Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Sosiologi
Antropologi
Ekonomi
Manajemen
KEPEMIMPINAN Islam MULTIKULTURAL
Terkait dengan hal tersebut, mengacu pada Suparlan (2002) dijelaskan bahwa dalam
masyarakat multikultural tumbuhnya kesadaran multikultural menjadi kunci penting. Karena
hal tersebut menunjuk kondisi kesiapan mental untuk berperilaku dalam kehidupan bersama
yang menempatkan bermaknanya perbedaan secara unik pada tiap orang. Perbedaan adalah
identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia. Kesadaran ini ditopang oleh pengetahuan
(kognisi), perasaan (afeksi) serta disposisi perilaku yang berakar kuat pada keyakinan
multikulturalisme; yakni suatu keyakinan yang mengakui dan menghargai perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kultural. Sebuah masyarakat multikultur
dibaratkan sebuah mosaik, dimana dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih
besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut.
Menurut Berry dkk (1999) kebanyakan masyarakat tidak hanya terdiri dari satu tradisi
budaya tunggal, tetapi terdiri dari sejumlah kelompok budaya yang berinteraksi dengan
berbagai cara dalam suatu ker bangsa secara luas. Hampir tidak mungkin untuk menemukan
suatu bangsa yang homogen secara budaya. Kemajemukan suatu masyarakat muncul akibat
aneka peristiwa sejarah, termasuk kolonisasi satu budaya oleh budaya lain, pembentukan
bangsa dan migrasi.
Ya Tidak
Apakah
memelihara Ya
hubungan dengan INTEGRASI
kelompok lain
ASIMILASI
memiliki nilai
penting ? Tidak
INTEGRASI: ketika menghargai jati diri kelompok sendiri dan memelihara relasi dengan
kelompok lain sama-sama penting. Di Indonesia, kemajemukan etnis, suku, agama dan
budaya dibingkai dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika sehingga semua keragaman diakui,
dihargai dan diberikan hak dan kesempatan hidup bersama-sama dalam wadah NKRI.
ASIMILASI: ketika suatu kelompok tidak mengganggap penting mempertahankan jati diri,
namun lebih mementingkan relasi dengan kelompok lain. Adanya kelompok (biasanya
minoritas) yang kemudian melebur mengadopsi budaya yang lebih dominan. Misalnya,
orang Tionghoa di Indonesia memeluk agama Islam sebagai bentuk asimilasi agama.
SEPARASI: ketika suatu kelompok lebih mementingkan jati diri, mengganggap paling
benar, meskipun harus berseberangan ataupun berbenturan dengan kelompok lain. Misal
pada gerakan separatis yang berseberangan dengan penguasa, penganut agama garis keras
yang intoleran dan suka mengkafirkan pemeluk agama lain.
MARJINALISASI: dapat terjadi pada kaum marjinal, kaum yang keberadaannya tidak
dianggap ataupun dipinggirkan. Sebagai kelompok mereka tidak bisa menjaga
keberlangsungan jati diri kelompoknya serta tidak mampu menjalin relasi dengan kelompok
lain. Seringkali mereka adalah kelompok yang tidak diperhitungan di masyarakat, dilupakan,
menjadi orang-orang kalah. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mampu beradaptasi
dengan perubahan pembangunan, bisa juga karena perlakuan politik yang memarjinalkan
mereka atau oleh sebab lain.
Pada awalnya pendekatan asimilasi lebih banyak diterapkan dalam mengelola
keragaman. Maka muncullah terminologi monokultur, one nation, melting pot, pressure
cooker. Pendekatan asimilasi intinya melebur kemajemukan menjadi identitas ataupun budaya
tunggal. Namun kebijakan tersebut kemudian ditinggalkan karena menciptakan diskriminasi
pada kalangan minoritas dan lebih menguntungkan kelompok dominan, kurang menghargai
perbedaan ataupun kemajemukan.
Menyatukan ataupun melebur keragaman identitas budaya, etnis dan agama menjadi
identitas tunggal tidak semudah membuat jus buah tentunya. Hal tersebut tidak jarang justru
menjadi menjadi pengalaman traumatis ketika menjadi kebijakan politik yang dipaksakan,
menciptakan krisis identitas dan bahkan tidak jarang memicu gangguan mental karena suatu
kelompok budaya teralienasi secara kultural maupun sosial.
