Вы находитесь на странице: 1из 237

TIM PENELITI

KAJIAN TIGA TAHUN PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009


DI PROPINSI JAWA BARAT
UNIVERSITAS PADJADJARAN

Penanggung Jawab : Prof. Dr. Ir. Tarkus Suganda,

Tim : Kodrat Wibowo, SE, Ph.D


: Dr. Dede Maryana, MS
Dr. Dadi Argadiredja, MS
Dr. Sudradjat, MT
Drs. Budi Gunawan, MA, Ph.D

i
KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Tim Evaluasi Kinerja


Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat 2008 merampungkan laporan akhir
Kajian TIGA TAHUN PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 DI PROPINSI
JAWA BARAT: BERSAMA MENATA PERUBAHAN. Tim dari Universitas
Padjadjaran Bandung berasal dari berbagai disiplin ilmu yang disesuaikan dengan
arahan fokus yang diinginkan oleh Bappenas. Dalam pelaksanaan kajian evaluasi,
peran Bapeda Propinsi Jabar, terutama Bagian Monitoring dan Evaluasi
Pembangunan dalam kajian ini sangatlah signifikan, dimana akomodasi mereka
dalam menyediakan data serta informasi, kordinasi sangatlah menunjang dan
membantu lancarnya proses kajian ini. Laporan akhir ini memuat bab
pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan, keluaran dan kerangka
pemikiran dari evaluasi ini, lebih jauh ditampilkan pula gambaran secara cukup
mendetail tentang kondisi terkini propinsi Jawa Barat ditinjau dari berbagai aspek.
Dilanjutkan dengan bab II hingga bab V sesuai dengan arahan Tim Bappenas
Selain itu disajikan lampiran berisi matriks dasar penentuan indikator dan capaian
hingga rekomendasi dari berbagai evaluasi per bidang yang dikaji.
Diharapkan laporan akhir ini dapat memberikan uraian lengkap yang
diwarnai dengan hasil evaluasi yang lebih komprehensif dan detail berdasarkan
sumber-sumber data dan informasi yang lebih luas dan akurat serta analisa yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan setingi-tingginya kami
sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam
penyusunan laporan akhir ini.

Bandung, Desember 2008

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Tim Peneliti i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel vi
Daftar Gambar viii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 1
1.3 Keluaran Kegiatan 4
1.4 Metode Kegiatan 5
1.5 Kerangka Pemikiran 5
1.6 Kondisi Jawa Barat Terkini 6
1.6.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 8
1.6.2 Ekonomi 9
1.6.3 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 11
1.6.4 Sarana dan Prasarana 13
1.6.5 Politik 14
1.6.6 Hukum 15
1.6.7 Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat 16
1.6.8 Aparatur 17
1.6.9 Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah 18
1.6.10 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 19
1.7 Tantangan 19
1.7.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 20
1.7.2 Ekonomi 23
1.7.3 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 26
1.7.4 Sarana dan Prasarana 27
1.7.5 Politik 28
1.7.6 Hukum 29
1.7.7 Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat 29
1.7.8 Aparatur 30
1.7.9 Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah 30
1.7.10 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 31
1.8 Modal Dasar 31

BAB II AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN DAN


DAMAI 33
II.1. Harmonisasi antar Kelompok Masyarakat dan Pengembangan
Kebudayaan serta Nilai-nilai Luhur 33
II.2. Pembangunan Peningkatan Kemanan, Ketertiban, Dan
Penanggulangan Kriminalitas 34

iii
BAB III AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL DAN
DEMOKRATIS 39
III.1. Pembenahan Sistem Hukum, Politik Hukum dan Penghapusan
Diskriminasi 39
III.2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kekerasan Pada
Anak-Anak 41
III.3. Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 42
III.3.1 Politik 43
III.3.2. Pendidikan 43
III.3.3. Angka Melek Huruf (AMH) 44
III.3.4. Angka Partisipasi Sekolah 45
III.3.5. Rata-rata Lama Sekolah 48
III.3.6. Tenaga Kerja 49
III.3.7. Kekerasan Pada Anak 50
III.4. Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah 50
III.4.1. Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan Pusat dan Daerah 50
III.4.2. Kerjasama Antar Pemerintah Daerah 54
III.4.3. Kelembagaan Pemerintah Daerah 58
III.4.4. Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah
Daerah 71
III.4.5. Sumber Dana dan Pembiayaan Pembangunan 76
III.4.6. Tertatanya Daerah Otonom Baru 80
III.5. Pencapaian Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa 88
III.5.1. Jumlah Praktik Korupsi yang Melibatkan Pejabat
Pemerintah Daerah dan Penanganannya 88
III.5.2. Tingkat Transparansi dan Akuntabilitas Kinerja Daerah 90
III.5.3. Tingkat Partisipasi Masyarakat 90
III.6. Perwujudan Lembaga Demokrasi yang makin Kokoh 93
III.6.1. Terselenggaranya Pemilu yang Demokratis, Jujur, dan
Adil 93
III.6.2. Jumlah Partai Politik, Organisasi Non Pemerintah, dan
Lembaga Swadaya Masyarakat 95

BAB IV AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN


MASYARAKAT 98
IV.1. Penanggulangan Kemiskinan 98
IV.1.1. Kualitas Hidup Manusia Jawa Barat 102
IV.1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan PDRB 105
IV.2. Peningkatan Ekspor Non Migas dan Investasi 108
IV.3. Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur 113
IV.4. Revitalisasi Pertanian 115
IV.5. Pemberdayaan Koperasi, dan UMKM 117
IV.6. Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan. 122
IV.7. Pembangunan Pedesaan 126
IV.8. Peningkatan Akses Pendidikan yang Berkualitas pada 131

iv
Masyarakat
IV.9. Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang
Berkualitas
138
IV.10. Peningkatan Perlindungan Dan Kesejahteraan Sosial 153
IV.11. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat, Pembangunan
Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda
dan Olahraga Kependudukan 155
IV. 12. Kehidupan Beragama 164
IV.13. Perbaikan Pengelolaan SDA dan Pelestarian Mutu Lingkungan
Hidup 164
IV.14. Percepatan Pembangunan Infrastruktur 195

BAB V ISU-ISU STRATEGIS DI DAERAH 201


V.1. Bidang Hukum 201
V.2. Keamanan dan Ketertiban 201
V.3. Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat 202
V.4. Bidang Politik dan Pemerintahan 203
V.5. Ekonomi, Infrastruktur dan Hal Terkait Kesejahteraan 208
V.6. Bidang Pendidikan, Kesehatan, Gender dan Kekerasan pada
Anak-anak dan Wanita 209
V.7. Permasalahan Lingkungan 210

BAB VI PENUTUP 212

DAFTAR PUSTAKA 213


LAMPIRAN MATRIKS KELUARAN EVALUASI 214

v
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan 46


Tabel 3.2 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut
Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan Di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2007 49
Tabel 3.3 Urusan Wajib dan Urusan Pilihan dalam Lingkup Pemerintah
Provinsi Jawa Barat 60
Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Besaran Organisasi menurut PP No. 41
Tahun 2007 62
Tabel 3.5 Desain Organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang
diusulkan Pemerintah Provinsi 63
Tabel 3.6 Jumlah PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional di Jawa 71
Barat Tahun 2008
Tabel 3.7 Kegiatan Mutasi Pegawai Provinsi Jawa Barat 75
Tabel 3.8 Rekrutmen CPNSD di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2003-2007 76
Tabel 3.9 Target dan Realisasi Pendapatan Daerah Jawa Barat Tahun
2003-2007 77
Tabel 3.10 Alokasi Anggaran dan Realisasi Belanja Daerah Jawa Barat
Tahun Anggaran 2003-2006 78
Tabel 3.11 Alokasi Anggaran dan Realisasi Belanja Daerah Jawa Barat
Tahun Anggaran 2007 78
Tabel 3.12 Alokasi Anggaran dan Realisasi Pembiayaan Tahun Anggaran
2003-2007 80
Tabel 3.13 Perbandingan Capaian IPM sebelum dan setelah Dimekarkan
(Data Tahun 2003-2006) 83
Tabel 4.1. Gini Ratio dan 40% Kelompok Penduduk dengan pendapatan
Terkecil Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota, 2004-2006 99
Tabel 4.2. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Menurut Lokasi, Maret 2007 – Maret 2008 101
Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Barat Tahun
2004-2007 105
Tabel 4.4 Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat Tahun 2004-
2007 106
Tabel 4.5 Struktur Ekonomi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha
Triwulan I 2008 dan Triwulan II Tahun 2008 (Persentase) 107
Tabel 4.6 Pembentukan Modal Tetap Bruto Jawa Barat Tahun 2004-
2007 108

vi
Tabel 4.7 Realisasi Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal
Dalam Negeri Jawa Barat Tahun 2004-2007 112
Tabel 4.8 Kinerja Sektor Pertanian Jawa Barat 2006-2007 116
Tabel 4.9 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2006 (Rp Juta dan persen) 120
Tabel 4.10 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Juni 2007 (Rp Juta dan
persen) 121
Tabel 4.11 Bantuan Operasional Kinerja Aparatur Pemerintah Desa dan
Kelurahan se- Jawa Barat Tahun 200 – 2007 127
Tabel 4.12 Bantuan Rehabilitasi Kantor Desa dan Kelurahan serta Sarana
Olahraga di Jawa Barat Tahun 2005 – 2007 127
Tabel 4.13 Indikator Mutu Pendidikan Di Jawa Barat (%) Tahun
2005/2006
132
Tabel 4.14. Presentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut
Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2005 134
Tabel 4.15. Rencana Pencapaian Angka (RLS) Tahun 2002 – 2010 136
Tabel 4.16 Data Role Sharing Rehabilitasi Ruang Kelas Dan
Pembangunan RKB , Tahun 2006-2008 138
Tabel 4.17. Data Umum Kesehatan 140
Tabel 4.18. Lama Balita Menyusui dan Persentase Penolong
KelahiranTerakhir Menurut Jenis Kelamin di Jawa Barat
Tahun 2007 142
Tabel 4.19. Data Derajat Kesehatan 143
Tabel 4.20. Angka Kematian Balita per 1.000 kelahiran hidup di Provinsi
Jawa Barat dibandingkan dengan angka Nasional tahun 1986,
1992, 1993 dan 2000 145
Tabel 4.21. Pola Penyakit Penyebab Kematian Anak Balita (1 – 4 Tahun)
Yang Dirawat Di Rumah Sakit Di Provinsi Jawa Barat,
Tahun 2006 146
Tabel 4.22. Status Gizi Balita Tahun 1999-2001 dan 2004-2007 150
Tabel 4.23. Jumlah Kerugian Akibat Bencana Alam Menurut Jenis di
Jawa Barat 153
Tabel 4.24. Jumlah Permasalahan Sosial Menurut Jenis di Jawa Barat 154
Tabel 4.25. Jumlah Panti Wreda Berdasarkan Data Dinas Sosial 154
Tabel 4.26 Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2000 – 2006 156
Tabel 4.27. Angka Kelahiran Kasar (CBR) dan Angka Kesuburan Total
(TFR) di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2000 – 2006 158
Tabel 4.28. Penduduk Wanita berusia 10 tahun ke atas yang pernah
menikah Menurut usia perkawinan pertama di Provinsi Jawa
Barat Tahun 2002 – 2006 158
Tabel 4.29. Luasan Abrasi Pesisir Jawa Barat Berdasarkan Wilayah. 193

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Alur Evaluasi


6
Gambar 1.2. Kaitan Dokumen Perencanaan dengan Kajian
Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran dan Tahapan Kajian 8
Gambar 2.1 Jumlah Pelanggaran Perda di Jawa Barat Tahun 2004 –
2007 36
Gambar 2.2 Data Gangguan Trantibum Di Jawa Barat Tahun 2004 –
2007 36
Gambar 2.3 Data Indeks Kriminalitas Provinsi Jawa Barat 37
Gambar 3.1 Jumlah Produk Hukum Daerah di Jawa Barat Yang
Dihasilkan Tahun 2003 s/d 2007 40
Gambar 3.2 Hasil Evaluasi Produk Hukum Daerah Kabupaten/Kota di
Jawa Barat Tahun 2004 s/d 2007 41
Gambar 3.3 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Jenjang
Pendidikan dan Jenis Kelamin (2007) 47
Gambar 3.4 Jumlah Produk Hukum Daerah di Jawa Barat yang
dihasilkan Tahun 2003-2008
52
Gambar 3.5 Kerjasama yang telah Dilaksanakan di Jawa Barat Tahun
2003-2007 57
Gambar 3.6 PNS yang Mengikuti Tugas Belajar dan Izin Belajar
Berdasarkan Jenjang Pendidikan, Tahun 2003-2008 73
Gambar 3.7 Komposisi PNS Pemerintah Provinsi Jawa Barat
berdasarkan Golongan 74
Gambar 3.8 Jumlah Kasus Pidana Korupsi di Jawa Barat Tahun 2005-
2007 88
Gambar 3.9 Jumlah LSM dan Anggota LSM di Jawa Barat Tahun
2003-2006 96
Gambar 4.1 Perkembangan Ekspor Jawa Barat 2006-2007 109
Gambar 4.2 Perkembangan Impor Jawa Barat 2006-2007 109
Gambar 4.3 Perkembangan Ekspor dan Impor 2006-2008 111
Gambar 4.4 Komposisi Penduduk Pekerja Berdasarkan Profesi dan
Jenis Pekerjaan 2007 123
Gambar 4.5 Jumlah Desa dan Kelurahan di Provinsi Jawa Barat Tahun
2004 – 2007 128
Gambar 4.6 Jumlah KK Yang Mendapat Pinjaman Bergulir dari
Program Raksa Desa Tahun 2003-2006 129
Gambar 4.7 Jumlah Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan
Infrastruktur Perdesaan Pada Program Raksa Desa Tahun
2003-2007 130
Gambar 4.8. Sarana Rumah Sakit di Jawa Barat tahun 2004 - 2006 140

viii
Gambar 4.9 Rasio Tempat Tidur Di Seluruh Rumah Sakit
TerhadapPenduduk Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 -
2007 141
Gambar 4.10. Angka Kematian Bayi (AKB) menurut Kabupaten /
Kota Di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 144
Gambar 4.11. Penyebab Kematian Ibu Maternal di Provinsi Jawa
Barat, Tahun 2003-2005 147
Gambar 4.12. Perbandingan Proyeksi UHH dan Target UHH Provinsi
Jawa Barat, Tahun 2000 s.d. 2010 148
Gambar 4.13. Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beriodium
yang Baik Di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2003 s.d
2006 150
Gambar 4.13. Prevalensi Anemia Gizi Ibu Hamil di Provinsi Jawa
Barat Tahun 2003 151
Gambar 4.14. Jumlah Penduduk Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2000 –
2006 156
Gambar 4.15. Laju Pertumbuhan Penduduk Di Provinsi Jawa Barat
Selama Kurun Waktu 2002-2007 157
Gambar 4.16. Cakupan Peserta KB Baru di Provinsi Jawa Barat Tahun
2001s/d 2006 159
Gambar 4.17 Tahapan Keluarga Sejahtera di Propinsi Jawa Barat
2005-2006 160

ix
BAGIAN I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan merupakan salah satu fungsi utama yang harus dijalankan
oleh pemerintah sebagai salah satu pengambil kebijakan. Dalam konsep
pembangunan, terkandung makna-makna alokasi sumber-sumber daya, regulasi,
dan pemberdayaan masyarakat. Pembangunan sebagai metode alokasi sumber-
sumber daya artinya bahwa melalui berbagai program dan kegiatan pembangunan
diarahkan untuk mencapai pemerataan dalam distribusi sumber-sumber daya
(resources) yang dimiliki publik, seperti sumber daya alam, sumber daya energi,
sumber dana, sumber daya manusia, dll. Dalam perspektif ini, pembangunan
seyogyanya memperluas akses publik untuk memperoleh sumber-sumber daya
yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, mempermudah akses
publik untuk menikmati berbagai fasilitas pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, air bersih, listrik, dll.), serta menjamin ketersediaan dan kontinuitas
sumber-sumber daya tersebut bagi kelangsungan hidup masyarakat.

Usaha-usaha untuk mengukur perkembangan pembangunan di Jawa Barat


tidak pula dapat dilepaskan dari sistem Nilai dan budaya yang berkembang di
Jawa Barat. Ini berarti dasar pemikiran ke arah penyusunan seperangkat indikator
kinerja pembangunan di Jawa Barat tidak dapat dilepaskan dari pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka
panjang (RPJP), menengah (RPJM), Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Renstra SKPD), dan pendek (Renja SKPD). Karena pembangunan terkait
dengan fungsi regulasi, yang mengandung makna bahwa pemerintah, baik di pusat
maupun di daerah, seyogyanya mendasarkan penyelenggaraan program-program
pembangunan pada dokumen perencanaan yang memuat arah kebijakan, strategi,
program, dan kebijakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Setiap
daerah memiliki kondisi dan kebutuhan yang beragam, sehingga model
pembangunan yang diterapkan akan berbeda pula dalam hal skala prioritasnya.
Meskipun demikian, perencanaan pembangunan secara makro di tingkat nasional
dan regional (propinsi) tetap diperlukan untuk menjamin keserasian dan sinergitas

1
pembangunan sektoral dan kewilayahan yang berlangsung di kabupaten/kota yang
termasuk dalam wilayahnya. Propinsi sebagai kepanjangan tangan Pemerintah
Pusat memiliki kewenangan untuk berperan sebagai fasilitator dan koordinator
dalam penyelenggaraan pembangunan daerah yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Pembangunan juga berkaitan erat dengan pemberdayaan masyarakat
karena pada hakikatnya pembangunan merupakan upaya untuk memberikan
kebebasan pada masyarakat dalam menentukan nasibnya. Kemampuan dan
kemandirian ini tidak akan terwujud bila tidak ada pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan kapasitas masyarakat
agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang mereka hadapi, mampu mencari
alternatif solusinya, mampu mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin
timbul dari alternatif solusi tersebut, serta mampu memilih alternatif solusi yang
paling tepat. Kemampuan ini hanya akan tercapai bila ada peningkatan kualitas
sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Pendidikan akan memperluas wawasan pemikiran dan keterampilan masyarakat,
sementara kesehatan akan menjadi faktor penunjang untuk meningkatkan
produktivitas masyarakat.
Dengan latar belakang keadaan demografis, geografis, infrastruktur, dan
kemajuan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya (manusia dan
alam) yang berbeda, maka salahsatu konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi
daerah adalah adanya perbedaan kinerja pembangunan antar daerah. Perbedaan
kinerja pembangunan antar daerah selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan
dalam kemajuan dan tingkat kesejahteraan antardaerah. Selain itu, berbagai
permasalahan yang terjadi, seperti bencana alam, flu burung, demam berdarah,
konflik sosial, kelangkaan BBM, serta masalah kemiskinan perlu dipantau dan
dievaluasi secara cermat dan terus-menerus.
Paradigma pembangunan yang berkembang sekarang ini berfokus pada
peningkatan kualitas hidup manusia. Tolok ukur yang digunakan adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup kualitas pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi (daya beli). Melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, dan daya beli
diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas hidup manusia. Dengan mengacu
pada konsep IPM tersebut, maka evaluasi kinerja pembangunan di Jawa Barat

2
diarahkan untuk menganalisis capaian kinerja pembangunan di bidang pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi. Namun demikian, keberhasilan pembangunan manusia
juga tidak dapat dilepaskan dari kinerja pemerintah yang masih penting
peranannya dalam menciptakan regulasi bagi tercapainya tertib sosial. Sepanjang
tahun 2007, sejumlah permasalahan masih terjadi di Jawa Barat menyangkut
bidang politik dan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan
hidup.
Permasalahan yang dihadapi Jawa Barat saat ini adalah masih rendahnya
capaian IPM dibandingkan dengan target tahunan menuju IPM 80 di tahun 2010;
penduduk miskin Jawa Barat yang meningkat terus menjadi 13.55% dari total
penduduk di Jawa Barat (data bulan Maret tahun 2008); tingkat pengangguran
terbuka (TPT) di Jawa Barat adalah 14,51% dari jumlah angkatan kerja (data
bulan Maret tahun 2008); serta rendahnya cakupan infrastruktur di Jawa Barat.
Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang merupakan salah satu wujud fungsi
pemerintah diarahkan selain untuk pencapaian IPM 2008 sebesar 76,60 juga untuk
mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran atau secara umum
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, reformasi birokrasi masih
menjadi wacana krusial yang belum selesai tergarap. Pilkada langsung yang
diharapkan membawa perubahan dalam praktik pemerintahan ternyata belum
memunculkan dampak signifikan. Kasus-kasus penyimpangan dalam perilaku
birokrat dan politisi, korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mewarnai perjalanan
pembangunan di Jawa Barat sepanjang tahun 2007 hingga pertengahan 2008.
Namun demikian, berbagai praktik inovatif dalam pelayanan publik
khususnya pelayanan pendidikan dasar juga berkembang di berbagai daerah
kabupaten/kota dalam bentuk pembebasan SPP atau pemenuhan anggaran
pendidikan 20% dari APBD. Kondisi ini membawa harapan baru bahwa
desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendorong perkembangan daerah ke arah
yang lebih baik. Di bidang pendidikan ini, secara umum terjadi peningkatan dalam
capaian indikator pendidikan, seperti Rata-rata Lama Sekolah, Angka Partisipasi
Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) serta Angka Melek Huruf
(AMH). Namun, peningkatan dalam capaian Indeks Pendidikan ternyata masih

3
belum mencapai target yang ditetapkan. Sejumlah permasalahan diduga sebagai
penyebab kegagalan ini, antara lain anggaran pendidikan 20% dari APBD yang
belum dapat diwujudkan di seleuruh kabupaten/kota bahkan propinsi sendiri,
pemerataan akses pendidikan, kualifikasi dan kualitas tenaga kependidikan yang
masih belum memadai, serta sarana dan prasarana pendidikan yang belum
memadai dan tersebar merata di berbagai wilayah Jawa Barat.
Di bidang kesehatan, sejumlah permasalahan muncul terkait dengan masih
maraknya epidemi berbagai jenis penyakit seperti demam berdarah, gizi buruk,
dan kelaparan di beberapa daerah di Jawa Barat. Sekalipun capaian Indeks
Kesehatan menunjukan peningkatan selama periode 2003 – 2007, namun capaian
ini juga belum berhasil mencapai target yang ditetapkan. Akses masyarakat
terhadap kesehatan, seperti jarak ke pusat kesehatan, biaya kesehatan yang mahal,
kualitas permukiman yang kurang memadai, perilaku masyarakat, dan tenaga
kesehatan yang masih kurang menjadi isu-isu penting dalam pembangunan bidang
kesehatan.
Pembangunan manusia juga mensyaratkan keberlanjutan atau kontinuitas,
sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi penting untuk diperhatikan.
Banyak kebijakan pembangunan yang disadari atau tidak mengarah pada
perusakan lingkungan hidup. Motivasi untuk meningkatkan PAD seringkali
"mengalahkan" pertimbangan untuk konservasi lingkungan. Karena itu, dimensi
lingkungan hidup menjadi salah satu dimensi yang akan juga dievaluasi.
Evaluasi terhadap berbagai permasalahan dan penyebabnya tersebut
menjadi penting sebagai bahan masukan bagi perbaikan penyelenggaraan
pembangunan dan kepemerintahan daerah di masa mendatang.

1.2 Maksud dan Tujuan


Kajian “TIGA TAHUN PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 DI
PROPINSI JAWA BARAT: BERSAMA MENATA PERUBAHAN”
dilakukan untuk mengukur capaian pelaksanaan PRJMN Tahun 2004-2009 di
daerah propinsi Jawa Barat. Kajian ini dimaksudkan sebagai bagian dari
pengembangan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah untuk

4
mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan RPJM Nasional serta
mengembangkan sistem deteksi dini masalah daerah.

Tujuan dari kajian : TIGA TAHUN PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 DI


PROPINSI JAWA BARAT dapat disarikan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan berbagai data dan informasi yang akurat dan obyektif tentang
upaya, capaian dan permasalahan pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Propinsi
Jawa Barat.
2. Terdientifikasinya sikronisasi arah dn tujuan pembangunan daerah dengan
pembangunan nasional.
3. Teridentifikasinya isu strategis daerah propinsi Jawa Barat
4. Tersusunnya berbagai rekomendasi tindak lanjut dalam perumusan kebijakan.

1.3 Keluaran Kegiatan


Kegiatan TIGA TAHUN PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 DI
PROPINSI JAWA BARAT diharapkan menghasilkan keluaran (output) berupa
laporan yang berisi antara lain:
1. Informasi, data, serta analisis tentang upaya, capaian, dan permasalahn
pelaksanaan RPJMN Tahun 2004-2009 di daerah Jawa Barat
2. Identifikasi konsistensi arah dan tujuan pembangunan daerah Propinsi Jawa
Barat dengan pembangunan nasional.
3. Isu Strategis daerah Propinsi Jawa Barat.
4. Tersusunnya berbagai rekomendasi tindak lanjut dalam perumusan kebijakan.

1.4 Metode Kegiatan


Evaluasi kinerja dilakukan dengan pendekatan dan tahapan sebagai
berikut:
1. Pengamatan langsung (fact findings) terhadap hasil dan pelaksanaan
pembangunan kepada masyarakat dalam bidang politik dan pemerintahan,
pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan hidup dengan memanfaatkan
data sekunder berupa dokumen pelaporan yang tersedia sehingga bersifat ex-
post-evaluation.

5
2. Forum Group Discussion dengan sekelompok responden atau nasrasumber
dalam hal ini merupakan stakeholders pembangunan dengan tujuan
mendiskusikan topik-topik yang telah dipersiapkan oleh tim evaluasi propinsi.
Peran Bapeda Propinsi Jawa Barat akan sangat signifikan dalam tahapan ini
3. Penilaian (assessment) secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap hasil dari
pelaksanaan hasil butir (1) dan (2) dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan yang sedang berjalan dan yang sudah
dilaksanakan di daerah dalam menunjang pencapaian tujuan pembangunan
nasional dalam RPJMN 2004-2009.
4. Perumusan isu-isu strategis berdasarkan tahapan butir (1), (2) dan (3).

1.5. Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, evaluasi adalah rangkaian kegiatan
membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome)
terhadap rencana dan standar.

Gambar 1.1.Alur Evaluasi

RPJMN tahun 2004-2009 merupakan penjabaran dari visi, misi dan


program Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih yang memuat strategi
pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementrian/Lembaga dan

6
lintas Kementrian/Lembaga, kewilayahan dan lintas Kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiscal dalam rencana kerja berupa kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan. Di tingkat daerah, berdasarkan UU No 25 tahun 2004
tentang SPPN maka RPJMN ini dapat dijabarkan/menjabarkan lebih lanjut lewat
RPJMD (yang saat itu masih bernama PROPEDA) 2003 – 2007 yang disahkan
oleh Peraturan pemerintah No. 3 tahun 2003 tentang Program Pembangunan
Daerah Propinsi Jawa Barat 2003 – 2007; kemudian RPJMD ini diteruskan
kepada Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Rencana
Kerja SKPD (Renja SKPD).

Gambar 1.2. Kaitan Dokumen Perencanaan dengan Kajian

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan penjabaran dari


pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang
disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan permasalahan pembangunan di daerah.
Pembangunan. Pembangunan daerah memanfaatkan sumber daya yang dimiliki
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, antara lain kesempatan
kerja, lapangan usaha dan akses terhadap pemngabilan kebijakan.

7
Langkah awal dalam mengidentifikasi pelaksanaan pembangunan di
daerah adalah dengan memahami RPJMN Tahun 2004-2009 terutama agenda,
sasaran dan indicator kinerja. Dengan menggunakan pendekatan dan tahapan yang
telah dijelaskan dalam sub bab 1.4. maka tujuan dari EKPD 2008 ini dapat dicapai
dengan baik.

Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran dan Tahapan Kajian

Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan kajian TIGA TAHUN


PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 DI PROPINSI JAWA BARAT 2008
adalah melalui pendekatan mikro untuk pencapaian makro. Pendekatan mikro
dilakukan untuk melihat pencapaian-pencapaian angka, nilai dan prosentasi dari
bidang pembangunan yang terpilih seperti presentasi terhadap angka harapan
hidup, jumlah fasilitas kesehatan dll. Sedangkan pencapaian makro lebih
ditekankan pada pencapaian hasil dari indicator-indikator keberhasilan
pembangunan pada setiap bidang pemerintahan yang dipilih.

8
1.6. Kondisi Jawa Barat Terkini
Pembangunan daerah yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan
beragama, ekonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, sarana dan prasarana,
politik, ketentraman dan ketertiban masyarakat, hukum, aparatur, tata ruang dan
pengembangan wilayah, serta sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional. Pelaksanaan pembangunan daerah
telah mencapai kemajuan pada berbagai bidang. Namun demikian, masih ditemui
pula berbagai masalah dan tantangan yang perlu diselesaikan dalam pembangunan
daerah kedepan, dengan memperhatikan modal dasar yang dimiliki Provinsi Jawa
Barat.

1.6.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama

Pembangunan daerah bidang sosial budaya dan kehidupan beragama


berkaitan dengan kualitas manusia dan masyarakat Jawa Barat. Kondisi tersebut
tercermin pada kuantitas penduduk dan kualitas penduduk seperti pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan perempuan, pemuda, olah raga, seni budaya, dan
keagamaan.

Upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk, baik laju pertumbuhan


penduduk alami maupun migrasi masuk, dilakukan secara terus menerus. Jumlah
penduduk Jawa Barat pada tahun 2005 mencapai 39.960.869 jiwa atau 18,16%
dari total penduduk Indonesia. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Jawa Barat
yang masih tinggi dipicu oleh tingginya angka kelahiran dan migrasi masuk Jawa
Barat.

Pembangunan kualitas hidup manusia Jawa Barat tetap menjadi prioritas


pembangunan daerah. Perkembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Jawa
Barat menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Hal tersebut antara
lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar
69,35 poin pada tahun 2005. Pencapaian tersebut merupakan komposit dari Angka
Melek Huruf (AMH) sebesar 94,52 %, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) sebesar
7,46 tahun, Angka Harapan Hidup waktu lahir (AHH) sebesar 66,57 tahun, serta
paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar Rp. 556.100,- .

9
Pembangunan bidang pendidikan telah dilaksanakan dengan
menitikberatkan pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana prasarana
pendidikan, peningkatan partisipasi anak usia sekolah, pengembangan pendidikan
luar sekolah, pengembangan sekolah alternatif, serta peningkatan jumlah dan
pemerataan distribusi tenaga pendidik. Namun aksesibilitas masyarakat terhadap
pendidikan masih rendah, angka putus sekolah masih cukup tinggi, kualitas dan
relevansi serta tata kelola pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
daya saing.

Peningkatan akses masyarakat terhadap kesehatan dan pengembangan


pelayanan kesehatan berbasis masyarakat terus dilakukan. Namun demikian,
peningkatan pada indikator kesehatan masyarakat Jawa Barat tersebut capaiannya
masih berada di bawah rata-rata nasional. Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai
64,67 per seribu kelahiran hidup, angka kematian balita sebesar 13,59%, Angka
Kematian Ibu (AKI) melahirkan sebesar 321,15 per seratus ribu kelahiran hidup,
serta angka kurang gizi pada balita sebesar 1,48%.

Kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap peningkatan peran kaum


perempuan di seluruh sektor dan aspek pembangunan telah dilakukan. Namun
upaya pengarusutamaan gender ini masih perlu lebih diaktualisasikan di segala
bidang. Pemberdayaan perempuan tercermin dari Indeks Pemberdayaan Jender
yang meliputi angka partisipasi perempuan dalam parlemen, perempuan dalam
posisi manajer, staf teknis, dan tingkat partisipasi angkatan kerja. Pada tahun
2002, Indeks Pemberdayaan Jender Jawa Barat mencapai 43,6, peringkat 24 dari
30 Provinsi di Indonesia. Angka ini menunjukkan partisipasi perempuan dalam
parlemen yang baru mencapai 3% dari total anggota parlemen, 37,4% perempuan
dalam posisi staf teknis, dan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang
baru mencapai 33,1%.

Pembangunan pemuda sebagai salah satu unsur sumber daya manusia dan
tulang punggung bangsa serta penerus cita-cita bangsa, disiapkan dan
dikembangkan kualitas kehidupannya, mulai dari tingkat pendidikan,
kesejahteraan hidup dan tingkat kesehatannya. Jumlah penduduk usia 15 s.d. 34
tahun di Jawa Barat adalah 14.848.357 jiwa atau 34,16% dari jumlah penduduk

10
Provinsi. Jawa Barat juga memiliki organisasi kepemudaan sebagai salah satu
elemen masyarakat yang potensial untuk menjadi generasi muda yang lebih
berkualitas dan mandiri.

Pembinaan terhadap olahragawan berprestasi tetap dipertahankan karena


Provinsi Jawa Barat memiliki peran yang strategis dalam kancah prestasi olah
raga nasional. Namun demikian Jawa Barat belum memiliki sarana olahraga
terpadu dengan standar internasional untuk mendukung proses pembinaan
tersebut.

Pembangunan kebudayaan di Jawa Barat ditujukan untuk melestarikan dan


mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati diri dan nilai-nilai
budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus informasi dan pengaruh
negatif budaya global. Pembangunan seni dan budaya di Jawa Barat sudah
mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahanan terhadap
nilai budaya dan penggunaan bahasa daerah Sunda, Cirebon, Dermayu dan
Melayu Betawi sebagai bahasa ibu masyarakat Jawa Barat. Namun, disisi lain
upaya peningkatan jati diri masyarakat Jawa Barat seperti solidaritas sosial,
kekeluargaan, penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa masih perlu terus
ditingkatkan. Budaya berperilaku positif seperti kerja keras, gotong royong,
kebersamaan dan kemandirian dirasakan makin memudar.

Status kesejahteraan sosial masyarakat Jawa Barat secara umum masih


rendah. Hal tersebut diindikasikan dari jumlah Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) sebesar 1.917.911 jiwa pada tahun 2005. PMKS
tersebut di antaranya adalah pengemis, gelandangan, anak jalanan, tuna susila,
kekerasan pada anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), trafficking pada
anak dan perempuan. Dari jumlah kasus KDRT tahun 2005 sebanyak 1.370,
69,70% pelakunya adalah laki-laki, dan 6,06% dari kasus KDRT tersebut adalah
perempuan yang menjadi korban kekerasan majikan. Korban trafficking pada
anak dan perempuan sebesar 48,42%.

Kualitas kehidupan beragama di Jawa Barat menunjukkan kesadaran


masyarakat untuk melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat.
Kondisi tersebut menciptakan hubungan yang harmonis dan kondusif baik antara

11
sesama pemeluk agama maupun antarumat beragama. Namun masih dihadapi
munculnya ajaran-ajaran sesat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama
yang mengganggu kehidupan beragama dan bermasyarakat.

1.6.2. Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pasca krisis tahun 1997 menunjukkan


kecenderungan meningkat. Peningkatan tersebut dikontribusikan oleh tiga sektor
utama yaitu sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran
dan sektor Pertanian. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut belum
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan masih
tingginya jumlah penduduk miskin dan pengangguran.

Sektor industri merupakan komponen utama pembangunan daerah yang


mampu memberikan kontribusi ekonomi sebesar 44,68%. Hal tersebut didukung
oleh jumlah kawasan industri yang terbanyak di Indonesia. Akan tetapi, daya
saing industri di Jawa Barat masih rendah yang disebabkan oleh tingginya
ketergantungan pada bahan baku impor, rendahnya kemampuan dalam
pengembangan teknologi, rendahnya kemampuan dan keterampilan sumber daya
industri serta tingginya pencemaran limbah industri.

Pengembangan perdagangan di Jawa Barat difokuskan pada


pengembangan sistem distribusi barang dan peningkatan akses pasar baik pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri. Pengembangan sistem distribusi
diarahkan untuk memperlancar arus barang, memperkecil disparitas antar daerah,
mengurangi fluktuasi harga dan menjamin ketersediaan barang kebutuhan yang
cukup dan terjangkau oleh masyarakat. Adapun peningkatan akses pasar baik
dalam negeri maupun luar negeri dilakukan melalui promosi produk Jawa Barat.

Provinsi Jawa Barat memiliki potensi pariwisata yang sangat beragam baik
dari sisi produk wisata maupun pasar wisatawan, dengan alam dan budaya yang
dimiliki sebagai modal dasar pengembangan daya tarik wisata. Peringkat sektor
pariwisata secara nasional dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan berada pada
posisi 3 setelah DKI Jakarta dan Bali. Kendala yang masih dihadapi adalah belum
tertatanya objek wisata dan masih rendahnya kualitas infrastruktur pendukungnya.

12
Pertanian di Provinsi Jawa Barat secara umum sudah ada dan tumbuh di
masyarakat, memiliki potensi yang besar dan variatif, dan didukung oleh kondisi
agroekosistem yang cocok untuk pengembangan komoditas pertanian dalam arti
luas (tanaman, ternak, ikan, dan hutan). Kondisi tersebut mendukung Jawa Barat
sebagai produsen terbesar untuk 40 (empatpuluh) komoditas agribisnis di
Indonesia khususnya komoditas padi yang memberikan kontribusi terbesar
terhadap produksi padi nasional. Sektor pertanian juga memiliki tingkat
penyerapan tenaga kerja yang tinggi yaitu sebesar 29.65 persen dari jumlah
penduduk bekerja. Namun hubungan antar subsistem pertanian belum sepenuhnya
menunjukkan keharmonisan baik pada skala lokal, regional, dan nasional. Cara
pandang sektoral yang belum terintegrasi pada sistem pertanian serta
ketidaksiapan dalam menghadapi persaingan global merupakan kendala yang
masih dihadapi sektor pertanian.

Jawa Barat memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan


perikanan terutama dalam pengembangan usaha perikanan tangkap, usaha
budidaya laut, bioteknologi kelautan, serta berbagai macam jasa lingkungan
kelautan. Sayangnya, kondisi dan potensi sumber daya perikanan dan lautan yang
besar ini tidak diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha perikanan dan
kelautan yang baik. Terbukti dengan masih rendahnya tingkat investasi dan
produksi sumber daya perikanan dan kelautan yang masih jauh dari potensi yang
ada serta lemahnya kondisi pembudidaya dan nelayan sebagai produsen.

Iklim investasi di Jawa Barat menunjukkan perkembangan yang terus


membaik. Posisi Jawa Barat yang strategis menempatkan Jawa Barat menjadi
tujuan utama untuk investasi, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Namun demikian, pertumbuhan
investasi belum mampu meningkatkan keterkaitan dengan usaha ekonomi lokal
dan kesempatan kerja. Hal ini diakibatkan belum efisien dan efektifnya birokrasi,
belum adanya kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang penanaman
modal, masih rendahnya infrastruktur pendukung adalah merupakan kendala
dalam upaya peningkatan investasi di Jawa Barat.

13
Peranan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam peningkatan
pertumbuhan ekonomi dirasakan belum optimal. Hal tersebut disebabkan
kurangnya efektifitas fungsi dan peranan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
dalam pembangunan, masih tingginya kredit konsumsi dibandingkan dengan
kredit investasi sehingga kurang menopang aktivitas sektor riil.

1.6.3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Publikasi dan kajian ilmiah yang dihasilkan oleh lembaga penelitian baik
milik pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta yang banyak berlokasi di Jawa
Barat belum dapat diimplementasikan dengan maksimal. Hal ini disebabkan oleh
sumber daya IPTEK masih terbatas, mekanisme intermediasi yang menjembatani
interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna belum
efektif, sinergi kebijakan yang lemah menyebabkan kegiatan IPTEK belum
sanggup memberikan hasil yang signifikan, dan budaya pemanfaatan iptek belum
berkembang serta belum terkaitnya hasil kajian dengan kebutuhan riil masyarakat.

1.6.4. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana wilayah yang meliputi infrastruktur transportasi,


sumber daya air dan irigasi, telekomunikasi, listrik dan energi serta sarana dan
prasarana dasar permukiman memiliki peran yang penting bagi peningkatan
perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Namun demikian secara umum
kualitas dan cakupan pelayanan sarana dan prasarana wilayah masih rendah dan
belum merata.

Pada aspek transportasi yang terdiri dari transportasi darat, udara dan laut,
rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan antara lain dicirikan dengan
rendahnya nilai indeks aksesibilitas dan mobilitas rata-rata jaringan jalan
dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk jaringan jalan
provinsi; belum optimalnya kemantapan jalan provinsi terutama di jalur jalan
vertikal yang menghubungkan wilayah tengah dan selatan Jawa Barat; masih
kurangnya pembangunan jalan tol; rendahnya kapasitas ruas jalan di perkotaan
dengan nilai Volume Capacity Ratio (VCR) rata-rata mendekati nilai 0,8;
kurangnya penyediaan angkutan massal dan jaringan jalan rel; belum optimalnya

14
kondisi dan penataan sistem hierarki terminal sebagai tempat pertukaran moda;
belum optimalnya pelayanan Bandar Udara Husein Sastranegara dan bandara
lainnya dalam melayani penerbangan komersial dari dan ke Jawa Barat; serta
masih terbatasnya fungsi Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan niaga.

Keberadaan infrastruktur sumber daya air dan irigasi juga masih belum
memadai, yang dicirikan dengan masih tingginya fluktuasi ketersediaan air
permukaan yang menimbulkan banjir dan kekeringan; masih terbatasnya
penyediaan air baku untuk berbagai kebutuhan, serta belum optimalnya intensitas
tanam padi akibat rendahnya layanan jaringan dan penyediaan air irigasi.

Adapun cakupan layanan untuk infrastruktur telekomunikasi belum bisa


menjangkau setiap pelosok wilayah, dicirikan dengan adanya beberapa wilayah
yang belum terlayani. Khusus untuk layanan jasa telepon kabel, beberapa daerah
perkotaan angka teledensitasnya sudah tinggi (>10), sedangkan untuk beberapa
daerah perkotaan dan kabupaten kondisi teledensitasnya masih rendah.

Sistem kelistrikan Jawa Barat yang merupakan bagian dari sistem


kelistrikan nasional Jawa-Madura-Bali (Jamali), sampai saat ini mengkonsumsi
beban listrik Jamali sebesar 28%. Beban puncak listrik Jawa Barat sebesar 3.785
MW, sedangkan daya mampu pembangkitnya sebesar 4.337,05 MW, yang berarti
masih mempunyai surplus kapasitas pembangkitan. Cakupan desa yang sudah
mendapatkan tenaga listrik mencapai 99,59%, hanya 24 desa yang belum
memiliki infrastruktur listrik. Namun demikian, angka rasio elektrifikasi rumah
tangga masih belum optimal baru mencapai 58%.

Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana permukiman seperti,


perumahan dan cakupan layanan air bersih masih sangat rendah dicirikan dengan
masih banyaknya rumah tangga yang belum bisa memiliki rumah layak huni.
Keberadaan prasarana persampahan juga masih belum optimal baik yang
layanannya bersifat lokal maupun regional.

1.6.5. Politik

Sejak 1998, gerakan reformasi telah mendorong demokratisasi baik pada


tingkat nasional maupun lokal. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie ditetapkan
Undang-Undang Kepartaian yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk

15
membentuk partai politik, baik yang muncul secara sendiri, maupun karena
pemisahan dari partai dominan yang diakui selama Orde Baru, kebebasan
berorganisasi yang makin luas dengan membentuk berbagai organisasi
kemasyarakatan, kebebasan pers, dan desentralisasi kekuasaan dari Pusat ke
daerah yang ditandai oleh berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. Di samping itu
paket perundang-undangan lainnya yang menandai demokratisasi berlangsung di
Indonesia antara lain adalah mengenai penyelenggaraan Pemilu yang
dilaksanakan pada 1999, Susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD;
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas dari KKN dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada masa pemerintahan berikutnya, upaya mendorong demokratisasi


dilakukan pula dengan mengubah pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung yang dilakukan pada 2004. Di daerah sendiri berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dipilih secara langsung.
Dengan demikian secara kelembagaan dan prosedur, Indonesia telah memasuki
tahap demokrasi yang sangat kuat. Di Jawa Barat pemilihan kepala daerah secara
langsung telah berjalan dengan baik dengan ditandai oleh kesiapan elite dan
masyarakat untuk menerima kekalahan atau kemenangan pihak lain. Hal tersebut
menandakan bahwa masyarakat telah siap dan percaya dengan aturan main dalam
berdemokrasi.

Demokrasi juga telah mendorong masyarakat untuk lebih berani


mengemukakan aspirasinya. Salah satunya adalah keinginan untuk membentuk
pemerintahan sendiri baik pada level kabupaten/kota maupun level provinsi. Di
Jawa Barat sejak tahun 1999 telah terbentuk 1 provinsi, yaitu Provinsi Banten
yang sebelumnya merupakan wilayah Keresidenan Banten, selanjutnya pada Kota
Tasikmalaya dan Kota Cimahi pada tahun 2001, serta Kota Banjar pada tahun
2003. Aspirasi pembentukan daerah otonom akan terus berkembang sejalan

16
dengan tuntutan untuk ikut serta dalam berpemerintahan dan peningkatan
pelayanan publik.

1.6.6. Hukum

Pembangunan Bidang Hukum di daerah diarahkan untuk mewujudkan


harmonisasi produk hukum yang dapat mendukung pelaksanaan otonomi daerah,
penegakkan hukum dan hak asasi manusia. Namun proses demokratisasi
mendorong penggantian berbagai aturan perundang-undangan di tingkat nasional
yang pada akhirnya berdampak terhadap daerah. Berbagai perundang-undangan
yang ditetapkan pemerintah pusat pada implementasinya mengalami berbagai
kendala karena belum didukung oleh sistem hukum yang mapan, aparatur hukum
yang bersih serta prasarana dan sarana yang memadai. Kondisi tersebut lebih
lanjut menyebabkan penegakkan hukum yang lemah dan perlindungan hukum dan
HAM belum dapat diwujudkan. Peraturan perundang-undangan yang baru, selain
banyak yang saling bertentangan juga tidak segera ditindaklanjuti dengan
peraturan pelaksanaannya. Hal tersebut mengakibatkan daerah mengalami
kesulitan dalam menindaklanjuti dengan peraturan daerah dan dalam
implementasinya. Sampai dengan 2006 masih banyak peraturan daerah yang
belum dapat disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru.
Kondisi tersebut menghambat penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang
dapat berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat.

Dalam penegakkan HAM telah disusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (RAN-HAM) yang melibatkan seluruh stakeholders pembangunan.
Rencana aksi tersebut menjadi acuan semua pihak di daerah dalam implementasi
peraturan perundang-undangan mengenai HAM, terutama lembaga pemerintah
yang memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan memenuhi hak
asasi warga negara.

1.6.7. Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat

Pembangunan Bidang Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat dilakukan


untuk mewujudkan kondisi sosial yang tertib dan dapat mendukung pelaksanaan
pembangunan lainnya. Kondisi ketentraman dan ketertiban masyarakat sangat

17
berkaitan erat dengan aspek sosial, politik, dan hukum. Kondisi sosial Jawa Barat
sampai dengan akhir tahun 2006 berlangsung dinamis. Berbagai organisasi
kemasyarakatan dan lembaga keswadayaan masyarakat berkembang dan berperan
dalam berbagai bidang, baik budaya, keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan
aktivitas sosial lainnya. Meskipun masih terdapat pertentangan dalam kehidupan
bermasyarakat, tetapi masih dapat ditolerir. Kondisi sosial tersebut berkaitan
dengan kondisi politik dan kondisi hukum. Kehidupan politik yang diarahkan
untuk mewujudkan demokrasi masih dimaknai sebagai kebebasan semata oleh
sebagian masyarakat yang seringkali dapat mengganggu kelompok masyarakat
lainnya yang mempengaruhi kondisi ketentraman dan ketertiban umum. Dalam
aspek hukum, penegakkan hukum yang lemah dan tidak konsisten mempengaruhi
pula kondisi ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum lainnya masih cukup tinggi.


Di samping itu protes ketidakpuasan terhadap suatu masalah yang mengarah pada
perusakan fasilitas umum seringkali terjadi. Namun secara keseluruhan sikap
masyarakat untuk mendukung terciptanya tertib sosial melalui upaya mewujudkan
ketentraman dan ketertiban cukup baik.

1.6.8. Aparatur

Reformasi sistem politik yang diarahkan pada demokratisasi telah


mendorong reformasi birokrasi melalui penataan struktur, sistem dan kultur.
Namun upaya penataan struktur masih berlangsung setelah penetapan Undang-
Undang 32 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah. Pembenahan dan penataan struktur organisasi
pemerintahan di daerah masih mencari bentuk antara kebutuhan daerah dengan
tuntutan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
meskipun daerah diberi otonomi yang luas, tetapi dalam menetapkan struktur
organisasi masih bergantung kepada Pusat.

Demikian pula dengan penataan sistem untuk lebih memudahkan


penyelenggaraan administrasi pemerintahan mengalami kendala, karena
dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron atau belum
ada peraturan pelaksanaannya. Penetapan standar pelayanan minimal untuk

18
beberapa bidang sudah dapat diimpelementasikan meskipun pengawasan terhadap
pelaksanaannya belum dapat dilakukan. Untuk standar operasional prosedur
(SOP) dalam setiap alur kegiatan administrasi pemerintahan belum dapat
diimplementasikan.

Reformasi birokrasi menginginkan perubahan kultur birokrasi yang


mengarah pada profesionalisme, beretika, impersonal, dan taat aturan. Masa
transisi dalam reformasi birokrasi masih mengalami kendala dalam mewujudkan
birokrasi yang ideal. Kultur tradisional dan primordial masih mewarnai birokrasi
Pemerintah Provinsi Jawa Barat walaupun dari sisi sarana dan prasarana telah
cukup modern bahkan dengan dukungan teknologi komunikasi yang masib belum
dimanfaatkan secara optimal.

Jumlah aparatur walaupun secara kuantitas terus berubah dan tidak dapat
dikatakan ideal atau telah memenuhi kebutuhan, tetapi yang perlu diperhatikan
aspek kualitasnya yang masih rendah dalam arti dari sisi kedisiplinan,
profesionalisme dan etika. Hal tersebut mempengaruhi kinerja aparatur secara
umum dan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kondisi sarana dan prasarana aparatur sudah cukup baik dengan gedung
kantor yang layak dan seluruh organisasi perangkat daerah telah memiliki gedung
tersendiri. Namun sarana dan prasarana yang secara langsung memberikan
pelayanan kepada masyarakat masih perlu ditingkatkan karena belum sesuai
dengan standar pelayanan minimal, seperti unit pengelola teknis daerah dalam
pemungutan pajak daerah, dan unit perijinan.

1.6.9. Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah

Pola tata ruang Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP) mengamanatkan proporsi kawasan lindung sebesar 45 % dan kawasan
budidaya 55 %. Namun pengendalian pemanfaatan ruang menjadi kendala dalam
mewujudkan proporsi tersebut. Belum tertata dan terkendalinya pertumbuhan
lahan terbangun di kawasan konservasi, serta degradasi lingkungan di wilayah
Jabar Selatan merupakan ancaman terhadap daya dukung lingkungan. Selain itu,
terjadinya pergeseran tutupan lahan hutan dan sawah menjadi permukiman dan
industri merupakan permasalahan dalam upaya pengendalian tata ruang.

19
Pengembangan wilayah dalam struktur tata ruang Jawa Barat sampai saat
ini masih terjadi ketimpangan. Dalam konteks wilayah utara-tengah-selatan Jawa
Barat, terjadi pemusatan pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat di wilayah
utara dan tengah, sementara wilayah perdesaan di selatan Jawa Barat yang
seharusnya dikembangkan menjadi wilayah pendukung dari aspek lingkungan dan
pertanian agro kurang mendapat sentuhan pemerataan pembangunan. Sementara
itu di wilayah perbatasan masih terjadi ketidaksetaraan dalam penyediaan sarana
dan prasarana dasar permukiman maupun prasarana jalan.

1.6.10. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran penting dalam
keberlanjutan pembangunan Jawa Barat. Namun demikian, peran penting ini
belum dioptimalkan hingga saat ini. Fenomena yang terjadi justru menunjukkan
bahwa kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup Jawa Barat berada pada
tingkat cukup mengkhawatirkan. Dampak negatif dari fenomena ini diantaranya
adalah semakin berkembangnya penyakit-penyakit berbasis lingkungan dan
munculnya konflik sosial antara pencemar dan yang tercemar, serta konflik
pemanfaat sumber daya alam dan lingkungan di hulu dan hilir.

Faktor-faktor dominan yang menyebabkan penurunan daya dukung


lingkungan dalam kurun waktu sepuluh tahun ini antara lain, masih tingginya
tingkat alih fungsi lahan berfungsi lindung menjadi budidaya, kerusakan dan
berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang, pencemaran udara perkotaan,
pengrusakan dan kebakaran hutan, pencemaran dan sedimentasi sungai serta
waduk, penambangan yang merusak lingkungan, dan pengambilan sumber daya
air yang kurang terkendali, di samping meningkatnya frekuensi kejadian bencana
alam. Hal tersebut diperparah dengan perilaku dan budaya yang belum ramah
lingkungan, baik dari sisi perilaku membangun maupun perilaku individu
masyarakatnya. Upaya pengelolaan lingkungan saat ini masih belum mampu
menahan laju kerusakan dan pencemaran yang terjadi.

20
1.7. TANTANGAN
1.7.1. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama

Dalam dua puluh tahun mendatang, Jawa Barat menghadapi tekanan


jumlah penduduk yang semakin tinggi. Pada tahun 2025 jumlah penduduk Jawa
Barat diperkirakan sekira 52,7 juta jiwa. Pengendalian jumlah penduduk dan laju
pertumbuhannya perlu diperhatikan untuk terwujudnya penduduk yang tumbuh
dengan seimbang guna peningkatan kualitas, daya saing dan kesejahteraannya.
Selain itu persebaran dan mobilitas penduduk perlu mendapatkan perhatian
sehingga ketimpangan persebaran dan kepadatan penduduk antara kabupaten dan
kota serta antara wilayah perkotaan dan perdesaan dapat dikurangi.

Memperhatikan kecenderungan pencapaian IPM dan komponen-


komponennya, tantangan peningkatan IPM pada masa datang akan lebih terfokus
pada peningkatan Indeks Daya Beli. Namun demikian, pelayanan pendidikan dan
kesehatan bagi masyarakat harus senantiasa ditingkatkan untuk menjamin
peningkatan Indeks Pendidikan dan Indeks Kesehatan.

Berkaitan dengan semakin pesatnya perkembangan metodologi dan


teknologi dalam bidang pendidikan, perlu dilakukan antisipasi melalui
pengembangan inovasi dan sistem tata kelola pendidikan, pemberdayaan profesi
guru dengan meningkatkan kompetensinya, penyempurnaan pembangunan sarana
dan prasarana yang lebih tanggap teknologi, pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi yang dilandasi oleh nilai-nilai kecerdasan dan kearifan budaya lokal,
peningkatan kualitas lulusan untuk mengantisipasi tingkat persaingan melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan semakin kompetitifnya ketersediaan
lapangan pekerjaan. Dalam hal pengembangan sain dan teknologi, peningkatan
kemampuan masyarakat perdesaan dalam pemanfaatan teknologi tepat guna
(TTG) juga perlu mendapatkan penanganan yang optimal.

Tingginya kesenjangan status kesehatan dan rendahnya akses terhadap


pelayanan kesehatan antarwilayah, belum optimalnya penggunaan teknologi di
bidang kesehatan merupakan kondisi yang menjadi tantangan bagi para
stakeholders untuk mengatasinya. Memperhatikan hal tersebut, pembangunan
kesehatan lebih didorong pada tercapainya kondisi yang memungkinkan

21
terciptanya perilaku sehat dan lingkungan yang sehat baik fisik maupun sosial
yang mendukung produktivitas masyarakat. Selain itu, perlu juga didorong
kepada berlangsungnya paradigma hidup sehat yang terintegrasi pada pencapaian
kualitas hidup penduduk yang sehat dan berumur panjang.

Stigma bahwa perempuan makhuk lemah, porsi perempuan di rumah,


perempuan merupakan objek kaum laki-laki dan diskriminasi perlakuan di dunia
usaha maupun politik merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam upaya
pemberdayaan perempuan. Oleh karena itu, kesetaraan gender menjadi perhatian
dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan melalui
peningkatan pemahaman mengenai kesetaraan gender, peningkatan kualitas hidup
dan peran perempuan, serta penguatan kelembagaan, kelompok masyarakat
(khususnya perempuan) dan jaringan kemitraan pengarusutamaan gender.

Berdasarkan gambaran kondisi kepemudaan di Jawa Barat, pemuda Jawa


Barat memiliki potensi dan peluang yang cukup besar, sekaligus kelemahan dan
tantangan yang tidak ringan. Potensi dalam hal ini adalah jumlah yang cukup
besar, pola pikir dan semangat yang tinggi. Sementara peluang yang dimiliki oleh
pemuda Jawa Barat adalah ruang gerak atau ekspresi idealisme yang terbuka, baik
dalam konteks sistem nilai, sistem pendidikan, sistem ekonomi maupun sistem
politik. Kelemahannya adalah kondisi perkembangan psikologis pemuda yang
belum stabil, masih pada tahap pencarian identitas diri dan lemahnya sandaran
nilai serta norma. Tantangan yang muncul di kalangan pemuda adalah masa depan
yang penuh kompetisi baik keterampilan, idealisme maupun nilai budaya.

Dalam aspek keolahragaan, pembinaan olahraga prestasi di Jawa Barat


belum dilakukan secara optimal. Untuk itu peningkatan peran organisasi masing-
masing cabang olahraga, pembinaan yang komprehensif agar seluruh potensi
olahraga di Jawa Barat dapat dikembangkan secara baik, serta penguatan peran
dan tanggungjawab masyarakat dalam mengembangkan sarana, prasarana, dan
kegiatan olahraga merupakan merupakan tantangan dalam aspek keolahragaan.

