Вы находитесь на странице: 1из 37

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu secara global,


yaitu lebih banyak orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit kadiovaskuler dari pada
penyebab lainnya. Penyakit kardiovaskular yang saat ini diperkirakan akan menjadi
penyebab utama kematian di negara-negara industri dan negara berkembang pada tahun 2020
adalah Coronary Artery Disease (CAD) atau Penyakit Jantung Koroner (PJK). Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan gawat darurat dari PJK.1 Penyakit Jantung Koroner
merupakan salah satu penyakit mematikan dan prevalensinya terus mengalami peningkatan
sepanjang tahunnya.1
Di Amerika Serikat, pada tahun 1998, penyakit jantung koroner merupakan penyebab
kematian utama dengan persentase sebesar 48%, dan pada tahun 2004 didapatkan angka
kematian akibat penyakit jantung koroner di Amerika Serikat sebesar 450.000 kematian,
sedangkan di Indonesia, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 didapatkan
3 dari 1000 penduduk Indonesia menderita penyakit jantung koroner.1,2 Penyakit Jantung
Koroner dapat terjadi secara kronis maupun akut. Hal yang menakutkan bagi sebagian orang
adalah penyakit jantung koroner akut atau lebih dikenal dengan Sindrom Koroner Akut.1
Sindrom Koroner Akut adalah ketidakmampuan jantung akut akibat suplai darah yang
mengandung oksigen ke jantung tidak adekuat.2 Keadaan tersebut dapat menyebabkan
penurunan fungsi jantung. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi
menjadi angina pektoris tidak stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST atau NonST
segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dan infark miokard dengan elevasi
segmen ST atau ST segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI). 3 Hal tersebut penting
untuk dibedakan karena penatalksanaan yang akan diberikan akan berbeda untuk masing-
masingnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Infark Miokard Akut adalah oklusi koroner akut disertai iskemia yang berkepanjangan
yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan sel dan kematian (infark) miokard. Iskemia
sendiri merupakan suatu keadaan transisi dan reversible pada miokard akibat
ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan miokard yang menyebabkan hipoksia
miokard.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Infark miokard merupakan salah satu diagnosa yang paling umum pada pasien yang
dirawat di rumah sakit di negara-negara barat. Di Amerika Serikat, kurang lebih 1,5 juta
infark miokard terjadi setiap tahunnya. Mortalitas karena infark akut kurang lebih 30%,
dengan lebih separuh dari kematian terjadi sebelum pasien / penderita masuk rumah sakit.
Meskipun harapan hidup sesudah perawatan di rumah sakit telah meningkat selama dua
dekade terakhir, tambahan 5–10% pasien yang selamat meninggal pada tahun pertama
sesudah infark miokard dan jumlah infark miokard setiap tahun di Amerika Serikat sebagian
besar tetap tidak berubah sejak awal tahun 1970-an. Resiko mortalitas berlebihan dan infark
miokard non fatal rekuren menetap pada pasien yang sembuh. Menurut WHO (1990),
kematian karena infark miokard akut terjadi 12 juta/tahun dan penyebab kematian nomor satu
di dunia.

2.3. ETIOLOGI
Penyakit Jantung Koroner terjadi akibat penyumbatan sebagian atau total oleh atheroma
/ plak fibrofatty pada satu atau lebih pembuluh darah koroner. Akibat adanya penyumbatan
ini, terjadi gangguan pasokan suplai energi kimiawi ke otot jantung (miokard), sehingga
terjadilah gangguan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan.
Faktor penyebab Akut Miokard Infark (AMI):
1. Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
 Faktor pembuluh darah :
o Aterosklerosis.
o Spasme
o Arteritis
2
 Faktor sirkulasi :
o Hipotensi
o Stenosis aurta
o Insufisiensi
 Faktor darah :
o Anemia
o Hipoksemia
o Polisitemia

2. Curah jantung yang meningkat :


 Aktifitas berlebihan
 Emosi
 Makan terlalu banyak
 Hypertiroidisme

3. Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :


1. Kerusakan miocard
2. Hypertropimiocard
3. Hypertensi diastolic

2.4. FAKTOR RESIKO

Secara garis besar terdapat dua jenis factor resiko bagi setiap orang untuk terkena AMI,
yaitu factor resiko yang bisa dimodifikasi dan factor resiko yang tidak bisa dimodifikasi

1. Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi. Merupakan factor resiko yang bisa
dikendalikan sehingga dengan intervensi tertentu maka bisa dihilangkan. Yang
termasuk dalam kelompok ini diantaranya:
a. Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner ini antara lain: menimbulkan
aterosklerosis; peningkatan trombogenessis dan vasokontriksi; peningkatan
tekanan darah; pemicu aritmia jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung,
dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang rokok atau

3
lebih dalam sehari bisa meningkatkan resiko 2-3 kali disbanding yang tidak
merokok.
b. Konsumsi alcohol
Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alcohol dosis rendah hingga
moderat, dimana ia bisa meningkatkan trombolisis endogen, mengurangi adhesi
platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, akan tetapi semuanya
masih controversial. Tidak semua literature mendukung konsep ini, bahkan
peningkatan dosis alcohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas cardiovascular
karena aritmia, hipertensi sistemik dan kardiomiopati dilatasi.
c. Infeksi
Infeksi Chlamydia pneumoniae , organisme gram negative intraseluler dan
penyebab umum penyakit saluran perafasan, tampaknya berhubungan dengan
penyakit koroner aterosklerotik
d. Hipertensi sistemik.
Hipertens sistemik menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak
langsung akan meningkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu
hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load yang
pada akhirnya meningkatan kebutuhan oksigen jantung.
e. Obesitas
Terdapat hubungan yang erat antara berat badan, peningkatan tekanan darah,
peningkatan kolesterol darah, DM tidak tergantung insulin, dan tingkat aktivitas
yang rendah.
f. Kurang olahraga
Aktivitas aerobic yang teratur akan menurunkan resiko terkena penyakit jantung
koroner, yaitu sebesar 20-40 %.
g. Penyakit Diabetes
Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan DM sebesar 2- 4
lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini berkaitan dengan adanya
abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan
trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan
trombogenesis).

2. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi. Merupakan factor resiko yang tidak
bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu diantaranya
4
a. Usia
Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnnya
setelah menopause)
b. Jenis Kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK)pada laki-laki dua kali lebih
besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogn
yang bersifat protective pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat
dengan cepat dan akhirnya setare dengan laki pada wanita setelah masa menopause
c. Riwayat Keluarga
Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK sebelm usia 70 tahun
merupakan factor resiko independent untuk terjadinya PJK. Agregasi PJK keluarga
menandakan adanya predisposisi genetic pada keadaan ini. Terdapat bukti bahwa
riwayat positif pada keluarga mempengaruhi onset penderita PJK pada keluarga
dekat

2.5. KLASIFIKASI
 Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
 Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri koroner
tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen
ST pada EKG.

2.6. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner

5
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas.
Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,
takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.

Gambar 1 Patofisiologi infark miokard

6
2.7. MANIFESTASI KLINIS

1. Nyeri dada
Nyeri dada yang tiba-tiba dan berlangsung terus menerus, terletak dibagian bawah
sternum dan perut atas, adalah gejala utama yang biasanya muncul. Nyei akan terasa
akan terasa semakin berat sampai tidak tertahankan. Rasa nyeri yang tajam dan berat,
biasa menyebar kebahu dan lengan biasanya lengan kiri. tidak seperti nyeri angina, nyeri
ini muncul secara spontan (bukan setelah kerja berat atau gangguan emosi ) dan menetap
selama beberapa jam sampai beberapa hari dan tidak akan hilang dengan istirahat
maupun niotrogliserin. Pada beberapa kasus nyeri biasa menjalar ke dagu dan leher.

Pasien dengan diabetes mellitus mungkin tidak merasa nyeri berat bila menderita
infark miokardium, karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi
neuroseptor, sehingga menumpulkan nyeri yang dialaminya.

2. Mual dan Muntah


Nyeri yang hebat merangsang pusat muntah.Area infark merangsang refleks
vasofagal.

