Вы находитесь на странице: 1из 24

MAKALAH KIMIA KATALIS ANORGANIK

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF A HIGHLY ACTIVE ALUMINA


CATALYST FOR METHANOL DE HYDRATION TO DIMETHYL ETHER

Disusun Oleh:
1. Albert F1C115009
2. Abdurrazaq Habib F F1C115014
3. Razman Yuzhar F1C115025

Dosen Pengampu:
Restina Bemis, S.Si., M.Si

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3. Tujuan ................................................................................................... 2
II. LANDASAN TEORI .................................................................................. 3
2.1 Dimetil eter (DME) ................................................................................... 3
2.2 Katalis Alumina ...................................................................................... 3
2.3 Sisntesis nano partikel metode sol-gel .................................................... 4
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ i
2.1. Sintesis ................................................................................................... i
2.2. Karakterisasi ........................................................................................... i
2.3. Pengukuran aktivitas dalam metanol ke DME ......................................... ii
IV. PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
4.1 Sifat Fisika-Kimia Dari Boehmite Yang Disintesis..................................... 3
4.2 Preparasi dan Karakterisasi γ-Al2O3 Dari Boehmite .................................. 7
4.3 Peran Asam Asetat .................................................................................. 7
4.4 Pembentukan Besar Luas Permukaan Pada Boehmite ............................ 10
4.5 Aktivitas Katalitik Pada Sintesis γ-Al2O3 Dengan Luas Permukaan Yang
Berbeda ...................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 16

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat-Nya lah dan hidayah-Nya jualah penulisan makalah
ini dapat selesai dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun secara khusus dan sistemika untuk memenuhi
tugas dari Mata Kuliah Kimia Katalis Anorganik dan penyusunannya dilakukan
secara kelompok. Substansi yang terdapat dalam makalah ini berasal dari
beberapa referensi Jurnal dan literatur-literatur lain, ditambah pula dari
sumber-sumber lain yang berasal dari media elektronik melalui pengambilan
bahan dari internet.
Dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini tentu saja penulis
mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu
kami sangat terbantu bila pembaca memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun dan dapat menyempurnakan makalah ini dari segi manapun.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
kita semua baik untuk hari ini dan untuk masa yang akan datang.

Jambi, April2017

Penulis

ii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Alumina adalah bahan ekonomis yang banyak digunakan sebagai
katalis dan dukungan katalis. Selain itu, juga digunakan sebagai bahan
persiapan keramik berbasis Al2O3. berbagai kegunaan ini dimungkinkan pada
alumina bentuk alumina korundum dan transisi. Korundum atau a-alumina
memiliki sifat mekanik yang sangat baik, listrik, sifat termal dan optik karena
susunan heksagonal ion oksigen. Di sisi lain, alumina transisi, termasuk ɣ-
Al2O3, memiliki susunan kubik dekat ion oksigen yang menghasilkan luas
permukaan besar, porositas dan keasaman permukaan.
Dalam percobaan Katalis asam padat mis. ɣ-Al2O3, dimodifikasi ɣ -
Al2O3 dengan silika, fosfor atau B2O3 berbasis secara luas digunakan, katalis
yang sangat baik untuk dehidrasi metanol ke DME. Namun, studi sistematis
tentang pengaruh berbagai persiapan parameter karakteristik fisik dan kimia ɣ -
Al2O3 mempengaruhi sintesis DME yang kurang. Mengingat meningkatnya
permintaan DME sebagai bahan baku untuk produksi dimetil sulfat, metil
asetat, olefin ringan dan bahan bakar bersih alternatif, pentingnya komersial
Katalis yang layak lebih ditingkatkan. Agar bisa diandalkan dan alumina yang
dapat direproduksi untuk aplikasi ini, yang sangat ketat kontrol komposisi, luas
permukaan, porositas (yaitu ukuran pori dan sifatnya distribusi) dan keasaman
permukaan sangat penting., rute sol-gel menawarkan peluang bagus untuk
mengendalikan fisik, kimia dan sifat tekstur dari oksida aluminium.
Dalam metode sol gel bubuk alumina umumnya dipersiapkan melalui
asam atau basa dikatalisis reaksi hidrolisis dan kondensasi prekursor
aluminium alkoksida seperti aluminium iso-propoksida (AIP) atau aluminium
sec-butoxide [1,2] dalam pelarut organik. dilaporkan bahwa perawatan
pemeraman lebih dari periode 24 jam pada 800C menghasilkan boehmite [AlO
(OH)] sedangkan pemeraman pada suhu kamar menghasilkan bayerite, Al(OH) 3.
Dekomposisi termal boehmite pada 400-500OC di udara menghasilkan ɣ-Al2O3.
Aktivitas katalitik alumina untuk dehidrasi metanol adalah umumnya
tergantung pada keasaman permukaan, yang bisa divariasikan oleh
menambahkan beberapa promotor atau mengendalikan sifat asam alumina atau
zeolit [14,15]. Oleh karena itu, penting untuk sintesis ɣ -Al2O3 dengan sifat
yang dapat dikontrol dan direproduksi untuk mendapatkan aktivitas katalitik
stabil. Juga perlu untuk mempelajari efek dari berbagai parameter persiapan
pada sifat fisik-kimia katalis asam padat, dengan perhatian khusus diberikan
pada perubahan keasaman. Investigasi ini berfokus pada menjelaskan efek dari

1
asam asetat (AA) / AIP dan H2O / AIP mol rasio pada sifat boehmite dan juga
pada ɣ-Al2O3
Suatu usaha dilakukan dalam penyelidikan ini untuk mensintesis
katalis ɣ-Al2O3 dengan area permukaan yang berbeda oleh berbagai parameter
persiapan secara sistematis selama sol-gel sintesis dan untuk menghubungkan
aktivitas katalitik dengan permukaan area ɣ -Al2O3.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mensintesis boehmite luas permukaan partikel
berukuran Nano ɣ -Al2O3?
2. Bagaimana mengendalikan morfologi prekursor boehmite pada sintesis
partikel nano ɣ -Al2O3?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui cara mensintesis boehmite luas permukaan partikel
berukuran Nano ɣ -Al2O3.
2. Mengetahui cara mengendalikan morfologi prekursor boehmite pada
sintesis partikel nano ɣ -Al2O3.

