Вы находитесь на странице: 1из 40

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS SALURAN PERNAFASAN

PNEUMOTHORAKS
DOSEN PEMBIMBING :WIWIEK RETTI A, M.Kep

NAMA KELOMPOK4 :
DEWI FITRIANI (201601013)
DIAN UMMY FRASTIKA (201601016)
DIKI IRVANDA N. A. (201601017)
DISA WALIYATUL F. (201601020)
ENDAH APRILIANI (201601021)
EVA ARISMAWATI (201601022)
HELMI RIA ASTUTI (201601027)
MAHMUD ALWI (201601035)
MELYNA SEPTIYANI (201601041)
MOCH. REVIANSYAH YS. (201601042)
NOVIAN ADY SAPUTRA (201601047)
WIDIA AZMI ULIN NUHA (201601061)
KELAS II A

AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO
PROGRAM DIPLOMA III KEPERAWATAN
JL.CiptomangunkusumoNo.82 A Ponorogo
Tahun Ajaran 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “PNEUMOTHORAKS “.Makalah ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas individu mata kuliah Keperawatan Kritis.
Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada :
1. Dosen mata kuliah Keperawatan kritis yakni Ibu wiwiek retri A, S.Kep.
M.Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan
bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara
moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.
3. Teman-teman mahasiswa tingkat 2A Program Studi DIII Keperawatan
Pemerintah Kabupaten Ponorogo angkatan 2016/2017 yang selalu
memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi
tersusunnya makalah ini.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki
banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik
penulisannya.Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini.Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Ponorogo, Januari 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................8
1.1 Latar belakang..........................................................................................................8
1.2 Rumusan masalah.....................................................................................................8
1.3 Tujuan makalah........................................................................................................9
1.4 Manfaat....................................................................................................................9
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................10
2.1 Definisi...................................................................................................................10
2.2 Etiologi...................................................................................................................11
2.3 Epidermologi..........................................................................................................11
2.4 Komplikasi Pneumothoraks....................................................................................12
2.5 Patofisiologi...........................................................................................................13
2.6 Manifestasi Klinis..................................................................................................16
2.7 Pemeriksaan penunjang..........................................................................................18
2.8 Penatalaksanaan.....................................................................................................14
2.8.1 Farmakologi....................................................................................................14
2.8.2 Non Farmakologis...........................................................................................19
2.9 Konsep dasar asuhan keperawatan.........................................................................21
BAB III PENUTUP........................................................................................................29
3.1 Kesimpulan............................................................................................................29
3.2 Saran......................................................................................................................29
Bibliography....................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................30

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon


dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam
rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi
pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga.Jadi pada keadaan normal
rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang
ringan.Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan
menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat
mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas.
Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun
traumatik.Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder.Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik.Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui.Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa
yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan
perbandingan 5 : 1.Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak
dikerjakan pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai video (VATS =
video assisted thoracoscopy surgery), ternyata memberikan banyak keuntungan
pada pasien-pasien yang mengalami pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi
lama rawat inap di rumah sakit.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pneumothoraks?


2. Apa penyebab pneumthoraks?
3. Berapa angka kejadian pneumothoraks?

1
4. Apa saja komplikasi dari pneuumothoraks?
5. Bagaimana patofisiologi dari pneumothoraks?
6. Apa saja manifestasi klinis pneumothoraks?
7. Tindakan pemeriksaan apa saja untuk mengetahui pneumothoraks?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien pneumothoraks?
9. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pneumothoraks?
1.3 Tujuan makalah

1. Menjelaskan mengenai definisi pneumothoraks


2. Menjelaskan penyebab dari pneumothoraks
3. Menjelaskan mengenai angka kejadian pneumothoraks
4. Menjelaskan komplikasi pneumothoraks
5. Menjelaskan mengenai patofisiologi pneumothoraks
6. Mengetahui manifestasi klinis pneumothoraks
7. Menjelaskan pemeriksaan untuk mengetahui pneumothoraks
8. Menjelaskan penatalksanaan pada pasien pneumothoraks
9. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pneumothoraks

