Вы находитесь на странице: 1из 3

Alasan memilih jurusan

Tidak pernah terpikir sekalipun berada ditempat yang sekarang ini. Tidak ada mimpi sekecilpun
untuk berjuang di tempat ini. Semua berawal dari pemikiran yang hanya sekelebat terlintas di benak, dan
pemikiran itu yang saat ini sangat ingin saya perjuangkan. Mungkin banyak juga dari teman-teman dari
berbagai penjuru negeri tercinta ini yang sama seperti saya dalam memilih jurusan. Tetapi sebagian ada
yang mempunyai alasan yang kuat untuk memilihnya dan sebagian ada yang memilih secara acak atau
asal-asalan. Insya Allah saya termasuk kedalam golongan pertama yang memilih masa depan dengan
alasan yang mantap.

Masih tidak bisa hilang dari ingatan saya bagaimana sebuah web yang dikunjungi hampir semua
kelas dua belas pada waktu itu menyebutkan saya untuk meneruskan perjuangan di Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran (Unpad). Suatu hal yang jauh sekali dari kebiasaan saya sehari-hari. Bahkan
sampai sekarang teman-teman dan guru saya masih tidak percaya bila saya melanjutkan perjuangan di
Fakultas Peternakan Unpad. Pasalnya saya yang pernah menjabat sebagai sebuah klub IT ketika di sekolah
dan dikenal sebagai IT-ers di sekolah menjadi sebuah penggembala yang sehari-hari bergelut dengan
hewan ternak. Ketika dibilang seperti itu saya hanya menjawab,”Niat saya mau membuat industri
peternakan berbasis teknologi bu hehehe”. Tapi saya sangat bersyukur Karena diberi kesempatan untuk
mengali ilmu yang akan menjadi ilmu yang akan saya geluti kedepannya di Fakultas Peternakan Unpad.
Alhamdulillah saya diterima melalui jalur SNMPTN 2016. Memang sempat kecewa Karena tidak bisa
berjuang melalui SBMPTN, padahal waktu itu saya memang sudah meniatkan untuk berjuang di SBMPTN
2016, tapi apa boleh buat Allah sudah memberikan hasil yang terbaik. Alhamdulillah!

Lantas apa yang mendasari saya memilih Fakultas Peternakan? Semua berawal ketika saya
mendaftar beasiswa di salah satu kampus bisnis swasta di Jakarta. Karena menjadi pengusaha sukses
adalah salah satu target dalam hidup saya. Ketika itu ada beberapa persyaratan yang diantarnya adalah
mewawancarai para pengusaha yang menurut kita sukses. Dengan keadaan masih di dalam sekolah saya
pun meminta izin kepada wali kelas saya untuk tidak mengikuti kelas di hari itu. Karena batas akhir
pengumpulan semakin dekat dan masih ada beberapa pengusaha lagi yang belum saya wawancara. Ketika
izin, yang saya dapatkan bukanlah sebuah izin dan dukungan untuk mendapatkan beasiswa itu, tetapi
malah saya diceramahi habis-habisan untuk tidak masuk ke kampus tersebut. Karena memang kampus
tersebut bukanlah kampus formal, jenjangnya pun hanya setara dengan D1 yang masa studinya hanya
setahun. Tapi keyakinan saya mengatakan bahwa kampus tersebut akan meluruskan jalan saya untuk
menjadi pengusaha sukses. Tapi pemikiran dari wali kelas saya berbeda, beliau malah tidak mengizinkan
saya berkuliah disana, sampai suatu waktu saya ditanya bisnis apa yang memang akan saya geluti. Dan
salah satu dari bisnis plan saya adalah berbisnis ayam broiler. Lagi-lagi saya mendapatkan sebuah ceramah
yang sangat panjang. Dan Karena kesal dengan ceramah itu, Akhirnya saya bertekad untuk masuk ke
Fakultas Peternakan Unpad. Itu adalah awal dari alasan saya memilih Fakultas Peternakan ini. Tapi melihat
alumni-alumni Fakultas Peternakan ketika Penerimaan Mahasiswa Baru membuat saya semakin mantap
dengan pilihan yang saya pilih. Ketika orang lain berkuliah bertujuan untuk bekerja, di fakultas Peternakan
kita selalu diingatkan bahwa kuliah tidak melulu untuk kerja. Jika kita bisa membuat peternakan dengan
skala Industri dan bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang banyak, mengapa harus cari pekerjaan?
Dari sini saya mengetahui betapa mirisnya para peternak di Indonesia. Ketika kita semua mengetahui
bahwa Indonesia masih menyuplai daging dari negeri tetangga, ada beberapa mahasiswa peternakan yang
malah memilih bekerja di Bank. Padahal mereka adalah harapan dari sector peternakan, mengapa tidak
bangga dengan peternakan yang dibutuhkan hampir semua orang?