2
II. LANDASAN TEORI
2.1 Dimetil eter (DME)
Dimetil eter (DME) dikenal juga sebagai methoxymethane merupakan
senyawa organik yang memiliki rumus CH3OCH3 berbentuk gas yang dapat
dihasilkan dari pengolahan gas bumi, batubara, limbah plastik, limbah kertas,
limbah pabrik gula, hasil olahan dan hidrokarbon lainnya. DME juga memiliki
karakter seperti elpiji yaitu dapat dicairkan sehingga mudah untuk
didistribusikan. DME ini dapat digunakan untuk campuran elpiji atau bahkan
menggantikan elpiji 100%. DME dapat disintesis dengan mendehidrasi methanol
menjadi Dimetil eter dengan reaksi sebagai berikut:

2 CH3OH → (CH3)2O + H2O

Metanol yang dibutuhkan diperoleh dari gas sintesis. Pada prinsipnya,


metanol dapat diperoleh dari limbah organik atau biomassa. Perbaikan lain
yang mungkin dilakukan untuk sistem katalis ganda yang memungkinkan
sintesis metanol dan dehidrasi dalam unit proses yang sama, tanpa isolasi dan
pemurnian metanol. Proses satu langkah dan dua langkah di atas tersedia
secara komersial. Saat ini, ada penerapan yang lebih luas dari proses dua
langkah, karena relatif sederhana dan biaya awal relatif rendah.
Dalam pengembanganya sintesis dengan mendehidrasi methanol
menjadi Dimetil eter dilakukan penelitian dan pengembangan dalam penciptaan
katalis yang bertujuan untuk mempercepat dari reaksi dehidrasi methanol .
2.2 Katalis Alumina
Alumina (Al2O3) terdapatsebagai alumina hidratdan alumina anhidrat.
Alumina anhidrat, Al2O3, terdapat dalam bentuk alumina stabil berupa α-
alumina dan alumina meta stabil yaitu,
 Gamma Alumina (γ-Al2O3),
 Delta Alumina (δ-Al2O3),
 Theta Alumina (θ-Al2O3),
Sedangkan hidratnya berada dalam bentuk aluminium hidroksida
seperti gib site, bayerit, boehmite dan diaspore. Aluminium hidroksida
merupakan komponen utama di dalam bauksit, sehingga umumnya
alumunium hidroksida dibuat dari bauksit, sedangkan alumina anhidrat
dibuat dari dehidrasi aluminium hidroksida. Di alam alumina anhidrat juga
terdapat sebagai mineral korundum (Ulyani, 2008; Utari, 1994).
Di antara alumina transisi, gamma alumina (γ-Al2O3) merupakan
suatu bahan yang penting digunakan dalam berbagai bidang, misalnya sebagai
katalis katalisator substrat (Paglia, et al., 2004; Wang et al., 2009). Gamma

3
alumina (γ-Al2O3) dalam ukuran nano (1-100 nm) merupakan terobosan baru
untuk memperoleh material dengan sifat yang berbeda dengan material dalam
fase bulk terutama dari segi peningkatan kekuatan mekanik dan termal serta
luas permukaan yang sangat besar. Sintesis nano γ-Al2O3dapat dilakukan
dengan beberapa metode, misalnya proses sol-gel, hidrotermal. Sintesis gamma
alumina (γ-Al2O3) dengan metode hidrotermal dan pengontrolan presipitasi dari
larutan garam alumina ini memerlukan biaya yang mahal terutama untuk
aluminum alkoksida atau garam sebagai sumber dasar Al (Wang et al., 2009).
2.3 Sisntesis nano partikel metode sol-gel
Di antara banyaknya metode-metode sintesis, metode sol-gel
merupakan metode yang paling baik dan menjanjikan karena menghasilkan
partikel-partikel padat dengan kemurnian yang tinggi dan luas permukaan yang
besar. Selain itu, keuntungan metode sol-gel adalah memiliki stabilitas termal
yang baik, stabilitas mekanik yang tinggi, daya tahan pelarut yang baik,
modifikasi permukaan dapat dilakukan dengan berbagai kemungkinan (Parida
et al., 2009).
Dalam proses pembentukan alumina dari kaolin, temperature
kalsinasi merupakan factor penting. Kalsinasi menyebabkan terjadinya
dekomposisi termal, transisi fasa atau penghilangan zat-zat volatil. Fasa
metastabilnya berupa gamma alumina (γ-Al2O3) muncul temperature dibawah
1000 °C. Gamma alumina (γ-Al2O3) terbentuk melalui pemanasan
Al(OH)3 pada suhu 500 - 800 °C. Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa variasi temperature kalsinasi pada 500 - 800 ºC


mempengaruhi struktur gamma alumina (γ-Al2O3) yang terbentuk, dari hasil
variasi temperature kalsinasi ini terbentuk gamma alumina (γ-Al2O3) dengan
kondisi kekristalan terbaik pada temperature kalsinasi 700°C dilihat dari
karakterisasi Fourier Transform Infrared (FTIR) dan X-Ray Diftraction (XRD).
(Irawati Utami, et al . 2013)

4
III. METODE PENELITIAN
2.1. Sintesis
AIP (aluminium iso-propoksida) digunakan sebagai prekursor
aluminium, AA(asam asetat) sebagai pengontrol laju hidrolisis dan 2-propanol
sebagai pelarut selama sintesis. Awalnya, AIP dilarutkan dalam 2-propanol di
bawah pengadukan kontinyu. Dengan mengendalikan laju penambahan AA dan
air (H2O) ke solusi diaduk di atas, kita bisa membuat hidrolisis terjadi lebih
cepat dan kondensasi terjadi lebih lambat sehingga mendapatkan presipitat
dalam bentuk gel hidroksida yang halus. Gel itu selanjutnya berusia 80 °C
selama 20 jam. Perbandingan molar AA / AIP bervariasi dari 0 hingga 0,5,
sedangkan H2O / AIP bervariasi dari 3 hingga 25. Produk dicuci beberapa kali
dengan 2-propanol dan akhirnya dikeringkan pada 80 °C dalam ruang hampa
selama 12 jam. Akhirnya, material dikalsinasi dalam aliran udara pada 500 °C
selama 5 jam dengan laju pemanasan 2 °C / menit.