Imbas perubahan global dan pertentangan antara Nilai-nilai tradisional,


peninggalan sejarah, kepurbakalaan dan permuseuman dengan arus perubahan
teknologi informasi dan era komputerisasi menjadi tantangan bagi terwujudnya

22
kondisi yang diinginkan. Untuk itu upaya perlindungan dan pelestarian terhadap
keempat aspek kebudayaaan tersebut, penerapan muatan pendidikan nilai-nilai
budaya daerah terhadap anak usia dini dan usia pendidikan dasar, serta revitalisasi
terhadap lembaga/organisasi kesenian dan kebudayaan pelestarian cagar dan desa
budaya, dan pengembangan nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan strategi
yang optimal dalam pembangunan budaya daerah.

Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan bidang sosial adalah beban


permasalahan kesejahteraan sosial yang semakin beragam dan meningkat akibat
terjadinya berbagai krisis sosial. Upaya yang harus dilakukan diantaranya
pengembangan peran lembaga swadaya masyarakat, pengelolaan yang profesional
dan komprehensif panti rehabilitasi sosial. Selain itu, penanggulangan PMKS
menjadi PSKS (potensi kesejahteraan sosial) perlu diupayakan terus menerus
melalui penggalian dan pendayagunaan potensi yang dimiliki, peningkatan sarana
dan prasarana, peningkatan mutu sekolah serta pelatihan/optimalisasi bagi
organisasi/lembaga sosial serta partisipasi masyarakat dalam upaya pemberdayaan
masyarakat sehingga tercipta kondisi sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan
norma-norma agama dan budaya.

Terkait dengan pembangunan fisik yang diwujudkan bersama dengan


masyarakat, pembangunan sektor agama mesti didorong untuk menciptakan
kondisi terbaik bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat yang harmonis.
Semakin derasnya arus informasi dan pengaruh budaya asing yang masuk melalui
berbagai media, pembangunan sarana dan prasarana keagamaan, pengkajian dan
aplikasi ajaran agama, pengembangan seluruh potensi umat dalam menciptakan
kondisi kehidupan beragama secara fungsional dan proporsional, pengelolaan
sumber dana keumatan berdasarkan ajaran agama perlu dikelola sesuai dengan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik, dan pemberdayaan potensi ekonomi umat,
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar keagamaan yang dianut merupakan tantangan
yang dihadapi dalam pembangunan di bidang keagamaan.

1.7.2. Ekonomi

Pembangunan ekonomi Jawa Barat 20 tahun mendatang dihadapkan pada


tantangan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara

23
berkelanjutan dan berkualitas untuk mewujudkan secara nyata peningkatan
kesejahteraan sekaligus mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi serta
pengangguran. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Jawa Barat tahun 2005–2025
diperkirakan akan berada pada kisaran 6% sampai 8% per tahun. Struktur
ekonomi Jawa Barat ke depan akan didominasi oleh empat sektor utama yaitu
sektor pertanian, industri, perdagangan, dan pariwisata. Seiring dengan era
perdagangan bebas yang akan terus mewarnai perkembangan ekonomi dunia di
masa mendatang, peningkatan daya saing ekonomi daerah menjadi faktor penentu
bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi daerah. Penguatan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah akan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi
daerah, yang didukung oleh reorientasi ekonomi kepada basis penelitian dan
teknologi serta pasar.

Tantangan peningkatan investasi di daerah ke depan tidak lepas dari


stabilitas keamanan dan ketertiban yang diiringi oleh kepastian hukum,
ketersediaan infrastruktur wilayah, ketersediaan dan kepastian lahan, perburuhan
dan masalah lainnya termasuk proses perizinan pembangunan. Pemecahan
masalah tersebut sangat menentukan keberhasilan untuk menarik investor agar
dapat menanamkan modalnya di Jawa Barat. Upaya promosi investasi juga
menjadi faktor penentu untuk menarik investasi baru.

Tantangan utama dalam pengembangan pertanian di Provinsi Jawa Barat


adanya konversi lahan usaha tani ke nonpertanian menyebabkan terjadi
konsentrasi kapital di nonpertanian yang semakin menekan posisi rebut tawar
sektor pertanian, rendahnya skala usaha tani, serta lemahnya akses terhadap
teknologi baru, permodalan, informasi, dan pasar. Pada sisi lain pengembangan
sarana dan prasarana yang ada relatif belum dapat memperbaiki kinerja pertanian,
peningkatan kesempatan kerja maupun pengurangan kemiskinan. Di level
pemerintahan atau perumus kebijakan, tantangan utama yang dihadapi adalah
bagaimana mengatasi cara pandang yang masih parsial yang menimbulkan
masalah koordinasi dan sinkronisasi antarsubsistem dalam sistem pertanian.
Tingkat kebutuhan konsumsi pangan di masa yang akan datang untuk beberapa
komoditi relatif akan meningkat secara perlahan. Peningkatan ini berhubungan

24
erat dengan tingkat pertumbuhan penduduk serta proyeksi tingkat konsumsi per
kapita per tahun.

Bisnis kelautan di masa mendatang akan dihadapkan pada pengembangan


usaha perikanan tangkap, usaha budidaya laut, bioteknologi kelautan, serta
berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang berkelanjutan dan melibatkan
masyarakat sehingga mampu mentransformasikan keunggulan komparatif sektor
kelautan dan perikanan menjadi keunggulan bersaing.

Upaya untuk mendukung pencapaian pertumbuhan sektor industri jangka


panjang, diarahkan pada penguatan struktur industri dan peningkatan daya saing
industri yang berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan didasarkan
pada industri yang berbasis pada sumber daya alam lokal dan penguasaan
teknologi dengan didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten. Dengan
demikian diharapkan sektor industri dapat menjadi penggerak utama
perekonomian daerah yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang
kuat serta memiliki daya saing yang berkelanjutan dan tangguh di pasar domestik
dan internasional.

Adapun tantangan ke depan untuk pengembangan perdagangan di Jawa


Barat adalah di fokuskan peningkatan akses pasar ekspor diiringi dengan
peningkatan kualitas dan desain produk, serta memperluas kawasan dan tujuan
ekspor. Selain itu, untuk penguatan perdagangan dalam negeri di tujukan
peningkatan sarana distribusi barang, penguatan pasar domestik, menggalakkan
pemberdayaan produk dalam negeri dan peningkatan perlindungan konsumen.

Tantangan pengembangan pariwisata dua puluh tahun mendatang adalah


mewujudkan Jawa Barat sebagai daerah kunjungan wisata utama. Potensi wisata
Jawa Barat cukup banyak dengan objek dan atraksi wisata yang variatif dan
menarik. Proyeksi jumlah kunjungan wisatawan ke Jawa Barat sebesar 16,4%
per tahunnya. Guna mendukung pertumbuhan wisatawan ke Jawa Barat, maka
pengembangan pariwisata difokuskan pada pengembangan daya tarik wisata yang
berakar pada alam dan budaya Jawa Barat sehingga dapat mencerminkan jati diri
masyarakat Jawa Barat, yang didukung oleh kompetensi sumber daya manusia,
pengelola daya tarik wisata dan fasilitas penunjang wisata.

25
Masalah kemiskinan akan sangat berkaitan dengan ketidakmampuan
individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Kebutuhan
akan sandang, pangan, papan serta pendidikan dan kesehatan merupakan
tantangan yang harus mendapatkan perhatian dalam rangka penanggulangan
kemiskinan. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan kemiskinan merupakan
prioritas utama dalam pembangunan jangka panjang sehingga diharapkan pada
tahun 2025 jumlah penduduk miskin terus berkurang.

Prediksi jumlah angkatan kerja pada akhir tahun 2025 diperkirakan


mencapai 21,5 juta jiwa dengan jumlah penduduk bekerja sebanyak 19 juta jiwa
dan pencari kerja sebanyak 2,5 juta jiwa. Meningkatnya jumlah angkatan kerja
yang merupakan kelompok usia produktif perlu disikapi dengan berbagai upaya
untuk membuka kesempatan kerja yang lebih besar, meningkatkan produktivitas
dan keterampilan tenaga kerja, mengurangi permasalahan perburuhan dalam
rangka mengendalikan jumlah pengangguran yang diprediksi akan semakin besar
di masa mendatang.

1.7.3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Era globalisasi ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi yang sangat pesat dan perubahan paradigma dari keunggulan
berdasarkan sumber daya yang dimiliki (resource-based competitiveness) menjadi
keunggulan berdasarkan pengetahuan (knowledge-based competitiveness). Karena
itu kemampuan suatu daerah untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi salah satu faktor dalam berkompetisi di pasar global dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam rangka peningkatan kemampuan IPTEK, tantangan yang dihadapi


dalam dua puluh tahun mendatang adalah meningkatkan kemampuan IPTEK yang
ditunjang oleh SDM yang berkualitas, peningkatan sarana dan prasarana, serta
pembiayaan menuju masyarakat berbasis pengetahuan, teknologi informasi dan
komunikasi. Selain itu, pembangunan IPTEK 20 tahun mendatang, mengacu pada
nilai-nilai luhur yaitu dapat dipertanggunjawabkan, prima, inovatif dan
berpandangan jauh ke depan.

26
1.7.4. Sarana dan Prasarana

Pada masa yang akan datang, tantangan yang dihadapi dalam


pengembangan sarana dan prasarana wilayah di Jawa Barat adalah meningkatkan
kualitas dan cakupan pelayanan meliputi pengembangan angkutan umum massal
terutama untuk kota-kota yang berpenduduk padat; pengembangan jaringan jalan
yang efektif dan efisien, baik berupa jaringan jalan tol maupun non tol yang
menghubungkan pusat-pusat kegiatan utama dalam skala regional dan lokal;
pengaturan hierarki peran serta fungsi jaringan transportasi yang lebih baik agar
menghasilkan pergerakan yang efisiensi dan efektif; peningkatan pelayanan
bandara-bandara yang telah ada dan mengembangkan bandara baru yang lebih
tinggi kapasitas layanannya untuk menunjang perkembangan kegiatan
perekonomian dan kegiatan-kegiatan lainnya; peningkatan sarana dan prasarana
pelabuhan yang ada dan mengembangkan pelabuhan baru; revitalisasi dan
pengembangan jaringan jalan rel untuk melayani pergerakan dalam kota dan
antarkota; pengembangan infrastruktur penampung air baku, baik yang bersifat
alami maupun buatan untuk meminimalisasi terjadinya bencana banjir dan
kekeringan; peningkatan layanan jaringan irigasi untuk menjamin keberlanjutan
sistem irigasi serta meningkatkan intensitas tanam padi sawah; pengembangan
potensi-potensi energi baru yang terbarukan, seperti mikro hidro, panas bumi,
tenaga uap, tenaga surya, dan angin; pengembangan jaringan listrik pedesaan
dengan memanfaatkan energi listrik alternatif; pengembangan jaringan
telekomunikasi baik yang menggunakan jaringan kabel maupun nirkabel, terutama
pada daerah yang teledensitasnya masih rendah; pengembangan sarana dan
prasarana dasar pemukiman, berupa pengembangan rumah susun, meningkatkan
cakupan pelayanan air bersih, dan sanitasi lingkungan serta pengembangan
pengelolaan sampah yang berskala regional. Tantangan lain yang dihadapi dalam
pengembangan sarana dan prasarana wilayah adalah meningkatkan efisiensi dan
efiktivitas pengelolaan sarana dan prasarana wilayah antara lain dengan
mengoptimalkan kerjasama antara pemerintah dan swasta serta kemampuan
lembaga pengelola.

27
1.7.5. Politik.

Keberhasilan pembangunan politik dapat diukur dari tingkat partisipasi


warga yang meliputi kebebasan politik dan stabilitas politik. Partisipasi warga
menjadi indikator karena menggambarkan esensi penerapan demokrasi dalam tata
kelola pemerintahan. Demokrasi secara substantif menghendaki keterlibatan
secara aktif dan otonom dari seluruh komponen masyarakat, agar aspirasi
masyarakat dapat diketahui secara pasti. Di sisi lain dengan partisipasi masyarakat
kadar legitimasi pemerintah yang berkuasa dapar dipertahankan bahkan
ditingkatkan, karena partisipasi sejalan dengan transparansi dan akuntabilitas.

Tolok ukur partisipasi adalah ketersediaan lembaga-lembaga politik dan


kemasyarakatan seperti jumlah partai politik dan ormas; ketersediaan institusi
mediasi yang merupakan cerminan civil society seperti jumlah organisasi non
pemerintah dan pers; proporsi keterwakilan partai politik di lembaga legislative;
proporsi keterwakilan perempuan di lembaga legislative; tingkat partisipasi
pemberian suara; jumlah unjuk rasa dan pemogokan kerja; serta keikutsertaan
warga dalam berbagai kegiatan dan tingkatan.

Melihat tantangan perubahan yang dihadapi pembangunan Jawa Barat, di-


perlukan kualifikasi pemimpin daerah yang memiliki pengalaman dalam
penyelenggaraan manajemen pemerintahan, memiliki kecerdasan intelektual dan
spiritual untuk menggerakkan tata kelola pemerintahan yang baik dan
pemerintahan yang inovatif dan bebas korupsi – kolusi – dan nepotisme, dan
visioner untuk menggerakkan perubahan dan pembaruan dalam keseluruhan
konteks pembangunan, serta egaliter untuk menggerakkan tata pikir, sikap, dan
tindakan yang mampu menggerakkan proses demokratisasi yang beradab dan
bermuara pada terciptanta kondisi masyarakat yang harmonis. Proses pergantian
kepemimpinan daerah juga mempertimbangkan aspek keadilan dan kesetaraan
gender untuk mencapai keseimbangan antara ketegasan dan kecepatan, serta ke-
cermatan dan ketepatan dalam pengambilan keputusan.

Proses dan mekanisme politik berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi di


masa mendatang adalah terciptanya tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang aman, damai, dan stabil. Karena itu, partisipasi warga dalam

28
kehidupan politik merupakan suatu keniscayaan melalui sistem masyarakat
madani yang egaliter dan terbuka terhadap perubahan. Termasuk keinginan
masyarakat untuk membentuk daerah otonom akan terus bermunculan selama
aspirasi masyarakat belum dapat diakomodir dengan tepat, dan komunikasi antara
pemerintah dan masyarakat mengalami hambatan.

1.7.6. Hukum

Pembangunan hukum dalam kerangka good governance diukur


berdasarkan orientasi pemerintah (government orientation) yang menunjukkan
keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam
kinerja pelayanan publik dengan tolok ukur penegakan hukum/efisiensi yudisial.
Fungsi penegakan hukum diperlukan untuk menunjukkan komitmen pemerintah
dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya. Selain itu,
konsistensi dalam penegakan hukum dapat membantu memulihkan kepercayaan
masyarakat pada pemegang otoritas.

Pembangunan hukum berorientasi pada upaya memenuhi kebutuhan


masyarakat melalui berbagai aturan dan penegakan aturan tersebut guna
melindungi hak asasi manusia dan memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk
pencapaian kondisi tertib sosial kemasyarakatan yang berimplikasi terhadap
pertumbuhan ekonomi, juga berkaitan dengan penegakkan hukum secara
berkeadilan.

1.7.7. Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat

Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat merupakan faktor utama yang


memiliki peran sangat penting dalam menciptakan kondisi yang kondusif dalam
menyelenggarakan pembangunan jangka panjang Jawa Barat. Potensi ancaman
keamanan akan dihadapi dari berlangsungnya friksi dan konflik sosial terkait
dengan menurunnya daya dukung lahan, air, dan lingkungan dalam proses
pembangunan. Juga akibat dari lambannya pencapaian keseimbangan jumlah
penduduk dan lapagan pekerjaan. Ancaman lain yang cenderung meningkan
adalah kejahatan transnasional, mengingat Jawa Barat merupakan jalur mobilitas
orang dan barang yang strategis.

29
Gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat masih berpotensi untuk
muncul, yang dipengaruhi oleh pertumbuhan kriminalitas yang disebabkan masih
besarnya pengangguran, akibat belum seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan
lapangan kerja yang tersedia. Kondisi sosial politik yang rentan masih rentan
terhadap perbedaan pendapat dan etnisitas, serta penegakkan hukum yang tidak
konsisten juga merupakan tantangan dalam mewujudkan tertib sosial di Jawa
Barat.

1.7.8. Aparatur

Aparatur pemerintah memegang peran sangat penting dalam


penyelenggaraan pemerintahan. Kedudukan aparatur pemerintah daerah tidak
hanya untuk menggerakkan manajemen dan organisasi pemerintahan, melainkan
juga dalam keseluruhan konteks demokratisasi. Terkait dengan hal tersebut, maka
perencanaan sumberdaya termasuk di dalamnya penataan struktur organisasi,
penataan kesisteman, dan pembentukan budaya organisasi yang menjunjung tinggi
etika, profesional dan disiplin, khususnya dalam mewujudkan kondisi
pemerintahan yang berorientasi kepada pelayanan.

Bertolak dari pengalaman empirik penyelenggaraan pemerintahan sepanjang


1984-2006 dan tantangan yang dihadapi sampai dengan 2025 adalah struktur
organisasi yang dapat memenuhi kebutuhan daerah, kesisteman yang mampu
menjadi acuan dalam proses administrasi pemerintahan didukung oleh teknologi
informasi dan komunikasi yang dapat dimanfaatkan secara optimal, dan budaya
organisasi yang mendorong peningkatan kinerja aparatur. Birokrasi yang modern
dan mampu menjalankan fungsinya dalam sistem pemerintahan demokratis
merupakan tantangan utama ke depan, yaitu birokrasi yang mampu
memformulasikan kebijakan sesuai dengan keinginan politik dan aspirasi
masyarakat dan dapat mengimplementasikannya secara bertanggungjawab.

1.7.9. Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah

Tantangan jangka panjang yang dihadapi adalah menjaga konsistensi


antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang ke
depan perlu mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lahan serta
kerentanan terhadap bencana alam. Selain itu diperlukan regulasi yang jelas agar

30
tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor. Tantangan lainnya adalah
mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah khususnya antara wilayah di
perkotaan dan perdesaan khususnya yang berada di Selatan Jawa Barat dan
menyeimbangkan Pusat Kegiatan Nasional, Pusat Kegiatan Wilayah dan Pusat
Kegiatan Lokal sehingga dapat berkembang secara merata dan optimal.

Tantangan aspek pola tata ruang adalah penyediaan kebutuhan lahan untuk
kawasan permukiman terutama di kawasan perkotaan dalam kondisi luasan lahan
yang ada sangat terbatas karena adanya kawasan lindung yang tidak boleh
berubah fungsi dan adanya lahan sawah yang juga harus dipertahankan
keberadaannya. Selain itu pengelolaan kawasan perkotaan akan menjadi tantangan
tersendiri dalam mengatur aktivitas perkotaan dan memenuhi penyediaan sarana
dan prasarana yang dibutuhkan dengan tetap memperhatikan prinsip
pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.

1.7.10. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Tantangan besar yang dihadapi Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2025
adalah memulihkan dan menguatkan kembali daya dukung lingkungan dalam pe-
laksanaan pembangunan. Bersamaan dengan itu keterlibatan seluruh potensi
masyarakat untuk melakukan berbagai penguatan bagi terwujudnya perilaku dan
budaya ramah lingkungan serta sadar risiko bencana perlu terus
ditumbuhkembangkan. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dengan
prinsip berkelanjutan menjadi tumpuan bagi upaya peningkatan kualitas
lingkungan hidup ke depan. Pendayagunaan sumber daya alam harus dilakukan
seefektif dan seefisien mungkin, ditopang IPTEK yang memadai sehingga
memberikan nilai tambah yang berarti.

Jawa Barat dengan keanekaragaman potensi sumber daya alamnya tidak


hanya menjadi pengekspor sumber daya alam bernilai rendah dan mengimpornya
kembali dalam bentuk produk bernilai tinggi, melainkan harus menjadi
pengekspor sumber daya alam yang telah diolah dan bernilai tinggi.

Pembiayaan penataan lingkungan merupakan aspek penting yang selama


ini sulit dilaksanakan karena terkait kerja sama dan komitmen antarpihak atau
antar daerah. Penerapan prinsip yang mencemari dan merusak harus membayar,

31
pola role sharing hulu hilir atau pusat-daerah, bagi hasil pajak untuk lingkungan,
dana lingkungan, serta pola pembiayaan pemulihan lingkungan harus mulai
dilakukan. Pengawasan secara berkesinambungan dan penegakan hukum secara
konsisten adalah sasaran dalam rangka pemulihan daya dukung lingkungan lebih
maksimal. Pemahaman risiko bencana harus mulai diintegrasikan pada proses
pembangunan ke depan, guna meminimalisasi risiko dan kerugian yang mungkin
timbul atas hasil – hasil pembangunan yang dicapai.

1.8. Modal Dasar

Modal dasar pembangunan merupakan salah satu kekuatan dan peluang


yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar pembangunan daerah, antara lain :

1. Karakteristik masyarakat Jawa Barat yang religius dan berbudaya adiluhung


mendorong terciptanya kondisi yang kondusif untuk pelaksanaan
pembangunan;
2. Posisi geografis Jawa Barat yang berbatasan dengan ibukota negara
menjadikan Jawa Barat sebagai penyangga DKI Jakarta dan menjadi lintasan
utama arus regional penumpang dan barang Sumatera – Jawa – Bali
merupakan dasar dalam penetapan kebijakan pembangunan daerah di berbagai
aspek;
3. Sumber daya air yang melimpah dan keanekaragaman hayati menjadi potensi
pembangunan yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran
masyarakat;
4. Jumlah penduduk terbesar di Indonesia menjadi sumber daya yang potensial
dan produktif bagi pembangunan daerah;
5. Keragaman budaya Jawa Barat merupakan modal sosial yang akan
mempercepat proses pembangunan;
6. Keamanan dan ketertiban yang relatif stabil akan menjadi daya tarik dalam
peningkatan investasi di Jawa Barat;
7. Ketersediaan sumber daya buatan yang dapat berfungsi sebagai daya tarik bagi
investor dan mempercepat proses pembangunan daerah.

32
BAB II

AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI

II.1. Harmonisasi antar Kelompok Masyarakat dan Pengembangan


Kebudayaan serta Nilai-nilai Luhur

Untuk Kasus di Jawa Barat, kondisi aman dan damai sebenarnya relatif
lebih baik dibandingkan kondisi daerah-daerah di luar Jawa Barat, khususnya
dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di luar Jawa, Sumatera, dan Bali.
Dalam RPJMD 2008-2013, hal ini dinyatakan secara eksplisit melalui keinginan
untuk mengandalkan kearifan local lewat budaya masyarakat yang mumpuni dan
berdaya social tinggi. Pembangunan kebudayaan di Jawa Barat ditujukan untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati
diri dan nilai-nilai budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus
informasi dan pengaruh negatif budaya global. Dengan demikian, arahan
pengembangan kebudayaan yang berlandaskan nilai-nilai luhur yang dicanangkan
dalam RPJMN 2004-2009 dapat diterjemahkan di daerah Propinsi Jawa Barat.
Sekaligus juga dapat diwujudkan adanya peningkatan rasa saling percaya antar
kelompok masyarakat khususnya sub-etnik di Jawa Barat sehingga semangat
promordial sub-etnik tidak terlalu mengkhawatirkan untuk ditengarai sebagai
salah satu masalah dalam pembangunan Jawa Barat, sebagai contoh adalah
maraknya semangat pemisahan sub-etnik pantura di Jawa Barat akibat
ketidakpuasan rasa keterpihakan dalam aspek politik (lihat BOX 1) .
Terlebih lagi, pembangunan seni dan budaya di Jawa Barat sudah
mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap
nilai budaya dan penggunaan bahasa daerah Sunda, Cirebon, Dermayu dan
Melayu Betawi sebagai bahasa ibu masyarakat Jawa Barat. Namun demikan,
upaya peningkatan jati diri masyarakat Jawa Barat seperti halnya solidaritas
sosial, kekeluargaan, penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa masih perlu
terus ditingkatkan. Budaya berperilaku positif seperti kerja keras, gotong royong,
kebersamaan dan kemandirian dirasakan makin memudar. Hal ini menunjukkan

33
perlunya mengembalikan dan menggali kearifan lokal dalam kehidupan
masyarakat.

BOX 1.

Semangat Pemisahan Propinsi Masyarakat Sub-Etnik Pantura Jawa Barat

Wacana pembentukan provinsi Pantura atau provinsi Cirebon, bagi masyarakat


ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan) ibarat api
dalam sekam. artinya, setiap saat, kapan saja, bisa muncul, baik dalam intensitas
rendah, sedang atau bahkan berkobar-kobar.

menguatnya tuntutan pembentukan provinsi Pantura atau provinsi Cirebon


berbarengan dengan dinamika politik seputar pemilihan gubernur (pilgub) Jabar.
kuat terkesan, antara pilgub dengan tuntutan pembentukan provinsi itu terdapat
korelasi langsung dalam hubungan kausalitas sebab-akibat.

Kendati demikian, sempat muncul kontroversi. tidak sedikit tokoh memilih jalan
tengah, namun ada pula yang bersikap skeptis, bahkan menolak dengan alasan
belum siap, selain tidak setuju bila wacana itu hanya karena emosionalitas tidak
terakomodasinya yance dalam pilgub.

Sebagai sebuah wacana, pembentukan provinsi pantura, bagaimanapun tidak


terlepas dari kontroversi. banyak yang setuju, tidak sedikit pula yang menyatakan
sebaliknya, bahkan menganggapnya sebagai impian.

(dirangkum dari Harian Pikiran Rakyat September 2007)

II.2. Pembangunan Peningkatan Kemanan, Ketertiban, Dan Penanggulangan


Kriminalitas

Tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum lainnya masih cukup tinggi.


Di samping itu protes ketidakpuasan terhadap suatu masalah yang mengarah pada
perusakan fasilitas umum seringkali terjadi. Namun secara keseluruhan sikap
masyarakat untuk mendukung terciptanya tertib sosial melalui upaya mewujudkan
ketentraman dan ketertiban cukup baik.

Terkait dengan agenda pembangunan peningkatan kemanan, ketertiban,


dan penanggulangan kriminalitas, sasaran-sasaran yang diinginkan oleh RPJMN

34
2004-2009 memang tidak begitu menggembirakan dari 2004 hingga 2006 (data
terbaru belum dipublikasikan). Angka kejahatan di Jawa Barat pada tahun 2006
meningkat, dari 19.963 kasus pada tahun 2005 menjadi 21.511 kasus pada tahun
2006. Namun demikian, data Polda Jabar menunjukkan bahwa tingkat
penyelesaian kasus kejahatan tahun 2006 menunjukkan peningkatan kinerja
dibandingkan sebelumnya. Pada tahun 2006, penyelesaian mencapai 12.631
kasus, sedangkan tahun 2005 mencapai 11.788 kasus.

Pembangunan Bidang Ketertiban umum dan Ketentraman Masyarakat


selama periode 2004 - 2007 difokuskan pada terwujudnya kesadaran masyarakat
untuk menjaga keamanan masyarakat lingkungan masing-masing; dan
terwujudnya perlindungan masyarakat dari bencana. Capaian kinerja Bidang
Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat selama periode 2004 - 2007 adalah
sebagai berikut :

1. Perkembangan jumlah perlindungan masyarakat (Linmas) selama tahun


2004 - 2007 sebanyak 1.568.947 orang;

2. Meningkatnya kesadaran masyarakat mentaati peraturan daerah;

3. Terkendalinya dan terdeteksinya secara dini gangguan ketertiban dan


ketentraman masyarakat;

4. Terdapatnya informasi/data obyektif mengenai prediksi gangguan


ketertiban dan ketentraman masyarakat pada akhir 2007, serta langkah-
langkah penanggulangannya.

Kondisi-kondisi di atas dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini.

35
Gambar 2.1 Jumlah Pelanggaran Perda di Jawa Barat Tahun 2004 – 2007

12000

10000

8000

6000

4000

2000

0
2004 2005 2006 2007

Sumber: Bapeda Jabar 2008

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran peraturan


daerah oleh masyarakat terus mengalami penurunan, terutama sejak tahun 2004
sampai dengan 2007. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa kesadaran hukum
masyarakat terhadap peraturan perda meningkat sejalan dengan cukup efektifnya
sosialisasi peraturan daerah, sejak proses legislasi, sosialisasi hingga
penerapannya.

Selanjutnya berkaitan dengan gangguan ketentraman dan ketertiban umum


sejak tahun 2004 hingga tahun 2007, klasifikasi gangguannya terlihat pada
gambar berikut ini.

Gambar 2.2 Data Gangguan Trantibum Di Jawa Barat Tahun 2004 - 2007

1800
1600
1400 Ketertiban Umum
1200
1000 Unjuk rasa
800 Kenakalan Remaja
600
400 Pemogokan
200
0 Narkotika
JTP JPTP JTP JPTP JTP JPTP JTP JPTP JUMLAH
2004 2005 2006 2007

36
Dari gambar tersebut memperlihatkan bahwa gangguan ketertiban dan
ketentraman masyarakat yang paling menonjol sepanjang tahun 2003-2008,
muncul dari penyalahgunaan penggunaan narkoba, dengan trend menunjukkan
peningkatan pada setiap tahunnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman
narkoba menjadi ancaman laten yang memerlukan penanganan berkesinambungan
serta terintegrasikan antara aparat ketentraman daerah, yang bekerja sama dengan
perangkat satuan polisi pamong praja, aparat perlindungan masyarakat (LINMAS)
serta lingkungan keluarga masing-masing. Sedangkan untuk tindak kriminalitas,
gambarannya terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Data Indeks Kriminalitas Provinsi Jawa Barat

DATA INDEKS KRIMINALITAS PROV JABAR TAHUN


2003 - 2007

4500
4000
3500
3000
TAHUN 2003
2500
TAHUN 2004
2000
TAHUN 2005
1500
TAHUN 2006
1000
TAHUN 2007
500
0
TIPU

BUNUH
NARTIK
CURAN
CRT

CRS

GELAP

UNRAS
CUR KAY
KEBAKAR
ANIAYA

Sumber: Bapeda Propinsi Jabar, 2008

Diagram tersebut memperlihatkan bahwa tindak pidana kriminal yang


paling menonjol pada kurun waktu 2003 - 2007 adalah pada jenis pencurian
kendaraan bermotor, diikuti oleh pencurian, penipuan, narkotika, penganiayaan
serta pemerasan. Kondisi ini tidak lepas dari kondisi perekonomian masyarakat
yang mengalami fluktuasi sehingga menimbulkan peningkatan pengangguran,
yang mendorong tumbuhnya tindak pidana. Walaupun demikian secara umum
penanganan tindak pidana kriminalitas di provinsi Jawa barat, masih dalam

37
konstelasi terkendali oleh aparat penegak hukum kepolisian daerah dibantu oleh
masyarakat.

Gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat masih berpotensi untuk


muncul, yang dipengaruhi oleh pertumbuhan kriminalitas yang disebabkan masih
besarnya pengangguran, akibat belum seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan
lapangan kerja yang tersedia. Kondisi sosial politik yang rentan masih rentan
terhadap perbedaan pendapat dan etnisitas, serta penegakkan hukum yang tidak
konsisten juga merupakan tantangan dalam mewujudkan tertib sosial di Jawa
Barat.

Untuk data kejahatan internasional, kejahatan di laut tidak tersedia data


yang valid, namun untuk kejahatan di hutan, Jawa Barat memiliki catatan yang
cukup mengkhawatirkan dimana jumlah illegal logging meningkat tajam di awal-
awal reformasi. Kerusakan hutan pun makin menjadi sejak otonomi daerah
diterapkan pada tahun 2002. Wilayah Priangan yakni Garut, Tasikmalaya, Banjar,
dan Ciamis merupakan daerah dengan kasus pembalakan terbanyak. Namun
sebagian besar telah ditangani dengan penegakan hukum dan program
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Sebagai contoh, perambahan
hutan di KPH Ciamis seluas 2.800 ha telah diatasi oleh Operasi Hutan Lestari
Lodaya 2008, serta perambahan KPH Garut seluas 2.678 ha dan KPH
Tasikmalaya seluas 1.928 ha saat ini dalam penanganan operasi persuasif dan
persiapan rehabilitasi hutan. Untuk data separatisme di Jawa Barat, sepertinya
data yang ada tidak dapat mewakili signifikansi permasalahan keamanan dan
ketertiban di Jawa Barat karena frekwensi dan gaung yang tidak relevan.

Masalah agenda Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara dan


Pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional juga tidak
relevan dengan urusan wajib dan pilihan dari propinsi sesuai dengan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

38
BAB III
AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL DAN
DEMOKRATIS

III.1. Pembenahan Sistem Hukum, Politik Hukum dan Penghapusan


Diskriminasi

Untuk agenda mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis,


Pembangunan Bidang Hukum di propinsi Jawa Barat pada periode 2003 s/d 2007
diarahkan pada Terwujudnya perlindungan Hak Asasi Manusia; Terwujudnya
keserasian produk hukum antara Pusat, Provinsi serta Kabupaten/kota; dan
Terwujudnya inisiatif DPRD dalam pengusulan rancangan Perda. Selama periode
tersebut capaian kinerja pembangunan Bidang Hukum antara lain :

1. Meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap HAM, yang dapat diukur


dari:
a. Terbentuknya kelembagaan yang memfasilitasi upaya peningkatan dalam
perlindungan HAM, melalui pembentukan Panitia Pelaksana RANHAM
tingkat Provinsi dan di 25 kabupaten/kota.
b. Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat dan Hak Azasi Manusia
(HAM) terutama dalam bidang lingkungan hidup dan pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga, antara lain ditandai dengan gerakan
penghijauan di permukiman yang bersifat swadaya serta kesadaran untuk
melaporkan berbagai tindak kekerasan yang terjadi di rumah tangga
melalui aparat penegak hukum.
2. Jumlah produk hukum daerah (Perda, Pergub, Kepgub dsb) yang telah
dihasilkan sepanjang tahun 2003 s/d 2007 mencapai 4.175 buah, dengan
perincian Perda sebanyak 65 buah, Peraturan Gubernur sebanyak 350 buah,
Keputusan Gubernur sebanyak 3.756 buah dan Instruksi Gubernur sebanyak 4
buah.

Secara diagram jumlah produk hukum yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar
berikut ini :

39
Gambar 3.1 Jumlah Produk Hukum Daerah di Jawa Barat Yang Dihasilkan
Tahun 2003 s/d 2007

INGUB, 4
PERDA, 65
PERGUB, 350
PERDA
PERGUB
KEPGUB

INGUB

KEPGUB, 3756

3. Jumlah Produk Hukum daerah yang diterbitkan Provinsi Jawa Barat dan
dibatalkan Pemerintah sebanyak 4 buah yakni Perda bidang retribusi daerah.
4. Dalam rangka menjaga keserasian produk hukum yang diterbitkan oleh
pemerintah kabupaten/kota dengan peraturan perUndang-undangan yang lebih
tinggi, sesuai perintah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, sejak tahun 2004 telah dilaksanakan evaluasi terhadap
raperda APBD, pajak daerah, retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota
dengan jumlah keseluruhan mencapai 29 buah.

40
Gambar 3.2 Hasil Evaluasi Produk Hukum Daerah Kabupaten/Kota
di Jawa Barat Tahun 2004 s/d 2007

60
53
50 50 51
50
APBD
Murni/Perubahan
40
Pajak Daerah
30
30
Retribusi Daerah
20 15
Tata Ruang Daerah
10
10
3 3
00 00 0 1 1
0
2004 2005 2006 2007

5. Jumlah perda inisiatif DPRD yang tersusun sebanyak 1 buah yakni Perda
tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat.

III.2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kekerasan Pada Anak-
Anak

Untuk agenda penghormatan, pemenuhan, dan penegakan atas hokum dan


pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM), kasus di Jawa Barat untuk pelanggaran
HAM relative paling sedikit secara catatan resmi pemerintah. Dua kasus
pelanggaran HAM di Propinsi Jawa Barat yang masih berada dalam taraf
penyelesaian adalah: (i) Kasus warga Rumpin Bogor, Jawa Barat versus TNI
Angkatan Udara dan (ii) Kasus petani Lengkong, Sukabumi, Jawa Barat versus
PT Tugu Cimenteng (perkebunan sawit).

Untuk kasus korupsi, catatan resmi pemerintah khususnya data dari Kejati
Jawa Barat menunjukkan adanya kemajuan walaupun dirasakan lambat oleh
sebagian kalangan masyarakat. Untuk tahun 2007 Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
memang masih menunggak penyelesaian dua kasus korupsi dari total 6 kasus
utama, yaitu kasus dana bantuan bencana dan pembangunan Islamic Center di
Kabupaten Purwakarta senilai Rp 3 miliar. Sedangkan empat kasus lain sudah

41
diselesaikan dan dinyatakan ditutup, antara lain pemeriksaan Kaplinggate yang
diambil alih Kejaksaan Agung (Kejagung) dan kasus korupsi pembangunan
Stadion Jalak Harupat yang dinyatakan dihentikan penyidikannya. Target Kejati
Jabar sudah mendekati baik. Ini didasarkan pada target yang ditetapkan Kejagung.
Kejagung hanya menetapkan minimal lima kasus terselesaikan oleh kejati dan
kejari. Hal yang belum bisa dipenuhi targetnya oleh banyak Kejati dan Kejari di
daerah-daerah propinsi lain. Sebagai data pembanding, memang agak terlalu
timpang bila membandingkan angka resmi dari Kejati ini dengan kasus yang
ditenggarai mengandung unsure korupsi baik menurut versi Indonesia Corruption
Watch (ICW). Adapun lembaga legislatifnya menjadi terkorup kedua versi
Komisi Pemberantasan Korupsi.

III.3. Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta


Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

Salah satu misi pembangunan nasional dalam Rencana Pembangnan


Jangka menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004 – 2009 adalah mewujudkan
Indonesia yang adil dan demokratis. Ntuk dapat mewujudkannya terdapat
beberapa masalah, di antaranya adalah kesenjangan pencapaian pembangunan
antara laki-laki dan perempuan serta masih rendahnya kualitas hidup dan peran
serta perempuan dalam pembangunan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka
telah ditetapkan sasaran pembangunan yang salah satunya adalah menurunnya
kesenjangan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan yang
diukur oleh angka Gender-related Development Index (GDI) dan Gender
Empowerment Measurement (GEM).

Berkenaan dengan jender, kebijakan yang berpihak terhadap peningkatan


peran kaum perempuan di seluruh sektor dan aspek pembangunan telah dilakukan.
Namun upaya pengarusutamaan jender ini masih perlu lebih diaktualisasikan di
segala bidang. Pemberdayaan perempuan tercermin dari Indeks Pemberdayaan
Gender dan Indeks Pembangunan Gender yang meliputi angka partisipasi
perempuan dalam parlemen, posisi manajer, staf teknis, dan tingkat partisipasi
angkatan kerja. Pada tahun 2006, Indeks Pemberdayaan Gender Jawa Barat

42
mencapai 54,4 sedangkan untuk angka nasional 62,2 dan Indeks Pembangunan
Gender 60,8 sedangkan angka nasional 65,7.

Kualitas hidup perempuan sangatlah penting karena menentukan kualitas


hidup generasi mendatang. Secara umum, kualitas hidup perempuan yang rendah
berkaitan erat dengan angka kematian bayi dan angka kematian ibu.

III.3.1 Politik

Keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif semakin besar. Bila


pada hasil Pemilu 1999 ada beberapa kabupaten/kota yang tidak terwakili maka
pada hasil Pemilu 2004 semua kabupaten/kota telah memiliki anggota legislatif
perempuan walaupun belum mencapai kuota 30%. Kualitas kehidupan demokrasi
pun dirasakan lebih baik, terlihat dari tingginya kesadaran masyarakat pemilih
dalam Pemilu 2004 (78,10% untuk pemilih laki-laki dan 81,68% untuk pemilih
perempuan).

III.3.2. Pendidikan

Pendidikan merupakan syarat utama pembangunan kapabilitas dasar


manusia. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal untuk
penggerak pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
disamping Sumber Daya Alam. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan
manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman.
Pendidikan merupakan elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial-
ekonomi masyarakat.

Bagi perempuan, pendidikan tinggi akan memberikan dampak positif,


yaitu perempuan diharapkan mampu menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas dan berdaya guna untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarga,
membebaskan perempuan dari belenggu budaya yang cenderung menguntungkan
laki-laki, dan dapat melahirkan generasi yang lebih berkualitas.

43
Terdapat 2 indikator utama dalam pendidikan, yaitu Angka Melek Huruf
(AMH- literacy rate) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS – participation rate for
school age population).

Dewasa ini pembangunan pendidikan di Provinsi Jawa Barat relatif terus


membaik. Hal ini ditunjukkan oleh semakin meningkatnya persentase penduduk
15 tahun ke atas yang melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

III.3.3. Angka Melek Huruf (AMH)

AMH merupakan ukuran terpenting dari indikator pendidikan.


Kemampuan membaca sangatlah penting karena dengan kemampuan ini
seseorang akan lebih mudah menerima pembelajaran/pembaharuan dan dalam
menyerap maupun menyampaikan informasi, juga membantu kemudahan
berkomunikasi. Makin rendah persentase penduduk yang buta huruf menunjukkan
keberhasilan program pendidikan, sebaliknya makin tinggi persentase penduduk
yang buta huruf mengidentifikasikan kurang berhasilnya program pendidikan.
Rendahnya tingkat pendidikan dan ketidakmampuan membaca dan menulis
memberi andil terhadap keterbelakangan dan peningkatan penduduk miskin.
Mereka tidak dapat bersaing dalam mencari pekerjaan karena memiliki pilihan
pekerjaan yang sangat terbatas. Menurunnya angka buta huruf di Jawa Barat
mengidentifikasikan adanya keberhasilan program pembangunan dalam bidang
pendidikan.

AMH di provinsi Jawa Barat pada tahun 2003 sebesar 93,60, tahun 2004
sebesar 93,96, dan pada tahun 2005 menjadi 94,52. Angka penduduk berusia 10-
44 tahun yang buta huruf/aksara mengalami peningkatan dari 562.837 orang pada
tahun 2005 menjadi 1.642.927 orang pada tahun 2006.

Sedangkan berdasarkan data tahun 2007, Angka Buta Huruf Total adalah
5,34 %, dengan perincian laki-laki 3,10% dan perempuan 8,74%. Distribusi
penduduk miskin dalam hal kemampuan baca tulis sampai dengan tahun 2007
masih didominasi kaum ibu. Data Suseda 2007 memperlihatkan angka buta huruf
perempuan masih lebih tinggi daripada angka buta huruf laki-laki. Ini merupakan

44
akibat dari fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di mana secara
umum tingkat pendidikan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pendidikan perempuan. Berdasarkan hasil Suseda 2007, penduduk usia 10 tahun
ke atas yang buta huruf (tidak dapat membaca huruf latin atau huruf lainnya)
sekitar 2,079 juta orang (atau sebesar 5,34 persen). Komposisinya terbagi atas
buta huruf lakilaki sebanyak 0,622 juta orang (3,10 persen) dan perempuan
sebanyak 1,456 juta orang (8,74 persen). Angka buta huruf (total) menurut hasil
Suseda tahun 2007 sebesar 5,34 persen. Hal yang memprihatinkan adalah
terjadinya peningkatan persentase buta huruf perempuan sebanyak 2,19 poin. Ini
menunjukkan kecenderungan masyarakat, terutama yang biasa terjadi di daerah
perdesaan, untuk mengutamakan pendidikan bagi anak laki-lakinya dibanding
perempuan belum mengalami pergeseran.

III.3.4. Angka Partisipasi Sekolah

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan formal terlihat dalam Angka


Partisipasi Kasar (APK) yang memperlihatkan proporsi anak sekolah pada jenjang
pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai.

Berdasarkan hasil Suseda 2007 menunjukkan pada kelompok usia 7 – 12


tahun, APS laki-laki sebesar 95,24 persen, lebih rendah dibandingkan perempuan
yang sebesar 96,17 persen, demikian pula pada kelompok usia 13 – 15 tahun, APS
laki-laki sebesar 77,25 persen sedangan APS perempuan sebesar 79,83 persen.
Pada kelompok usia 16 – 18 tahun, APS perempuan 37,35 persen, lebih rendah
dibandingkan APS laki-laki (41,27 persen).

Tampak bahwa tingkat pendidikan laki-laki Jawa Barat lebih tinggi


dibanding dengan tingkat pendidikan perempuan. Kondisi ini tercermin dari
kecilnya persentase penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang menamatkan
pendidikan sekolah menengah atas hingga pendidikan tinggi. Sedangkan
persentase penduduk perempuan yang sekolah menumpuk pada jenjang SLTP ke
bawah. Sebanyak 63,84 persen penduduk perempuan menamatkan pendidikan di
jenjang SD ke bawah, sedangkan laki-laki yang menamatkan pendidikan SD ke

45
bawah sebesar 58,98 persen. Sosialisasi bahwa pendidikan itu penting baik bagi
laki-laki maupun perempuan masih perlu terus disuarakan.

Tabel 3.1 Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan

Sumber: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat

Sumber: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat

46
Sumber: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat

Berdasarkan grafik di atas tampak bahwa pada tingkat SD, nilai APK
menunjukkan angka di atas 100%, maka nilai APK untuk jenjang selanjutnya
menunjukkan angka yang rendah (pada tahun 2006, APK SMP sebesar 60,96%
sedangkan APK SMA dan SMK sebesar 37,76%). Hal yang menggembirakan
adalah angka putus sekolah pada setiap jenjang menunjukkan peningkatan.

Gambar 3.3 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Jenjang Pendidikan


dan Jenis Kelamin (2007)

47
III.3.5. Rata-rata Lama Sekolah

Rata-rata lama sekolah merupakan salah satu ukuran kualitas sumberdaya


manusia yang menggambarkan besarnya daya serap pendidikan terhadap
penduduk usia sekolah dan kemampuan social ekonomi masyarakat, khususnya
terhadap pendidikan dasar dan menengah. Karena merefleksikan output kondisi
social ekonomi, maka besaran rata-rata lamanya sekolah akan sulit untuk berubah
dalam waktu singkat. Terdapat peningkatan rata-rata lama sekolah dari tahun-ke
tahun, pada tahun 2003 rata-rata 7,2 tahun, tahun 2004 rata-rata 7,37 tahun, 2005
rata-rata 7,46 tahun dan pada tahun 2006 menjadi 7,74 tahun. Hal ini
menunjukkan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan semakin meningkat

Kendala utama dalam upaya pembangunan pendidikan saat ini adalah


kemiskinan dan keterbelakangan. Bagi keluarga yang tidak mampu, biaya
pendidikan anak tidak dapat dipenuhi dan cenderung mengarahkan anak-anaknya
untuk bekerja membantu perekonomian rumahtangga. Karena mereka
beranggapan bahwa pendidikan tidak menjamin bisa memperoleh kehidupan yang
lebih layak, terutama untuk anak perempuan.

Pada tahun 2007, persentase penduduk usia 10 tahun ke atas di Jawa Barat
yang berpendidikan SD ke bawah masih cukup besar (61,34 persen). Sedangkan
penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP ada sebanyak 16,48 persen. Hal
yang menggembirakan adalah adanya peningkatan persentase penduduk yang
mampu menamatkan pendidikan di tingkat SMU/K maupun perguruan tinggi.
Sumber yang sama menunjukkan persentase penduduk 10 tahun ke atas yang
tamat SMU/SMK sebesar 17,15 persen; dan sebanyak 5,03 persen mampu
menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi).
Sebagai ilustrasi, dari setiap orang penduduk 10 tahun ke atas di Jawa Barat, 50
orang di antaranya ternyata berkesempatan menyelesaikan pendidikan tingginya
di berbagai level pendidikan antara lain Diploma I, Diploma II, Diploma III,
Sarjana, Doktor, hingga program Master.

48
Tabel 3.2 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Jenjang
Pendidikan yang Ditamatkan Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007

LAKI-
PENDIDIKAN LAKI PEREMPUAN TOTAL
Tidak tamat 21.73 24.9 26.27
SD/MI 37.29 38.94 38.07
SLTP/sederajat 16.34 16.63 16.48
SMU/sederajat 12.55 10.92 11.76
SMK 6.7 3.99 5.38
DI/DII 0.66 1.18 0.81
DIII 0.36 1.32 1.34
DIV/Universitas 3.4 2.12 2.78

Hasil Suseda 2007

Terjadinya peningkatan persentase penduduk Jawa Barat yang mampu


menyelesaikan SMU/K ke atas menunjukkan animo masyarakat terhadap
peningkatan kemampuan sumber daya manusia semakin baik. Di samping
realisasi pembangunan sarana dan prasarana penunjang pendidikan yang lambat
laun mulai terlihat hasilnya. Meski demikian, banyak dikeluhkan oleh masyarakat
mengenai biaya pendidikan yang semakin tinggi dan semakin sulit dijangkau oleh
sebagian masyarakat Jawa Barat. Dan hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
pendidikan diutamakan untuk laki-laki terlebih dahulu.

III.3.6. Tenaga Kerja


Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan indikator ketenagaan
sekaligus indikator ekonomi makro yang digunakan untuk melihat tingkat
perekonomian suatu negara. Angka penggangguran pada perempuan lebih tinggi
daripada laki-laki. Berdasarkan data Bapeda dan BPS pada tahun 2004 didapatkan
TPT pada laki-laki 9,67 dan perempuan 18,54 dengan total 12,25 sedangkan pada
tahun 2005 didapatkan TPT pada laki-laki 9,38 dan perempuan 18,08 dengan total
11,91.
Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) menurut jenis kelamin di Jawa Barat
lebih tinggi terjadi pada laki-laki. Berdasarkan data Bapeda dan BPS pada tahun
2004 didapatkan TKK pada laki-laki 90,33 dan perempuan 81,46 dengan total

49
87,75 sedangkan pada tahun 2005 didapatkan TPT pada laki-laki 90,62 dan
perempuan 81,92 dengan total 88,09.
Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Daerah, jumlah pekerja tidak dibayar
pada perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Data tahun 2005
didapatkan jumlah pada laki-laki 2,48% dan perempuan 20,63%, sedangkan data
tahun 2007 didapatkan jumlah pada laki-laki 3,67% dan perempuan 24,02%.
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat diskriminasi dalam hal
pekerjaan, di mana kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
masih didominasi oleh laki-laki. Kesempatan kerja pada umumnya lebih terbuka
lebar bagi laki-laki dibandingkan perempuan, karena sifat pekerjaan yang sesuai
untuk perempuan pada umumnya lebih spesifik dan tingkat pendidikan perempuan
lebih rendah dibandingkan laki-laki.

III.3.7. Kekerasan Pada Anak

Lembaga Perlindungan Anak Daerah Jawa Barat mencatat selama tahun


2007, terdapat 3.800 kasus kekerasan dan perdagangan anak asal Jawa Barat.
Sedangkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Institut Perempuan mencatat,
dalam rentang waktu antara Januari-Juli 2007, terdapat 12 kasus perdagangan
manusia yang menimpa 43 korban asal Jawa Barat dan sebanyak 29 orang di
antaranya adalah anak-anak.
Pengadilan Negeri Bandung mencatat, pada tahun 2004 terjadi 82 kasus
tindak pidana anak, sedangkan tahun 2007 terdapat 48 kasus dan hingga Juni 2008
terdapat 20 kasus. Jawa Barat sudah memiliki perda tentang pencegahan dan
penanganan perdagangan orang, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap
anak-anak. Perda tersebut telah disahkan oleh DPRD Jawa Barat pada tanggal 23
Juni 2008, tinggal proses penyusunan peraturan teknis oleh Gubernur Jawa Barat.

III.4. Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah


III.4.1. Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Pusat
dan Daerah
Pada tahun 2007, kegiatan penyusunan perda dianggarkan untuk
menyusun 13 (tiga belas) rancangan peraturan daerah (LKPJ Gubernur Akhir

50
Tahun Anggaran 2007). Dalam pelaksanaannya, 1 (satu) raperda telah ditetapkan
menjadi perda, yaitu Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan
dan Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Adapun 12 (dua belas) raperda yang
telah dibahas bersama Panitia Legislasi DPRD Provinsi Jawa Barat, meliputi:
1. Perubahan atas Perda No. 16 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan
Laboratorium Kebumian.
2. Perubahan atas Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan
Kesehatan.
3. Retribusi Jasa Pengujian Penyakit Hewan, Bahan Asal Hewan dan Mutu
Pakan/Bahan Baku Pakan.
4. Retribusi Jasa Pelayanan Industri Kecil Menengah.
5. Peredaran Hasil Hutan.
6. Taman Hutan Raya.
7. Pengelolaan Barang Milik Daerah.
8. Penyelenggaraan Kepariwisataan.
9. Penyelenggaraan Pendidikan.
10. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa
Barat Tahun 2005-2025.
11. Irigasi.
12. Pengelolaan Air Tanah.
Pembahasan ke-12 raperda tersebut, sesuai Surat Pimpinan DPRD
Provinsi Jawa Barat No. 188.34/3061.Set-DPRD tanggal 12 Desember 2007
dilaksanakan pada Tahun Sidang 2008. Tidak tertuntaskannya pembahasan ke-12
raperda tersebut di DPRD, antara lain disebabkan adanya pembahasan 6 (enam)
raperda tentang penyertaan modal daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 6
(enam) Badan Usaha Milik Daerah, yang merupakan raperda di luar Program
Legislasi Daerah, namun bernilai strategis karena dapat berdampak pada
pembatalan Peraturan Daerah tentang APBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.
Enam raperda tentang penyertaan modal daerah tersebut merupakan tindak lanjut
dari hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri terhadap Perda tentang APBD Provinsi
Jawa Barat Tahun 2007 dan penjabarannya. Pembahasan ke-12 raperda tersebut

51
dilanjutkan kembali pada tahun 2008 bersama dengan 20 (dua puluh) raperda
lainnya yang telah diprogramkan sebelumnya.
Jumlah produk hukum daerah, dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda),
Peraturan Gubernur (Pergub), Keputusan Gubernur (Kepgub), dan lain-lain yang
telah dihasilkan sepanjang tahun 2003-2008 mencapai 4.175 buah, dengan
perincian: Perda sebanyak 65 buah, Pergub sebanyak 350 buah, Keputusan
Gubernur sebanyak 3.756 buah, dan Instruksi Gubernur sebanyak 4 buah.

Gambar 3.4 Jumlah Produk Hukum Daerah di Jawa Barat yang dihasilkan
Tahun 2003-2008

4000 3756
3500
3000
2500
2000
1500
1000
350
500 4 65
0
Ingub Perda Pergub Kepgub

Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Jumlah produk hukum daerah yang diterbitkan Provinsi Jawa Barat dan
dibatalkan Pemerintah pusat sebanyak 4 (empat) buah, yakni perda-perda terkait
dengan bidang retribusi daerah. Menyikapi pembatalan Pemerintah Pusat terhadap
perda-perda yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat melakukan kegiatan evaluasi produk hukum, antara lain yang
dilakukan pada tahun 2007 terhadap 6 (enam) peraturan daerah, yakni:
1. Perda No. 20 Tahun 2001 tentang Peredaran Hasil Hutan di Jawa Barat.
2. Perda No. 25 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Hewan, Bahan Asal
Hewan dan Ransum Makanan Ternak.
3. Perda No. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Perhubungan.
4. Perda No. 13 Tahun 2000 tentang Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat.

52
5. Perda No. 15 Tahun 2000 tentang Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat.
6. Perda No. 16 Tahun 2000 tentang Lembaga Teknis Provinsi Jawa Barat.
Di antara perda yang dievaluasi tersebut terdapat Perda No. 20 Tahun 2001
tentang Peredaran Hasil Hutan di Jawa Barat dan Perda No. 25 Tahun 2001
tentang Pemeriksaan Hewan, Bahan Asal Hewan dan Ransum Makanan Ternak
yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai penyikapan atas pembatalan
perda tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melakukan upaya untuk
menjamin tetap berlangsungnya pelayanan kepada masyarakat tanpa melakukan
pemungutan, konsultasi kepada Departemen Dalam Negeri dan Departemen
Teknis, serta mengagendakan kembali pembahasan kedua perda bidang retribusi
daerah tersebut dalam Program Legislasi Daerah Tahun 2007.
Namun, sehubungan dengan padatnya jadwal kerja DPRD, pembahasan
kedua raperda bidang retribusi daerah tersebut baru selesai dalam tahapan Panitia
Legislasi dan akan dilanjutkan dalam tahun sidang 2008. Berkaitan dengan PP
No. 41 Tahun 2007, pembahasan ketiga raperda terkait organisasi perangkat
daerah dilakukan pada tahun sidang 2008 dan sekarang telah disahkan menjadi
perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, perda tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat DPRD, perda tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Daerah, serta perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Teknis Daerah.
Dalam rangka menjaga keserasian produk hukum yang diterbitkan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, sesuai perintah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
sejak tahun 2004, telah dilaksanakan evaluasi terhadap Raperda APBD, pajak
daerah, retribusi daerah, serta tata ruang kabupaten/kota dengan jumlah
keseluruhan mencapai 292 buah.
Untuk menyelesaikan masalah ketidaksesuaian perda kabupaten/kota
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, upaya yang telah
dilakukan adalah:
1. Membentuk perda dan petunjuk pelaksanaan mengenai penyusunan perda
yang di dalamnya mengatur program legislasi daerah serta penguatan
peran Panitia Legislasi DPRD.

53
2. Melaksanakan capacity building sumber daya aparatur legal drafter dan
pengacara daerah.
3. Membangun, menegakkan, dan mengembangkan pemberian reward and
punishment secara tegas dan adil serta meningkatkan koordinasi dengan
aparat penegak hukum.
4. Membangun networking dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan antar susunan pemerintahan serta meningkatkan kerjasama
dengan perguruan tinggi dalam penyusunan naskah akademik.
5. Mengembangkan konsultasi publik yang menempatkan masyarakat
sebagai subyek hukum yang berhak menyampaikan pendapat sebagai
wahana public sphere dalam menjaring aspirasi masyarakat.
Dalam kerangka regulasi daerah, DPRD Provinsi Jawa Barat, telah
menginisiasi penyusunan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Penyandang Cacat, sehingga Jawa Barat tercatat sebagai provinsi
kedua yang mengatur secara khusus hak-hak para penyandang cacat di Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari penetapan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2006
tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat, Pemerintah Provinsi
telah menerbitkan lembaran daerah khusus dalam huruf braille, serta melengkapi
peraturan daerah dimaksud dengan petunjuk pelaksanaannya. Hal tersebut telah
mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS-HAM).

