjawab mengatur struktur dan fungsi vaskular
paru normal. Perubahan ini berhubungan dengan vaskulopati PAH klasik yang
ditandai dengan disfungsi endotel paru, lesi plexogenik, vaskonstriksi, dan
thrombosis mikrovaskular. BMP-RII morfogenetik reseptor protein tulang II,
PAEC sel endotel arteri pulmonal, PSMC sel otat polos pulmonal, BMP-RII: bone
morphogenetic protein receptor II, PAEC: pulmonal artery endothelial cell,
PSMC: pulmonal smooth muscle cell, RV: right ventricle, ROS: reactive oxygen
species, NO: nitrit oksida factor, miRNA: microRNA, VEGF: vaskular
endothelial growth.

4
Gambar 2. Patofisiologi hipertensi pulmonal. hipertensi paru (PH) ditandai
dengan gangguan reaktivitas vaskular paru karena berbagai heterogen proses
patologis sel / molekul yang memediasi cedera vaskular paru. disfungsi vaskular
paru pada PH terdeteksi secara klinis oleh peningkatan reaktivitas vaskular paru,
yang dapat dinilai invasif dengan kateterisasi jantung atau non invasif dengan
ekokardiografi transthoraks (inset). Dalam kondisi normal, pemeriksaan Doppler
dari traktus aliran arteri pulmonal menghasilkan selubung sinyal triangular luas.
Pada penurunan pemenuhan vaskular, seperti yang terjadi pada kasus PH sedang
hingga berat, waktu puncak percepatan aliran darah menurun (percepatan waktu
PA) dan sinyal Doppler yang tercermin terdeteksi sebagai “takik” pada
pertengahan atau akhir sistolik. Peningkatan tekanan ventrikel kanan (RV)
menyebabkan perubahan konformasi geometri untuk rongga RV (digariskan
dalam warna hitam) serta hipertrofi RV dan disfungsi sistolik. LA : atrium kiri,
PA : arteri pulmonalis, RA : kanan atrium, cm / s : cm / detik. MRI jantung
diproduksi ulang dengan izin dari Fernandez-Friera L, Alvarez-Garcia A, Guzman
G et al. (2011) Apical right ventricular dysfunction in patients with pulmonal
hypertension demonstrated with magnetic resonance. Heart 97:1250–1256

5
2. Patofisiologi PH

Di PH, kinerja sirkulasi paru terganggu sebagai konsekuensi perubahan


yang merugikan pada arteriol paru kecil dan sedang yang terjadi sebagai respon
terhadap cedera kronis vaskular paru. Pada sebagian besar pasien, perubahan ini
terjadi karena hipoksia vasokonstriksi paru; kongesti vaskular di pengaturan
hipertensi atrium kiri (yaitu, gangguan fungsi ventrikel kiri [LV], penyakit katup
mitral); atau impedansi aliran darah paru sebagai konsekuensi dari penyakit paru
primer, jantung, paru, atau tromboemboli pembuluh darah. Dalam PAH, interaksi
antara spesifisitas molekul dan faktor genetik menginduksi penipisan dari arteriol
paru dan mengganggu mekanisme homeostatis yang biasa mengontrol tonus
pembuluh darah dan fungsi platelet. Hal ini menyebabkan triad klasik PAH
fenotip yaitu trombosis mikrovaskuler, peningkatan reaktivitas vaskular paru, dan
lesi plexiform (Gbr. 1). Definisi dari PH sebagai berikut: elevasi berkelanjutan
pada mean tekanan arteri pulmonalis (> 25 mmHg) dan resistensi pembuluh darah
paru (> 3 un Wood) pada tekanan kapiler pulmoner normal. Pengukuran ini
menekankan disfungsi vaskular paru sebagai determinan diagnosis PH. Perbedaan
ini berangkat dari pengulangan-pengulangan sebelumnya mengenai definisi ini
dengan cara mengidentifikasi sistem sirkulasi pulmonal sebagai sebuah kesatuan
spesifik di dalam aparatus kardiopulmunal yang lebih besar. Pendekatan ini lebih
jauh mencerminkan fakta bahwa strategi terapi tradisional untuk PH, yang
menekankan pada komorbiditas yang terkait dengan OH (yaitu, penyakit paru
hipoksia, kerusakan fungsi diastolik ventrikuler) untuk meredakan gejala, sering
tidak berhasil dalam menyediakan hemodinamik kardiopulmonal yang cukup dan
berkepanjangan untuk pasien. Menganalisis patofisiologi PH, dan dengan
demikian, pencarian terapi pada era yang modern ini harus harus didasarkan pada
sebuah pemahaman dari faktor biologis/molekuler yang mengendalikan
perkembangan penyakit.

Peningkatan resistensi vaskuler paru ditoleransi buruk oleh RV jika


dibandingkan dengan LV, RV berdinding tipis dan struktur tidak padat. Perubahan
kronis volume dan / atau tekanan RV mengakibatkan perubahan adverse RV yang

6
ditandai dengan peningkatan volume akhir diastolik, perubahan konformasi
geometri dari tetrahedron normal ke trapesium crescentic, dan hipertrofi dinding
RV (Gambar. 2). Akhirnya disfungsi RV sistolik dapat dipercepat atau diperberat
oleh regurgitasi katup trikuspid progresif yang meningkatkan volume akhir
diastolik RV dan meningkatkan dilatasi kavitas. Mekanisme pathobiological
terlibat dalam pengembangan frank, kegagalan RV ireversibel (yaitu, kor
pulmonal) adalah belum terselesaikan, tapi kemungkinan melibatkan iskemia RV
(subendocardial), regangan / stres yang diinduksi fibrosis intramural replacement,
dan efek torsional pada miosit RV yang dimediasi oleh perubahan bentuk RV.

Tekanan arteri pulmonalis sebagian tergantung pada fungsi RV sistolik.


Sehingga berkurangnya kontraktilitas RV, tekanan arteri pulmonalis mungkin
normal meskipun pada penyakit pembuluh darah paru berat. Sepanjang jalur
tersebut, perubahan bertaPAH fungsi sistolik RV pada pasien dengan PH terkait
dengan memburuknya gejala (mis, dyspnea, kelelahan, perut edema / perifer),
penurunan kapasitas fungsional, dan peningkatan mortalitas. Pada kasus pasien
dengan gagal jantung ringan (New York Heart Association kelas II) dan hipertensi
atrium kiri terkait PH karena disfungsi sistolik LV, di mana fraksi RV ejeksi 39%
adalah prediktor independen dari kematian dini. Demikian pula, pada pasien
dengan PAH, penurunan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE),
pengukuran ekokardiografi fungsi RV sistolik, berkorelasi terbalik dengan angka
kematian 1 tahun. Pada gilirannya, manfaat klinis yang diberikan kepada pasien
PAH dengan antagonis reseptor endotelin dan terapi penggantian prostasiklin
terjadi berdasarkan efek yang menguntungkan mereka pada kondisi RV loading
yang meningkatkan perubahan RV dan mengembalikan kopling RV-paru
vaskular.