2.2. Karakterisasi
Analisis termogravimetri (TGA) dan analisis termal diferensial (DTA) dari
sampel dilakukan dalam Instrumen TA (DMA, SDT 2960) dalam mengalirkan
atmosfer nitrogen pada tingkat pemanasan 10 °C / menit hingga 1200 °C
menggunakan alumina komersial sebagai bahan referensi untuk menemukan
berbagai langkah dekomposisi yang terjadi di prekursor kering sebagai fungsi
suhu. Untuk mengidentifikasikan berbagai fase yang ada dan kristalinitas dari
boehmite yang dipersiapkan dan bubuk γ-Al2O3 yang dikalsinasi, perlu
dilakukan analisis XRD (serbuk sinar-X) dengan menggunakan difraktometer
Rigaku menggunakan radiasi Cu-Ka.
Area permukaan Brunauer-Emmett-Teller (BET) dan volume pori
ditentukan dari data adsorpsi nitrogen dan desorpsi isoterm yang diperoleh
pada suhu 196°C pada aparatus adsorpsi volume konstan (Micromeritics,
ASAP-2400). Volume pori ditentukan pada tekanan relatif 0,99 (P / Po). Sampel
yang disiapkan telah diturunkan pada 150 °C selama 3 jam sebelum
pengukuran. Distribusi ukuran pori dalam sampel yang disiapkan ditentukan
dengan Barett-Joyner-Halenda (BJH) model dari cabang adsorpsi isoterm
nitrogen .
Analisis suhu diprogram desorpsi amonia (NH3-TPD) dilakukan untuk
menentukan total situs asam pada katalis. Sekitar 0,1 g sampel awalnya
disiram dengan aliran He pada 500 °C selama 5 jam, selanjutnya didinginkan
hingga 100 °C dan kemudian dijenuhkan dengan NH3. Setelah pemaparan NH3,
sampel dibersihkan dengan He sampai kelebihan awal NH3 yang tidak

i
digunakan dihilangkan. Kemudian sampel ini dipanaskan dari 100 °C ke 700 °C
pada laju pemanasan 10 °C / menit. Instrumen BEL-CAT (PCI-3135) digunakan
untuk memantau jumlah amonia di efluen oleh detektor konduktivitas termal
(TCD) dan nilai-nilai dicatat sebagai fungsi suhu.
Mikrostruktur dari kedua sampel yang disiapkan dan dikalsinasi
dipelajari dengan mikroskop elektron transmisi (TEM) gambar yang diperoleh
pada JEOL JEM 2100F (bidang mikroskop elektron emisi) instrumen
dioperasikan pada 200 kV. Transformasi Fourier infrared (FT-IR) dari bubuk
boehmite dan γ-Al2O3 direkam menggunakan spektrometer Bio-Rad Digilab FTS-
165 FT-IR.

2.3. Pengukuran aktivitas dalam metanol ke DME


Kinerja katalis yang disiapkan dengan rasio AA / AIP yang berbeda
dibandingkan dengan katalis γ-Al2O3 yang dibuat dari boehmite catapal-B
(SASOL). Dehidrasi fase uap metanol yang mengandung 20 mol% H2O dilakukan
dalam reaktor fixed-bed (diameter dalam = 0,8 cm dan panjang = 30 cm).
Sebelum percobaan, katalis (volume 1,5 ml dan ukuran pelet dalam kisaran 20–
40 mesh) di pra-perlakuan selama 1 jam pada 300 °C di bawah aliran N2.
Larutan metanol dimasukkan ke dalam reaktor menggunakan pompa. Reaksi
dilakukan dengan N2 sebagai gas pembawa pada tekanan 10 atm, dalam
kisaran temperatur 210-400 8C dan pada laju umpan metanol 0,25 ml / menit
(SV = 10 h-1). Produk reaksi dianalisis pada kromatografi gas (GC) yang
dilengkapi dengan detektor ionisasi nyala yang dihubungkan dengan kolom
kapiler (Porapack Q).

ii
IV. PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisika-Kimia Dari Boehmite Yang Disintesis


Dalam penelitian ini Boehmite diperoleh melalui hidrolisis AIP dengan
atau tanpa asam asetat, diikuti oleh aging pada 80°C selama 20 jam. Dalam
proses sol-gel, dua reaksi bersimulasi, yaitu hidrolisis dan kondensasi, yang
terjadi ketika AIP bereaksi dengan air. Jumlah air menentukan tingkat hidrolisis
dan jenis spesies awal yang terbentuk, sehingga mempengaruhi reaksi
kondensasi yang melibatkan polimerisasi spesies terhidrolisis dalam media
alkohol. Jika rasio H2O/AIP terjaga ≥3, AIP akan terhidrolisis sepenuhnya,
terutamamemungkin menjadi nukleasi partikel terkecil dari boehmit setelah
proses aging dengan reaksi berikut:
Al(OR)3 + 3H2O → Al(OH)3 + 3ROH (1)
Al(OH)3 → AlO(OH) + H2O (2)
Al(OR)3 + 2H2O → AlOOH + 3ROH (3)
Awalnya, gel hidroksida amorf diendapkan pada reaksi (1) diubah
menjadi prekursor boehmit setelah 20 jam aging pada 80°C dengan reaksi (2)
dan (3). Untuk mengkonfirmasi pembentukan boehmite dengan reaksi (2) dan
(3), dilakukan studi DTA/TGA, XRD, dan IR pada prekursor boehmite kering.
Kurva DTA/TGA dari boehmite kering menggunakan asam asetat selama
prosesditunjukkan pada Gambar. 1(a). Prekursor boehmite kering mengalami
tiga tahap reaksi dekomposisi dengan penurunan berat total ~35%. Langkah
pertama sesuai dengan penurunan berat endotermik ~15% yang disebabkan
oleh penghilangan air yang teradsorpsi di bawah 200°C. Penurunan
berateksotermik kedua adalah karena terkait dekomposisi organik termasuk
asam asetat yang teradsorpsi, diikuti oleh proses ketiga di atas 500°C yang
disebabkan kerugian karena dehidroksilasi lambat secara kontinyu (Padmaja et
al., 2004). Kerugian total dalam dua langkah ini adalah 20%. Puncak
eksotermik yang luas mulai dari 400°C hingga 900°C dapat dianggap berasal
dari kristalisasi γ-alumina dan bentuk-bentuk alumina metastabil lainnya
(Padmaja et al., 2004).