III.4.2. Kerjasama Antarpemerintah Daerah


Sebagai bagian dari program pemantapan otonomi daerah dan kerjasama
daerah, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan 3 (tiga) sasaran capaian
program tersebut, yakni:
1. Tersusunnya Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi seluruh perangkat
daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
2. Terwujudnya administrasi pemerintahan yang efektif dan efisien.
3. Terwujudnya pengembangan kerjasama antardaerah.

54
Dalam pelaksanaan program tersebut selama kurun waktu 2003-2007,
telah terealisasi capaian kinerja pada tingkat program yang ditandai oleh
indikator:
1. Tersusunnya 11 (sebelas) kebijakan SPM untuk kabupaten/kota di Jawa
Barat dan 5 (lima) dasar kebijakan SPM untuk Pemerintah Provinsi, yang
meliputi bidang kesehatan, pendidikan, tenaga kerja dan transmigrasi,
koperasi dan usaha kecil dan menengah serta penanaman modal. Selain
itu, Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) telah diterapkan kepada Unit
Kerja Pelayanan Publik (UKPP) dalam menerapkan klasifikasi dan
kualifikasi pelayanan yang berada pada UKPP unggulan sebagai
barometer terhadap kualitas kinerja pelayanan publik.
2. Terselenggaranya kewenangan daerah provinsi berdasarkan PP No. 25
Tahun 2000, yang kemudian diperbaharui untuk menindaklanjuti PP No.
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah dengan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota. Pada tahun 2008, disahkan perda tentang Urusan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang berisi pengakuan terhadap 26 urusan
wajib dan 8 urusan pilihan.
3. Terselenggaranya kerjasama antardaerah sebanyak 43 buah, kerjasama
dengan pihak ketiga sebanyak 35 buah, dan kerjasama dengan pihak luar
negeri sebanyak 24 buah, yang dilaksanakan untuk mendukung
pengembangan 6 (enam) core business (bidang pertanian, kelautan,
kepariwisataan, manufaktur, infrastruktur, dan pengembangan sumber
daya manusia), serta common goals. Secara khusus dalam kerjasama
bidang kepariwisataan daerah telah dilakukan satu kesepakatan
(Memorandum of Understanding) Pengembangan Pariwisata
Berkelanjutan di Taman Nasional Gunung Pangrango (TNGP) melalui
Keputusan Bersama No. B. 06/Dep.VII/LH/07/2004 antara Bupati Bogor,
Sukabumi, dan Cianjur dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Departemen Kehutanan RI yang juga diketahui oleh Gubernur Jawa Barat
dan Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat. Demikian pula untuk model
pariwisata berkelanjutan di TNGP telah mendapat dukungan dari

55
Kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi serta terbentuknya 4 (empat)
desa model konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat di kawasan
penyangga TNGP yang berada di 3 kabupaten.
Kerjasama lainnya yaitu:
1. Memfasilitasi dalam penyelesaian konflik antara Kabupaten Bogor dan
Kota Bogor dalam masalah trayek jurusan terminal Laladon dan
Bubulak sehingga menghasilkan kesepakatan bersama.
2. Memfasilitasi penyelesaian konflik antara Pemerintah Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor mengenai aset tanah dan bangunan ex kantor
Departemen Tenaga Kerja di Jalan Dedali Kota Bogor yang disepakati
bahwa kepemilikan akan mengacu pada dokumen Pemerintah Provinsi
Jawa Barat (di Biro Perlengkapan).
3. Memfasilitasi kesepakatan penyerahan aset Pemerintah Provinsi Jawa
Barat kepada Pemerintah Kota Depok berupa tanah di Kecamatan
Cimanggis yang semula disyaratkan dengan tukar guling.
4. Memfasilitasi penyelesaian konflik batas wilayah antara Kota Depok
dengan Kabupaten Bogor di Pasar Citayam Kecamatan Bojong Gede
sehingga menghasilkan kesepahaman batas wilayah masing-masing.
5. Memfasilitasi dan mediasi penyelesaian masalah rehabilitasi bangunan
Sekolah Dasar (SD) di lingkungan perkebunan di Kecamatan Cempaka
yang diusulkan oleh masyarakat ke Kabupaten Cianjur selama 3 (tiga)
tahun berturut-turut usulan tersebut tidak diakomodir, dan telah
berhasil direalisasikan.
6. Memfasilitasi penyelenggaraan kerjasama di wilayah perbatasan
terutama dengan Provinsi DKI Jakarta dan Banten dalam Forum BKSP
Jabodetabekjur.
7. Terdapatnya kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat
dengan Provinsi Shandong RRC untuk mengembangkan kerjasama di
berbagai bidang yang potensial dalam kerangka kerjasama sister
province.
Dalam rangka penyusunan kebutuhan kerjasama pemerintahan tersebut,
telah ditetapkan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang

56
Pedoman Kerjasama Daerah dengan Pihak Luar Negeri dan Keputusan Gubernur
Jawa Barat No. 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Kerjasama Daerah dengan Pihak
Ketiga.

Gambar 3.5 Kerjasama yang telah Dilaksanakan di Jawa Barat Tahun 2003-
2007

24 Kerjasama
43 Daerah

35 Pihak Ketiga

Pihak Luar Negeri

Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Meskipun kerjasama daerah dan kerjasama dengan pihak lain telah banyak
dilakukan, namun masih terdapat perbedaan pemahaman dalam menafsirkan
ketentuan pelaksanaan regulasi otonomi daerah maupun pelaksanaan
kewenangan/urusan, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, terutama
berkaitan dengan ketentuan pelaksanaan dari kementerian sektoralnya.
Inkonsistensi peraturan perundang-undangan juga menjadi penyebab belum
terbentuknya kesamaan persepsi tentang regulasi pelaksanaan kerjasama daerah.
Untuk menangani permasalahan tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
meningkatkan konsultasi, koordinasi, dan menyampaikan rekomendasi kepada
Pemerintah Pusat, melalui Departemen Dalam Negeri maupun melalui forum-
forum asosiasi pemerintah provinsi tentang pelaksanaan petunjuk teknis
penyelenggaraan urusan/kewenangan pemerintahan. Sebagai contoh, melalui
Forum Kerjasama MPU tercapai kesepakatan program kerjasama antardaerah,
serta tersedianya rekomendasi daerah dalam forum APPSI untuk disampaikan
kepada Pemerintah Pusat berkenaan dengan permasalahan dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Selain itu, kegiatan capacity building bagi aparatur pengelola

57
kerjasama di provinsi dan kabupaten/kota juga ditingkatkan dalam rangka
menambah kapabilitas dan profesionalisme di samping meningkatkan koordinasi
antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota.

III.4.3. Kelembagaan Pemerintah Daerah


Sebagai penjabaran dari ketentuan yang termuat dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan bagi
pemerintah daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik daerahnya, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat
pada tahun 2008 melakukan penataan kelembagaan pemerintah daerah. Upaya ini
bukan merupakan hal yang baru karena pada tahun 2003, Pemerintah Provinsi
juga pernah melakukan pengkajian penataan kelembagaan pemerintah daerah
untuk menindaklanjuti PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Perangkat
Organisasi di Daerah. Hasil pengkajian merekomendasikan perampingan struktur
kelembagaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menjadi terdiri dari 3 Asisten (11
Biro), 1 Sekretariat DPRD, 1 Kantor Perwakilan, 14 Dinas, dan 10 Lembaga
Teknis, dengan rincian sebagai berikut:
I. Asisten:
1. Asisten Pemerintahan
a. Biro Hukum
b. Biro Desentralisasi
c. Biro Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
d. Biro Humas
2. Asisten Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial
a. Biro Perekonomian
b. Biro Bina Produksi
c. Biro Bina Sosial
3. Asisten Administrasi
a. Biro Organisasi
b. Biro Kepegawaian
c. Biro Keuangan
d. Biro Perlengkapan Umum

58
II. Kantor Perwakilan Provinsi
III. Sekretariat DPRD
IV. Dinas
1. Dinas Pendidikan
2. Dinas Kesehatan
3. Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
4. Dinas Pertambangan dan Energi
5. Dinas Perikanan dan Kelautan
6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
7. Dinas Peternakan
8. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
9. Dinas PSDA
10. Dinas Bina Marga
11. Dinas Perhubungan
12. Dinas Cipta Karya
13. Dinas Industri Perdagangan
14. Dinas Pendapatan
V. Lembaga Teknis
1. Bapeda
2. Bawasda
3. Badan Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
4. Badan Kebudayaan Pariwisata Daerah
5. Badan Perpustakaan, Kearsipan, dan Telematika Daerah
6. Badan Promosi dan Investasi Daerah
7. Badan Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
8. Badan Pendidikan dan Pelatihan
9. Bakorwil Barat
10. Bakorwil Timur
11. Badan Pengembangan Koperasi dan UKM
12. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah

59
Namun, rekomendasi ini tidak jadi diberlakukan karena belum diperoleh
kesepakatan politik antara Pemerintah Provinsi dengan DPRD Provinsi, sehingga
struktur kelembagaan Pemerintah Provinsi tetap berlaku sampai dengan keluarnya
UU dan PP yang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai
penjabaran dari UU No. 32 Tahun 2004, dikeluarkan PP No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan PP No. 41 Tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Kedua PP ini merupakan landasan
hukum bagi penataan organisasi perangkat daerah, termasuk di Provinsi Jawa
Barat.
Berdasarkan kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan,
kompleksitas permasalahan, dan potensi daerah, DPRD dan Pemerintah Provinsi
menyepakati bahwa urusan wajib Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26
(dua puluh enam) urusan, sedangkan urusan pilihan pemerintahan daerah yang
disepakati terdiri dari 8 (delapan) urusan.

Tabel 3.3 Urusan Wajib dan Urusan Pilihan dalam Lingkup Pemerintah
Provinsi Jawa Barat
Urusan Wajib Urusan Pilihan
1. Pendidikan 1. Kelautan dan perikanan
2. Kesehatan 2. Pertanian
3. Lingkungan hidup 3. Kehutanan
4. Pekerjaan umum 4. Energi dan sumberdaya mineral
5. Penataan ruang 5. Pariwisata
6. Perencanaan pembangunan 6. Industri
7. Perumahan 7. Perdagangan
8. Kepemudaan dan olah raga 8. Ketransmigrasian
9. Penanaman modal
10. Koperasi, usaha kecil, dan
menengah
11. Kependudukan dan catatan sipil
12. Ketenagakerjaan
13. Ketahanan pangan
14. Pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak
15. Keluarga Berencana dan
keluarga sejahtera
16. Perhubungan
17. Komunikasi dan informatika

60
18. Pertanahan
19. Kesatuan bangsa dan politik
dalam negeri
20. Otonomi daerah, pemerintahan
umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah,
kepegawaian dan persandian
21. Pemberdayaan masyarakat dan
desa
22. Sosial
23. Kebudayaan
24. Statistik
25. Kearsipan
26. Perpustakaan
Sumber: Biro Desentralisasi Pemprov Jabar, 2008

Urusan-urusan tersebut menjadi bahan masukan untuk merumuskan tugas


pokok dan fungsi organisasi perangkat daerah. Karena itu, struktur dan tata kerja
organisasi perangkat daerah harus disesuaikan dengan lingkup urusan wajib dan
urusan pilihan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Mengacu pada PP No. 41 Tahun 2007, kondisi riil Provinsi Jawa Barat memenuhi
kriteria untuk menerapkan pola maksimal dalam penataan organisasi perangkat
daerah. Peraturan Pemerintah ini menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah
besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan
variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang kemudian
ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen)
untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen) untuk variabel luas
wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta
menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval, sebagaimana
ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Demikian juga mengenai
jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing
perangkat daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hasil perhitungan besaran organisasi
perangkat daerah untuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:

61
Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Besaran Organisasi menurut PP No. 41 Tahun
2007
No Kriteria Nilai
1. Jumlah penduduk = 44 juta
> 30.000.000 40
2. Luas wilayah = 44.354,61 km2
> 40.000 km2 35
3. Jumlah APBD = Rp 5.273.196.799.606,83
> Rp2.000.000.000.000,00 25
JUMLAH 100
Sumber: Hasil Penelitian, 2007

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, besaran organisasi perangkat


daerah Provinsi Jawa Barat dapat disusun dengan menggunakan pola maksimal
sebagai berikut:
a. Sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 4 (empat) asisten
b. Sekretariat DPRD
c. Dinas paling banyak 18 (delapan belas)
d. Lembaga Teknis daerah paling banyak 12 (dua belas)
Selain pola tersebut, terdapat organisasi perangkat daerah yang dapat
dibentuk mengingat tugas dan fungsinya merupakan amanat perundang-undangan
sehingga tidak mengurangi jumlah perangkat daerah (di luar kuota), yakni yang
menangani bidang kepegawaian, keuangan dan aset, inspektorat, rumah sakit, dan
satuan polisi pamong praja serta lembaga lain yang melaksanakan
penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah.
Berdasarkan hasil perhitungan menurut ketentuan PP No. 41 Tahun 2007,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat (c.q. Biro Organisasi) mengajukan rancangan
desain organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai berikut:

62
Tabel 3.5 Desain Organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang diusulkan
Pemerintah Provinsi

Sumber: Biro Organisasi Pemprov Jawa Barat, 2008

Sehubungan dengan banyaknya urusan yang perlu ditangani oleh


Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang meliputi urusan wajib dan urusan pilihan
yang berjumlah 34 urusan, dan kuota yang diberikan oleh PP No. 41 Tahun 2007
yang membatasi jumlah organisasi perangkat daerah, maka digunakan sejumlah
pertimbangan dalam menentukan urusan yang mana yang diwadahi dalam
organisasi tersendiri atau digabungkan bersama urusan-urusan lain. Pertimbangan-
pertimbangan yang digunakan, yaitu kompleksitas masalah; beban tugas yang
akan diemban oleh organisasi yang akan dibentuk; luas cakupan kerja/wilayah
yang akan diurus; organisasi perangkat daerah provinsi sederajat (hasil studi
banding); hasil konsultasi dengan Depdagri, efektivitas, dan efisiensi anggaran.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka analisis terhadap
kebutuhan penataan organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai
berikut:

63
1. Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat dan Sekretariat DPRD
Provinsi Jawa Barat
Dalam susunan organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat,
dipandang perlu untuk memunculkan fungsi kehumasan dan pengelolaan
barang daerah secara khusus. Fungsi kehumasan penting untuk mendapat
perhatian mengingat salahsatu faktor keberhasilan pembangunan adalah
adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang akan meningkat jika
komunikasi antara pemerintah provinsi dan masyarakat dapat terjalin
dengan baik. Untuk itu, pembentukan Biro Humas, Protokol, dan Umum
pada Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat menjadi penting untuk
dilakukan.
Dalam hal pengelolaan barang daerah, perlu mendapat perhatian tersendiri
mengingat banyaknya persoalan yang terkait dengan barang daerah
meliputi inventarisasi yang kurang cermat, sertifikasi yang belum
memadai, serta adanya beberapa sengketa yang menimpa barang daerah
Provinsi Jawa Barat. Untuk itu, perlu dibentuk biro tersendiri yang
menangani barang daerah di bawah Asisten Pemerintahan.
Selain itu, juga dipandang perlu adanya pertimbangan khusus terhadap
Biro Keuangan Sekretariat Daerah. Dalam pelaksanaan tugas Biro
Keuangan, ada tugas yang penting dan menyangkut kepentingan publik
Jawa Barat, yaitu evaluasi terhadap APBD Kabupaten/Kota. Karena itu,
perlu ada penambahan bagian tersendiri yang menangani urusan dimaksud,
sehingga jumlah bagian di Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi
Jawa Barat, yang semula 4 (empat) bagian menjadi 5 (lima) bagian.
Dalam mengkaji organisasi tata kerja pada Sekretariat DPRD Provinsi
Jawa Barat, juga terdapat pertimbangan khusus terhadap penanganan
urusan keuangan yang perlu dilakukan oleh suatu bagian tersendiri, karena
itu terjadi perubahan pada Sekretariat DPRD yang semula terdapat 4
(empat) bagian menjadi 5 (lima) bagian, yaitu Bagian Persidangan, Bagian
Perundang-undangan, Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol, Bagian
Umum, Bagian Administrasi dan Bagian Keuangan.
2. Organisasi Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat

64
Berdasarkan usulan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat 20 dinas
yang diajukan untuk dibentuk sebagai perangkat daerah di tingkat
provinsi. Terhadap usulan tersebut, Pansus DPRD memberikan tanggapan
terkait dengan perlunya pemisahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan,
pengelolaan fungsi pendidikan luar biasa pada Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat, serta pembentukan Dinas Olah Raga dan Pemuda. Pansus
berpandangan bahwa untuk memperkuat fungsi unit kerja yang mengelola
kehutanan dalam upaya mewujudkan 45% kawasan lindung sebagaimana
diamanatkan dalam Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Jawa Barat, luasnya kawasan hutan Jawa Barat,
banyaknya masyarakat desa sekitar hutan, serta tingginya potensi hutan
Jawa Barat dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Jawa Barat,
maka urusan kehutuanan perlu ditingkatkan menjadi dinas yang berdiri
sendiri, yaitu Dinas Kehutanan.
Sedangkan untuk pengelolaan fungsi perkebunan yang meliputi produksi
perkebunan, pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan dan
permodalan, pengembangan dan pengendalian perkebunan, pengolahan,
pemasaran, dan usaha perkebunan rakyat yang melibatkan petani dalam
rangka pencegahan perambahan hutan, unit kerja yang menanganinya
perlu diperkuat sehingga menjadi dinas tersendiri, yaitu Dinas Perkebunan.
Sementara itu, terkait dengan pengelolaan fungsi Pendidikan Luar Biasa
(PLB) pada Dinas Pendidikan yang sangat penting, maka terjadi
perubahan. Semula, fungsi ini dilaksanakan oleh unit kerja setingkat seksi
di bawah Bidang Manajemen Pendidikan Dasar, kemudian diubah menjadi
setingkat bidang karena beban kerja fungsi PLB cukup tinggi, meliputi
kurikulum pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, alat bantu
media pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus dan bina
promosi kompetensi siswa. Namun, perubahan ini tidak mengubah jumlah
bidang pada Dinas Pendidikan, tetap 4 (empat) bidang.
Penggunaan nomenklatur “manajemen” pada pembidangan Dinas
Pendidikan juga dihapus, karena kata manajemen memiliki makna terlalu
luas sehingga dapat menimbulkan persepsi yang salah seolah-olah

65
tanggung jawab manajerial berada pada kepala bidang tersebut, yang
seharusnya fungsi manajer ada pada kepala dinas.
Pertimbangan pembentukan Dinas Olah Raga dan Pemuda, berdasarkan
kebutuhan daerah dalam rangka memfasilitasi terselenggaranya
pengembangan olah raga masyarakat, mendukung penanaman nilai-nilai
solidaritas, soliditas, dan sportivitas yang selama ini belum ada yang
menangani karena lembaga yang ada, seperti KONI difokuskan pada
penanganan olah raga prestasi. Selain itu, sebagai jaring koordinasi dan
mendukung pengalokasian anggaran kegiatan pengembangan keolahrgaan
dan kepemudaan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan
UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, lebih tepat
nomenklaturnya Dinas Olah Raga dan Pemuda, sesuai pula dengan bobot
pekerjaan yang harus ditangani oleh provinsi lebih besar fungsi olah raga
daripada fungsi pemuda.
Selain itu, Pansus DPRD juga berpendapat bahwa nomenklatur sejumlah
dinas perlu diubah, antara lain:
a. Dinas Pertambangan dan Energi diubah menjadi Dinas Energi dan
Sumberdaya Mineral.
b. Dinas Pengairan diubah menjadi Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air.
c. Dinas Pemuda dan Olah Raga diubah menjadi Dinas Olah Raga dan
Pemuda.
Dalam pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pansus
DPRD menyarankan agar pembentukan UPTD memperhatikan aspek
kebutuhan daerah dan dinas/badan serta efektivitas dan efisiensi.
Memperhatikan kompleksitas masalah, jumlah penduduk, dan kebutuhan
riil daerah maka Pansus DPRD bersepakat dengan Pemerintah Provinsi
untuk membentuk 20 (dua puluh) dinas, meskipun jumlah ini melebihi
kuota yang diberikan untuk Provinsi Jawa Barat, yaitu maksimal sebanyak
19 dinas daerah termasuk Dinas Pendapatan Daerah. Namun, berdasarkan
hasil konsultasi dengan Departemen Dalam Negeri tanggal 11 September
2008, yang ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor
061/3114/SJ tanggal 17 Oktober 2008, hal ini dimungkinkan. Dengan

66
demikian, jumlah dinas daerah yang dibentuk menjadi 20 (dua puluh)
buah, meliputi:
a. Dinas Pendidikan.
b. Dinas Kesehatan.
c. Dinas Pendapatan Daerah.
d. Dinas Sosial.
e. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
f. Dinas Perhubungan.
g. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
h. Dinas Bina Marga.
i. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air.
j. Dinas Permukiman dan Perumahan.
k. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral.
l. Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
m. Dinas Pertanian Tanaman Pangan.
n. Dinas Peternakan.
o. Dinas Perikanan dan Kelautan.
p. Dinas Kehutanan.
q. Dinas Perkebunan.
r. Dinas Olah Raga dan Pemuda.
s. Dinas Komunikasi dan Informatika.
3. Organisasi Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007, Provinsi Jawa Barat mendapatkan
kuota lembaga teknis daerah sebanyak 12 lembaga di luar Bappeda dan
Kantor Perwakilan. Menanggapi usulan dari Pemerintah Provinsi Jawa
Barat yang menyampaikan usulan pembentukan 13 (tiga belas) lembaga
teknis daerah, maka Pansus DPRD memberikan tanggapan dengan
menyatakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan
desa serta penanganan keluarga berencana perlu mendapatkan perhatian
tersendiri. Hal ini mengingat tingginya jumlah desa di Jawa Barat, kondisi
desa yang masih perlu upaya pemberdayaan, dan banyaknya program
nasional yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat desa.

67
Oleh karena itu, Pansus berpendapat perlunya pembentukan badan
tersendiri yang menangani pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan
desa. Sedangkan mengenai keluarga berencana, memperhatikan hasil
konsultasi dengan Departemen Dalam Negeri dan masih tingginya
pertumbuhan penduduk Jawa Barat, Pansus memandang perlunya
pemunculan nomenklatur keluarga berencana ini pada Badan
Pemberdayaan Perempuan. Karena itu, badan yang semula bernama Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Sejahtera diubah menjadi Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.
Dengan demikian, terdapat kelebihan kuota 1 (satu) lembaga teknis
daerah. Namun, mengingat kebutuhan daerah dan hasil konsultasi dengan
Departemen Dalam Negeri, hal ini dimungkinkan. Dengan demikian,
lembaga teknis daerah yang dibentuk adalah:
a. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
b. Badan Kepegawaian Daerah.
c. Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah.
d. Badan Ketahanan Pangan Daerah.
e. Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah.
f. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah.
g. Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat
Daerah.
h. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah I.
i. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah II.
j. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III.
k. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah IV.
l. Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah.
m. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.
n. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa.
o. Kantor Perwakilan Pemerintah.
4. Badan Penanaman Modal Daerah
Nomenklatur untuk badan ini mengalami perubahan menjadi Badan
Koordinasi dan Promosi Penanaman Modal, dengan pertimbangan bahwa

68
selain menangani fasilitasi penanaman modal, fungsi promosi yang selama
ini dilaksanakan oleh masing-masing organisasi perangkat daerah terkait
perlu penanganan khusus dan terkoordinasi oleh unit kerja yang
menangani penanaman modal, sehingga akan lebih efisien dan sinergi
dalam mempromosikan daerah. Oleh karena itu, nomenklaturnya menjadi
Badan Koordinasi dan Promosi Penanaman Modal Daerah.
5. Badan Koordinasi Wilayah
Luasnya wilayah Provinsi Jawa Barat, besarnya jumlah penduduk,
panjangnya rentang kendali pemerintahan Jawa Barat serta untuk
meningkatkan sinergitas pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Barat
masih memerlukan Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) ini. Selain itu,
penguatan pada tugas pokok dan fungsi Bakorwil perlu dilakukan untuk
menunjang perannya sebagai koordinator pembangunan di wilayah Jawa
Barat. Karena itu, keberadaan Bakorwil tetap dipertahankan dan
nomenklaturnya diubah menjadi Badan Koordinasi Pemerintahan dan
Pembangunan Wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat fungsi
Bakorwil, sehingga tercermin jelas obyek yang harus dikoordinasikan,
yaitu fungsi pemerintahan dan pembangunan yang menjadi tugas gubernur
sebagai kepala daerah maupun wakil pemerintah.
6. Rumah Sakit Daerah
Rumah sakit daerah merupakan unsur pelaksana kesehatan. Rumah sakit
ini mempunyai tugas pokok melaksanakan upaya pelayanan kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna. Karena itu, perlu ada penguatan
dalam struktur rumah sakit daerah, khususnya dalam upaya peningkatan
pelayanan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui perubahan dalam
susunan organisasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, menjadi terdiri
atas 1 (satu) orang direktur dan 2 (dua) wakil direktur, yaitu Direktur
Bidang Sumber Daya Manusia, Keuangan dan Umum, serta Wakil
Direktur Bidang Pelayanan. Sedangkan susunan organisasi Rumah Sakit
Paru Provinsi Jawa Barat terdiri dari Direktur dengan 3 (tiga) seksi, yaitu
Seksi Pelayanan Medik, Pelayanan Perawatan, dan Penunjang Medik.
Untuk Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan, susunan organisasi terdiri

69
dari direktur dan 2 (dua) wakil direktur, yaitu Bidang Umum dan
Keuangan dan Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medik dan Keperawatan.
7. Lembaga Lain
Dalam raperda tentang lembaga lain, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
mengusulkan adanya 6 (enam) lembaga lain, yakni:
a. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat.
b. Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Barat.
c. Sekretariat Badan Narkotika Provinsi Jawa Barat.
d. Sekretariat Badan Pelaksana Pengembangan Bandara Internasionl dan
Kertajati Aerocity.
e. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
f. Sekretariat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa
Barat.
Terhadap ketiga lembaga lain yang diusulkan dalam raperda, yaitu Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat, Sekretariat Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Barat, Sekretariat Badan
Narkotika Provinsi Jawa Barat, disepakati pembentukannya mengingat
urgensi dari keberadaan lembaga-lembaga lain tersebut.
Sementara terhadap ketiga lembaga lainnya, yaitu Sekretariat Badan
Pelaksana Pengembangan Bandara Internasional dan Kertajati Aerocity,
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan Provinsi Jawa Barat, serta Sekretariat Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat, pembentukannya ditangguhkan
karena sampai dengan saat ini peraturan pelaksanaannya masih belum
ditetapkan.
Berdasarkan kesepakatan DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
ditetapkan bahwa organisasi perangkat daerah Provinsi Jawa Barat terdiri dari: 1
Sekretaris Daerah, 4 Asisten, 12 Biro, Sekretariat DPRD, 20 Dinas Daerah dan 1
Satuan Polisi Pamong Praja, 19 Lembaga Teknis Daerah, terdiri dari 14 Badan, 1
Inspektorat, 1 Kantor, dan 3 Rumah Sakit, serta 3 Lembaga Lain Pemerintah
Provinsi Jawa Barat.

70
III.4.4. Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat hingga Juni 2008 sebanyak 14.867 orang yang tersebar pada 48 unit
kerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 915 orang (6,15%) merupakan PNS dengan
jabatan fungsional, yang terdiri dari jabatan-jabatan berikut ini:

Tabel 3.6 Jumlah PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional di Jawa Barat
Tahun 2008
No. Nama Jabatan Formasi Jumlah %
Fungsional Ahli Terampil
1 Analisis 14 36 50 5,46
kepegawaian
2 Apoteker 4 - 4 0,44
3 Arsiparis 7 58 65 7,10
4 Asisten apoteker - 6 6 0,66
5 Auditor 44 10 54 5,90
6 Dokter 26 - 26 2,84
7 Dokter gigi 5 - 5 0,55
8 Epidemiolog 2 - 2 0,22
kesehatan
9 Fisioterapi - 4 4 0,44
10 Guru 202 - 202 22,08
11 Instruktur - - - -
12 Medik veteriner - 4 4 0,44
13 Nutrisionis 3 10 13 1,42
14 Pamong budaya - 1 1 0,11
15 Pekerja sosial 4 48 52 5,68
16 Peneliti 6 - 6 0,66
17 Penera 25 5 30 3,28
18 Pengantar kerja 5 - 5 0,55
19 Pengawas benih 6 9 15 1,64
tanaman
20 Pengawas bibit 1 10 11 1,20
ternak
21 Pengawas 6 - 6 0,66
ketenagakerjaan
22 Pengawas sekolah 13 - 13 1,42
23 Pengendali OPT 7 13 20 2,19
24 Penguji kendaraan - 16 16 1,75
bermotor
25 Penyuluh kehutanan - - - -
26 Penyuluh kesehatan 6 - 6 0,66

71
27 Penyuluh pertanian 4 1 5 0,55
28 Perantara hubungan 5 - 5 0,55
industrial
29 Perawat 12 90 102 11,15
30 Perawat gigi - 3 3 0,33
31 Perekam medis - 8 8 0,87
32 Perencana 26 - 26 1,75
33 Pranata komputer 10 56 66 7,21
34 Pranata lab. 2 11 13 1,42
Kesehatan
No. Nama Jabatan Formasi Jumlah %
Fungsional Ahli Terampil
35 Pustakawan 3 18 21 2,30
36 Radiografer - 9 9 0,98
37 Sandiman - 2 2 0,22
38 Sanitarian 2 6 8 0,87
39 Surveyor Pemetaan - 1 1 0,11
40 Teknisi elektromedis - 6 6 0,66
41 Widyaiswara 24 - 24 2,62
JUMLAH 474 441 915 100
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2008

Berdasarkan data tersebut, masih banyak jabatan fungsional yang


jumlahnya sedikit padahal fungsinya sangat penting untuk menunjang pencapaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih tinggi. Mayoritas jabatan
fungsional didominasi oleh guru (22,08%), perawat (11,15%), pranata komputer
(7,21%), arsiparis (7,10%), dan auditor (5,90%). Jabatan-jabatan fungsional
lainnya masih berada di bawah 5%, padahal banyak jabatan fungsional yang
diperlukan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi dan pengelolaan potensi
sumber daya di Jawa Barat, tapi jumlahnya belum memadai. Jabatan penyuluh
kehutanan, misalnya belum ada (0%) padahal Jawa Barat memiliki luas hutan
lindung sebanyak 45% dari keseluruhan luas Jawa Barat. Selain jabatan ini,
fungsional penyuluh pertanian, apoteker, pamong budaya, dll juga masih sedikit,
sehingga di masa mendatang perlu ada peningkatan sumber daya manusia yang
akan mengisi jabatan-jabatan fungsional yang terkait langsung dengan pencapaian
visi dan misi Jawa Barat.
Jumlah aparat yang mengikuti diklat teknis dan fungsional selama periode
2003-2007 sebanyak 2.267 orang. Jumlah pegawai pengawas infrastruktur
ketenagakerjaan meningkat menjadi 70 orang dan pelaksanaan rakornis anggota

72
MPU sebanyak 30 orang. Selain itu, selama periode 2003-2007 juga telah
dilakukan fasilitasi diklat teknis, fungsional, dan kepemimpinan sebanyak 100
orang, fasilitasi penataran, pelatihan, seminar dan kursus sebanyak 27 orang,
peningkatan pelayanan sumber pendapatan daerah sebanyak 8 orang, peningkatan
kemampuan pejabat hubinsnaker sebanyak 25 orang, kemampuan pejabat
pengawas sebanyak 25 orang, dan terlaksananya pelatihan pegawai fungsional
pengantar kerja sebanyak 30 orang. Kegiatan Diknalma “A” Ketenagakerjaan
sebanyak 25 orang, Bimtek Pegawai Perantara sebanyak 20 orang, dan Rakornis
anggota sebanyak 40 orang.
Selama kurun waktu 2003-2007, jumlah aparatur yang mengikuti
pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah sebanyak 7.550 pegawai (Diklat
Prajabatan), 1.285 orang (Diklat Kepemimpinan III dan IV), 3.739 orang (Diklat
Teknis Substantif), serta 490 orang (Diklat Fungsional). Jumlah aparatur yang
mengikuti pendidikan kedinasan (formal) melalui jalur tugas belajar dan izin
belajar pada jenjang pendidikan menengah, S1, S2, dan S3 selama tahun 2003-
2008, adalah sebagai berikut:

Gambar 3.6 PNS yang Mengikuti Tugas Belajar dan Izin Belajar
Berdasarkan Jenjang Pendidikan, Tahun 2003-2008

800 774

700
596
600
500
400 344 Tugas Belajar
Izin Belajar
300
200
81 109
100 46
0 5 2 26
0
D3 D4 S1 S2 S3

Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

73
Melalui upaya diklat dan pendidikan kedinasan, diharapkan kompetensi
pegawai di lingkungan pemerintah provinsi dapat meningkat. Kondisi ini akan
membantu mengurangi beban anggaran kedinasan pada pemerintah daerah, namun
tetap dilakukan pengendalian dalam pemilihan jenis-jenis kompetensi yang diikuti
para pegawai yang mengikuti izin belajar, untuk tetap relevan dengan komposisi
kebutuhan kompetensi yang menunjang fungsi pemerintah provinsi.
Ditinjau dari golongan kepangkatan, komposisi PNS di Provinsi Jawa
Barat mayoritas berada pada Golongan III atau berpangkat pada kategori penata.

Gambar 3.7 Komposisi PNS Pemerintah Provinsi Jawa Barat berdasarkan


Golongan

7,41% 2,91%

27,76%

61,92%

Gol. I Gol. II Gol. III Gol. IV

Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Komposisi seperti di atas sebenarnya cukup dapat menunjang peran


pemerintah provinsi sebagai fasilitator bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah
di tingkat kabupaten/kota, mengingat fungsi rumah tangganya sangat terbatas,
terutama dalam penyelenggaraan pelayanan umum yang hanya berskala lintas
kabupaten. Dengan komposisi kepangkatan penata, maka perannya akan turut
menunjang dalam menyiapkan beragam kebijakan serta model-moderl fasilitasi
yang diperlukan oleh kabupaten/kota.
Dalam rangka peningkatan produktivitas kerja pegawai, telah dilakukan
mutasi pegawai Provinsi Jawa Barat selama tahun 2003-2007 sebagai berikut:

74
Tabel 3.7 Kegiatan Mutasi Pegawai Provinsi Jawa Barat
No. Kegiatan Pelaksanaan 2003 2004 2005 2006 2007
1 Kenaikan Penyelesaian 12.175 21.275 26.815 25.714 20.325
Pangkat Surat
Keputusan KP
2 Kenaikan Gaji Penyelesaian 557 543 564 569 579
Berkala Surat
Pemberitahuan
KGB
3 Pemensiunan Penyelesaian 43 277 426 383 268
Surat
Keputusan
Pensiun
4 Perpindahan Penyelesaian 2.067 2.646 1.566 1.617 1.722
Perpindahan
PNS
5 Inpassing Penyelesaian - - - 2.445 -
inpassing gaji
pokok PNS
6 Peningkatan Penyelesaian - - 258 - 400
status CPNS SK CPNS
menjadi PNS
7 Perpanjangan Pelaksanaan 32 17 16 9 15
BUP Tes Kesehatan
Pejabat Eselon
I dan II
berusia di atas
55 tahun
8 Pembekalan Pembinaan 280 160 160 120 120
kewirausahaan PNS yang
bagi PNS yang menjelang
menjelang pensiun
pensiun
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Untuk menambah kebutuhan pegawai pada berbagai unit kerja di


lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, telah dilakukan pengangkatan
pegawai baru, dengan data sebagai berikut:

75
Tabel 3.8 Rekrutmen CPNSD di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2003-2007
No. Kegiatan 2003 2004 2005 2006 2007
(orang) (orang) (orang) (orang) (orang)
1 Rekrutmen dari - 260 120 - -
pelamar umum
2 Rekrutmen dari - - 280 1.443 1.115
tenaga honorer
JUMLAH - 260 400 1.443 1.115
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Berdasarkan data di atas, terjadi peningkatan dalam rekrutmen CPNS di


lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terutama pada tahun 2006. Meski
mengalami penurunan pada tahun 2007, namun jumlahnya masih cukup banyak.
Hal ini menunjukkan suatu kondisi kontradiktif, jumlah PNS dirasakan terlampau
banyak tapi rekrutmen tetap dilakukan terutama untuk mencari PNS yang
memiliki kualifikasi yang diperlukan organisasi. Kondisi ini mengindikasikan
masih belum optimalnya perencanaan kepegawaian karena kompetensi pegawai
yang tersedia masih belum sesuai dengan kebutuhan, selain itu, distribusi PNS
untuk jabatan-jabatan fungsional masih belum memadai, sehingga komposisi
kepegawaian belum sejalan dengan semangat reformasi birokrasi untuk
meningkatkan kinerja pemerintahan.

III.4.5. Sumber Dana dan Pembiayaan Pembangunan


Kebijakan pendapatan daerah diarahkan melalui upaya peningkatan
kapasitas fiskal (fiscal capacity) sebagai pencerminan dari kesungguhan
pemerintah daerah melakukan pemberdayaan sumber-sumber potensi daerah
untuk mewujudkan otonomi yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat yang didukung dengan penguatan keuangan daerah.
Pendapatan daerah untuk APBD diproyeksikan pertumbuhannya sekitar 15% per
tahun (LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur, 2008). Kebijakan untuk setiap
komponen pendapatan daerah diarahkan pada upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi pendapatan daerah dari setiap sumber dana. Adapun kondisi capaian
pendapatan daerah sepanjang periode 2003-2007 adalah sebagai berikut:

76
Tabel 3.9 Target dan Realisasi Pendapatan Daerah Jawa Barat Tahun 2003-
2007
No. Pendapatan Daerah Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
A Pendapatan Daerah 19.968.064.540.883,60 23.482.244.635.887,60 117,60
1 Pendapatan Asli 14.147.842.358.040,80 16.617.908.659.203,00 117,46
Daerah
Pajak Daerah 13.201.596.000.000,00 15.421.474.784.489,10 116,82
Retribusi Daerah 114.485.027.189,00 125.738.792.484,70 109,83
Hasil Perusahaan 447.848.592.117,38 451.269.176.194,83 100,76
Milik Daerah dan
Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah
yang Dipisahkan
Lain-lain PAD yang 383.912.738.734,40 619.425.906.034,39 161,35
sah
2 Dana Perimbangan 5.812.872.182.842,80 6.566.958.931.628,61 112,97
Bagi Hasil Pajak dan 2.594.376.092.842,80 3.348.451.814.629,61 129,07
Bagi Hasil Bukan
Pajak
Dana Alokasi Umum 3.218.496.090.000,00 3.218.507.116.999,00 100,00
Dana Alokasi Khusus 0,00 0,00 0,00
3 Lain-lain Pendapatan 7.350.000.000,00 297.377.045.056,00 4045,95
Daerah yang Sah
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Data di atas menunjukkan bahwa kapasitas fiskal Jawa Barat masih belum
optimal. Dari sisi potensi pajak, retribusi, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah masih belum optimal karena sejumlah kendala, antara lain belum terdatanya
semua obyek dan wajib pajak daerah, retribusi daerah, serta lain-lain pendapatan
daerah yang sah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan
perkuatan BUMD antara lain belum optimalnya pihak manajemen perusahaan
dalam mengimplementasikan pengelolaan perusahaan yang baik, termasuk
pengembangan aset BUMD. Dalam hal optimalisasi penerimaan dari dana
perimbangan, permasalahan yang dihadapi antara lain masih belum akuratnya data
obyek dan subyek PBB, BPHTB, dan PPh Perseorangan. Dalam kaitannya dengan
departemen terkait, belum tercapai kesepakatan dalam perhitungan data produksi
dan lifting migas. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral belum
sepenuhnya melibatkan daerah penghasil migas dalam moonitoring produksi
migas sebagai dasar perhitungan lifting migas.
Dari sisi pembiayaan, dalam tahun anggaran 2003-2007, belanja daerah
dialokasikan sebesar Rp 22.550.256.221.918,25 dan dapat direalisasikan sebesar

77
Rp 21.294.423.424.264,90 atau 94,43%. Kinerja penyerapan anggaran belanja
mencapai 94,43% menunjukkan bahwa tingkat penyerapan dalam batas proporsi
yang masih ideal karena dalam realisasi sebuah anggaran akan dipengaruhi
berbagai hal, baik yang bersifat faktor internal maupun faktor eksternal. Rincian
lengkap untuk alokasi anggaran dan realisasi belanja daerah dapat disajikan dalam
tabel sebagai berikut:

Tabel 3.10 Alokasi Anggaran dan Realisasi Belanja Daerah Jawa Barat
Tahun Anggaran 2003-2006
No. Belanja Daerah Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
1 Belanja Aparatur 16.781.079.867.662,10 16.020.369.041.399,90 95,47
2 Belanja Publik 4.326.022.145.404,35 4.109.807.656.572,00 95,00
3 Belanja Bagi Hasil 7.344.251.444.203,36 7.158.539.080.484,00 97,47
dan Bantuan
Keuangan
4 Belanja Tidak 317.416.016.273,16 271.721.384.104,00 85,60
Tersangka
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Tabel 3.11 Alokasi Anggaran dan Realisasi Belanja Daerah Jawa Barat
Tahun Anggaran 2007
No. Belanja Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Daerah Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
1 Belanja 4.205.511.878.443,34 3.893.642.282.742,00 92,58
Tidak
Langsung
2 Belanja 1.563.664.475.812,81 1.380.412.100.123,00 88,28
Langsung
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

Untuk belanja aparatur dari tahun 2003-2006 direalisaikan sebesar 93,47%


disebabkan oleh adanya pegawai yang pensiun atau alih tugas ke kabupaten/kota
serta adanya peraturan lanjutan, misalnya PP tentang Urusan Wajib dan Urusan
Pilihan yang belum ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah sehingga
kegiatan sosialisasi terhadap peraturan dimaksud tidak mungkin dapat
dilaksanakan. Untuk belanja publik, dapat direalisasikan sebesar 95% karena
adanya efisiensi pada beberapa kegiatan dan adanya bagian kegiatan yang tidak

78
direalisasikan akibat dana maupun waktunya tidak mencukupi untuk
melaksanakan kegiatan tersebut.
Untuk belanja tidak langsung pada tahun 2007 direalisasikan sebesar
92,58%. Namun hal tersebut masih dalam batas proporsi yang ideal, sisa
penyerapan belanja tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu untuk belanja
pegawai karena adanya pegawai yang pensiun atau alih tugas ke kabupaten/kota,
adanya peraturan lanjutan yang belum diterapkan, dan adanya pengangkatan PNS
baru untuk formasi 2007 yang baru dibayarkan pada tahun 2008. Untuk belanja
bunga tidak terdapat realisasi karena realisasi belanja bunga menyatu dengan
pembayaran pokok utang.
Belanja subsidi direalisasikan sebesar 89,118%, belanja hibah
direalisasikan sebesar 73,82%, bantuan sosial, belanja bantuan keuangan kepada
provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa serta belanja bagi hasil kepada
provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa direalisasikan sebesar 96,97%.
Realisasinya diseleksi dengan jumlah proposal yang masuk dan yang telah
memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta karena
masih terdapat kabupaten/kota yang belum meminta haknya, terutama untuk bagi
hasil retribusi dan untuk belanja tidak terduga disebabkan karena pada tahun 2007
tidak terjadi kejadian yang luar biasa seperti bencana alam dan bencana sosial.
Belanja tidak tersangka dan tidak terduga direalisasikan sebesar 76,48% karena
alokasi dana pada pos Belanja Tidak Tersangka merupakan penyediaan anggaran,
sedangkan realisasinya sesuai kebutuhan dan diberitahukan kepada DPRD. Untuk
belanja langsung pada tahun 2007 direalisasikan sebesar 88,28% karena adanya
efisiensi pada beberapa kegiatan dan adanya bagian kegiatan yang tidak
direalisasikan akibat dana dan waktunya tidak mencukupi.
Selain pendapatan dan belanja daerah, realisasi pembiayaan daerah selama
periode 2003-2007 adalah sebagai berikut:

79
Tabel 3.12 Alokasi Anggaran dan Realisasi Pembiayaan Tahun Anggaran
2003-2007
No. Pembiayaan Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
1 Penerimaan Daerah 4.126.306.962.147,78 4.124.017.874.822,69 99,94
a. Transfer dari dana 158.271.347.760,00 158.271.347.760,00 100,00
cadangan
b. Hasil penjualan 0,00 0,00 0,00
saham daerah
c. Penerimaan 0,00 0,00 0,00
pinjaman dan
obligasi daerah
d. Sisa lebih 3.708.035.614.387,78 3.705.746.527.062,69 99,94
perhitungan
anggaran tahun
lalu
e. Pencairan dana 250.000.000.000,00 250.000.000.000,00 100,00
cadangan
f. Penerimaan 10.000.000.000,00 10.000.000.000,00 100,00
kembali pemberian
pinjaman
2 Pengeluaran Daerah 1.485.271.945.606,91 4.692.132.153.660,40 315,91
a. Transfer ke dana 341.048.861.730,13 341.048.861.730,00 100,00
cadangan
b. Penyertaan modal 809.561.040.000,00 798.621.040.000,00 98,65
c. Pembayaran utang 303.032.043.876,78 302.141.254.951,00 99,71
pokok yang jatuh
tempo
d. Sisa lebih 0,00 3.230.370.996.979,40 0,00
perhitungan
anggaran tahun
berjalan
e. Pemberian piutang 31.630.000.000,00 19.950.000.000,00 63,07
kepada pihak lain
3 Sisa Lebih Pembiayaan 58.843.335.506,25 58.843.335.506,25 100,00
Anggaran Tahun
Berkenaan
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)

III.4.6. Tertatanya Daerah Otonom Baru

Sebagai provinsi dengan luas daerah dan jumlah penduduk yang cukup
besar, Jawa Barat menghadapi permasalahan yang cukup kompleks dalam hal
rentang kendali dan penyebaran pembangunan. Kesenjangan pembangunan akibat
pemusatan pertumbuhan ekonomi di sejumlah kawasan menimbulkan persoalan-
persoalan kesejahteraan, seperti kemiskinan, pengangguran, dll. Bahkan isu

80
etnisitas yang membedakan antara Priangan dengan non Priangan turut mewarnai
wacana pemekaran daerah di Jawa Barat.
Bila merujuk pada desain penataan wilayah yang dibuat Pemerintah
Provinsi Jawa Barat pada tahun 1990 yang termuat dalam Pola Induk
Pengembangan Wilayah Propinsi DATI I Jawa Barat dalam jangka panjang (25-
30 tahun), kebijakan kemungkinan penataan kembali Daerah Tingkat II di Jawa
Barat diarahkan untuk berkembang dari 24 menjadi 42 Daerah Tingkat II.
Meskipun demikian, hingga tahun 2006, jumlah daerah otonom di Jawa Barat
masih berjumlah 26 termasuk dengan Kabupaten Bandung Barat yang dibentuk
pada akhir tahun 2006. Dari daerah otonom baru yang terbentuk pada periode
1999-2006, yang benar-benar merupakan hasil pemekaran hanya Kabupaten
Bandung Barat, sedangkan Kota Depok (1999), Kota Cimahi (2000), Kota
Tasikmalaya (2001), Kota Bekasi (2001), dan Kota Banjar (2002) merupakan
peningkatan status dari kota administratif (kotif) yang merupakan bagian
kabupaten. Hal ini berarti bahwa pengalaman penataan wilayah di Provinsi Jawa
Barat sebenarnya relatif unik dan menarik untuk dijadikan perbandingan
tersendiri, bagaimana perkembangan daerah otonom baru yang muncul dari hasil
pemekaran dibandingkan dengan daerah yang terbentuk melalui proses
peningkatan status kotif. Apakah daerah yang semula kotif relatif lebih “mulus”
perkembangannya karena telah melalui masa transisi ataukah tidak ada perbedaan
signifikan dengan daerah yang muncul melalui pemekaran murni? Meskipun
demikian, perbandingan ini bisa menjadi bias bila dilakukan sekarang karena
Kabupaten Bandung Barat baru berusia kurang dari 1 tahun, sehingga belum bisa
dievaluasi secara menyeluruh terkait dengan kinerja pemerintahannya.
Meski demikian, evaluasi awal tentang perkembangan daerah otonom baru
di Jawa Barat tetap perlu dilakukan. Bahkan idealnya, tidak hanya daerah otonom
yang baru terbentuk, tapi terhadap keseluruhan kabupaten/kota di Jawa Barat.
Hasil evaluasi ini menjadi bahan untuk melakukan penataan wilayah secara
komprehensif, yang nantinya dapat mengkritisi kebijakan Pola Induk
Pengembangan Wilayah tahun 1990, apakah masih relevan dengan kondisi
sekarang atau perlu disempurnakan. Hasil evaluasi juga dapat menjadi bahan
pertimbangan obyektif agar wacana pemekaran atau pembentukan daerah otonom

81
tidak direspon secara apriori, prasangka negatif, bahkan konflik antara daerah
induk dengan daerah calon pemekaran. Karena itu, evaluasi daerah-daerah otonom
di Jawa Barat perlu didahului dengan kejelasan konsep penataan wilayah untuk
membangun kesamaan visi dan pemahaman, bahwa penataan wilayah bukan
hanya pemekaran tapi bisa juga penggabungan daerah; bahwa penataan wilayah
tidak harus selalu menghasilkan daerah otonom baru tapi bisa juga berupa
kawasan khusus yang bersifat administratif; bahwa penataan wilayah bisa
memunculkan model alternatif manajemen pemerintahan, seperti pelimpahan
kewenangan, pembentukan unit-unit pelayanan, pembentukan manajer kota,
penyelenggaraan kerjasama antar daerah, dll. Apapun pilihan yang dihasilkan dari
penataan wilayah ini, orientasi utamanya harus diarahkan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sehingga biaya politiknya dapat ditekan seminimal
mungkin.
Secara umum, dengan membandingkan kondisi capaian Indeks
Pembangunan Manusia di daerah-daerah sebelum dan setelah pemekaran, maka
untuk Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Bekasi, Kota Banjar, dan Kota
Tasikmalaya, terjadi peningkatan dalam capaian IPM. Hasil pengukuran IPM
untuk daerah induk kelima kota tersebut pada tahun 1999 berdasarkan pengukuran
yang dilakukan UNDP menunjukan bahwa Kabupaten Bogor (induk Kota Depok)
mencapai IPM sebesar 66,6; Kabupaten Bandung (induk Kota Cimahi dan
Kabupaten Bandung Barat) mencapai IPM sebesar 66,6; Kabupaten Bekasi (induk
Kota Bekasi) mencapai IPM sebesar 64,6; Kabupaten Ciamis (induk Kota Banjar)
mencapai IPM sebesar 64,8; dan Kabupaten Tasikmalaya (induk Kota
Tasikmalaya) mencapai IPM sebesar 65,3. Pada tahun 2003, capaian IPM untuk
daerah induk dan daerah baru adalah sebagai berikut;

82
Tabel 3.13. Perbandingan Capaian IPM sebelum dan setelah Dimekarkan
(Data Tahun 2003-2006)
No. Daerah IPM Daerah Baru IPM
Induk 2003 2004 2005 2006 2003 2004 2005 2006
1 Kabupaten 67,81 68,10 68,99 69,79 Kota Depok 76,13 76,85 77,81 77,97
Bogor
2 Kabupaten 67,52 68,52 69,16 70,41 Kota Cimahi 72,00 73,83 75,16 75,25
Bandung Kabupaten 65,15 66,06 66,86 70,11
Bandung
Barat
3 Kabupaten 70,33 73,78 73,92 71,08 Kota Bekasi 73,49 74,95 75,48 75,65
Bekasi
4 Kabupaten 69,93 70,89 71,08 71,95 Kota Banjar 70,96 71,52 71,82 71,94
Ciamis
5 Kabupaten 67,06 68,46 69,08 69,74 Kota 69,78 71,05 71,62 72,33
Tasikmalaya Tasikmalaya
Sumber: Basis Data Analisis IPM Jabar, 2007, Kabupaten Bandung Dalam
Angka, 2007 (diolah)

Berdasarkan data tersebut, jelas bahwa daerah-daerah baru ternyata


berhasil meraih IPM yang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah induknya,
bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan ketika daerah induknya belum dimekarkan.
Bila melihat data tersebut, sepintas dapat disimpulkan bahwa pemekaran
berkorelasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, data ini tidak
cukup memadai untuk menyimpulkan bahwa pemekaran mempunyai dampak
langsung terhadap peningkatan kesejahteraan karena banyak variabel lain yang
perlu dipertimbangkan. Variabel usia daerah baru, potensi daerah, manajemen
pemerintahan di daerah baru, serta faktor kepemimpinan adalah sejumlah variabel
yang turut menentukan arah perkembangan daerah-daerah baru. Daerah-daerah
baru tersebut memang sejak awal telah berkembang menjadi daerah potensial,
sehingga statusnya pun meningkat dari kecamatan menjadi kotif. Rentang waktu
dari kotif menjadi kota otonom pun relatif memadai untuk mempersiapkan
struktur dan manajemen pemerintahan, sehingga tidak heran bila daerah-daerah
baru tersebut mampu melaju meninggalkan daerah-daerah induknya. Selain itu,
figur kepemimpinan yang kreatif dan inovatif di sejumlah daerah baru, seperti
Banjar, Cimahi, dan Depok turut berkontribusi dalam perumusan kebijakan-
kebijakan pro publik untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah baru tersebut.
Dengan kata lain, pemekaran tidak serta merta mewujudkan kesejahteran daerah
baru karena diperlukan faktor-faktor lain untuk mengoptimalkan dan

83
menerjemahkan otonomi yang diperoleh daerah baru tersebut ke dalam kebijakan-
kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain sisi positif peningkatan kesejahteraan tersebut, pemekaran daerah di
Jawa Barat pun menyisakan sejumlah permasalahan yang harus segera
diselesaikan. Kabupaten Tasik dan Kota Tasik, misalnya, hingga sekarang masih
belum menuntaskan sengketa peralihan aset daerah. Kabupaten Bandung Barat
hingga saat ini masih berkutat pada konsolidasi birokrasi pemerintahan baru dan
persiapan pembentukan pemerintahan definitif melalui pilkada, sehingga belum
sepenuhnya berkonsentrasi pada peningkatan pelayanan publik. Kota Cimahi
masih berdebat dengan Kabupaten Bandung mengenai perluasan wilayah karena
Kota Cimahi merasa mulai “sesak” dengan hanya 3 wilayah kecamatan sementara
laju pertumbuhan penduduk mulai meningkat pesat. Masalah-masalah khas
perkotaan (urban) pun mulai dihadapi Kota Bekasi dan Kota Depok yang semakin
merasa “dekat” dengan Jakarta dibanding dengan Jawa Barat. Perkembangan Kota
Bekasi dan Kota Depok sebagai kota satelit Jakarta memunculkan wacana
megapolitan yang menjadi perdebatan antara Jawa Barat dan Jakarta.
Berbagai permasalahan tersebut sesungguhnya merefleksikan “pekerjaan
rumah” yang akan dihadapi pascapembentukan daerah baru. Selama periode
transisi (minimal 1 tahun pertama), daerah baru akan dihadapkan dengan
persoalan-persoalan elitis, seperti penunjukkan pejabat kepala daerah, pengisian
DPRD, pengisian struktur birokrasi, penyelenggaraan pilkada, pengesahan
pemerintahan definitif, peralihan aset dan bagian keuangan daerah, dst. Pada
periode ini, alokasi anggaran, baik dari provinsi maupun daerah induk akan
terkonsentrasi untuk pembiayaan birokrasi, sehingga tidak heran bila pada periode
awal pemekaran, belum akan tampak perubahan signifikan dalam kualitas
pelayanan publik, apalagi dalam tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain
terkonsentrasi pada biaya birokrasi, periode transisi juga rentan dengan potensi
konflik, baik antara daerah induk dengan daerah baru, maupun antara elit-elit di
daerah baru yang berpotensi memunculkan para free riders yang hanya
memanfaatkan “arena baru” untuk memperoleh jabatan-jabatan politik. Bila tidak
terkelola dengan baik, potensi konflik ini akan berdampak panjang, seperti pada

84
kasus Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, atau Kabupaten dan Kota
Tasikmalaya, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Selama periode 2007-2008 berkembang tuntutan pembentukan daerah
otonom baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Indramayu (menjadi
Kota Indramayu), Kabupaten Sukabumi (menjadi Kabupaten Sukabumi Selatan,
Kabupaten Sukabumi Utara, dan Kabupaten Palabuhanratu), Kabupaten Garut
(menjadi Kabupaten Garut Selatan), Kabupaten Ciamis (menjadi Kabupaten
Ciamis Selatan), Kabupaten Cianjur (menjadi Kota Cipanas), dan Kabupaten
Bogor (menjadi Kabupaten Bogor Barat). Dari keenam usulan pembentukan
daerah otonom baru tersebut, baru 1 (satu) usulan yang disetujui oleh DPRD
Provinsi Jawa Barat, yakni Kabupaten Bogor, dimekarkan menjadi Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Bogor Barat. Kelimat usulan lainnya masih dalam tahap
pengkajian untuk mengukur kelayakan pemekaran.
Dengan menggunakan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Pembentukan,
Penggabungan, dan Penghapusan Daerah Otonom, kajian kelayakan pembentukan
daerah otonom baru tidak mudah dilakukan karena seringkali daerah calon atau
daerah induk tidak dapat memenuhi skor minimal untuk layak dimekarkan. Kasus
pembentukan Kota Cipanas (pemekaran dari Kabupaten Cianjur) dan Kabupaten
Ciamis Selatan (pemekaran dari Kabupaten Ciamis) menunjukkan hasil penilaian
total menunjukkan kedua daerah tersebut dapat dimekarkan, namun karena ada
komponen nilai yang kurang memenuhi skor minimal maka usulan pembentukan
daerah otonom baru masih harus melalui proses politik berupa pembahasan di
DPRD induk untuk membentuk persetujuan dan kesepakatan dengan pemerintah
daerah induk untuk melanjutkan usulan pada pemerintahan yang lebih tinggi. Pada
kasus pembentukan Kota Cipanas, ternyata capaian skor potensi keuangan daerah
untuk daerah induk menjadi menurun setelah dimekarkan sehingga nilainya
kurang dari batas minimal. Sementara itu, untuk kajian pembentukan Kabupaten
Ciamis Selatan menunjukkan capaian skor untuk potensi daerah kurang dari skor
minimal.
PP No.78 Tahun 2007 merupakan pedoman yang harus dirujuk dalam
proses pembentukan suatu daerah otonom baru. Kriteria dan prosedur teknis yang
ditetapkan dalam PP No.78 Tahun 2007 berbeda dengan kriteria dan prosedur

85
teknis yang ditetapkan dalam PP No. 129 Tahun 2000, yang dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah. Seyogianya PP No.78 Tahun 2007 dapat lebih efektif dan efisien
untuk digunakan sebagai pedoman pengganti, namun demikian dalam praktiknya
PP No.78 Tahun 2007 belum sepenuhnya dapat diterapkan secara praktis dalam
proses penilaian kelayakan pembentukan daerah otonom baru. Pendapat ini
muncul mengingat secara praktis sulit untuk mendapatkan data-data yang valid
dan aktual tentang indikator-indikator yang ditetapkan dalam PP No.78 Tahun
2007.
Kesulitan penerapan metode penilaian yang digunakan dalam PP No.78
Tahun 2007 dapat dilihat pada hal-hal berikut ini. Pertama, metode penilaian
indikator yang digunakan dalam PP No.78 Tahun 2007 mayoritas (bahkan nyaris
seluruh indikatornya) berbasis penggunaan data sekunder dan bersifat hard data 1,
padahal sebagaimana halnya yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia,
ketersediaan basis data sekunder yang valid sangat terbatas 2. Kedua, kalaupun
data tentang indikator tersebut tersedia, maka ketersediaannya tidak meliputi
semua daerah yang akan dikaji, jelasnya bahwa BPS di tiap-tiap kabupaten/kota
memiliki format dan konten dokumen statistik (misalnya daerah dalam angka)
yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ketiga, indikator yang dipilih belum
sepenuhnya tepat untuk merepresentasikan faktor atau variabel yang digunakan
sebagai kriteria penilaian.
Pada masalah yang pertama dan kedua, yaitu tentang ketaktersediaan data
dari sumber-sumber resmi (BPS, BAPPEDA), data yang valid untuk indikator-
indikator berikut ini tidak ditemukan:
• Wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan: Wilayah yang dapat dimanfaatkan
untuk kawasan budi daya di luar kawasan lindung;

1
Yang dimaksud dengan hard data disini adalah data yang bersifat objektif, bukan merupakan data
hasil penilaian, judgement atau persepsi seseorang. Data yang dimaksud seperti halnya data-data
yang diperoleh melalui pengukuran gejala fisik.
2
Sebagai ilustrasi tentang sulitnya mendapatkan data sekunder yang valid dan uptodate adalah
ketika hendak dilakukan pemetaan penduduk miskin dalam rangka pembagian dan penyaluran
dana BLT beberapa waktu yang lalu, dimana terdapat perbedaan nilai dari berbagai sumber data
resmi yang ada di Indonesia, misalnya terdapat perbedaan antara BPS, BKKBN, Departemen
Sosial, Departemen Kesehatan dan lembaga lainnya.