7
3. Mekanisme Pemberian sinyal Sel pada Patobiologi PH

3.1 Nitrit Oksida Sintase Endotel pada PH

Nitrit oksida (NO) adalah molekul gas lipofilik 30 Da, yang dapat
berdifusi melalui membran PAEC / PSMC untuk berpartisipasi dalam pemberian
sinyal interseluler. Nitrit oksida disintesis dalam jaringan mamalia melalui
aktivasi tiga isoform nitrit oksida sintase (NOS), masing-masing adalah enzim
homodimerik yang mengandung domain yang mengikat kalmodulin yang
memisahkan domain domain yang mengikat heme N-terminal dan domain
reduktase C-terminal. NOS mengkatalisis pembentukan NO dari L-arginin dalam
reaksi yang terdiri dari dua langkah monooksigenasi yang berbeda. Dalam
langkah monooksigenasi pertama, dua mol elektron disumbangkan oleh satu mol
NADPH untuk oksigen terikat heme melalui flavin adenin dinukleotida (FAD)
dan flavin mononukleotida (FMN). Hal ini memungkinkan untuk oksidasi dua
elektron dari nitrogen guanidin dari L-arginin untuk membentuk satu mol masing-
masing omega-N-hidroksil-arginin dan air. Pada langkah monooksigenasi kedua,
satu-setengah mol NADPH mentransfer satu elektron ke oksigen terikat heme
kedua, dan omega-N-hidroksil-arginin mengalami oksidasi tiga elektron untuk
membentuk mol masing-masing satu NO dan L-citrulline.

Aktivasi NOS endotel (eNOS), seperti dalam respon stress endotel


vaskular, dimodulasi oleh berbagai modifikasi pasca-translasional intraseluler,
termasuk S-nitrosilasi (misalnya, Cys94, Cys99), fosforilasi (misalnya, Ser1177,
Ser65, Thr495), dan palmitoilasi. Jalur sinyal ekstraseluler klasik yang terlibat
dalam aktivasi eNOS termasuk transduksi sinyal reseptor pasangan protein G,
yang meningkatkan kadar Ca2+ intraseluler dan, kemudian, kadar Ca2+-
kalmodulin; Pemberian sinyal melalui sphingosine 1-fosfat; faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF) melalui fosfatase kalsineurin; dan rangsangan hormonal
(misalnya, estrogen dan insulin). Penurunan aktivitas eNOS pembuluh darah paru
diamati dalam berbagai model binatang dari PH in vivo dan pada manusia dengan
penyakit ini. Secara khusus, hilangnya bioavailabilitas NO berhubungan dengan
gangguan vasodilatasi yang tergantung pada endotel maupun yang tidak,

8
peningkatan mitogenesis PSMC, dan agregasi platelet. Mekanisme yang diusulkan
untuk memperhitungkan pengurangan kadar dari eNOS fungsional di PH yang
dijelaskan di bawah.

3.1.1 Hipoksia dan eNOS pada PH

Mekanisme dimana hipoksia memengaruhi ekspresi gen eNOS masih


kontroversial, seperti paparan PAEC terhadap PaO <70 mmHg telah dikaitkan
dengan peningkatan dan penurunan kadar ekspresi protein eNOS. Fish dan
kawan-kawan menunjukkan bahwa hipoksia menginduksi penurunan asetilasi dan
lisin 4 metilasi dari histon promotor eNOS proksimal untuk menurunkan
transkripsi gen eNOS. Sebaliknya, orang lain telah menyarankan bahwa faktor 1a
(HIF1a) yang dapat menginduksi hipoksia, faktor utama transkripsi yang
memodulasi berbagai proses seluler dalam merespon hipoksia, mengikat respon
elemen HIF di sekitar promotor eNOS untuk meningkatkan ekspresi gen eNOS.
Namun, dalam skenario ini, regulasi yang dimediasi hipoksia dari ekspresi eNOS
tidak selalu berarti ada peningkatan aktivitas eNOS. Sebaliknya, stimulasi tonik
dari eNOS dikaitkan dengan penurunan paradoks dalam kegiatan eNOS,
kemungkinan karena konsumsi dan penipisan berikutnya kofaktor kunci (yaitu,
5,6,7,8 tetrahydrobiopterin [BH]) yang diperlukan untuk fungsi eNOS normal.
Dengan kondisi tersebut, eNOS tampaknya “tidak berpasangan”, yang
menghasilkan superoksida (O2-) lebih dari NO• (lihat Bagian 3.3). Data dari
percobaan PH in vivo mendukung klaim ini: defisiensi dan / atau gangguan fungsi
eNOS merupakan faktor kunci dalam patogenesis penyakit. Misalnya, tikus
percobaan dengan eNOS yang tidak diekspresikan (eNOS-/-) yang terpapar
hipoksia ringan menunjukkan secara signifikan meningkatkan tekanan RV sistolik
dan marker bioaktivitas eNOS berkurang dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas
eNOS juga berkurang pada peradangan (monokrotaline), genetik (defisiensi
reseptor protein morfogenetik tulang II [BMP-RII]), dan angioproliferatif (VEGF
penghambatan dengan SU-5416) model eksperimental PAH in vivo. Hipoksia
juga dapat menurunkan aktivitas eNOS dengan menginduksi modifikasi pasca-

9
translasional eNOS dan / atau Kaveolin-1, yang menurunkan sensitasi Ca2+ oleh
eNOS dan menghasilkan disosiasi eNOS dari protein pengatur, protein heat shock
90 dan kalmodulin. Atau, hipoksia menurunkan kadar bioavabilitias NO melalui
mekanisme yang tidak terkait dengan eNOS. Dalam sel darah merah, misalnya,
hipoksia memicu peningkatan kadar besi heme-nitrosyl (Feno) yang membatasi
hemoglobin S-nitrosilasi, yang, merupakan kunci mekanisme yang sensitif
terhadap PaO2 dalam regulasi tonus pembuluh darah paru.

3.1.2 Stres Oksidan dan eNOS

Gangguan status redoks dari PAEC, PSMC, miosit RV, dan fibroblas paru
yang disebabkan oleh aktivasi dari enzim yang menghasilkan spesies oksigen
reaktif (ROS), seperti NADPH oksidase (NOX), xantin oksidase, dan eNOS yang
tidak berpasangan, atau melalui fungsi rantai transpor elektron yang terganggu
pada mitokondria, memicu vaskulopati pulmunal yang dicirikan dengan
kerusakan vasodilatasi yang bergantung NO, penebalan tunika intima, dan fibrosis
perivaskuler (Mittal et al. 2012). Pada manusia, peningkatan pada ROS vaskular
pulmonal bisa terjadi sebagai respon patologis pada hipoksia kronik, atau
peningkatan aliran darah ke vaskular pulmonal (misalnya, sekunder karena shunt
intrakardiak); atau karena kerusakan fungsi enzim antioksidan, yang ada pada
kasus PH yang berhubungan dengan anemia sel sabit yang mana defisiensi
peroksidase glutation teramati di sini (Gizi et al. 2011). ROS bisa merusak
aktivitas eNOS melalui oksidasi dari kofaktor enzim (yaitu, BH4), atau NO yang
tidak aktif seperti pada kasus dari O2- yang bereaksi dengan NO untuk
menghasilkan peroksinitrit (ONOO-). Sebagai tambahan, interaksi dari O2- dengan
NO2- membentuk peroksinitrat (O2NOO-) dan, dengan demikian, mengurangi
level NO2-, yang merupakan kunci untuk sintesis NO yang terlepas dari NOS.