3
Gambar 1.Kurva DTA/TGA prekursor boehmite kering dengan dan tanpa
asam asetat selama proses.
Kurva TGA yang terus menurun menunjukkan bahwa reaksi dehidroksilasi
lambat terjadi sebagai fungsi suhu. Puncak eksotermik pada suhu di atas
1100°C, tanpa kehilangan berat apa pun dalam kurva TGA, mengindikasikan
konversi dari alumina metastabil menjadi fase α-alumina stabil secara
termodinamik (Padmaja et al., 2004). Di sisi lain, DTA/TGA dari prekursor
boehmite kering (Gambar 1 (b)), dengan tidak adanya asam asetat selama
persiapan, menunjukkan total kehilangan 20% pada kurva TGA dalam dua
tahap. Plot DTA/TGA dari boehmite kering menunjukkan 15% penurunan berat
lebih banyak pada sampel boehmit (ketika asam asetat digunakan selama
proses), menunjukkan bahwa asam asetat mungkin teradsorpsi pada prekursor
boehmit selama proses.
Pola XRD dari prekursor kering ditunjukkan pada Gambar. 2 dan 3
masing-masing dengan variasi rasio AA/AIP dan H2O/AIP. Semua puncak
refleksi dalam Gambar. 2 dan 3 ditetapkan ke fase boehmite yaitu AlO(OH)
dengan ortorombik simetri (Wang et al., 1999). Dari Gambar. 2 semua puncak
menjadi lebih lebar dengan peningkatan rasio AA/AIP, yang menunjukkan
penurunan kristalinitas partikel boehmite. Dengan peningkatan rasio H2O/AIP,
intensitas puncak dari semua puncak refleksi meningkat. Hasil ini
menunjukkan peningkatan kristalinitas fase boehmite (Wang et al., 1999).
Dilaporkan (Panias dan Krestou, 2007), bahwa boehmite dengan kristalinitas
rendah menghasilkan serbuk γ-Al2O3 dengan luas permukaan yang tinggi
sedangkan boehmite kristal biasanya memberikan luas permukaan Al 2O3 bubuk
yang lebih rendah. Dengan demikian, memungkin untuk menyesuaikan
kristalinitas prekursor boehmit dengan menambahkan jumlah asam asetat yang
diperlukan selama proses persiapan.
Gambar 4 dan 5 menunjukkan pola XRD dari prekursor boehmite yang
dikalsinasi pada 500°C selama 5 jam di udara. Puncak baru muncul dalam pola
XRD ditetapkan ke fase γ-alumina yang terbentuk karena proses kristalisasi,
seperti yang dijelaskan dalam studi DTA/TGA.

4
Gambar 2. Pola XRD dari boehmite kering dengan variasi rasio AA/AIP. (a)
AA/AIP = 0, (b) AA/AIP = 0,035, (c) AA/AIP = 0,1, (d) AA/AIP = 0,5.

Gambar 3.Pola XRD dari boehmite kering dengan variasi rasio H2O/AIP. (a)
H2O/AIP = 3, (b) H2O/AIP = 6, (c) H2O/AIP = 12, (d) H2O/AIP = 25.
Kristalinitas γ-alumina menurun dengan peningkatan rasio AA/AIP, seperti
yang terlihat dari pelebaran puncak XRD. Namun, kristalinitas γ-alumina yang
lebih baik diperoleh pada rasio H2O/AIP 6. Peningkatan lebih lanjut dalam rasio
H2O/AIP tidak efektif dalam meningkatkan kristalinitas serbuk γ-alumina.
Puncak difraksi diamati di semua pola XRD yang lebar dan menyebar, karena
kristal sangat kecil. Ukuran seperti itu menunjukkan sifat dasar
nanokristalinnya dalam prekursor boehmite kering dan material γ-alumina yang
dikalsinasi. Karakteristik puncak fase γ-alumina pada 2θ = 45,90 ° untuk
refleksi (4 0 0) dan 2θ = 66,9 ° untuk refleksi (4 4 0) terlihat dalam analisis XRD
dari material yang dikalsinasi. Dengan demikian, studi DTA/TGA dan XRD pada
prekursor boehmite kering mengkonfirmasi bahwa prekursor kering adalah
boehmite dan dekomposisi termalnya mengarah pada pembentukan fase γ-
alumina, kristalinitas yang ditemukan tergantung pada rasio molar H2O/AIP
dan AA/AIP.
Hasil dari luas permukaan, volume pori total dan diameter pori rata-rata
untuk prekursor boehmite yang dikeringkan, disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Dalam kasus menggunakan rasio AA/AIP sebagai parameter, kecendrungan
tertentu diamati dari Tabel 1.

5
Gambar 4.Pola XRD γ-alumina dengan variasi rasio AA/AIP. (a) AA/AIP = 0, (b)
AA/AIP = 0,035, (c) AA/AIP = 0,1, (d) AA /AIP = 0,5.