86
• Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau
perahu atau perahu motor atau kapal motor;
• Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia
18 tahun ke atas;
• Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia
25 tahun ke atas;
• Balai Pertemuan: Tempat (gedung) yang digunakan untuk pertemuan
masyarakat melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial;
• Personil Aparat Pertahanan
• Personil Aparat Keamanan
• Karakteristik Wilayah: Adalah ciri wilayah yang ditunjukan oleh hamparan
permukaan fisik calon daerah otonom (berupa daratan, atau daratan dan
pantai/laut, atau kepulauan), dan posisi calon daerah otonom (berbatasan
dengan negara lain atau tidak berbatasan dengan negara lain).
Hampir semua dokumen resmi di Kabupaten/Kota tidak mencantumkan
data tentang luas wilayah efektif sebagaimana yang didefinisikan di atas.
Sedangkan data mengenai kepemilikan kendaraan bermotor biasanya tidak
didasarkan atas jumlah rumah tangga atau keluarga yang memilikinya, tetapi
hanya sebatas jumlah tanda bukti kepemilikan seperti BPKB dan STNK.
Demikian pula berkenaan dengan data ketenagakerjaan, umumnya data
ketenagakerjaan tidak didistribusikan seperti indikator yang digunakan dalam PP
No. 78 tahun 2007. Sementara mengenai karakteristik wilayah, PP No. 78 tahun
2007 menyebutkan penilaian skor menggunakan judment subjektif, dengan
demikian terdapat tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam mentransformasikan
nilai subjektifnya ke dalam ukuran-ukuran objektifnya.
Perihal jumlah personil keamanan dan pertahanan tentu tidak terdapat
dalam dokumen statistik, namun demikian tim peneliti mendapatkan data ini dari
sumber terkait seperti Polda, Polres, Kodim dan Kodam. Namun terkait dengan
kendala ketiga yakni indikator yang dipilih belum sepenuhnya tepat untuk
merepresentasikan faktor atau variabel yang digunakan sebagai kriteria penilaian,
misalnya yang terkait dengan jumlah aparat keamanan dan pertahanan.
Sebagaimana penjelasan dari komandan Kodim dan Polres yang kami temui,

87
distribusi gelar pasukan TNI AD dan penempatan anggota Polri telah diatur secara
tersendiri, misalnya untuk jumlah komado teritorial dan anggotanya, TNI AD
menggunakan kriteria jumlah penduduk, di samping itu selain anggota TNI yang
bertugas di staf komando teritorial atau komando kewilayahan, ada juga anggota
TNI yang ditempatkan pada satuan-satuan lain, seperti batalyon infanteri, batalyon
Armed dan sebagainya, demikian pula di TNI AD, TNI AL dan Polri. Kebijakan
penempatan anggota itu pun memiliki aturan dan logikanya tersendiri yang
ditentukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Mabes TNI dan Mabes Polri.
Terhadap persoalan data di atas dapat digunakan proxy dalam penilaian
terhadap data-data yang “bermasalah” tersebut. Dalam hal ini ada data yang
diganatikan oleh proxy-nya dan ada pula proses penilaian skor dengan
menggunakan judgement pakar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data
dan proses skoring dengan PP No.78 tahun 2007 ini tidak dapat 100% mengikuti
kaidah yang ditetapkan, namun demikian sebatas ketersediaan para ahli dan data
proxy yang tersedia maka dapat disimpulkan bahwa potensi error yang terjadi
masih dapat ditolerir.

III.5. Pencapaian Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa


III.5.1. Jumlah Praktik Korupsi yang Melibatkan Pejabat Pemerintah
Daerah dan Penanganannya
Berdasarkan data yang termuat dalam buku Jawa Barat dalam Angka
Tahun 2008, terungkap bahwa jumlah perkara pidana korupsi selama periode
2005-2007 mengalami penurunan, sebagaimana tampak pada gambar berikut ini.

Gambar 3.8 Jumlah Kasus Pidana Korupsi di Jawa Barat Tahun 2005-2007

100
84
80
60 58
60 48 54 50
40 36
20 6 8
0
2005 2006 2007
Masuk Putus Sisa

88
Sumber: Jawa Barat dalam Angka, 2006-2008
Data tersebut menunjukkan jumlah perkara korupsi yang sudah masuk ke
Kejaksaan Tinggi, diproses di pengadilan dan diputus secara hukum. Jumlahnya
memang mengalami penurunan meski tidak terlalu signifikan. Namun, perlu
diingat bahwa data ini belum memuat kasus-kasus yang masih dalam tahap
penyidikan oleh kepolisian, atau kasus-kasus yang ditangani Bawasda dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Informasi mengenai kasus-kasus ini tidak mudah
diakses oleh publik, sehingga dapat menyulitkan pemantauan terhadap upaya
pemberantasan korupsi.
Sebagai terobosan dalam pencegahan tindak pidana korupsi, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat bersama-sama dengan DPRD, Kepolisian Daerah, Kejaksaan
Tinggi, Perwakilan BPKP, Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Kabupaten
Indramayu, KADIN, GAPENSI, kalangan Perguruan Tinggi, Persatuan Wartawan
Indonesia, dan Bandung Institute of Governance Studies, telah menandatangani
Kesepakatan Bersama untuk mendukung penyusunan Rencana Aksi Daerah
Pemberantasan Korupsi. Upaya ini patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen
politik dalam memberantas korupsi, dan harus segera ditindaklanjuti dengan
langkah-langkah konkret dalam penegakan hukum maupun upaya preventif
lainnya, seperti pembenahan birokrasi, peningkatan transparansi, dan akuntabilitas
dalam pemerintahan.

III.5.2. Tingkat Transparansi dan Akuntabilitas Kinerja Daerah


Tingkat transparansi dalam kinerja pemerintah di Provinsi Jawa Barat
relatif baik, yang diindikasikan dari perluasan akses informasi bagi publik untuk
memantau kinerja pemerintahan. Dengan memanfaatkan media teknologi
informasi dan komunikasi dalam bentuk situs Pemerintah Provinsi, masyarakat
dapat mengakses dokumen-dokumen perencanaan dan data tertentu yang terkait
dengan capaian kinerja pembangunan dan pemerintahan daerah. Guna
memperkuat transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, Pemerintah Provinsi
Jawa Barat menjadi salah satu dari empat provinsi di Indonesia yang mendapatkan
kepercayaan untuk menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah

89
secara elektronik (e-government procurement), melalui kelembagaan khusus
berupa unit pengadaan barang dan jasa, yang saat ini telah dibangun instalasi
operasionalisasinya.
Peluang partisipasi publik juga diperluas melalui penyelenggaraan
Musrenbang mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat provinsi untuk
membahas rencana pembangunan jangka panjang, menengah, dan tahunan.
Meskipun kadar efektivitas dari partisipasi publik ini masih belum optimal,
namun dari sisi transparansi, upaya ini dapat diapresiasi sebagai langkah awal
untuk menyelenggarakan pembangunan daerah secara partisipatif.
Akuntabilitas kinerja pemerintahan daerah, setidaknya dari sisi
administratif sudah menunjukkan perbaikan yang ditandai dengan pelaksanaan
program pembangunan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Meskipun
ditinjau dari sisi pencapaian target masih belum optimal, karena masih ada target
pembangunan yang belum dapat dicapai, antara lain terkait target penanganan
pengangguran, kemiskinan, dan peningkatan daya beli masyarakat yang
berdampak pada peningkatan capaian IPM yang tidak banyak beranjak dari
kondisi sebelumnya.
Dari sisi politik, penilaian terhadap akuntabilitas kinerja pemerintahan
pasangan Danny Setiawan dan Nu’man Abdul Hakim tampaknya telah terjawab
dengan pilihan mayoritas masyarakat Jawa Barat untuk memilih pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur baru, yakni Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf
pada pemilihan gubernur, 13 April 2008 lalu. Pilihan ini menegaskan
ketidakpuasan masyarakat Jawa Barat terhadap kinerja pemerintahan dan
pembangunan selama periode 2003-2008, meskipun perhitungan secara kuantitatif
yang termuat dalam buku Statistik Pembangunan Jawa Barat 2008 menunjukkan
peningkatan angka-angka, namun secara riil peningkatan ini belum dirasakan oleh
masyarakat.

III.5.3. Tingkat Partisipasi Masyarakat


Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah
(Musrenbangda) telah mulai dilaksanakan sejak pemberlakuan UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mewajibkan

90
dibukanya peluang partisipasi masyarakat dalam perumusan rencana
pembangunan, baik dalam jangka panjang, menengah, maupun tahunan.
Sekalipun telah dilaksanakan sejak tahun 2005, peraturan pelaksanaan yang
mengatur mekanisme partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
belum dibuat di tingkat provinsi. Baru beberapa daerah kabupaten/kota di Jawa
Barat yang telah membuat Perda Partisipasi, antara lain Kabupaten Bandung, Kota
Cimahi, dan Kota Bandung.
Musrenbang tingkat Provinsi melibatkan para kepala daerah, ketua DPRD,
dan kepala Bappeda dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat, para pejabat di
lingkungan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat, para akademisi,
dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat. Selain para pejabat dan kelompok
masyarakat di daerah, Musrenbang juga dihadiri para pejabat dari Pemerintah
Pusat yang akan memantau penyelenggaraan Musrenbang.
Musrenbang seharusnya memainkan peran penting sebagai wahana untuk
menghubungkan antara masyarakat dengan pemerintah dan para teknokrat. Ia
menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan rencana-rencana pembangunan
yang disusun pemerintah bersama teknokrat, sekaligus mengklarifikasi
sejauhmana rencana tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat. Idealnya, untuk
menghasilkan klarifikasi yang valid dan obyektif, diperlukan kehadiran seluruh
warga masyarakat bukan hanya diwakili oleh organisasi masyarakat, LSM, atau
segelintir pelaku usaha. Dalam penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah
Daerah Provinsi Jawa Barat 2008-2013, misalnya, untuk Kelompok Sosial dan
Budaya yang membahas naskah RPJMD Bidang Sosial dan Budaya, dihadiri oleh
52 orang peserta yang berasal dari unsur-unsur sebagai berikut:
1. Delegasi Kabupaten/Kota, sebanyak 15 orang.
2. Delegasi SKPD/Forum Gabungan SKPD, sebanyak 10 orang.
3. Instansi vertikal sebanyak 2 orang.
4. Perguruan Tinggi sebanyak 1 orang.
5. Wakil dari pelaku pembangunan lainnya sebanyak 16 orang.
Kondisi sejenis juga terjadi pada Musrenbang RPJMD Provinsi Jawa Barat
Bidang Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, yang diselenggarakan tanggal 14
Agustus 2008. Musrenbang yang mengambil bentuk diskusi kelompok dihadiri

91
sekitar 87 orang dari unsur: Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi
terkait Bidang Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Bakorwil,
Kabupaten/Kota, Asosiasi Masyarakat, serta unsur LSM.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pembangunan, khususnya yang dilakukan melalui forum-
forum resmi masih bersifat terbatas baik dari sisi jumlah maupun lingkup
pelibatannya. Kehadiran akademisi, ormas atau LSM sebagai representasi
masyarakat dalam forum-forum tersebut lebih bersifat perwakilan dari sisi isu dan
belum sepenuhnya mewakili kriteria-kriteria lain dalam masyarakat, seperti
kriteria gender, marginalitas, kelompok adat, dll.
Partisipasi masyarakat tidak hanya dilihat dari keikutsertaan masyarakat
dalam pelaksanaan Musrenbang tapi juga dari penyampaian aspirasi masyarakat
kepada DPRD, sebagai lembaga perwakilan rakyat. Penyampaian aspirasi
masyarakat kepada DPRD, antara lain ditandai jumlah unjuk rasa yang
disampaikan kepada lembaga DPRD, di mana pada perkembangan setiap
tahunnya mengalami penurunan yaitu rata-rata mencapai 10% sampai dengan
15% (LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur, 2008). Aspirasi yang masuk ke DPRD
selama periode 2003-2007 sebanyak 761 aspirasi, dengan rincian:
1. Tahun 2003, sebanyak 139 aspirasi dengan substansi aspirasi pada
masalah politik, peraturan perundang-undangan, dan ketenagakerjaan.
2. Tahun 2004, sebanyak 83 aspirasi dengan substansi aspirasi pada masalah
politik, peraturan perundang-undangan, dan ketenagakerjaan.
3. Tahun 2005, sebanyak 138 aspirasi, dengan substansi aspirasi pada
masalah perekonomian, ketenagakerjaan, hukum/korupsi, kolusi, dan
nepotisme, pemerintahan, dan pertanahan.
4. Tahun 2006, sebanyak 201 aspirasi dengan substansi aspirasi pada
masalah pemerintahan, ketenagakerjaan, dan penegakan hukum.
5. Tahun 2007, sebanyak 104 aspirasi dengan substansi aspirasi pada
masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme, masalah hukum, pendidikan, dan
pemerintahan.
Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas aspirasi masyarakat yang
disampaikan pada para wakil rakyat terkait dengan isu ketenagakerjaan dan isu

92
korupsi, kolusi, dan nepotisme atau terkait dengan penegakan hukum. Kedua isu
ini tampaknya masih menjadi permasalahan strategis yang perlu menjadi perhatian
bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya dan Pemerintah Pusat umumnya.
Terkait dengan isu ketenagakerjaan, sejumlah unjuk rasa seringkali dilakukan
untuk memprotes kebijakan ketenagakerjaan, mulai dari pemberlakuan UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hingga pemberlakuan SKB 4 Menteri soal
upah buruh. Sebagai kawasan industri, banyak organisasi buruh atau serikat
pekerja dari Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung yang berunjuk
rasa ke kantor DPRD Provinsi Jawa Barat untuk menyampaikan aspirasi soal isu-
isu ketenagakerjaan.

III.6. Perwujudan Lembaga Demokrasi yang makin Kokoh


III.6.1. Terselenggaranya Pemilu yang Demokratis, Jujur, dan Adil

Tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu DPR/DPD/DPRD untuk tahun


1999 mencapai 72,5% dan pada Pemilu Tahun 2004 mengalami peningkatan
menjadi 95%. Dalam Pemilihan Presiden Tahun 2004, tingkat partisipasi pemilih
mengalami penurunan menjadi 75,2% dan sebanyak 24,8% tidak menggunakan
hak pilihnya. Menurunnya tingkat partisipasi pemilih pada Pilpres ini disebabkan
oleh kejenuhan masyarakat ketika pemilihan memasuki putaran kedua.
Tingkat partisipasi pemilih dalam sejumlah pemilihan kepala daerah yang
berlangsung di kabupaten/kota di Jawa Barat selama rentang waktu 2005-2008
sangat bervariasi. Di Kabupaten Garut, tingkat partisipasi pemilih dalam
Pemilihan Bupati Garut pada tahun 2008 adalah sebesar 65,7%. Jumlah ini tidak
jauh berbeda dengan hasil Pemilihan Bupati Kuningan pada tahun 2008 sebesar
67%. Di Kabupaten Ciamis, pemilihan bupati ditandai dengan tingkat partisipasi
pemilih yang cukup tinggi sebesar 73,21%, seperti juga di Kota Bandung,
partisipasi pemilih dalam Pemilihan Walikota Bandung tahun 2008 adalah sebesar
73,5%. Di Kabupaten Majalengka yang menyelenggarakan pemilihan bupati dan
wakil bupati pada tahun 2008, tingkat partisipasi pemilih mencapai 73,34%.
Jumlah ini relatif tinggi dibandingkan dengan partisipasi pemilih dalam Pemilihan
Kepala Daerah di Kabupaten Bekasi pada tahun 2007 yang hanya diikuti oleh

93
52,86% pemilih. Tingginya jumlah masyarakat yang tidak memberikan suara
(golput) juga tampak pada Pilkada Kota Bogor yang berjumlah 35,99% dari
keseluruhan jumlah pemilih yang terdaftar. Demikian pula jumlah golput dalam
Pemilihan Bupati Cianjur tahun 2006 cukup tinggi.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan berpartisipasi politik
dengan memberikan suara dalam pemilu, pilpres, maupun pilkada di Jawa Barat
rata-rata berada pada level 50% sampai dengan 70%. Artinya, tingkat partisipasi
politik ini relatif sedang, meskipun angka golput dalam beberapa pilkada
menunjukkan kecenderungan meningkat. Pemilih yang tak menggunakan hak
pilih (golput) dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2008 relatif tinggi.
Dari 27,9 juta pemilih yang terdaftar, jumlah golput mencapai 9,13 juta orang.
Jumlah golput ini mengungguli pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade)
yang memenangkan Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Pasangan Hade hanya
memperoleh suara 7,28 juta (40,03%) suara dari pemilih yang menggunakan hak
pilihnya. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 17,9 juta
orang. Pasangan Hade mengungguli pasangan Agum Gumelar-Nu’man
Abdulhakim (Aman) yang memperoleh 6,21 juta suara atau 34,55%. Sedangkan
pasangan Danny Setiawan-Iwan R Sulanjana (Aman) memperoleh 4,4 juta suara
atau 24,95%.
Dari pemilih yang menggunakan hak suaranya ini, sebanyak 806.560 suara
dinyatakan tidak sah. Kendati angka golput sangat tinggi, namun dari sisi
partisipasi dianggap cukup bagus. Angka partisipasi dalam Pemilihan Gubernur
ini 67,31%. Angka partisipasi ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka partisipasi
pilkada di provinsi lainnya.
Tingginya golput disebabkan oleh banyak hal, termasuk adanya pemilih
yang tidak menggunakan hak pilih karena sedang bekerja di luar negeri. Selain
itu, kecenderungan golput juga menjadi pilihan dari kalangan pemilih yang
bersikap kritis. Pemilih kritis ini menganggap ketiga cagub-cawagub tidak sesuai
dengan aspirasi politik yang dikehendaki. Banyaknya golput bukan berarti
Pemilihan Gubernur Jawa Barat gagal, karena di negara lain yang demokrasinya
sudah bagus, angka golput bisa mencapai 60%.

94
Kualitas penyelenggaraan pesta demokrasi, baik yang berwujud pemilu,
pilpres, maupun pilkada tidak hanya dilihat dari angka partisipasi dan angka
golput, tapi yang lebih penting adalah dari kesadaran politik masyarakat untuk
berpartisipasi dalam beragam pemilihan tersebut. Melihat kecenderungan budaya
politik di Jawa Barat, tampaknya tingginya angka golput cenderung disebabkan
oleh faktor teknis bukan karena penyebab politis atau ideologis. Banyak
masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya karena lebih memilih untuk
bekerja, terutama mereka yang bekerja untuk memperoleh upah harian, seperti
buruh tani, buruh pabrik, dll. Artinya, untuk meningkatkan partisipasi politik
sesungguhnya tidak hanya diperlukan pendidikan politik tapi juga peningkatan
kesejahteraan sehingga masyarakat dapat memberikan suaranya dengan kesadaran
politik yang otonom.

III.6.2. Jumlah Partai Politik, Organisasi Non Pemerintah, dan Lembaga


Swadaya Masyarakat
Perkembangan jumlah partai politik yang ada di Jawa Barat menjelang
pelaksanaan Pemilu tahun 1999 yang terdaftar mencapai 74 partai politik dan pada
tahun 2004 terdaftar sebanyak 48 partai politik. Perkembangan jumlah partai
politik di Jawa Barat yang ditetapkan menjadi peserta Pemilu tahun 1999
mencapai 48 partai politik dan pada Pemilu 2004 mencapai 24 partai politik.
Jumlah ini mengalami peningkatan menjelang Pemilu 2009 yang diikuti oleh 44
partai politik di Jawa Barat (KPU Jabar, 2008).
KPU Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT)
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dalam Pemilu 2009 sebanyak 11 (sebelas)
Daerah Pemilihan, yakni:
1. DP I meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi.
2. DP II meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
3. DP III meliputi Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten
Cianjur.
4. DP IV meliputi Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
5. DP V meliputi Kota Depok.
6. DP VI meliputi Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.

95
7. DP VII meliputi Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta.
8. DP VIII meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten
Indramayu.
9. DP IX meliputi Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten
Majalengka.
10. DP X meliputi Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Kuningan.
11. DP XI meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, dan
Kabupaten Garut.
Perubahan wilayah pada daerah-daerah pemilihan ini hanya terjadi pada DP II
yang ditambah dengan Kabupaten Bandung Barat sebagai kabupaten baru hasil
pemekaran Kabupaten Bandung.
Ditinjau dari jumlah organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM), mengalami peningkatan sejak tahun 2003, sebagaimana
ditunjukkan pada data berikut ini.

Gambar 3.9 Jumlah LSM dan Anggota LSM di Jawa Barat Tahun 2003-2006
4466
4500
4000
3500
3000
2500 LSM
2000
1129 Anggota
1500
1000 377 543
500 57 62 211 127
0
2003 2004 2005 2006

Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2003-2006, diolah

Data tersebut menunjukkan bahwa animo masyarakat untuk membentuk


organisasi cukup tinggi, terutama pada tahun 2005 pascapelaksanaan Pemilu 2004
dan menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki semangat berpartisipasi
yang cukup tinggi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan. Pada
tahun 2007, tercatat terjadi peningkatan jumlah LSM menjadi 190 LSM dan 394
ormas dengan berbagai klasifikasi. Namun, basis data yang aktual dan valid

96
mengenai jumlah riil LSM dan anggota-anggotanya belum tersedia, termasuk
profil LSM yang ada di Jawa Barat, sehingga sulit dipetakan karakteristik dan
keaktifan LSM tersebut sebagai institusi mediasi yang berperan dalam
pemberdayaan masyarakat.

97
BAB IV
AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

IV.1. Penanggulangan Kemiskinan


Kondisi kesejahteraan sosial masyarakat diindikasikan dengan jumlah
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Di Jawa Barat pada tahun
2007 jumlah PMKS mencapai 3.218.872 PMKS. Dari jumlah PMKS tersebut,
58,1% didominasi oleh masalah fakir miskin, sementara masalah anak terlantar
dan lanjut usia terlantar masing-masing sebesar 10,3% dan 7,3%. Berdasarkan
kondisi tersebut tentunya upaya untuk meningkatkan penggalian Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) perlu ditingkatkan sehingga dapat
mendorong pemulihan PMKS untuk kembali berperan dan berfungsi di
masyarakat sesuai dengan fungsi sosialnya.

Berdasarkan data BPS Jabar, sampai dengan Maret 2008, jumlah


penduduk miskin di Jawa Barat berjumlah 5,32 juta jiwa, atau 13,01% dari total
penduduk Jawa Barat yang diperkirakan mencapai diatas 40 juta jiwa. Jika
dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan yang sama tahun 2007 yang
berjumlah 5,46 juta jiwa (13,55%), maka telah terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin sebesar 0,14 juta jiwa. Namun ditengarai bahwa resmi angka
terakhir dari BPS akhir 2008 akan menunjukkan kembali naiknya angka
kemiskinan Jawa Barat karena adanya kenaikan harga BBM akibat dikuranginya
subsidi karena tekana harga minyak mentah internasional.
Dalam kurun waktu setahun terakhir (Maret 2007-Maret 2008) penduduk
miskin yang tinggal di daerah perdesaan turun sebesar 0,83 persen sedangkan di
daerah perkotaan turun 0,33 persen. Secara absolute selama periode Maret 2007 –
Maret 2008, penduduk miskin di perdesaan berkurang 0,10 juta orang sementara
di perkotaan turun sebanyak 0,04 juta orang. Persentase penduduk miskin yang
tinggal di daerah perdesaan pada bulan Maret tahun 2008 terhadap penduduk
miskin Jawa Barat adalah sebesar 50,82 persen, terjadi penurunan sebesar 0,50
persen jika dibanding tahun 2007 (51,32 persen). Penurunan tingkat kemiskinan
Jawa Barat di lokasi perkotaan yang lebih lambat dibandingkan kota kemungkinan

98
besar tetap diakibatkan faktor urbanisasi diperkirakan menjadi salah satu
penyebab kenapa jumlah penduduk miskin di perkotaan menurun lebih lambat
dibandingkan di perdesaan.

Berdasarkan lapangan pekerjaan (data tahun 2005), sebagian besar


penduduk miskin di Jawa Barat memiliki mata pencaharian sebagai petani (padi,
palawija, perkebunan, peternakan, dan perikanan), yaitu sebesar 34,13%. Sisanya
berasal dari sektor jasa, perdagangan, dan angkutan, yaitu masing-masing sebesar
12,4%, 7%, dan 3%. Sementara itu, yang tidak memiliki pekerjaan sebesar 24,8%.
Hal ini sesuai dengan karakteristik masyarakat pedesaan yang lebih banyak
mengandalkan sector pertanian sebagai mata pencahariannya.

Kemiskinan di Jawa Barat tercermin pula dari semakin memburuknya


angka gini rasio Jawa Barat, dari 0,185 pada tahun 2004 menjadi 0,190 pada tahun
2006. Sementara itu, angka gini rasio untuk tahun 2007 diperkirakan tidak
mengalami perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 25 kota/kabupaten di
Jawa Barat, daerah yang memiliki tingkat ketimpangan tertinggi adalah
Kabupaten Cirebon dengan gini rasio sebesar 0,247, diikuti oleh Kabupaten
Subang (0,233) dan Kabupaten Majalengka (0,232). Daerah yang memiliki tingkat
ketimpangan terendah adalah Kabupaten Kuningan (0,154), diikuti oleh
Kabupaten Ciamis (0,165) dan Kabupaten Bandung (0,171). Jelasnya dapat dilihat
table berikut:

99
Tabel 4.1. Gini Ratio dan 40% Kelompok Penduduk dengan pendapatan
Terkecil Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota, 2004-2006

Dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di Jawa Barat, pada


tahun 2007 ini pemerintah provinsi Jawa Barat melakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat miskin, diantaranya dengan
meningkatkan kesempatan kerja dan pemberdayaan keluarga miskin melalui
Bantuan Modal Usaha, serta penyesuaian upah dengan pertimbangan pemenuhan
kebutuhan fisik minimal dan inflasi yang terjadi. Selain itu, dalam rangka
mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin (RTM), pemerintah pusat
melalui program raskin memberikan bantuan sebagian kebutuhan pangan dalam

100
bentuk beras kepada rumah tangga miskin. Di Jawa Barat pada tahun 2007 akan
disalurkan beras bersubsidi kepada 2.491.055 RTM yang tergolong sangat miskin
dan miskin menurut data BPS sebanyak 10 kg/RTM/bulan selama 12 bulan
dengan harga Rp1.000,00/kg.
Selama kurun waktu Maret 2007 – Maret 2008 garis kemiskinan naik
sebesar 6,32 persen, yaitu dari Rp.165.734,- per kapita per bulan pada Maret 2007
menjadi Rp.176.216,- pada Maret 2008. Apabila kita memperhatikan komponen
Garis Kemiskinan (GK), yang disusun dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan
komoditi makanan sangat dominan dibandingkan peranan komoditi bukan
makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sebagai cerminan
bahwa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah didominasi oleh
pengeluaran untuk kebutuhan makanan.

Tabel 4.2. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin


Menurut Lokasi, Maret 2007 – Maret 2008

Upaya lainnya adalah melalui pengendalian pertambahan jumlah


penduduk dengan meningkatkan pengendalian migrasi, meningkatkan akses
masyarakat terhadap alat kontrasepsi baik di pedesaan maupun di perkotaan, serta
menghindari terjadinya perkawinan pada usia muda. Selain langkah-langkah di

101
atas, Pemprov Jabar berupaya pula meningkatkan peran pemkab/pemkot dalam
percepatan pencapaian IPM antara lain melalui Program Pendanaan Kompetisi
akselerasi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM).
Peningkatan IPM sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui tiga pilar utama, yang terdiri dari kesejahteraan
pendidikan, kesehatan dan pendapatan masyarakat. Jika masyarakat memiliki
pendidikan yang memadai, tingkat kesehatan yang baik serta pendapatan atau
tingkat daya beli yang tinggi, menggambarkan sebuah kehidupan masyarakat yang
sejahtera

IV.1.1. Kualitas Hidup Manusia Jawa Barat

Pembangunan kualitas hidup penduduk Jawa Barat tetap menjadi prioritas


pembangunan daerah. Perkembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Jawa
Barat menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Hal tersebut antara
lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
dihitung berdasarkan tiga indikator yaitu Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan,
dan Indeks Daya Beli. Pada Tahun 2007, IPM Jawa Barat mencapai angka 70,69,
meningkat sebesar 0,38 poin dibandingkan tahun sebelumnya, 2006 yaitu sebesar
70,31. Dalam rentang 2004–2007, IPM Jawa Barat meningkat sebesar 2.33 point
dari angka 68,36 pada Tahun 2004 menjadi 70,69 pada Tahun 2007, angka
capaian ini sedikit lebih kecil dibandingkan dengan angkat target IPM 2007 yang
diharapkan sebesar 70.80.

Dalam rentang waktu yang sama, Indeks Pendidikan meningkat sebesar


1,19 poin, dari 79,02 pada Tahun 2004 menjadi 80,21 pada Tahun 2007; Indeks
Kesehatan mengalami peningkatan sebesar 3,74 poin, dari 67,23 pada Tahun
2004 menjadi 70,97 pada Tahun 2007; dan Indeks Daya Beli sebesar 2,07 poin,
dari 58,83 pada Tahun 2004 menjadi 60,90 pada Tahun 2007. Pencapaian indeks
pendidikan merupakan gabungan dari Angka Melek Huruf (AMH) dan rata-rata
lama sekolah (RLS). AMH pada tahun 2007 adalah sebesar 95,32% (angka
sementara). Tahun 2007 RLS mencapai 7,50 tahun (angka sementara), Angka
Harapan Hidup (AHH) menunjukkan angka sebesar 67,58 tahun pada tahun 2007.

102
Sedangkan paritas daya beli (purchasing power parity) menunjukkan angka
Rp 623.526,00 pada tahun 2007.

Pembangunan bidang pendidikan telah dilaksanakan dengan menitik


beratkan pada upaya akselerasi penuntasan program Wajib Belajar 9 tahun
melalui pendidikan formal maupun non formal, serta rintisan Wajib Belajar 12
tahun untuk kota-kota dengan angka partisipasi di jenjang pendidikan dasar yang
sudah optimal. Untuk aspek peningkatan mutu, relevansi dan daya saing,
pencapaian yang cukup penting ditunjukkan oleh telah terbentuknya lembaga tri
partit antara pemerintah, dunia usaha, dan sekolah sebagai media untuk
meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, termasuk penyerapan lulusannya di
dunia kerja. Seiring dengan hal tersebut upaya mengedepankan sekolah kejuruan
juga telah dimulai dengan mengubah proporsi jumlah sekolah dan siswa antara
SMA dan SMK, yang semula 60:40 menjadi 40:60, dengan fokus pembelajaran
pada pendidikan vokasional (life skill) yang mengutamakan kompetensi daerah.

Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan


pengembangan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat terus dilakukan. Namun
demikian, pencapaian indikator kesehatan di Jawa Barat masih berada di bawah
rata-rata nasional. Pada tahun 2006 angka kematian bayi (AKB) di Jawa Barat
sebesar 40,26/1000 kelahiran hidup, sedangkan AKB nasional sebesar 38/1000
kelahiran hidup dan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan pada tahun 2003
sebesar 321/100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKI nasional sebesar
307/100.000 kelahiran hidup. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain masih tingginya kasus penderita gizi buruk balita, yaitu sebanyak 38.760 dan
gizi kurang sebanyak 380.673 dari jumlah 3.536.981 balita yang ditimbang. Di
samping itu masih adanya kasus yang disebabkan oleh penyakit menular, seperti
flu burung dari 60 suspect tercatat 6 orang penderita meninggal dunia pada bulan
Maret 2007 dan kasus AIDS sebesar 1.578 penderita dan HIV positif sebesar
1.543 penderita (jumlah kumulatif tahun 1998 – Desember 2007).

Faktor lain yang mempengaruhi indikator kesehatan adalah pelayanan


kesehatan dasar, diantaranya jumlah puskesmas yang pada tahun 2007 berjumlah
1.007 puskesmas dari kebutuhan sebesar 1.358 puskesmas, tenaga bidan

103
desa/kelurahan berjumlah 7.167 orang dari kebutuhan 5.873 orang. Namun
demikian berdasarkan standar pendidikan bidan yang dapat melayani pelayanan
kesehatan minimal Diploma III (D3) dan saat ini baru berjumlah 2.215 orang,
sedangkan bidan lainnya berjumlah 4.952 orang baru memiliki tingkat pendidikan
Diploma I (D1).

Dalam rangka penyelamatan Ibu dan Anak telah dilaksanakan


pengembangan pelayanan kegawat daruratan kebidanan dan Bayi Baru Lahir
melalui pengembangan Puskemas mampu melaksanakan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergency Dasar (PONED) masing-masing 4 Puskesmas di 16
Kabupaten (65 Puskesmas mampu PONED) dan kini sudah berkembang menjadi
92 Puskesmas mampu PONED.

Terlihat bahwa kinerja pembangunan Jawa Barat sangat kurang berhasil


dalam upaya memperbaiki kemampuan daya beli masyarakatnya. Memang seperti
halnya peningkatan indeks pendidikan, nilai indeks kesehatan dapat didorong
lebih tinggi lagi dengan suntikan dana APBD sesuai dengan fungsi pemerintah
sebagai dinamisator. Namun hal ini tentunya tidak bisa dilakukan untuk
mendorong indeks daya beli. Peningkatan PDRB Jawa Barat yang juga dibarengi
oleh makin tingginya minat dan realisasi investasi tidak dapat mendorong indeks
daya beli untuk menjadi lebih baik lagi. Secara riil memang menurunnya indeks
daya beli tercermin dari meningkatnya jumlah kemiskinan dan pengangguran,
lebih jauh lagi data dari BI menunjukkan bahwa tingkat inflasi (kenaikan harga
secara umum) yang terjadi di Jawa Barat turun naiknya sangat dipengaruhi lebih
banyak oleh aspek sisi penawaran selain oleh sisi permintaan, yaitu kurangnya
ketersediaan beberapa bahan makanan terutama beras. Dengan melihat relatif
lebih baiknya tingkat sarana dan prasarana (infrastruktur dan suprastruktur) di
Jawa Barat dibandingkan daerah lain, rendahnya indeks daya beli ini ini memang
mengkhawatirkan. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pemerataan distribusi
dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok masyarakat Jawa Barat masih
menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah propinsi Jawa Barat.

104
IV.1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan PDRB

Kondisi perekonomian makro Jawa Barat mengalami pertumbuhan pada


kurun waktu tahun 2004-2007, hal ini ditunjukan dengan peningkatan LPE
sebesar 4,77% pada tahun 2004 menjadi 6,41% pada tahun 2007. Menurut Bank
Indonesia (2007), peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tersebut
didukung oleh stabilitas ekonomi nasional yang tetap terjaga dan bersumber dari
meningkatnya perdagangan luar negeri, konsumsi dan bertambahnya kegiatan
investasi. Hal yang juga mendukung peningkatan LPE adalah terkendalinya laju
inflasi. Inflasi pada tahun 2007 tercatat sebesar 5,10%, turun dari tahun 2004
sebesar 7,56%.

Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Barat Tahun 2004-
2007

TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) (%) 4,77 5,62 6,01*) 6,40**)

Inflasi (%) 7,56 18,51 6,15 5,10

Sumber : BPS Jawa Barat, 2004-2007


*)
angka sementara.
**)
hasil estimasi triwulanan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pada Tahun 2007 masih


didominasi oleh sektor Industri Manufaktur sebesar 43,76%, sektor Perdagangan,
Hotel dan Restoran sebesar 20,84% dan sektor Pertanian sebesar 13,01%.

105
Tabel 4.4 Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat Tahun 2004-2007

TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007
PDRB adh berlaku 304.458.450,69 389.268.649,47 473.556.757,60 542.272.108,70*)
(juta Rp)

Kontribusi sektor industri 41,88 44,46 45,24 41,21 **)


manufaktur (%)

Kontribusi sektor 18,91 19,08 19,40 22,31 **)


perdagangan, hotel dan
restoran (%)

Kontribusi sektor 13,49 11,93 11,12 12,45 **)


pertanian (%)

Sumber : BPS Jawa Barat, 2003-2007


*)
angka sementara estimasi triwulan III 2007.
**)
angka sementara estimasi triwulan IV 2007.

Peningkatan LPE Jawa Barat yang cukup signifikan ini tentunya


diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan dan jumlah pengangguran di
Jawa Barat, namun peningkatan pertumbuhan ekonomi secara makro tersebut
belum sepenuhnya dapat mempengaruhi proporsi penduduk miskin dan tingkat
pengangguran terbuka di Jawa Barat.

Untuk data triwulanan terbaru BPS, Kinerja perekonomian Jawa Barat


yang tergambarkan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar
harga konstan memasuki triwulan II tahun 2008, mengalami pertumbuhan sebesar
1,08 persen, mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang tumbuh minus 0,11 persen. Sementara itu jika dilihat dari laju
pertumbuhan ekonomi secara year on year (dibandingkan dengan triwulan II
tahun 2007), kinerja perekonomian Jawa Barat mampu tumbuh sebesar 4,68
persen.

Pada triwulan II ini, jika dilihat secara qtq ada sektor-sektor yang
mengalami pertumbuhan positif diantaranya, sektor keuangan, persewaan dan jasa
mampu tumbuh sebesar 8,03 persen, sektor industry pengolahan sebesar 6,41
persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 6,28 persen, sector
bangunan sebesar 1,20 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar
0,73 persen. Sedangkan empat sektor lainnya mengalami pertumbuhan yang

106
negatif. Sektor-sektor tersebut adalah sector pertanian sebesar minus 14,64 persen,
sector pertambangan dan penggalian sebesar minus 4,18 persen, listrik, gas dan air
bersih sebesar minus 2,58 persen dan sektor jasa-jasa sebesar minus 0,18 persen.

Berdasarkan Tabel berikut, pada triwulan II tahun 2008, sektor yang


memiliki peranan terbesar dalam pembentukan PDRB Jawa Barat berturut-turut
adalah sektor industri pengolahan sebesar 43,25 persen, sektor perdagangan, hotel
dan restoran sebesar 19,45 persen, sektor pertanian sebesar 13,47 persen dan
sektor jasa-jasa serta sektor pengangkutan dan komunikasi masing-masing sebesar
7,90 persen dan 6,08 persen. Sedangkan sektor-sektor yang memiliki peranan
relatif kecil dalam pembentukan PDRB triwulan II tahun 2008 adalah sektor
bangunan sebesar 2,95 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
sebesar 2,67 persen, sektor LGA sebesar 2,29 persen dan sektor pertambangan
dan penggalian sebesar 1,94 persen.

Tabel 4.5 Struktur Ekonomi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha


Triwulan I 2008 dan Triwulan II Tahun 2008 (Persentase)

Sumber: BPS, 2008

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), pada Tahun 2007 tercatat


sebesar Rp 87,137 trilyun (atas dasar harga berlaku), jika dibandingkan dengan

107
Tahun 2004 yaitu sebesar Rp 49,749 trilyun, terjadi kenaikan kurang lebih sebesar
75%.

Tabel 4.6 Pembentukan Modal Tetap Bruto Jawa Barat Tahun 2004-2007

TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007

Pembentukan Modal
Tetap Broto (PMTB)
a.d.h.Berlaku (juta 49.749.372,82 63.646.174,39 75.641.574,78*) 87.137.142,96**)
Rp.)

Sumber : BPS Jawa Barat, 2004-2007


*)
angka sementara.
**)
angka sementara estimasi triwulan III 2007

Data terakhir Triwulan II Tahun 2008 juga menunjukkan bahwa


Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atas dasar harga berlaku mengalami
peningkatan dari Rp. 25,09 triliun pada triwulan I menjadi Rp. 26,93 triliun pada
triwulan II tahun 2008. Peranan PMTB pada triwulan II tahun 2008 sebesar 17,75
persen, lebih besar dari triwulan sebelumnya yang sebesar 17,68 persen. PMTB
atas dasar harga konstan 2000 pada triwulan II tahun 2008 (Rp 12,59 triliun) naik
sebesar 2 persen bila dibandingkan dengan triwulan I (Rp. 12,35 triliun). PMTB
secara year on year meningkat sebesar 8,47 persen.

IV.2. Peningkatan Ekspor Non Migas dan Investasi

Nilai ekspor Jawa Barat hingga November 2007 mencapai USD16,60


milyar, atau tumbuh 5,93% (yoy). Pertumbuhan tersebut didorong oleh
meningkatnya permintaan ekspor terhadap produk kulit dan barang dari kulit serta
produk pulp, kertas, dan barang dari kertas. Nilai ekspor produk kulit dan barang
dari kulit mencapai USD157,82 juta (tumbuh 49,25% (yoy)), sedangkan nilai
ekspor pulp, kertas, dan barang dari kertas mencapai USD899,86 juta (tumbuh
16,32% (yoy)). Sementara itu, dilihat dari kontribusinya, ekspor Jawa Barat
didominasi oleh komoditas tekstil dan produk tekstil (26,01%) serta komoditas
mesin dan perlengkapan elektronik (32,24%).

108
Gambar 4.1 Perkembangan Ekspor Jawa Barat 2006-2007

Disisi lain, Kinerja impor Jawa Barat diperkirakan tumbuh 2,20% (yoy),
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan peridoe sebelumnya yang sebesar 9,31%
(yoy) (Grafik 1.20.). Perlambatan kinerja impor ini antara lain dipengaruhi oleh
peningkatan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah yang terjadi selama semester
kedua tahun 2007. Volatilitas nilai tukar yang semakin besar mendorong importir
untuk cenderung menahan impor dari negara lain. Nilai impor pada triwulan ini
(Oktober- November 2007) terkoreksi cukup tajam sebesar 21,52% (yoy).
Komoditas impor yang mengalami penurunan terbesar antara lain adalah produk
mesin listrik dan alat-alatnya, serta produk telekomunikasi.

Gambar 4.2 Perkembangan Impor Jawa Barat 2006-2007

109
Perkembangan selanjutnya, nilai ekspor non migas Jawa Barat atas dasar
harga berlaku naik dari Rp. 60,83 triliun pada triwulan I menjadi Rp.63,26 triliun
pada triwulan II tahun 2008. Kontribusi nilai ekspor terhadap PDRB atas dasar
harga berlaku pada triwulan II tahun 2008 sebesar 41,71 persen lebih rendah jika
dibanding dengan triwulan I yang sebesar 42,87 persen dan lebih rendah jika
dibanding dengan triwulan II tahun 2007 sebesar 43,11 persen. Nilai ekspor pada
triwulan II tahun 2008 berdasarkan harga konstan 2000 turun sebesar 5,62 persen
dibanding triwulan I, yaitu dari Rp. 31,18 triliun menjadi Rp. 29,43 triliun.
Apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2007, nilai ekspor
atas dasar konstan 2000 triwulan II tahun 2008 turun sebesar 10,53 persen
Berbeda dengan kondisi triwulan II-2008 yang mengalami kontraksi,
kinerja ekspor Jawa Barat triwulan III-2008 diperkirakan mengalami ekspansi
dengan pertumbuhan sebesar 4,45% (yoy). Peningkatan kinerja ekspor Jawa Barat
tercermin dari pertumbuhan nilai ekspor selama periode Juli 2008 hingga Agustus
2008 yang tumbuh 15,71% (yoy) dengan nilai kurang lebih USD 3,62 miliar,
sedangkan volume ekspor tumbuh 5,28% (yoy) mencapai 1,4 ribu ton. Kontribusi
ekspor terbesar disumbangkan oleh produk TPT, dengan nilai mencapai USD971
juta atau tumbuh 8,85% (yoy). Sementara itu, ekspor kendaraan bermotor Jawa
Barat mencapai USD159 juta, atau tumbuh 22,60% (yoy).
Data terakhir menunjukkan pula bahwa Impor Jawa Barat tumbuh sejalan
dengan meningkatnya permintaan dalam negeri nasional, khususnya untuk
pemenuhan kebutuhan investasi. Nilai impor Jawa Barat triwulan III-2008 (Juli-
Agustus 2008) mencapai USD1,58 miliar, atau tumbuh sebesar 4,84% (yoy).
Impor Jawa Barat ini didominasi oleh impor barang modal dengan nilai mencapai
USD589 juta.

110
Gambar 4.3 Perkembangan Ekspor dan Impor 2006-2008

Kondisi ekspor-impor Jawa Barat sekaligus memberikan gambaran


mengenai posisi perekonomian Jawa Barat yang bersifat terbuka terhadap
perdagangan regional maupun internasional. Terlihat bahwa propinsi ini telah
berusaha memaksimumkan potensi aktivitas ekonomi daerahnya dari hubungan
dengan wilayah sekitarnya, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Semakin besar hubungan ekspor-impor tersebut menunjukkan bahwa Jawa Barat
memiliki tingkat openness yang membesar. Para pengamat ekonom sepakat
bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat keterbukaan suatu daerah dengan
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Oleh sebab itu melihat kecenderungan
yang semakin besar pada aktivitas ekspor-impor Jawa Barat, maka diprediksi
potensi pertumbuhan ekonominya pun akan tumbuh lebih baik di masa yang akan
datang. Namun tidak dipungkiri pula bahwa dengan adanya kontraksi
pertumbuhan ekonomi internasional akibat krisis keuangan global akan
menurunkan ekspektasi ini karena dianggap berlebihan dan tidak
mempertimbangkan turunya permintaan impor dari luar negeri.

111
Tabel 4.7 Realisasi Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam
Negeri Jawa Barat Tahun 2004-2007

TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007
Realisasi PMA dan PMDN :

Jumlah investasi (trilyun Rp) 14,146 18,371 23,741 20,846

Jumlah proyek (buah) 221 350 285 262

Jumlah tenaga kerja (orang) 58.281 97.382 76.161 61.041


Sumber : BPPMD Provinsi Jawa Barat, 2004-2007

Laju pertumbuhan investasi yang ditanamkan di Jawa Barat melalui


Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN),
pada periode Tahun 2004–2007, memperlihatkan kecenderungan meningkat.
Kondisi ini memberikan sinyalemen bahwa iklim investasi di Jawa Barat cukup
memberikan peluang bagi para pemodal untuk menanamkan investasinya di Jawa
Barat. Namun investasi yang cukup besar di Jawa Barat tersebut, belum
sepenuhnya dapat memberikan efek langsung dalam meningkatkan kualitas dan
menyerap sumber daya manusia daerah. Pada periode 2004 - 2007, rata-rata
pertumbuhan investasi PMA dan PMDN mencapai 19,13% pertahun. Realisasi
investasi PMA dan PMDN pada Tahun 2006 sebesar Rp. 23,741 trilyun, jika
dibanding dengan Tahun 2005 sebesar Rp. 18,371 trilyun, pada periode tersebut
(2005-2006) merupakan pencapaian pertumbuhan investasi terbesar, yaitu sebesar
Rp. 5,37 trilyun atau 29,23%. Secara keseluruhan nilai realisasi investasi PMA
dan PMDN mengalami peningkatan, dari Rp. 14,146 trilyun pada Tahun 2004,
menjadi Rp. 18,371 trilyun Tahun 2005, dan pada Tahun 2007 sebesar Rp 20,914
trilyun. Realisasi PMA dan PMDN di Jawa Barat periode Januari–Juli 2008
mencapai Rp19,43 triliun atau 82,5% total realisasi tahun 2007. Sebagian besar
realisasi investasi tersebut (88%) adalah PMA dengan jumlah 216 proyek dan
menyerap tenaga kerja sebesar 65.823 orang, sedangkan sisanya 12% adalah
PMDN dengan 37 proyek dan menyerap tenaga kerja sebesar 10.435 orang
Gambaran ini menunjukkan terjadinya kecenderungan peningkatan
investasi yang merupakan kontribusi dari peningkatan investasi PMA maupun

112
PMDN sebagai dampak membaiknya iklim investasi. Iklim investasi di Jawa
Barat menunjukkan perkembangan yang terus membaik. Posisi Jawa Barat yang
strategis menempatkan Jawa Barat menjadi tujuan utama untuk investasi, baik
Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). Namun demikian, pertumbuhan investasi belum mampu meningkatkan
keterkaitan dengan usaha ekonomi lokal dan kesempatan kerja. Hal ini ditengarai
akibat belum efisien dan efektifnya birokrasi perizinan, belum adanya kepastian
hukum dan kepastian berusaha dalam bidang penanaman modal, masih rendahnya
infrastruktur pendukung adalah merupakan kendala dalam upaya peningkatan
investasi di Jawa Barat.

IV.3. Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pasca krisis tahun 1997 mengalami


peningkatan, hal ini didorong oleh tiga sektor utama yaitu sektor Industri
Pengolahan, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran serta sektor Pertanian.
Namun demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut belum dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan masih tingginya jumlah penduduk
miskin dan pengangguran.
Sektor industri manufaktur Jawa Barat merupakan kontributor utama
ekonomi daerah yang mampu memberikan kontribusi sebesar 44,68%, hal ini
didukung oleh banyaknya kawasan industri. Namun demikian, daya saing industri
tersebut masih rendah, hal ini disebabkan oleh tingginya ketergantungan pada
bahan baku impor, rendahnya kemampuan dalam pengembangan teknologi,
rendahnya kemampuan dan keterampilan sumber daya industri serta tingginya
pencemaran limbah industri. Sektor industri pengolahan diperkirakan tumbuh
sekitar 5,15% (yoy), dan memberikan kontribusi yang terbesar terhadap
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Sebagaimana pola periode sebelumnya, kinerja
sektor industri pengolahan masih didorong oleh pertumbuhan sektor non migas,
sedangkan kinerja sektor migas masih menunjukkan tren yang menurun.
Pertumbuhan sector non migas terutama didorong oleh meningkatnya kinerja
subsektor alat angkutan, mesin, dan peralatannya. Kinerja subsektor tersebut

113
tumbuh sejalan dengan meningkatnya permintaan produk mesin dan alat angkut
untuk pasar dalam negeri. Total penjualan mobil di Jawa Barat mencapai 47.379
unit, atau tumbuh 17,30% (yoy). Selain itu, penggunaan kapasitas produksi
subsektor tersebut pada triwulan IV-2007 (60%) lebih tinggi dibandingkan
periode yang sama tahun 2007 (10%).
Kinerja subsektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki diperkirakan
mengalami penurunan. Program peremajaan mesin TPT yang dilaksanakan pada
akhir tahun 2007, belum berdampak signifikan terhadap peningkatan produksi
TPT. Indikator kinerja ekspor TPT Jawa Barat mengindikasikan bahwa produksi
subsektor TPT relatif stagnan. Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit bank
umum ke sektor industri pengolahan tumbuh 23,99% (yoy). Nilai kredit ke sektor
industri pengolahan mencapai Rp13,81 triliun, lebih tinggi dibandingkan periode
yang sama tahun lalu sebesar Rp11,14 triliun ( Grafik 1.22.). Penyaluran kredit
sektor industri pengolahan didominasi oleh penyaluran kredit ke industri tekstil,
sandang, dan kulit, yaitu mencapai sekitar 70% dari total kredit yang disalurkan
ke sektor industri pengolahan.
Sektor industri pengolahan triwulan III-2008 diperkirakan tumbuh 9,15%
(yoy), sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan II-2008, namun lebih
tinggi dibandingkan triwulan III-2007. Tingginya pertumbuhan sektor industri
pengolahan terutama ditopang oleh subsektor industri alat angkut dan mesin dan
subsektor industri tekstil barang kulit dan alas kaki. Berbagai perusahaan
kendaraan bermotor yang memiliki pabrik di Jawa Barat (antara lain Honda dan
Toyota di Cikarang dan Karawang, Daihatsu di Cikampek) mencatat peningkatan
produksi yang cukup tinggi pada tahun 2008 ini, baik untuk memenuhi
permintaan domestik maupun luar negeri. Bahkan permintaan luar negeri
mengalami peningkatan signifikan untuk produk-produk tertentu. Nilai ekspor
kendaraan bermotor pada Juli dan Agustus 2008 tumbuh 22,60% (yoy) dan
volumenya tumbuh 12,20% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun
2007 (Grafik 1.22). Nilai ekspor produk TPT Jawa Barat selama Juli dan Agustus
2008 masih tumbuh sekitar 9% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama
tahun 2007, namun hal ini mungkin akibat order asing/luar negeri yang masih
tersisa dari tahun 2007, karena ke depan dikhawatirkan nilai akan turun seiring

114
penurunan pertumbuhan ekonomi internasional terlebih dengan adanya krisis
listrik yang menghantam dunia industry manufaktur khususnya di Jawa Barat.
Sektor perdagangan di Jawa Barat pengembangannya difokuskan pada
sistem distribusi barang dan peningkatan akses pasar, baik pasar dalam negeri
maupun pasar luar negeri. Pengembangan sistem distribusi diarahkan untuk
memperlancar arus barang, memperkecil disparitas antar daerah, mengurangi
fluktuasi harga dan menjamin ketersediaan barang yang terjangkau oleh
masyarakat. Sedangkan peningkatan akses pasar, baik dalam negeri maupun luar
negeri dilakukan melalui promosi produk Jawa Barat.
Provinsi Jawa Barat memiliki potensi pariwisata yang sangat beragam baik
dari sisi produk wisata maupun pasar wisatawan. Keragaman alam dan budaya
yang dimiliki tersebut merupakan modal dasar dalam pengembangan daya tarik
wisata. Berdasarkan data kunjungan wisatawan, secara nasional Jawa Barat
menduduki peringkat ke tiga setelah DKI Jakarta dan Bali. Untuk pengembangan
sektor pariwisata, kendala yang dihadapi adalah belum tertatanya objek wisata dan
masih rendahnya kualitas infrastruktur pendukung.

IV.4. Revitalisasi Pertanian

Pertanian di Provinsi Jawa Barat secara umum memiliki potensi yang


besar dan variatif, dan didukung oleh kondisi agroekosistem yang cocok untuk
pengembangan komoditas pertanian dalam arti luas (tanaman, ternak, ikan, dan
hutan). Jawa Barat sebagai produsen terbesar pada 40 (empat puluh) komoditas
agribisnis di Indonesia, khususnya komoditas padi yang memberikan kontribusi
terbesar terhadap produksi padi nasional. Sektor pertanian juga memiliki tingkat
penyerapan tenaga kerja yang tinggi yaitu rata-rata sebesar 29.65 persen dari
jumlah penduduk bekerja, meskipun prosentasi penyerapannya cenderung
menurun. Namun hubungan antar subsistem pertanian dan sektor lain (linkages)
belum sepenuhnya menunjukkan sinergitas pada skala lokal, regional dan
nasional, hal ini tercermin dari pengembangan agroindustri yang belum optimal
dalam pengolahan dan pemasarannya. Pengembangan yang bersifat sektoral pada
sistem pertanian serta ketidaksiapan dalam menghadapi persaingan global

115
merupakan kendala yang masih dihadapi sektor pertanian.
Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV-2007 mengalami perkembangan
yang positif dan diperkirakan tumbuh 7,79% (yoy). Perbaikan kinerja tersebut
terutama didorong oleh pertumbuhan subsektor tanaman pangan. Produksi sektor
pertanian pada triwulan ini lebih baik dibandingkan produksi pada periode yang
sama tahun lalu kecuali pada komoditas kedelai.