1.4 Manfaat

1. Praktis
Menambah wacana dan informasi kepada pembaca tentang penyakit
pneumothoraks pada kepearawatan kritis.
2. Teoritis
Dapat mengetahui pencegahan dan penyembuhan dalam penyakit
pneumothoraks pada pasien di keperawatan kritis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Pneumothorak merupakan suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara


ekstra pulmonal dalam rongga pleura, antara pleura visceral dan parenteral, yang
dapat menyebabkan timbulnya kolaps paru.[ CITATION Nur151 \l 1057 ].Pada
keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada.[ CITATION Rah08 \l 1057 ]
Pneumothoraks merupakan kelainan paru restriktif akibat masuknya udara
kedalam rongga pleura yang ditandai dengan adanya kolaps paru, atelectasis,
mengembangnya dinding dada serta adanya tekanan pada pembuluh darah vena
besar dan menurunnya aliran pembuluh darah balik jantung.[ CITATION Bar13 \l
1057 ]
Pneumothoraks adalah pengumpulan udara dalam ruang potensial antara
pleural visceral dan parietal.
Pneumothoraks adalah kolapsnya sebagian atau seluruh paru yang terjadi
sewaktu udara atau gas lain masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru.
[ CITATION Cor09 \l 1057 ]
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pneumothoraks adalah
pengumpulan udara didalam rongga pleura yang mengakibatkan gagal napas yang
dapat terjadi secara spontan atau karena trauma.
Pneumothoraks didefinisikan sebagai kehadiran udara antara rongga
pleura parietalis dan mendalam.Ketegangan pneumothoraks merupakan akumulasi
dari udara dibawah tekanan dalam ruang pleura.Kondisi ini berkembang ketika
jaringan terluka bentuk satu arah katup, memungkinkan udara untuk masuk
kedalam ruang pleura dan mencegah udara dari melakiran diri secara
alami.Kondisi ini dengan cepat berkembang ke insufisiensi pernapasan, runtuhnya
kardiovaskuler dan akhirnya kematian jika tidak dikenal dan tidak diobati.Pasien
memerlukan diagnosis mendesak dan managemen segera.

3
Perbedaan pneumothoraks dengan hemathoraks, hemotoraks adalah
pengumpulan darah dalam ruang potensial antara pleura visceral dan
parietal.Etiologi Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada
dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada dinding dada bagian
dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan mengaikibatkan darah
mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan penekanan pada paru.

2.2 Etiologi

Etiologi menurut Amin huda nurarif & Hardhi kusuma, 2015 antara lain :
1. Infeksi saluran nafas
2. Adanya repture ‘bleb’ pleura
3. Traumatic misalnya pada luka tusuk
4. Acute lung injery yang disebabkan materi fisik yang terinhalasi dan
bahan kimia
5. Penyakit inflamasi akut dan kronis (penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK)) , TB paru, vibrosis paru, abses paru, kanker dan tumor
metastase ke pleura.
Menurut Taqiyyah Bararah & Mohammad Jauhar, 2013 udara dapat masuk
ke dalam rongga pleura melalui tiga cara yaitu :
1. Adanya perforasi yang berasal dari paru-paru dan menembus pleura
viseralis.
2. Berasal dari udara luar yang masuk melewati perforasi pada dinding
dada dan pleura parietal (kadang dari fistula esophagus atau perforasi
abdomen).
3. Dari gas yang dibentuk oleh mikroorganisme pada kasus empyema
pleura (tetapi jarang).
Berdasarkan cara udara masuk ke rongga pleura, pneumothoraks
diklasifikasikan menjadi pneumothoraks tertutup dan pneumothoraks terbuka
(Taqiyyah Bararah & Mohammad Jauhar, 2013:218). Pada pneumothoraks
tertutup, udara di dalam rongga pleura tidak berhubungan langsung dengan udara
luar.Sedangkan pada pneumothoraks terbuka menunjukan adanya kontak antara
udara didalam rongga pleura dengan udara luar dan udara bisa keluar masuk

4
dengan bebas [ CITATION Bar13 \l 1057 ]Pada pneumothoraks dimana tekanan
intrapleural melebihi tekanan intra-alveolar, hal ini dinamakan tension
pneumothoraks [ CITATION Bar13 \l 1057 ]
Beberapa penyebab terjadinya pneumothoraks antara lain : traumatic
pneumothoraks, spontaneous pneumothoraks dan iatrogenic pneumothoraks
(Taqiyyah Bararah & Mohammad Jauhar, 2013:218).