3.1.3 Mediator Genetik dari eNOS pada PH

10
BMP-RII merupakan sebuah kinase serin-treonin dan anggota dari
superfamili reseptor (TGF-β) (Rosenweig et al. 1995). Sekitar 70% dari kasus
PAH familial mencakup mutasi pada BMP-RII, dan disfungsi reseptor diketahui
meningkat sebagai kontributor pada bentuk non PAH dari PH (Machado et al.
2006). Meskipun BMP-RII dipercaya memiliki kontribusi pada perombakan
pembuluh darah pulmonal melalui rentang yang luas dari jalur pemberian sinyal,
termasuk migrasi PSMC yang tergantung pada SMAD (Long et al. 2009), telah
digambarkan sebelumnya bahwa 2 ligan BMP-RII, BMP2 dan BMP 4, terlibat
dalam fosforilasi eNOS yang tergantung pada BMP-RII pada Ser-1177 untuk
mengatur aktivitas eNOS (Gangopahyay et al. 2011). Hampir sama, abnormalitas
pada fungsi dari endoglin, sebuah kunci dari reseptor BMP pada PAEC manusia,
dihubungkan dengan perkembangan dari PAH ketika tampak pada latar sindrom
klinis telangiektasia hemoragik gerediter (HHT) tpe 1 dan tipe 2. Tikus
heterozigot dalam hal ekspresi endoglin endotel vaskuler (Eng +/-) menampakkan
PH spontan in vivo dikarenakan produksi ROS vaskuler pulmonal, eNOS yang
tidak berpasangan, dan produksi yang berkurang dari NO yang dapat dihambat
oleh NOS.

Beberapa polimorfisme eNOS terlibat dalam perkembangan PH dan


penyakit vaskuler lainnya. Misalnya, polimorfisme single nukleotida yang
mengarahkan substitusi asam aspartat ke asam glutamat pada posisi 298
(Glu298Asp) dari eNOS dan meningkatkan frekuensi alel NOS4a dari 27-bp
variabel jumlah dalam mengulangi meningkatnya kerentanan berkembangnya ke
sindrom high altitude pulmonal edema (HAPE), termasuk peningkatan tekanan
arteri pulmonalis dan resistensi pembuluh darah paru. Perubahan ini dapat terjadi
karena perubahan fungsi yang membatasi konformasi dari eNOS, meskipun
mekanisme pasti yang digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut tidak
diketahui (Miyamoto et al. 1998; Droma et al. 2002; McDonald et al. 2004).

3.2 Sistem endotelin-1

11
Endotelin-1 (ET-1) adalah peptida vasoaktif asam amino 21 yang berisi
dua jembatan disulfida antara Cys1-Cys15 dan Cys3-Cys11 (Yeager et al. 2012),
yang diperlukan untuk pembelahan proteolitik ET -1 dari prekursornya, “Big eT-
1” yang dimediasi oleh enzim yang mengkonversi endotelin. Endothelin-1 secara
konstitutif dinyatakan dalam berbagai jenis sel mamalia, termasuk sel-sel sinusoid
hepar, sel-sel epitel ginjal, dan PAEC (Huggins et al. 1993). Tingkat ekspresi gen
endothelin-1 mengalami upregulation secara signifikan dalam miosit RV, PAEC,
PSMC, dan fibroblas paru pada saat adanya stimuli yang terkait dengan cedera
vaskular paru pada PH, termasuk sitokin yang memediasi peradangan vaskuler
(yaitu, TGF-β, IL-6) (Olave et al. 2012), peningkatan kadar ROS dalam pembuluh
darah paru (An et al. 2007), hipoksia (Yamashita et al. 2001), dan penurunan
kadar bioavailable NO* (Kourembanas et al. 1993). Pada kenyataannya, level ET-
1 plasma dapat meningkat empat kali lipat pada pasien dengan PAH atau PH
karena hipertensi atrium kiri, dan analisis imunohistokimia anti-ET-1
mendemonstrasikan secara signifikan peningkatan imunoreaktivitas di PAEC dan
PSMC dari lesi pleksiforme dibandingkan pada pembuluh darah yang dipotong
dari kontrol normal (Giaid et al. 1993). Endotelin-1 juga dilepaskan dari sel-sel
darah merah sabit dan berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk memicu
vasokonstriksi dalam proses kontribusi ke sistemik dan vasculopathy pulmonal
dari anemia sickle cell (Gladwin dan Vichinsky 2008).

Endotelin-1 mengatur tonus pembuluh darah paru melalui interaksinya


dengan vasokonstriktor endotelin-tipe A (ETA) dan reseptor tipe B (ETB) di
PSMC dan reseptor vasodilatasi ETB di PAEC, yang tidak mengekspresikan ETA.
Endotelin-tipe A dan reseptor ETB adalah anggota dari superfamili reseptor
rangkaian G-protein dan secara keseluruhan sangat homolog (55%), dengan
pengecualian dari rangkaian distal asam amino kaya 35 sistein ke domain
transmembran ketujuh, di mana homologi antara reseptor hanya 75% (Doi et al.
1999). Sejak sistein di bagian ini diyakini mengatur pemasangan protein G kepada
baik reseptor ETA maupun ETB, dan, dengan demikian, integral terhadap reseptor
sinyal transduksi, telah didalilkan bahwa perbedaan antara subtipe reseptor
mungkin menjadi penyebab fungsi diferensial mereka (Okamoto et al. 1997).

12
Dalam PSMC, stimulasi reseptor ETA/B oleh ET-1 yang menginduksi
pemasangan Gi dan Gq untuk memodulasi hidrolisis yang dimediasi fosfolipase
C dari fosfatidilinositol 4,5-bifosfat ke inositol 1,4,5-triphosphate (IP3). Nantinya,
pembukaan kanal kalsium (Ca2+) yang sensitif terhadap IP3 seperti pembukaan
kanal Ca2+ yang tidak selektif yang dimediasi ET-1 menginduksi peningkatan
fluks intraseluler Ca2+ ([Ca2+]i), gelombang Ca2+, dan osilatori Ca2+ yang memicu
vasokonstriksi (Liu et al. 2012). Yang penting, vasokonstriksi yang diinduksi ET-
1 yang menetap setelah pemisahan ET-1 dari reseptor ETA, yang menunjukkan
bahwa respon fluks [Ca2+]i diperantarai oleh ET-1 adalah kuat, atau
hiperpolarisasi yang tergantung pada Ca2+ tertunda selama pemberian sinyal ET-1,
atau keduanya (Zhang et al 2003;. Liu et al 2012.). Konsekuensi fungsional
pemberian sinyal reseptor ETA pada tonus pembuluh darah dicatat: relatif
terhadap norepinefrin, konsentrasi ET-1 yang dibutuhkan untuk menginduksi 50%
kontraksi pembuluh darah (disebut, EC50) di arteri koroner babi, aorta tikus, dan
arteri pulmonalis tikus adalah masing-masing 0,52 , 1,4, dan 0,68 (Huggins et al.
1993). ET-1 yang terikat pada reseptor ETA (Ki = 0,6 nmol 1-1) juga memicu
mitogenesis vaskuler sel otot polos dengan mengaktifkan berbagai perantara
pemberian sinyal yang mengatur sintesis protein, termasuk protein kinase C;
mitogen-activated protein kinase (MAPK); p70S6K, yang menargetkan protein
ribosom S6K untuk meningkatkan sintesis protein seluler; dan epidermal growth
factor receptor (EGFR) melalui fosforilasi tirosin (Iwasaki et al 1999;. Kapakos et
al 2010.). Menariknya, upregulation dari faktor transkripsi proto-onkogen c-fos
oleh ET-1 (atau hipoksia) dihubungkan dengan proliferasi sel dan fibrosis dari
PSMC, fibroblas paru-paru, dan miosit pada model binatang percobaan dari PH
(Rothman et al 1994;. Nishimura et al 2003;. Recchia et al 2009), memberikan
bukti molekuler untuk menjelaskan tumpang tindih fenotipik proliferatif antara
lesi pleksogenik dari PAH dan berbagai tumor padat.