3. Diaporesis
Pada fase awal infark miokard terjadi pelepasan katekolamin yang meningkatkan

stimulasi simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga kulit

akan menjadi lembab, dingin, dan berkeringat.

4. Demam
Temperatur mungkin saja meningkat pada 24 jam pertama dan berlangsung paling

selama satu minggu. Hal ini disebabkan karena ada sel yang nekrotik yang menyebabkan

respon infamasi.

2.8. DIAGNOSIS
a. Anamnesis. Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa
rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung

7
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini
lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi
nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Pria
2) Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3) Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP
4) Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi,
risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program)

Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah


retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area
interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung
intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop

b. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor


pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan

8
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantungtiga (S3), ronkhi basah
halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap
SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.
c. Pemeriksaan elektrokardiogram. Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau
keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan
perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG
awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan
baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2
mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV.
Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R
adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih
tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi,

9
dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior
(elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah
kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia.

Tabel 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark

V1-V4 Anterior

V5-V6, I, aVL Lateral

II, III, aVF Inferior

V7-V9 Posterior

V3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan
LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada
sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen
ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di
10
sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi
untuk untuk iskemia akut.

Gambar 4. Non Q-wave Myocardial Infarction

Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.

d. Pemeriksaan marka jantung. Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T


merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark
miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab
nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar,
gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi,
dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan
disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi
dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan

11
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan
di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada
umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi
kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya
dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1
jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.

Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di
mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4
jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan
kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper
limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang
seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes
yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut.

Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 –
4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar
troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu

Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang
peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan
oleh laboratorium setempat.

12
Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar troponin
juga dapat terjadi akibat:

1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat


2. Miokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut atau kronik
6. Stroke atau perdarahan subarakhnoid
7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis

Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan.


CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12
jam, dan menetap sampai 2 hari.

Gambar 2. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung


(Dikutip dari Bertrand ME, et al. Eur Heart J 2002;23:1809–1840)

e. Pemeriksaan laboratorium. Data laboratorium, di samping marka jantung, yang


harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu,
status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan
laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
f. Pemeriksaan foto polos dada. Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan
meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada
harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan
adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit
penyerta.
13
2.9. TATALAKSANA

TINDAKAN UMUM DAN LANGKAH AWAL


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan
diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud
dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada
hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.

1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95%
atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa
mempertimbangkan saturasi O2 arteri
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
Atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)

6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat . jika nyeri dada tidak hilang dengan satu
kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG
sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti.

14
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

Gambar 1. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA


(Dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50)

15
Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
1. Anti Iskemia
1.1. Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada
efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen
miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel
kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra.
penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga
diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada
indikasi kontra.

Tabel 12. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA

Penyekat Selektivit Aktivitas agonis Dosis untuk


beta as parsial angina

Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

2x6,25
Carvedilol a dan b + mg/hari,
titrasi sampai
maksimum
2x25
mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Nonselek 2x20-80
Propanolol tif - mg/hari

16
1.2. Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
 Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina
 Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya
mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra.
 Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau
hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan
nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti
menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting
enzymes inhibitor (ACE-I).
 Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.
 Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang
tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.

Tabel 13. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate Sublingual 2,5–15 mg (onset 5
(ISDN) menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3
dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam

Isosorbid 5 Oral 2x20 mg/hari


mononitrate Oral (slow release) 120-240
mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5
(trinitrin, TNT, mg
glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

17
1.3. Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek
vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node.
Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV
Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas
mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama
golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.
Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil
yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.

 CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah
mendapatkan nitrat dan penyekat beta .
 CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra
terhadap penyekat beta.
 CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi
penyekat beta.
 CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik
 Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan
kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.
Tabel 14. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

Penghambat kanal
kalsium Dosis

Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis

Nifedipine GITS
(long acting) 30-90 mg/hari

Amlodipine 5-10 mg/hari

2. Antiplatelet

18
2.1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis
loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka
panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
2.2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih.
2.3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT
(dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus
peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti
infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau
steroid.
2.4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak
kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
2.5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik
sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi
pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) .
2.6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari.
2.7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti
dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan
menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor.
2.8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat.
2.9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila
terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
2.10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
19
2.11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2 selektif
dan NSAID non-selektif).

