Вы находитесь на странице: 1из 5

https://tirto.

id/

Kejahatan Perang Belanda di Aceh


https://tirto.id/kejahatan-perang-belanda-di-aceh-cFZJ

Ilustrasi korban Perang Aceh oleh Korps Marsose Belanda. FOTO/Istimewa

12 Maret 2018

Dibaca Normal 3 menit

75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu Belanda, terutama oleh Korps Marsose, selama Perang Aceh.

tirto.id - “Belanda mengirim pasukan Marsose ke Aceh, menewaskan sekitar 75.000 rakyat Aceh atau 15 persen
penduduk wilayah itu. Tindakan kekerasan itu diambil untuk mempertahankan stabilitas politik dan keamanan di
wilayah Hindia Belanda,” tulis Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan
Peristiwa (2009) dan Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia (2004).

Jumlah korban dalam Perang Aceh (1873-1904) ini melebihi jumlah korban pasukan Raymond Westerling di
Sulawesi Selatan, yang disebut-sebut sekitar 40.000 orang.

Baca juga: Traktat Tukar Guling: Aceh Dibarter Pantai Gading

Angka yang dipakai Asvi ini persis sebagaimana ditulis sejarawan Henk Schulte Nordholt dalam artikel "A Genealogy
of Violence" dalam Roots of Violence in Indonesia (2002) suntingan Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad. Nordholt
memberi contoh bahwa 75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu kolonial Belanda dalam rangka usaha
Belanda menguasai Aceh. Sebagian dari mereka terbunuh oleh satuan khusus bernama Marsose.

“Ekspansi kolonial menciptakan kekerasan oleh negara yang hanya sedikit diakui dalam sejarah Belanda,” tulis
Nordholt.

Taksirannya, antara 1871 hingga 1910, sekitar 125.000 orang terbunuh. Angka ini melebihi jumlah penduduk kota
Semarang pada 1910. Kira-kira dalam waktu hampir 40 tahun, militer Belanda telah membunuh orang satu kota.
Suatu prestasi gila yang mendahului kegilaan Kapten Westerling di Sulawesi Selatan pada masa revolusi.
https://tirto.id/

Baca juga:

 Pasukan Westerling Garang di Bandung, Loyo di Jakarta


 Sebelum Westerling Ditimpuk Sepatu
 Westerling Memberontak Bermodalkan Duit Para Pengusaha

Selama aksi-aksi tentara Belanda di Aceh, pembantaian di Gayo Alas pada 1904 sudah jadi sorotan. Di situ pula
Marsose beraksi.

Letnan Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen adalah komandan dalam ekspedisi pembantaian tersebut.
Perwira kelahiran 23 Maret 1863 di Makassar dan tutup usia pada 22 Februari 1930 di Den Haag ini aslinya bukan
infanteri alias pasukan jalan kaki. Berdasarkan Encyclopædie van Nederlandsch-Indië 6 (1932), yang disusun oleh
Jozias Paulus, G.C.E. van Daleen semula belajar sebagai kadet persenjataan artileri (pasukan meriam) di akademi
militer. Perang Aceh membuatnya harus memimpin pasukan Marsose.

Baca juga: Kematian Mayor Jenderal Kohler dalam Perang Aceh

Dari sekian banyak perwira KNIL yang bertugas di Aceh, van Daalen adalah perwira yang paham bahasa Aceh.
Ayahnya, yang bernama sama dengannya, adalah Kapten KNIL yang pernah dinas di Aceh.

Baca juga: "Pembunuhan Aceh" Bikin Gentar Marsose Belanda

Dalam ekspedisi ke Gayo, menurut Paul van ‘t Veer dalam Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985),
van Daalen membawahi 10 brigade Marsose—sama dengan 200 orang serdadu bawahan—dengan 12 perwira dan
diiringi 450 straapan (orang hukuman yang dijadikan kuli).

Ekspedisi itu berakhir pada 24 Juni 1904. Skala korbannya: 2.902 orang Aceh terbunuh, dan 1.159 di antaranya
adalah perempuan. Sementara di pihak van Daalen ada 26 orang terbunuh.

Soal orang-orang Gayo yang disatroni Marsose, van ‘t Veer menulis: "Mereka menyambut Marsose dengan
mengucapkan ayat-ayat suci dan mengenakan pakaian putih, seakan melambangkan bahwa mereka telah bersiap
untuk mati".

Di Kuta Reh, seperti disebut dalam laporan perwira bernama Kempees, van ‘t Veer menulis, “Sebelum serangan
dimulai, terdengar bagaimana orang berdoa dan berzikir. Kemudian mulailah pembantaian".

Paul van ‘t Veer tak percaya bahwa van Daalen mengaku mau bertanggung jawab dalam suratnya kepada JB van
Heutsz, gubernur militer Aceh sejak 1899, yang lantas jadi gubernur Hindia Belanda setelah menaklukkan Aceh
(1904–1909).

