Вы находитесь на странице: 1из 16

Penentuan Model Geoid Gravimetri di Sulawesi - Indonesia

ABSTRAK
Sejak disahkannya sistem referensi baru di Indonesia yaitu Sistem Referensi Geospasial
Indonesia 2013 (SRGI 2013), sistem referensi vertikal nasional yang disepakati adalah model
geoid. Usaha penentuan model geoid local Indonesia sudah dilakukan sejak beberapa decade
lalu, menggunakan data pengukuran gravity yang dilakukan secara terestris. Namun, karena
wilayah Indonesia yang luas dan kepulauan, maka pengukuran gravity ini kurang efektif.
Pada tahun 2008 mulai dilakukan pengukuran gayaberat dengan menggunakan teknologi
Airborne Gravity, hasil kerjasama antara DTU (Technical University of Denmark) dan BIG
(Geospatial Information Agency). Airborne Gravity Survey dilakukan di Pulau Sulawesi.
Dengan menggunakan hasil pengukuran airborne gravity dan mengombinasikannya dengan
model geopotensial global serta model topography dari Shuttle Radar Topography Model
(SRTM), dihasilkan model geoid Sulawesi dengan ketelitian yang lebih baik dari model geoid
global EGM2008 sebesar 25 cm. Ketelitian geoid yang dihasilkan diperoleh melalui
perbandingan antara geoid gravimetric dan geoid geometric hasil pengukuran GPS dan sipat
datar di pilar titik tinggi geodesi (TTG) di Pulau Sulawesi.

1. PERKENALAN
Sejak legalisasi Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI2013), Indonesia telah
menggunakan geoid sebagai referensi vertikal nasional (Perka BIG 15/2013, pasal 10 (1)).
Model geoid diperoleh berdasarkan survei gravimetri yang terkait dengan Jaringan Kontrol
Geodetik (Jaring Kontrol Geodesi, JKG). JKG terikat pada IGSN71, membuat model
geoid yang digunakan sebagai referensi nasional terikat secara global (Perka BIG 15/2013,
artikel 10 (2-3)).

Geoid adalah permukaan ekipotensial yang bertepatan dengan permukaan laut rata-rata
selama kondisi ideal. Permukaan ekipotensial adalah permukaan di mana setiap titik di
permukaan memiliki nilai potensial yang sama. Secara fisik, dapat dinyatakan bahwa air
tidak akan bergerak pada permukaan ekipotensial. Bumi memiliki banyak permukaan
ekipotensial. Namun permukaan yang dapat digunakan sebagai referensi ketinggian adalah
permukaan yang bertepatan dengan MSL, yaitu geoid (Bakosurtanal 1993).

Ketinggian yang diukur dari geoid dikenal sebagai ketinggian ortometrik. Dengan
perkembangan GPS, ketinggian ortometrik dapat dengan mudah ditentukan selama model
geoid disediakan. Keakuratan ketinggian ortometrik tergantung pada akurasi tinggi
ellipsoid dan geoid. Saat ini, akurasi ketinggian ellipsoid bisa mencapai hingga 1-2
cm. Untuk mendapatkan ketinggian ortometrik yang sangat akurat di Indonesia,
diperlukan model geoid Indonesia yang tepat.

Upaya untuk menentukan model geoid lokal Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1980-
an, menggunakan pengukuran gravitasi terestrial di sepanjang Vertical Benchmark points
(Tanda Tinggi Geodesi, TTG). Pengukuran gravitasi terestrial dilakukan hingga tahun
2000-an. Setelah dua dekade pengukuran terestrial, hanya 5871 titik pengukuran gravitasi
yang diperoleh (BIG, 2012). Jumlah ini terlalu sedikit untuk menentukan model geoid
Indonesia. Ukuran kepulauan Indonesia dengan berbagai medan menyebabkan
pengukuran gravitasi terestrial menjadi tidak efektif dan tidak efisien untuk dilaksanakan.

Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 2008 pengukuran gravitasi mulai dilakukan
menggunakan teknologi Gravity Airborne, kerja kolaboratif antara DTU (Technical
University of Denmark) dan BIG (Sebelumnya, Bakosurtanal). Penerapan metode udara
memungkinkan penyelesaian lebih cepat dari data gravitasi yang diperlukan untuk model
National Geoid. Resolusi anomali gayaberat seperti yang diperoleh dari survei gravitasi
udara berkontribusi pada data panjang gelombang panjang gelombang yang diperlukan
untuk perhitungan Geoid dengan teknik penghitungan kembali penghilangan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model geoid gravimetri di Pulau Sulawesi
menggunakan data dari survei gravitasi udara dan data pendukung lainnya. Hasil Geoid
divalidasi menggunakan geoid geometrik dari pengukuran GNSS pada tolok ukur vertikal.
Itu kemudian dibandingkan dengan EGM08 gravimetric geoid.

2. SISTEM TINGGI DI INDONESIA


2.1 Spirit Leveling
Indonesia telah melakukan leveling semangat di TTG sejak tahun 1980-an di hampir setiap
pulau di Indonesia, termasuk Pulau Sulawesi. Pengukuran leveling spirit terkait dengan
Mean Sea Level (MSL) dari masing-masing pulau. Gambar 2 menunjukkan distribusi TTG
di Indonesia, yang membentuk jaringan kontrol vertikal nasional (Jaring Kontrol Vertikal
Nasional, JKVN). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa JKVN di Pulau Sulawesi
terletak di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Tenggara. JKVN di Sulawesi Utara terikat dengan MSL di stasiun air pasang Bitung,
JKVN di Sulawesi Tengah terikat dengan MSL di stasiun pasang surut Palopo, Mamuju,
dan Makassar, sementara JKVN di Sulawesi Tenggara terikat pada MSL di stasiun pasang
surut Kendari.

Dengan menggunakan beberapa stasiun pasang surut sebagai titik dasi atau titik referensi,
ketinggian ortometrik di TTG tidak kontinu karena MSL memiliki karakteristik lokal dan
sangat tergantung pada batimetri lokal, meteorologi, dan oseanografi. MSL dapat
digunakan sebagai referensi ketinggian jika tidak ada gangguan. Namun, kondisi ini tidak
pernah terpenuhi. MSL selalu dinamis dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi dan
oseanografi. Karena itu, pada 2013, Indonesia mengubah referensi ketinggiannya dari
MSL ke geoid.

2. SISTEM TINGGI DI INDONESIA


2.1 Spirit Leveling
Indonesia telah melakukan leveling semangat di TTG sejak tahun 1980-an di hampir setiap
pulau di Indonesia, termasuk Pulau Sulawesi. Pengukuran leveling spirit terkait dengan
Mean Sea Level (MSL) dari masing-masing pulau. Gambar 2 menunjukkan distribusi TTG
di Indonesia, yang membentuk jaringan kontrol vertikal nasional (Jaring Kontrol Vertikal
Nasional, JKVN). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa JKVN di Pulau Sulawesi
terletak di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Tenggara. JKVN di Sulawesi Utara terikat dengan MSL di stasiun air pasang Bitung,
JKVN di Sulawesi Tengah terikat dengan MSL di stasiun pasang surut Palopo, Mamuju,
dan Makassar, sementara JKVN di Sulawesi Tenggara terikat pada MSL di stasiun pasang
surut Kendari.

Dengan menggunakan beberapa stasiun pasang surut sebagai titik dasi atau titik referensi,
ketinggian ortometrik di TTG tidak kontinu karena MSL memiliki karakteristik lokal dan
sangat tergantung pada batimetri lokal, meteorologi, dan oseanografi. MSL dapat
digunakan sebagai referensi ketinggian jika tidak ada gangguan. Namun, kondisi ini tidak
pernah terpenuhi. MSL selalu dinamis dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi dan
oseanografi. Karena itu, pada 2013, Indonesia mengubah referensi ketinggiannya dari
MSL ke geoid.
2.2 Survei Gravitasi Udara
Untuk memodelkan geoid di Indonesia, diperlukan data gravitasi yang padat di area
tersebut. Salah satu cara untuk mendapatkan data tersebut di Indonesia dalam waktu
singkat adalah dengan menggunakan teknologi gravitasi udara. Indonesia melakukan
pengukuran gravitasi udara antara 2008 dan 2010 di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua
dengan total waktu pengukuran sekitar 750 jam terbang. Peralatan yang digunakan dalam
pengukuran adalah S-99 LaCoste-Romberg airborne / marine gravimeter yang dipasang
pada pesawat Cessna Caravan dengan resolusi 0.01 mgal dan akurasi di lautan 1 mgal,
penerima GPS geodetik frekuensi ganda, dan gravimeter tanah G-956.
Gambar 3 menunjukkan jalur penerbangan udara di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua,
dengan jarak antara setiap jalur penerbangan 10 mil laut. Kecepatan rata-rata pesawat
adalah 150 mil laut / jam, atau 77 m / s. Peralatan gravimeter udara mengukur gravitasi
setiap detik, yang berarti peralatan melakukan pengukuran setiap 77 m di setiap jalur
penerbangan.