Tabel 4.8 Kinerja Sektor Pertanian Jawa Barat 2006-2007

Pada triwulan III, 2008, sektor pertanian diperkirakan tumbuh cukup


tinggi yakni sebesar 10,67% (yoy). Pertumbuhan sektor pertanian terutama
didorong oleh peningkatan produktivitas pada subsektor tanaman pangan dan
subsektor perkenbunan. Komoditas tanaman pangan yang mengalami peningkatan
signifikan adalah padi. Pertumbuhan sektor pertanian selama triwulan III-2008
terutama didorong oleh meningkatnya produksi subsektor tanaman pangan,
khususnya padi. Panen padi yang terjadi pada triwulan III-2008, berhasil dengan
baik di berbagai sentra produksi padi. Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Jawa Barat, realisasi produksi padi dari Januari s.d. Agustus 2008 telah
mencapai 8,48 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), atau tumbuh 9,50%
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007. Berdasarkan Angka
Ramalan III BPS, produksi padi Jawa Barat sepanjang tahun 2008 diramalkan
akan mencapai 10,11 juta ton GKG, atau 1,96% lebih tinggi dibandingkan
produksi padi pada tahun 2007 (Tabel 1.5). Berdasarkan angka perkiraan produksi
padi tersebut, produksi beras tahun 2008 diperkirakan mencapai 6.388.171 ton.
Peningkatan produksi padi tahun 2008 diperkirakan karena adanya peningkatan

116
produktivitas sebesar 3,03% yaitu dari 54,20 kuintal per hektar pada tahun 2007
menjadi 55,84 kuintal per hektar pada tahun 2008 meskipun luas panen terjadi
penurunan sebesar 18.878 hektar atau turun sebesar 1,03% jika dibandingkan
dengan tahun 2007.
Dalam triwulan III tahun 2008 ini juga ditunjukkan adanya peningkatan
kesejahteraan petani dengan berdasarkan hasil pemantauan BPS Jawa Barat
terhadap perkembangan harga-harga di perdesaan di 16 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat, Nilai Tukar petani NTP pada bulan September 2008 sebesar
96,85, meningkat 1,07% dibandingkan angka NTP pada bulan Juni 2008 yang
sebesar 95,82. Hal ini memang terasa belum maksimal karena tetap saja indeks
harga yang dibayar petani tetap rendah dibandingkan indeks harga yang
dibayarkan, namun setidaknya ini merupakan indicator yang peingkatannya
positif.
Jawa Barat memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan terutama dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir
selatan, usaha budidaya laut, bioteknologi kelautan, serta berbagai macam jasa
lingkungan kelautan. Namun kondisi dan potensi sumber daya perikanan dan
kelautan yang besar ini belum diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha
perikanan dan kelautan yang baik. Tingkat investasi sarana dan prasarana
pendukung bisnis kelautan serta produksi sumber daya perikanan dan kelautan
masih jauh dari potensi yang ada. Dilain pihak, lemahnya kondisi pembudidaya
dan nelayan sebagai produsen menyebabkan kurang berkembangnya kegiatan dan
pengelolaan industri pengolahan hasil perikanan dan kelautan.

IV.5. Pemberdayaan Koperasi, dan UMKM

Peranan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dan koperasi dalam
peningkatan pertumbuhan ekonomi masih perlu ditumbuhkembangkan. Hal
tersebut disebabkan kurangnya efektifitas fungsi dan peranan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah dalam pembangunan serta rentannya UMKM terhadap perubahan
harga bahan bakar. Masih tingginya kredit konsumsi dibandingkan dengan kredit
investasi juga menghambat kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi

117
sehingga kurang menopang aktivitas sektor riil. Selain itu, dibutuhkan
pengembangan UMKM dan koperasi yang mampu mengembangkan agroindustri
dan bisnis kelautan guna menunjang daya beli dan ketahanan pangan.

Permasalahan lainnya adalah penyaluran dana kredit untuk usaha mikro


kecil dan menengah. Dengan jumlah KUKM di Jawa Barat sebanyak 7,2 Juta unit
menunjukkan, bahwa lembaga ini sangat strategis dalam menopang perekonomian
Jawa Barat yang dibuktikan dengan kontribusi terhadap PDRB Jawa Barat yang
mencapai 63,56 % pada tahun 2006, Selain itu, KUKM mampu menyerap tenaga
kerja sebanyak 12..069.220 orang atau 92 % terhadap total pekerja. Jumlah tenaga
kerja itu, diperoleh melalui tiga sector utama, yaitu : Pertanian (52,52 %),
Perdagangan-Hotel Restoran (26,75 %) dan Angkutan Komunikasi (8,81%) 3.
Dalam upaya memperkuat ekonomi secara partisipatif lewat peran usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM) sesuai dengan nafas Perencanaan pembangunan
berdasarkan RPJM 2004-2009, perkembangan kredit UMKM di Jawa Barat pada
tahun 2007 di dua triwulan pertama, menunjukkan arah yang meyakinkan. Pada
akhir tahun 2006, penyerapan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
bank umum konvensional di Jawa Barat tetap tinggi. Sampai dengan akhir 2006,
posisi kredit UMKM telah mencapai Rp 46,53 triliun. Jika dibandingkan dengan
posisi total kredit bank umum konvensional di Jawa Barat pada triwulan laporan
sebesar Rp 57,77 triliun, pangsa kredit UMKM pada triwulan IV-2006 mencapai
80,55%. Dilihat dari jenis penggunaan, 41% dari posisi kredit UMKM yang
disalurkan untuk modal kerja (34,24%) dan investasi (6,37%), sedangkan 59%
dari posisi kredit UMKM merupakan kredit konsumsi. Pada akhir twulan II tahun
2007, kinerja pemberian kredit UMKM ini semakin menjanjikan. Hanya pada 6
bulan pertama di tahun 2007 saja, penyaluran kredit UMKM mencapai Rp 50,18
triliun, tumbuh 5,80% dibandingkan periode sebelumnya. Nilai kredit UMKM ini
mencapai 80,43% dari total kredit bank umum konvensional di Jawa Barat.
Sekitar 40% dari posisi kredit UMKM tersebut merupakan kredit modal kerja
(34%) dan investasi (6%), sedangkan 60% dari posisi kredit UMKM merupakan
kredit konsumsi. Menurut skala jumlah kredit, hampir setengah dari kredit

3
Berita dari Bappeda Jabar, www.bappeda-jabar.go.id

118
UMKM disalurkan dalam bentuk kredit mikro, yang mencapai jumlah Rp 23,21
triliun, sedangkan untuk kredit kecil dan menengah masing-masing sebesar Rp
14,05 triliun dan Rp 12,92 triliun.

Selama tahun 2006 sampai dengan triwulan ke II tahun 2007, sektor


Perdagangan, hotel dan restoran selalu menjadi sektor penyerap kredit MKM
terbesar, yakni mencapai Rp 10,83 triliun atau 21,58% kredit UMKM di bulan
Juni 2007. Subsektor yang merupakan penyerap kredit UMKM terbesar pada
sektor ini adalah subsektor perdagangan eceran. Selanjutnya, sektor industri
pengolahan adalah sector yang menyerap kredit UMKM terbesar kedua, mencapai
Rp4,88 triliun (9,73 %), yang sebagian besar diserap oleh subsektor industri
tekstil, sandang, dan kulit.
Data bulan Juni 2007, didasarkan pada kabupaten/kota, penyaluran kredit
UMKM terbesar terjadi di Kota Bandung, yaitu lebih dari 40% total kredit
UMKM bank umum konvensional di Jawa Barat. Yang terkecil adalah Kabupaten
Tasikmalaya yang hanya memperoleh 0,46% saja. Dengan membandingkan
kinerja pemanfaatan kredit UMKM antara tahun 2006 dengan triwulan II tahun
2007 (Table 5.9 dan 5.10), yang dapat dilihat dari angka kredit macet yang terjadi
(non performing loan) terlihat bahwa kinerja pemanfaatan kredit UMKM ini
makin membaik, angka rata-rata kredit macet UMKM mulai turun dari 3,59%
pada tahun 2006 menjadi hanya 3,05% pada akhir Juni, 2007. Dapat disimpulkan
sementara bahwa program pemberdayaan ekonomi masyarakat di Jawa Barat telah
berjalan sesuai dengan tujuan yang salah satunya ingin diarahkan oleh RPJMN
dalam salah satu misinya.

119
Tabel 4.9 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2006 (Rp Juta dan persen)

Sumber: LBU KBI Bandung

120
Tabel 4.10 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Juni 2007 (Rp Juta dan persen)

Sumber: LBU KBI Bandung

Untuk data triwulanan, penyaluran kredit mikro, kecil dan menengah


(MKM) oleh bank umum konvensional di Jawa Barat pada triwulan III-2008,
tumbuh 5,06% (qtq) atau 20,82% (yoy) menjadi Rp63,85 triliun. Pertumbuhan
kredit MKM tersebut tidak secepat pertumbuhan total kredit yang tumbuh 6,35
(qtq) atau 25,49 (yoy). Oleh karena itu, pangsa kredit MKM terhadap total kredit
mengalami sedikit penurunan dari 77,99% pada triwulan II- 2008 menjadi 77,05%
pada triwulan III-2008. Berdasarkan bank penyalur kredit, bank pemerintah di
Jawa Barat menyalurkan lebih dari setengah total kredit MKM (57,36%),
sedangkan bank swasta dan bank asing campuran menyalurkan masing-masing
sebesar 41% dan 1,65%. Sekitar 77% dari porsi kredit MKM tersebut merupakan
kredit modal kerja (35,79%) dan investasi (6,39%), sedangkan 57,84% dari porsi
kredit MKM merupakan kredit konsumsi. Menurut skala kreditnya, 41,16% kredit

121
MKM disalurkan dalam bentuk kredit mikro, sedangkan untuk kredit kecil dan
menengah dengan pangsa 31,62% dan 27,20%

Berdasarkan sektor ekonomi, sektor PHR adalah penyerap kredit MKM


terbesar, yakni mencapai Rp14,61 triliun atau 22,88% dari total kredit MKM.
Selanjutnya, sektor industri pengolahan adalah penyerap kredit MKM terbesar
kedua, mencapai Rp5,58 triliun (8,74%), yang sebagian besar diserap oleh
subsektor industri tekstil, sandang, dan kulit. Di urutan ketiga adalah sektor jasa
dunia usaha yang menyerap sekitar 4,07% dari total kredit MKM atau sebesar
Rp2,60 triliun.

Penyebaran kredit MKM di Jawa Barat masih terpusat di kota-kota besar


dan pusat industri. Kota Bandung merupakan penyerap kredit MKM terbesar
dengan pangsa sebesar 39,36% atau 25,13 triliun. Di urutan kedua Kota Bekasi
dengan pangsa 8,68% (Rp5,54 triliun), diikuti Kota Bogor dengan pangsa 7,80%
(Rp4,98 triliun). Kualitas kredit MKM bank umum konvensional di Jawa Barat
pada triwulan III-2008 lebih baik dibandingkan kualitas total kredit. Gross NPL
kredit MKM adalah sebesar 3,32%, lebih rendah dibandingkan rasio gross NPL
total kredit yang sebesar 3,57%.

IV. 6. Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan.

Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat menunjukkan perkembangan yang


cukup baik. Jumlah penduduk yang bekerja naik 5,7% (yoy) menjadi 15,85 juta
pada Agustus 2007. Angka pengangguran turun 7% (yoy) menjadi 2,38 juta jiwa
(13,05% dari total angkatan kerja) pada Agustus 2007. Namun demikian,
indikator kesejahteraan masyarakat lainnya relatif tidak banyak mengalami
perubahan. Hal ini diindikasikan antara lain oleh nilai tukar petani yang menurun
serta persentase penduduk miskin yang meningkat. Di sisi lain, distribusi
pendapatan di Jawa Barat juga masih belum menunjukkan perbaikan (lihat
bahasan kemiskinan di sub-bab III.7). Berdasarkan hasil Survei Indikator
Ekonomi yang dilakukan oleh BPS, data terakhir penyerapan tenaga kerja di Jawa

122
Barat pada triwulan III-2008 mengalami peningkatan sebesar 1,50%. Peningkatan
tenaga kerja ini terutama terjadi di sektor industri pengolahan dan PHR.

Gambar 4.4 Komposisi Penduduk Pekerja Berdasarkan Profesi dan Jenis


Pekerjaan 2007

Berdasarkan hasil sakernas tahun 2005 – 2007, jumlah angkatan kerja di


Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun
sebelumnya. Sampai dengan bulan Agustus 2007, angkatan kerja di Jawa Barat
tercatat 18,24 juta orang (62,51% dari total penduduk usia kerja), meningkat
3,87% dibandingkan angkatan kerja pada bulan Agustus 2006 yang sebesar 17,56
juta orang (61,41% dari total penduduk usia kerja). Meningkatnya jumlah
angkatan kerja tersebut disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk bekerja,
yaitu dari 14,99 juta pada Agustus 2006 menjadi 15,85 juta pada Agustus 2007.
Berdasarkan sektor ekonomi, peningkatan tersebut terutama didorong oleh
peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perdagangan, pertanian dan
angkutan, yang masing-masing bertambah sebanyak 0,38 juta orang, 0,3 juta
orang, dan 0,23 juta orang. Sementara itu, sector angkutan menunjukkan
penurunan, yaitu dari 1,53 juta orang pada Agustus 2006 menjadi 1,46 juta orang
pada Agustus 2007, atau turun 4,58%. Namun demikian, sektor pertanian masih
merupakan mata pencaharian utama bagi 27% penduduk bekerja di Jawa Barat.
Lapangan pekerjaan dengan jumlah tenaga kerja kedua terbesar adalah sektor
perdagangan (26%) diikuti oleh sektor industry (17,5%), sektor jasa
kemasyarakatan (12%) dan sektor angkutan (9%). Selain itu, komposisi status
pekerjaan utama masyarakat Jawa Barat tidak mengalami perubahan. Sebagian

123
besar bekerja sebagai karyawan/buruh (32%), dan melakukan usaha sendiri
(24%).
Sementara itu, di sisi lain, jumlah penduduk yang menganggur di Jawa
Barat menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Berdasarkan data BPS,
angka pengangguran pada Agustus 2007 turun 7% dibandingkan angka pada
Agustus 2006, yaitu dari 2,56 juta orang menjadi 2,38 juta jiwa. Sementara itu,
apabila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja, maka persentase
pengangguran di Jawa Barat mengalami penurunan dari 14,58% menjadi 13,05%.
Berdasarkan status daerah, pengangguran di Jawa Barat lebih banyak terdapat di
wilayah perkotaan, yaitu berjumlah 1,48 juta jiwa (62,18%), sedangkan sisanya
berada di pedesaan (37,82%).
Jabar, dalam rangka pengembangan ketenagakerjaan, sekarang telah
memperketat pengawasan ketenagakerjaan. Pengawasan diarahkan pada
perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Jabar. dalam rangka memperketat
pengawasan ketenagakerjaan sekarang telah melatih masyarakat untuk dididik
menjadi tenaga pengawas. Adanya kegiatan tersebut, sekarang tercatat tenaga
pengawas ketenagakerjaan di Jabar telah mencapai 119 orang dengan jumlah
perusahaan yang beroperasi sebanyak 24.519 orang. Para pengawas
ketenagakerjaan tersebut, secara penuh bertugas mengawasi aktivitas perusahaan
dan tidak mengawasi pelaksanaan proyek-proyek di perusahaan yang
bersangkutan. Jabar, melalui pengawasan ketenagakerjaan juga telah dapat
melakukan evaluasi atas kepatuhan perusahaan atas kewajiban yang harus
dipenuhinya, yang salah satunya keikutsertaan dalam Jamsostek. Hasil evaluasi
saat ini, dari 24.519 perusahaan yang beroperasi di Jabar, sebanyak 15.098
perusahaan baru mengikuti Jamsostek. pejabat pengantar kerja, pengawas
ketenagakerjaan dan perantara hubungan industrial, mempunyai peran strategis.
Keseluruhan pejabat fungsional tersebut, memegang peranan kuat dalam
meningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat (tenaga kerja), mengingat
tugas, wewenang dan tanggung jawabnya erat kaitannya dengan pengembangan
SDM tenaga kerja. Pejabat fungsional ketenagakerjaan dalam menghadapi
Masalah ketenagakerjaan diharapkan dapat melakukan pemetaan masalah disertai
data dasar yang kuat, untuk menentukan skala prioritas penanganan masalah,

124
upaya preventif yang edukatif, pemberdayaan dan kerjasama dengan para
pemangku kepentingan.
Di sisi lain, Pejabat fungsional ketenagakerjaan diharapkan dapat memacu
diri untuk terus meningkatkan pengetahuan, kemampyan, ketrampilan dan
integritas dalam mengiringi perkembangan masyarakat untuk memenuhi standar
pelayanan yang prima.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertans) Provinsi Jawa Barat
memerlukan sedikitnya sekitar 600 tenaga pengawas untuk mengoptimalkan
pengawasan ketenagakerjaan di wilayahnya. jumlah PNS pengawas tenaga kerja
di Jawa Barat saat ini hanya sekitar 70 orang, atau hanya sekitar 10% dari
kebutuhan ideal. Selain minim pengawas tenaga kerja, Jabar juga masih
kekurangan tenaga pengantar tenaga kerja dan penghubung industrial. Perangkat
pengawas, penghubung dan pengantar tenaga kerja merupakan instrumen utama di
lingkungan Disnakertrans.
Dari hasil survei yang dilakukan Disnakertrans Jawa Barat 2007, ada
sebelas hambatan masuknya investasi ke Indonesia termasuk ke Jawa Barat.
Urutan pertama hambatan tersebut yakni birokrasi pemerintahan. Hambatan kedua
ada pada persoalan infrastruktur yang tidak memadai yakni sebesar 19%. Hal ini
menyangkut persoalan kerusakan jalan, transportasi, sarana, dan prasarana
pendukung. Sedangkan urutan ketiga hambatan yaitu masalah peraturan
perpajakan, yakni hambatannya 15%. Hambatan lainnya yakni masalah korupsi
(11%), kualitas sumber daya manusia (9), kebijakan pemerintah yang berubah-
ubah sehingga mengakibatkan instabilitas kebijakan (7%), dan kemudian
hambatan persoalan komponen biaya buruh (9%). Persoalan buruh berada pada
posisi ketujuh dari sebelas hambatan masuknya investasi, menurut survey ini.
Sangat disayangkan bahwa data masalah ketenagakerjaan seperti jumlah
demonstrasi dan pemogokan hingga penyelesaian masalah hubungan
industrialisasi antar buruh dan pengusaha data tidak terekam terlalu baik.
Sedangkan hambatan lainnya yakni persoalan komponen biaya bahan
bakar minyak (BBM), biaya listrik, adanya pungutan liar serta pungutan yang
dilakukan daerah. Menurut Sukarto, sekiranya dilakukan kajian secara ilmiah dan
objektif, hambatan masuknya investasi atau keengganan investor semata-mata

125
bukan disebabkan persoalan buruh atau tenaga kerja. Karena, persoalan ini ada
pada posisi ketujuh. Sedangkan hambatan utama terletak pada masalah birokrasi
pemerintahan, infrastruktur, peraturan perpajakan, korupsi serta kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah yang berubah-ubah.
Besaran upah minimum propinsi juga menunjukkan peningkatan
yang sesuai dan layak dengan adanya peningkatan laju inflasi, kebutuhan hidup
layak dan pertimbangan produktifitas yang cukup terwakili. Pada tahun 2004,
UMP Jawa Barat adalah sebesar Rp. 366.500, pada tahun 2005 meningkat
menjadi Rp. 408.260, kemudian meningkat lagi menjadi Rp. 447.654 pada tahun
2006 dan akhirnya pada tahun 2007 naik menjadi Rp. 516.840. Pada tahun 2008
UMP Propinsi Jawa Barat ditetapkan lebih tinggi lagi menjadi Rp. 568.000.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UMP Propinsi Jawa Barat meningkat
dengan laju 41% dari tahun 2004 ke tahun 2007. Walaupun mendapat tentangan
dari pihak buruh, namun setidaknya penetapan UMP ini dapat dijadikan jarring
pengaman bagi upaya penanggulangan kemiskinan, karena pada faktanya data
upah minimum yang digunakan diserahkan pada pemerintah kabupaten dan kota,
dimana pada tahun 2008 UMK tertinggi ada di Kota bekasi sebesar Rp. 990.000,
sedangkan UMK terendah ada di Kota Banjar yakni sebesar Rp 570.000.

IV.7. Pembangunan Pedesaan

Bidang pembangunan Desa menjadi salah satu bidang yang mendapat


perhatian khusus selama periode 2004-2008. Fokus pembangunan bidang
pemerintahan dan pembangunan desa yaitu Terselenggaranya tugas pembantuan
dari Provinsi ke Desa; Pemantapan penyelenggaraan Pemerintahan Desa; dan
Pemantapan Program Raksa Desa. Capaian Kinerja dalam pelaksanaan bidang
tersebut selama kurun waktu 2004-2007,antara lain :

1. Terselenggaranya tugas pembantuan dari provinsi ke desa yang meliputi


Bidang Pertanian Tanaman Pangan, Bidang Perindustrian dan Perdagangan,
Bidang Sosial, Bidang Kesehatan, Bidang Perikanan, dan Bidang
Lingkungan Hidup;

126
2. Meningkatnya fasilitasi pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan, antara lain dalam
wujud :

a. Pemberian bantuan operasional kinerja aparatur pemerintah desa dan


kelurahan masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah),
dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 4.11 Bantuan Operasional Kinerja Aparatur Pemerintah Desa dan


Kelurahan se- Jawa Barat Tahun 200 – 2007

Total Besar Bantuan


Tahun Jumlah Desa/Kel
(dalam rupiah)
2004 5.799 28.995.000.000,00
2005 5.808 29.040.000.000,00
2006 5.821 29.105.000.000,00
2006 Tambahan 5.827 14.567.500.000,00
2007 5.841 43.807.500.000,00
TOTAL BANTUAN SELAMA 5 174.380.000.000,00
TAHUN
Sumber: Bapeda Jabar, 2008

b. Pemberian bantuan rehabilitasi kantor desa dan kelurahan dan sarana


olah raga, dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 4.12 Bantuan Rehabilitasi Kantor Desa dan Kelurahan serta Sarana
Olahraga di Jawa Barat Tahun 2005 – 2007

Jumlah Besar Bantuan


Tahun Jumlah Desa/Kel
(dalam rupiah)
2005 200 5.000.000.000,00
2006 178 5.000.000.000,00
2007 245 6.125.000.000,00
JUMLAH BANTUAN SELAMA 3 16.125.000.000,00
TAHUN
Sumber: Bapeda Jabar, 2008

c. Pemberian fasilitasi dalam pemekaran desa dan kelurahan dalam rangka


meningkatkan kapasitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah desa
dan kelurahan, dimana sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007

127
telah terjadi pemekaran sebanyak 70 desa, dengan perincian : pada 2004
terjadi pemekaran jumlah desa sebanyak 23 desa, tahun 2005 sebanyak
10 desa, tahun 2006 sebanyak 12 desa, tahun 2007 sebanyak 25 desa.
Adapun kabupaten yang telah melaksanakan pemekaran meliputi
Kabupaten Bogor sebanyak 2 desa, Kabupaten Sukabumi sebanyak 17
desa, Kabupaten Cianjur sebanyak 7 desa, Kabupaten Bandung
sebanyak 3 desa, Kabupaten Garut sebanyak 14 desa, Kabupaten
Tasikmalaya sebanyak 3 desa, Kabupaten Ciamis sebanyak 2 desa,
Kabupaten Kuningan sebanyak 3 desa, Kabupaten Majalengka sebanyak
3 desa, Kabupaten Sumedang sebanyak 8 desa, Kabupaten Indramayu
sebanyak 3 desa, Kabupaten Subang sebanyak 1 desa dan Kota Banjar
sebanyak 2 desa, sedangkan pemekaran kelurahan sejak tahun 2004
sampai dengan tahun 2007 terdapat 18 kelurahan dengan rincian di
Kabupaten Karawang 2 kelurahan, Kota Bandung 12 kelurahan dan
Kota Bekasi 4 kelurahan. Perubahan status desa menjadi kelurahan pada
tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 sebanyak 70 desa terdapat di
Kabupaten Bogor 2, Kabupaten Bandung 1, Kabupaten Garut 5, Kota
Tasikmalaya 54 dan Kota Banjar 8.

Gambar 4.5 Jumlah Desa dan Kelurahan di Provinsi Jawa Barat


Tahun 2004 – 2007

6000
5249 5199 5212 5231
5000

4000
DESA
3000
KELURAHAN
2000

1000 550 609 611 632

0
2004 2005 2006 2007

Sumber: Bapeda. Jabar 2008

128
d. Terwujudnya kemanunggalan TNI dan Masyarakat yang dilaksanakan
sebanyak 10 kemanunggalan dengan cakupan terlaksananya
pembangunan pada desa terpencil, terisolir dan tertinggal sebanyak 275
desa yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat;
e. Terselenggaranya program Raksa Desa yang telah menyerap anggaran
pemerintah daerah mencapai Rp.505.583.340.000,00, dengan capaian
kinerjanya berupa :
f. Infrastruktur yang terbangun di desa sebanyak 10.866 Kegiatan fisik;
g. Meningkatnya jumlah KK yang mendapat pinjaman bergulir sebanyak
332.163 KK;
h. Terhimpunnya swadaya masyarakat dalam pembangunan infrastruktur
perdesaan sebesar Rp. 115.384.204.920,- (77,96%) dari jumlah bantuan
infrastruktur sebesar Rp.148.000.000.000,00 dengan jumlah desa
sebanyak 3.700 desa.

Gambar 4.6 Jumlah KK Yang Mendapat Pinjaman Bergulir dari Program


Raksa Desa Tahun 2003-2006

120000
100000 108.200

80000 89.295
60000 66.317 68.351
40000
20000
0
2003 2004 2005 2006

Sumber: Bapeda Jabar, 2008

129
Gambar 4.7 Jumlah Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan
Infrastruktur Perdesaan Pada Program Raksa Desa Tahun 2003-2007

60 milyar Rp.48.215.720.203
50 milyar
40 milyar Rp.36.373.953.934
30 milyar
Rp.18.573.096.133
20 milyar Rp.12.221.434.650
10 milyar
0
2003 2004 2005 2006

Sumber: Bapeda Jabar, 2008

Permasalahan yang dihadapi dalam bidang pembangunan pedesaan antara


lain masih rendahnya keterlibatan masyarakat perdesaan dalam kegiatan ekonomi
produktif adalah: (a) rendahnya kemampuan mengakses kesempatan berusaha;
dan (b) berkurangnya kesempatan ekonomi/ berusaha. Rendahnya kemampuan
mengakses kesempatan berusaha disebabkan oleh terbatasnya kepemilikan
produktif; lemahnya sumberdaya modal usaha; terbatasnya pasar dan informasi
pasar kurang sempurna/asimetris; serta rendahnya tingkat kewirausahaan sosial.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi berkurangnya kesempatan
ekonomi/berusaha adalah : (1) ketimpangan distribusi kekayaan; (2) kecurangan
praktek bisnis dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Di samping itu tingkat partsipasi masyarakat perdesaan dalam penetapan


kebijakan masih rendah disebabkan : (a) kurangnya representasi orang miskin;
dan (b) terbatasnya ruang publik. Kurangnya representasi orang miskin
disebabkan oleh: (1) lemahnya swa-organisasi; (2) kurang berkembangnya
kepemimpinan kelompok; dan (3) lemahnya jejaring kaum miskin. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terbatasnya ruang publik disebabkan oleh: aparat pemerintah

130
yang kurang memberi ruang partisipasi; elit politik yang tidak responsif; dan tata
pemerintahan yang otokratis.

IV. 8. Peningkatan Akses Pendidikan yang Berkualitas pada Masyarakat

Untuk bidang pendidikan, capaian kinerjanya diawali dari Angka


Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs Jawa Barat, sebagai indikator kemampuan
pendidikan SLTP dalam menyerap penduduk usia 13-15 tahun, dimana pada
tahun 2006 telah mencapai 77,34 %, atau mengalami peningkatan sebesar 0,15 %
apabila dibandingkan dengan tahun 2005 sebelumnya yang baru mencapai 77,19
%. Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs pada tahun 2006 mencapai 61,97
%,atau mengalami kenaikan sebesar 0,23 % apabila dibandingkan dengan tahun
2005 yang baru 61,74 %.

Tahun 2002 menjadi 60,90 pada Tahun 2007. Pencapaian indeks


pendidikan merupakan gabungan dari Angka Melek Huruf (AMH) dan rata-rata
lama sekolah (RLS). AMH pada tahun 2007 adalah sebesar 95,32% (angka sangat
sementara) meningkat dibandingkan tahun 2002 sebesar 93,10%, atau
menunjukkan adanya kenaikan sebesar 2,22% dibanding Tahun 2002. Rata-Rata
Lama Sekolah (RLS) sampai dengan tahun 2002 masih sebesar 7,20 tahun atau
rata-rata tingkat pendidikan penduduk Jawa Barat adalah tidak tamat SLTP atau
baru mencapai kelas 1 SLTP. Tahun 2007 RLS mencapai 7,50 tahun (angka
sangat sementara), atau naik sebesar 0,3 tahun dibanding tahun 2002. Angka
Harapan Hidup (AHH) menunjukkan kenaikan dari 64,50 tahun pada Tahun 2002
menjadi 67,58 tahun pada tahun 2007, atau naik sebesar 3,08 tahun dibanding
tahun 2002, sedangkan paritas daya beli (purchasing power parity) mengalami
kenaikan sebesar Rp 31.526,00, dari Rp 592.000,00 pada tahun 2002 menjadi Rp
623.526,00 pada tahun 2007. Kondisi kualitas pendidikan di Jawa Barat saat ini
dapat dilihat tabel berikut:

131
Tabel 4.13 Indikator Mutu Pendidikan Di Jawa Barat (%) Tahun 2005/2006
SMP/M SMA/S
No. Indikator SD/MI
Ts MK/MA
1. Angka Mengulang 0,23 0,15 0,25
2. Angka Putus Sekolah 0,42 0,81 0,77
3. Angka Lulusan 93,49 91,06 96,89
4. Angka Kelayakan Mengajar :
a. Layak 74,94 76,45 64,37
b. Semi Layak 14,51 11,60 24,43
c. Tidak Layak 10,55 11,95 11,20
5. Kesesuaian Guru Mengajar :
a. PPKn - 99,27 102,93
b. Pend. Agama - 93,25 92,56
c. Bhs. Indonensia - 101,21 98,98
d. Bhs. Inggeris - 103,61 100,80
e. Sejarah & Sejarah Budaya - - 100,57
f. Pend. Jasmani - 100,22 101,15
g. Matematika - 101,21 101,02
h. IPA - 101,43 -
h.1. Fisika - - 100,98
h.2. Biologi - - 99,95
h.3. Kimia - - 99,92
i. IPS - 104,38 -
i.1. Ekonomi - - 98,36
i.2. Sosiologi - - 106,98
i.3. Geografi - - 102,08
j. Seni dan Kerajinan - 114,05 -
k. Muatan Lokal - 42,16 -
l. Tata Negara - - 106,91
m. Antropologi - - 108,24
n. Pendidikan Seni - - 98,54
o. Bahasa Asing - - 94,94
p. B dan P - 60,55 -
q. Lain-lain - - -
6. Kondisi Ruang Kelas :
a. Baik 44,35 75,44 86,34

132
SMP/M SMA/S
No. Indikator SD/MI
Ts MK/MA
b. Rusak Ringan 27,84 16,09 9,41
c. Rusak Berat 27,81 8,47 4,24
7. Fasilitas Sekolah :
a. Perpustakaan 17,92 46,81 57,75
b. Lapangan OR 12,38 45,47 47,95
c. UKS 11,67 24,93 36,51
d. Laboratorium - 59,50 102,93
e. Keterampilan - - 22,39
f. Bimbingan & Penyuluhan - - 47,24
g. Serba Guna - - 17,16
h. Bengkel - - 52,53
i. Ruang Praktek - - 81,10
Sumber: Profil Pendidikan Tahun 2006. (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat)

Angka Partisipasi Sekolah (APS) SLTP/MTs pada tahun 2006 mencapai


79,38 %, atau mengalami kenaikan sebesar 1,22 % apabila dibandingkan tahun
2005 yang baru mencapai 78,16 %. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan
partisipasi sekolah pada tahun 2006 telah dilakukan upaya-upaya, antara lain
akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dengan memberikan bantuan
beasiswa kepada 150.000 siswa dari keluarga tidak mampu untuk tetap
melanjutkan sekolahnya atau belajar di SMP/MTs dan PKBM untuk Paket B
dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 75 milyar.

133
Tabel 4.14. Presentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut
Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005

No. Kabupaten/Kota Persentase Pendidikan Yang Di Tamatkan Jumlah


< SD SD SLTP SLTA Ak/Univ
1 Kab. Bogor 32,97 33,94 14,83 15,18 3,08 100,00
2 Kab. Sukabumi 31,60 45,56 12,56 8,81 1,46 100,00
3 Kab. Cianjur 28,84 52,37 10,34 6,63 1,81 100,00
4 Kab. Bandung 21,26 39,40 20,93 15,15 3,26 100,00
5 Kab. Garut 30,86 42,64 14,53 10,02 1,94 100,00
6 Kab. Tasikmalaya 24,14 58,55 10,62 5,41 1,27 100,00
7 Kab. Ciamis 24,58 49,93 14,51 8,62 2,36 100,00
8 Kab. Kuningan 24,95 50,51 12,74 9,12 2,68 100,00
9 Kab. Cirebon 35,92 63,76 12,91 12,21 2,20 100,00
10 Kab. Majalengka 28,07 49,11 13,78 6,32 2,71 100,00
11 Kab. Sumedang 15,63 51,72 19,05 11,67 1,92 100,00
12 Kab. Indramayu 51,23 28,67 11,86 7,30 0,94 100,00
13 Kab. Subang 38,55 31,79 17,24 10,31 2,10 100,00
14 Kab. Purwakarta 30,98 36,19 15,08 14,17 3,58 100,00
15 Kab. Karawang 37,67 35,43 14,04 11,31 1,54 100,00
16 Kab. Bekasi 28,46 32,03 18,36 16,56 4,59 100,00
17 Kota Bogor 14,11 30,36 20,64 27,40 5,49 100,00
18 Kota Sukabumi 17,02 33,15 19,52 26,39 3,92 100,00
19 Kota Bandung 11,13 26,11 20,66 31,64 10,47 100,00
20 Kota Cirebon 17,41 21,28 19,37 30,21 11,72 100,00
21 Kota Bekasi 13,45 19,63 20,22 35,77 10,93 100,00
22 Kota Depok 10,29 22,30 17,72 34,37 15,33 100,00
23 Kota Cimahi 9,20 22,17 23,68 34,23 10,70 100,00
24 Kota Tasikmalaya 17,94 42,21 15,14 19,21 5,49 100,00
25 Kota Banjar 28,26 42,61 15,60 12,36 1,17 100,00
Jawa Barat 26,69 37,78 15,97 15,50 4,06 100,00
Sumber : Bapeda dan BPS Provinsi Jawa Barat
Suseda 2005

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4.13, dapat diketahui bahwa
pada tahun 2005 sebagian besar penduduk Jawa Barat baru bisa menyelesaikan
pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu 37, 78%, tingkat
SLTP 15,97%, tingkat SLTA 15,50%, dan hanya sebagian kecil dari penduduk
Jawa Barat yang bisa menamatkan pendidikan sampai dengan jenjang pendidikan
tingkat tinggi (4,06%).
Data tersebut di atas relevan dan memiliki hubungan yang signifikan
dengan angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk Provinsi Jawa Barat yang

134
baru mencapai angka 7,38 tahun. Kondisi seperti inilah yang perlu dikaji dan
dianalisis secara lebih mendalam, dengan cara mencari faktor-faktor penyebabnya
agar dapat dicari solusinya yang paling mungkin untuk dapat direalisasikan.

Berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan guru PNS dan guru


bantu sementara (GBS), yang secara tidak langsung terkait dengan upaya
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, pada tahun 2006 juga mendapat perhatian dari
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 17,9 milyar
yang diberikan kepada 2.721 guru PNS dan kepada 1.600 guru bantu sementara
SD/MI di daerah terpencil.Sementara itu, dalam upaya peningkatan sarana dan
prasarana pendidikan untuk meningkatkan daya tampung pendidikan dasar,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melakukan kesepakatan role sharing
pendanaan rehabilitasi dan ruang kelas baru (RKB) SD/MI dan SMP/MTs antara
Pemerintah yang berkontribusi 50 %, Pemerintah Provinsi berkontribusi 30 %
serta Pemerintah Kabupaten dan Kota berkontribusi 20 %.

Pendanaan tersebut untuk merehabilitasi 44.695 ruang kelas SD/MI dan


1.102 ruang kelas SMP/MTs dengan target pada tahun 2008 dapat diselesaikan.
Kesepakatan role sharing pendanaan tersebut, mengalokasikan anggaran sebesar
Rp. 172.007 milyar dari APBD Provinsi Jawa Barat tahun 2006 untuk
merehabilitasi SD/MI sebanyak 2.223 ruang kelas dan SMP/MTs sebanyak 350
ruang kelas serta RKB SMP/MTs sebanyak 1.124 ruang kelas. Disamping itu,
program lain yang menunjang bidang pendidikan sebagai bentuk konkrit
kepedulian terhadap peningkatan pendidikan di Jawa Barat, Pemerintah Provinsi
telah mengalokasikan anggaran untuk membantu siswa dari keluarga tidak mampu
melalui program Bantuan Gubernur untuk siswa

Adapun prioritas pembangunan pendidikan setelah tuntasnya penanganan


Wajib Belajar Sembilan Tahun pada Tahun 2008 dan dimulainya Rintisan Wajib
Belajar Dua Belas Tahun di kota–kota terpilih, maka pada tahun 2008 sampai
dengan 2013 ini dicanangkan Wajib Belajar Dua Belas Tahun bagi
kabupaten/kota se-Jawa Barat. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
mendukungnya yaitu peningkatan sarana dan prasarana pendidikan menengah dan

135
bantuan beasiswa bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Dalam
dokumen Bapeda Propinsi Jabar, ditetapkan target pencapaian RLS hingga tahun
2010.

Tabel 4.15 Rencana Pencapaian Angka (RLS) Tahun 2002 – 2010

NO. KABUPATEN/KOTA RLS 


2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Kab. Bogor 8,19 6,47 6,75 7,05 7,35
7,67
8,01 8,35
8,45
2 Kab. Sukabumi 5,86 6,09 6,28 6,48 6,69
6,90
7,12 7,34
7,40
3 Kab. Cianjur 6,10 6,29 6,48 6,68 6,89
7,10
7,32 7,55
7,61
4 Kab. Bandung 7,72 8,08 8,45 8,84 9,25
9,68
10,13 10,60
10,73
5 Kab. Garut 6,60 6,87 7,14 7,43 7,73
8,05
8,37 8,71
8,80
6 Kab. Tasikmalaya 6,90 7,17 7,45 7,74 8,04
8,36
8,68 9,02
9,11
7 Kab. Ciamis 6,42 6,48 6,55 6,63 6,71
6,79
6,87 6,96
6,98
8 Kab. Kuningan 6,34 6,49 6,68 6,88 7,08
7,29
7,51 7,73
7,79
9 Kab. Cirebon 6,14 6,43 6,72 7,04 7,36
7,71
8,07 8,44
8,54
10 Kab. Majalengka 6,42 6,67 6,95 7,24 7,54
7,85
8,18 8,52
8,62
11 Kab. Sumedang 6,87 7,05 7,22 7,41 7,60
7,79
7,99 8,19
8,25
12 Kab. Indramayu 5,10 5,56 6,06 6,61 7,21
7,87
8,58 9,35
9,58
13 Kab. Subang 6,14 6,33 6,56 6,81 7,06
7,32
7,60 7,88
7,96
14 Kab. Purwakarta 6,80 7,11 7,43 7,77 8,13
8,50
8,88 9,29
9,40
15 Kab. Karawang 6,01 6,31 6,65 6,99 7,36
7,75
8,15 8,58
8,70
16 Kab. Bekasi 7,15 7,42 7,66 7,90 8,14
8,40
8,66 8,93
9,00
17 Kota Bogor 9,60 9,28 9,50 9,73 9,96
10,20
10,44 10,69
10,76
18 Kota Sukabumi 8,40 8,51 8,63 8,74 8,86
8,98
9,10 9,23
9,26
19 Kota Bandung 9,64 9,69 9,74 9,79 9,84
9,89
9,94 9,99
10,01
20 Kota Cirebon 8,79 8,93 9,08 9,23 9,38
9,53
9,68 9,84
9,88
21 Kota Bekasi 9,60 9,74 9,89 10,04 10,19
10,35
10,50 10,66
10,70
22 Kota Depok 9,70 9,74 9,77 9,81 9,84
9,88
9,91 9,95
9,96
23 Kota Tasikmalaya 6,90 7,35 7,84 8,36 8,91
9,49
10,12 10,78
10,97
24 Kota Cimahi 9,20 9,40 9,61 9,82 10,04
10,26
10,48 10,71
10,77
25 Kota Banjar 6,80 7,07 7,34 7,63 7,93
8,24
8,56 8,90
8,99
Jawa Barat 7,23 7,45 7,68 7,92 8,16
8,41
8,66 8,93
9,00
Sumber: Analisis

136
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan sasaran utama lainnya
pada periode ini, dengan upaya peningkatan sarana dan prasarana serta tenaga
pendidik PAUD terutama di daerah perdesaan dan daerah terpencil. Selain itu
pengembangan PKBM masih tetap diprioritaskan, dengan target dapat
menampung seluruh masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan formal.

Upaya pengembangan bidang pendidikan memang tidaklah hanya tugas


dan wewenang dari dinas di daerah propinsi dan Kabupaten/Kota, namun juga
merupakan tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional. Skema Dana
Dekonsentrasi dan Desentralisasi peranan pembiayaan sharing dalam
pembangunan pendidikan terutama dalam pembangunan sarana dan prasarana
serta perbaikan/rehabilitasi ruangan kelas. Mengingat kinerja bidang pendidikan
Jawa Barat terbentuk dari kinerja bidang pendidikan di Kabupaten/Kota maka
Pemerintah Propinsi Jawa Barat memandang perlu untuk menyusun Skema Role
sharing rehabilitasi ruang kelas dan pembangunan RKB Kabupaten/Kota di Jawa
Barat berdasarkan kesepakatan dengan Menteri Depdiknas dan Bupati/Walikota
se- Jawa Barat (Tabel 4.15).

Untuk pengembangan pendidikan menengah dan tinggi diupayakan


melalui pengembangan sekolah kejuruan berbasis agroindustri, kelautan dan
pariwisata serta pengembangan lembaga pendidikan tinggi berbasis penelitian dan
IPTEK. Upaya-upaya tersebut didukung dengan perangkat kurikulum yang tetap
berbasis kompetensi dengan memprioritaskan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam
Pembangunan bidang kebudayaan diprioritaskan pada pelestarian nilai-nilai
tradisional dan kearifan lokal masyarakat Jawa Barat. Langkah dan upaya yang
dilakukan untuk mewujudkan prioritas pembangunan kebudayaan tersebut, antara
lain dengan melestarikan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal masyarakat
Jawa Barat guna mengantisipasi perkembangan globalisasi.

137
Tabel 4.16 Data Role Sharing Rehabilitasi Ruang Kelas Dan Pembangunan
RKB , Tahun 2006-2008
PUSAT KAB/KOTA

NO KAB/KOTA REHAB RKB REHAB RKB REHAB RKB

SD MI SMP MTS SMP MTS SD MI SMP MTS SMP MTS SD MI SMP MTS SMP MTS

1 KAB. BANDUNG 2,37 438 386 217 301 6 1,42 263 231 131 181 3 949 175 155 86 121 4

2 KAB. BEKASI 53 288 83 148 197 161 272 173 50 89 119 97 182 115 34 59 79 65

3 KAB. BOGOR 1,60 443 250 135 215 87 960 267 151 82 130 52 640 177 100 54 85 35

4 KAB. CIAMIS 1,72 317 166 77 155 20 1,03 191 100 47 94 13 689 127 66 30 62 7

5 KAB. CIANJUR 1,48 151 378 55 229 188 892 91 228 33 138 113 596 60 151 23 92 75

6 KAB. CIREBON 1,69 123 130 21 87 61 1,02 74 78 12 52 36 680 50 52 7 35 25

7 KAB. GARUT 1,58 38 257 28 113 25 953 24 155 16 69 16 634 15 102 12 45 9

8 KAB. INDRAMAYU 924 48 38 10 154 41 554 28 22 5 93 25 370 20 16 4 61 16

9 KAB. KARAWANG 894 257 129 168 116 20 536 155 78 102 69 12 358 102 52 67 48 8

10 KAB. KUNINGAN 1,00 115 117 35 28 9 603 69 70 20 16 5 403 47 48 14 10 5

11 KAB. MAJALENGKA 1,14 50 95 75 51 30 690 30 57 46 30 18 460 21 39 29 21 12

12 KAB. PURWAKARTA 382 7 70 14 41 5 229 3 42 8 24 3 154 2 28 6 16 3

13 KAB. SUBANG 946 101 82 25 132 10 567 60 49 16 80 6 379 41 33 10 53 4

14 KAB. SUKABUMI 1,38 210 99 47 98 28 832 127 60 28 58 17 554 83 40 20 40 11

15 KAB. SUMEDANG 365 32 174 19 94 20 218 18 105 11 55 13 146 12 69 9 37 7

16 KAB. TASIKMALAYA 1,04 166 205 15 139 16 625 100 124 9 83 9 416 67 81 4 56 7

17 KOTA BANDUNG 675 55 190 31 259 13 405 33 114 18 156 7 271 23 77 14 104 6

18 KOTA BANJAR 41 23 11 11 8 2 25 13 6 6 4 2 15 8 3 4 3 1

19 KOTA BEKASI 138 138 25 52 28 7 82 83 14 32 16 3 55 55 9 21 10 2

20 KOTA BOGOR 296 28 158 49 122 - 177 17 95 30 74 - 117 12 64 20 48 -

21 KOTA CIMAHI 148 8 42 8 50 24 88 4 24 4 30 15 58 3 16 2 20 9

22 KOTA CIREBON 88 12 48 7 18 3 53 6 28 3 10 2 33 4 20 2 7 1

23 KOTA DEPOK 335 137 136 84 129 69 201 82 82 51 78 41 135 55 54 33 52 28

24 KOTA SUKABUMI 104 8 42 5 22 3 63 4 24 3 12 2 40 2 16 2 9 1

25 KOTA TASIKMALAYA 410 69 73 29 28 3 246 42 43 17 17 2 164 28 28 13 12 2

JUMLAH LOKAL 21,2 3,262 3,38 1,35 2,8 851 12,7 1,9 2,03 819 1,68 512 8,49 1,30 1,35 545 1,12 343

Sumber: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, 2008

IV.9. Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang Berkualitas

Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) serta kesejahteraan


keluarga dan masyarakat akan tercapai bila derajat kesehatan masyarakat
meningkat. Hal ini dapat terjadi apabila mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan
masyarakat yang merata dapat ditingkatkan serta kesadaran dan perilaku hidup
sehat di kalangan masyarakat pun dikembangkan. Dengan meningkatnya derajat
kesehatan masyarakat maka produktivitas SDM diharapkan akan meningkat
sehingga upaya pengentasan kemiskinan akan dapat lebih dipacu.

138
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dilakukan pemerintah melalui
berbagai upaya dan program. Di antaranya adalah dengan memberikan
penyuluhan kesehatan agar tercipta perilaku hidup sehat, menyediakan berbagai
fasilitas kesehatan umum seperti puskesmas, posyandu, pondok bersalin desa serta
mengupayakan tersedianya fasilitas air bersih. Juga program dana kesehatan untuk
masyarakat miskin merupakan usaha agar pelayanan kesehatan terjangkau oleh
semua lapisan masyarakat. Dengan upaya ini diharapkan derajat kesehatan
masyarakat akan meningkat. Salah satu indikator yang digunakan untuk
menentukan derajat kesehatan penduduk adalah angka kesakitan (morbidity rate).
Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat di Jawa Barat adalah pada ahun 2006, pemerintah
meningkatkan sarana dan prasarana pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas)
berikut jaringannya, meningkatkan sumberdaya tenaga kesehatan baik kuantitas
maupun kualitas, memenuhi kebutuhan obat serta meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan.

Pada periode tahun 2004-2006, terdapat peningkatan jumlah rumah sakit


yaitu 205 unit pada tahun 2006, yang semula 185 unit pada tahun 2005 dan 149
unit pada tahun 2004. Jumlah puskesmas induk tahun 2006 yaitu 1.004 unit
menunjukan adanya peningkatan dari 994 unit pada tahun 2005 dan 979 unit pada
tahun 2004; puskesmas pembantu 1.447 unit pada tahun 2006, 994 unit tahun
2005 dan 979 unit pada tahun 2004; puskesmas keliling sebanyak 566 unit pada
tahun 2006, 526 unit pada tahun 2005 dan 461 unit pada tahun 2004. Sedangkan
balai pengobatan menunjukkan adanya penurunan dari 3.149 unit pada tahun 2005
menjadi 2.917 unit pada tahun 2006.

139
Tabel 4.17. Data Umum Kesehatan
No JENIS DATA 2004 2005 2006 2007
966 994 1001 1007
1 Puskesmas (842 NonDTP; (857 Non DTP; (860 Non DTP; (867 Non DTP;
(Non DTP+DTP) 144 DTP) 137 DTP) 141 DTP) 40TP)
2 Puskesmas Poned 65 85 94 94
3 Puskesmas Pembantu 1438 1.465 1.475 1.475
4 Puskesmas Keliling 475 527 612 613
34 37 37 38
5 Rumah Sakit Pemerintah (27 RSUD; 7 RS (30 RSUD; 7 RS (30 RSUD; 7 RS (30 RSUD; 8 RS
Khusus D) Khusus D) Khusus D) Khusus D)
6 Rumah Sakit Penek 5 9 12 12
Rumah Sakit Umum
7 BUMN 6 7 7 7
8 Rumah Sakit TNI/POLRI 11 11 16 16
83(58 Umum; 25 119 (74 Umum; 45 138(89 Umum; 49 138 (89 Umum;
9 Rumah Sakit Swasta Khusus) Khusus) Khusus) 49 Khusus)
10 Posyandu 41.951 45.105 45.415 45.903
11 Polindes 1290 1085 1.721 3263
12 Klinik KB (RB/KIA) 218 218 210 210
13 Klinik Swasta (BP) 1.815 3140 2.917 2.917
Dokter Umum di
14 Puskesmas 1.393 1.622 1.631 1600
15 Dokter Spesialis di RSUD 505 523 575 592
16 Dokter gigi di Puskesmas 623 856 884 864
6.231 bidan 6.951 bidan 7.150 bidan
Bidan/Bidan tinggal di 4.424 bidan di 4.808 bidan di
17 desa 5867 3.919 bidan di desa desa desa
18 Perawat 6562 7.851 8.522 7.657

Gambar 4.8. Sarana Rumah Sakit di Jawa Barat tahun 2004 - 2006

Sumber: Dinkes Propinsi Jabar, 2007

140
Gambar 4.9 Rasio Tempat Tidur Di Seluruh Rumah Sakit
TerhadapPenduduk Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 - 2007

Sumber: Profil Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2007

Angka rasio tempat tidur di seluruh RS terhadap penduduk yang terus


menurun menunjukkan meningkatnya ketersediaan fasilitas RS untuk melayani
masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan di puskesmas menunjukkan adanya
peningkatan dari tahun 2004 sebanyak 16.160 orang pada tahun 2005, menjadi
17.788 orang pada tahun 2006. Penolong kelahiran merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kesehatan balita. Di samping itu kesehatan ibu juga memberi
andil terhadap kesehatan bayi yang akan dilahirkannya. Dilihat dari kesehatan ibu
dan anak, persalinan yang ditolong oleh tenaga medis (dokter, bidan, dan tenaga
medis lainnya) dianggap lebih baik dibandingkan yang ditolong oleh dukun,
famili, atau lainnya.

Penolong kelahiran terakhir balita yang dilakukan oleh tenaga medis pada
tahun 2006 sebesar 56,64 persen naik menjadi 61,22 persen pada tahun 2007. Dari
3,8 juta balita di Jawa Barat pada tahun 2007, sekitar 11,31 persen kelahirannya
ditolong oleh dokter, 49,40 persen oleh bidan, dan 0,51 persen oleh tenaga medis
lainnya. Sedangkan yang ditolong oleh tenaga non medis seperti dukun sekitar
38,24 persen dan 0,53 persen ditolong oleh famili/lainnya. Dibandingkan dengan
tahun 2006, persentase balita yang kelahirannya ditolong oleh dukun mengalami
penurunan sebesar 3,6 poin, sementara yang ditolong oleh tenaga paramedis naik
sebesar 4,58 poin.

141
Perhatian masyarakat terhadap kesehatan balita merupakan indikasi bahwa
masyarakat telah memahami pentingnya hal ini. Salah satu indikator yang bias
merefleksikan hal ini adalah lama menyusui. Semakin lama balita mendapat ASI
sesuai waktu yang ditentukan (24 bulan) akan berpengaruh terhadap kesehatan
balita. Air susu ibu (ASI) sangat penting bagi perkembangan dan kesehatan balita.
ASI merupakan zat yang sempurna untuk pertumbuhan bayi dan mempercepat
perkembangan berat badan. Dari seluruh balita di Jawa Barat pada tahun 2007,
sebanyak 3,617 juta balita atau 94,40 persen pernah diberi ASI. Persentase balita
yang disusui oleh ibunya selama 2 tahun atau lebih mengalami peningkatan dari
33,98 persen pada tahun 2006 menjadi 36,46 persen pada tahun 2007. Sedangkan
yang disusui selama satu sampai kurang dari dua tahun sebesar 37,20 persen, dan
sisanya yaitu balita yang disusui kurang dari satu tahun naik dari 25,50 persen
pada tahun 2006 menjadi 26,33 persen di tahun 2007 ini. Fenomena peningkatan
persentase balita yang disusui lebih dari satu tahun ini menunjukkan bahwa
semakin banyak kaum ibu yang menyadari pentingnya ASI bagi kesehatan bayi.

Tabel 4.18. Lama Balita Menyusui dan Persentase Penolong


KelahiranTerakhir Menurut Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun

2007

142
Tabel 4.19. Data Derajat Kesehatan

No Indikator 2004 2005 2006 2007


1 AKB 43.40 (thn 2004)* 40.87 (thn 2005)* 40.26 (thn 2008)* 39
64.67 (thn 64.67 (thn
2 AKABA 2000)** 64.67 (thn 2000)** 2000)*** 64.67 (thn 2000)**
3 UHH 66.07 (thn 2004)* 66.57 (thn 2005)* 67.40 (thn 2006)* 67.72 (thn 2007)*
AKI (Per 100.000 321.15 (thn 321.15 (thn
4 KLH) 2003)* 321.15 (thn 2003)* 2003)* 321.15 (thn 2003)*
AKK (per 1.000
5 penduduk) 8.10 (thn 2000)** 8.10 (thn 2000) 8.10 (thn 2000) 8.10 (thn 2000)**
Status Gizi Buruk 1.09%
6 Balita 1.4% (2004)**** 1.01% (2006)**** (2006)**** 1.13% (2007)****
Angka kelahiran 22.60 (thn
7 Kasar 2000)** 21.59 (thn 2005)* 21.92 (thn 2003)* 21.92 (thn 2003)*
Sumber: Dinkes Propinsi Jawa Barat, diolah kembali.

Kematian

Peristiwa kematian yang terjadi dalam suatu wilayah dapat


menggambarkan derajat kesehatan, maupun hal lain misalnya rawan keamanan
atau bencana alam yang terjadi di wilayah tersebut.

Berbagai faktor yang berkaitan dengan penyebab kematian maupun


kesakitan antara lain tingkat sosial ekonomi, kualitas lingkungan hidup, upaya
pelayanan kesehatan dan lain-lain. Beberapa faktor penting yang perlu mendapat
perhatian khusus di Provinsi Jawa Barat, utamanya berkaitan dengan kematian ibu
dan bayi adalah besarnya tingkat kelahiran dalam masyarakat, umur masa paritas,
jumlah anak yang dilahirkan, serta penolong persalinan.

Angka Kematian Bayi (AKB)

Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) merupakan
indikator yang sangat sensitif terhadap ketersediaan kualitas dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan terutama yang berhubungan dengan Perinatal. AKB juga
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu
dan gizi keluarga. Sehingga AKB dapat dipakai sebagai tolok ukur pembangunan
sosial ekonomi masyarakat menyeluruh

AKB dihitung sebagai jumlah kematian bayi dibawah usia 1 tahun pada
setiap 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Provinsi Jawa Barat dari

143
45,69 per 1000 kelahiran hidup tahun 2000, di tahun 2005 menjadi 43,40 per 1000
kelahiran hidup. Sedangkan jumlah kematian bayi di Jawa Barat tahun 2006
sebanyak 3.580 dari 818.338 kelahiran hidup.

Gambar 4.10. Angka Kematian Bayi (AKB) menurut Kabupaten / Kota Di


Provinsi Jawa Barat tahun 2005

Kab. Bekasi
AKB JAWA BARAT: 40.87
Kota Bekasi (45,43)
(31,95) Kab. Karawang
(48,29)
Kota Depok Kab. Subang Kab. Indramayu
(28,07) (40,67) (51,33)
Kab.Bogor Kota Cirebon
(42,42) Kota Bogor Kab. Purwakarta Kab. Cirebon (31,67)
(26,32) (41,50) (52.24)

Kota Cimahi Kab. Sumedang


(31.15) (39,02)
Kota Sukabumi Kab. Majalengka
(32,27) Kota Bandung (44,24)
(35,01) Kab. Kuningan
Kab. Bandung (42,52)
(43,50)
Kab. Sukabumi
Kab. Cianjur Kota Tasikmalaya
(44,50) (41.36)
(48,50) Kota Banjar
= < 51 = rendah Kab. Garut (42.67)
(54,83)
= 51 - 57 = menengah
Kab. Tasikmalaya
= > 57 = tinggi (45,50) Kab. Ciamis
(49,91)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Kota tahun 2006, penyebab


kematian neonatal terbanyak adalah Hipoksia Intra Uterus dan Asfiksia lahir
(29,39 %), Kematian bayi dalam kandungan (21,57 %), dan Bayi yang lahir
dengan Berat Badan Rendah (12,17 %). Hal ini dapat mencerminkan kurangnya
perawatan ibu dan bayi yang adekuat maupun defisiensi gizi ibu hamil.