Berbeda dengan PSMC, ET-1 yang terikat pada reseptor ETB (Ki 0,12
nmol l-1) pada PAEC menyebabkan aktivasi eNOS dan sintesis NO*, yang
diperlukan untuk mempertahankan tonus pembuluh darah paru normal dan
mencegah perombakan vaskuler. Aktivasi dari eNOS yang bergantung pada

13
reseptor Endotelin tipe B diyakini terjadi melalui pemasangan protein G ke
reseptor ETB yang merangsang fluks [Ca2+]i dan selanjutnya peningkatan Ca2+
yang terikat dengan kalmodulin, yang merupakan kunci modulator alosterik dari
aktivitas eNOS. Hasil terbaru dari laboratorium kami telah menunjukkan bahwa
tingkat patofisiologi hormon mineralokortikoid aldosteron mirip dengan yang
diamati pada manusia dengan PH, meningkatkan produksi ROS yang terkait
NOX-4 pada PAEC in vitro, yang berhubungan dengan disfungsi reseptor ETB,
gangguan aktivasi eNOS yang berhubungan dengan reseptor ETB, dan oksidasi
NO* ke ONOO- (Maron et al. 2012).

Reseptor signal tranduksi endotelin tipe B juga menghasilkan sintesis


prostaglandin vasodilator (PG). Dalam paru-paru babi percobaan yang diisolasi
yang paparkan pada ET-1, telah diamati terjadi peningkatan 50 kali lipat dari
sintesis PGI2 yang bergantung pada reseptor ETB (D'Orleans-Juste et al. 1991),
meskipun mekanisme aktivasi reseptor ETB yang merangsang sintesis PGI2 tidak
dikarakteristik dengan baik. Internalisasi reseptor ETB/kompleks ET-1 dan
degradasi proteasomal selanjutnya adalah mekanisme utama dimana eliminasi ET-
1 terjadi. Kesimpulan ini didukung oleh penelitian secara in vivo yang melibatkan
tikus letal transgenik (sl/ sl), yang memiliki kekurangan konstitutif dari reseptor
ETB yang diekspresikan. Dibandingkan dengan tipe tikus liar, tikus ini
menunjukkan tingkat signifikan sirkulasi ET-1 lebih tinggi dan PH yang lebih
parah setelah injeksi monokrotaline untuk menginduksi cedera vaskular paru
(Nishida et al. 2004).

3.3 Kelarutan Guanilil Siklase dan Inhibisi Fosfodiesterase pada PH

Nitrit oksida adalah aktivator biologis utama dari heterodimeric (α1/β1 atau
α1/ β2) enzim larut guanylyl siklase (sGC) yang mengkatalisis konversi sitosolik
GTP ke cGMP, yang merupakan molekul pemberian sinyal sekunder penting yang
diperlukan untuk aktivasi cGMP-dependent protein kinase (yaitu, protein kinase
G [PKG]) untuk memicu relaksasi PSMC dan menghambat agregasi platelet dan
trombosis. Nitrat oksida mengikat kelompok prostetik heme (Fe2+) dari hasil sGC

14
dalam pembentukan hexa-coordinated histidine heme NO*. Pembelahan
berikutnya dari ikatan heme-histidin mengarah ke peningkatan regulasi aktivitas
enzim: konsentrasi nanomolar NO* dapat menyebabkan peningkatan 100 kali lipat
yang tepat dalam aktivasi sGC (Evgenov et al 2006.). Di PH, peningkatan kadar
akumulasi ROS dapat merusak aktivitas sGC melalui oksidasi heme dari ferrous
(Fe2+) ke ferric (Fe3+) yang mengubah state sGC ke negara insensitive state NO*,
mungkin karena penurunan afinitas NO* untuk oksidasi heme. Studi lain
menunjukkan bahwa aktivitas sGC dipengaruhi oleh status redoks fungsional sGC
cysteinyl thiol (s) dengan cara yang independent of the heme redox state (Fernhoff
et al 2009;. Yoo et al 2012.). Hasil dari laboratorium kami telah menunjukkan
bahwa konsentrasi patofisiologi H2O2 menginduksi pembentukan cysteinyl thiol
oksidatif yang lebih tinggi dari Cys-122 pada subunit β1 dari sGC dalam vaskuler
sel otot polos, termasuk asam sulfenic, asam sulfinic, dan bentuk disulfida.
Modifikasi oksidatif posttranslasi dari Cys122, pada gilirannya, berfungsi sebagai
redoks 'switch' yang mengatur fungsi enzim, yang mengakibatkan penurunan NO*
sensing oleh sGC dan mengganggu aktivitas enzim (Maron et al. 2009). Pentingnya
abnormal fungsi sGC dalam patogenesis PH telah dibuktikan. Tikus transgenik
yang kekurangan subunit sGC α1 menimbulkan peningkatan berlebihan terhadap
tekanan sistolik RV dan muscularization dari arteriol pulmonal intraacinar diikuti
paparan hipoksia kronis dibandingkan dengan tikus liar (Vermeersch et al. 2007).
Selain itu, hipoksia sendiri dikaitkan dengan penurunan mRNA dan level protein
sGC sebaik sGC dependent cGMP formation (Hassoun et al. 2004).

Secara kolektif, pengamatan ini melibatkan potensi farmakoterapi heme-


independent sGC activators di PH. Bermula dari Ko and colleagues and drug
discovery experiments yang dilakukan di Bayer HealthCare di awal 1990-an
diidentifikasi YC-1 [3-5’-hydroxymethyl-2’furil)-1-benzil indazole] dan
komponen derivat 5-substituted-2-furaldehyde-hidrazone ( yaitu, senyawa BAY),
masing-masing sebagai aktivator heme-(in)dependent dari sGC (Ko et al 1994;..
Stasch et al 2006). BAY 58-2667, mungkin yang terbaik dipelajari antara senyawa
ini, mengaktifkan sGC dengan Km dari 74 µM dan Vmax dari 0,134 µmol min-1
mg-1 (Schmidt et al. 2003), dan meskipun mekanisme ini dan senyawa lain BAY

15
mengaktifkan heme-oxidazed sGC tidak sepenuhnya jelas, satu hipotesis
terkemuka berpendapat bahwa BAY 58-2667 bersaing dengan heme yang
teroksidasi untuk berikatan dengan sGC-activating untuk menginduksi aktivasi
enzim (Pellicena et al. 2004) (lihat part III, Bag. 1). Efek dari senyawa ini pada
vasodilatasi pemberian sinyal sGC-NO* dan NO*-dependent vaskular remodeling
telah dinilai pada PH secara in vivo. Dalam satu penelitian, administrasi YC-1
untuk menurun hipoksia proliferasi PSMC pada tikus dan tekanan arteri
pulmonalis (Huh et al. 2011). Pengaruh BAY 63-2521 (Riociguat ™) pada
hemodinamik kardiopulmonal juga dinilai melalui small cohort pada pasien
dengan PAH, chronic thromboembolic PH, atau PH dari penyakit paru interstitial.
Terapi obat (3,0-7,5 mg per hari) lebih dari 12 minggu menurunkan resistensi
pembuluh darah paru dengan 215 dyne s cm-5, yang dikaitkan dengan peningkatan
median 6-menit berjalan dari jarak dengan 55,0 m dari baseline (Ghofrani et al.
2010).