3. METODE KOMPUTASI GRAVIMETRIC GEOID MODEL


3.1 Gravimetric Geoid
Penentuan geoid gravimetri dapat dilakukan menggunakan data gravitasi, baik absolut
maupun relatif. Metode absolut dilakukan dengan menentukan nilai potensial gravitasi
pada setiap titik di bumi, sedangkan metode relatif dilakukan dengan menentukan
penyimpangan ketinggian dan arah geoid dari referensi ellipsoid. Metode mutlak
membutuhkan solusi dari masalah Nilai Batas Geodetik yang kompleks. Oleh karena itu,
metode relatif lebih banyak digunakan. Penentuan geoid relatif ditunjukkan pada Gambar
4. Satu titik sembarang A pada geoid diproyeksikan ke titik B pada ellipsoid referensi.
Jarak AB adalah undulasi atau ketinggian geoid (N), sedangkan sudut antara garis geoid
normal (n) dan ellipsoid normal (n ') disebut defleksi vertikal (ε).
Penentuan geoid menggunakan anomali gayaberat ditentukan oleh rumus Stokes, sebagai
berikut:

Rumus Stokes membutuhkan data gravitasi terdistribusi dengan baik dan mencakup
seluruh bumi untuk model model geoid yang akurat. Pada kenyataannya, sulit untuk
menyediakan data semacam itu. Untuk mengatasi masalah ini, geoid didefinisikan dengan
membagi sinyal geoid menjadi tiga komponen (Gambar 5), yaitu (1) komponen panjang
gelombang panjang, yang berisi informasi global yang dapat berasal dari gravimetri satelit,
(2) panjang gelombang medium yang terdiri dari informasi regional, yang datanya
diperoleh dari data gravitasi terestrial, dan (3) panjang gelombang pendek yang terdiri dari
informasi lokal yang dapat diturunkan dari model topografi.
Langkah-langkah perhitungan model geoid menggunakan metode remove-restore
ditampilkan sebagai berikut:
1. Hapus langkah: data gravitasi dikurangi dengan nilai anomali gravitasi global dan
koreksi permukaan untuk mendapatkan residu anomali gayaberat.
2. Komputasi residu geoid dari residu anomali gravitasi dapat dilakukan menggunakan
beberapa metode. Penelitian ini menggunakan Fast Fourier Transform (FFT).
3. Kembalikan langkah: residu geoid seperti yang diperoleh dari langkah (2) ditambahkan
dengan global nilai model geoid dan efek tidak langsung untuk mendapatkan nilai
undulasi geoid.
Langkah-langkah penghapusan-penghapusan ditampilkan dalam persamaan (2) dan (3):

3.2 Geometris Geoid


Untuk menentukan geoid geoid, undulasi geoid (N) diperoleh dari perbedaan ketinggian
antara ellipsoid atau tinggi geometrik (h) dan tinggi ortometrik (H). Geologi undulasi
geometrik dapat dihitung jika ketinggian geometrik dan orthometrik pada titik tertentu
diketahui. Geologi undulasi geometrik dapat dihitung dengan menggunakan dua metode,
yaitu metode absolut dan relatif. Metode mutlak dilakukan dengan menentukan undulasi
pada satu titik menggunakan persamaan (6). Sedangkan metode relatif dilakukan dengan
menghitung perbedaan undulations pada dua titik (ΔN) seperti yang ditunjukkan dalam
persamaan (7) dan (8) (Basciftci et al., 2006), dan diilustrasikan pada Gambar 6.

Dalam penelitian ini, geoid geometrik digunakan sebagai validator geoid gravimetri.
3.3 Metodologi Perhitungan Data
3.3.1 Studi Kasus
Studi kasus dari penelitian ini adalah Pulau Sulawesi yang terletak pada -6,5 ° S hingga 4,5
° U dan 118 ° hingga 126 ° E. Daerah ini dipilih karena data panjang gelombang pendek
yang diperoleh dari survei gravitasi udara dan TTG adalah lebih merata bahwa dua pulau
lainnya (lihat Gambar 2). Daerah studi kasus dapat dilihat pada Gambar 7.