Angka Kematian Balita (AKABA)

Angka Kematian Balita adalah jumlah kematian anak umur 0 – 4 tahun per
1000 kelahiran hidup. Estimasi Angka Kematian Balita di Indonesia dihitung oleh
Badan Pusat Statistik. Sementara itu di Provinsi Jawa Barat estimasi AKABA dari
tahun ke tahun menunjukan penurunan tetapi masih berada diatas angka nasional
yaitu 132 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1986, 105 per 1000 kelahiran

144
hidup pada tahun 1992 dan 101 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1993.
Berdasarkan laporan dari sarana pelayanan kesehatan tahun 2006, jumlah balita
mati di Jawa Barat adalah 306 orang.

Sejak tahun 1993 telah dilaksanakan berbagai macam kegiatan untuk


menurunkan angka kematian balita tersebut sehingga pada tahun 2000 angka
kematian balita di Jawa Barat menjadi 64,67, walaupun angka ini masih jauh
diatas angka nasional sebesar 44,71 pada tahun yang sama.

Angka Kematian Balita (AKABA) dapat digunakan untuk


menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan serta faktor lain yang
berpengaruh terhadap kesehatan anak dan balita seperti, gizi, sanitasi, penyakit
infeksi dan kecelakaan.

Tabel 4.20. Angka Kematian Balita per 1.000 kelahiran hidup di Provinsi
Jawa Barat dibandingkan dengan angka Nasional tahun 1986, 1992, 1993
dan 2000

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001, survey program Jawa


Barat tahun 2000

Berdasarkan laporan penyakit penyebab kematian anak balita di RS tahun


2006, penyebab utama kematian pada anak balita adalah Pneumonia, dan
Diare/Gastroenteritis. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan rendahnya
kualitas kesehatan lingkungan.

145
Kematian akibat diare dapat disebabkan oleh karena rujukan ke rumah
sakit terlambat dilakukan, disamping itu disebabkan pula oleh masih rendahnya
pengetahuan akan penggunaan Oralit atau Larutan Gula Garam (LGG) dalam
menaggulangi dehidrasi akibat diare.

Kematian akibat Pneumonia dan atau bronkhopneumonia dapat


disebabkan karena rendahnya pengetahuan ibu tentang deteksi dini penyakit ini
dan pencarian pengobatan.

Tabel 4.21. Pola Penyakit Penyebab Kematian Anak Balita (1 – 4 Tahun)


Yang Dirawat Di Rumah Sakit Di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2006

Tahun 2006
No Jenis Penyakit % No Jenis Penyakit %
Pneumonia &
1 Bronchopneumonia 13,64 11 Asma 2,09
2 Diare & Gastroenteritis 10,75 12 Anemia Lainnya 1,93
Penyakit Infeksi dan Parasit
3 Kejang YTT 9,79 13 lainnya 1,61
Encephalitis &
4 Meningoencephalitis 9,63 14 Gizi buruk 1,44
Bronkhitis & Bronkhiolitis
5 Meningitis 8,03 15 Akut 1,12
Ileus paralitik & obstruksi
6 Demam Berdarah Dengue 5,14 16 usus tanpa hernia 1,12
Peny. Radang susunan
7 syaraf 3,85 17 Combusio cerebri 0,96
8 Septisemia 2,73 18 Malnutrisi 0,80
Demam Typhoid dan
9 paratyphoid 2,25 19 Morbili 0,80
10 Tetanus 2,25 20 Penyakit Jantung 0,80
21 Penyakit Lainnya 19,26
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2006

Angka Kematian Ibu (AKI)

Angka Kematian Maternal atau Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal
Mortality Rate (MMR) menunjukan jumlah kematian ibu karena kehamilan,
persalinan dan masa nifas pada setiap 1000 kelahiran hidup dalam satu wilayah
pada kurun waktu tertentu.

AKI berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup


sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi lingkungan, tingkat pelayanan

146
kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan sewaktu ibu melahirkan
dan masa nifas.

Beberapa determinan penting yang mempengaruhi AKI secara langsung


antara lain, status gizi, anemia pada kehamilan, keadaan tiga terlambat dan empat
terlalu. Faktor mendasar penyebab kematian ibu maternal adalah tingkat
pendidikan ibu, kesehatan lingkungan fisik maupun budaya, keadaan ekonomi
keluarga dan pola kerja rumah tangga. Adanya pandangan masyarakat bahwa ibu
hamil, melahirkan dan menyusui adalah proses alami, menyebabkan ibu maternal
tidak diperlakukan secara khusus, seperti dibiarkan dan membiarkan diri untuk
bekerja berat, makan dengan gizi dan porsi yang kurang memadai.

Hasil Survei BPS tahun 2003 menunjukan bahwa umumnya kematian ibu
terjadi pada saat melahirkan (60,87%), waktu nifas (30,43%) dan waktu hamil
(8,70%). Hal ini sejalan dengan data mengenai jumlah kematian ibu maternal dari
laporan sarana pelayanan kesehatan.

Adapun penyebab kematian secara langsung pada persalinan dengan


komplikasi adalah perdarahan, pre-eklamsia dan eklamsia, infeksi jalan lahir serta
emboli, robekan jalan lahir, septik aborsi. Penyebab tidak langsung tingginya
AKI adalah faktor pendidikan ibu yang rendah, status gizi ibu yang kurang serta
terlalu muda usia ibu pada saat hamil.

Gambar 4.11. Penyebab Kematian Ibu Maternal di Provinsi Jawa Barat,


Tahun 2003-2005

1000

800

600 311
228 256
400 148 67
47 96
43 39
200
282 287 253
0
2003 2004 2005
Perdarahan Infeksi Eklampsia Lain-lain

Sumber: Subdin Pelayanan Kesehatan,Dinkes Provinsi Jawa Barat

147
Kematian Kasar

Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate) dapat digunakan sebagai


petunjuk umum status kesehatan masyarakat, kondisi kesehatan di dalam
masyarakat, secara tidak langsung menggambarkan kondisi lingkungan ekonomi,
fisik dan biologis. AKK menjadi dasar penghitungan laju pertambahan penduduk,
walaupun penilaian yang diberikan secara kasar dan tidak langsung.

Menurut BPS Provinsi Jawa Barat, perkiraan tingkat kematian tahun 2000-
2005 untuk perempuan berkisar sebesar 20,59 dan laki-laki 20,19. Pola penyakit
penyebab kematian untuk kelompok Lansia dan Pralansia tahun 2006 adalah
karena penyakit kardiovaskuler, TBC dan penyakit degeneratif lainnya merupakan
penyebab kematian terbesar untuk kelompok usia tersebut.

Gambaran pola penyakit penyebab kematian menunjukkan bahwa penyakit


dengan beban ganda (double burden) merupakan masalah di Provinsi Jawa Barat,
dengan pokok penyebab pada infeksi, disertai dengan faktor risiko gaya hidup
seperti konsumsi makanan berlemak tinggi dan kurang olah raga.

penyakit sirkulasi darah maupun penyakit degeneratif.

Umur Harapan Hidup

Gambar 4.12. Perbandingan Proyeksi UHH dan Target UHH


Provinsi Jawa Barat, Tahun 2000 s.d. 2010

68.00 67.30 67.40


67.00 67.10
66.80 66.90

67.00 66.50
66.20 67.14
67.01
65.80 66.74 66.87
66.00 66.60
66.47
Sumber
64.90 : Badan Pusat Statistik
66.07 Provinsi Jawa Barat
64.63 65.68
65.00
65.29

64.80
64.00
64.00

63.00

62.00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

PROYEKSI TARGET

148
Status Gizi

Berbagai Upaya dilakukan untuk mengatasi masalah gizi antara lain


Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Program perbaikan gizi
bertujuan meningkatkan mutu konsumsi pangan sehingga berdampak pada
keadaan atau status gizi masyarakat.

Masalah utama gizi masih diwarnai dengan masalah Gizi buruk


(khususnya pada kelompok umur balita), gangguan akibat kurang yodium
(GAKY), anemia gizi besi (AGB) dan kurang vitamin A (KVA), utamanya pada
kelompok penduduk tertentu seperti anak-anak dan wanita.

Pemberian vitamin A untuk anak balita 1-4 tahun dan ibu nifas, pemberian
tablet Fe pada ibu hamil, distribusi kapsul yodium untuk penduduk sasaran
(WUS) pada daerah rawan GAKY. Kecenderungan berat badan lebih berkaitan
dengan gaya hidup mencakup pola makan dan kebiasaan berolahraga. Obesitas
perlu diwaspadai mengingat keadaan tersebut merupakan faktor predisposisi. Gizi
buruk pada balita perlu diwaspadai karena akan berdampak pada lemahnya
sumber daya manusia di masa mendatang (lost generation).

Kurang Vitamin A

Tujuan utama program penanggulangan KVA (Kurang Vitamin A) adalah


menurunkan prevalensi Xerophthalmia sampai 0,1 %. Dari hasil Susenas 1992 ,
prevalensi xerophthalmia yang dinyatakan sebagai prevalensi X1B di Jawa Barat
sebesar 0,11 %, berarti telah terjadi penurunan prevalensi sebesar 92.90% jika
dibandingkan dengan tahun 1978 (1,55%). Dengan keberhasilan ini maka masalah
KVA klinis bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat jika mengacu
kepada kriteria WHO (X1B = 0,5 %).

149
Tabel 4.22. Status Gizi Balita Tahun 1999-2001 dan 2004-2007

Status Gizi Balita ( % )


Tahun
Lebih Baik Kurang Buruk
1999 23.33 54,45 17,26 4,96
2000 4,84 81,46 12,88 0,79
2001 1,91 85,27 11,7 1,32
2004 2,59 84,06 11,94 1,41
2005 1,83 85,75 11,41 1,01
2006 1,62 86,36 11,52 1.09
2007 2.03 85,23 11,15 1,13
Sumber: Disnaker Propinsi Jawa Barat, 2008

Gambar 4.13. Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beriodium yang


Baik Di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2003 s.d 2006

25
23,42
20
20,42 20,98
18,95
15

10

0
2003 2004 2005 2006

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2006

Hasil analisis vitamin A dalam serum mengungkapkan bahwa 50% status


vitamin A anak balita masih rendah atau marjinal. Hal ini menggambarkan bahwa
untuk mencegah terjadinya kembali prevalensi xerophthalmia yang tinggi,
program penanggulangan kurang vitamin A perlu diteruskan dengan dukungan
konsumsi makanan sumber vitamin A bagi anak balita.

Penanggulangan defisiensi vitamin A pada anak balita dapat dilakukan


dengan cara pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 IU) setiap 6 bulan
sekali, pendidikan gizi ibu di posyandu, fortifikasi bahan makanan yang banyak
dikonsumsi anak balita dengan vitamin A (1.800 IU). Pemberian satu kapsul
vitamin A pada ibu sehabis melahirkan bertujuan untuk meningkatkan kadar
vitamin A dalam ASI bagi ibu dalam 1-2 minggu, disamping itu pula kepada ibu

150
menyusui dapat diberikan pendidikan gizi di posyandu tentang pentingnya
mengkonsumsi makanan sumber vitamin A.

Gangguan Akibat Kurang Yodium

Tujuan utama program penanggulangan GAKY adalah untuk menurunkan


angka gondok total (Total Goitre Rate/TGR) dan angka gondok nyata (Visible
Goiter Rate/VGR) serta mencegah munculnya kasus kretin pada bayi baru lahir di
daerah endemik sedang dan berat.

Persentase desa/kelurahan dengan garam beriodium baik dari tahun ke


tahun menunjukkan peningkatan, meskipun persentasenya baru berkisar pada
angka 20 %. Hasil pemeriksaan TGR pada anak sekolah pada tahun 2004,
menunjukkan 7 % (1.218 orang) menderita penyakit gondok.

Anemia Gizi

Anemia gizi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Hasil


beberapa penelitian yang dilakukan di Jawa Barat menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa semakin lama usia kehamilan jumlah bumil yang menderita
anemia berat semakin tinggi.

Hasil penelitian pada tahun 2003 mengenai masalah Ibu hamil kurang
energi kronis dan anemia gizi besi di 24 Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
tercantum pada grafik berikut ini.

Gambar 4.13. Prevalensi Anemia Gizi Ibu Hamil di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2003
90
76 77,3 77
80
65,5
70
57,5 56,4
60 51,4 52 52,9 54,1 52,2 51,4 51,7
47,7 48,7 45,7
42,6 44,8 42,5 41,8 43,5 44
50 41,4
38,1 36,5
40
30
20
10
0
n

am n

at
C u

a g
a

B ung

ng
K wa n

C g
m a
a

ed g

C ur
or

. T m or
an a
uk mi

K jale i
K De i
. B ok

a asi

a is
um

a rut
ah

K Ka as
o
In ebo

ay

uk an
a

y
ay

an
. C rt

. B gk

um n

ar
J a ia m
nj
og

ab asik og
du
ot ireb

as ala
. S bu
ab p
P ing

S ba
ab ka

K Ga
im

ek

ek

a aw

al
ab

B
n

ia
B

B
ir

an

u
un

B
C

S
r
dr

a ab.

w
ik
ur
K

ot
a

a
S
ot

a
M

K
ab
K

ot

T
ab
K

ot

K
K

ot
K

Sumber : P3Gizi dan Makanan Depkes dan DinKes Jabar, tahun 2003

151
Berdasarkan data mengenai prevalensi anemia pada ibu hamil di provinsi
Jawa Barat tahun 2003, kasus tinggi > 55 % terdapat di daerah pesisir Kabupaten
Karawang, Kabupaten. Indramayu, Kabupaten Cianjur dan Wilayah timur Jawa
Barat yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Ciamis. Tingginya prevalensi
anemia pada ibu hamil maupun remaja putri perlu mendapat perhatian khusus,
utamanya didalam rangka penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi.

Adanya peningkatan jumlah pekerja wanita yang bekerja di sektor formal


maupun informal di Jawa Barat, sehingga masalah anemia gizi besi pada
Nakerwan menjadi penting menyangkut produktivitasnya sebagai pekerja wanita
dan calon ibu. Sampai saat ini prevalensi anemia pada pekerja wanita adalah 35,6
% - 37,6 %. Demikian juga masalah anemia gizi besi pada anak sekolah,
disebabkan oleh infeksi cacing atau pola konsumsi makanan yang kurang.

Dari bidang kesehatan, upaya dan energi pemerintah daerah dalam kurun
waktu tahun 2003 hingga tahun 2006 banyak tersita untuk penanggulangan
wabah-wabah penyakit menular, mulai dari demam berdarah, malaria, polio,
hingga wabah flu burung, demikian juga penanganan kasus-kasus gizi buruk pada
balita. Namun memasuki tahun 2007, seiring dengan telah tertanggulanginya
berbagai wabah penyakit menular tersebut, fokus upaya kesehatan mulai bergeser
dari kegiatan-kegiatan kuratif ke kegiatan-kegiatan preventif dan promotif. Hal ini
ditandai dengan kembali bergairahnya pelaksanaan program-program
Desa/Kelurahan Siaga hingga Kabupaten/Kota Siaga, Gerakan Sayang Ibu, dan
berbagai program pembudayaan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Namun
demikian perhatian terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya
masyarakat miskin tetap mendapat perhatian yang seksama, yakni melalui
penyuksesan pemberian jaminan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin
(Askeskin) dan juga pengalokasian dana tambahan dari APBD Provinsi untuk
program Askeskin. Penempatan dokter-dokter residen (yang sedang
menyelesaikan pendidikan spesialis) dilaksanakan di wilayah Jawa Barat Selatan
untuk mengembangkan pelayanan kegawatdaruratan kebidanan pada Puskesmas-
Puskesmas.

152
IV.10. Peningkatan Perlindungan Dan Kesejahteraan Sosial

Permasalahan sosial termasuk terjadinya bencana alam. Pada tahun 2006,


terjadi bencana Tsunami yang melanda pantai selatan Jawa Barat. Jumlah korban
jiwa yang meninggal akibat bencana sebanyak 612 orang, dengan jumlah
terbanyak 443 orang di Kabupaten Ciamis dan 102 orang di Kabupaten
Tasikmalaya.

Bencana banjir dan kekeringan juga masih terus terjadi antara lain akibat
menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya dukung lingkungan
serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi. Selain itu
kondisi jaringan irigasi juga belum memadai, walaupun dari tahun 2003 s/d 2007
jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar
74 % menjadi 46 %. Demikian pula halnya dengan intensitas tanam padi pada
daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat dirasakan masih
belum optimal, walaupun dalam kurun waktu tersebut telah meningkat dari 182 %
menjadi 190 %.

Masalah lainnya adalah anak terlantar, orang jompo, anak nakal, korban
penyalahgunaan narkotik (Narkoba), penyandang cacat, gelandangan atau
pengemis, tuna susila, fakir miskin, wanita rawan sosial ekonomi, anak jalan dan
lain-lain.

Tabel 4.23. Jumlah Kerugian Akibat Bencana Alam Menurut Jenis di Jawa
Barat
Kerusakan Rumah
Korban Ringan Berat Hancur Terancam Terendam
Tahun Jiwa
Meninggal

2005 8 .777 2.428 1.581 1.394 1.073 2.345


2006 612 3.169 3.345 68.227 2.330 Tidak ada
data
Sumber: Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, 2007

153
Tabel 4.24. Jumlah Permasalahan Sosial Menurut Jenis di Jawa Barat

Tahun Anak Lansia/ Anak Korban Penyand Gelandangan Tuna Fakir


Terlantar Jompo Nakal Narlotika ang /pengemis Susila miskin/
cacat Keluarga
Miskin
2003 78.103 105.246 5.655 2.851 58.151 4.143 4.426 877.129
2004 280.389 125.419 6.679 34.234 66.456 5.223 5.598 1.090.321
2005 280.389 125.419 6.679 34.234 66.456 5.223 5.598 1.120.321
2006 197.819 236.721 3.092 13.239 84.356 5.523 3.659 1.886.890
Sumber: Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, 2007

Tahun Anak,Wanita dan Penyandang Cacat Bekas Wanita Rawan


Lansia Korban Bekas Penderita Narapidana Sosial Ekonomi
Tindak Kekerasan Penyakit Kronis

2005 5.335 19.101 8.825 128.525


2006 44.346 18.232 6.824 171.180
Sumber: Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, 2007

Tahun Keluarga Berumah Masyarakat Anak Balita Anak Jalanan


Tidak Layak Huni Tinggal Di Daerah Terlantar
Rawan Bencana
2005 124.371 42.442 29.161 8.448
2006 196.094 67.811 54.584 6.428
Sumber: Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, 2007

Jumlah fasilitas panti asuhan yang dikelola oleh swasta mengalami


peningkatan jumlah, berdasarkan data dari Dinas Sosial didapatkan pada tahun
2004 didapatkan 464 panti, tahun 2005 didapatkan 574 panti, dan tahun 2006
didapatkan 629 panti. Sedangkan jumlah panti asuhan yang dikelola oleh
pemerntah tidak mengalami perubahan berdasarkan data tahun 2004 – 2006, yaitu
sejumlah 6 panti. Jumlah panti wreda yang dikelola oleh swasta dan pemerintah
mengalami peningkatan jumlah dari tahun ke tahun.

Tabel 4.25. Jumlah Panti Wreda Berdasarkan Data Dinas Sosial

2004 2005 2006


Pemerintah 605 605 1.046
Swasta 22.692 25.414 26.472
Sumber: Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, 2007

154
Berbagai program pembangunan bertujuan untuk menjamin standar hidup
yang memadai bagi semua anggota masyarakat. Pada periode tahun 2004 – 2006,
tercatat bahwa jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
menunjukkan peningkatan. Tetapi, di sisi lain peran masyarakat dalam upaya
peningkatan kesejahteraan sosial dirasakan meningkat, terlihat dari meningkatnya
jumlah panti sosial yang diselenggarakan oleh swasta, serta jumlah pekerja sosial
masyarakat.

IV.11. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat, Pembangunan


Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olahraga

Kependudukan

Pada hakekatnya pembangunan ditujukan untuk meningkatkan


kesejahteraan penduduk sehingga penduduk dapat menikmati hidup layak
sehingga mampu memenuhi kebutuhannya seiring dengan tuntutan perkembangan
jaman. Data tentang kependudukan menjadi hal yang krusial mengingat target
pembangunan itu sendiri adalah penduduk. Sumber daya manusia yang
berkualitas menjadi modal yang kuat bagi terlaksananya program pembangunan.

Berdasarkan Suseda, pemekaran wilayah di Kabupaten Bandung menjadi


Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat telah diakomodir. Jumlah
kabupaten/kota di Jawa Barat yang semula sebanyak 25 kabupaten/kota
bertambah menjadi 26 kabupaten/kota. Jumlah penduduk Jawa Barat tahun 2006
sebesar 40.737.594 orang dan tahun 2007 sebesar 41.483.729 orang. Penduduk
laki-laki tahun 2006 sebesar 20.579.308 orang dan tahun 2007 sebesar 20.919.807
orang dan penduduk perempuan tahun 2006 sebesar 20.158.286 orang dan tahun
2007 sebesar 20.563.922 orang.

Sex Ratio tahun 2006 menunjukkan angka 1,02, artinya bahwa setiap 100
orang perempuan, terdapat 102 orang laki-laki dan sex ratio pada tahun 2007
sebesar 101,7 yang berarti setiap 1.000 perempuan berbanding dengan 1.017 laki-
laki. Perubahan komposisi penduduk berdasarkan Kelompok Usia dimana terdapat
peningkatan kelompok usia muda menjadi kelompok usia produktif.

155
Gambar 4.14. Jumlah Penduduk Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2000 – 2006

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

Tabel 4.26. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Provinsi Jawa


Barat Tahun 2000 – 2006

Kelompok Umur 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006


1. Muda (0 – 14 tahun) 30,71 30,35 30,21 28,70 30,06 29,76 29,62
2. Produktif (15 – 64 tahun) 64,73 65,39 65,56 67,06 65,59 65,83 65,81
3. Tua (> 65 tahun) 4,56 4,26 4,23 4,24 4,35 4,41 4,57
Jumlah 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

156
Gambar 4.15. Laju Pertumbuhan Penduduk Di Provinsi Jawa Barat Selama
Kurun Waktu 2002-2007

Menurut data Suseda, laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Provinsi Jawa


Barat dari tahun ke tahun relatif terus menurun. Pada periode 2002-2003, LPP
Provinsi Jawa Barat mencapai 2,25 persen meningkat menjadi hanya 2,64 persen
pada periode berikutnya (tahun 2003-2004), tetapi terus mengalami penurunan
pada periode tahun 2004-2005 menjadi hanya sekitar 2,09 persen dan di periode
tahun 2005-2006 LPP-nya mengalami penurunan menjadi 1,94 persen. LPP
periode 2006-2007 sebesar 1,84 persen. Kondisi tersebut menunjukkan upaya
pengendalian penduduk di Provinsi Jawa Barat relatif cukup baik.

Kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat menunjukkan perubahan dari


tahun ke tahun, terjadi peningkatan yaitu 798 orang per kilometer persegi pada
tahun 1980, menjadi 972 orang per kilometer persegi pada tahun 2000 dan 1085
orang per kilometer persegi pada tahun 2003 menjadi 1.130 orang perkilometer
persegi di tahun 2005 serta pada tahun 2006 meningkat lagi menjadi 1.146 orang
perkilometer perseginya.

Angka Kelahiran Kasar (CBR) dan Angka Kesuburan Total (TFR)

Selama periode 2000 – 2006, tren Fertilitas di Jawa Barat terus mengalami
penurunan. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan setiap perempuan (Total
Fertility Rate) di tahun 2000 masih menunjukan angka 2,61 terus menurun
menjadi 2,39 di tahun 2006. Demikian juga Angka Kelahiran Kasar yang terus
menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun.

157
Tabel 4.27. Angka Kelahiran Kasar (CBR) dan Angka Kesuburan Total
(TFR) di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2000 – 2006

Total Fertility Rate = Crude Birth Rate =


Tahun TFR = Angka CBR = Angka
Kesuburan Total Kelahiran Kasar
2000 2,61 23,98
2001 2,51 21,98
2002 2,20 21,90
2003 2,82 28,33
2004 2,54 25,51
2005 2,53 25,41
2006 2,39 24,01
Sumber : Suseda tahun 2002 – 2006

Perkawinan

Umur perkawinan pertama mempunyai pengaruh yang besar terhadap tinggi


rendahnya tingkat fertilitas, karena pangjangnya masa reproduksi berkaitan
dengan umur pertama kali perempuan melakukan pernikahan. Makin muda usia
perempuan pada perkawinan pertama maka kecenderungan untuk memiliki anak
lebih banyak semakin tinggi.

Semakin muda usia perkawinan pertama, semakin besar risiko yang dihadapi bagi
keselamatan kesehatan ibu maupun bayi, secara mental perempuan muda yang
cepat menikah umumnya sangat rentan perceraian karena emosi yang belum stabil
dan belum siap untuk menjalankan rumah tangga serta belum siap menerima
pengetahuan tentang kehamilan dan persalinan.

Tabel 4.28. Penduduk Wanita berusia 10 tahun ke atas yang pernah menikah
Menurut usia perkawinan pertama di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 –
2006
Usia Perkawinan
2002 2003 2004 2005 2006
Pertama
1. < 15 tahun 18,02 16,50 16,50 16,28 18,83
2. 16 Tahun 13,31 12,84 12,84 12,57 12,26
3. 17 - 18 tahun 29,70 29,37 29,37 29,34 28,28
4. 19 – 24 tahun 33,36 35,62 35,62 36,11 34,41
5. > 25 tahun 5,61 5,67 5,67 5,71 6,21
Jumlah 100 100 100 100 100
Sumber : Suseda tahun 2002 – 2006

158
Gambar 4.16. Cakupan Peserta KB Baru di Provinsi Jawa Barat Tahun
2001s/d 2006

Keluarga Berencana

Keberhasilan program Keluarga Berencana dapat diketahui dari beberapa


indikator ditunjukan melalui pencapaian cakupan KB Aktif dan peserta KB Baru
terhadap pasangan usia subur(PUS) dan persentase peserta KB Aktif Metode
Kontrasepsi Efetif Terpilih (MKET).

Pencapaian KB Baru pada tahun 2006 sebesar 12,72%, cakupan ini


mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tahun 2005
(10,66%).

Jumlah sarana pelayanan KB yang dimanfaatkan oleh akseptor KB baru di


Provinsi Jawa Barat terbanyak adalah Pos KB desa yang pada tahun 2005
berjumlah 8.883 buah dan tahun 2006 berjumlah 7 439 buah. Sedangkan petugas
jasa konsultasi maupun jasa pelayanan KB adalah Bidan sebesar 5.433 orang pada
tahun 2005 dan 5.547 orang pada tahun 2006. Pada tahun 2005 alat kontrasepsi
yang paling banyak diminati oleh akseptor baru adalah suntik sebanyak 464.941
akseptor, Pil 238 095 orang dan IUD sebanyak 79 704 akseptor.

Pada tahun 2006 alat yang paling diminati adalah pil sebanyak 564.159
akseptor, Pil 309.005 orang dan IUD sebanyak 105.513 akseptor.
Program KB dipengaruhi juga oleh kondisi perekonomian, di mana berdasarkan
hasil pendataan keluarga yang dilaksanakan oleh BKKBN Provinsi Jawa Barat,

159
pada tahun 2006 masih terdapat 17,48% dari total 10,4 juta keluarga yang berada
dalam tahapan Keluarga Pra Sejahtera, menunjukkan peningkatan dibandingkan
proporsi pada tahun 2005 sebesar 13,38%.

Gambar 4.17 Tahapan Keluarga Sejahtera di Propinsi Jawa Barat 2005-2006

Sumber : Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat 2007

160
Pemuda dan Olah Raga

Dari aspek pemberdayaan perempuan serta pembinaan pemuda dan


olahraga, upaya pembinaan generasi muda dilakukan melalui revitalisasi dan
penguatan kelembagaan kepemudaan. Selain itu dilakukan pembinaan dan
pemberian penghargaan kepada para pemuda pelopor berprestasi. Perhatian
terhadap olahraga telah dilakukan melalui pembinaan terhadap atlet-atlet pelajar
di PPLP Jawa Barat, juga melalui pengiriman atlet pelajar pada POPWIL dan
POPDA. Khusus menghadapi PON 2008 bersama dengan KONI Jawa Barat
digelar program “Jabar 100”, untuk mendongkrak prestasi jabar yang ditargetkan
merebut posisi dua besar PON.

Selain itu pemberian penghargaan senantiasa diberikan kepada atlet-atlet


yang berprestasi nasional maupun internasional. Upaya pengembangan olahraga
di daerah dilakukan melalui pengembangan olahraga masyarakat, ditandai dengan
mulai dilaksanakannya pembangunan Bandung West Java Stadium di Gedebage
Kota Bandung serta sarana prasarana olahraga di kecamatan terpilih mulai tahun
2008.

Beberapa hal yang telah dicapai pada olahraga prestasi dalam kurun waktu
2003-2007 antara lain menduduki urutan ke 3 (tiga) pada Pekan Olahraga
Nasional (PON) tahun 2004 di Palembang, menduduki urutan ke 2 (dua) Pekan
Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) di Medan, menjadi juara umum pada
kejurnas beberapa cabang olahraga sebagai kualifikasi PON ke di Kalimantan
Timur. Selain itu Jawa Barat juga menjadi juara umum berturut-turut pada Pekan
Olahraga dan Seni Antar Pondok Pesantren (POSPENAS) tahun 2003 dan 2005.

Kekuatan, Kelemahan, Peluang, Tantangan, dan Isu Strategis

Pembangunan kualitas hidup penduduk Jawa Barat tetap menjadi prioritas


pembangunan daerah. Perkembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Jawa
Barat menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Hal tersebut antara
lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
dihitung berdasarkan tiga indikator yaitu Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan,
dan Indeks Daya Beli. Pada Tahun 2007, IPM Jawa Barat mencapai angka 70,76

161
(angka sangat sementara), meningkat sebesar 0,71 poin dibandingkan tahun
sebelumnya yaitu sebesar 70,05. Dalam rentang 2003–2007, IPM Jawa Barat
meningkat sebesar 2,89 dari angka 67,87 pada tahun 2003 menjadi 70,76 pada
tahun 2007.

Kekuatan

Dengan jumlah penduduk yang banyak sehingga dapat berpotensi untuk


memberikan kontribusi positif

a) Kebijakan wajar dikdas 9 tahun dapat meningkatkan rata-rata lama sekolah


b) Kebijakan pembangunan kesehatan yang diarahkan pada peningkatan
kesehatan seluruh lapisan masyarakat sehingga dihasilkan masyarakat yang
berkualitas
c) Keterwakilnya perempuan dalam kegiatan politik makin meningkat
d) Meningkatnya program-program dalam pembinaan olahraga
e) Memiliki perda tentang pencegahan dan penanganan perdagangan orang,
termasuk di dalamnya perlindungan terhadap anak-anak
f) Ketersediaan sarana dan prasarana di bidang kesehatan dan kesejahteraan
sosial yang semakin meningkat dan dapat dijadikan sebagai modal dasar
dalam pembangunan

Kelemahan

a) Upaya peningkatan kualitas dan produktivitas SDM Jawa Barat belum optimal
b) Kurang kesadaran masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbudaya.
c) Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Jawa Barat masih rendah, terutama
perempuan
d) Tingginya kesenjangan status kesehatan (angka-angka yang menjadi indikator
dalam menilai derajat kesehatan)
e) Masih terdapatnya permasalahan dalam kesetaraan dan keadilan jender dalam
pelaksanaan pembangunan
f) Masih tingginya tingkat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
g) Tingginya AKI dan AKB
h) Tingginya morbiditas penyakit menular dan tidak menular
i) Terdapat wilayah yang rawan bencana

162
Peluang

a) Otonomi pendidikan formal berbasis kompetensi dengan memperhatikan


keseimbangan kurikulum nasional dengan muatan lokal guna mengembangkan
potensi daerah
b) Otonomi peningkatan pelayanan kesehatan
c) Kesadaran terhadap kesetaraan gender yang semakin luas akan mendorong
potensi dan semangat kaum perempuan untuk lebih berperan dalam
peningkatan kehidupan. Pemerintah Provinsi diberi wewenang untuk
membuat arahan peraturan.

Tantangan

a) Semakin derasnya arus informasi dan akulturasi budaya asing melalui media
massa
b) Tingginya penyakit menular (TBC, HIV-AIDS, DBD, Diare, AI) dan
penyakit-penyakit tidak menular seperti jantung, penyakit jiwa dan pembuluh
darah.
c) Perubahan lingkungan yang merugikan kesehatan masyarakat sebagai dampak
perubahan iklim global, akan memperberat upaya peningkatan status
kesehatan dan gizi masyarakat.
d) Masyarakat dengan tingkat kesejahteraan sosial rendah pada wilayah urban
akan menimbulkan permukiman yang kumuh serta kerawanan sosial dan
kriminalitas.
e) Exploitasi terhadap potensi dan peranan perempuan Indonesia untuk tujuan
dan kepentingan illegal dan komersial (pornografi, pornoaksi, perdagangan
perempuan, pelecehan seksual)
f) Masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang mempengaruhi pendidikan
masyarakat
g) Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya jumlah
penduduk usia produktif yang mencari pekerjaan
h) Penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah Jawa Barat

163
i) Pengembangan sarana dan prasarana sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta diharapkan pengembangan dapat merata di
seluruh wilayah Jawa Barat
j) Untuk mengurangi bencana alam diharapkan masyarakat dapat berperilaku
ramah terhadap lingkungan

IV. 12. Kehidupan Beragama

Kualitas kehidupan beragama di Jawa Barat telah mengarah pada


kesadaran masyarakat untuk melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan
bermasyarakat, serta kesadaran dan toleransi antar umat beragama. Kondisi
tersebut menciptakan hubungan yang harmonis dan kondusif baik antara sesama
pemeluk agama maupun antar umat beragama. Hal-hal tersebut dapat menunjang
kesalehan sosial di masyarakat. Namun dalam proses mewujudkan kesalehan
sosial di masyarakat, masih terdapat ajaran-ajaran sesat yang tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah agama dan mengganggu kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Bidang agama merupakan bidang yang menjadi urusan wajib pemerintah pusat,
karenanya tidak akan dibahas terlalu banyak dalam kajian, ini. Namun secara jelas
terlihat bahwa apa yang diinginkan oleh RPJMN 2004-2009 untuk agenda
pembangunan kehidupan beragama ini diterjemahkan juga dalam perencanaan
propinsi RPJPD, RPJMD hingga ke program dan kegiatan.

IV.13. Perbaikan Pengelolaan SDA dan Pelestarian Mutu Lingkungan Hidup

Penyusunan strategi lingkungan hidup Propinsi Jawa Barat merupakan


upaya untuk menunjang perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup
melalui peningkatan kemampuan daerah dalam mengendalikan kerusakan dan
gangguan lingkungan hidup yang telah terjadi, beberapa strategi tersebuta
diantaranya adalah penyiapan instrumen kebijakan, serta strategi dan upaya-upaya
yang tertuang dalam program pembangunan yang dilaksanakan oleh masing-
masing daerah dalam mengatasi masalah lingkungannya.

164
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2004-2009 menekankan kepada perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup yang diarahkan untuk dapat memperbaiki
sistem pengelolaan sumber daya alam agar memiliki kemampuan memberikan
manfaat ekonomi, termasuk jasa lingkungannya, dalam jangka panjang dengan
tetap menjamin kelestariannya. Sasaran yang ingin dicapai dari RPJM Tahun
2004-2009 dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup itu
sendiri adalah membaiknya fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan sumber
daya alam yang mengarah pada pengarusutamaan prinsip pembangunan
berkelanjutan di seluruh sektor pembangunan. Penjabaran RPJMN tahun 2006,
2007 dan 2008 dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada masing-
masing tahun yang antara lain memuat prioritas pembangunan, rancangan serta
program pembangunan dalam bentuk kerangka regulasi dan pendanaan serta
instrumen kebijakan.
Salah satu kerangka RKP Provinsi Jawa Barat adalah mengaktualisasikan
strategi untuk mewujudkan struktural dan pola pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dan disesuaikan dengan visi dan misi Provinsi Jawa Barat. Kondisi
struktur ruang diuraikan dalam kondisi sistem kota-kota, infrastruktur wilayah,
dan kawasan andalan. Sementara kondisi pola ruang diuraikan dalam kondisi
kawasan budidaya sawah dan kawasan lindung. Seperti tertuang dalam RPJMN
Daerah Jawa Barat 2008-2013, strategi tersebut adalah rencana struktur ruang
wilayah Jawa Barat ditetapkan kedalam 3 (tiga) Pusat Kegiatan Nasional (PKN)
dan 7 (tujuh) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). PKN tersebut meliputi:
Metropolitan Bogor-Depok-Bekasi (Bodebek), Metropolitan Bandung, dan
Metropolitan Cirebon. Sedangkan PKW meliputi Sukabumi, Cikampek-Cikopo,
Pelabuhanratu, Indramayu, Kadipaten, Tasikmalaya, dan Pangandaran.
Keterkaitan antar PKN, antar PKW, dan antara PKN-PKW diwujudkan melalui
pengembangan infrastruktur wilayah.
Seluruh rencana dari implementasi pengembangan PKN yang ditetapkan
tersebut dituangkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010, yang masih belum
memperlihatkan kondisi fungsi dan peran secara optimal. Hal tersebut dilihat dari
skala kegiatan ekonomi, pelayanan infrastruktur, serta daya dukung dan daya

165
tampung ruangnya. Secara umum hampir seluruh sistem kota mengalami masalah
dalam penyediaan sistem sarana prasarana, meskipun PKN Bodebek memiliki
keberadaan prasarana dan sarana yang lebih optimal dibandingkan PKN
Metropolitan Bandung dan PKN Cirebon.
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Metropolitan Bodebek dan Metropolitan
Bandung memiliki keterkaitan yang tinggi, dan dianggap sebagai salah satu
penyebab terjadinya kesenjangan antar wilayah, terutama antara wilayah Jawa
Barat bagian utara dengan bagian selatan serta antara bagian barat, tengah dan
timur. Seperti juga kondisi PKN, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) secara umum
masih memerlukan perbaikan dan dukungan dalam peningkatan kinerja,
diantaranya kawasan andalan yang ditetapkan (Bodebek dan Bopunjur, Cekungan
Bandung, Priatim-Pangandaran, Ciayumajakuning, Purwasuka, dan Sukabumi)
memperlihatkan kondisi perkembangan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan
PKW lainnya karena didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana wilayah
kawasan yang mendukung perkembangan sektor unggulan di kawasan tersebut.
Pada aspek lingkungan, pencapaian kebijakan tata ruang dapat dilihat dari
rencanan kawasan lindung (KL) yang ingin dicapai sebesar 45% pada tahun 2010,
dan berdasarkan kesesuaian tutupan lahan 2005 dengan kawasan lindung yang
ditetapkan RTRW Provinsi Jawa Barat, pencapaian kawasan lindung hingga tahun
2007/2008 yang dapat dicapai serta sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
adalah sebesar 27,5% (KL dalam kawasan hutan 11,3 % dan KL diluar kawasan
hutan 16,2 %), sedangkan yang kurang sesuai sebesar 14,8% dan yang tidak
sesuai sebesar 6,6%. Permasalahan yang teridentifikasi dari penyelesaian tata
ruang kawasan lindung tersebut adalah terjadinya penyimpangan pemanfaatan
ruang berupa alih fungsi lahan produktif yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi,
perkembangan penduduk maupun kondisi sosial budaya. Pada umumnya alih
fungsi lahan yang terjadi karena mengabaikan rencana tata ruang yang telah
direncanakan sebelumnya. Perbaikan dari kondisi pengalihfungsian lahan tersebut
terlihat dari data alih fungsi lahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya
(lahan terbangun) pada kurun waktu 1994-2005 sebesar 242.922,26 Ha (28,48%)
dan sawah sebesar 253.281,71 Ha (27,13%). Upaya pengelolaan lingkungan
ditinjau dari kebijakan adalah telah ditetapkannya regulasi dalam bidang penataan

166
ruang, yaitu UU Nomor 26 Tahun 2007 yang dapat dipergunakan sebagai acuan
yang lebih tegas dengan penerapan sanksi pidana maupun perdata bagi pelaku
penyimpangan tata ruang. Undang-undang tersebut memberi peluang Pemerintah
Provinsi antara lain memiliki kewenangan dalam pengaturan, pembinaan,
pengawasan dan pelaksanaan penataan ruang serta pengembangan kawasan
strategis provinsi sesuai dengan kewenangan di tingkat provinsi.
Upaya pengelolaan lingkungan di wilayah Provinsi Jawa Barat dari aspek
sumber energi adalah terlihat dari pengembangan potensi berbagai jenis
sumberdaya alam yang terbaharukan. Potensi sumberdaya terbaharukan yang
dikembangkan diantaranya adalah potensi panas bumi sekitar 6.101 MW atau
(21,7%) dari total potensi panas bumi Indonesia. Sampai dengan tahun 2007,
sekitar 92,81% energi nasional yang dihasilkan dari panas bumi dipasok oleh
pembangkit panas bumi yang berada di Jawa Barat. Sementara untuk pasokan
energi nasional yang berusumber dari PLTA, Jawa Barat memberikan kontribusi
sebesar 46,21%.
Perbaikan pengelolaan sumber-sumber potensi penyebab bencana alam di
Jawa Barat dilakukan dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan sumber
penyebab bencana, diantaranya 7 (tujuh) gunung api aktif, 5 (lima) sesar aktif
serta aktivitas lempeng tektonik di selatan Jawa Barat. Sumber penyebab bencana
gerakan tanah antara lain di wilayah jawa Barat bagian selatan, serta banjir di
wilayah pantai utara, Cekungan Bandung, Bogor, serta depok. Sekaligus untuk
mewujudkan fungsi 45% Kawasan Lindung Jawa Barat dalam kurun waktu lima
tahun terakhir dilaksanakan melalui kegiatan rehabiliasi lahan kritis serta
penandaan batas kawasan lindung. Rehabilitasi lahan kritis antara lain dilakukan
melalui GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis). Sisa lahan kritis sampai tahun
2007 mencapai 202.130,05 ha. Sementara untuk kegiatan penandaan batas telah
dilaksanakan sepanjang 1.040 m selama tiga tahun dan dapat diselesaikan tahun
2007. Perwujudan 45% kawasan lindung tersebut melibatkan insitusi di tingkat
pusat, provinsi, kabupaten/kota serta partisipasi dunia usaha dan masyarakat.
Dalam pelaksanaanya, pencapaian kawasan lindung 45% dihadapkan pada
permasalahan semakin meningkatnya tekanan sosial-ekonomi terhadap sumber
hutan, serta sinergitas lintas instansi.

167
Sampai dengan tahun 2007 berbagai upaya perbaikan pengelolaan sumber
daya alam, khususnya sumber daya air telah dilakukan melalui mengendalian
tingkat pencemaran air sungai di Jawa Barat. Upaya tersebut antara lain melalui
pemantauan kualitas air sungai secara periodik di 7 sungai utama dan penguatan
kapasitas kelembagaan melalui program Environmental Pollution Control
Management (EPCM), serta penegakkan hukum lingkungan. Penguatan kapasitas
kelembagaan melalui program tersebut telah dapat membangun komitmen industri
di dalam mewujudkan pemulihan kualitas air sungai. Dari aspek penegakkan
hukum lingkungan telah dilakukan penanganan terhadap industri pencemar,
meskipun upaya-upaya pengendalian tingkat pencemaran air yang telah dilakukan
terhadap kualitas air sungai di 7 sungai utama, masih belum dapat memberikan
efek signifikan terhadap pergeseran status mutu air ke tingkat yang lebih baik.
Terkait dengan perbaikan pengelolaan perkembangan kondisi air tanah di
Jawa Barat yang semakin menurun dari tahun ke tahun dengan laju penurunan
sekitar 2-5 m setiap tahunnya. Langkah-langkah konservasi dan pengendalian
pemanfaatan air bawah tanah telah dilakukan dalam lima tahun terakhir yaitu
meliputi pemantauan kondisi air tanah, pengendalian pemanfaatan pengambilan
air tanah melalui perijinan dan mekanisme disinsentif, pengawasan dan penertiban
pengambilan air tanah secara ilegal, serta pembuatan percontohan sumur resapan
dalam di kawasan tapak industri. Upaya perbaikan pengelolaan masa datang
adalah dengan memulihkan kondisi air tanah di cekungan kritis dengan penguatan
dan peningkatan efektivitas dari pola langkah-langkah sebagaimana telah
ditempuh, serta mendorong partisipasi sector industri di dalam mengembangkan
sumur resapan dalam di kawasan tapak industri. Dalam jangka panjang,
perkembangan ekonomi wilayah perlu diarahkan pada aktivitas ekonomi yang
berkarakter hemat konsumsi air tanah untuk menekan laju pemanfaatan air tanah.
Peningkatan perbaikan pengelolaan dari aspek kualitas udara dari aktivitas
konsumsi bahan bakar yang cukup tinggi di daerah perkotaan yang telah
mengakibatkan polusi udara yang cukup memprihatinkan.
Kontribusi gas buang kendaraan bermotor terhadap polusi udara telah
mencapai 60-70%. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada saat ini
semakin banyak industri yang mulai menggunakan batu bara sebagai sumber

168
energi yang berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara. Meskipun upaya
diterapkannya kebijakan konversi bahan bakar dari minyak tanah ke gas pada
tahun 2007 telah memunculkan berbagai permasalahan di tingkat masyarakat dan
dunia usaha, di Jawa Barat implementasi kebijakan tersebut dihadapkan pada
ketidaksiapan adaptasi sistem institusi dan teknologi. Pemilihan jenis-jenis energi
alternatif belum dapat dipilih akibat tingkat biaya ekonomi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan bakar gas.
Persoalan lingkungan pesisir yang dihadapi di Jawa Barat adalah belum
tertanganinya kerusakan kawasan pesisir berupa kerusakan kawasan seperti
ditandai oleh menyusutnya hutan bakau, abarasi pantai, serta pendangkalan muara
sungai serta indeks pencemar air laut yang menunjukan kondisi rata-rata tercemar
berat. Upaya yang telah dilakukan oleh BPLHD Propinsi Jawa Barat adalah
mengantisipasi, mengatasi dan mengendalikan kerusakan pesisir pantai di Jawa
Barat melalui beberapa program pengelolaan dan pengendalian kerusakan pesisir
dan laut yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000 sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya. Dimana perbaikan ekosistem kawasan pesisir dan laut diarahkan
pelaksanaannya secara terpadu dan sinergis yang melibatkan pelbagai kelompok
masyarakat pesisir dan pelaku pembangunan lainnya diantaranya:
Rehabilitasi/Reboisasi Mangrove; Rehabilitasi/reboisasi mangrove
terutama ditujukan untuk kawasan-kawasan perlindungan dan budidaya perikanan
baik di pesisir utara maupun selatan Jawa Barat. Hal ini sesui dengan fungsi dari
mangrove itu sendiri. Jenis mangrove yang ditanam disesuaiakan dengan kondisi
alam wilayahnya.
Penyusunan Tata Ruang Wilayah Pesisir secara terpadu; Dalam hal ini
ditentukan dan ditetapkan zonasi-zonasi tertentu di wilayah pesisir sebagaimana
fungsi wilayahnya, antara lain zona preservasi, zona konservasi dan zona
pemanfaatan intensif
Pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir Jawa Barat;
Program ini bertujuan untuk mengantisipasi, mencegah serta mengendalikan
potensi pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut. Perkembangan
industri, perikanan, perdagangan dan pemukiman di pantai utara serta

169
pertumbuhan wisata dan perikanan di selatan berpotensi menimbulkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Abrasi yang terjadi di wilayah pesisir utara pada umumnya terjadi akibat
perubahan peruntukan lahan di kawasan tersebut dimana hanya sedikit kawasan
pesisir utara yang stabil yaitu 13 % di daerah Bekasi dan 22 % di daerah Cirebon.
Oleh sebab itu penanganan abrasi di pesisir utara lebih diarahkan kepada
pengendalian perubahan fungsi lahan. Sedangkan akresi umumnya terjadi di
sekitar muara sungai akibat pasokan sedimen dari darat dan diendapkan
disepanjang pantai. Untuk itu konsep pengelolaan melalui pendekatan DAS harus
ditingkatkan. Sedangkan di wilayah pesisir selatan Jawa Barat, permasalahan
abrasi lebih disebabkan oleh aktivitas pertambangan sehingga sangat penting
untuk diterapkan kegitan pertambangan berwawasan lingkungan.
Penataan dan pengendalian kegiatan pertambangan di wilayah pesisir;
Kegiatan pertambangan yang marak di era otonomi daerah untuk meningkatkan
pendapatan daerah telah menyebabkan terjadinya potensi permasalahan
lingkungan hidup yang semakin meningkat. Pertambangan pasir besi di wilayah
pesisir selatan Jawa Barat yang membentang dari Sukabumi hingga Ciamis telah
mengakibatkan permasalahan lingkungan sekitarnya seperti rusaknya jalan
menuju pantai wisata di Ciamis Selatan. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan
upaya pengendalian pertambangan di pesisir selatan Jawa Barat sehingga kegiatan
pertambangan yang dilaksanakan tetap memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan
hidup berkelanjutan.
Penataan dan perlindungan daerah tangkapan ikan nelayan lokal; Program
ini dimaksudkan agar tangkapan dari para nelayan berupa ikan atau biota laut
dapat meningkat dan berkesinambungan sehingga taraf hidup dan kesejahteraan
nelayan meningkat.
Beberapa Pengembangan pendidikan lingkungan berbasis masyarakat dan
penguatan peran kelembagaan lokal dalam meningkatkan kemampuan partisipasi
masyarakat. Penguatan instrumen penegakan hukum sebagai upaya legal
pengelolaan pesisir dan laut

170
Permasalahan, Hambatan, Tantangan, Potensi, Peluang yang strategis dalam
mempengaruhi Pembangunan di Daerah Jawa Barat
Kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah
kegiatan pembangunan yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam tanpa
menghilangkan peluang generasi mendatang untuk menikmati berbagai manfaat
dari kekayaan alam yang tersedia secara adil. Tunutan kondisi lingkungan harus
terjaga dan lestari diyakini sebagai bentuk keberlanjutan ekologis dari
keberlanjutan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Berkenaan dengan
kerangka pembangunan berkelanjutan tersebut, maka evaluasi atas kinerja
pembangunan yang terkait dengan permasalahan lingkungan merupakan bagian
dari strategi pengelolaan lingkungan sesuai dengan kebijakan nasional dan
kepedulian wilayah (provinsi) setempat. Adapun evaluasi kinerja pembangunan
lingkungan yang dilakukan difokuskan kepada permasalahan isu-isu lingkungan
yang menonjol, dan pada dokumen evaluasi ini adalah kinerja selama tiga tahun
yaitu dari tahun 2006 – 2008.
Persoalan lingkungan yang menonjol dibahas dalam laporan ini tidak
selalu menggambarkan persoalan yang terjadi di seluruh wilayah kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Barat, namun juga pada sejumlah kecil wilayah kabupaten/kota
yang dianggap memiliki potensial persoalan yang bila tidak diantisipasi sejak dini
dapat menimbulkan dampak serius di kemudian waktu.
Kajian dilakukan secara cepat (rapid assessment) di antaranya dengan
teknik diskusi kelompok yang melibatkan berbagai sektor pemerintah di tingkat
provinsi. Penekanan pada isu-isu lingkungan menonjol yang teridentifikasi pada
tiga tahun terakhir, baik yang memperlihatkan perbedaan secara berarti atau masih
relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini didasarkan kepada bahwa
dari banyak permasalahan yang teridentifikasi pada evaluasi kinerja sebelumnya,
diperlukan waktu yang relatif panjang untuk dapat mengatasinya, sehingga
penanganannya masih berlangsung dan belum dapat diselesaikan. Hal lain yang
juga perlu mendapat perhatian adalah data-data yang dapat mendukung kinerja
evaluasi ini seperti dokumen status lingkungan hidup 2008 belum tersedia,
sehingga akan dapat ditemukan penggunaan data dari dua tahun sebelumnya.

171
Degradasi Sumberdaya Alam dan Inkonsistensi Rencana Tata Ruang

Degradasi sumber daya alam yang mencakup air dan lahan, berupa
meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan produktifitas lahan, semakin
meluasnya kerusakan hutan (terutama karena perambahan) baik hutan
pegunungan maupun hutan pantai (mangrove).

Kerusakan Lahan/Daerah Aliran Sungai (DAS)


Permasalahan.
Dalam dekade terakhir, hingga tahun 2006/2007, permasalahan berupa
pengalihfungsian lahan dari hutan menjadi lahan pertanian dan pertambangan
serta pengalihfungsian lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau bentuk
lahan lainnya serta inkonsistensi penggunaan lahan dan ruang dengan arahan pada
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan salah satu sumber dari
kerusakan lahan/DAS.
Pada kurun waktu tiga tahun terakhir terdapat sekitar 33% luas lahan Jawa
Barat tidak digunakan sesuai dengan arahan tata guna tanah dalam Rencana Tata
Ruang bahkan sekitar 12,9% luas lahan diantaranya terjadi pada kawasan lindung.
Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat belum bisa mengikuti secara penuh
pedoman yang diberikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah termasuk
transportasi, irigasi, dan konservasi lingkungan. RTRW tidak mampu
mengendalikan perencanaan regional yang menciptakan kesenjangan antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya. Meskipun Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah
berupaya untuk mencapai kawasan lindung sebesar 27,5% (KL dalam kawasan
hutan 11,3 % dan KL diluar kawasan hutan 16,2 %), namun penyimpangan
pemanfaatan ruang diperlihatkan dengan tingginya alih fungsi lahan produktif
karena pengaruh kegiatan ekonomi, perkembangan penduduk maupun kondisi
sosial budaya. Alih fungsi yang terjadi umumnya mengabaikan rencana tata ruang
yang telah direncanakan sebelumnya.
Alih fungsi lahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (lahan
terbangun) selama kurun waktu 1994-2005 terjadi penurunan luas lahan hutan
sebesar 242.922,26 Ha (28,48%) dan sawah sebesar 253.281,71 Ha (27,13%).

172
Kondisi tersebut berkenaan dengan kaitannya terhadap kerusakan lahan/DAS di
Jawa Barat. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh West Java
Environmental Management Project (2004) melaporkan bahwa hingga tahun
2004, dari sekitar 40 Daerah Aliran Sungai/DAS di Jawa Barat, 20 DAS di
antaranya dalam kondisi sangat kritis (50%). Sementara itu, menurut Harian
Umum Pikiran Rakyat (22 September 2005), 25 DAS ada dalam kondisi kritis,
terutama DAS Cimanuk, Citarum, Ciliwung, dan Citanduy.
Sebagaimana dilaporkan dalam laporan evaluasi tahun 2006, data
pemantauan memperlihatkan bahwa luas lahan kritis, misalnya di Kabupaten
Bandung berjumlah 36.698 ha, di Kabupaten Cianjur 44.084 ha, dan Kabupaten
Garut 33.945 ha. Sementara itu, di DAS Citarum Hulu (150.000 ha), DAS
Cimanuk Hulu (24.000 ha), DAS Citanduy (64.000 ha) dan DAS Ciliwung Hulu
(9000 ha). Data yang menunjukkan adanya perubahan tidak diperoleh pada tahun
2007/2008. Adapun pencanangan penanaman satu juta pohon oleh Presiden RI
pada awal tahun 2008, belum dapat menunjukkan hasilnya, mengingat program
tersebut belum satu tahun. Sedangkan data/informasi dari keberhasilan program
UPSA (upaya pengelolaan sumber daya air) yang telah dicanangkan sejak tahun
2001, tidak terinformasikan secara lengkap. Berkaitan dengan luasan lahan kritis
ini, alih fungsi lahan telah menyebabkan berubahnya fungsi kawasan hutan
lindung sekitar 106.851 ha (24%), hutan produksi sekitar 130.589 ha (31 %) dan
persawahan sekitar 165.903 ha (17%) berubah menjadi lahan bukan persawahan
(Pola Dasar Pembangunan Jawa Barat 2001-2007).
Dampak yang diperkirakan terjadi akibat degradasi lahan/DAS tersebut
adalah perubahan tata guna tanah yang cukup besar berupa berkurangnya hutan
primer sebanyak 24%, hutan sekunder dan semak belukar 17% yang kemudian
menyumbangkan sekitar 32.931.061 ton per tahun beban erosi di wilayah Jawa
Barat. Sedangkan hal lain yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan di
DAS Ciliwung berupa peningkatan luasan lahan budidaya dari 3.761 Ha (tahun
1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000) diindikasi menjadi penyebab peningkatan
volume banjir periodik 25 tahunan dari 330 m3/detik (tahun 1973) menjadi 740
m3/detik (tahun 2000).

173
Hambatan.

Permasalahan dari degradasi lahan dalam tatanan DAS di Propinsi Jawa


Barat dapat dikategorikan sangat rawan, jumlah dan luas serta DAS yang telah
mengalami konversi sangat besar dengan tingkat kekritisan yang juga tinggi
(super kritis) yaitu 13% (tahun 1995) menjadi 27% (tahun 1997) dan 35% (tahun
2004). Sehingga upaya yang dilakukan selain terintegrasi juga harus mencakup
jangka waktu pendek (program jangka pendek) seperti revitalisasi lahan dan
penerapan aspek hukum dan jangka panjang seperti upaya rehabilitasi dan
konservasi lahan untuk pengembalian kondisi lahan/DAS kepada kondisi yang
lebih baik serta program partisipasi masyarakat dalam memelihara dan menjaga
hutan.

Tantangan.