Tabel 10. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

Antiplate
let Dosis

Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan


Aspirin 75-100 mg

Ticagrel Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90


or mg/hari

Clopidog Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75


rel mg/hari

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan .
Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang
telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin
sebelum angiografi atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara
konservatif.

4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.

 Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi


antiplatelet
 Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
 Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang
paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan.

20
 Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat
reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
 Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
 Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul
rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia.
 Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan
hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
 Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.

Tabel 16. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

Antikoagul
an Dosis

Fondaparin
uks 2,5 mg subkutan

Enoksapari
n 1mg/kg, dua kali sehari

Heparin
tidak Bolus i.v. 60 U/g, dosis
Terfraksi maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal
1000 U/jam
target aPTT 11/2-2x kontrol

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

21
 Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.
 Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat
diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah
yang masih efektif.
 Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua
atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih.

6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling
dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan
fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada
pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau
yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek
antiaterogenik.

2.10. KOMPLIKASI

a. Aritmia supraventrikular
Takikardia sinus merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal
ini terjadi sekunder akibat sebab lain, masalah primer sebaiknya diobati pertama.
Namun, jika takikardi sinus tampaknya disebabkan oleh stimulasi simpatik
berlebihan, seperti yang terlihat sebagai bagian dari status hiperdinamik, pengobatan
dengan penghambat beta yang relatif kerja singkat seperti propanolol yang
sebaiknya dipertimbangkan.
b. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan sesaat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari
separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki
paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks
dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis
merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa
temua ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan / atau
penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif

22
karena mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan /
diastolik.
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua
pasien dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole
ventrikel distolik yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi
farmakologik sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama
atau simptomatik. Terapi antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia
ventrikel yang penting secara klinis, dikontra indikasikan karena terapi seperti itu
dapat dengan jelas meningkatkan mortalitas selanjutnya.

2.11. PROGNOSIS

Prognosis lebih buruk pada wanita, bertambahnya usia, meningkatkan disfungsi


ventrikel, disritmia ventrikel dan infark berulang. Indikator lain dari prognosis yang lebih
buruk adalah keterlambatan dalam reperfusi atau reperfusi berhasil, remodelling LV, infark
anterior, jumlah lead menunjukkan elevasi ST, blok cabang berkas dan tekanan darah sistolik
kurang dari 100 mm dengan takikardia lebih besar dari 100 per menit. Prognosis yang lebih
baik berhubungan dengan reperfusi awal, infark dinding inferior, pengobatan jangka pendek
dan jangka panjang dengan beta-blocker, aspirin, statin dan ACE inhibitor. Lanjut Usia
pasien dengan MI akut pada peningkatan risiko komplikasi dan harus ditangani secara
agresif. 1-3

23
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. A
No. RM : 010206
Umur : 43 Th
Alamat : Pasar lama pulau punjung
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : IRT
Tanggal masuk : 11 Agustus 2017

B. ANAMNESA
Keluhan utama : Nyeri pada dada sebelah kiri sejak 1 hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang :


 Nyeri pada dada kiri sejak 1 hari yang lalu. Nyeri dada dirasakan selama ±25
menit. Nyeri dirasakan di bagian tengah dada seperti dihimpit benda berat dan
dada terasa panas, nyeri terasa menjalar ke punggung dan lengan kiri. Nyeri
dada dirasakan tiba-tiba saat pasien hendak ke kamar mandi. Nyeri tidak
berkurang dan tidak hilang dengan beristirahat.
 Dada terasa berdebar-debar sejak 2 minggu yang lalu dan terasa memberat
sejak 1 minggu ini.
 Nyeri ulu hati (+) sejak 1 minggu yang lalu dan memberat 2 hari ini. Nyeri ulu
hati terasa menyesak ke dada.
 Demam (+) sejak 2 hari yang lalu. Demam tidak terlalu tinggi. Demam hilang
timbul. Menggigil (-)
 Mual (+) sejak 2 hari yang lalu, muntah (-).
 BAB dan BAK (+) normal

Riwayat penyakit dahulu :


 Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
 Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak ±4 tahun yang lalu namun pasien
tidak minum obat secara teratur.