Pada kenyataaannya, keragaman identitas budaya, etnis ataupun agama tidak dapat
dilebur begitu saja. Sejumlah negara belajar dari kesalahannya dan melakukan perubahan
kebijakan. Di Amerika Serikat yang lama menerapkan politik rasisme terhadap kalangan
minoritas seperti perbudakan pada kalangan kulit hitam, akhirnya meninggalkan era gelap
tersebut dan menerapkan prinsip blind color perspective yang menanamkan nilai moral baru
yang anti diskriminasi warna kulit (Judd dkk, 1995).
Di Afrika Selatan, kemenangan Nelson Mandela sebagai Presiden, yang telah puluhan
tahun berjuang melawan kebijakan politik Apartheid, memilih untuk tidak melakukan balas
dendam pada kalangan kulit putih yang selama ini berkuasa dan menerapkan politik rasisnya.
Nelson Mandela memilih menjalankan politik multikultural dengan prinsip rainbow state
(negara pelangi), dengan merangkul semua warga bangsa tanpa membedakan warna kulit
menjadi kekuatan bangsa. Di era pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid, Indonesia
mencabut kebijakan asimilasi total terhadap warga etnis Tionghoa yang diterapkan di era
pemerintahan Soeharto. Kebijakan tersebut memaksa etnis Tionghoa menanggalkan identitas
budayanya melebur ke dalam identitas Indonesia.
Mengacu pada teori identitas sosial dari Henri Tajfel bahwa secara bawaan pada diri
individu memiliki identitas sosial sejak lahir seperti gender, etnis, dan melalui proses sosial
individu juga memiliki identitas sosial lain seperti status sosial, profesi, agama dan
sebagainya. Teori identitas sosial memiliki pandangan bahwa kebanggaan terhadap
identitas sosialnya akan diikuti oleh sikap positif terhadap ingroup (ingroup favoritism)
dan sikap negatif terhadap outgroup (outgroup derogation). Teori ini berlaku pada orang
yang memiliki sikap positif yang berlebihan terhadap identitas sosialnya, misalnya orang
terlalu fanatik dengan agamanya dan mudah menilai negatif agama lain, orang terlalu
membanggakan etnisnya lalu mudah merendahkan etnis lain. Namun kenyataannya, kita
juga sering menjumpai seseorang yang taat beragama namun juga dapat menghargai
keyakinan beragama orang lain. Di Indonesia sikap saling menghargai sesama etnis/budaya
merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri.
b) Pengalaman Multikultural
Mobilitas orang untuk berkunjung ke berbagai tempat karena berbagai kepentingan seperti
bisnis, belajar, tugas pekerjaan dan sebagainya, membawa konsekuensi terjadinya kontak
dengan orang-orang lain yang berbeda baik berbeda secara budaya, agama, etnis,
kebangsaan dan lainya. Demikian pula kebanyakan kita tinggal di kawasan multikultural,
memiliki tetangga yang berbeda-beda identitas sosialnya. Dengan demikian dalam
keseharian kita berinteraksi dan bekerjasama dalam lingkungan multikultural. Interaksi di
lingkungan multikultural memiliki beberapa pengaruh positif dalam hal pengembangan
kepribadian multikultural, menurunkan prasangka rasial dan meningkatkan peluang
kerjasama, memberi peluang terjadinya toleransi antarkelompok.
Berkaitan dengan hal tersebut jauh sebelum multikulturalisme merebak menjadi isu global
dan menjadi pilihan banyak negara, Indonesia pada dasarnya telah menerapkan kebijakan
ideologi dan kebijakan multikultural dalam mengelola keragaman Indonesia yang sangat
kaya. Melalui kontemplasi dan kajian visioner para Founding Fathers, dengan belajar pada
sejarah dan kearifan masa lalu serta menatap tantangan ke depan Indonesia yang beragam,
maka politik dan kebijakan multikulturalisme merupakan pilihan paling sesuai untuk
kondisi Indonesia. Seperti yang tersirat dalam makna semboyan Bhineka Tunggal Ika,
walaupun berbeda-beda (beragam) tetapi tetap satu sebagai bangsa Indonesia.
Namun demikian, melihat kenyataan akhir-akhir ini dengan maraknya sikap intoleran
dalam kehidupan beragama, bagaimana pendekatan multikulturalisme menjawab
tantangan intoleransi tersebut? Dalam konteks kajian psikologi multikulturul, pendekatan
yang mungkin dapat ditawarkan sebagai upaya revitalisasi toleransi mencakup pendekatan
yang berorientasi pada individual, relasional dan ideologis.
