Вы находитесь на странице: 1из 15

MAKALAH FIQH DAN USHUL FIQH

IJMA’ DAN QIYAS

DOSEN PENGAMPU :

Dr.H.M.Lathoif Ghozali . Lc.,MA

DISUSUN OLEH :

1. Oktavianda Reyna Devia Maharani (G72217046)


2. Putri Anjjarwati (G72217047)
3. Revinta Ulil Azmi (G72217048)
4. Tri Rahmatul Khusna (G72217053)
5. Dea Alivia Fitriani (G72217056)
6. Faradila Aulia Putri Islamy (G72217060)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang
diberikan-Nya sehingga tugas Makalah yang berjudul “Ijma‟ dan Qiyas” ini
dapat kami selesaikan. Makalah ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh/Fiqh dengan dosen pengampu Bapak Dr. H. M.
Lathoif Ghozali, Lc., MA

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua


pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi
terwujudnya makalah ini. Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksudkan
untuk mewujudkan kesempurnaan makalah ini penulis sangat hargai.

Surabaya, Maret 2018

Penyusun

2
KATA PENGANTAR ................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 4
1.2 Tujuan ................................................................................................................. 4
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 5
2.1 Pengertian Ijma’.................................................................................................. 5
2.2 Rukun dan Syarat ijma’ ...................................................................................... 6
2.3 Kehujjahan ijma’ ................................................................................................ 7
2.4 Macam-macam Ijma’ .......................................................................................... 8
2.5 Pengertian Qiyas ................................................................................................. 9
2.6 Rukun Qiyas ....................................................................................................... 9
2.7 Macam-macam Qiyas ....................................................................................... 10
2.8 Kehujjahan Qiyas.............................................................................................. 11
2.9 Contoh Ijma’ dan Qiyas .................................................................................... 11
2.10 Pendapat ulama mengenai ijma’ dan qiyas ....................................................... 12
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 14
3.1 KESIMPULAN ................................................................................................ 14
3.2 SARAN ............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Pada masa Rasulullah Saw., permasalahan yangg timbul selalu bisa ditangani
dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya ialah Al-Qur`an dan Rasulullah
Saw. Dan apabila ada suatu hukum yangg sekiranya kurang di mengerti oleh para
sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah
Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit
kesulitan dalaam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang
dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalaam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal
permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu munculah Ijma’
dan Qiyas.

Sumber Hukum Islam ialah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber
tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan
petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Tetapi Ada juga dalil-dalil lain
selain Al-Quran dan Sunnah yangg disebut pula sebagai metode
dalaam menentukan hukum syar’i amali.

Dalaam makalah ini, penulis mencoba menguraikan Ijma sebagai metode


penggalian hukum umat islam. Bahasan dalaam makalah ini berkaitan dengaan
pengertian, syarat dan rukun, kehujjahan,dan macam-macam Ijma dan Qiyas.

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah Ijma’ itu?
2. Apakah Qiyas itu?

2.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Ijma’
2. Untuk mengetahui tentang Qiyas

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijma’

Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu[1]

1. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, Pengertian ini dijumpai


dalaam surat Yusuf ayat 15 :

Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya


ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) .....” (Q.S. Yusuf: 15).

2. Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untukk melakukan sesuatu.
Pengertian ini bisa ditemukan dalaam firman Allah SWT dalaam surah
Yunus ayat 71:

Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-


sekutumu (untukk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).

Adapun pengertian dari Ijma’ penulis akan mengemukakan beberapa definisi,


yaitu

Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengaan “Kesepakatan umat


Muhammad secara khusus tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-
Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad
SAW, yaitu seluruh umat islam.[2]

Darii rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu ialah kesepakatan, dan yang
sepakat di sini ialah mujtahid muslim, berlaku dalaam suatu masa tertentu
sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama
Nabi masih hidup, al-Qur’an yangg menjawab persoalan hukum karena ayat al-
Qur’an kemungkinan turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang
hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’, ijma’ itu berlaku dalaam
setiap masa oleh seluruh mujtahid yangg ada pada masa itu, dan bukan berarti
kesepakatan mujtahid semua sampai hari kiamat.[3]

1 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 73-74.
2 Ibid., h. 74
3 Haji Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 115.

5
Dengaan demikian pemakalah menyimpulkan Ijma’ ialah kesepakatan seluruh
mujtahid Islam dalaam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu
hukum syariat.

2.2 Syarat-syarat dan Rukun Ijma’

Dari beberapa definisi di atas, maka dapatt kita pahami bahwa ijma’ mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak


dianggap ijma’. Belum juga kesepakatan Islam yangg belum mencapai derajat
mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal darii tokoh ulama dalaam disiplin
ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untukk menalar dan
mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.

Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan
ulama yangg berdisiplin ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalaam hal ini
tanpa dasar dan mereka bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalil-
dalilnya.”

Fakhrur Razi berkata, “ Karena orang-orang yangg bersepakat itu bukanlah


orang-orang yangg mengerti bagaimana mengistinbatkan hukum darii nas-
nasnya, maka kesepakatan mereka yangg berupa perintah dan larangan tidak
perlu diikuti.

2. Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun negara


dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang
mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yangg berbeda pendapatt
dengaan pendapatt mayoritas, meskipun seorang saja yangg berbeda pendapatt
itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma’.

3. Hendaklah kesepakatan itu berasal darii seluruh ulama mujtahid yang ada
pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh
karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yangg ada
pada masa berikutnya.

4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah


SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalaam hukum
suatu perkara, ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan mereka itu
tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.

6
5. Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengaan
terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun
berkelompok dalaam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan
mengenai masalah yangg ada, tetapi berakhir dengaan diperolehnya satu
pendapatt bulat.

6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benar-benar


sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan
pendapatt.[4]

Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas
hukum syara’ yangg amali, seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.

Adapun rukun ijma’ ialah sebagai berikut :

1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut ialah
seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yangg tidak setuju, sekalipun
jumlahnya kecil, maka hukum yangg dihasilkan itu tidak dinamakan hukum
ijma’

2. Mujtahid yangg terlibat dalaam pembahasan hukum itu ialah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut darii berbagai belahan dunia Islam.

3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan


pandangannya.

4. Hukum yangg disepakati itu ialah hukum syara’ yangg bersifat aktual dan
tidak ada hukumnya secara rinci dalaam Al-Qur’an

5. Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau hadis
Rasulullah SAW.[5]

2.3 Kehujjahan Ijma’

Firman Allah surah An-Nisa ayat 115:

Artinya: “Dan barangsiapa yangg menentang Rasul sesudah jelas kebenaran


baginya, dan mengikuti jalan yangg bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yangg telah dikuasainya itu, dan Kami

4 Ibid, h. 77-78
5 Ibid, h.78

7
masukkan ia dalaam neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (Q.S. An-Nisa : 115).

Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan sebagaimana tak boleh


diperselisihkan Al-Quran dan Sunah. Sedang Amidi mengomentari bahwa ayat
ini merupakan ayat yangg kuat petunjuknya tentang kehujjahan ijma’ dan
dengaan ayat inilah Imam Syafi’i berpegang.[6]

2.4 Macam-macam Ijma’

Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu


Ijma’ Sharih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya
sebagian ulama).[7]

1 Ijma’ Sharih ialah yaitu ijma’ yangg terjadi setelah semua mujtahid dalaam
satu masa mengemukakan pendapattnya tentang hukum tertentu secara jelas
dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa),
melalui tulisan atau dalaam bentuk perbuatan (mujtahid yangg menjadi hakim
memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapatt mereka
menghasilkan hukum yangg sama atas hukum tersebut.[8]

2 Sedangkan Ijma’ sukuti ialah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan


pendapattnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.

Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapatt tentang Ijma’ sukuti ini. Menurut
Imam Syafii dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapatt dijadikan
landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian ulama para
mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut
kepada penguasa bilamana pendapatt itu telah didukung oleh penguasa, atau
boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapatt mujtahid
yangg punya pendapatt itu karena dianggap lebih senior.[9]

Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti ialah sah


dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa diammnya sebagian ulama
mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan
memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka

6 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 81.
7 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005, h. 129.
8 Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h.135.
9 Ibid

8
tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka
menyetujuinya.

Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama


mujtahid tidak dapatt dikatakan telah Ijma’, namun pendapatt seperti itu
dianggap lebih kuat darii pendapatt perorangan.[10]

2.6 Pengertian Qiyas

Qiyas secara bahasa ialah ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu,
atau menyamakan sesuatu dengaan yang lain[11]

Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yangg tidak ada nash hukumnya
dengaan sesuatu yangg ada nash hukumnya karena ada persamaan illat
hukum. Karena dengaan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan
ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalaam hukum
Islam kadang tersurat jelas dalaam al-quran dan hadits, tapi kadang juga
bersifat implicit-analogik (tersirat) yangg terkandung dalaam nash. Beliau Imam
Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam
wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yangg pasti,
maka haruslah dicari dengaan cara ijtihad. Dan ijtihad itu ialah qiyas.[12]

2.7 Rukun Qiyas, yaitu:


1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yangg telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi
ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih
(tempat membandingkan);

2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yangg belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yangg dapatt dijadikan sebagai dasar. Fara'
disebut juga maqis (yangg diukur) atau musyabbah (yangg diserupakan) atau
mahmul (yangg dibandingkan);

3. Hukum ashal, yaitu hukum darii ashal yangg telah ditetapkan berdasar nash
dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan
'illatnya; dan

10 Ibid.
11 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 93.
12 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 336.

9
4. 'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yangg dicari pada
fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi
dasar untukk menetapkan hukum fara' sama dengaan hukum ashal.