Gambar 5. Pola XRD γ-alumina dengan variasi rasio H2O/AIP, (a) H2O/AIP = 3,
(b) H2O/AIP = 6, (c) H2O/AIP = 12, (d) H2O/AIP = 25.
Luas permukaan BET meningkat dari 314 m2/g menjadi 628 m2/g dengan
peningkatan rasio AA/AIP. Diameter pori rata-rata berkurang dari 16,1 nm
menjadi 4,5 nm dan volume pori juga menurun dari 1,25 cm3/g menjadi 0,70
cm3/g dengan peningkatan rasio AA/AIP. Sangat menarik luas permukaan
maksimum ~717,8 m2/g diperoleh ketika rasio H2O/AIP dijaga ~3.
Tabel 1.Sifat fisikokimia boehmite dengan variasi rasio AA/AIP

Tabel 2. Sifat fisikokimia boehmite dengan variasi rasio H 2O/AIP

6
Seperti terlihat dari Tabel 2 volume pori menurun dari 1,19 cm3/g menjadi 0,70
cm3/g dengan peningkatan rasio H2O/AIP. Ukuran pori tetap di kisaran 6,4-8,8
nm. Sifat dari adsorpsi dan desorpsi isotermik N2 merupakan kurva tipe IV yang
khas, yang menunjukkan dominasi mesopori untuk semua rasio AA/AIP dan
H2O/AIP. Perubahan dalam histeresis menunjukkan perubahan pada struktur
pori dalam material tersebut(Padmaja et al., 2004).

4.2 Preparasi dan Karakterisasi γ-Al2O3 Dari Boehmite


Kecenderungan serupa juga ditemukan pada serbuk γ-Al2O3 yang dibuat
dari dekomposisi termal boehmite pada 500°C selama 5 jam di udara. Hasil dari
luas permukaan, volume pori total dan diameter pori rata-rata diringkas dalam
Tabel 3 dan 4. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 3 bahwa luas permukaan BET
meningkat dari 306,5 m2/g menjadi 437,8 m2/g ketika rasio AA/AIP berubah
dari 0 menjadi 0,50. Pada saat yang sama, diameter pori menurun dari 19,8 nm
menjadi 7,7 nm dan volume pori berkurang dari 1,52 cm3/g menjadi 0,84 cm3/g
dengan variasi rasio AA/AIP selama prosesnya. Namun, kita dapat melihat dari
Tabel 4 bahwa, ketika rasio H2O/AIP meningkat, luas permukaan BET dan
diameter pori rata-rata distabilkan dalam kisaranmasing-masing 445,3–359,0
m2/g dan 10,5–8,1 nm. Volume pori distabilkan pada kisaran 1,16 - 0,73 cm3/g.
Sifat dari adsorpsi dan desorpsi isotermik N 2 tetap tipe tipikal IV, dengan
perubahan dalam histeresis yang menunjukkan perubahan pada struktur pori
dalam material (Padmaja et al., 2004).

4.3 Peran Asam Asetat


Analisis dari semua hasil ini menunjukkan bahwa asam asetat memiliki
peran penting dalam mengontrol luas permukaan dan distribusi ukuran pori
dalam boehmite kering dan bubuk γ-alumina yang dihasilkan. Distribusi
ukuran pori tidak banyak terpengaruh dalam bubuk γ-alumina dengan variasi
rasio molar H2O/AIP.
Tabel 3.Sifat fisikokimia γ-alumina dengan variasi rasio AA/AIP

7
Tabel 4.Sifat fisikokimia γ-alumina dengan variasi rasio H2O/AIP

Gambar 6.Spektra FT-IR dari boehmite dan γ-alumina. (a) AA/AIP = 0, (b)
AA/AIP = 0,5, (c) AA/AIP = 0,5 dikalsinasi pada 500°C.
Distribusi ukuran pori berubah secara sistematis ke kisaran mesopori ketika
rasio AA/AIP meningkat dari 0 hingga 0,5. Untuk variasi rasio H 2O/AIP; efeknya
kurang dominan dalam mengontrol ukuran pori dan distribusi pori. Semua
pengamatan ini menetapkan fakta bahwa kondisi persiapan memiliki efek yang
luar biasa pada diameter pori rata-rata dan distribusi ukuran pori selama
persiapan dan dapat dikontrol dengan memilih rasio AA/AIP dan H2O/AIP yang
tepat sementara menjaga semua kondisi lain yang sama. Singkatnya, asam
asetat juga ditemukan memiliki beberapa peran penting dalam mengendalikan
mikrostruktur serbuk γ-Al2O3yang mungkin melalui adsorpsi selektif pada
wajah berenergi tinggi dari partikel boehmite berinti yang berorientasi secara
acak selama proses aging(Deshpande et al., 2006). Konfirmasi untuk argumen
ini berasal dari studi FT-IR tentang prekursor boehmite yang sebelumnya.
Spektra FT-IR disajikan pada Gambar. 6 menunjukkan bahwa semua pita

8
absorpsi yang sesuai dengan fasa boehmite (Music et al.,1999), memiliki
koordinasi Al-O oktahral. Spektrum IR yang ditunjukkan pada Gambar 6 (b)
dengan jelas, menunjukkan adanya gugus asetat (Deshpande et al., 2006), pada
permukaan prekursor boehmit. Pada pita 1469 cm-1 dan 1579 cm-1 ditentukan
untuk mode stretching dari gugus acetat CH3COO- karena untuk pengkelat atau
tipe menjembatani asetat dengan Al (III). Adanya punuk kecil di 1635 cm-1
ditetapkan untuk adanya kelompok hidroksil di prekursor boehmite. Pita pada
1635 cm-1 (ditetapkan untuk gugus hidroksil) masih berlangsung dalam sampel
bahkan setelah kalsinasi di udara. Puncak penyerapan karakteristik (Gambar 6
(c)) di wilayah 500–750 cm-1 ditetapkan untuk getaran AlO6 dan tepi yang
diamati pada 886 cm-1 dianggap karena getaran γ-AlO4(Priya et al., 1997).
Dengan demikian, serbuk γ-Al2O3 yang dihasilkan oleh kalsinasi prekursor
boehmit ditemukan mengandung koordinasi Al-O tetrahedral dan oktahedral.
Tidak adanya pita pada 1276 dan 1415 cm-1 yaitu, pita-pita karakteristik dari
bebas asam asetat dalam bahan (Persson et al., 1998), menegaskan
ketidakhadirannya dalam bahan.
Studi TEM telah dilakukan untuk memahami efek asam asetat pada
morfologi boehmite dan bubuk γ-Al2O3 yang dikalsinasi. Gambar 7 (a)
memberikan citra TEM dari prekursor boehmit yang dipersiapkan yang
menunjukkan adanya partikel berpori berbentuk batang (terdiri dari agregat
kristal) dengan panjang yang berbeda (40-50 nm) memiliki diameter 1–2 nm.