3.4 Inhibisi Fosfodiesterase pada PH

Pada tahun 1962, Butcher dan Sutherland mengimplikasikan aktivitas


enzimatik fosfodiesterase degradasi endogen dari adenosin 3’, 5’ fosfat (cAMP)
(Butcher dan Sutherland 1962). Sebelas PDE isoform terdeteksi sejak dalam
jaringan mamalia (Tabel 1). The fields of PDE biochemistry and PH intersected
mengikuti identifikasi cGMP-specific PDE type 5, pada konsentrasi tinggi di
PSMC, platelet, dan miosit. Fosfodiesterase tipe 5 meregulasi bioaktivitas cGMP
bioaktivitas (1) hidrolisis cGMP ke 5’-GMP, dan (2) alosterik pengikatan cGMP
pada domain PDE-5 GAF, yang menginduksi perubahan konformasi struktur
PDE-5 dan feed back positif untuk memicu metabolisme cGMP (Gambar. 3).
PDE-5- cGMP mengikat dari range Kd 2,4 µM (pH = 5.2) sampai 0,15 µM (pH =
9,5) (Turko et al. 1999). Cara pH-dependent ini terjadi dalam laporan,
menunjukkan peran regulasi untuk siklik ionisasi residu nukleotida (yaitu, pH-
sensitive) Asp-289 dan Asp-478 dalam memodulasi fungsi PDE-5 (McAllister-
Lucas et al . 1995). Konsentrasi intraseluler cGMP juga dapat dipengaruhi oleh

16
fluks melalui chanel cGMP-gated dan transporter multidrug, meskipun kontribusi
tersebut terhadap total bioaktif cGMP diabaikan dalam jaringan pembuluh darah
paru (Serre et al. 1995).

Tabel 1 Properti spesifik kinetik cGMP pada fosfodiesterase dan distribusinya

Dalam PAH, ekspresi PDE-5 meningkat di PSMC dan di RV miosit


(Wharton et al 2005; Nagendran et al 2007), yang berhubungan dengan penurunan
tingkat bioaktif NO*, disfungsi vaskular paru, dan gangguan RV lusitropy
(Waxman 2011). Dalam cultured PBMC, inhibitor PDE5 melemahkan adverse
remodeling, termasuk sintesis DNA/pertumbuhan sel, proliferasi sel, dan supresi
apoptosis (Wharton et al. 2005). Fosfodiesterase tipe 5 juga terkait dengan
penurunan beban trombotik di PH tromboemboli kronis, dengan meningkatkan
kadar bioaktif cGMP pada platelet untuk menghambat agregasi platelet
(Suntharalingam et al. 2007).

3.5 Pemberian sinyal Prostasiklin pada PH

17
Asam arakidonat, atau 5,8,11,14-eicosatetraenoic acid, dilepaskan dari
membran fosfolipid untuk menanggapi rangsangan mekanik atau kimia,
menghasilkan sintesis dua kelas utama dari eikosanoid: prostanoids, melalui jalur
cyclooxygenase (COX), dan leukotrien, melalui jalur lipoxygenase (LO).
Siklooksigenase (COX) berada dalam sedikitnya dua isoform. COX-1 ada dalam
berbagai jenis sel termasuk endotelium pembuluh darah, mukosa lambung, dan
platelet. Sebaliknya, COX-2, yang merupakan bentuk diinduksi COX, ada dalam
sel yang terlibat dalam peradangan, khususnya makrofag. COX-2 juga ada dalam
sel endotel vaskular normal dan tampaknya diregulasi dalam menanggapi
rangsangan yang berhubungan dengan cedera vaskular, seperti shear stress
(Topper et al. 1996). Produk utama dari jalur COX yang berhubungan dengan
patofisiologi PH meliputi vasokonstriktor kuat dan stimulus untuk agregasi
platelet, tromboksan A2 (TXA2), dan prostaglandin I2 (prostasiklin), yang
diberikannya efek berlawanan untuk TXA2, termasuk vasodilatasi dan inhibisi
aktivasi platelet. Prostasiklin disintesis dari PGH2 oleh prostasiklin sintase dalam
reaksi yang terjadi terutama pada sel-sel endotel vaskular. Awalnya peneliti
berspekulasi bahwa vasokonstriksi fenotipe pulmonal pada PAH merupakan
konsekuensi dari ketidak seimbangan sintesis TXA2/PGI2. Hipotesis ini didukung
oleh pengamatan bahwa dibandingkan dengan pembuluh darah paru normal,
arteriol paru pra-kapiler diambil dari pasien dengan PAH, hepatopulmonal PH,
dan PH terkait HIV menunjukkan penurunan signifikan PGI2 synthase mRNA dan
tingkat ekspresi protein (Tuder et al. 1999).

18
Gambar 3 Pengaruh fosfodiesterase tipe 5 pada pemberian sinyal axis nitrat
oksida. Nitrat oksida (NO*) yang berasal dari endothelial nitrit oksida synthase
(eNOS), farmakologi NO* donor, atau melalui induksi yang diinduksi NOS pada
vaskular smooth muscle cells (VSMC) mengaktifkan guanylyl siklase (sGC)
soluble untuk menghasilkan cGMP. Pemberian sinyal normal NO*-sGC diatur
oleh status redoks dari ligan prostetik heme dan fungsional cysteinyl tiol (s),
seperti Cys 122, yang ada di dekat area aktif katalisasi dari β1-subunit sGC.
Interaksi cGMP dengan yang sasaran biologis yang paling relevan, protein kinase
G (PKG), menghasilkan relaksasi VSMC. Efek vasodilatasi dari jalur ini
diimbangi melalui interaksi cGMP dengan fosfodiesterase (PDEs), yang
mengalami penurunan bioaktif cGMP melalui hidrolisis cGMP untuk membentuk
5’ GMP, atau dengan alosterik pengikatan cGMP ke PDE. Dalam kasus PDE tipe
5 (PDE5), peningkatan cGMP dan PKG meregulasi aktivitas PDE5. Kontribusi
gate cGMP channels dan multidrug diangkut ke regulasi bioaktif cGMP dan
diabaikan di dalam jaringan pembuluh darah pulmonal. Adapted from Francis SH
et al. (2010) cGMP-dependent protein kinase and cGMP fosfodiesterases in nitrit
oksida and cGMP action. Pharm Rev 62:525–563.

Sebaliknya, meningkatnya level TXA2 dan meningkatkan sensitivitas


pembuluh darah paru terhadap TXA2 telah dilaporkan terjadi pada PH, seperti
pada model hipertensi pulmonal persisten pada neonatus yang diinduksi oleh

19
hipoksia (Hinton et al. 2007). Pengamatan ini konsisten dengan laporan lainnya
pada orang dewasa yang menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan pasien
kontrol sehat, pasien dengan PAH atau HP karena penyakit paru-paru hipoksia
menunjukkan peningkatan kadar ekskresi B2 11-dehidro-tromboksan dalam urin,
metabolit stabil TXA2, dan penurunan dari metabolit stabil prostasiklin, 2,3-
Dinor-6-keto-prostaglandin F1α (Christman et al. 1992).