Faktor penyebab dari degradasi lahan/DAS terbesar disebabkan oleh


pengalihfungsian lahan, inkonsistensi atau ketidaksesuaian antara penggunaan
lahan dan ruang yang ada sesuai arahan pada Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) dan bencana alam. Perbaikan pengelolaan yang perlu dilakukan adalah
perlu terus dilakukan hal tersebut sesuai dengan RPJMN 2004-2009 untuk
mencegah penurunan kondisi DAS yang terus meningkat. Upaya tersebut telah
dilakukan melalui kegiatan penyelarasan RTRW kabupaten dan kota dengan
RTRW provinsi, hal tersebut dimaksudkan agar dapat mengintegrasikan struktur
dan pola pemanfaatan ruang yang menjaga keberadaan kawasan lindung, dan
mengoptimalkan fungsi ruang kawasan budidaya, baik melalui Tim Koordinasi
Penataan Ruang Daerah Provinsi Jawa Barat, maupun fungsi evaluasi provinsi
terhadap peraturan daerah kabupaten dan kota tentang rencana tata ruang.
Penetapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung Jawa Barat.
Untuk penanganan lahan kritis, Pemerintah Jawa Barat telah melaksanakan
kegiatan terpadu, baik melalui Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK),
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/GERHAN), maupun

174
kegiatan reboisasi (penanaman dalam kawasan hutan oleh Perum Perhutani).
Namun, penyelenggaraan GRLK yang telah dilakukan sejak Tahun 2004, masih
belum optimal. Di tahun 2005 dilakukan berbagai penyempurnaan dalam sistem
dan regulasi, diantaranya telah ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005
tentang Pengendalian dan Rehabilitasi Lahan Kritis, tentang pengaturan
rehabilitasi lahan kritis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
penegakan hukum, dan peranserta masyarakat, dengan fokus utama pada
penanganan lahan kritis dalam kawasan lindung. Dan sebagai tindak lanjut dari
Perda tersebut, pada tahun 2006 telah disusun Rencana Induk Rehabilitasi Lahan
Kritis, sebagai dokumen acuan operasional rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat.

Potensi dan Peluang.

Sebagai upaya mengatasi permasalahan kerusakan lahan, pemerintah Jawa Barat


dalam 5 tahun terakhir telah membuat kebijakan yang diatur dalam berbagai
peraturan daerah, misalnya: Perda No 19 tahun 2001 tentang Pengurusan Hutan,
Perda No. 8 tahun 2005 tentang Sempadan Sumber Air, Perda No. 1 tahun 2006
tentang Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, Perda No. 2 tahun 2006 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
Selain dari upaya yang telah dilakukan, pengelolaan lingkungan untuk
menekan konversi lahan/DAS perlu dilakukan dengan menekankan ketegasan
kepada ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rehabilitasi
lahan kritis dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan/DAS. Beberapa
hal di antaranya adalah:
1. Setiap pembangunan atau pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan harus
mengacu pada Rencana Umum Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.
Misalnya RTRW Propinsi mengacu pada RTRN; RTRW Kabupaten/Kota
mengacu pada RTRW Propinsi. Pada kasus khusus, misalnya pengelolaan
Kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur) dan Kawasan Bandung Utara,
perlu dibuat RTRD (Rencana Tata Ruang Detail) dengan menggunakan peta
skala 1: 10.000.

175
2. Meningkatkan pemantauan/pengawasan terhadap perijinan yang telah
diterbitkan serta meningkatkan penertiban perijinan pemanfaatan lahan.
Perijinan harus dijadikan sebagai mekanisme pengendalian pemanfaatan lahan
dan/atau pengelolaan sumberdaya alam.
3. Perlu adanya kegiatan konservasi tanah yang dilaksanakan melalui program
rehabilitasi lahan kritis. Kegiatan ini khususnya diprioritaskan di DAS kritis
yang mengacu pada tingkat kekritisan DAS yang ditetapkan oleh
Departemen/Dinas Kehutanan.
4. Strategi pengelolaan tata ruang dan tata guna lahan yang dikembangkan
adalah:
• Memasukan pertimbangan lingkungan pada setiap tahap penataan ruang,
mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang
• Mensyaratkan rencana tata ruang wilayah dan kawasan sebagai acuan
dalam pembahasan program dan proyek sektoral dan daerah
• Menetapkan proses penyusunan tata ruang yang partisipatif, adaptif dan
transparan/ akuntabel.

Potensi dan peluang lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Barat adalah pada tahun 2006, pengembangan Infrastruktur Data Spasial Daerah
(IDSD) Jawa Barat mendapatkan bantuan technical assistance dan perangkat
lunak Sistem Informasi Geografis dari pihak Integraph Amerika Serikat.
Infrastruktur ini juga telah diterima oleh 8 Kabupaten/Kota, yang secara intensif
bersama-sama Provinsi mengembangkan Sistem Informasi Geografisnya. Melalui
bantuan tersebut diharapkan mampu mendorong upaya mewujudkan integrasi data
dan informasi spasial antar sektor dan antar tingkat pemerintahan, sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Keputusan
Gubernur Nomor 33 Tahun 2005 tentang IDSD.
Potensi dan peluang dari pencanangan gerakan rehabilitasi lahan kritis
tahun 2003, telah memberikan dampak positif untuk meningkatkan kepedulian
masyarakat Jawa Barat, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga GRLK
merupakan gerakan massal rakyat Jawa Barat. Keberhasilan ini juga mendapat
apresiasi dari pemerintah dan secara Nasional Provinsi Jawa Barat mendapat

176
penghargaan tertinggi dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL).

Kehutanan
Permasalahan.
Luas lahan hutan di Propinsi Jawa Barat hingga akhir tahun 2005
menunjukkan telah terjadi penyusutan/penurunan luas lahan hutan, hal ini terlihat
dari hanya tersisanya sekitar 22% (791.519 ha) dari total areal lahan di Jawa
Barat. Dan dari luas lahan hutan yang tersisa tersebut diketahui bahwa sekitar
14,7% diantaranya berupa hutan alam seperti hutan konservasi (116.110 ha) dan
sisanya terdiri dari hutan yang dapat dimanfaatkan seperti hutan produksi
(472.303 ha) dan hutan lindung (203.106 ha). Kondisi ini semakin besar
permasalahannya akibat belum adanya kesepakatan mengenai besarnya luas lahan
hutan menurut instansi pemerintah yang berkepentingan seperti Perum Perhutani
yang menjelaskan areal hutan produksi sekitar 437.665 ha, hutan lindung 271.972
ha, dan hutan konservasi sekitar 208.267 ha, atau dengan total areal hutan sekitar
917.904 ha; menurut Bagian Kehutanan, areal hutan produksi sekitar 465.907,
hutan lindung 210.138 ha, dan hutan konservasi 108.074 ha; dan menurut Badan
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jawa Barat, total areal hutan
negara adalah 791.748 ha yang jauh lebih kecil dari total areal hutan menurut
BPLHD Jawa Barat (2000), 1.024.098 ha.
Meskipun tidak dapat menjelaskan hubungan secara langsung antara data
statistik yang menunjukkan bahwa industri-industri kayu di Jawa Barat
memerlukan sekitar 2,5 juta m3 per tahun untuk bahan bakunya dengan
kemampuan produksi kayu legal dari Perum Perhutani hanya berkisar antara
300.000-500.000 m3 per tahun, namun perbedaan rasio dan ketidak-seimbangan
antara permintaan dan pemenuhan kayu membuat penebangan-penebangan liar
menjadi lebih tampak karena diperkirakan terdapat sekitar satu juta m3 kayu per
tahun dicurigai berasal dari penebangan liar baik di dalam dan di luar Jawa Barat.
Hal tersebut didukung oleh data tahun 2007 dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Barat bahwa telah terjadi perambahan hutan hingga 491 Ha, perusakan hutan 25

177
Ha, penggembalaan di kawasan hutan 50 ha dan kebakaran hutan mencapai 8.509
Ha hanya untuk wilayah Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten.
Penurunan hutan yang terjadi di Propinsi Jawa Barat tidak hanya terjadi di
bagian tengah dan hilir sungai, namun juga telah mencakup sebagian besar bagian
hulu daerah aliran sungai (DAS) akibatnya potensi banjir dalam periode musim
hujan dan kekurangan air pada musim kemarau cenderung meningkat setiap
tahunnya. Dampak yang timbul akibat penyusutan/penurunan luas lahan adalah
meningkatnya sedimentasi sungai dan waduk/bendungan yang mengakibatkan
berkurangnya produktifitas pertanian dan gangguan terhadap infrastruktur lainnya
secara signifikan bagi pembangunan daerah dan nasional. Nilai indeks
sedimentasi dipergunakan sebagai data untuk melihat hubungan antara laju
pertambahan erosi tanah di daerah-daerah tangkapan air yang pada beberapa kasus
sebanding dengan laju penurunan luas hutan pada DAS tersebut. Hal ini terlihat
dari sekitar 40 sub-DAS yang dikenal, 15 sub-DAS (38%) ditemukan dalam
kondisi super kritis, dan karenanya perlu diberikan prioritas tinggi untuk
perbaikannya.

Hambatan.
Permasalahan penyusutan/penurunan hutan yang terjadi di Propinsi Jawa Barat
dikategorikan sangat rawan, karena percepatan dari penyusutan/penurunan hutan
yang terjadi sudah cukup tinggi (15%-20%) dengan dampak yang ditimbulkan
tidak hanya terjadi pada kawasan hutan itu sendiri namun juga pada kawasan lain
yang berada dalam DAS yang sama dari hulu hingga hilir. Tersisanya sekitar 22%
hutan di Jawa Barat pada akhir tahun 2005, membuktikan bahwa
penyusutan/penurunan hutan sudah tidak dapat ditolerir karena telah dan akan
menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati, menurunan perekonomian
yang mengandalkan hutan sebagai fungsi ekonomi dan ekologi.
Ditinjau dari hambatan yang akan dihadapi dalam upaya peningkatan perbaikan
kualitas hutan adalah faktor penyebab penurunan hutan di Jawa Barat tidak dapat
secara mudah ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat akumulasi dari
berbagai kegiatan yang menyebabkan penurunan hutan. Beberapa faktor
diantaranya adalah perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi,

178
tingginya kebutuhan lahan pertanian, persoalan kelembagaan dalam pengelolaan
sumber daya hutan, serta tidak sesuainya perencanaan tata ruang dengan
implementasi yang disebabkan oleh diantaranya lemahnya penegakan hukum.

Tantangan.
Pengelolaan hutan agar dapat memberikan manfaat langsung dan tidak
langsung merupakan salah satu sasaran pembangunan di bidang lingkungan hidup
dalam RPJMN 2004-2009. Tantangan yang dihadapi adalah segera ditetapkan
sistem pengelolaan hutan yang didukung oleh berbagai kebijakan prioritas
pembangunan kehutanan seperti: (1) pemberantasan penebangan liar (illegal
logging); (2) penanggulangan kebakaran hutan; (3) restrukturisasi sektor
kehutanan; (4) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan; serta (5) penguatan
desentralisasi kehutanan.
Kebijakan prioritas tersebut dimaksudkan untuk mengurangi laju
kerusakan sumberdaya hutan, mempercepat pemulihannya, dan memberikan peran
dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Sehingga tindak lanjut yang dilakukan adalah melibatkan masyarakat dalam
kegiatan pengamanan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk turut
berpatisipasi melalui penyadaran dan motivasi pengamanan hutan, keterlibatan
rehabilitasi hutan seperti di CA Gunung Tilu, CA Kamojang, CA Papandayan,
maupun di tanah masyarakat secara perseorangan.

Potensi dan Peluang.

Pemecahan masalah penyusutan/penurunan hutan di Jawa Barat memerlukan


penanganan segera dan dalam waktu yang singkat atau termasuk program jangka
pendek. Kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan memerlukan waktu relatif panjang
(berjangka menengah dan panjang), seperti program partisipasi masyarakat dalam
memelihara dan menjaga hutan. Namun terdapat potensi dan peluang dari
program memelihara dan menjada hutan melalui pencanangan gerakan rehabilitasi
lahan kritis, yang telah memberikan dampak positif dari kepedulian masyarakat

179
Jawa Barat. Melalui GRLK, gerakan massal rakyat Jawa Barat dapat diarahkan
kepada pola pemanfaatan hutan rakyat yang menguntungkan seluruh pihak.

Pencemaran air, udara dan tanah terutama sampah.


Pencemaran Air
Permasalahan Limbah Cair (Sewage). Tidak ada data/informasi lebih lanjut
dari data dua tahun terakhir tentang permasalahan pencemaran limbah cair yang
terjadi di Jawa Barat. Secara umum pembuangan sistem limbah industri di Jawa
Bara masih banyak yang belum memenuhi standar baku mutu yang berlaku pada
setiap Kabupaten/Kota atau Provinsi. Sekitar 17,5 milyar m3 kebutuhan air
pertahun diperlukan untuk kebutuhan air industri, pertanian dan domestik. Namun
masih sedikit industri yang tidak melanggar sistem pengolahan air limbah (IPAL)
dan melakukan pembuangan air limbah ke badan air (sungai, danau dan selokan).
Hal tersebut terlihat dari 40 sungai yang terdapat di Jawa Barat, 17 sungai utama
diantaranya (sungai besar) seluruhnya dalam kondisi buruk secara kualitas, baik
oleh pencemaran industri maupun dosmestik serta pertanian.
Permasalahan dari limbah cair yang berasal dari domestik diperkirakan
terjadi pada sebagian besar kota di Jawa Barat, yaitu permasalahan limbah cair
dari belum tersedianya instalasi pengolahan tinja secara baik seperti yang
diketahui terjadi di Kota Bandung. Data tersebut terlihat dari tahun 2002, baru
sekitar 20% konsumen yang mendapat pelayanan sistem perpipaan baru dan
pelayanan penyedotan septic tanks oleh Dinas Kebersihan Kota. Juga diketahui
bahwa dari fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang beroperasi
tersebut, baru sekitar 5% yang dikelola baik sedangkan hampir sebagian besar
lumpur tinja dari tangki septik yang telah dikumpulkan/disedot dibuang langsung
ke sungai dan kanal-kanal tanpa mengindahkan prosedur pembuangan limbah
yang semestinya.

Kontaminasi Pasokan Air.


Relatif kecil pasokan air kebutuhan domestik yang tidak mengalami
kontaminasi akibat pencemaran seperti yang diungkapkan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat. Kontaminasi air tanah terjadi disebabkan oleh pencemaran

180
limbah domestik yang terjadi pad asumur-sumur dangkal. Sedangkan pada daerah
perdesaan kontaminasi disebabkan oleh penggunaan bahan beracun
pestisida/pupuk untuk sistem pertanian yang masuk ke dalam badan air mengalir
maupun diam (danau/situ), termasuk pula dari industri-industri yang masuk ke
dalam sungai-sungai seperti yang terinformasikan dari hasil penelitian bahwa dari
tujuh parameter yang diperiksa hanya parameter Arsen, Tembaga, Krom dan
Kadmium yang tidak terdeteksi, sedangkan tiga parameter lainnya terdeteksi
walaupun persentasenya kecil di bendungan Saguling dan Cirata. Kondisi ini
menandakan bahwa kandungan logam berat yang terdapat di dalam waduk
terakumulasi juga di dalam tubuh ikan yang nanti akan di konsumsi oleh manusia.

Tantangan.
Keterkaitan permasalahan pencemaran limbah cair di Jawa Barat dengan
RPJMN adalah semakin meningkatnya badan air berupa sungai, selokan dan
danau yang mengalami pencemaran dan terkontaminasi sehingga menyebabkan
ketersediaan sumberdaya air semakin menurun. Permasalahan limbah cari dan
kontaminasi juga telah menyebabkan menurunnya kehati perairan darat dari hulu
hingga hilir bahkan pesisir muara.
Tingkat keparahan dari pencemaran limbah cair dapat dikatakan sangat
parah, khususnya pada sungai-sungai besar di Jawa Barat yang disebabkan oleh
pelanggaran sistem IPAL industri dan PLT dari domestik. Hal ini dapat terlihat
dari sedikitnya sungai yang memenuhi kriteria baku mutu peruntukkan golongan
A dan B, dan menurunnya kehati serta potensi sumberdaya perikanan darat.
Waktu yang diperlukan untuk tindak lanjut dari upaya pengembalian
kualitas lingkungan sungai dan danau serta badan air lainnya membutuhkan waktu
yang lama (jangka panjang), karena pengembalian kondisi ekosisitem yang telah
mengalami kerusakan perlu dilakukan secara sinergis dari beberapa aspek, seperti
rehabilitasi ekosistem hulu dan hilir, penataan sistem pembuangan limbah cair
dari industri dan domestik serta melibatkan masyarakat dalam kontrol penggunaan
bahan kimia pertanian.

181
Hambatan.
Rendahnya pengelolaan lingkungan oleh industri, pertanian dan
domestik/rumah tangga merupakan faktor penyebab utama dari pencemaran air di
Jawa Barat. Lemahnya kontrol pemerintah dan masyarakat serta lemahnya
penegakan hukum atas pelanggar hukum merupakan faktor yang kemudian
mendukung dari lemahnya sistem pengelolaan lingkungan yang ada.

Potensi dan Peluang.


Pengembalian kualitas air sungai dan danau (situ) serta badan air lainnya
perlu dilakukan secara bertahap, tindak lanjut yang perlu dilakukan terhadap
industri besar hingga kecil adalah melalui keterlibatan dalam environmental
pollution control management (EPCM) yaitu suatu kegiatan manajemen
pengelolaan (kontrol) dari bahan pencemar (limbah cair). Upaya pengembalian
kualitas sungai melalui program PROKASIH dan SUPERKASIH yang tidak
hanya melibatkan industri namun juga masyarakat, Pemerintah Jawa Barat dan
stakeholder lainnya. Upaya yang dicanangkan oleh pemerintah tersebut perlu
mendapat dukungan berupa tegasnya penegakan hukum dan konsistensi hukum.
Beberapa strategi pengendalian pencemaran air diarahkan untuk mengurangi
beban pencemaran dari sumber-sumber pencemaran adalah: upaya pengendalian
pencemaran, seperti pembangunan sistem pengumpulan dan pengolahan limbah,
efektifitas pengawasan, pengetatan baku mutu limbah cair, dan pembatasan
pembangunan komersial yang berpotensi besar menghasilkan limbah.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya membantu pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi dari pencemaran kualitas air sungai melalui sentra-
sentra budidaya perikanan, serta mengkoordinasikannya dengan badan riset dan
UPT Ditjen Perikanan Budidaya untuk dapat melakukan monitoring kandungan
bahan-bahan pencemar yang berpengaruh pada budidaya perikanan.
Potensi dan peluang di masa mendatang adalah sejak tahun 2006
pelaksanaan program pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan
difasilitasi melalui berbagai program peningkatan kapasitas pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan, dengan melibatkan peran masyarakat dan
dunia usaha untuk turut melestarikan fungsi lingkungan. Program kemitraan

182
tersebut yang terus dilakukan adalah Produksi Bersih dan Environmental
Pollution Control Management (EPCM) bagi industri, Ecoschool atau Sekolah
Berbudaya Lingkungan, dan Pesantren Ramah Lingkungan, serta pendidikan
lingkungan bagi aparat, masyarakat, dan guru. Program–program tersebut sudah
mulai diarahkan tidak hanya kepada upaya penanganan secara fisik, namun mulai
ditekankan pada upaya perubahan perilaku dan budaya yang lebih ramah
lingkungan.

Pencemaran Udara
Permasalahan.
Seperti telah dilaporkan pada evaluasi kinerja pembangunan tahun 2006,
polusi udara di Jawa Barat, khususnya di kawasan Cekungan Bandung masih
menunjukkan tingkat kekritisan yang perlu segera diatasi hingga tahun 2008 ini.
Indikasi terjadinya hujan asam di kota Bandung yang telah terjadi sejak 1998 di
beberapa titik pengamatan masih terjadi di tempat-tempat tertentu di Cekungan
Bandung, terutama dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dalam
periode 2 tahun terakhir yang mencapai sekitar 4.5% pertahunnya.
Seperti di kutip dari data yang dilaporkan Soedomo (2001),
Wangsaatmadja, dkk. (2006) bahwa penyumbang terbesar polusi udara adalah
emisi kendaraan bermotor. Sekitar 97% emisi karbonmonoksida, 80% emisi
hidrokarbon, dan lebih 50% emisi nitrogen oksida (NOx) dihasilkan dari
kendaraan bermotor. Sekitar 60% emisi SO2 dihasilkan dari industri. Dari hasil
pemantauan emisi kendaraan bermotor yang dilakukan oleh BPLH Kodya
Bandung (2004) menunjukan bahwa terdapat lebih dari 40% kendaraan bermotor
dengan bahan bakar bensin dan diesel yang tidak memenuhi persyaratan Baku
Mutu Emisi Sumber Bergerak (Kepmen LH 13/1995), yang sekaligus dapat
dijadikan tolok ukur dari kontribusi sektor transportasi terhadap menurunnya
kualitas udara (meningkatnya gejala hujan asam) di Cekungan Bandung.
Meningkatnya persoalan pencemaran udara, juga ditandai dengan
meningkatnya kasus masyarakat yang menderita penyakit ISPA, khususnya di
kota-kota besar seperti Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Bogor, dan Kota
Cirebon antara tahun 2000-2003 (BPLHD 2005). Sementara itu, berdasarkan

183
penelitian di Kota Bandung, diketahui bahwa lebih dari setengah anak sekolah
yang diambil contoh darahnya, mempunyai kadar Pb lebih besar dari standard
yang diperbolehkan (BPLHD 2006).

Tantangan.
Telah ditetapkannya program perbaikan kualitas udara, khususnya di 10
kota besar di Indonesia. Satu di antaranya adalah Kota Bandung. Gejala
pencemaran udara/hujan asam mulai menunjukkan tingkat kekritisan yang perlu
segera diatasi/diantisipasi agar tidak terjadi dampak yang merugikan pada waktu
yang akan datang, khususnya berkaitan dengan gangguan kesehatan masyarakat.

Hambatan.
Pencemaran udara yang terjadi di Jawa Barat, khususnya di Cekungan
Bandung, diakibatkan oleh sumber-sumber tidak bergerak (point sources) seperti
pabrik/industri yang tidak melakukan upaya untuk mengurangi emisi bahan
bahan/gas yang berbahaya dan oleh sumber-sumber bergerak (non-point sources)
seperti kendaraan bermotor yang jumlahnya semakin banyak yang memberikan
kontribusi sebanyak 60-70% terhadap pencemaran udara. Meskipun untuk sektor
transportasi telah ada kebijakan penggunaan bensin bebas timbal yang mulai
efektif berlaku sejak akhir 2006/ 2007.
Aspek pengalihan sumber energi fosil minyak menjadi batu bara untuk
industri pada tahun 2005/2006 dan masih terbatasnya penggunaan bensin bebas
timbal untuk Jawa Barat merupakan hambatan yang perlu segera di tanggulangi
oleh pihak pemerintah. Dari hasil pemantauan kualitas udara menunjukkan bahwa
perbaikan (menurunnya kadar timbal di udara) belum tercapai bahkan dirasakan
semakin memburuk. Selain kegiatan/aspek yang langsung menyebabkan
terjadinya pencemaran udara yang kemudian menyebabkan hujan asam, seperti
dilaporkan pada tahun 2006, kebijakan pemerintah daerah dalam memberikan
peluang kepada investor kegiatan usaha potensial menimbulkan pencemaran udara
menjadi penyebab secara tidak langsung terhadap terjadinya pencemaran
udara/hujan asam. Kondisi tersebut juga diperparah oleh inkosistensinya
perencanaan tata ruang dan lemahnya penegakan aturan yang berkaitan dengan

184
upaya pencegahan terjadinya pencemaran udara. Pemantauan yang dilakukan pada
tahun 2007 tidak menemukan indikasi adanya upaya yang signifikan untuk
mengembangkan sistem investasi yang ramah lingkungan walaupun gagasan
tentang perlunya relokasi kawasan industri sempat menjadi wacana di kalangan
pemerintah, swasta dan masyarakat luas.
Hambatan yang akan dihadapi saat ini adalah upaya mengatasi
permasalahan pencemaran udara memerlukan kebijakan-kebijakan dan program
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pencemar (non-point dan
point sources) di tingkat kota/kabupaten, diantaranya: 1) kebijakan relokasi
kegiatan industri, 2) kebijakan pengendalian jumlah dan atau kelayakan kendaraan
dan kebijakan tentang penyediaan bahan bakar bensin bebas timbal, 3) penetapan
dan implementasi kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan
prasarana pemantauan udara yang mencukupi dan 4) penetapan kebijakan yang
berkaitan dengan pengembangan hutan kota dan penghijauan di lahan masyarakat,
yang berfungsi sebagai filter udara, serta 5) penetapan kebijakan yang
memberikan prioritas pada kegiatan investasi yang ramah lingkungan.
Potensi dan Peluang.
Berkaitan dengan permasalahan pencemaran udara, pemerintah provinsi
Jawa Barat telah membuat Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pengendalian Pencemaran udara. Selain ini, juga sedang disusun rancangan
peraturan Gubernur yang berkaitan dengan upaya mengatasi pencemaran udara.
Pelaksanaan pemantauan kualitas udara yang berkelanjutan, upaya perbaikan
lingkungan, dan pengaturan/pengelolaan lebih lanjut atas sumber-sumber
pencemar bergerak (non-point sources) dan tidak bergerak (point sources) serta
penetapan kebijakan yang memberikan prioritas pada kegiatan investasi yang
ramah lingkungan. Berkaitan dengan ini, diperlukan pula peningkatan SDM untuk
mengatasi keterbatasan tenaga ahli bidang kualitas udara dan upaya penambahan
dana untuk mengatasi keterbatasan dana yang selama ini dialami.
Seperti juga pencemaran limbah cair, potensi dan peluang di masa
mendatang adalah sejak tahun 2006 pelaksanaan program pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan difasilitasi melalui berbagai program
peningkatan kapasitas pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan,

185
dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha untuk turut melestarikan
fungsi lingkungan. Program kemitraan tersebut yang terus dilakukan adalah
Produksi Bersih dan Environmental Pollution Control Management (EPCM) bagi
industri, Ecoschool atau Sekolah Berbudaya Lingkungan, dan Pesantren Ramah
Lingkungan, serta pendidikan lingkungan bagi aparat, masyarakat, dan guru.
Program–program tersebut sudah mulai diarahkan tidak hanya kepada upaya
penanganan secara fisik, namun mulai ditekankan pada upaya perubahan perilaku
dan budaya yang lebih ramah lingkungan.

Limbah Padat (Sampah Domestik)


Permasalahan.
Persoalan terjadinya timbulan sampah yang tidak terkelola telah menjadi
fenomena di Jawa Barat, khususnya di wilayah Cekungan Bandung, sejak 5 tahun
terakhir. Sebagaimana dilaporkan dalam laporan evaluasi kinerja pembangunan
2006, timbulan sampah di Jawa Barat mencapai 85500 m3/hari dengan lahan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berjumlah sekitar 255 ha (BPLHD, 2005). Dan
di beberapa kota/kabupaten, khususnya di wilayah administratif yang berada di
kawasan Cekungan Bandung, jumlah timbulan sampah rata-rata lebih dari 5000
m3/hari (BPLHD, 2003). Bahkan sejak terjadinya bencana longsoran sampah di
TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005 dan TPA Bantar Gebang pada tahun 2006,
wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Bekasi, Kabupaten Bogor dan Kab.
Bekasi, timbulan sampah mencapai lebih dari 2.000 m3/hari yang tidak dapat
ditanggulangi. Sementara di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan
Kuningan, timbulan mencapai lebih dari 1.000 m3/hari.
Tidak berfungsinya TPA Leuwi Gajah secara optimal dan sistem open
dumping dan atau sanitary landfill, menyebabkan terjadinya timbulan sampah di
berbagai Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan kawasan perkotaan lainnya di
Kota Bandung pada tahun 2004 dan 2006. Bahkan ketika isu mengenai relokasi
TPA tidak terlaksana, persoalan timbulan sampah pada tahun 2007/2008
membutuhkan biaya yang besar. Persoalan serupa pada tahun 2007, tidak hanya
dialami oleh Kota Bandung, namun menajdi persoalan di masa mendatang bagi

186
kota-kota lain di Jawa Barat yang masih mengandalkan TPA dengan sistem open
dumping, sanitary lanfill, atau controled landfill.

Tantangan.
Rencana pengembangan sistem pengolahan sampah (bukan pembuangan), seperti
rencana pengolahan sampah sebagai sumberdaya bagi pembangkit listri
(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah/PLTSa) mendapatkan reaksi penolakan yang
besar dari penduduk di sekitar lokasi rencana PLTSa dan juga dari kalangan
pengamat lingkungan dan akademisi yang meragukan efektivitas dan efisiensi
PLTSa, karena sampah yang dihasilkan mayoritas adalah sampah basah (organik).
Kasus yang terjadi di Kota Bandung ini merupakan tantangan bagi pemerintah
untuk mencari solusi bentuk pengelolaan (pengolahan) sampah tanpa penolakan
masyarakat. Rencana pemecahan pengelolaan sampah perkotaan ini merupakan
salah satu sasaran pembangunan di bidang lingkungan hidup dalam RPJMN 2004-
2009.

Hambatan.
Konsep pengelolaan sampah hingga tahun 2007 yang masih mengandalkan sistem
open dumping/sanitary lanfill sangat potensial menimbulkan masalah manakala
TPA-TPA yang ada tidak mampu lagi menampung timbulan sampah, termasuk
penolakan oleh masyarakat pada setiap rencana relokasi pengelolaan sampah.
Kondisi tersebut disebabkan sistem pengelolaan sampah yang masih
mengandalkan cara-cara konvensional (open dumping dan atau sanitary landfill),
serta belum adanya implementasi kebijakan pengelolaan sampah terintegrasi antar
beberapa daerah kota dan kabupaten akan memerlukan biaya besar untuk suatu
kota. Nota kesepahaman (MOU) di antara lima pemerintah kota dan kabupaten
tentang pengelolaan sampah yang telah ada belum dapat dijalankan dan bahkan
terjadi inkonsistensi dalam menjalankan kesepahaman tersebut. Dan masih
rendahnya pemahaman dan kemauan masyarakat untuk memperlakukan limbah
rumah tangga dengan cara yang baik, masih merupakan persoalan yang
memperburuk permasalah sampah.

187
Potensi dan Peluang.
Adanya nota kesepakatan untuk membangun sistem pengolahan sampah terpadu
dan terintegrasi seperti yang telah dikemukakan pada laporan tahun 2006 dan
tindak lanjut penetapan sistem pengelolaan sampah dan pengembangan tempat-
tempat pengolahan sampah yang ramah lingkungan merupakan potensi yang
masih dapat ditindaklanjuti dan dikembangkan. Pengembangan tempat-tempat
pengolahan sampah yang ramah lingkungan dengan melibatkan partisipasi
masyarakat merupakan peluang dari desiminasi masyarakat di sekitar lokasi yang
direncanakan. Termasuk peluang menginternalisasikan pemahaman agar warga
masyarakat mau “mengurangi” produksi sampahnya, terutama sampah jenis
anorganik yang sulit didaur-ulang.
Peluang tersebut tidak dapat terselesaikan dalam waktu yang singkat,
mengingat konsep-konsep reduce, reuse, dan recycle dan pengolahan sampah
secara kolektif oleh masyarakat adalah merubah perilaku yang membutuhkan
waktu yang panjang namun mungkin untuk dilaksanakan. Sehingga pelaksanaan
program pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah
difasilitasi melalui berbagai program peningkatan kapasitas pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan, dengan melibatkan peran masyarakat dan
dunia usaha untuk turut melestarikan fungsi lingkungan. Termasuk didalamnya
program kemitraan melalui Produksi Bersih dan Environmental Pollution Control
Management (EPCM) bagi industri, Ecoschool atau Sekolah Berbudaya
Lingkungan, dan Pesantren Ramah Lingkungan, serta pendidikan lingkungan bagi
aparat, masyarakat, dan guru. Dimana seluruh program tersebut tidak hanya
diarahkan kepada upaya penanganan secara fisik, namun mulai ditekankan pada
upaya perubahan perilaku dan budaya yang lebih ramah lingkungan.

Kebencanaan
Permasalahan.
Beberapa wilayah di Jawa Barat menyimpan potensi timbulan bencana
seperti banjir, angin ribut, tanah longsor, gempa bumi (tektonik dan vulkanik)
serta kekeringan yang disebabkan oleh faktor alami dan akibat/dampak dari
kegiatan manusia pada lingkungan.

188
Bencana yang disebabkan olej faktor alam merupakan bencana yang tidak
dapat dikendalikan manusia namun dapat diprediksi oleh manusia, sedangkan
bencana yang disebabkan oleh dampak/akibat merupakan suatu bentuk bencana
karena kelalaian yang harus diperbaiki. Namun demikian dari dua faktor tersebut
terdapat faktor lain yaitu bencana yang ditimbulkan oleh alam tetapi karena
pengelolaan lingkungan yang tidak mempertimbangkan persoalan lingkungan
maka bencana tersebut menjadi semakin parah. Terkait dengan permasalahan
sebelumnya seperti kerusakan lahan/DAS, kerusakan hutan/kawasan lindung
maka permasalahan kebencanaan tidak saja dari faktor alam, misalnya meskipun
curah hujan yang tinggi namun apabila kondisi ekosistem yang masih baik maka
daya dukung lingkungan akan mampu menekan terjadi bencana atau sebaliknya.
Di Jawa Barat terdapat wilayah yang berbakat dan mudah terancam
bencana, tidak kurang hasil 15 lokasi rawan bencana dari inventigasi pemerintah
yang diprediksi dan tidak bisa dikendalikan, sehingga memerlukan pengaruh
sosial-ekonomi-budaya masyarakat untuk memindahkan infrastruktur yang telah
dibangunnya. Potensi bencana di wilayah pantai utara Jawa juga terjadi akibat
naiknya pasang air laut seperti yang telah terjadi saat ini, diprediksi oleh PPGL
(2004) bahwa kenaikan pasang air laut di pantura Jawa Barat akan terjadi
kenaikan antara 2 hingga 6 meter dan diperkirakan akan mencapai ketinggian
lebih pada beberapa tahun kedepan. Kondisi ini disebabkan oleh faktor alami dari
kenaikan muka air laut dan sifat gelombang laut utara Jawa namun juga
diperparah oleh kondisi eksositem pesisir pantai dan laut yang semakin
rusak/hilang sehingga tidak mampu menahan laju gelombang dan kenaikan air
laut yang menyebabkan banjir dan abrasi pantai.
Beberapa kasus yang berhasil dicatat selama dua tahun terakhir adalah
terjadinya sekurang-kurangnya 60% kejadian bencana alam geologi berupa
gerakan tanah longsor terjadi di Jawa Barat seperti data tahun 2006 yaitu kejadian
tanah longsor 98 kali, banjir awal tahun terjadi pada bulan Januari sampai Maret
di 5 kabupaten dengan luas 106.404 Ha, gempa bumi 16 kali, kebakaran 262 kali,
angin topan sebanyak 84 kali, yang menimbulkan korban meninggal sebanyak
600 jiwa, korban menderita akibat bencana sebanyak 23.664 Kepala Keluarga.

189
Tantangan.
Hasil mitigasi dan penanganan bencana alam pada tahun 2006,
menunjukkan masih belum siapnnya setiap lapisan dan jajaran dalam menghadapi
bencana alam. Padahal meningkatnya frekuensi dan jenis bencana yang melanda
Jawa Barat, seperti gempa, longsor, banjir, kekeringan, tsunami, merebaknya
penyakit flu burung, dan DBD masih menimbulkan kepanikan dan ketidaksiapan
baik pada tahapan mitigasi, tahapan tanggap darurat,dan juga pada tahapan pasca
bencana.
Beberapa upaya yang telah ditempuh dalam rangka mengantisipasi resiko
yang ditimbulkannya tersebut adalah penyediaan anggaran pos dana tak tersangka,
juga telah dilaksanakan langkah-langkah guna meningkatkan kesiapan masyarakat
didalam menghadapi bencana alam. Meningkatkan faktor kesiapan masyarakat
dan aparat dalam mengantisipasi serta menanggulangi bencana alam menjadi
penting dan untuk terus ditingkatkan.

Hambatan.
Beberapa penyebab dari masalah kebencanaan saat ini adalah: (1) faktor
alami (fenoma alam) yang perkiraan/prediksi kejadiannya tidak dapat di
perkirakan serta rendahnya kemampuan untuk mengantisipasi fenoma alam
tersebut. Faktor kedua adalah gangguan lingkungan/eksositem yang ditimbulkan
akibat dampak kegiatan manusia saat memanfaatkan dan menggunakan
sumberdaya alam yang telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan.
Faktor lain yang juga penting dari kebencanaan adalah rendahnya penegakan
hukum atas gangguan/kerusakan lingkungan yang telah dilakukan oleh manusia
secara sengaja.
Hambatan yang umumnya ditemukan dari permasalahan kebencanaan
adalah sulitnya melakukan relokasi masyarakat/penduduk dari daerah bencana.
Hal ini tidak lain dari pesoalan sosial-ekonomi-budaya masyarakat atas lahan,
akses sumber daya, pendidikan dan kekerabatan. Hambatan lainnya yang juga
ditemukan adalah minimnya kemampuan aparat pemerintah untuk melakukan
suatu standar operasional prosedur atau SOP kebencanaan, karena berbagai faktor
termasuk faktor sumber daya manusia.

190
Masih minimnya sistem informasi kebencanaan dan mitigasinya
merupakan faktor penting juga yang segera perlu di selesaikan, hingga saat ini
baru beberapa sistem informasi terpadu mitigasi bencana tsunami yang telah
dikembangkan pada beberapa pantai yang rawan akan bencana tersebut, namun
untuk mitigasi kebencanaan lainnya masih belum tersedia.

Potensi dan Peluang.


Berbagai upaya yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan
kesiapan masyarakat dan aparat dalam mitigasi bencana antara lain, penetapan
Perda Kawasan Lindung, Perda Pengendalian Pencemaran Udara, dan sosialisasi
Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Lingkungan Geologi. Dalam
hal ini Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang memiliki kebijakan pada
bidang geologi.
Selain upaya tersebut, pemerintah daerah telah merancang desain dan
sosialisasi penanganan daerah rawan gerakan longsor di kabupaten rawan gerakan
tanah, menyiapkan peta zonasi kerentanan gerakan tanah, penyebaran pamflet dan
poster kebencanaan bagi masyarakat. Upaya yang telah dilakukan tersebut,
merupakan langkah awal dalam mengembangkan mekanisme mitigasi dan
penanganan bencana alam yang lebih baik di Jawa Barat ke depan.
Peluang yang masih dapat dilaksanakan adalah menindaklanjuti: a)
pemetaan distribusi kawasan rawan bencana Jawa Barat yang dapat dipergunakan
sebagai bagian dari kebijakan penataan kependudukan dan daya dukung
lingkungan, b) sosialisasi kepada masyarakat yang berada pada kawasan rawan
bencana untuk melakukan resettlement ketempat yang lebih aman dan stabil, c)
rehabilitasi kawasan-kawasan rawan bencana, d) membuat dan pengembangan
sistem peringatan dini (early warning) pada beberapa kawasan yang rawan
bencana dan e) pengendalian pemanfaatan/penggunaan sumberdaya alam yang
potensial menyebabkan bencana.

Eksosistem Pesisir dan Laut


Permasalahan pada ekosistem pesisir dan laut adalah perubahan fungsi
lahan, degradasi hutan bakau, abrasi dan sedimentasi, pencemaran pantai serta

191
intrusi air laut ke wilayah daratan. Panjang garis pantai Jawa Barat sepanjang 365
km di sebelah utara dan 355 km di sebelah selatan telah mengalami abrasi sejauh
400-500 m terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 2 mil / tahun di Karawang
dan sejauh 1 km untuk wilayah Ciamis dan 22 km di wilayah Tasikmalaya.
Permasalahan tanah timbul atau akresi juga terjad pada wilayah utara Jawa
Barat yaitu sejauh 5-7 km sepanjang garis pantai terjadi di Indramayu, 5 km di
Subang dan 300 m di Karawang. Konversi lahan yang telah terjadi di pantai
selatan berupa kerusakan hutan bakau seluas 15 ha terjadi di Ciamis, sekitar 100
ha di Tasikmalaya, dan 1500 ha di Garut. Kerusakan pantai karena penambangan
pasir laut (sekitar 450 ha) juga terjadi di daerah pantai selatan Cianjur. Sedangkan
kerusakan hutan bakau seluas 15 ha terjadi di Ciamis, sekitar 100 ha di
Tasikmalaya, dan 1500 ha di Garut. Kerusakan pantai karena penambangan pasir
laut (sekitar 450 ha) juga terjadi di daerah pantai selatan Cianjur. Proses terjadinya
konversi lahan di ekosistem pesisir telah menyebabkan hilangnya luas hutan
bakau di Indramayu sepanjang 1 km, hilangnya 6000 tumbuhan di eksositem
pesisir di Subang, hilangnya sekitar 1000 ha eksositem pesisir di Karawang, dan
hilangnya sekitar 64% dari total hutan bakau di Bekasi. Dan di wilayah pantai
Subang, terjadinya pengendapan (sedimentasi) yang menyebabkan menutupnya
sekitar 6000 ha daratan. Abrasi di pantai utara dan selatan Jawa Barat semakin
juga memperhatinkan (lihat tabel) dimana peingkatan terus terjadi, meskipun data
tahun 2007/2008 tidak tersedia, namun diindikasikan peningkatan abrasi semakin
besar.
Pada bidang kelautan berdasarkan data citra landsat dan Coremap (2003)
diketahui bahwa telah terjadi penurunan distribusi dan luas terumbu karang di
pantai selatan Jawa Barat, khususnya wilayah Ujung Genteng (sukabumi),
Cilauteureun (Garut) dan Pangandaran (Ciamis) untuk wilayah selatan dan di
Tempuran dan Cilamaya (Karawang), pantai Bobos, Majakarta, pulau Rakit, pulau
Gosong, pulau Biawak dan pulau Cantikan (Indramayu) yang mencapai tingkat
kerusakan lebih dari 75%, dan kerusakan sekitar 50% untuk terumbu karang
dengan kedalaman 3m. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh pemanfaatan
(pengambilan) langsung oleh nelayan ikan karang dan penambang kapur karang.

192
Menurunnya kualitas laut yang disebabkan oleh tingkat pencemaran limbah padat
dan limbah cair akibat kegiatan industri dan pertambangan.

Tantangan.
Pengelolaan lingkungan pada ekosistem pesisir dan laut dapat mengancam
kelestarian sumber daya alam dan hayati. Kerusakan terumbu karang saat ini telah
mencapai 40%, yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penangkapan ikan
dengan cara merusak dan eksploitatif, timbulan sedimentasi dan pencemaran air.
Apabila membandingkan terhadap RPJMN 2004-2009 mengenai upaya
pengelolaan kawasan pesisir dan laut sebagai langkah untuk mempertahankan
fungsi ekosistem, keanekaragaman hayati dan potensi sumberdaya alam,
permasalahan konversi ekosistem pesisir dan laut di Provinsi Jawa Barat dapat
dikategorikan belum terselesaikan.
Tantangannya adalah masih ditemukan lebih dari 50% panjang pesisir
pantai utara dan lebih dari 30% pantai selatan yang memiliki potensi sumberdaya
hayati dan sumberdaya alam serta ekosistem telah mengalami perubahan yang
mengarah kepada hilangnya ekosistem pesisir. Termasuk kondisi laut di pesisir
Jawa Barat bagian selatan seperti Cilacap dan bagian utara di wilayah Kerawang,
Subang, Indramayu dan Cirebon yang seluruh muara sungainya dipengaruhi oleh
kegiatan industri.

Tabel 4.29. Luasan Abrasi Pesisir Jawa Barat Berdasarkan Wilayah.

Wilayah  Luasan Abrasi  (Ha/thn) 

1995 ‐2001  2001 – 2003 
Pantai Selatan 30,05 35,35
Pantai Utara 392,32 370,3
Sumber: BPLH, Propinsi Jawa Barat, diolah kembali

Hambatan.
Beberapa faktor penyebab yang diindikasikan sangat kuat hubungannya
dengan perubahan ekosistem pesisir adalah konversi ekosistem pesisir menjadi
bentukan lahan lain seperti daratan, permukiman, pertanian dan industri.
Kerusakan hutan pada ekosistem pesisir erat dipengaruhi oleh konversi lahan dan

193
perambahan hutan untuk dimanfaatkan biomassanya dan kegiatan pertambangan
galian C. Faktor lain yang juga memberikan peran atas kerusakan ekosistem
pesisir dan laut adalah masih lemahnya penegakan hukum dan peralatan/teknologi
untuk membantu pelaksanaan tugas penegakan hukum.
Hambatan dalam penyelenggaraan rehabilitasi lahan termasuk kawasan
pesisir adalah penyempurnaan sistem dan regulasi, yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pengendalian dan Rehabilitasi
Lahan Kritis. Khususnya mengenai tentang pengaturan rehabilitasi lahan kritis
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penegakan hukum, dan
peranserta masyarakat, dengan fokus utama pada penanganan lahan kritis dalam
kawasan lindung.
Tidak seluruh program rehabilitasi kawasan pesisir dapat tercapai dengan
baik, hambatan yang ditemui adalah meskipun kepedulian masyarakat Jawa Barat
tinggi untuk melakukannya namun konsep membangun pesisir berbasis
masyarakat perlu terus disempurnakan agar seluruh pihak diuntungkan

Potensi dan Peluang.


Tindak lanjut yang dilakukan untuk menekan laju kerusakan ekosistem
pesisir dan laut adalah upaya pengurangan perusakan, dilakukan program
perlindungan dan rehabilitasi sumber daya kelautan dan perikanan dengan cara
melakukan rehabilitasi terumbu karang, penanaman mangrove, dan pengelolaan
konservasi kawasan dan jenis melalui kesepahaman dan kerjasama dengan seluruh
stakeholder. Kegiatan konservasi pesisir dan laut harus dilakukan pada tingkat
pemerntah daerah, khususnya mengingat dampak yang timbul dapat hingga
tingkat nasional. Mengembangkan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang
mengikutsertakan mengikutsertakan pemerintahan lokal di tingkat provinsi,
kabupaten/kota dan sampai di tingkat desa. Pengendalian dan penertiban perizinan
pertambangan di wilayah pesisir dan laut.
Dukungan pengembangan Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD) Jawa
Barat dan bantuan technical assistance dan perangkat lunak Sistem Informasi
Geografis dari pihak Integraph Amerika Serikat merupakan peluang yang dapat
dikembangkan oleh 8 Kabupaten/Kota yang telah menerimanya, sebagai bentuk

194
insentif kepada upaya pengelolaan sumber daya alam seperti yang diamanatkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Keputusan Gubernur Nomor 33
Tahun 2005 tentang IDSD.
Peluang lainnya adalah perwujudan kawasan lindung di Jawa Barat,
melalui penataan batas kawasan hutan konservasi secara bertahap guna menjamin
kepastian hukum terhadap lokasi dan status kawasan. Batas kawasan lindung di
luar kawasan hutan di Jawa Barat tersebut mencapai panjang trayek 8.243 Km
atau setara dengan 1.062 titik patok. Dan pada tahun 2005 telah dilaksanakan
penandaan batas sebanyak 200 titik patok, sedangkan pada tahun 2006 sebanyak
500 titik patok dan sisa dilaksanakan pada tahun 2007 agar tercapai secara 1.062
titik patok.
Rehabilitasi kerusakan lingkungan dan pencemaran, dilakukan pemerintah
daerah melalui pemulihan kualitas lingkungan dan mencegah terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Salah satunya adlaah pemulihan terhadap
lahan kritis di Jawa Barat seluas 580.397 Ha, melalui kegiatan terpadu Gerakan
Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GNRHL/GERHAN), maupun kegiatan reboisasi (penanaman dalam
kawasan hutan oleh Perum Perhutani).

IV.14. Percepatan Pembangunan Infrastruktur


Infrastruktur dalam kajian ini mengikuti standar Bapeda Propinsi Jawa
Barat yang terdiri dari: (i) infrastruktur transportasi, (ii) sumber daya air dan
irigasi, (iii) listrik dan energi, (iv) telekomunikasi, serta (v)sarana dan prasarana
permukiman. Kebutuhan akan terwujudnya infrastruktur yang baik karena fungsi
dan peranannya terhadap pengembangan wilayah, yaitu sebagai pengarah dan
pembentuk struktur tata ruang, pemenuhan kebutuhan wilayah, pemacu
pertumbuhan wilayah, serta pengikat wilayah. Dalam beberapa kajian ekonomi
disebutkan bahwa pengaruh eksogenitas dari infrastruktur terhadap pertumbuhan
dan produktifitas ekonomi merupakan yang terkuat dibandingkan variable
ekonomi lainnya, dengan kata lain causalitas antara pertumbuhan/produktifitas
ekonomi dengan infrastruktur lebih kentara adanya hubungan satu arah dari
terwujudnya infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan
hubungan sebaliknya.

195
Bidang infrastruktur transportasi terdiri dari transportasi darat, udara dan
laut. Pada aspek transportasi darat, salah satu indikator tingkat keberhasilan
penanganan infrastruktur jalan adalah meningkatnya tingkat kemantapan dan
kondisi jalan. Pada kurun waktu tahun 2004 - 2007, tingkat kemantapan jaringan
jalan provinsi sepanjang 2.199,18 km telah meningkat menjadi 87,31%, angka
yang masih rendah namun disadari lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan tingkat kemantapan sebesar 87,31% tersebut, 64,36% dari panjang
jaringan jalan provinsi berada pada kondisi sedang. Hal ini disebabkan karena
sudah habisnya umur rencana jalan pada sebagian besar ruas jalan provinsi
sehingga kondisi struktur jalan menjadi labil. Rendahnya tingkat kemantapan
jalan ini juga disebabkan oleh tingginya frekuensi bencana alam (terutama banjir,
longsor) serta beban lalu lintas yang sering melebihi standar muatan sumbu
terberat (MST). Selain itu, masih kurangnya jaringan jalan tol, serta belum
terintegrasinya seluruh jaringan jalan di Jawa Barat dengan baik termasuk dengan
sistem jaringan jalan tol, menyebabkan rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan
infrastuktur jaringan jalan di Jawa Barat.
Kondisi infrastruktur transportasi darat yang lain seperti kurangnya
ketersediaan perlengkapan jalan dan fasilitas lalu lintas seperti rambu, marka,
pengaman jalan, terminal, dan jembatan timbang, serta belum optimalnya kondisi
dan penataan sistem hirarki terminal sebagai tempat pertukaran moda,
menyebabkan kurangnya kelancaran, ketertiban, keamanan serta pengawasan
pergerakan lalu lintas. Demikian pula halnya dengan pelayanan angkutan massal
seperti kereta api dan bis, masih belum optimal mengingat infrastruktur
transportasi darat yang tersedia belum mampu mengakomodir jumlah pergerakan
yang terjadi khususnya pergerakan di wilayah tengah Jawa Barat.
Pada transportasi udara, keberadaan bandar udara utama di Jawa Barat
masih belum memadai untuk menampung permintaan pasar yang ada. Bandara
Husein Sastranegara sebagai bandara terbesar dan tersibuk yang dimiliki Provinsi
Jawa Barat saat ini serta beberapa bandara perintis lainnya belum dapat
dimanfaatkan secara maksimal untuk menampung kebutuhan penumpang dan
kargo baik jalur domestik terlebih untuk jalur internasional. Oleh karena itu,
dalam beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan berbagai persiapan

196
pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka, rehabilitasi dan
perbaikan pada Bandara Husein Sastranegara Kota Bandung, serta memfungsikan
keberadaan Bandara Cakrabhuwana di Kabupaten Cirebon dan Bandara Nusawiru
di Kabupaten Ciamis.
Pada transportasi laut, keberadaan pelabuhan laut di Jawa Barat masih
belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pelabuhan Laut Cirebon
sebagai pelabuhan terbesar yang dimiliki Provinsi Jawa Barat saat ini hanya
difungsikan sebagai pelabuhan niaga saja akibat kondisi fisik pelabuhan dan
fasilitas yang kurang memadai serta adanya keterbatasan pengembangan karena
kondisi alam yang tidak mendukung. Selain itu beberapa pelabuhan laut lain yang
ada di Jawa Barat hanya berfungsi sebagai pelabuhan transit dan pelabuhan ikan
saja karena kapasitas pelabuhan yang tidak memadai. Oleh karena itu, dalam
beberapa tahun terakhir, telah dilakukan berbagai upaya persiapan pembangunan
Pelabuhan Utama Cilamaya di Kabupaten Karawang, persiapan pengembangan
fungsi Pelabuhan laut Cirebon, serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas pada
pelabuhan-pelabuhan pengumpan yang ada di Jawa Barat.
Pada aspek infrastruktur sumber daya air dan irigasi, kondisi infrastruktur
yang mendukung upaya konservasi, pendayagunaan sumber daya air,
pengendalian daya rusak air, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya air dan sistem informasi sumber daya air dirasakan masih belum memadai.
Potensi sumber daya air di Jawa Barat yang besar belum dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk menunjang kegiatan pertanian, industri, dan kebutuhan
domestik. Bencana banjir dan kekeringan juga masih terus terjadi antara lain
akibat menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya dukung
lingkungan serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi.
Selain itu, kondisi jaringan irigasi juga belum memadai, walaupun dari tahun
2004 - 2007 jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang
dari sekitar 74% menjadi 46% seperti diklaim oleh Dinas Pekerjaan Umum
Propinsi Jawa Barat. Demikian pula halnya dengan intensitas tanam padi pada
daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat dirasakan masih
belum optimal, walaupun dalam kurun waktu tersebut telah meningkat dari 182%
menjadi 190%.

197
Pada aspek infrastruktur listrik dan energi, tingkat keberhasilan
penanganan listrik dapat dilihat dari rasio elektrifikasi desa dan rumah tangga.
Sampai dengan pertengahan tahun 2008, telah terjadi peningkatan rasio
elektrifikasi rumah tangga dari 57,73% pada tahun 2006 menjadi sekitar 62%
pada pertengahan tahun 2008, yang artinya dari 11.011.044 rumah tangga baru,
sekitar 6.826.847 rumah tangga telah memperoleh akses aliran listrik yang
bersumber dari PLN (murni dipasok PLN ataupun non PLN). Sedangkan untuk
listrik perdesaan, cakupan desa yang sudah mendapatkan tenaga listrik pada
pertengahan tahun 2008 hampir mencapai 100%, dimana hanya tinggal 6 desa
yang belum memiliki infrastruktur listrik yaitu sebanyak 2 desa di Kabupaten
Garut Selatan dan 4 desa di Kabupaten Cianjur Selatan. Peningkatan rasio
elektrifikasi perdesaan masih terus diupayakan untuk mewujudkan “Jabar Caang”
pada tahun 2010, sedangkan peningkatan rasio elektrifikasi rumah tangga terus
diupayakan baik melalui pembangunan jaringan listrik yang bersumber dari PLN,
maupun penyediaan sumber-sumber energi alternatif seperti Pembangkit Listrik
Tenaga (PLT) mikro hidro, surya, gas bumi dan angin, bahkan sampah seperti
yang diwacanakan di Kota bandung.

Pada bidang telekomunikasi, cakupan layanan untuk infrastruktur


telekomunikasi belum bisa menjangkau setiap pelosok wilayah, dicirikan dengan
adanya beberapa wilayah yang belum terlayani. Khusus untuk layanan jasa
telepon kabel, beberapa daerah perkotaan pada tahun 2005 angka teledensitasnya
sudah tinggi (>10), sedangkan untuk daerah kabupaten kondisi teledensitasnya
masih rendah, terutama untuk jaringan telekomunikasi perdesaan. Lambatnya
pertumbuhan pembangunan sambungan tetap tersebut salah satunya disebabkan
oleh bergesernya fokus bisnis penyelenggara telekominikasi kepada
pengembangan telekomunikasi bergerak (selular). Untuk pengembangan jaringan
telekomunikasi perdesaan saat ini telah dilakukan berbagai upaya salah satunya
melalui program Kemampuan Pelayanan Universal (KPU)/Universal Service
Obligation (USO) yang digagas oleh pemerintah pusat. Namun dari sebagian
penyelenggara telekomunikasi seluler terutama jaringan CDMA yang memperoleh
ijin dan mendapatkan public service obligation (PSO) untuk membuka jaringan

198
pesawat telepon tetap seluler di daerah pedesaan tidak sepenuhnya memenuhi
kewajiban mereka.

Kondisi sarana dan prasarana permukiman hingga akhir tahun 2007 masih
belum memadai. Pada tahun 2007 rumah tangga yang menggunakan sumber air
minum yang berasal dari air kemasan/ledeng/pompa sebesar 45,32% (Suseda,
2007). Rendahnya cakupan pelayanan air minum disebabkan oleh masih tingginya
angka kebocoran air (rata-rata 38%), terbatasnya sumber air baku khususnya di
wilayah perkotaan, tarif/retribusi air yang belum berorientasi pada cost recovery,
masih rendahnya partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan sarana
dan prasarana air minum, serta terbatasnya sumber dana yang dimiliki oleh
pemerintah. Selama periode 2004-2007, peningkatan cakupan pelayanan air
minum difokuskan pada masyarakat miskin di wilayah Pantura dan perdesaan
melalui kerjasama antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Strategi
penyediaan air minum berbasis masyarakat ini dirasakan oleh pemerintah propinsi
telah cukup mampu mendorong peningkatan cakupan pelayanan dan
keberlanjutan sarana dan prasarana air minum yang telah dibangun.
Untuk aspek persampahan, tingkat pelayanan persampahan di Jawa Barat
terutama di daerah perkotaan dan daerah kabupaten satelitnya secara umum masih
sangat rendah. Cakupan pelayanan persampahan hingga akhir tahun 2007 hanya
sebesar 53%. Terlebih lagi sekitar 90% pengolahan sampah di TPA masih
dilakukan secara open dumping (untuk detailnya dapat kembali dibaca pada
bahasan sub-bab sebelumnya tentang perbaikan pengelolaan SDA dan pelestarian
mutu lingkungan hidup).
Tingkat pelayanan pengelolaan limbah domestik hingga akhir tahun 2007
masih sangat rendah. Sesuai dengan data Suseda 2007, terdapat 49,01% rumah
tangga yang menggunakan tangki/septik tank sebagai tempat pembuangan tinja
dan sisanya menggunakan kolam/sawah/kebun/sungai/lubang tanah/lainnya.
Kondisi prasarana pengelolaan limbah domestik sampai dengan saat ini
menunjukkan bahwa dari 17 unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
hanya 11 unit yang beroperasi dengan baik dan baru 4 kabupaten/kota yang
memiliki sistem penyaluran air limbah domestik perkotaan yaitu Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, Bogor, dan Cirebon.