3.3.2 Data dan Alat


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Geopotential Model (GGM), yaitu
EGM2008, yang dikombinasikan dengan data GOCE sebagai komponen panjang
gelombang panjang, dan anomali udara bebas dari gravimetri udara di Pulau Sulawesi
sebagai komponen panjang gelombang pendek. Data medan dikoreksi menggunakan
SRTM30, yang dapat diunduh dari http://topex.ucsd.edu/WWW_html/srtm30_plus.html/.
SRTM digunakan sebagai komponen panjang gelombang pendek. Data-data tersebut
kemudian diproses dalam Perangkat Lunak Paket Gravsoft (Tscherning, 2014; Srinivas et
al., 2012).

3.3.3 Pemodelan Geoid


Penentuan model geoid gravimetri dilakukan dengan menggunakan remove-restore. Ini
terdiri dari dua langkah komputasi, yaitu: memproses data gravitasi dan pemodelan geoid.
Langkah pertama adalah pengolahan data mentah dari survei gravitasi udara (gravitasi dan
data posisi) untuk mendapatkan anomali udara bebas. Pemodelan geoid dihitung dari
anomali udara bebas yang dikombinasikan dengan data lain, yaitu Model Geopotensial
Global dan SRTM. Penelitian ini hanya terdiri dari pemodelan geoid. Skema penelitian
dapat dilihat pada Gambar 8.

Berdasarkan skema pada Gambar 8, langkah pemrosesan data menggunakan metode


remove-restore. Hapus langkah: di langkah ini, data pengukuran gayaberat dikurangi
dengan gravitasi global anomali dan koreksi permukaan, menghasilkan residu anomali
gravitasi. Rumus yang digunakan dalam langkah ini adalah sebagai berikut:

Δgres = ΔgFAA - ΔgGGM - ΔgTerrain


1. Ekstrak model geoid global untuk menghasilkan komponen gravitasi longwave anomali
(∆gGGM).
2. Ekstrak data SRTM untuk menghasilkan komponen gravitasi panjang gelombang
pendek anomali (∆gTerrain).
3. Kurangi anomali gayaberat dari pengukuran dengan panjang gelombang dan pendek
panjang gelombang medium.
4. Hasilnya adalah residual anomali gravitasi (∆gres).
5. Terapkan pendekatan FFT ke residual anomali gayaberat untuk mendapatkan geoid
residual (∆Nres).

Kembalikan langkah: dalam langkah ini, residu Geoid dijumlahkan dengan undulasi geoid
global dan tidak langsung efek, menghasilkan tinggi geoid (Undulasi). Persamaannya
adalah:
Ngeoid = ∆Rekan + ∆NGGM + ∆Nterrain

1. Global geoid undulasi dari ekstraksi model geoid global (∆NGGM).


2. Efek tidak langsung dari ekstraksi data SRTM, menghasilkan geoid terrain (∆Nterrain).
3. Jumlahkan tiga komponen, yaitu residu geoid, undulasi geoid global dan geoid medan
(efek tidak langsung).
4. Menghasilkan total tinggi geoid (Ngeoid).

3.3.4 Validasi Geoid

Tujuan validasi geoid adalah untuk menguji keakuratan model geoid yang dihasilkan. Ini
dilakukan dengan mengurangi nilai total geoid (gravimetric geoid), seperti yang diperoleh dari
langkah sebelumnya, dengan geoid geometrik dari pengukuran leveling GNSS. Perbedaan
antara nilai geoid EGM2008, sebagai pembanding, dan geometri geoid dari pengukuran
leveling GNSS dihitung. Skema untuk validasi geoid gravimetri dapat dilihat pada Gambar
9. Tolak ukur vertikal yang digunakan dalam validasi diukur pada 2010 dan 2013 oleh Badan
Informasi Geospasial. Sebanyak 54 titik digunakan untuk memvalidasi geoid, yang terdiri dari
tolok ukur TTG dan tide station, yang didistribusikan di Sulawesi Selatan, Sulawesi Cental,
dan beberapa di Sulawesi Utara, seperti yang terlihat pada Gambar 10.
4. HASIL DAN ANALISIS

Residu anomali gravitasi, dalam hal ini residu Free Air Anomaly (FAA), dapat dilihat pada
Gambar 11.
Gambar 11 menunjukkan defisiensi FAA terhadap model global EGM08 hingga -60 mgal
sampai 60 mgal. Ini berarti bahwa sinyal FAA dalam rentang tersebut tidak dapat dideteksi jika
hanya menggunakan model global. Oleh karena itu, model global tidak mampu mendeteksi
variasi kecil di geoid seperti yang terlihat pada Gambar 12, di mana defisiensi geoid terhadap
model global EGM08 oleh - 1 meter hingga 1 meter di Sulawesi.