B. Kajian Manajamen
Manajemen secara etimologis berasal dari kata “managio” berarti kepengurusan, atau
“manage” atau “managiare” yang berarti melatih dalam mengatur langkah-langkah. Menurut
Nanang Fattah, manajemen merupakan proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan
mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai
secara efektif dan efisien (Fattah, 2004:1) Sahertian menyebutkan manajemen terkandung dua
kegiatan, yaitu fikir (mind) dan kegiatan tindak (action). Kedua kegiatan ini tampak dalam
fungsifungsinya seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian,
pengawasan dan penilaian.3 Stoner menyatakan manajemen adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha anggota organisasi lainnya agar
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Pendapat Mourell, dkk menyebutkan
“management is the process of efficeintly getting activities completed with and through other
people” (Yaqin, 2011:3), dari berbagai definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
manajemen adalah suatu proses atau fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam suatu
kelompok tertentu secara efektif dan efisien sehingga mencapai hasil atau tujuan yang
ditetapkan. Dari definisi di atas juga diketahui bahwa manajemen adalah dikatakan suatu
proses, itu berarti mengandung cara sistematis untuk melakukan pekerjaan
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan di antara para
ahli harus disamakan, atau tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh
seorang ahli dengan konsep ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah
ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi
kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut, dan karena itu
melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita
perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana
kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi
yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam
kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan
lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu
hubungan antarmanusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan
merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan
multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan dalam kajian-kajian mengenai
manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang
ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada
kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada
pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan corak nilai-nilai
budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaan
manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap
corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen
yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada atau
tidak ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen? Atau, adakah pedoman etika yang
ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan
dalam proses-proses manajemen, dan yang biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber
daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam
masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-
sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi, pada masa kini kita, bangsa Indonesia,
tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan sebagai bangsa yang negaranya
paling korup. Salah satu sebab utamanya ialah karena kita tidak mempunyai pedoman etika
dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki. Pedoman etika yang menjamin proses-
proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkan.
Kajian-kajian seperti itu bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya,
atau corak nilai-nilai budaya yang berlaku, dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata, melainkan juga
akan mampu memberikan pemecahan terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya
digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks kegiatan dan organisasi. Secara garis
besarnya, etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘pedoman yang berisikan aturanaturan baku yang
mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi’. Di dalam pedoman tersebut
terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya
kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Peranan etika dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan
menjadi keluaran yang bermutu (Magnis-Suseno 1987; Bertens 2001).
Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika
politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan sebagainya. Dalam
ruang lingkup yang lebih kecil kita dapat melihat berbagai pedoman etika—yang ada atau
tidak ada—dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumber daya yang
lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai ‘Akbar Tanjung dan Etika Politik’
sebagaimana dikemukakan oleh Alfian (2002).
Pengertian Manajemen Manajemen secara etimologis berasal dari kata “managio” berarti
kepengurusan, atau “manage” atau “managiare” yang berarti melatih dalam mengatur
langkah-langkah. Menurut Nanang Fattah, manajemen merupakan proses merencana,
mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya
agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien. Sahertian (2001:3) menyebutkan
manajemen terkandung dua kegiatan, yaitu fikir (mind) dan kegiatan tindak (action). Kedua
kegiatan ini tampak dalam fungsifungsinya seperti perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan dan penilaian. Stoner (2005:16) menyatakan
manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
usaha-usaha anggota organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Pendapat Mourell, dkk (2009:23) menyebutkan “management is the process of
efficeintly getting activities completed with and through other people”.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen adalah suatu
proses atau fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam suatu kelompok tertentu secara efektif
dan efisien sehingga mencapai hasil atau tujuan yang ditetapkan. Dari definisi di atas juga
diketahui bahwa manajemen adalah dikatakan suatu proses, itu berarti mengandung cara
sistematis untuk melakukan pekerjaan. Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk
menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan
multikultural memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: Prinsip pertama: pendidikan
multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh
warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada. Prinsip kedua: pendidikan
multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah) dan
antara keduanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang
Komprehensif Prinsip ketiga: pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan
yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan
privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan. Prinsip keempat:
berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi
setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki Prinsip kelima: pendidikan multikultural adalah pendidikan
yang baik untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, perbedaan yang ada dapat dilakukan pemahanan dengan
cara pendidikan yang mengutamakan dialogis. Sudah tentu manajemen pendidikan yang
dialogis hanya dapat terjadi di dalam masyrakat terbutka. Masyarakat terbuka adalah
masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis meminta manajemen pendidikan
yang demokratis pula, yang berarti bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dari
semua warga negaranya untuk memperoleh pendidikan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengertian manajemen dalam
prespektif multikultural adalah suatu pengelolaan mengenai upaya dan proses untuk
menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh peserta didik tanpa
memandang perbedaanperbedaan, namun dalam keberagaman dan perbedaan tersebut tetap
saling menghargai, menghormati dan dapat sekaligus dijadikan media untuk memperkaya
khazasanah pengetahuan dalam proses pembelajaran.