199
Untuk aspek perumahan, backlog rumah pada tahun 2007 sebesar 980.000
unit dan diperkirakan akan mencapai 1,164 juta unit pada tahun 2013. Selain itu,
terdapat pula 1.035 kawasan kumuh dengan luas sekitar 25.875 ha yang umumnya
terdapat di wilayah perkotaan dan permukiman nelayan. Tingginya backlog rumah
dan kawasan kumuh di perkotaan disebabkan oleh terbatasnya sumber
pembiayaan yang berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah dan belum
seimbangnya pembangunan di perkotaan dan perdesaan sehingga sulit untuk
mengendalikan migrasi penduduk khususnya ke kota-kota besar. Selama kurun
waktu 2003 - 2007, penanganan perumahan difokuskan pada upaya untuk
mendorong pembangunan rumah susun di kota-kota metropolitan, pengembangan
kasiba/lisiba serta penataan kawasan kumuh di perkotaan dan permukiman
nelayan melalui kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Upaya ini
dirasakan telah cukup mampu untuk mendorong penyediaan rumah yang layak
huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah, peningkatan kualitas lingkungan
perumahan oleh masyarakat, serta pengembangan kawasan permukiman baru
yang lebih tertata. Namun demikian, percepatan pembangunan rumah layak huni
bagi masyarakat berpenghasilan rendah perlu segera dilakukan dan pelibatan
masyarakat serta dunia usaha dalam pengembangan perumahan di Jawa Barat
perlu terus ditingkatkan. Di samping itu, implementasi pengembangan
kasiba/lisiba di daerah masih cukup rendah sehingga upaya-upaya untuk
mendorong percepatan pengembangan kasiba/lisiba sangat diperlukan.

200
BAB V

ISU-ISU STRATEGIS DI DAERAH

V.1. Bidang Hukum


Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan Bidang Hukum
yakni :
1. Belum ada grand design tentang pembuatan program legislasi daerah.
2. Belum optimalnya kapasitas dan kompetensi aparat hukum baik secara
kualitas maupun kuantitas.
3. Peraturan perUndang-undangan tidak konsisten, sehingga terjadi
pertentangan antara peraturan yang satu dengan lainnya.4. Lemahnya
budaya hukum masyarakat.

V.2. Keamanan dan Ketertiban


Permasalahan yang akan mengganggu ketertiban dan ketentraman
masyarakat antara lain :
1. Kondisi eforia reformasi berkaitan dengan otonomi daerah yang
memberikan peluang kepada masyarakat untuk menentukan
kebijakannya, sehingga ketika terdapat tuntutan masyarakat yang tidak
tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, dapat menimbulkan
kerawanan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan terjadinya
gejolak dan kerusuhan sosial di lingkungan masyarakat, termasuk
tindakan anarkis.
2. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang akan mengakibatkan
menurunnya kewibawaan pemerintah daerah dan rendahnya respon
masyarakat dalam menangkal berbagai friksi sosial politik yang
bernuansa kepentingan kelompok maupun golongan. Hal ini kurang
menguntungkan bagi upaya untuk mewujudkan stabilitas ketertiban
dan ketentraman masyarakat. Menghadapi kondisi tersebut,
pembangunan di ketertiban dan ketentraman masyarakat menghadapi
tantangan yang cukup berat terutama dalam hal menghadapi ancaman

201
stabilitas serta tuntutan perubahan dan dinamika perkembangan
masyarakat yang begitu cepat seiring dengan perubahan sosial politik
yang membawa implikasi pada segala bidangkehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.
3. Meningkatnya potensi konflik kepentingan dan pengaruh negatif arus
globalisasi yang penuh keterbukaan, sehingga mengurangi wawasan
kebangsaan dan kesadaran bela negara.

V.3. Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat

1. Kondisi eforia reformasi berkaitan dengan otonomi daerah yang


memberikan peluang kepada masyarakat untuk menentukan
kebijakannya, sehingga ketika terdapat tuntutan masyarakat yang tidak
tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, dapat menimbulkan
kerawanan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan terjadinya
gejolak dan kerusuhan sosial di lingkungan masyarakat, termasuk
tindakan anarkis.

2. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang akan mengakibatkan


menurunnya kewibawaan pemerintah daerah dan rendahnya respon
masyarakat dalam menangkal berbagai friksi sosial politik yang
bernuansa kepentingan kelompok maupun golongan. Hal ini kurang
menguntungkan bagi upaya untuk mewujudkan stabilitas ketertiban
dan ketentraman masyarakat. Menghadapi kondisi tersebut,
pembangunan di ketertiban dan ketentraman masyarakat menghadapi
tantangan yang cukup berat terutama dalam hal menghadapi ancaman
stabilitas serta tuntutan perubahan dan dinamika perkembangan
masyarakat yang begitu cepat seiring dengan perubahan sosial politik
yang membawa implikasi pada segala bidang kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.

3. Meningkatnya potensi konflik kepentingan dan pengaruh negatif arus


globalisasi yang penuh keterbukaan, sehingga mengurangi wawasan
kebangsaan dan kesadaran bela negara.

202
V.4. Bidang Politik dan Pemerintahan

1. Penataan kelembagaan pemerintah daerah sebagai bagian reformasi birokrasi.


Masih ada kecenderungan praktik resentralisasi dalam penataan kelembagaan
daerah melalui keluarnya Permendagri No. 57 Tahun 2007 sebagai petunjuk
teknis dari PP No. 41 Tahun 2007. Dalam Permendagri ini diatur secara detil
jumlah dan nomenklatur dari setiap unit kerja dalam organisasi perangkat
daerah, sehingga timbul kesan intervensi Pemerintah Pusat dalam penataan
organisasi perangkat daerah. Demikian pula dalam kasus penataan organisasi
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, meskipun sudah termasuk kategori pola
maksimal tapi jumlah organisasi perangkat daerah tetap melebihi kuota
maksimal tersebut dan hal ini dimungkinkan setelah ada persetujuan
Departemen Dalam Negeri. Hal ini menunjukkan bahwa penataan
kelembagaan perangkat daerah masih belum sepenuhnya diarahkan sebagai
bagian dari reformasi birokrasi untuk mewujudkan struktur pemerintahan yang
ramping. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab masih belum berhasilnya
perampingan struktur birokrasi daerah, yakni:
a. Kecenderungan membentuk struktur untuk mewadahi orang, dan
bukan membentuk struktur untuk melaksanakan fungsi.
b. Kecenderungan membentuk struktur untuk mengakomodasi
kepentingan institusi pemerintah di tingkat pusat, antara lain untuk
memudahkan alokasi dana kegiatan. Misalnya dalam kasus
pembentukan Dinas Olah Raga dan Pemuda, selain merupakan
pelaksanaan ketentuan dari UU No. 3 Tahun 2005, juga untuk
memudahkan turunnya alokasi dana dari departemen terkait.
c. Banyaknya peraturan perundang-undangan sektoral yang mewajibkan
pembentukan institusi formal untuk melaksanakan ketentuan peraturan
tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan lembaga di tingkat
daerah, baik yang berupa lembaga struktural maupun non struktural
pemerintahan yang harus diimbangi dengan penyediaan sekretariat
bagi lembaga tersebut. Kasus pembentukan Badan Daerah
Penanggulangan Bencana (BDPB) yang diwajibkan oleh UU No. 24

203
Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana, misalnya, di Jawa Barat
belum berhasil dibentuk karena Badan Nasional Penanggulangan
Bencana yang seharusnya membentuk BDPB ternyata belum dibentuk.
Akibatnya, pembentukan BDPB menjadi tertunda padahal kasus
bencana alam banyak terjadi di Jawa Barat. Pembentukan BDPB yang
tidak satu paket dengan pembentukan organisasi perangkat daerah
lainnya juga menambah panjang prosedur birokratis dan politis,
sehingga menjadi tidak efektif dan efisien.

Berbagai kendala tersebut menyebabkan isu penataan kelembagaan


pemerintah daerah masih perlu ditangani secara khusus sebagai isu
strategis dalam kaitannya dengan reformasi birokrasi. Penataan
kelembagaan perlu dikaitkan dengan pembenahan dalam kelembagaan,
ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia birokrasi yang tersedia di
daerah, serta harus pula ada kepastian insentif dan disinsentif agar
pedoman penataan organisasi perangkat daerah benar-benar dipatuhi
oleh daerah maupun pusat. Hal ini perlu dilakukan agar semangat
penataan kelembagaan yang proporsional tidak menjadi sia-sia karena
keharusan daerah untuk membentuk lembaga-lembaga tambahan
sebagai konsekuensi dari ketentuan peraturan perundang-undangan
yang dibuat di tingkat nasional. Tambahan lembaga-lembaga ini
seringkali menjadi beban bagi pemerintah daerah karena kewajiban
untuk membentuk sekretariat bagi lembaga-lembaga tersebut.

Selain itu, kecenderungan mengalokasikan anggaran secara


departemental menyebabkan daerah seolah terpaksa membuat
organisasi perangkat daerah dengan nomenklatur yang sama dengan
lembaga di tingkat pusat, sehingga pertimbangan pragmatis untuk
kemudahan memperoleh alokasi dana menjadi lebih mengemuka
dibanding pertimbangan kebutuhan daerah. Praktik semacam ini perlu
diubah, sehingga pola penganggaran seharusnya bersifat fungsional,

204
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang dilakukan suatu organisasi
perangkat daerah bukan berdasarkan kesamaan nomenklatur.
2. Penataan manajemen sumber daya manusia aparat birokrasi daerah.
Jumlah aparat birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih
cukup banyak, sementara jumlah aparat fungsional masih sangat sedikit
dibandingkan jumlah keseluruhan aparat birokrasi di Pemerintah Provinsi
Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan kinerja pemerintahan menjadi tidak
optimal karena banyak fungsi yang belum dapat dilaksanakan dengan
memadai, termasuk dalam hal peningkatan capaian IPM Jawa Barat. Demikian
pula bila dikaitkan dengan kondisi Jawa Barat yang masih didominasi oleh
kawasan perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian,
ketersediaan aparat fungsional untuk mengembangkan sektor ini menjadi
sangat penting. Tapi, kenyataannya sekarang belum banyak aparat birokrasi
yang bersedia menjadi aparat fungsional karena ketidakjelasan skema insentif
bagi mereka, baik dalam hal jaminan kepastian karir maupun besaran
tunjangan. Karena itu, dalam kerangka reformasi birokrasi, Pemerintah Pusat
seyogianya mulai mengembangkan dan menerapkan upaya-upaya untuk
mendorong pergeseran aparat non fungsional menjadi aparat fungsional. Hal
ini harus dilakukan mulai dari pembenahan sistem rekrutmen, pembenahan
sistem dan kurikulum pendidikan kedinasan dan diklat aparatur, serta
penerapan tunjangan kinerja yang proporsional bagi aparat fungsional. Dengan
demikian, proporsi dan kompetensi aparat fungsional dapat semakin
ditingkatkan untuk menunjang pencapaian IPM dan kesejahteraan daerah.
3. Pembenahan ketatalaksanaan dalam penyediaan pelayanan publik yang
berkualitas.
Nilai strategis dari isu ini terletak pada komitmen Pemerintah Pusat untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik sebagai bagian dari upaya untuk
memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam kondisi
krisis, peran pemerintah sangat diperlukan untuk memulihkan stabilitas bukan
dengan mengandalkan kekuatan tetapi dengan kepemimpinan dan kapasitas
yang kuat untuk membuat regulasi yang menjamin penyediaan dan distribusi
barang-barang publik yang mudah diakses oleh masyarakat. Sebagai provinsi

205
yang cukup besar dan letaknya berdekatan dengan ibukota negara, Provinsi
Jawa Barat masih menghadapi masalah yang pelik terkait dengan tingginya
angka putus sekolah, rendahnya tingkat kesehatan, dan lemahnya daya beli
masyarakat. Padahal, Jawa Barat kaya dengan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Namun, sebagian besar dari
potensi ini justru dinikmati oleh orang-orang di luar Jawa Barat. Karena itu,
Pemerintah Pusat perlu memberikan dukungan dalam bentuk regulasi yang
dapat mendorong inovasi pelayanan publik di Jawa Barat. Kepastian regulasi
yang menjadi landasan hukum bagi pelayanan investasi dan kerjasama
antardaerah menjadi penting agar potensi Jawa Barat dapat dikembangkan
dengan lebih optimal untuk mengatasi masalah-masalah rendahnya daya beli.
4. Penataan daerah otonom baru
Tuntutan masyarakat kabupaten/kota untuk membentuk daerah otonom baru
atau lazim disebut pemekaran menunjukkan kecenderungan untuk makin
meningkat selama periode 2003-2008. Sekalipun Pemerintah Provinsi Jawa
Barat telah melakukan kajian pada tahun 1990-an yang hasilnya
merekomendasikan pemekaran kabupaten/kota di Jawa Barat dari 24
kabupaten/kota menjadi 42 kabupaten/kota, namun kenyataannya hingga
tahun 2007 baru terbentuk 1 daerah otonom baru hasil pemekaran yakni
Kabupaten Bandung Barat. Sementara Kota Cimahi yang terbentuk pada tahun
2001 merupakan daerah otonom baru yang terbentuk melalui mekanisme
peningkatan status dari Kota Administratif (Kotif) menjadi Kota, seperti juga
Kota Banjar yang sebelumnya merupakan Kotif dalam wilayah Kabupaten
Ciamis. Setelah Kabupaten Bandung Barat terbentuk, semangat berbagai
kelompok masyarakat mulai bertambah untuk mengajukan usul pemekaran
daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Ciamis, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Garut. Tuntutan ini
hendaknya dipahami bukan semata sebagai bentuk emosi masyarakat atau juga
politisasi yang dilakukan para elit, tapi juga sebagai bentuk peringatan akan
penyelenggaraan pembangunan kewilayahan yang selama ini belum merata,
antara wilayah Jawa Barat bagian utara, tengah, dan selatan.

206
Selain itu, maraknya tuntutan pembentukan daerah otonom baru di Jawa Barat
sesungguhnya merupakan bentuk protes terhadap pola hubungan keuangan
pusat dan daerah yang selama ini dirasakan tidak adil bagi Provinsi Jawa
Barat. Dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, Provinsi Jawa Barat
memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang besar, kondisi geografis
yang sangat beragam, dan potensi masalah sosial yang tinggi, antara lain
ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di Jawa Barat.
Seluruh permasalahan ini seharusnya menyebabkan Jawa Barat memperoleh
Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih tinggi dibanding kondisi sekarang,
namun kenyataannya, DAU Jawa Barat masih lebih sedikit dibanding Provinsi
Jawa Timur yang jumlah penduduknya lebih sedikit dibanding Jawa Barat.
Ketidakadilan dalam pola perimbangan keuangan inilah yang mendorong
makin maraknya tuntutan pembentukan daerah otonom baru sebagai upaya
untuk menarik lebih banyak DAU untuk kabupaten/kota di Jawa Barat. Karena
itu, di masa mendatang, Pemerintah Pusat tidak bisa semata-mata menyatakan
moratorium pembentukan daerah otonom baru atau ‘mempersulitnya’ melalui
perhitungan hasil kajian sebagaimana sekarang terjadi dengan PP No. 78
Tahun 2007, tetapi untuk meredam tuntutan pemekaran ini Pemerintah Pusat
perlu merumuskan formula baru yang lebih adil dalam hal perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
pusat-pusat kegiatan ekonomi baru juga harus terus menjadi prioritas yang
memerlukan fasilitasi dari Pemerintah Pusat, terutama dalam memfasilitasi
pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah terpencil sehingga kesan
‘ditinggalkan’ dalam pencapaian kesejahteraan yang selama ini dirasakan oleh
masyarakat yang menuntut pemekaran dapat diatasi.
5. Peningkatan kapasitas pemerintahan dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan.
Provinsi Jawa Barat rentan dengan terjadinya bencana alam dan bencana
sosial, khususnya yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang tidak
berpihak pada kepentingan masyarakat banyak. Untuk meminimalkan
kerentanan akan potensi bencana sosial dan bencana kebijakan ini, diperlukan
peningkatan kapasitas pemerintahan untuk menyelenggarakan pembangunan

207
secara berkelanjutan. Peningkatan kapasitas pemerintahan ini dapat dicapai,
antara lain melalui jaminan kesinambungan kapasitas fiskal yang memadai,
kepemimpinan politik yang kuat, kinerja birokrasi yang profesional, dan
keberanian dari Gubernur untuk melakukan lobby dengan Pemerintah Pusat
demi melaksanakan program-program prioritas yang pro-poor, pro-job, pro-
gender, dan pro-environment. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
seyogianya didukung oleh ketegasan dalam alokasi hak anggaran dan sumber
daya personalia untuk melakukan terobosan-terobosan yang diperlukan
daerahnya. Selama ini, posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat
belum secara optimal dimanfaatkan oleh Provinsi Jawa Barat untuk
melakukan bargaining politics dengan Pemerintah Pusat maupun dengan
pihak-pihak lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi
Jawa Barat, misalnya dalam hal pembangunan infrastruktur di kawasan Jawa
Barat bagian selatan yang sejak tahun 1980-an belum juga terealisasi secara
menyeluruh. Padahal program pembangunan trans Jawa Selatan sebagai
sarana transportasi sudah menjadi program Pemerintah Pusat, yang sangat
diperlukan untuk membuka akses ke wilayah Jawa Barat bagian selatan yang
saat ini masih terisolir. Demikian pula, dalam hal menuntut perimbangan
keuangan yang lebih adil dari hasil Dana Perimbangan yang berasal dari
sumber daya alam dan dari potensi pajak, bargaining politics dengan
departemen terkait perlu didukung dengan ketersediaan basis data yang aktual
dan valid tentang potensi obyek dan subyek dana perimbangan tersebut,
sehingga dapat menambah pendapatan daerah.

V.5. Ekonomi, Infrastruktur dan Hal Terkait Kesejahteraan

1. Penanganan kemiskinan, pengangguran dan ketenagakerjaan yhang belum


optimal.

2. Belum fokusnya kebijakan pengembangan kawasan andalan


berdasarkan keunggulan kawasan andalan tersebut;

3. Pemerataan pembangunan, pengembangan desa tertinggal,


pengembangan wilayah perbatasan, keseimbangan pembangunan perkotaan

208
dan perdesaan, penanganan masalah perkotaan dan kerjasama antar daerah
belum terwujud;

4. Sektor modern (industrialisasi) berkembang pesat, menjadi magnet


tingginya arus migrasi;

5. Masih sulitnya upaya diversifikasi komoditas ekspor dari komoditi


konvensional Propinsi Jawa Barat seperti tekstil dan TPT.

6. Rendahnya kondisi infrastruktur yang menghubungkan antar


kabupaten/kota dan provinsi;

7. Belum optimalnya pemanfaatan dana-dana yang bersumber dari swasta


(masyarakat) seperti program CSR (Corporate Social Responsibilty);

8. Rendahnya kondisi infrastruktur yang menghubungkan antar kabupaten/ kota


dan provinsi;

9. Belum tersedianya sarana rehabilitasi Penyandang Masalah Kesejahteraan


Sosial (PMKS);

10. Rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, yang disebabkan oleh rendahnya
keterampilan dan keahlian, serta tingginya migrasi masuk dari luar Jawa
Barat;

11. Rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur wilayah, seperti


infrastruktur jalan dan jembatan, persampahan serta air bersih;

12. Transformasi struktural dari perdesaan ke perkotaan, trasional ke


modern tanpa ada persiapan system social dan ekonomi masyarakat;

13. Ketimpangan sosial dan ekonomi (daya beli);

V.6. Bidang Pendidikan, Kesehatan, Gender dan Kekerasan pada anak dan
wanita

1. Aksesibilitas dan pelayanan pendidikan.

2. Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan masyarakat.

3. Ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana.

209
4. Penanganan kemiskinan, pengangguran dan ketenagakerjaan.

5. Kesiagaan penanganan bencana alam dan pengendalian serta


peningkatan kualitas lingkungan hidup.

6. Penanganan terhadap permasalahan gender/diskriminasi

7. Penanganan terhadap tindakan kekerasan pada anak-anak dan wanita

V.7. Permasalahan Lingkungan

1. Degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan, yang ditandai dengan
deplesi sumber air (permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun
kualitasnya), semakin meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan
produktifitas lahan, semakin meluasnya kerusakan hutan (terutama karena
perambahan) baik hutan pegunungan maupun hutan pantai (mangrove).
2. Permasalahan pencemaran, baik pencemaran air, udara maupun tanah yang
penyebarannya sudah cukup meluas dan terkait dengan industri, rumah tangga
dengan segala jenis limbahnya, terutama sampah.
3. Permasalahan kebencanaan alam, yaitu Jawa Barat terutama bagian tengah
dan
selatan termasuk wilayah rawan gempa dan volkanisme. Wilayah ini termasuk
daerah yang paling sering tertimpa musibah tanah longsor dibanding wilayah
lainnya di Indonesia, yang terkait dengan "irrational land use" dan juga
kegiatan pertambangan.
4. Inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting
penggunaan lahan/pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan.
5. Permasalahan kawasan pesisir dan pantai, yaitu kerusakan hutan mangrove,
abrasi dan akresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi
air laut, dan pencemaran air laut.
6. Permasalahan sosial kependudukan, ditandai dengan tingginya urbanisasi,
munculnya permukiman kumuh pada hampir seluruh kota di Jawa Barat,
pedagang kaki lima - PKL dan kesemrawutan lalu lintas.

210
7. Tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terhadap lingkungan, baik
dari interpretasi materi maupun implementasinya di lapangan.

211
BAB VI
PENUTUP

Seperti telah diuraikan pada awal laporan kajian ini bahwa buku ini tidak
dimaksudkan untuk menilai keberhasilan kinerja pemerintahan daerah propinsi
Jawa Barat dalam perencanaan dan implementasi pembangunannya tetapi
dimaksudkan untuk menginspirasi pemerintah pusat dalam hal ini Bappenas dan
Departemen, Badan dan Lembaga tinggi Negara lainnya untuk selalu menyusun
perencanaan pembangunan serta implementasinya dengan berdasarkan pada
fenomena, keunikan, serta kebutuhan daerah berdasarkan kacamata akademisi dari
perguruan tinggi. Dengan demikian diharapkan untuk penyusunan RPJMN
kedepan, warna agenda pembangunan yang akan disusun benar-benar
mencerminkan agregasi preference dari seluruh daerah propinsi di Indonesia.
Oleh karena itu, diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi dasar
pengembangan pola pikir perencanaan dan implementasi pembangunan di
pemerintahan tingkat pusat yang lebih mumpuni serta dapat menyumbangkan
masukan berharga dari kacamata yang sedikitnya lebih obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.

212
DAFTAR PUSTAKA

Bapeda Jawa Barat, DRAFT Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah


Propinsi Jawa Barat 2008-2013

Bapeda Jawa Barat, Draft Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jawa Barat 2025

Bapeda Jawa Barat, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Propinsi


Jawa Barat 2004-2009

Bapeda Jawa Barat, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Jawa Barat
2005-2025

Bapeda Jawa Barat, Survey Ekonomi Daerah (SUSEDA), berbagai tahun terbitan

BPS Propinsi Jawa Barat, Basis Data Analisis IPM Jabar, 2007

BPS Propinsi Jawa Barat, Berita Resmi Statistik, No. 22/07/32/Th. X, 1 Juli 2008

BPS Propinsi Jawa Barat, Berita Resmi Statistik, No. 26/08/32/Th. X, 14 Agustus
2008

BPS Propinsi Jawa Barat, Berita Resmi Statistik, No. 06/02/32/Th. X, 15 Februari
2008

Bapeda Jawa Barat, Profil Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2007

BPS, Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001

BPS, Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2006

Disdik Jawa Barat, Profil Pendidikan, berbagai tahun terbitan

Kantor Bank Indonesia Bandung, Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa Barat,
berbagai terbitan

LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur, 2003-2008

213
LAMPIRAN: MATRIKS KELUARAN EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN BEBERAPA AGENDA

SASARAN PEMBANGUNAN INDIKATOR Upaya Capaian Permasalahan Rekomendasi

1. Menurunnya ketegangan dan ancaman Konflik horizontal antara Penciptaan kondisi Minimnya Konflik antar Dibuatnya
konflik antar kelompok masyarakat atau kelompok masyarakat berdasar aman dan kondusif konflik antar kelompok mekanisme terarah
antar golongan di daerah-daerah rawan sub budaya etnik, agama dll. lewat pendekatan dialog masyarakat masyrakat masih dalam bentuk forum
konflik budaya dan agama. dalam aspek merupakan antar kelompok
2. Terpeliharanya situasi aman dan dapai agama maupun bahaya laten masyarakat serta
3. Meningkatnya partisipasi masyarakat Pengakuan terhadap budaya. terutama di perangkat-perangkat
dalam proses pengambilan keputusan bahasa daerah non daerah pinggiran aturan daerahnya
kebikjakan public dan penyelesaian sunda seperti cirebon dan pedesaan
persoalan social masyarakat
Akomodasi
keterwakilan aspirasi di
tingkat DPRD Propinsi

1. Menurunnya angka pelanggaran hukum dan


indeks kriminalitas, serta meningkatnya - Tingkat kasus kriminalitas Peningkatan kesadaran Tingkat
penuntasan kasus kriminalitas untuk yang dapat diselesaikan hukum kriminalitas Ketidak tegasan Petugas
menciptakan rasa aman masyarakat - Jumlah kasus peredaran Ketegasan dari masih cukup petugas dan bersikaptegas/objekt
2. Terungkapnya jaringan kejahatan Narkoba petugas/Polri tinggi ketidak if dan konsisten
internasional terutama narkotika, - Jumlah kasus konsistenan
perdagangan manusia, dan pencucian uang penyalahgunaan narkoba Tingkat
3. Menurunnya jumlah pecandu narkoba dan Penyelesaian Penyuluhan secara
mengunggkap kasus serta dapat Penyuluhan/pembinaan kasus Kurangnya berkala
diberantasnya jaringan utama supply meningkat penyuluhan
narkoba dan prekusor Penciptaan kesempatan Program
4. Terungkapnya jaringan utama pencurian kerja Tingkat Pengelolaan Hutan
sumber daya kehutanan, serta membaiknya Menurunnya Pengangguran bersama Masyarakat
praktek penegakan hokum dalam Pelibatan institusi pelanggaran (PHBM)
pengelolaan sumbar daya kehutanan dalam pendidikan dan Perda Ketimpangan
memberantas illegal logging, over cutting kepemudaan Ekonomi Operasi Hutan
dan illegal trading Lestari Lodaya
5. Meningkatnya kepatuhan dan disiplin Dialog antar kelompok Meningkatnya Kurangnya
masyarakat terhadap hokum masyarakat penggunaan koordinasi
6. Meningkatnya kinerja Polri tercermin Narkoba dengan pihak
dengan menurunnya angka kriminalitas, terkait terutama
pelanggaran hokum dan meningkatnya Illegal dengan

215
penyelesaian kasus-kasus hukum Logging di lingkungan
jabar selatan keluarga
makin
mengkhawatir Konsistensi
kan Penegakan
Hukum

Untuk mendukung pembenahan system dan Peraturan substansi hokum Evaluasi terhadap 4 buah raperda Kompetensi In House Training
politik hokum, sasaran yang akan dilakukan - Jumlah peraturan daerah raperda, pajak dan retribusi anggota yang lebih
dalam tahun 2004-2009 adalah terciptanya yang disusun retribusi daerah daerah Legislatif dalam frekuentif dan
system hokum nasional yang adil, konsekuwen - Jumlah regulasi yang dapat dibatalkan hal budgeting terstruktur
dan tidak diskriminatif (termasuk tidak memperbaiki efektivitas In-House training pusat dan legal
diskriminatif terhadap perempuan atau bias pemerintahan tentang legal drafting drafting Keterlibatan dalam
gender) terjaminnya konsistensi seluruh - Jumlah regulasi yang dapat rutin Inisiatif DPRD asosiasi
paraturan perundang undangan pada tingkat memperbaiki kualitas yang Tingkat internasional
pusat dan daerah, serta tidak bertentangan pelayanan meningkat Pengangguran legislative
dengan peraturan dan perundanganyang lebih - Jumlah regulasi yang dapat
tinggi; dan kelembagaan peradilan dan penegak menurunkan praktik korupsi Integrasi Screening/
hokum yang berwibawa, bersih, professional aparat Kualifikasi anggota
dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan LINMAS calon dewan
hokum masyarakat secara keseluruhan.
1. Terlaksananya peraturan perundang- Tersedianya produk hukum yang
undangan yang tidak mengandung perlakuan mengakomodasi nilai-nilai Tingkat Perlu dilakukan
diskriminasi baik kepada setiap warga agama, kearifan local, dan Terwujudnya Angka kesadaran sosialisasi/pembinaa
Negara, lembaga/instansi pemerintah, nilainilai keserasian produk pelanggaran hukum masih n hokum terhadap
maupun lembaga swasta/dunia usaha secara hidup lainnya yang hokum dengan HAM sangat rendah masyarakat
konsisten dan transparan berkeadilan perundang-undangan kecil tercatat
2. Terkoordinasinya dan terharmonisasinya - produk hukum yang lebih tinggi resmi hanya 2 Kurangnya
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yangmengakomodasi nilai- sosialisasi
yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu nilai agama, kearifan local, produk hukum
sehinghga dapat mengurangi perlakuan dan nilai-nilai hidup lainnya
diskriminatif terhadap warga Negara; yang berkeadilan
Terciptanga aparat dan system pelayanan - Tingkat kesadaran hokum dan
public yang adil dan dapat diterima oleh penaatan hokum masyarakat
setiam warga Negara. serta penegakan hukum dan
HAM
1. Terlaksananya berbagai langkah-langkah Terwujudnya harmonisasi
rencana aksi yang terkait dengan produk Penegakan disiplin dan Peningkatan Masih lambatnya Perlu dilakukan
pengarmatan, pemenuhan dan penegakan hukum provinsi dengan bersikap jujur kasus korupsi penaganan oleh keseragaman dalam
terhadap hukum dan hak azasi manusia pemerintah pusat dan yang dapat kejati penyelesaian kasus

216
antara lain rencana aksi hak asasi Manusia kabupaten/kota Profesionalisme aparat diselesaikan (sama)
2004-2009 - Jumlah produk hukumyang pemerintahan daerah meningkat Sidak langsung
2. Rencana aksi pemberantasan korupsi tidak saling bertentangan dari atasan Penguatan kualitas
3. Rencana Aksi Nasional Penghapusan - Pemberantasan korupsi Akselerasi pengawas keuangan
Eksploitasi seksual Komersial anak penerapan Sosialisasi dan dan bidang
4. Rencana aksi Nasional Penghapusan pengelolaan Pelatihan monitoring dan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk keuangan pengeloalaan evaluasi
anak; dan daerah sesuai keuangan daerah
5. Program Nasional Bagi Anak Indonesia aturan
(PNBA) 2015 perundang2an
1. Terjaminnya keadilan gender dalam Pemberdayaan gender
berbagai perundangan, program - Perempuan di parlemen Peningkatan peran Indeks Tingkat Peningkatan tingkat
pembangunan dan kebijakan public - Perempuan pekerja professional Perempuan dalam Pemberdayaan pendidikan pendidikan
2. Menurunnya kesenjangan pencapaian - Perempuan dalam angkatan kerja berbagai aspek Gender Jawa wanita yang perempuan
pembangunan antara perempuan dan laki- - Perempuan upah pekerja non kehidupan terutama Barat rendah
laki yang diukur oleh angka GDI dan GEM pertanian (rasio) dalam pendidikan, mencapai 54,4 Peningkatan kualitas
3. Menurunnya tindak kekerasan terhadap - indeks Pembangunan gender dan lapangan kerja dan (dibawah Kualitas hidup hidup perempuan
perempuan dan anak Indeks Pemberdayaan gender politik capaian perempuan yang secara menyeluruh
4. Meningkatnya kesejahteraan dan - Jumlah kekerasan baik terhadap nasional) rendah
perlindungan anak perempuan maupun anak Mengurangi jumlah Sosialisasi pada
kekerasan dalam rumah Indeks Kesadaran stakeholders daerah.
tangga terhadap Pembangunan Lingkungan
perempuan dan anak Gender 60,8 masyarakat dan Implementasi Perda
(dibawah nilai di tentang penanganan
capaian masyarakat perdagangan orang
nasional) masih apatis dengan lebih baik.

Diskriminasi
yang masih
jelas terhadap
kaum
perempuan

Angka
kekerasan dan
perdagangan
anak masih
tinggi 3800
kasus (2007)

217
Jabar telah
memiliki perda
tentang
pencegahan
dan
penanganan
perdagangan
orang,
termasuk di
dalamnya
perlindungan
terhadap anak-
anak.

1. Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi • Jumlah Rancangan perda Perda No. 7 Tahun Berkurangnya Masih dirasakan Membangun,
peraturan perundang-undangan pusat dan • Jumlah Raperda yang 2007 tentang Perubahan perda yang kurangnya menegakkan, dan
daerah, termasuk yang mengatur tentang disahkan menjadi Perda Ketiga atas Perda No. dibatalkan kompetensi mengembangkan
otonomi khusus • Jumlah Pergub 10 Tahun 2004 tentang oleh anggota pemberian reward
2. Meningkatnya kerjasama antara antar • Jumlah Kepgub Kedudukan Protokoler pemerintah legislative and punishment
pemerintah daerah • Jumlah aspirasi pemekaran dan Keuangan pusat secara tegas dan adil
3. Terbentuknya kelembagaan pemerintah wilayah Pimpinan dan Anggota Masih kurangnya serta meningkatkan
yang efektif, efisien dan akuntabel • Jumlah aspirasi pemekaran DPRD Provinsi Jawa Jumlah produk korespondensi koordinasi dengan
4. Terbentuknya sumber dana dan pembiayaan yang disetujui Gubernur Barat hukum daerah, produk hokum aparat penegak
pembangunan secara transparan, akuntabel dalam bentuk terhadap hokum
• Wilayah efektif yang dapat
dan professional Pembahasan 6 (enam) Perda, Pergub, kebutuhan
dimanfaatkan: Wilayah
5. Tertatanya daerah otonom baru yang dapat dimanfaatkan raperda tentang Kepgub, dan bersama Membangun
penyertaan modal lain-lain masyarakat networking dalam
untuk kawasan budi daya
daerah Pemerintah sepanjang penyusunan
di luar kawasan lindung;
Provinsi Jawa Barat tahun 2004- Masih sporadic- peraturan
• P er sen t as e r u ma h
pada 6 (enam) Badan 2008 mencapai nya kegiatan perundang-
tangga yang
Usaha Milik Daerah 4.175 buah, evaluasi produk undangan antar
me mp un ya i kendaraan
dengan hokum susunan
bermotor atau perahu atau
perincian: pemerintahan serta
perahu motor atau kapal
Perda 65 bh, Kesenjangan meningkatkan
motor;
Pergub 350 bh, pembangunan kerjasama dengan
• Persentase pekerja yang
Kepgub 3.756 akibat pemusatan perguruan tinggi
berpendidikan minimal
bh pertumbuhan dalam penyusunan
SLTA terhadap penduduk
Instruksi ekonomi di naskah akademik.
usia 18 tahun ke atas;
Gubernur 4 bh sejumlah
• Persentase pekerja yang kawasan Mengembangkan

218
berpendidikan minimal S-1 Membentuk menimbulkan konsultasi publik
terhadap penduduk usia 25 perda dan persoalan- yang menempatkan
tahun ke atas; petunjuk persoalan masyarakat sebagai
• Balai Pertemuan: Tempat pelaksanaan kesejahteraan, subyek hukum yang
(gedung) yang digunakan mengenai seperti berhak
untuk pertemuan penyusunan kemiskinan, menyampaikan
masyarakat melakukan perda yang di pengangguran, pendapat sebagai
berbagai kegiatan interaksi dalamnya dll. wahana public
sosial; mengatur sphere dalam
• Personil Aparat Pertahanan program menjaring aspirasi
• Personil Aparat Keamanan legislasi masyarakat.
• Karakteristik Wilayah daerah serta
penguatan
peran Panitia
Legislasi
DPRD
1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di • Jumlah Produk kebijakan ditetapkan Keputusan Tersusunnya Masih belum Terwujudnya
birokrasi dan dimulai dari tatanan pejabat Gubernur Jawa Barat 11 (sebelas) padunya perampingan
yang paling atas • Jumlah kersama antar daerah No. 21 Tahun 2004 kebijakan koordinasi antar struktur
2. Terciptanya system kelembagaan dan tentang Pedoman SPM untuk daerah kelembagaan
ketatalaksanaan pemerintah yang • Jumlah kerjasama antar Kerjasama Daerah kabupaten/kota kabupaten/kota Pemerintah Provinsi
bersih,efisien, transparan dan akuntabel propinsi dengan Pihak Luar di Jawa Barat Jawa Barat menjadi
3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek Negeri dan Keputusan dan 5 (lima) Masih belum terdiri dari 3 Asisten
yang bersifat diskriminatif terhadap warga • Jumlah kerjasama dengan Gubernur Jawa Barat dasar inline-nya (11 Biro), 1
Negara, kelompok atau gangguan masyarakat luar negeri No. 28 Tahun 2005 kebijakan perencanaan Sekretariat DPRD, 1
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam tentang Pedoman SPM untuk antar Kantor Perwakilan,
pengambilan kebijakan Kerjasama Daerah Pemerintah kabupaten/kota 14 Dinas, dan 10
5. Terjaminnya konsistensi seluruh paraturan dengan Pihak Ketiga Provinsi, yang dengan provinsi Lembaga Teknis,
pusat dan daerah dan tidak bertentangan meliputi secara vertical
peraturan dan perundangan di atasnya bidang maupun Pengajuan
kesehatan, horizontal rancangan desain
pendidikan, organisasi
tenaga kerja Masih tidak Pemerintah Provinsi
dan efisien dan Jawa Barat
transmigrasi, efektifnya
koperasi dan penyelenggaraan Distribusi pegawai
usaha kecil tata pemda
dan menengah kepemerintahan
serta Sosialisasi Jabatan
penanaman Masih banyak fungsional

219
modal. jabatan
Terselenggara fungsional yang Mutasi terstruktur
nya kerjasama jumlahnya
antardaerah sedikit padahal Rekruitmen pegawai
sebanyak 43 fungsinya sangat berdasarkan
buah, penting kebutuhan
kerjasama
dengan pihak Komposisi PNS Perencanaan daya
ketiga di Provinsi Jawa tampung
sebanyak 35 Barat mayoritas kabupaten/kota di
buah, dan berada pada propinsi Jawa Barat
kerjasama Golongan III 25 tahun ke depan
dengan pihak atau berpangkat sebanyak 42
luar negeri pada kategori wilayah
sebanyak 24 piñata yang
buah seimbang

Aspirasi
pemekaran
wilayah yang
tidak
memperhatikan
kapasitas nyata
dari daerah calon

- Tingkat kasus pelanggaran 50%


disiplin dan kasus
kepegawaian 75%
- Tingkat akuntabilitas
penggunaan anggaran 60%
- Tingkat kenyamanan dan
pelayanan kepada masyarakat. 70%
- Tingkat pemenuhan kebutuhan
sarana dan prasarana kerja
aparatur sesuai standar daerah 70%
- Tingkat pemeliharaan sarana
dan prasarana operasional
SKPD/Balai/UPT/UPTD. 60%
- Tingkat kenyamanan dan
pelayanan kepada masyarakat. 50%

220
- Mengunrang tingkat korupsi

1. Terlaksananya peran dan fungsi lembaga • Jumlah perkara kasus Meningkatnya Tingkat Tingkat Golput Sosialisasi
penyelenggara Negara dan lembaga korupsi kesadaran masyarakat perkara kasus yang meningkat pentingnya aspirasi
kemasyarakatan sesuai konstitusi dan • Akuntabilitas kinerja dalam berpolitik korupsi bukan hanya politik bagi
peraturan perundangan yang berlaku pemerintahan menurun karena sifat kepentingan
2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam • Tingkat kehadiran peserta Menurunnya tingkat politis namun masyarakat
proses pengambilan keputusan kebijakan musrenbang untuk berbagai unjuk rasa masyarakat Meningkatnya juga teknis
public produk kebijakan jumlah seperti jam kerja, Memperketat syarat
3. Terlaksananya pemilihan umum yang pemerintah daerah menurunkan jumlah kehadirdan waktu kerja dan kualifikasi dan
demokratis jujur dan adil pada tahun 2008 • Jumlah unjuk rasa kepada kasus korupsi peserta kebutuhan real aturan calon
lembaga DPRD musrenbang keluarga legislative dan calon
• Tingkat partisipasi pemilih Menurunya tingkat kepala daerah
dalam Pemilu unjuk rasa kepada Tingkat Rasional
DPR/DPD/DPRD DPRD partisipasi Political Meningkatkan mutu
• Tingkat partisipasi pemilih Meningkatkan tingkat pemilih participation infrastruktur daerah
dalam sejumlah pemilihan partisipasi pemilih mengalami yang menurun guna kemudahan
kepala daerah penurunan aspirasi masyarakat
Meningkatkan aspirasi menjadi 75,2% Riskannya aksi pinggiran
• Jumlah partai politik, LSM
dan NGO masyarakat yang dan sebanyak aspirasi melalui
disampaikan melalui 24,8% tidak unjuk rasa pada Peningkatan
system menggunakan persepsi dunia pendidikan politik
hak pilihnya usaha terutama terstruktur dengan
investor luar bantuan pihak
Tingkat Jawa Barat institusi pendidikan
partisipasi
politik berada
pada tingkat
sedang.

PENANGGULANGAN KEMISKINAN
1. Menurunnya presentase penduduk yang Program Wajib Belajar
berada dibawah garis kemiskinan menjadi Pendidikan dasar Penyuluhan Sistem Sosialisasi
8,2 % pada tahun 2009. Pendidikan 37,25 penganggaran pentingnya wajib
2. Terpenuhinya kecukupan pangan yang • Prosentase APK Mendorong produksi 96,65 dan birokrasi belajar
bermutu dan terjangkau • Prosentase APM pertanian 88,90
3. Terpenuhinya pelayanan kesehatan yang • Prosentase APK 79,00 Situasi ekonomi Reformasi
bermutu • Prosentase APM Mendorong aktivitas 80,00 dunia yang Kelembagaan
4. Tersedianya pelayanan pendidikan dasar • Prosentase angka UMKM melemah (Institutional
yang bermutu dan merata 1,35 Reform) baik

221
5. Terbukanya kesempatan kerja dan melanjutkan Mendorong swadaya Kecenderungan kelembagaan
berusaha masyarakat 60,00 naiknya angka pemerintah maupun
6. Terpenuhinya kebutuhan dan sanitasi yang • Rasio rungbel ruang kelas tingkat kelembagaan
layak dan sehat Keterlibatan sector 70 % pengangguran ekonomi.
7. Terpenuhinya kebutuhan air bersih dan • Prosentase sarana memadai swasta
Manajemen
aman bagi masyarakat miskin Berkurangnya
perencanaan,
8. Terbukanya akses masyarakat miskin • Prosentase penerima kecepatan
pelaksanaan dan
dalam pemanfaatan SDA dan terjaganya beasiswa Mengundang investor realisasi
pengendalian
kualitas lingkungan hidup asing 6.4% penyerapan
peningkatan daya
9. Terjamin dan terlindunginya hak • LPE 5.1% APBD
beli perlu di
perorangan dan hak komunitas atas tanah • Inflasi Membenahi procedural Rp 87,137
integrasikan di
10. Terjaminnya rasa aman dari tindak • PMTB perizinan usaha trilyun Tidak stabilnya
dalam satu pusat
kekerasan; dan cuaca perubahan
kewenangan dan
11. Meningkatnya partisipasi masyarakat Mengurangi praktek 42.2% iklim
• Kontribusi sektor industri pertanggungjawaban
miskin dalam pengambilan keputusan pungli
manufaktur (%) .
22.31%
• Kontribusi sektor
perdagangan, hotel dan
restoran (%) Pemberdayaan
12.45%
• Kontribusi sektor pertanian manusia pelaku
(%) usaha
(swasta/pengusaha)
terutama pelaku
usaha kecil,
menengah dan
koperasi.
Semua hambatan
terhadap peluang
ekonomi dan politik
dihapuskan sehingga
semua orang dapat
berpartisipasi dan
mendapatkan
keuntungan dari
peluang yang
tersedia

Keberpihakan
pemerintah untuk
melindungi

222
kelompok
masyarakat dari
persaingan pasar
yang tidak adil dan
tidak seimbang.

Tersedianya data
pokok untuk dapat
mengukur keadaan
dan perkembangan
daya beli tidak
hanya di tingkat
propinsi tetapi juga
di setiap
kabupaten/kota

partisipasi angkatan
kerja terutama
wanita

penciptaan lapangan
kerja (job creation)

PENINGKATAN INVESTASI DAN


EKSPOR NON MIGAS
1. Terwujudnya iklim investasi yang sehat - Volume dan nilai ekspor Memperbaiki system 9,7 Juta Ton Melemahnya Membuka gerbang
dengan reformasi kelembagaan ekonomi Jawa Barat per tahun procedural perizinan US $ 18,10 M permintaan ekspor langsung via
diberbagai tingkatan pemerintah yang impor dari pelabuhan/bandara
mampu menguragi praktek ekonomi tinggi - Volume dan nilai impor Jawa Eksibisi-eksibisi 2,7 Juta Ton Negara tujuan berskala
2. Peningkatan efisiensi pelayanan ekspor- Barat per tahun internasional US $ 7,9 M ekspor internasional
3. inpor kepelabuhan, kepabeanan dan
administrasi (verifikasi dan restitusi) - Laju Pertumbuhan ekspor Kerjasama dengan 5,6% Persaingan Membangun jalur
perpajakan ke tingkat efisien di Negara- Jawa barat Kadin dan Apindo dengan Negara infrastruktur
negara tetangga yang maju - Laju Pertumbuhan impor 8,2% eksportir lain transportasi antar
perekonomiannya di lingkungan ASEAN. Jawa Barat Mengundang investor terutama China kab/kota yang lebih
Dalam 3(tiga) tahun pertama diharapkan - Efisiensi dan efektivitas asing 75 % baik
setengahnya telah dicapai. distribusi barang kebutuhan Biaya produksi
4. Pemangkasan prosedur perijinan start up pokok masyarakat dan barang Ekstensifikasi dan yang makin Insentif terstruktur
dan operasi bisnis ke tingkatan efisieni di strategis intensifikasi komoditi tinggi akibat dan tersistem
Negara-negara tetangga yang maju - Jumlah transaksi produk agro ekspor 122 Milyar harga BBM terhadap para pelaku

223
perekonomiannya di lingkungan ASEAN. Jawa Barat per tahun industry yang ekspor
Dalam 3(tiga) tahun pertama diharapkan - Persentase Tingkat Mengurangi aturan- 80 % cenderung sulit
setengahnya telah dicapai. penggunaan produk dalam aturan daerah yang turun Jaminan pemda
5. Meningkatnya investasi secara bertahap negeri tidak ramah terhadap 70 % secara sektorral
sehingga peranannya terhadap Produk - Persentase penyediaan sarana investor Kurangnya yang mendukung
Nasional Bruto meningkat dari 20,5 persen dan prasarana perdagangan 15 Kali inisiatif dan eksistensi dari
pada tahun 2004 menjadi 27,4 persen pada yang memadai Standardisasi komoditi kreatifitas dari investasi komoditas
tahun 2009 dengan penyebaran yang makin - Tingkat pengawasan barang 5 kali para pengusaha ekspor
banyak pada kawasan-kawasan di luar Jawa, beredar per tahun local
terutama Kawasan Timut Indonesia. - Tingkat Advokasi 20 % Pemenuhan standard
6. Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara perlindungan konsumen per Kondisi nilai komoditas ekspor
bettahap dari sekitar 5,2 persen pada tahun tahun -UTTP : tukar
2005 menjadi sekitar 9,8 persen pada tahun - Persentase Tingkat 1.901.600 rupiah/dollar Skema terstruktur
2009 dengan komposisi produk yang lebih Penyelesaian sengketa buah yang tidak stabil dan saling
beragam dan kandungan teknologi yang konsumen -BDKT : 1.105 menguntungkan
semakin tinggi - Jumlah peneraan UTTP dan 53.179 TDP Koordinasi antar untuk peremajaan
7. Meningkatnya efisiensi dan efektivitas BDKT per tahun dan kab/kota dalam alat-alat produksi
system distribusi nasional, tertib niaga dan 19.820 SIUP upaya komoditas pertanian
kepastian berusaha untuk menwujudkan mendorong
perdagangan dalam negeri yang kondusif ekspor
dan dinamis
8. Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam
perolehan devisa menjadi sekitar USD 10 - Jumlah pelaku usaha yang 200
miliar pada tahun 2009, sehingga sector dibina di Jawa Barat perusahaan
pariwisata diharapkan mampu menjadi salah - Presentase ketepatan waktu 90%
satu penghasilan devisa besar. pelayanan
9. Meningkatnya kontribusi kiriman dari - Perizinan Prosentase kepatian 90 %
tenaga kerja Indonesia yang berada di luar & ketepatan biayapelayanan
negeri dari perkiraan sekarang yang berkisar perizinan
sekitar USD 1 miliar - Jumlah sarana promosi 12 event
investasi (event, skala,
bentuk) Pengembangan
Promosi
PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI
MANUFAKTUR
1. Sektor industry manufaktur (non-migas) - Jumlah wirausaha industry Mendorong produksi 195.878 unit Produktifitas Meningkatkan
ditargetkan tumbuh dengan laju rata-rata kecil menengah dan peningkatan pekerja yang kinerja subsektor
8,56 persen per tahun. Dengan tingkat - Jumlah Penyerapan tenaga kapasitas produksi 1.958.780 rendah alat angkutan,
operasi rata-rata hanya sekitar 60 persen kerja industri kecil menengah Orang mesin, dan
pada tahun 2003, target peningkatan - Persentase Tingkat pelayanan Kerjasama dengan 40 Kurangnya peralatannya sebagai

224
kapasitas utilisasi khususnya sub-sektor usaha IKM institusi pendidikan kualitas calon upaya diversifikasi
yang masih berdaya saing akan meningkat - Persentase Tingkat koordinasi 70 % pekerja dari sisi
ke titik optimum yaitu sekitar 80 % dalam dan konsolidasi industry Penerapan standarisasi keahlian dan Menyelesaikan
dua sampai tiga tahun pertama, terutama - Jumlah Keterlibatan dan upaya sosialisasi 80 Perusahaan skill krisis kelistrikan
untuk industry yang dinilai memiliki perusahaan dalam sertifikasi industry
keunggulan komparatif dan kompetitif. pengembangan klaster 1.500 Kurang Pengembangan
2. Target penyerapan tenaga kerja dalam lima industry Perusahaan ramahnya system distribusi
tahun terakhir mendatang adalah sekitar - Jumlah Penerapan lingkungan dan sarana prasarana
500 per tahun (termasuk pengadaan standarisasi dan sertifikasi 3.965.134 masyarakat infrastruktur
migas). industry Orang terhadap para
3. Terciptanya iklim usaha yang lebih - Jumlah penyerapan tenaga pengusaha dan Mengoptimalkan
kondusif baik bagi industry yang sudah ada kerja oleh industry besar pemilik modal modal dasar
maupun investasi baru dalam bentuk perekonomian Jawa
tersedianya layanan umum yang baik dan Hambatan Barat dari industry
bersih dari KKN, sumber-sumber procedural pariwisata
pendanaan yang terjangkau dan kebijakan perizinan usaha
fiscal yang menunjang. Pemetaan potensi
4. Peningkatan pangsa sector industry Masih tingginya industry dan tindak
manufaktur di pasar domestic, baik untuk import contain lanjut pembenahan
bahan baku maupun produk akhir, sebagai pada berbagai aspek
cermin daya saing sector ini dalam Persaingan penunjang.
menghadapi produk-produk impor. global dan
5. Meningkatnya vlume ekspor produk melemahnya
manufaktur dalam total ekspor nasional daya beli
6. Meningkatnya proses alih teknologi dari masyarakat
forign direct investment (FDI)pasar yang
dicerminkan dari meningkatnya Lambatnya
pemasokan bahan antar dari bahan local braindrain dan
7. Meningkatnya penerapan standarisasi proses alih
produk industry manufaktu sebagai factor teknologi
ke luar pulau jawa, terutama industry
pengolahan hasil sumber daya alam. Daya saing
industri tersebut
masih rendah

Tingginya
ketergantungan
pada bahan baku
impor
rendahnya

225
kemampuan
dalam
pengembangan
teknologi

Rendahnya
kemampuan dan
keterampilan
sumber daya
industry

Tingginya
pencemaran
limbah industry

REVITALISASI PERTANIAN
1. Meningkatnya kemampuan petani untuk Gerakan Multi Jawa Barat Skala efisiensi Perkembangan dan
dapat menghasilkan komoditas yang Tingkat kontribusi sector Aktivitas Agribisnis sebagai yang rendah diversifikasi produk
berdaya saing tinggi pertanian (GEMAR) produsen pertanian
2. Terjaganya tingkat produksi beras dalam terbesar Belum tergalinya
negeri dengan tingkat ketersediaan Pelatihan dan nasional untuk potensi subsector Pengembangan
minimal 90 % dari dari kebutuhan penyuluhan 40 komoditi pertanian yang sumber daya
domestic, untuk pengamanan kemandirian agribisnis lain seperti perikanan dan
pangan Distribusi pupuk dan khususnya perikanan dan kelautan
3. Diversifikasi produksi, ketersediaan dan permodalan UMKM padi kelautan
konsumsi pangan untuk menurunkan Mendorong
ketergantungan pada beras. Tingkat penyerapan TK dari 29,65% Lemahnya penerapan teknologi
4. Meningkatnya ketersediaan pangan ternak sector pertanian pembudidaya pertanian berbasis
dan ikan dari dalam negeri dan kualifikasi agroindustri
5. Meningkatnya konsumsi masyarakat Pertumbuhan sector pertanian 7.79% nelayan
terhadap protein hewani yang berasal dari Pemetaan visi misi
ternak dan ikan Pertumbuhan produksi padi 9.5% Belum adanya kabupaten kota
6. Meningkatnya daya saing dan nilai tambah upaya dalam rangka
produk pertanian dan perikanan Peningkatan kesejahteraan 96.85% diversifikasi mengarahkan
7. Meningkatnya produksi dan ekspor hasil petani (Nilai Tukar Petani) produk pertanian pengembangan
pertanian dan perikanan agrowisata,
8. Meningkatnya kemampuan petani dan Distribusi pupuk agroindustri, dll
nelayan dalam mengelola sumber daya yang terhambat
alam secara lestari dan bertanggung jawab Mengoptimalkan
9. Optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil Cuaca dan iklim aturan penetaan dan

226
hutan kayu yang tidak peruntukan lahan
10. Meningkatnya hasil hutan non kayu 30 % menentu
dari produksi tahun 2004
11. Bertambahnya hutan tanaman minimal
seluas 5 juta ha. Dan penyelesaian
penetapan kesatuan pemangkuan hutan
sebagai acuan pengelolaan hutan produksi

PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN


USAHA MIKRO KECIL/MENENGAH
1. Meningkatnya produktivitas UMKM - Jumlah wirausaha baru per Koordinasi antar 6.000 rentannya Potensi PHR harus
dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dari tahun lembaga/dinas wirausaha UMKM terhadap dikaitkan dengan
laju pertumbuhan produktivitas nasional - Jumlah wirausaha yang horizontal Baru perubahan harga tujuan
2. Meningkatnya proporsi usaha kecil formal berdaya saing per tahun pemerintahan dan 250 wirausaha bahan bakar pengembangan
3. Meningkatnya nilai ekspor produk usaha - Kualitas kelembagaan vertical departemen UMKM
kecil dan menengah dengan laju KUMKM per tahun 1.100 tingginya kredit
pertumbuhan lebih tinggi dan laju (standarisasi, akreditasi dan Penggalakan dan KUMKM konsumsi Skema terstruktur
pertumbuhan nilai tambahnya sertifikasi) sosialisasi sumber dibandingkan untuk
4. Berfungsinya system untuk menumbuhkan - Tingkat kapasitas SDM permodalan 4.600 dengan kredit pengembangan
wirausaha baru berbasis Iptek KUMKM per tahun KUMKM investasi UMKM secara
5. Meningkatnya kualitas kelembagaan dan - Ketersediaan aspek legalitas Upaya penciptaan perda 400 KUMKM menyeluruh
organisasi koperasi sesuai dengan jatidiri bagi KUMKM per tahun terkait UMKM seperti 25 KUMKM penyaluran dana
koperasi. - Ketersediaan sarana dan aturan pasar modern 249 KUMKM kredit untuk Koordinasi antar
parasana bagi KUMKM per dan tradisional 1.00 KUMKM usaha mikro dinas/badan/lembag
tahun 43 KUMKM kecil dan a/pemerintahan
- Akses permodalan ke Kerjasama dengan 484 KUMKM menengah belum kota/kabupaten yang
lembaga keuangan mikro per institusi pendidikan dan optimal secara sinergi
tahun usaha skala besar Setoran
- Akses terhadap teknologi dibidang perbankan dan dividen Kasus kredit Pengawasan dan
tepat guna per tahun BUMN BUMD macet evaluasi terstruktur
- Promosi Produk KUMKM terhadap PAD terhadap
per tahun melalui Jaringan Mendorong UMKM sebesar 10% penggunaan dana
KUMKM dengan cara membuka permodalan UMKM
- Promosi Produk KUMKM peluang diversifikasi Jumlah
per tahun melalui Pameran usaha di beidang non penyaluran Pembinaan via
KUMKM konvensional seperti Kredit diklat terkait dengan
- Kontribusi keberadaan perikanan dan produk PD.BPR dan pengayaan iptek
BUMD terhadap PAD per kelautan PD.PK sebesar dalam kegiatan
tahun Rp operasional usaha

227
- Keuangan Non Perbankan 211 milyar

228

Вам также может понравиться