Gambar 13 menunjukkan model geoid gravimetri Sulawesi. Pola geoid di Sulawesi adalah
bahwa nilai geoid meningkat dari sothwest ke timur laut, dengan kisaran tinggi geoid antara
45-80 meter.
Untuk menguji akurasi model geoid yang dihasilkan, validasi geoid dilakukan dengan
membandingkan perbedaan antara geoid geometrik dan geoid gravimetri terhadap pengukuran
gravitasi udara dan EGM08. Hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa model geoid dari pengukuran gravitasi udara memiliki kualitas
yang lebih baik dari model EGM08. Ini bisa dilihat dari nilai standar deviasi keduanya model.
Nilai simpangan baku geoid dari hasil gravitasi udara lebih kecil dari EGM08. Keakuratan
model geoid dari pengukuran gravitasi udara adalah 69 cm, sedangkan model geoid EGM08
memiliki akurasi 94 cm.

Keakuratan individu geoid dari pengukuran di Sulawesi dan dapat dilihat pada Tabel 2.
Model geoid dari pengukuran gravitasi udara di Sulawesi Tengah memiliki akurasi yang lebih
baik daripada Sulawesi Utara dan Selatan. Ini bisa dilihat dari variasi perbedaannya antara
geoid geometrik dan geoid gravimetri. Perbedaannya lebih kecil untuk Sulawesi Tengah
daripada Sulawesi Utara dan Selatan, dengan nilai RMS 52 cm. Geoid gravimetri dari
pengukuran gravitasi udara dapat meningkatkan akurasi model geoid global EGM 2008 sebesar
22 cm di Sulawesi Selatan, 39 cm di Sulawesi Tengah, dan 11 cm di Sulawesi Utara. Sementara
untuk pulau secara keseluruhan, geoid gravimetri dari pengukuran gravitasi udara dapat
meningkatkan akurasi EGM 2008 sebesar 25 cm.
Berdasarkan Gambar 14, 15, dan 16, model geoid dari pengukuran gravitasi udara memiliki
konsistensi yang lebih baik, seperti dapat dilihat dari perbedaan undulasi. Variasi perbedaan
undulasi antara geoid gravimetri dari pengukuran gravitasi udara dan geometrik geoid di
Sulawesi Selatan berkisar antara 0,397 hingga 1.317 meter, sedangkan perbedaan antara model
geoid EGM2008 dan geometrik geoid adalah sekitar 0,435 hingga 1,454 meter. Hasilnya lebih
baik di Sulawesi Tengah, di mana perbedaan undulasi antara geoid gravimetri dari pengukuran
gravitasi udara dan geometrik geoid adalah sekitar 0,141 hingga 0.744 meter, sedangkan
perbedaan antara model geoid EGM2008 dengan geometric geoid adalah sekitar 0,186 dan
1,784 meter. Di Sulawesi Utara, perbedaan undulasi antara geoid gravimetri dari pengukuran
gravitasi udara dan geometrik geoid adalah sekitar 0,677 hingga 1,573 meter, sedangkan
perbedaan antara model geoid EGM2008 dan geometric geoid adalah sekitar 0.231 hingga
1,580 meter.
KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model geoid gravimetri Pulau Sulawesi
berdasarkan survei gravitasi udara. Model remove-restore digunakan untuk menentukan model
geoid gravimetri. Standar deviasi dari model yang dihasilkan dari data gravitasi udara lebih
baik daripada model geoid global (EGM2008). Oleh karena itu, pemanfaatan gravitasi udara
untuk penentuan model geoid gravimetri di Indonesia sangat menguntungkan, karena survei
ini memungkinkan penentuan model geoid Indonesia yang lebih cepat dengan akurasi yang
tinggi, meningkatkan ketepatan model geoid global, yaitu EGM2008, sebesar 25 cm di Pulau
Sulawesi.

Вам также может понравиться