D. Kajian Islam
Pada konteks agama Islam, nilai-nilai multikultural ada di dalam kitab suci Al Quran,
ditegaskan bahwa sesungguhnya penciptaan manusia yang berbedabeda agar saling kenal
mengenal, sebagaimana dalam surat al Hujarat:13) yang artinya : “Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Selanjutnya dalam kondisi multi etnis, multi agama, multi budaya, dituntut oleh Allah
SWT agar saling toleransi, saling menghargai meskipun berbeda-beda seperti dalam firman
Allah SWT dalam surat al Kafirun yang artinya: 1). Katakanlah: Hai orang-orang kafir 2).
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah 3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah 4). Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah 5).
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah 6). Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Dari ayat-ayat di atas, menunjukkan penciptaan manusia pada dasarnya adalah memang
segaja berbeda. Perbedaan tersebut diarahkan agar sesama manusia bisa saling mengenal dan
bertoleransi. Penjelasan ayat tersebut sesuai dengan pernyataan berbagai pihak di dunia
khususnya di Indonesia banyak terdapat berbagai suku bangsa, agama dan budaya.
Berdasarkan data di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia sendiri tahun 2010, terdapat lebih
dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa
menurut sensus BPS tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A. (2002). Kerukunan Umat Beragama: Perspektif Filosofis -Pedagogis. Harmoni
– Jurnal Multikultural & Multireligius. Vol. 1. No. 4. Hal. 24-38
Berry, J.W, Portinga, Y.H., Segall, P.R., Dasen P.R.(1999) Psikologi Lintas Budaya Riset dan
Aplikasi (Penerjemah: Edy Suhardono). Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama
Bonnef, M. (1983). Islam di Jawa Dilihat Dari Kudus, dalam Citra Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan.
Bukhori, B. (2013). Model Toleransi Mahasiswa Muslim terhadap Umat Kristiani (Studi pada
Umat Islam). Disertasi. Yogyakarta: Program Doktor Psikologi Fakultas Psikologi
Universitas GadjahMada.
-------------. (2014). Hubungan Identitas Sosial dan Prasangka. Sebuat Studi Meta Analis. Doctoral
Research.Islamic Development Bank dan IAIN Walisongo Semarang.
Graff, H.J. dkk. (2004). China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Guillot, C. (1985). Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Judd, C.M., Park, B., Ryan, C.S., Brauer, M., Kraus, S. 1995. Stereotype and Etnocentrism:
Diverging Interethnic Perception of Africa American and White American Youth. Journal
of Personality and Social Psychology. Vol. 69, 3,460-481.
Matsumoto, D. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muljana, S. (2008). Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara. Yogyakarta: Penerbit LKis
Parker, L. (2010). Religious Tolerance and Inter-Faith Education In Indonesia. Paper. Presented
to Biennial Confrence of the Asia Studies Association of Australia in Adelaide, 5-8 July
2010.
Purwadi dan Niken, E. (2007). Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di
Tanah Jawa. Penerbit Panji Pustaka.
Putra, I.E. dan Pitaloka, A. (2012). Psikologi Prasangka. Sebab, Dampak dan Solusi. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Rachman, B.M. (2005). Perjumpaan Kristen – Islam Perlu Toleransi Sejati. Koran Kompas. 20
Agustus 2005
Purwantari, BI. (2010). Mendambakan Buah Manis Multikulturalisme. Koran Kompas. 22
Februari 2010.
Sarwono, S.W. (1999). Psikologi Sosial- Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta:
Balai Pustaka
Sulistio (2015). Konflik Intraagama di Indonesia-Antara Islam Transnasional dan Islam Arus
Utama. Prosiding. Diskusi Psikologi Sosial – Quo Vadis Konflik Sosial di Indonesia.
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Suseno, FM.(1996). Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Susetyo, D.P.B. (2010). Stereotip dan Relasi Antarkelompok. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Susetyo, D.P.B. dan Widiatmadi, E. (2011). Kehidupan Multikultural Orang Semarang. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Psikologi Multikulturalisme, di Fakultas Psikologi
Universitas Muria Kudus, 9 Mei 2011.