Di atas telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai


syarat-syarat sebagai berikut :

1. Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)


a. Hukum yangg hendak dipilihkan untukk cabang masih ada pokoknya
b. Hukum yangg ada dalaam pokok harus hukum syara’
c. Hukum pokok tidak merupakan huku pengecualian, seperti sahnya puasa
orang lupa meskipun makan dan minum

2. Syarat-syarat fara’ (cabang)


a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada dariipada hukum pokok, misalnya
mengqiayaskan wudlu dengaan tayamun
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yangg menurut ulama ushul
berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c. Illat yangg terdapatt pada cabang harus sama dengaan illat yangg terdapatt
pada pokok
d. Hukum cabang harus sama dengaan hukum pokok

3. Syarat-syarat illat
a. Illat harus tetap berlaku
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika
terdapattnyaillat tanpa mengganggu sesuatu yangg lain. sebab
adanya illat tersebut ialah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa
sebagai illat wajibnya qishas
c. Illat tidak berlawanan dengaan nash, apabila berlawanan maka nash yangg
didahulukan
d. Illat harus berupa sesuatu yangg jelas dan tertentu

2.7 Macam-Macam Qiyas

a. Qiyas aula

Yaitu qiyas yangg illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan
(mulhaq) dan mempunyai hukum yangg lebih utama daripada tempat
menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang tua dengaan
mengatakan “ah” kepadanya

10
b. Qiyas musawi

Yaitu suatu qiyas yangg illat-nya mewajibkan adanya hukum yangg terdapatt
padamulhaq nya sama dengaan illat hukum yangg terdapatt
dalaam mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim
mempunyai illat hukum yangg sama dengaan memakan harta anak yatim,
yakni sama –sama merusakkan harta.

c. Qiyas dalalah

Yakni suatu qiyas dimana illat yangg ada pada mulhaq menunjukkan hukum,
tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik
anak kecil pada harta orang dewasa dalaam kewajibannya mengeluarkan
zakat, dengaan illat bahwa seluruhnya ialah harta benda yangg mempunyai
sifat dapatt bertambah

d. Qiyas syibhi

Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapatt diqiyaskan pada dua mulhaq
bih, tetapi diqiyaskan dengaan mulhaq bih yangg mengandung banyak
persamaaannya dengaan mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya yangg
dirusakkan oleh seseorang.[13]

2.8 Kehujjahan Qiyas

Artinya : “Hai orang-orang yangg beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapatt tentang
sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah)
jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian. (An-Nisa’:59)

2.9 Contoh Ijma’ dan Qiyas


1. Ijma’

Salah satu contoh dari Ijma’ adalah , hukum mengkonsumsi ganja atau
sabu-sabu, atau sejenis minuman yang memabukkan.

Didalam Al-qur’an Allah hanya menjelaskan tentang larangan


meminum minuman khamar. Sebagaimana firman Allah Swt:

13 Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 99-101

11
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-maidah :90)

sedangkan masalah ganja ataupun sabu-sabu tidak dijelaskan didalam


Al-qur’an. Jadi kita ambil hukumnya dari hasil ijma’ para ulama yaitu
haram mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu karena dapat memabukkan.

2. Qiyas

Salah satu contoh dar qiyas adalah larangan memukul dan memarahi orang
tua.

Didalam Al-qur’an Allah menjelaskan “ dan janganlah kamu mengatakan Ah


kepada kedua orang tuamu”. Sedangkan memukul dan memarahi orang tua
tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan
memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama
menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa.

2.10 Pendapat Ulama Mengenai Ijma’ dan Qiyas


1. Ijma’
a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian
ulama hanafi seperti Ibnu Iyan menyaakan bahwa ijma’ sukuti tidak bisa
menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’ yang setuju dan tidak
setuju.
b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’
qouli.
c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bisa saja menjadi hujjah
kehujjahannya adalah dhonni bukan qoth’i.

2. Qiyas

a. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum


pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits,
pendapat shahabt maupun ijma ulama.
b. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak
menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash
dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk
menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum
yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya
dari teks nash semata.

12
c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha
berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari
keumuman dalil Al Qur’an dan hadits. ( Abu Zahrah , hal 175 )

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pengertian Ijma’ ialah kesepakatan darii umat Islam pada hukum Syar’i, dalaam
hal ini ialah para mujtahid dalaam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW,
akan suatu hukum syariat yangg amali.

Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para mujtahid Islam. meskipun


negara dan kebangsaan mereka berbeda, yangg ada pada masa
terjadinya masalah fiqihyah dan harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat.
Kehujjahannya darii Firman Allah surah An-Nisa ayat 115 dan 59.

Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’Sarih (tegas)
dan Ijma’Sukuti (persetujuan yangg diketahui lewat diamnya sebagian ulama).

Proses pengqiyasan dilakukan dengaan cara menganalogikan sesuatu yangg


serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yangg sama. Asas
qiyas ialah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan
maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengaan hukum yangg ditetapkan

Kalau untukk qiyas, untukk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai
metode ijtihad ulama dalaam pengambilan hukum.

3.2 Saran

Qiyas sebagai kaum muslim dan muslimah hendaknya senantiasa mengetahui,


mempelajari serta mengamalkan hokum-hukum yang telah Allah SWT tentukan.
Ijma dan qiyas merupakan hokum yang telah Allah SWT berikan apabila tidak
tertera dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Betapa pentingnya hokum dalam islam
dan islam(Allah SWT) telah memberikan kemudahan kepada hambanya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.

Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997.
Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.

15

Вам также может понравиться