Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang
diberikan-Nya sehingga tugas Makalah yang berjudul “Ijma‟ dan Qiyas” ini
dapat kami selesaikan. Makalah ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh/Fiqh dengan dosen pengampu Bapak Dr. H. M.
Lathoif Ghozali, Lc., MA
Penyusun
2
KATA PENGANTAR ................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 4
1.2 Tujuan ................................................................................................................. 4
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 5
2.1 Pengertian Ijma’.................................................................................................. 5
2.2 Rukun dan Syarat ijma’ ...................................................................................... 6
2.3 Kehujjahan ijma’ ................................................................................................ 7
2.4 Macam-macam Ijma’ .......................................................................................... 8
2.5 Pengertian Qiyas ................................................................................................. 9
2.6 Rukun Qiyas ....................................................................................................... 9
2.7 Macam-macam Qiyas ....................................................................................... 10
2.8 Kehujjahan Qiyas.............................................................................................. 11
2.9 Contoh Ijma’ dan Qiyas .................................................................................... 11
2.10 Pendapat ulama mengenai ijma’ dan qiyas ....................................................... 12
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 14
3.1 KESIMPULAN ................................................................................................ 14
3.2 SARAN ............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa Rasulullah Saw., permasalahan yangg timbul selalu bisa ditangani
dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya ialah Al-Qur`an dan Rasulullah
Saw. Dan apabila ada suatu hukum yangg sekiranya kurang di mengerti oleh para
sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah
Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit
kesulitan dalaam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang
dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalaam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal
permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu munculah Ijma’
dan Qiyas.
Sumber Hukum Islam ialah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber
tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan
petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Tetapi Ada juga dalil-dalil lain
selain Al-Quran dan Sunnah yangg disebut pula sebagai metode
dalaam menentukan hukum syar’i amali.
2.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Ijma’
2. Untuk mengetahui tentang Qiyas
4
BAB II
PEMBAHASAN
2. Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untukk melakukan sesuatu.
Pengertian ini bisa ditemukan dalaam firman Allah SWT dalaam surah
Yunus ayat 71:
Darii rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu ialah kesepakatan, dan yang
sepakat di sini ialah mujtahid muslim, berlaku dalaam suatu masa tertentu
sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama
Nabi masih hidup, al-Qur’an yangg menjawab persoalan hukum karena ayat al-
Qur’an kemungkinan turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang
hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’, ijma’ itu berlaku dalaam
setiap masa oleh seluruh mujtahid yangg ada pada masa itu, dan bukan berarti
kesepakatan mujtahid semua sampai hari kiamat.[3]
1 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 73-74.
2 Ibid., h. 74
3 Haji Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 115.
5
Dengaan demikian pemakalah menyimpulkan Ijma’ ialah kesepakatan seluruh
mujtahid Islam dalaam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu
hukum syariat.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapatt kita pahami bahwa ijma’ mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut:
Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan
ulama yangg berdisiplin ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalaam hal ini
tanpa dasar dan mereka bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalil-
dalilnya.”
3. Hendaklah kesepakatan itu berasal darii seluruh ulama mujtahid yang ada
pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh
karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yangg ada
pada masa berikutnya.
6
5. Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengaan
terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun
berkelompok dalaam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan
mengenai masalah yangg ada, tetapi berakhir dengaan diperolehnya satu
pendapatt bulat.
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas
hukum syara’ yangg amali, seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut ialah
seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yangg tidak setuju, sekalipun
jumlahnya kecil, maka hukum yangg dihasilkan itu tidak dinamakan hukum
ijma’
2. Mujtahid yangg terlibat dalaam pembahasan hukum itu ialah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut darii berbagai belahan dunia Islam.
4. Hukum yangg disepakati itu ialah hukum syara’ yangg bersifat aktual dan
tidak ada hukumnya secara rinci dalaam Al-Qur’an
5. Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau hadis
Rasulullah SAW.[5]
4 Ibid, h. 77-78
5 Ibid, h.78
7
masukkan ia dalaam neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (Q.S. An-Nisa : 115).