24
 Riwayat diabetes melitus disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :


 Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala serupa.
 Ayah pasien memiliki riwayat darah tinggi.
Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan :
 Pasien seorang Ibu rumah tangga
 Pasien jarang berolahraga dan suka mengkonsumsi jeroan, makanan berlemak
serta makanan bersantan.
 Alkohol (-), merokok (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4M6V5)
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 180/90 mmHg
Nadi : 90x/menit
Laju pernafasan : 22x/menit
Suhu : 37,5oC

Pemeriksaan Generalisata
Kepala : Normosefali, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis -/- ; sklera ikterik -/- ; pupil isokor, Ø
3mm / 3mm, refleks cahaya +/+
Mulut : Mukosa mulut merah, lidah kotor (-), lesi (-)

Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Paru
(I) : Pergerakan dada simetris
(P) : Taktil fremitus +/+, kiri = kanan
(P) : Sonor +/+
(A) : Bunyi nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
25
Jantung
(I) : Iktus kordis tidak tampak
(P) : Iktus kordis teraba RIC V
(P) : Pekak, batas jantung kesan normal
(A) : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
(I) : perut tidak membuncit, distensi (-), pelebaran vena (-), sikatrik (-)
(P) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, massa (-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran, shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium (-)
2. EKG
Gambar 1 (11 Agustus 2017)

Kalibrasi : 10 kotak kecil


Heart Rate : 125x/menit

26
Irama : Sinus Takikardi
Aksis : normal
Gelombang P : Normal
PR interval : normal 3 kotak kecil (0.12 detik)
ST segmen : ST depresi ( II,III,AVF,V3,V4,V5,V6)
Gelombang T : t inverted (II,III,AVF,V1,V2,V3,V4,V5,V6)
RVH :-
LVH :-
Kesimpulan : MCI Acute Non ST elevasi
Gambar 2 (11 Agustus 2017)

Kalibrasi : 10 kotak kecil


Heart Rate : 102x/menit
Irama : Sinus Takikardi
Aksis : normal
Gelombang P : Normal
PR interval : normal 3 kotak kecil (0.12 detik)
ST segmen : ST depresi (II,III,AVF,V4,V5,V6)
Gelombang T : t inverted (II,III,AVF,V1,V2,V3,V4,V5,V6
RVH :-

27
LVH :-
Kesimpulan : Non ST elevasi Miocard Infark Acute

DIAGNOSIS KERJA
- Non ST elevasi Miocard Infark Acute

PENATALAKSANAAN
 O2 2-4 ℓ/menit
 Diit MLDJ
 IVFD Ringer laktat 12 jam/kolf
 Inj. Omeprazol 2x1 (iv)
 Inj. Arixtra 1x1 (sc)
 Digoxin tab 0,25 mg 2x1
 Aspilet tab 80 mg 1x2 tab (po)
 Clopidogrel tab 75 mg 1x4 tab (po)
 Bisoprolol tab 10 mg 1x1 (po)
 Captopril 2x25 mg (po)
 Amlodipin 1x10 mg (po)
 Paracetamol tab 500 mg 3x1 (po)

PROGNOSIS
Quo Ad vitam : dubia ad bonam

Quo Ad sanationam : dubia ad malam

Quo Ad functionam : dubia ad bonam

EDUKASI
1. Hindari aktivitas yang berat
2. Ubah pola hidup menjadi pola hidup sehat, misalnya makan makanan rendah
lemak.
3. Rutin kotrol dan konsumsi obat
4. Istirahat yang cukup
5. Olahraga teratur

28
FOLLOW-UP
Tanggal pemeriksaan: 12 Agustus 2017
Gambar 3 (12 Agustus 2017)

Kalibrasi : 10 kotak kecil


Heart Rate : 107x/menit
Irama : Sinus Takikardi
Aksis : normal
Gelombang P : Normal
PR interval : normal 3 kotak kecil (0.12 detik)
ST segmen : ST depresi (II,III,AVF,V4,V5,V6)
Gelombang T : t inverted (II,III,AVF,V1,V2,V3,V4,V5,V6)
RVH :-
LVH :-
Kesimpulan : Non STEMI