9
Gambar 7. Gambar TEM bubuk boehmite dan γ-alumina (bar = 20 nm). (a)
AA/AIP = 0, (b) AA/AIP = 0,035, (c) AA/AIP = 0,5, (d) AA/AIP = 0,035 dikalsinasi
pada 500°C.
Namun, ketika rasio AA/AIP dijaga pada ~0,035 selama proses, prekursor
boehmite kering menunjukkan bahan yang terdiri dari jaringan interkoneksi
batang berpori tipis memiliki diameter lebih kecil dari batang serbuk ketika
rasio AA/AIP adalah ~0 (Gbr. 7 (b)). Dengan peningkatan lebih lanjut dari rasio
AA/AIP, prekursor boehmit terdiri dari mikrostrukturmirip cacing (Gambar 7 (c))
dengan jaringan interkoneksi yang lebih tipis dan memanjang dari nanometer
berukuran batang yang lebih kecil dengan panjang bervariasi. Serbuk γ-Al2O3,
bagaimanapun, menunjukkan material dengan keberadaan batang, seperti
dapat dilihat dari Gambar 7 (d). Diameter partikel ditemukan dalam kisaran
nanometer (1,5-2,5 nm) dengan panjang seragam 20-25 nm. Semua
pengamatan ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh (Hochepied et al., 2002),
bahwa keberpihakan nanopartikel mengarah pada pembangunan serat
polikristalin dengan diameter 3-8 nm dan panjang sekitar 100 nm.

4.4 Pembentukan Besar Luas Permukaan Pada Boehmite


Analisis yang cermat dari FT-IR dan TEM bersama-sama mendalilkan
bahwa morfologi prekursor boehmit dapat dikontrol oleh adsorpsi gugus asetat
pada prekursor boehmite kering selama persiapan. Salah satu mekanisme yang
mungkin adalah bahwa partikel-partikel boehmite berinti oleh reaksi (2) dan (3)
secara bertahap untuk membentuk kristal-kristal nano boehmite selama proses
aging. Kemudian agregasi reaksi-terbatas partikel-partikel ini melalui sisi
tertentu (Zhou dan Antonietti, 2003), (di mana tidak ada adsorpsi asam asetat
yang terjadi) dapat terjadi untuk meminimalkan energi antarmuka sehingga
memberikan morfologi tertentu untuk agregat boehmite. Wajah berenergi tinggi
dari partikel boehmit dimana gugus CH3COO secara selektif teradsorpsi (Jiang,
2003), tidak tersedia untuk proses agregasi reaksi-terbatas selama proses aging.
Interaksi antara gugus CH3COO- dan wajah-wajah yang memiliki energi tertinggi
akan relatif lebih kuat dan tingkat pertumbuhan dari aspek-aspek ini melambat
sebagian besar. Dengan kata lain, ion CH3COO- memiliki efek penyeimbang
pada tingkat pertumbuhan wajah yang berbeda sedemikian rupa sehingga
morfologi bentuk batang yang diinginkan diperoleh pada prekursor boehmite.
Morfologi yang sama dipertahankan dalam serbuk γ-Al2O3 oleh reaksi topotaktik
(Alphonse dan Courty, 2005), dengan serbuk γ-Al2O3.
Karakterisasi lebih lanjut dari bubuk γ-Al2O3 dilakukan dengan
mengukur spektrum PL dengan eksitasi pada 325 nm pada suhu kamar untuk
mengkonfirmasi adanyakekosongan oksigen dalam bahan-bahan tersebut.

10
Gambar 8.Spektra PL bubuk γ-alumina diperoleh dari (a) catapal-B, (b) tanpa
asam asetat, (c) dengan asam asetat.
Spektrum digambarkan dalam Gambar. 8. γ-Al2O3 komersial diperoleh dari
catapal-B (Gambar. 8 (a)) menunjukkan fitur serupa dalam spektrum PL dengan
serbuk γ-Al2O3 (Gambar. 8 (b)) disiapkan tanpa menggunakan asam asetat
selama persiapan. Emisi biru yang kuat pada 437,6 nm diamati pada kedua
sampel yang menunjukkan adanya sejumlah besar pusat F+(Khollam et al.,
2006) dalam serbuk γ-Al2O3. Intensitas pita lebar yang rendah berpusat pada
800 nm dapat dikaitkan dengan adanya cacat selain pusat F+ dalam sampel.
Namun, dua puncak tajam tambahan diamati pada 585,8 nm dan 616,5 nm
dalam serbuk γ-Al2O3 (Gbr. 8 (c)) disiapkan menggunakan asam asetat yang
tidak ada dalam serbuk γ-Al2O3 yang dibuat tanpa menggunakan asam asetat
selama persiapan. Doublet yang muncul di 585,8 nm dan 616,5 nm dikaitkan
dengan kehadiran sejumlah kecil θ-Al2O3 yang terbentuk selama kalsinasi pada
500°C di udara. Doublet bergeser ke sisi panjang gelombang yang lebih rendah
dibandingkan dengan data yang dilaporkan [30] karena tekanan dalam bahan.
Pengamatan ini sesuai dengan hasil DTA/TGA, XRD, dan TEM sebelumnya
bahwa nanocrystalline γ-Al2O3 dengan luas permukaan yang tinggi dapat
berubah menjadi fasa θ-Al2O3 dalam jumlah kecil pada suhu kalsinasi.
Persentase fasa bisa berada di bawah batas deteksi XRD, karena tidak ada
puncak yang sesuai dengan θ-Al2O3 yang terlihat dalam pola XRD. DTA/TGA
juga menunjukkan puncak eksotermis yang luas karena kristalisasi fase γ-Al2O3
dan metastabil. Oleh karena itu, memungkinkan bahwa bubuk γ-
Al2O3mengandung sejumlah kecil θ-Al2O3 di bawah tingkat deteksi XRD.