1 Ijma’ Sharih ialah yaitu ijma’ yangg terjadi setelah semua mujtahid dalaam
satu masa mengemukakan pendapattnya tentang hukum tertentu secara jelas
dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa),
melalui tulisan atau dalaam bentuk perbuatan (mujtahid yangg menjadi hakim
memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapatt mereka
menghasilkan hukum yangg sama atas hukum tersebut.[8]
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapatt tentang Ijma’ sukuti ini. Menurut
Imam Syafii dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapatt dijadikan
landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian ulama para
mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut
kepada penguasa bilamana pendapatt itu telah didukung oleh penguasa, atau
boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapatt mujtahid
yangg punya pendapatt itu karena dianggap lebih senior.[9]
6 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 81.
7 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005, h. 129.
8 Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h.135.
9 Ibid
8
tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka
menyetujuinya.
Qiyas secara bahasa ialah ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu,
atau menyamakan sesuatu dengaan yang lain[11]
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yangg tidak ada nash hukumnya
dengaan sesuatu yangg ada nash hukumnya karena ada persamaan illat
hukum. Karena dengaan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan
ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalaam hukum
Islam kadang tersurat jelas dalaam al-quran dan hadits, tapi kadang juga
bersifat implicit-analogik (tersirat) yangg terkandung dalaam nash. Beliau Imam
Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam
wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yangg pasti,
maka haruslah dicari dengaan cara ijtihad. Dan ijtihad itu ialah qiyas.[12]
2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yangg belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yangg dapatt dijadikan sebagai dasar. Fara'
disebut juga maqis (yangg diukur) atau musyabbah (yangg diserupakan) atau
mahmul (yangg dibandingkan);
3. Hukum ashal, yaitu hukum darii ashal yangg telah ditetapkan berdasar nash
dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan
'illatnya; dan
10 Ibid.
11 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 93.
12 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 336.
9
4. 'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yangg dicari pada
fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi
dasar untukk menetapkan hukum fara' sama dengaan hukum ashal.
3. Syarat-syarat illat
a. Illat harus tetap berlaku
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika
terdapattnyaillat tanpa mengganggu sesuatu yangg lain. sebab
adanya illat tersebut ialah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa
sebagai illat wajibnya qishas
c. Illat tidak berlawanan dengaan nash, apabila berlawanan maka nash yangg
didahulukan
d. Illat harus berupa sesuatu yangg jelas dan tertentu
a. Qiyas aula
Yaitu qiyas yangg illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan
(mulhaq) dan mempunyai hukum yangg lebih utama daripada tempat
menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang tua dengaan
mengatakan “ah” kepadanya
10
b. Qiyas musawi
Yaitu suatu qiyas yangg illat-nya mewajibkan adanya hukum yangg terdapatt
padamulhaq nya sama dengaan illat hukum yangg terdapatt
dalaam mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim
mempunyai illat hukum yangg sama dengaan memakan harta anak yatim,
yakni sama –sama merusakkan harta.
c. Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat yangg ada pada mulhaq menunjukkan hukum,
tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik
anak kecil pada harta orang dewasa dalaam kewajibannya mengeluarkan
zakat, dengaan illat bahwa seluruhnya ialah harta benda yangg mempunyai
sifat dapatt bertambah
d. Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapatt diqiyaskan pada dua mulhaq
bih, tetapi diqiyaskan dengaan mulhaq bih yangg mengandung banyak
persamaaannya dengaan mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya yangg
dirusakkan oleh seseorang.[13]
Artinya : “Hai orang-orang yangg beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapatt tentang
sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah)
jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian. (An-Nisa’:59)
Salah satu contoh dari Ijma’ adalah , hukum mengkonsumsi ganja atau
sabu-sabu, atau sejenis minuman yang memabukkan.
13 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 99-101
11
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-maidah :90)
2. Qiyas
Salah satu contoh dar qiyas adalah larangan memukul dan memarahi orang
tua.
2. Qiyas
12
c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha
berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari
keumuman dalil Al Qur’an dan hadits. ( Abu Zahrah , hal 175 )
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian Ijma’ ialah kesepakatan darii umat Islam pada hukum Syar’i, dalaam
hal ini ialah para mujtahid dalaam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW,
akan suatu hukum syariat yangg amali.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’Sarih (tegas)
dan Ijma’Sukuti (persetujuan yangg diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Kalau untukk qiyas, untukk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai
metode ijtihad ulama dalaam pengambilan hukum.
3.2 Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997.
Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.
15