Di Fakultas Peternakan memaksa saya harus mengetahui perkembangan sector peternakan di


Indonesia. Bukan rahasia publik lagi jika Indonesia masih mengimpor daging dari negeri tetangga, padahal
dengan potensi alam yang luar biasa, Indonesia mampu menjadi pemasok daging segar untuk warga
negaranya. Di pangandara ada sekitar 8000 sapi pertahun. Belum lagi ada beberapa daerah yang terkenal
dengan sapi-sapi dengan kualitas baik. Tapi mengapa masih harus mengimpor daging ke negara tetangga
yang harganya jauh lebih mahal? Sampai ketika saya mengikuti seminar “Quo Vides” yang diselengarakan
oleh unit kegiatan mahasiswa Cattle Bufalo Club, saya menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut dari
salah satu narasumber yang diundang pada acara tersebut. Di Indonesia belum ada yang namanya
pelabelan silsilah daging yang dijual dipasaran. Berbeda dengan di Jepang. Di Jepang penjual ikan wajib
mencantumkan apa nama ikan itum, dari mana asalnya, dan data-data yang lain yang meyakinkan
pembeli. Ini yang menjadi sumber masalah dari kelangkaan daging di Indonesia. Sadar tidak sadar selama
ini yang kita makan adalah daging kerbau, bukan daging sapi. Tidak heran jika daging ketika Idul Adha lebih
nikmat ketibang daging ketika kita membeli dipasar. Itu Karena yang kita makan bukan daging sapi,
melainkan daging sapi yang sudah bercampur dengan daging kerbau. Indonesia menjadi pelanggan setia
pengimpor daging kerbau dari India yang notebanenya adalah negara dengan Zone kuning. Zona ini adala
pembagian peternakan berdasarkan risiko Biosecurity. Dimana zona kuning adalah zona peternakan
dengan penyakit yang tidak terlalu tinggi. Dengan harganya yang lebih murah dari daging sapi, daging
kerbau ini dipilih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap daging. Hal ini yang
membuat peternak-peternak Indonesia bergegas untuk gulung tikar. Bahkan peternak dari binaan
narasumber tersebu (saya lupa namanya) sudah mulai mengkosongkan kandangnya. Hal ini Karena harga
daging kerbau dipasaran terlalu rendah dibandingkan dengan sapi dari peternak Indonesia. Untuk harga
seperti itu, biaya produksi pun tidak mampu diganti oleh para peternak Indonesia. Tak heran jika banyak
sekali peternak yang gulung tikar. Hal ini dikarenakan tidak ada pelabelan didalam penjualan daging di
pasar. Baik itu dipasar swalayan atau dipasar tradisional. Jika diadakan suatu pelabelan,”Saya yakin
seyakin yakinnya orang Indonesia jarang yang membeli daging kerbau”, kata narasumber yang mengisi
acara seminar Quo Vadis. Karena dari tekstur dan rasa sangant berbeda sekali dengan rasa daging sapi.
Ini yang akan saya canangkan ketika saya dan teman-teman lulus nanti. Minimal jika tidak bisa
menghentikan ketergantungan akan daging impor dari negeri tetangga, pemerintah Indonesia harus bisa
melabelkan atau membedakan mana daging sapi dan dagin kerbau. Karena hal itu yang akan menjadi
pertimbangan masyarakat ketika akan membeli daging. Dengan adanya pelabelan, harga daging sapi
impor akan berbeda dengan daging sapi yang dihasilkan peternak local. Hal ini yang akan membangkitkan
peternak-peternak rakyat di Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia tidak lagi kesulitan untuk
mendapatkan daging segar dan murah.

Вам также может понравиться