Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Definisi
Sirosis hepatis merupakan keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatis dari berbagai macam penyakit hati yang
berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. WHO memberi batasan histologi dari sirosis
sebagai sebagai proses kelainan hati yang bersifat merata (difus) yang ditandai
dengan fibrosis dan perubahan bentuk atau arsitektur yang normal dari hati ke
bentuk struktur nodul-nodul yang abnormal. Progresivitas kerusakan hati ini dapat
berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun.
Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai dengan fibrosis. Batasan
fibrosis sendiri adalah penumpukan yang berlebihan dari matriks ekstraseluler
(seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon fibrosis terhadap
kerusakan hati bersifat reversibel. Berbeda pada sebagian besar pasien dengan
sirosis, pada kejadian ini prosesnya biasanya tidak reversibel.

3.2 Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis
ditemukan waktu pemeriksan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi.
Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk.
Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus
kronik. Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3%
juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan
dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien
sirosis hati berkisar 4,1 % dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam
dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun
dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di
bagian penyakit dalam. Perbandingan pria:wanita rata-rata adalah 2:1, dan usia
rata-rata 44 tahun dengan rentang usia 13-88 tahun.
15

3.3 Klasifikasi
Secara konvensional sirosis hepatis diklasifikasikan berdasarkan
morfologi, yaitu:
1. Sirosis mikronoduler: nodul berbentuk uniform, diameter < 3 mm.
Penyebabnya : alkoholisme, hemokromatosis, obstruksi bilier, obstruksi
vena hepatica
2. Sirosis makronoduler: nodul bervariasi dengan diameter > 3 mm.
Penyebabnya : hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, sirosis bilier rimer,
defisiensi alfa-1 antitripsin
3. Sirosis campuran: kombinasi antara sirosis mikronoduler dan
makronoduler. Sirosis mikronoduler sering berkembang menjadi
makronoduler
Selain itu, sirosis hepatis juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi yang
akan dibahas di subbab berikutnya.

3.4 Etiologi
Di masa lalu penyakit hati alkoholik merupakan penyebab sirosis yang
paling menonjol di Amerika Serikat. Akhir-akhir ini hepatitis C mulai meningkat
jumlahnya sebagai penyebab utama baik hepatitis kronik maupun sirosis secara
nasional. Di Indonesia banyak penelitian menunjukkan bahwa hepatitis B dan C
merupakan penyebab sirosis yang lebih menonjol dibanding penyakit hati
alkoholik. Kasus sirosis kriptogenik ternyata disebabkan oleh perlemakan hati non
alkoholik dengan faktor risiko tinggi pada obesitas, diabetes, dan hipertrigliserida.

Etiologi Penyakit Sirosis Hepatis/ Penyakit Hati Kronik


Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomiasis
Toksoplasmosis
16

Hepatitis virus (B, C, D)


Sitomegalovirus
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Hemokromatosis
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer

3.4 Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis,
konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama.
Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras.
Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan
kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan
faktor penyebab yang utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang
ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang
tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya
normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding
individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan
meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat
memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon
17

tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis


yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak
daripada wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun.
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi
utama akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis
alkoholik, dan sirosis alkoholik.
Terdapat tiga pola khas patofisiologi sirosis, yaitu sirosis Laenec, sirosis
pascanekrotik, sirosis biliaris.
1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis. Tiga lesi
utama akibat induksi alcohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis
alkoholik, dan sirosis alkoholik.
a. Perlemakan hati alkoholik
Adana vakuola lunak dalam sitoplasma mendorong inti hepatosit ke
membrane sel
b. Hepatitis alkoholik
Mekanismenya diperkirakan karena :
- Hipoksia sentrilobular
- Infiltrasi neutrofil
- Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternative dari metabolism
etanol
c. Sirosis pasca nekrosis
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).
18

3.5 Klinis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala. Sirosis hepatis secara klinis
dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata yang berarti belum ada gejala klinis
yang nyata dan sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala dan tanda klinis
yang jelas. Sirosis hepatis kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronis dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis dan hanya
dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.
Sirosis kompensata ditandai dengan mudah lelah, lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, impotensi, testis
mengecil, payudara membesar, dan hilangnya dorongan seksual. Sedangkan
sirosis dekompensata, gejala lebih menonjol terutama komplikasi dari kegagalan
hati dan hipertensi porta.
Pasien dengan sirosis dapat datang ke dokter hanya dengan keluhan
sedikit, bahkan dapat tanpa keluhan sama sekali atau dengan keluhan penyakit
lain. Beberapa keluhan dan gejala yang sering timbul pada sirosis, antara lain:
1. Kulit berwarna kuning
2. Rasa capek
3. Lemah
4. Nafsu makan menurun
5. Gatal
6. Mual
7. Penurunan berat badan
8. Nyeri perut
9. Mudah berdarah (akibat penurunan produksi faktor pembekuan darah)
10. Berak hitam seperti petis dan atau muntah darah
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan
fisiologis yaitu gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal
hepatoseluler adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema
Palmaris, angioma laba-laba, fetor hepatikum, dan ensefalopati. Gambaran klinis
yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal adalah splenomegali, varises
19

esofagus dan lambung, serta manifestasi sirkulasi kolateral lain. Selain itu juga
ditemukan klinis pasien berupa:
1. Spider telangiektasi
2. Eritema Palmaris
3. Hepatomegali (bisa terjadi)
4. Splenomegali
5. Asites
6. Fetor hepatikum
7. Ikterus pada kulit

1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit
yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba
berbenjol-benjol (noduler).