29
Gambar 4 (12 Agustus 2017)

Kalibrasi : 10 kotak kecil


Heart Rate : 75x/menit
Irama : Sinus rhythm
Aksis : normal
Gelombang P : Normal
PR interval : normal 3 kotak kecil (0.12 detik)
ST segmen :-
Gelombang T : t inverted (V1,V2,V3,V4,V5,V6)
RVH :-
LVH :-
Kesimpulan : Non STEMI

S/ - Nyeri dada (+) berkurang,


- Nyeri ulu hati berkurang
- Demam (+)
- Batuk (+)
- Dada berdebar-debar (-),
- Mual (-)
30
O/ - KU , Kes , TD , HR , RR , T
Sdg CMC 160/90 85x/i 20x/i 37,3
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Mulut : Mukosa mulut merah, lidah kotor (-), lesi (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Paru : Suara pernafasan vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+) Normal, NTE (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-
A/ -Miocard Infark Acute Non ST elevasi
P/
 O2 2-4 ℓ/menit
 Diit MLDJ
 IVFD Ringer laktat 12 jam/kolf
 Inj. Omeprazol 2x1 (iv)
 Inj. Arixtra 1x1 (sc)
 Digoxin tab 0,25 mg 2x1 (po)
 Aspilet tab 80 mg 1x1 tab (po)
 Clopidogrel tab 75 mg 1x1 tab (po)
 Bisoprolol tab 10 mg 1x1 (po)
 Candesartan 1x16 mg (po)
 Amlodipin 1x10 mg (po)
 Paracetamol tab 500 mg 3x1 (po)
 Alprazolam tab 0,5 mg 1x1 (po)
Tanggal pemeriksaan: 13 Agustus 2017
S/ - Nyeri dada berkurang,
- Nyeri ulu hati (-)
- Demam (-)
- Batuk (+)
- Dada berdebar-debar (-),
- Mual (-)
O/ - KU , Kes , TD , HR , RR , T
Sdg CMC 150/90 80x/i 20x/i 36,6
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
31
Mulut : Mukosa mulut merah, lidah kotor (-), lesi (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Paru : Suara pernafasan vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+) Normal, NTE (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-
A/ - Non ST elevasi Miocard Infark Acute
P/
 O2 2-4 ℓ/menit
 Diit MLDJ
 IVFD Ringer laktat 12 jam/kolf
 Inj. Arixtra 1x1 (sc)
 Inj. Omeprazol 2x1 (iv)
 Digoxin tab 0,25 mg 2x1 (po)
 Aspilet tab 80 mg 1x1 tab (po)
 Clopidogrel tab 75 mg 1x1 tab (po)
 Bisoprolol tab 10 mg 1x1 (po)
 Candesartan 1x16 mg (po)
 Amlodipin 1x10 mg (po)
 Codein tab 20 mg 3x1 (po)
 Alprazolam tab 0,5 mg 1x1 (po)

Tanggal pemeriksaan: 14 Agustus 2017


S/ - Batuk (+)
- Nyeri dada (-)
- Nyeri ulu hati (-)
- Dada berdebar-debar (-),
- Mual (-)

O/ - KU , Kes , TD , HR , RR , T
Sdg CMC 150/90 65x/i 19x/i 36,5
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Mulut : Mukosa mulut merah, lidah kotor (-), lesi (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)
32
Paru : Suara pernafasan vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+) Normal, NTE (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-

Gambar 5 (14 Agustus 2017)

Kalibrasi : 10 kotak kecil


Heart Rate : 60x/menit
Irama : Sinus rhythm
Aksis : normal
Gelombang P : Normal
PR interval : normal 4 kotak kecil (0.16 detik)
ST segmen :-
Gelombang T : t inverted (II,III,AVF,V1,V2,V3,V4,V5,V6)
RVH :-
LVH :-
Kesimpulan : Non STEMI