Stres, ET-1, hipoksia, dan disfungsi BMP-RII masing-masing terkait


dengan hiperaktifitas dari jalur sintesis TXA2 yang terkait dengan PGI2 di
pembuluh darah (Zaugg et al 1996;. Lagu et al 2005;.. Racz et al 2010). Meskipun
mekanisme pasti yang digunakan untuk menilai ketidakseimbangan ini belum
terpecahkan, fungsi COX-2 yang tidak normal dalam lesi vaskular mungkin
memiliki peran. Baru-baru ini diketahui bahwa dibandingkan dengan tikus
kontrol, COX-2 tikus yang tidak berdaya yang diberikan monokrotalin untuk
menginduksi peradangan vaskular memperlihatkan peningkatan kuat ekspresi gen
NOX4, fluoresensi dihidroethidium (penunjuk dari akumulasi ROS), dan ekspresi
reseptor ETA pada arteriol paru, sedangkan kadar prostasiklin menurun secara
signifikan (Seta et al. 2011). Temuan ini konsisten dengan laporan-laporan
lainnya yang membahas PSMC dengan defisiensi COX-2, dimana hipoksia
menyebabkan respon perombakan hipertrofik dan sebuah fenotipe vasokonstriktor
(Fredenburgh et al. 2008).

5-lipoxygenase (5-LO) mengkatalisis konversi asam arakidonat menjadi


berbagai leukotrien yang memediasi proses seluler yang terlibat dalam
perombakan pembuluh darah dan respon seluler terhadap lesi. Leukotrien B4,
misalnya, dengan aktivitas kemotaksis dan kemokinetik pada leukosit
polymorphonuclear dan eosinofil (Ford-Hutchinson et al. 1980), dan leukotrien
C4, D4, dan E4 (masing-masing yang mengandung sistein a) terlibat dalam
vasokonstriksi paru dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru.
Meskipun tikus dengan ekspresi berlebihan dari 5-LO tidak langsung menjadi
PAH, disfungsi vaskular paru dan ketidaknormal hemodinamik kardiopulmonal
mempercepat adanya paru peradangan pembuluh darah (Jones et al. 2004). Ini

20
mendukung pengamatan lainnya yang menunjukkan bahwa keadaan inflamasi
berperan utama dalam sintesis 5-LO-dependent dari leukotrien cysteinyl vasoaktif
(Listi et al. 2008). Penghambatan molekul 5-LO yang mengaktifasi protein
(FLAP) telah terbukti dapat mencegah hipertensi pulmonal pada tikus dengan
hipoksia kronis (Voelkel et al. 1996).

3.6 Disfungsi Mitokondria

Mitokondria mengatur bioenergetika, respirasi seluler, dan status redoks


intraseluler, dengan demikian, memiliki potensi untuk mengatur jalur sinyal
PAEC / PSMC terkait dengan kelangsungan hidup sel, proliferasi, dan produksi
ROS. Hidrogen (hidrida) berasal dari karbohidrat makanan dan lemak teroksidasi
oleh molekul oksigen (O2) melalui asam (TCA) siklus dan β-oksidasi jalur
trikarboksilat, masing-masing, untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP).
Peristiwa biokimia ini terjadi melalui elektron transport chain, di mana dua
elektron yang disumbangkan oleh aliran NADH + 𝐻 + berurutan dari kompleks I
ke ubiquinone (koenzim Q) ke kompleks III (ubiquinol: sitokrom c
oksidoreduktase) dan kemudian ke sitokrom c. Elektron kemudian ditransfer
ke IV kompleks untuk mengurangi ½O2 dan menghasilkan H2O (Wallace 2005).
Proton dipompa melintasi membran bagian dalam dari mitokondria untuk agar
gradien negatif elektrokimia (Δψm:? ~ 200 mV) dapat melintasi membran itu,
sehingga memberikan gaya gerak listrik yang diperlukan untuk sintesis ATP.

Perubahan permeabilitas membran mitokondria, dan, karenanya, nilai


normal Δψm, yang mendahului perubahan reversibel struktural dan fungsional di
mitokondria dan, jika tidak terkontrol, beerpeluang untuk terjadi apoptosis sel
(Kroemer dan Reed 2000; Michelakis et al. 2008). Banyak mekanisme yang
menjelaskan hubungan antara permeabilitas membran mitokondria dan perubahan
kelangsungan hidup sel telah diusulkan dan meliputi peningkatan permeabilitas
dari tegangan permeability transition pore complex (PTPC) yang sensitif,
alkalinisasi pH lokal, dan gangguan status redoks intramitochondrial yang
menghasilkan\ oksidasi thiol yang terlibat dalam mengatur pembukaan PTPC dan

21
/ atau oksidasi nukleotida piridin (Yaitu, NADH / NAD +) untuk mendukung
pembukaan PTPC (Woodfield et al 1998;. Zamzami dan Kroemer 2001). Secara
keseluruhan, perubaan ini dapat memberikan jalan keluar terkait protein (mis,
Bax, Bcl-2, orang lain) dari intramitochondrial ke extramitochondrial, sehingga
mengaktifkan program kematian sel (Mossalam et al. 2012).

Gangguan patologis pengaturan mitokondria dependen dari kelangsungan


hidup sel adalah mekanisme sentral dalam patobiologi berbagai penyakit
angioproliferative, termasuk kanker tumor padat. Proliferasi keresistensian
apoptosis dari PAEC / PSMC seperti gambaran patofenotipik utama dari PH,
khususnya yang berhubungan dengan lesi pleksogenik di PAH. Pengamatan ini
telah meningkatkan perhatian kita terhadap kemungkinan bahwa disfungsi
mitokondria merupakan faktor patobiologikal yang kurang diakui untuk menilai
adanya tumpang tindih fenotipik antara dua kategori penyakit yang luas. Bukti
yang mendukung konsep ini berasal dari sebagian pengamatan pada tikus-rusa,
sebuah strain hewan unik yang berkembang dari PAH spontan. Sel otot polos
vaskular paru dari hewan-hewan ini menunjukkan mitokondria yang ukurannya
mengecil dan terfragmentasi sebelum terjadi perombakan vaskular paru (Bonnet
et al. 2006). Efek fungsional dari perubahan ini terkait dengan perubahan
metabolisme mitokondria dari fosforilasi oksidatif terhadap glikolisis, penurunan
elektron fluks, dan aktivasi lainnya dari hypoxia-inducible factor (HIF) -1α
(Archer et al. 2008). Disisi lain, HIF-1α telah menunjukkan bahwa dalam sel
endotel yang dikultur dari pasien dengan PAH idiopatik dengan target karbonat
anhidrase IX, bahwa terjadi penurunan kadar enzim antioksidan mangan
superoksida dismutase (SOD2) untuk meningkatkan ROS vaskular dan penurunan
kadar NO • (Fijalkowska et al. 2010). Menariknya, dalam percobaan ini,
peningkatan ekspresi HIF-1α berkorelasi terbalik dengan rendah jumlah
mitokondria, yang menunjukkan bahwa kontrol negatif dari biogenesis
mitokondria oleh HIF-1α mungkin menjadi salah satu mekanisme yang digunakan
untuk memperhitungkan ketidaknormalan pola respirasi seluler yang diamati
dalam model vivo dari PAH. Faktor lazim yang terkait dengan PAH juga dapat
mempengaruhi disfungsi mitokondria secara langsung. Misalnya, dibandingkan

22
dengan kontrol yang sehat, stimulasi PSMC dengan ET-1, platelet-derived growth
factor (PDGF), atau IL-6 yang dikultur dari pasien PAH dalam Kruppel-like
factor 5 (KL-5) yang dimediasi oleh aktivitas cyclin B1 yang terjadi
hiperpolarisasi dari membran dalam mitokondria untuk menghambat apoptosis
(Courboulin et al. 2011b).