2. Obstruksi Portal dan Asites


Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang
kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-
organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati.
Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka
aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal
dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang
kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan
dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan
semacam ini cenderung menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare.
Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang
20

kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal
ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang
cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri
superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat
dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.

3. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam
pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita
sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok
serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh
darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian
bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah
kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid
tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume
darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat
mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus
mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi
dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami
hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises
pada lambung dan esofagus.

4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium
21

5. Defisiensi Vitamin dan Anemia


Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang
tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi
vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan
fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis.
Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan
mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan
aktivitas rutin sehari-hari.

6. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum
pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola
bicara.

3.6 Diagnosis
Anamnesis:
Tanyakan riwayat pemakaian alkohol jangka panjang, penggunaan
narkotik dalam bentuk suntikan, juga adanya penyakit hati menahun terutama
yang berisiko tinggi adalah hepatitis B dan C.

Pemeriksaan Fisik:
 Hepatomegali dan atau splenomegali. Pada palpasi hati teraba keras
dan berbentuk lebih tak teratur daripada hati normal.
 Spider telangiektasis (spider naevi) terutama pada pasien dengan
sirosis alkoholik. Spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun
spider juga dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai
penyakit hati.
22

 Ikterus atau jaundice


 Eritema Palmaris
 Asites dan atau edema tungkai bawah
 Pasien dengan deposit tembaga yang abnormal di matanya atau yang
menunjkkan gejala neurologi tertentu, mungkin mengidap penakit
Wilson, yang merupakan kelainan genetik akibat akumulasi tembaga
yang abnormal di seluruh tubuh, termasuk dalam hati yang dapat
menimbulkan sirosis

Pemeriksaan laboratorium:

 SGOT dan SGPT meningkat pada pemeriksaan rutin dapat menjadi


salah satu tanda adanya keradangan atau kerusakan hati, akibat
berbagai penyebab termasuk sirosis
 Sirosis lanjut dapat disertai penurunan kadar albumin dalam darah,
juga penurunan faktor pembekuan darah
 Alkali fosfatase meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas
 Bilirubin, bisa normal tapi bisa meningkat
 Globulin, meningkat

3.7 Terapi
Etiologi dari sirosis menentukan penanganan sirosis. Terapi ditujukan
untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan hepatotoksik,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Pencegahan progresivitas penyakit
sirosis dengan:
1. Istirahat, batasi aktivitas fisik
2. Konsumsi diit seimbang tinggi kalori dan kaya protein, bila tidak ada
ensefalopati hepatik
3. Hindari alkohol
4. Hindari obat-obat NSAID
5. Eradikasi virus hepatitis B dan C dengan menggunakan anti viral
23

6. Pasien dengan PBC dapat diterapi dengan preparat asam empedu seperti
UDCA

3.8 Komplikasi dan Pengobatan


Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bacterial spontan,
yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder
intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan
nyeri abdomen.
1. Edema dan asites
2. SBP
3. Perdarahan saluran cerna
4. Ensefalopati hepatik
5. Sindroma hepatorenal
6. Sindroma hepato-pulmoner
7. Koagulopati
8. Kanker hati
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan
hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan
filtrasi glomerulus
Ensefalopati hepatik merupakan kelainan neuropsikiatri akibat disfungsi hati.
Mula-mula ada gangguan tidur, selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran
yang berlanjut sampai koma.
Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi
portopulmonal.
1. Asites dan edema
- Retensi cairan akibat akumulasi garam, hipoalbumin karena produksi
albumin terganggu dalam hati
- Dilakukan pemeriksan SAAG (serum-ascites albumin gradient)
- Terapi:
a. Batasi asupan garam dan air. Jumlah diit garam sekitar 2 gram/ hari
24

b. Cairan sekitar 1 liter sehari


c. Kombinasi spironolakton 100-400 mg sehari dan furosemid 40-160
mg sehari  pengawasan ketat TD, produksi urin, kadar elektrolit
serum (terutama K)
2. Perdarahan varises
- Peningkatan tekanan dalam vena porta
- Gejala: hematemesis, melena
- Terapi: propranolol, octreotid

3. Spontaneous Bacterial peritonitis (SBP)


- Klinis: demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa tidak enak di perut,
diare, asites bertambah buruk
- Terapi: Cefotaxime 2-3 x 2 gram IV selama 5 hari
4. Ensefalopati hepatik
- Keluhan: sulit tidur, sulit konsentrasi, pikiran terganggu, kelakuan
aneh
- Terapi: diit rendah protein, berikan lactulosa oral, antibotik
3.9 Prognosis
Prognosis bervariasi dipengaruhi etiologi, beratnya kerusakan hati,
kompilkasi dan penyakit penyerta. Pasien dengan sirosis kompensata mempunyai
harapan hidup lebih lama, jika tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata.
25

DAFTAR PUSTAKA

David Y. Graham, Robert M. Genta, and Michael F. Dixon. 1999. Gastritis.N


Engl J Med 2000; 342:827-828. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins

Doenges,Marilynn.E.dkk.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat


Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 1. Jakarta: EGC

Hirlan, 2009. Gastritis Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Hal 509. Jakarta :EGC

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorrain M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC

Tjokroprawiro, Askandar. 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :


Unair Press

Вам также может понравиться