4.5 Aktivitas Katalitik Pada Sintesis γ-Al2O3 Dengan Luas Permukaan Yang
Berbeda
Alumina disintesis dengan mengubah rasio mol AA/AIP dan dengan
menunjukkan luas permukaan yang berbeda dikarakterisasi oleh NH 3-TPD dan
diuji untuk aktivitas pada dehidrasi metanol ke DME. Gambar. 9 menunjukkan

11
profil NH3-TPD dari bubuk γ-alumina; hasil kuantitatif yang diperoleh untuk hal
yang sama dirangkum dalam Tabel 5.

Gambar 9. Profil-NH3 γ-alumina diperoleh dari (a) catapal-B, (b) AA/AIP = 0, (c)
AA/AIP = 0,035, (d) AA/AIP = 0,1 (e) AA/AIP = 0,5 .
Tabel 5.Ringkasan luas permukaan dan situs asam diukur dengan NH 3-
TPD pada γ-alumina dengan variasi rasio AA/AIP

Hal ini terbukti dari Tabel 5 bahwa jumlah amonia yang didisorbsi dari bubuk
γ-alumina lebih tinggi (~1,12 mmol/g) ketika rasio AA/AIP dipertahankan pada
0,50 dibandingkan dengan 0,82 mmol/g yang diamati untuk rasio AA/AIP ~0,0.
Jumlah ini secara bertahap meningkat seiring dengan peningkatan rasio AA/AIP
karena meningkatnya luas permukaan. Bubuk γ-alumina yang berasal dari
sampel komersial catapal-B boehmite, bagaimanapun, memberikan nilai yang
lebih rendah untuk amonia terserap ~0,65 mmol/g.
Pola TPD (Gambar. 9) dari bubuk γ-alumina menunjukkan dua puncak
intens dalam kisaran 100–800°C. Puncak pertama (I) sesuai dengan situs asam
yang disebabkan oleh penghapusan NH3 teradsorpsi pada permukaan katalis.
Puncak kedua (II) adalah karena proses dehidroksilasi lambat gugus hidroksil
permukaan pada γ-Al2O3. Puncak pertama dapat ditetapkan ke NH3 diserap dari
situs asam. Intensitas puncak ditemukan meningkat secara signifikan dengan
menjaga rasio AA/AIP ~0,5 selama persiapan. Dari hasil ini, dapat disimpulkan
bahwa serbuk γ-alumina yang dilaporkan dalam penelitian ini memiliki situs
asam permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubuk γ-alumina yang
diperoleh dari komersial catapal-B boehmite dan kerapatan situs meningkat

12
dengan peningkatan rasio molar AA/AIP. Adanya asam asetat selama persiapan
telah membantu meningkatkan konsentrasi situs asam dalam bahan-bahan ini.
Penggunaan asam asetat selama persiapan tidak hanya membantu untuk
meningkatkan luas permukaan bubuk boehmite/γ-Al2O3 (Tabel 1 dan 3) tetapi
juga untuk meningkatkan jumlah situs asam permukaan serbuk γ-Al2O3.
Dengan demikian, memungkinkan untuk mengontrol dengan mudah jumlah
situs asam permukaan serta ukuran pori, distribusi dan kristalinitas bubuk
boehmite/γ-Al2O3 dengan menggunakan asam asetat selama persiapan.
Katalis γ-Al2O3 diperoleh dengan menjaga rasio AA/AIP ~0,5 dan rasio
H2O/AIP ~6,0 selama proses digunakan untuk konversi metanol ke DME.
Kinerja katalis ini dibandingkan dengan katalis γ-Al2O3 yang diperoleh dari
boehmite komersial yaitu katapal-B. Hasil pada katalis menunjukkan konversi
80% dan selektivitas ke DME sebesar 99,9%, hampir mendekati konversi
kesetimbangan dan selektivitas maksimum. Suhu di mana konversi ekuilibrium
metanol dicapai di atas 320°C, untuk γ-Al2O3 (diperoleh dari catapal-B) dan juga
ditemukan di atas 320°C untuk katalis yang dibuat tanpa menggunakan asam
asetat. Namun, katalis yang dibuat menggunakan asam asetat selama sintesis
membutuhkan suhu di atas 300°C untuk mendapatkan konversi
kesetimbangan. Dengan demikian, kinerja yang lebih baik pada suhu yang lebih
rendah diperoleh pada katalis yang dibuat menggunakan asam asetat daripada
pada katalis γ-Al2O3 yang berasal dari sampel catapal-B boehmite yang tersedia
secara komersial atau pada sampel yang disiapkan tanpa asam asetat.
Selanjutnya, variasi dalam aktivitas katalitik dengan luas permukaan
dan jumlah situs asam ditunjukkan pada Gambar. 10. Secara umum, aktivitas
katalitik dalam dehidrasi metanol sangat tergantung pada sifat asam
permukaan, seperti total jumlah situs asam dan kekuatannya.

Gambar 10.Korelasi luas permukaan dan jumlah situs asam dengan aktivitas
katalitik dehidrasi metanol ke DME pada γ-alumina diperoleh pada rasio mol
yang berbeda dari AA / AIP (simbol terisi) dan catapal-B (simbol berongga).

13
Jelas bahwa jumlah situs asam yang menunjukkan hampir kekuatan asam
yang sama dapat dikontrol secara tepat dengan pemilihan metode sintetis yang
tepat selama persiapan alumina (Tabel 5 dan Gambar. 9). Hal ini juga menarik
untuk melihat korelasi yang baik antara aktivitas katalitik, luas permukaan dan
jumlah situs asam. (Yoo et al., 2007), dalam penelitian pada sintesis DME telah
dilaporkan korelasi yang baik antara aktivitas katalitik dan jumlah situs asam
lemah. Hasil saat ini, dilaporkan pada Tabel 5, juga sesuai dengan pengamatan
ini, memberikan pentingnya jumlah situs asam dalam reaksi dehidrasi. Situs
asam juga kurang rentan terhadap deaktivasi selama reaksi.
Aktivitas dehidrasi metanol, dinyatakan dalam hal suhu yang diperlukan
untuk mendapatkan 50% konversi, berkorelasi dengan luas permukaan
alumina pada Gambar. 10. Dengan meningkatnya luas permukaan γ-Al2O3,
suhu yang diperlukan untuk mencapai 50% konversi metanol diperoleh
menurun dari 325°C ke 305°C karena meningkatnya jumlah situs asam yang
aktif untuk dehidrasi metanol. Hasil ini juga menunjukkan bahwa hasil
keluaran yang tinggi dapat diperoleh pada kecepatan ruang tinggi pada
permukaan luas alumina tanpa proses modifikasi yang rumit.