Dalam kondisi normoxic, rantai transpor elektron kompleks I atau II


menghasilkan O2- yang mengalami mutasi menjadi H2O2, yang merupakan sebuah
molekul pemberian sinyal kunci yang diperlukan untuk mengaktivasi kanal Kv
yang diperlukan untuk mempertahankan gradien elektrokimia negatif dari
mitokondria (Bonnet et al. 2006). Pada PaO2 < 70 mmHg, ada produksi H2O2
intramitokondria yang berkurang, pembukaan dari kanal Kv1.5 yang sensitif
terhadap O2, dan dilanjutkan dengan aktivasi dari kanal Ca2+ tipe L yang memicu
vasokontriksi pulmonal (Archer et al. 2004). PSMC manusia pada pAH, meskipun
demikian, tidak cukup pada kanal Kv 1.5, dan data dari model hewan eksperimen
dari PAH menunjukkan bahwa efek dari defisiensi ini adalah hiperpolarisasi
mitokondria, dan, sebagai akibatnya, aktivasi tonik dari kanal Ca2+ tipe L
berhubungan dengan vasokonstriksi dan proliferasi dari PSMC (Reeve et al. 2001)

Yang masih kurang baik ditetapkan adalah peran dari bioenergetik


mitokonria abnormal pada perkembangan dari disfungsi vaskular pulmonar
dan/atau hipertrofi RV pada PH. Ada peningkatan bukti yang menunjukkan
bahwa di dalam kardiomiosit, pergeseran pada penggunaan cadangan makanan
seluler yaitu siklus glukosa-asam lemak (yaitu, siklus Randle) (Randle et al. 1963)
menjadi penyebab perubahan struktur miokardial (yaitu, hipertrofi) dan fungsi
miokardial (yaitu, kerusakan kontraktilitas) (Gambar. 4). Pada monokrotalin dan
arteri pulmonalis dari model tikus untuk PAH, sebagai contoh, pengurangan
konsumsi O2 pada RV diamati dan mengatur sebuah pergeseran dari fosforilasi
oksidatif menjadi glikolisis melalui sebuah mekanisme yang mencakup
peningkatan ekspresi Glut-1 dan regulasi dari ekspresi kinase dehidrogenasi
piruvat (PDK) dengan peningkatan dehidrogenase piruvat sebagai akibatnya yang
kemudian menyebabkan inhibisi darinya (Piao et al. 2010). Efek fungsional dari

23
proses ini mencakup fungsi sistolik RV yang rusak dan pemanjangan dari interval
QT, yang dapat dibalikkan oleh inhibisi PDK atau melalui inhibisi dari oksidasi
asam lemak untuk menginduksi sebuah pergeseran berbanding terbalik yang tidak
langsung pada sumber bahan makanan mitokrondia kembali ke glukosa (oksidasi)
(Fang et al. 2012).

3.7 Reseptor-γ yang Diaktivasi Proliferator Peroksisome

Reseptor yang diaktivasi proliferator peroksisom (PPAR-γ) merupakan


sebuah faktor transkripsi yang paling sering berhubungan dengan efek regulasi
pada gen-gen yang terlibat dalam penyimpanan asam lemak dan metabolisme
glukosa pada adiposit (Kilroy et al. 2012); PPAR-γ, dan target transkripsinya
apoE, juga merupakan target kunci dari aliran transduksi sinyal BMP-RII.
Nantinya hilangnya fungsi dari BMP-RII melalui mutasi somatik atau disosiasi
dari protein yang berinteraksi dengan BMP-RII berhubungan dengan proliferasi
PSMC in vitro dan berkembangnya PAH in vivo (Merklinger et al. 2005; Chan et
al. 2007; Song et al. 2008). Pada PSMC, efek antiproliferatif dari BMP-RII diatur
oleh fosfo-ERK dan PPAR-γ yang terikat pada DNA, yang, pada gilirannya,
menstimulasi sintesis dan sekresi apoE (Hansmann et al. 2007). Tikus ApoE
-/-
transgenik yang tidak berdaya (ApoE ) yang diberi makan tinggi lemak
menggambarkan perkembangan spontan dari PH, yang reversibel melalui
stimulasi farmakologis dari PPAR-γ dengan pioglitazon ((Hansmann et al. 2007).
Pada PAEC manusia, sinyal BMP-RII tampaknya menginduksi sebuah kompleks
PPAR-γ/β-katenin yang mentarget gen yang menyandi apelin untuk mengatur
respon seluler normal terhadap cedera dan, pada PSMC, menekan proliferasi
seluler (Falcetti et al. 2010; Alastalo et al. 2011).

3.8 Regulasi dari Respon Seluler terhadap Hipoksia yang Dimediasi Mikro
RNA

24
Mikro RNA (miRNA) merupakan molekul asam ribonukleat yang tidak
resmi dan tidak menyandi (~30 nukleotid) yang bergabung dalam rentang
heterogen dari proses seluler dan dipercaya untuk meregulasi lebih dari 30% dari
seluruh transkrip mRNA (Berezikov et al. 2005). Transkripsi miRNA
menghasilkan molekul hairpin looped yang diketahui sebagai miRNA primer (pri-
mRNA), yang diproses di dalam nukleus sel untuk membentuk prekursor miRNA
(pre-miRNA). Sekali diekspor dari dari nukleus ke sitoplasma, endonuklease
RNA, memfasilitasi sintesis dari miRNA untai ganda matang dengan cara
menghilangkan hairpin loop (Gambar. 5). miRNA berinteraksi dengan 3’ regio
yang tidak ditranslasi dari target mRNA spesifik untuk mengatur ekspresi gen
secara negatif (Chan dan Loscalzo 2010). Lebih dari 90 miRNA telah
diidentifikasi untuk diregulasi sebagai respon dari hipoksia, meskipun hanya
sedikit (miR-210, miR-424, miR-17, miR-328) yang telah dipelajari secara rinci
dengan hal patofisiologi penyakit PH (Fasanaro et al. 2008)

Regulasi terkait faktor 1α hipoksia yang dapat diinduksi dari miR-210


mentargetkan protein kumpulan klaster sulfur-besi (ISCU ½) untuk menekan
respirasi mitokondria. Di dalam kondisi hipoksia, tingkat miR-210 meningkat
pada PAEC in vitro, yang menghasilkan regulasi bergantung miR-210 dari ISCU
½ yang menghambat transpor elektron mitokondrial (yaitu, kompleks I) dan siklus
asam trikarboksilat. Dalam hal ini, miR-210 merupakan molekul yang penting
yang menyebabkan efek hipoksia pada gangguan yang terkait HIF-1α ke fungsi
rantai transpor elektron (Chan et al. 2009). Pentingnya, HIF-1α itu sendiri
mungkin berada di bawah regulasi yang terkait dengan miRNA. Pada sel endotel
vaskuler manusia, regulasi yang diinduksi hipoksia dari miR-424 dan penargetan
selanjutnya dari protein pembangun, cullin 2, oleh miR-424 tampaknya menjadi
mekenisme pengaturan yang penting untuk menstabilkan HIF-α (Ghoh et al.
2010). Lebih lagi, pengamatan bahwa miR-424 memicu angiogenesis pada
pembuluh darah perifer setelah iskemi (yaitu, lingkungan hipoksia lokal) pada
tikus in vivo meningatkan spekulasi bahwa miRNA tertentu ini mungkin relevan
pada pola angioproliperatif yang diamati di arteriol pulmonal di bawah kondisi
hipoksik pada PH.