Tapi masalahnya, dalam otak Van Daalen, kekerasan serta kekejaman adalah sebuah sistem. Bagi van Daalen,
kekerasan karena kecerobohan, main gampangan, atau sadisme sangatlah dibencinya.

“Kekejaman yang 'tidak disengaja', baginya, menjadi kejahatan yang paling besar,” tulis van ‘t Veer. Kasarannya, van
Daalen memaklumi kekerasan dan kekejaman selama itu bagian dari sistem.

“Pembunuhan besar-besaran yang tiada taranya. Foto-fotonya enam puluh tahun sesudah peristiwa tak mungkin
dilihat tanpa merasa ngeri. [...] Van Daalen, yang sama sekali tidak merasa malu atas tindakannya, justru bangga atas
keberhasilannya,” tulis van t'Veer dalam Perang Aceh.

Baca juga: Pembantaian yang Dilakukan Belanda di Pedalaman Aceh


https://tirto.id/
https://tirto.id/

Parade Pembantaian

Namun, meski van Heutsz telah menaklukkan seluruh wilayah Aceh pada 1904, dan ia sendiri diangkat ke Batavia
untuk menduduki sebagai sang gubernur Hindia Belanda, perang gerilya dalam skala kecil masih sering terjadi.

Teuku Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912 (1987) menulis bahwa Letnan Kolonel
Swart, gubernur sipil dan militer yang baru di Aceh, menugaskan dua opsir marsose, Kapten Christoffel dan Kapten
Scheepens. Keduanya dikenal memahami seluk-beluk Aceh, dan diminta pergi ke daerah Lhoksukon (kini bagian
Aceh Utara) untuk menghabisi "barisan-barisan muslimin." Begitulah, catat Alfian, sebanyak 137 orang Aceh dibunuh
pada paruh kedua 1908.

Baca juga: Melumpuhkan Teuku Umar hingga Cut Nyak Dhien di Bulan Puasa

Dalam sejarah Marsose dan Perang Aceh, Hans Christoffel adalah sosok menarik. “Hans Christoffel (tadinya
berpangkat bintara dengan NRP 22174) adalah seorang kelahiran Swiss. Ia seorang yang berwatak sangat keras dan
kejam tak mengenal ampun,” tulis Henri Carel Zentgraaff dalam Aceh (1983).

Kapten Hans Christoffel adalah seorang pencari jejak yang tekun dan pawang hutan yang ulung. Tiga tahun setelah
ekspedisi Gayo Alas, pada 1907, ia memimpin pasukan Marsose untuk menyergap Sisingamangaraja XII di Kabupaten
Dairi, Sumatera Utara.

Paul van ‘t Veer juga mencatat cerita Letkol Swart mengenai Kapten Christoffel, yang mendapat perintah pada 1907
untuk mematahkan perlawanan di Keureuto dan sekitarnya (kini bagian dari Aceh Utara).

Swart berkata kepada si kapten: “Kau usahakan pemberontakan berakhir di bagian ini, dan dalam hal ini kau boleh
bertindak keras sekali.”

“Bereslah,“ kata Christoffel. Ucapan beres, dalam catatan Zentgraaff , berarti tindakan "kekerasan yang teramat
sangat, yang dilakukan secara sistematis." Pendeknya, sebuaha parade pembantaian.

Cerita lain yang dicatat van ‘t Veer ketika Christoffel harus mengakhiri aksi pembongkaran rel kereta api yang
dilakukan orang-orang Aceh.

"Malam-malam ia memeriksa rumah-rumah kampung sepanjang jalan kereta api. Bila sang suami tak di rumah,
pintunya diberi tanda silang dengan kapur," tulis van ‘t Veer. Esoknya, pagi-pagi buta, rumah-rumah itu disatroni lagi.
Jika si suami tak bisa memberi keterangan memuaskan soal apa yang dilakukannya pada malam hari, Christoffel dan
pasukannya tak segan mencabut nyawa mereka.

Baca juga: GAM Lahir demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh

Selain orang-orang Aceh, orang-orang Jawa juga jadi korban pada pengujung Perang Aceh.

Orang-orang ini bukan serdadu-serdadu KNIL rendahan atau Marsose. Mereka adalah straapan alias orang-orang
hukuman, yang dipasung dengan rantai, dan dijadikan kuli. Biasanya mereka bekas kriminal dan dikirim ke Perang
Aceh bukan kemauan mereka sendiri.

“Dua puluh lima ribu orang Jawa menjalani hukuman kerja paksa di Aceh dalam keadaan yang demikian kejam
sehingga merekalah yang paling banyak menjadi korban,” tulis sejarawan Jean Gelman Taylor dalam "Aceh, Narasi
Foto, 1873-1930" dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008).
https://tirto.id/

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi

(tirto.id - Indepth)

Reporter: Petrik Matanasi


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam

Вам также может понравиться