14
V. KESIMPULAN
1. luas permukaan partikel berukuran Nano bias disiapkan dengan mengadopsi
metode sol-gel, selama yang sesuai rasio AA / AIP dan H2O / AIP dan waktu
pemeraman yang sesuai diperlukan.
2. Asam asetat teradsorpsi di permukaan memainkan peran penting dalam
mengendalikan morfologi prekursor boehmite serta bahwa dari g-Serbuk
Al2O3. Hubungan struktur-properti yang diamati dalam Penelitian ini
berguna untuk membuat g-Al2O3 yang dibuat khusus dengan tinggi
keasaman permukaan. Alumina yang dibuat sangat aktif dan selektif dalam
dehidrasi methanol.

15
DAFTAR PUSTAKA

Alphonse, P. dan M. Courty. 2005. “Structure and Thermal Behavior of


Nanocrystalline Boehmite”.Thermochim. Acta.Vol 425 (75): 75–89.
Deshpande, S.B., H.S. Potdar, Y.B. Khollam, K. R. Pati, R. Pasricha dan N. E.
Jacob. 2006. “Room Temperature Synthesis of Mesoporus Aggregates of
Anatase TiO2 Nanoparticles”.Mater. Chem. Phys. Vol 97 (1): 207–212.
Hochepied, J. F dan P. Nortier. 2002. “Influence of Precipitation Conditions (pH
and Temperature) on The Morphology and Porosity of Boehmite
Particles”.Powder Technol. Vol 128 (): 268–275.
Irawati Utami ,Suraida Sunardi.2013.Sintesis Dan Karakterisasi Gamma
Alumina (γ-Al2O3) Dari Kaolin Asal Tatakan, Kalimantan Selatan
Berdasarkan Variasi Temperatur Kalsinasi .Molekul. Vol. 8. No.1 .31-42
Jiang, X.C. 2003.Series of Selected Papers from Chun-Tsung Scholars. Peking
University.
Khollam, Y.B., H.S. Potdar, S. B. Deshpande dan A. B. Gaikwad. 2006.
“Synthesis of Star Shaped Ba1-xSrxTiO2 (BST) Powders”.Mater. Chem.
Phys. Vol 97 (2): 295–300.
Music, S., D. Dragcevic dan S. Popovic. 1990. “”.Mater. Lett. Vol 40 (): 269–274.
Padmaja, P., P.K. Pillai, K.G. K. Warrier dan M. Padmanabhan. 2004.
“Adsorption Isotherm and Pore Characteristics of Nano Alumina Derived
from Sol-Gel Boehmite”.J. Porous Mater. Vol 11 (3): 147–155.
Paglia, G., Buckley, C.E., Rohl, A.L., Hart, R.D., Winter, K. & Studer, A.J.
2004. Boehmite Derived γ-Alumina System. 1.Structural Evolution
with Temperature, with the Identification and Structural
Determination of a New Transition Phase,γ’-Alumina.Chemistry of
Materials, 16 (2) :220.
Panias, D dan A. Krestou. 2007.”Effect of Synthesis Parameters on Precipitation
of Nanocrystalline Boehmite from Aluminate Solutions”.Powder Technol.
Vol 175: 163–173.
Parida, K.M., Pradhan, A.C., Das, &Sahu, N., 2009. Synthesis and
characterization of nano-sized porous gamma-alumina by control
precipitation method. Mater. Chem. Phys. 113: 244–248.
Persson, P., M. Karlsson dan L. O. O¨hman. 1998. “Complexation and Surface
Phase Transformation at The Alumin/Water Interface”.Geochim.
Cosmochim. Acta.Vol 62 (4): 3657– 3668.
Priya, G.K., P. Padmaja, K.G.K. Warrier, A. D. Damodaran dan G. Aruldhas.
1997. “Dehydroxylation and High Temperature Phase Formation in Sol-

16
Gel Boehmite Characterizied by Fourier Transform Infrared
Spectroscopy”.J. Mater. Sci. Lett. Vol 16 (19): 1584–1587.
Ulyani, V. 2008. Reaksi Katalisis Oksidasi Vanili Menja di Asam Vanilat
Menggunakan Katalis TiO2Al2O3 (1:1) yang Dibuat dengan PEG 6000.
Skripsi. Universitas Indonesia. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Utari,T.1994.PembuatanAdsorben Alumina Dari Kaolin. Tesis. Fakultas Pasca
sarjana, Universitas Indonesia, Depok.
Wang, J. A., X. Bokhimi, A. Morales, O. Novaro, T. Lopez dan R. Gomez. “Effects
of Structural Defacts and Acid-Basic Properties on The Activity and
Selectivity of Isopropanol Decomposition on Nanocrystalline Sol-Gel
Alumina Catalyst”.J. Phys. Chem. Vol 103 (38): 299–303.
Wang,Y.H.,J.Wang, M.Q. Shen, & W.L. Wang. 2009. Synthesis and Properties
of Thermostable γ-Alumina Prepared by Hydrolysis of Phosphide
Aluminum. Journal of Alloys and Compounds. 467(1-2): 405-412.
Yoo, K.S., J.H. Kim, M.J. Park, S.J. Kim, O. S. Joo dan K. J. Jung. 2007. “”.Appl.
Catal. Vol 330 (): 57–62.
Zhou, Y dan M. Antonietti. 2003. “Synthesis of AlOOH Slurry Catalyst and
Catalytic Activity for Methanol Dehydration to Dimethyl Ether”. J. Am.
Chem. Soc. Vol 125 (57): 14960–14961.

17

Вам также может понравиться