25
Sejauh ini, miR-17 juga terlibat pada proliferasi sel endotel vaskuler yang
dimediasi hipoksia melalui regulasi negatif dari p21 inhibitor siklus sel. Dalam
sebuah studi, ekspresi yang berlebihan dari miR-17 meningkatkan proliferasi
seluler yang distimulasi PDGF dalam PSMC yang dikultur. Pemberian dari
antagonis miR-17 pada tikus yang dipaparkan dengan hipoksia kronis, meskipun
demikian tampak melindungi dari peningkatan tekanan arteri pulmonari dan
muskularisasi arteri pulmonal (Courboulin et al. 2011a; b; Pullamsetti et al. 2011)

Baru-baru ini, regulasi dari miR-328 oleh hipoksia dihubungkan dengan


vasokontriksi pulmonal hipoksik dan perombakan vaskuler pulmonal negatif pada
tikus dengan PH moderat (guo et al. 2012). Dalam percobaan ini, supresi yang
diinduksi hipoksia dari inhibisi ekspresi kanal-α1C kalsium tipe L yang
bergantung miR-328 melalui sebuah mekanisme yang melibatkan interaksi dari
miR-328 dengan regio 3’ yang tidak ditranslasi dari kanal-α1C kalsium tipe L
berhubungan dengan peningkatan tekanan sistolik RV. Lebih lanjut, sinyal miR-
328 menekan faktor perumbuhan 1 yang mirip insulin, dan diusulkan oleh
penulis-penulis dari studi tersebut sebagai mekanisme potensial yang mana
menjadi penyebab dari hubungan antara hipoksia, miR-328 dan berkurangnya
apoptosis PSMC.

Parikh dan rekannya menampilkan sebuah jaingan analisis bioinformatik,


yang memprediksi miR-21 untuk menjadi bagian dari patobiologi PH dengan cara
meregulasi jalur sinyal yang berhubungan dengan BMP, BMP-RII, inflamasi, dan
hipoksia (Parikh et al. 2012). Analisis ini konsisten dengan observasi sebelumnya
secara in vitro yang melibatkan miR-21 dalam perombakan vaskuler negatif (Ji et
al. 2007). Lebih lagi, regulasi miR-21 yang dimediasi hipoksia dalam PAEC
tampak memberi kontribusi pada fenotip vaskuler PH dengan cara mengurangi
BMP-RII, RhoB, dan Rho kinase, yang, dibawah kondisi normal, terlibat dalam
pemberian sinyal vasodilator pulmonal. miR-21 juga dihubungkan dengan
ekspresi penyakit dalam berbagai model hewan PH in vivo, dan diamti
diekspresikan tinggi pada jaringan vaskular pulmonal pada manusia dengan PH.

26
4. Kesimpulan

Hipertensi pulmoner menggambarkan sebuah kelainan kompleks yang


dikarakteristikkan dengan disregulasi dari jalur pemberian sinyal sel yang
mempertahankan struktur dan fungsi normal dari pembuluh darah pulmoner distal.
Dalam bentuk yang berat, hal ini dapat menyebabkan sebuah vaskulopati
obliteratif, peningkatan berat dari tekanan arteri pulmoner dan resistensi vaskuler
pulmoner, dan perombakan RV. Perkembangan dari farmakoterapi PH yang
sukses di masa depan yang bertujuan untuk memodifikasi perkembangan penyakit
akan cenderung bergantung pada identifikasi dari mekanisme molekuler yang
mengatur perombakan vaskuler pulmoner. Pencarian ini diharapkan memerlukan
peningkatan pemahaman dari proses di mana miRNA, mitokondria, dan faktor
molekuler yang lain mengatur bioenergetik, kehidupan, dan proliferasi seluler
untuk berkontribusi pada ekspresi penyakit PH.

Gambar 4. Bioenergetik mitokondria. (a) “Siklus asam lemak-glukosa” atau


Siklus Randle menggambarkan sebuah mekanisme untuk mengatur kontrol
homeostatik dari level glukosa dan asam lemak dalam sirkulasi. (b) Inhibisi dari

27
penggunaan glukosa oleh oksidasi asam lemak diatur paling kuat oleh piruvat
dehidrogenase (PDH) dan, dalam jangkauan yang lebih sedikit, oleh 6-
fosfofrukto-1-kinase (PFK) dan ambilan glukosa. Inhibisi fosfofruktokinase yang
disebabkan oleh akumulasi sitrat atau melalui strategi molekuler/farmakologis
menggeser glukosa terhadap sintesis glikogen dan piruvat ke glukoneogenesis
atau sintesis dari TCA intermediet (yaitu, anaplerosis). Aktivasi berlebihan dari
PDK dalam miosit ventrikel kanan dalam sebuah model in vivo dari hipertensi
pulmoner telah dihubungkan dengan sebuah pergeseran dari oksidasi glukosa
menjadi glikolisis dan selanjutnya disfungsi myokardial (Piao et al. 2010). LCFA
LCFA : Asam lemak rantai panjang, TAG : Triasilgliserol, Pyr : Piruvat, Cyto
Sitosol, MITO : Mitokondria, GLUT4 : Transporter glukosa 4, HK : Heksokinase,
Glc-6-P : Glukosa-6-fosfat, Fru-6-P : Fruktosa-6-fosfat, CPT I : Karnitin
palmitoiltransferase I, β-ox : β-oksidasi. Diproduksi ulang dengan ijin dari Hue et
al. (2009) Am J Physiol Endocrinol Metab 297:E578–E591

Gambar 5. Proses Mikro RNA. Transkripsi mikro RNA (miRNA) pada nukleus
difasilitasi oleh enzim Rnase III, drosha dan psha, untuk menghasilkan molekul
hairpin-looped yang dikenal sebagai miRNA primer (pri-mRNA), yang lebih
lanjut diproses untuk membentuk prekursor miRNA (pre-miRNA). Ketika
dikeluarkan dari nukleus ke sitoplasma, endonuklease RNA memfasilitasi sintesis
dari miRNA dupleks yang matang dengan cara menghilangkan hairpin-looped.

28
Komponen katalitik untuk kompleks pembungkaman yang diinduksi RNA
(RISC) ditunjuk sebagai argonat dan memfasilitasi penggabungan miRNA yang
dimediasi RISC. miRNA kemudian berinteraksi dengan regio 3’ yang tidak
ditranslasi dari target mRNA spesifik untuk secara negatif meregulasi ekspresi
gen. Diproduksi ulang dengan ijin dari Mack GS (2007) MicroRNA gets down to
business. Nat Biotechnol 25:631–638.

29

Вам также может понравиться