A/ - Non ST elevasi Miocard Infark Acute


P/
 O2 2-4 ℓ/menit k/p
33
 Diit MLDJ
 IVFD Ringer laktat 12 jam/kolf
 Inj. Arixtra 1x1 (sc)
 Aspilet tab 80 mg 1x1 tab (po)
 Clopidogrel tab 75 mg 1x1 tab (po)
 Bisoprolol tab 10 mg 1x1 (po)
 Candesartan 1x16 mg (po)
 Amlodipin 1x10 mg (po)
 Codein 20 mg 3x1 (po)
 Alprazolam tab 0,5 mg 1x1 (po)

Tanggal pemeriksaan: 15 Agustus 2017


S/ - Tidak ada keluhan
O/ - KU , Kes , TD , HR , RR , T
Sdg CMC 140/80 70x/i 19x/i 36,5
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Mulut : Mukosa mulut merah, lidah kotor (-), lesi (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Paru : Suara pernafasan vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+) Normal, NTE (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-
Gambar 6 (15 Agustus 2017)

34
Kalibrasi : 10 kotak kecil
Heart Rate : 62x/menit
Irama : Sinus rhythm
Aksis : normal
Gelombang P : Normal
PR interval : normal 4 kotak kecil (0.16 detik)
ST segmen :-
Gelombang T : t inverted (II,III,AVF,V1,V2,V3,V4,V5,V6)
RVH :-
LVH :-
Kesimpulan : Non STEMI

A/ - Non ST elevasi Miocard Infark Acute


P/
 Boleh Pulang
 Inj. Arixtra 1x1 (sc)
 Aspilet tab 80 mg 1x1 tab (po)
 Clopidogrel tab 75 mg 1x1 tab (po)
 Bisoprolol tab 10 mg 1x1 (po)
 Amlodipin 1x10 mg (po)
 Candesartan 1x16 mg (po)
 Ambroxol tab 30 mg 3x1 (po)
 Codein tab 20 mg 3x1 (po)

35
DAFTAR PUSTAKA

1. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation


MyocardialInfarction.Diakses dari: http://circ.ahajournals.org/content/111/ 15/2013.2.
full.pdf
2. Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1616.
3. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the
management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial
infarction: a report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines
50:e1.Diunduhdari:www.acc.org/qualityandscience/clinical/statements.htm
4. (diakses tanggal 2 Desember 2015)
5. Brown, Carol T. 2005. Penyakit Aterosklerotik Koroner. dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC. Hal 589- 599.
6. Fibrinolytic Therapy Trialists’ (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic
therapy in suspected myocardial infarction: Collaborative overview of early mortality
and major morbidity results from all randomized trials of more than 1000 patients.
Lancet 1994;343:311–322
7. Gunawan Sulistia Gan, Setiabudi Rianto, Nafrialdi, dkk. 2007. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: FKUI
8. Harun, S., 2000. Infark Miokard Akut. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
edisi 3. Jakarta: FKUI. Hal: 1090-1108. (patogenesis)
9. Irmalita. Infark Miokard. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK, Roebiono PS,
editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2002: 173-81.
10. Isselbacher, J Kurt. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 3. Jakarta : EGC
11. Mansjoer Ari, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, dkk. 2008. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: FKUI
12. PERKI. Buku Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut: ACLS Indonesia. 2008. Jakarta:
Hal. 70)

36
13. Price, Sylvia Anderson. 2005. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam Patofisiologi :
konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6.Jakarta : EGC. Hal 589-590.
14. Sherwood, Lauralee. 2001. dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hal 287-292.
15. Silbernagl, Stefan dan Lang, Florian. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta: EGC
16. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta : FKUI.
17. Trisnohadi H. Angina Pektoris Tak Stabil dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Edisi 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. p1606-10.
18. Tumer HE. Infark Miokard Akut. Dalam: Davey P, editors. At a Glance Medicine.
Jakarta: Erlangga. 2006: 144-5.
19. Yanti, Suharyo Hadisaputra, Tony Suhartono. 2013. Journal Risk Factors Coronary
Heart Disease in Type 2 Diabetes Mellitus Patient.Available
from URL: http://www.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 2 Desember 2015.

37

Вам также может понравиться