Menurut Amin huda nurarif & Hardhi kusuma, 2015 pneumothorax dapat
diklasifikasikan menjadi spontan dan traumatic :
1. Traumatic pneumothoraks
Traumatic pneumothoraks biasanya disebabkan oleh luka tusuk
atau luka tembus dada oleh benda tajam seperti pisau atau
peluru(Taqiyyah Bararah & Mohammad Jauhar, 2013:219). Jika tipe
trauma ini terjadi maka rongga pleura akan kontak langsung dengan
udara luar, dan udara bisa bergerak keluar dan masuk ke dalam rongga
pleura, keadaan ini disebut sebagai pneumothoraks terbuka (Taqiyyah
Bararah & Mohammad Jauhar, 2013:219). Pada keadaan normal saat
udara masuk kedalam rongga pleura maka paru akan kolaps sampai
pada batas tertentu. Sedangkan pada pneumothoraks terbuka kolaps
massif akan terjadi sampai tekanan dalam rongga pleura sama engan
tekanan udara luar, pada keadaan ini mediastinum akan terdorong kea
rah terjadinya paru kolaps. [ CITATION Bar13 \l 1057 ]
Apabila setelah trauma pada dada tidak terjadi luka yang dapat
menyebabkan terjadinya kontak antara rongga pleura dengan udara luar
(seperti pada trauma tumpul), tetapi patahan fraktur iga yang tajam
merobek pleura viseralis. Hal ini menyebabkan udara dari dalam paru
masuk ke rongga pleura, dan pneumothoraks yang ditimbulkan disebut
pneumotoraks tertutup (Amin huda nurarif & Hardhi kusuma,
2015:219). Jika hubungan udara yang terjadi antara didalam rongga
pleura dengan udara luar hanya pada saat inspirasi saja dan saat
ekspirasi hubungan tersebut tertutup kembali (efek katup searah), maka
hal ini dinamakan pneumothoraks tekanan/tension pneumothoraks
(Amin huda nurarif & Hardhi kusuma, 2015:219).

5
Menurut Amin huda nurarif & Hardhi kusuma, 2015 traumatik
pneumothoraks dapat dibagi menjadi :
a. Pneumothorak iatroganik
Pneumothoraks iatroganik merupakan suatu bahaya yang
selalu terjadi selama proses tekanan positif pada ventilasi
mekanis dan terutama pada saat penggunaan volume tidal yang
tingi atau tekanan tinggi. [ CITATION Nur151 \l 1057 ]
Terjadi karena akibat komplikasi tindakan medis dan jenis ini
dibedakan menjadi 2 yaitu :
 Pneumothorak traumatic iatroganik aksidental
Terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi
tindakan tersebut, misal pada tindakan parasentesis dada,
biopsy pleuraa, biopsy transbronkial, biopsy/aspirasi paru
perkutaneus.[ CITATION Nur151 \l 1057 ]
 Pneumothorak traumatic iatroganik artificial (deliberate)
Merupakan pneumothorak yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisi udara kedalam rongga pleura melalui jarum dengan
suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberculosis
(sebelum era antibiotic), atau untuk menilai permukaan paru.
[ CITATION Nur151 \l 1057 ]
b. Pneumothorak non-iatrogenik (accidental)
2. Pneumothorak spontan
Pneumothoraks spontan dapat dibagi menjadi primer (tanpa adanya
penyakit yang mendasarinya) ataupun sekunder (komplikasi dari
penyakit paru akut atau kronik). (Amin huda nurarif & Hardhi kusuma,
2015).

6
Pneumothoraks jenis ini merupakan pneumothoraks yang terjadi
dengan tiba-tiba tanpa ada kelainan pada paru yang mendasarinya,
namun demikian ada beberapa penyakit paru yang secara sekunder
(bukan penyebab langsung) dapat mengakibatkan terjadinya
pneumothoraks spontan yaitu emfisema yang disertai pecahnya
bula/elembung pada permukaan paru, pneumonia, tuberculosis, PPOM
dan tumor pada paru [ CITATION Nur151 \l 1057 ]
Pneumothoraks spontan kemungkinan juga bisa sebagai
pneumothoraks melewati robekan pleura viseralis pada saat
terjadiinspirasi , tetapi tidak dapat keluar dari rongga pleura saat
ekspirasi dikarenakan robekan pada pleura viseralis berfungsi sebagai
efek katup searah (check valve) (Amin huda nurarif & Hardhi kusuma,
2015:220). Keadaan ini memungkinkan terjadinya peningkatan tekanan
intrapleural melebihi tekanan intra-alveolar dan bentuk pneumothoraks
ini bisa digolongkan sebagai pneumothoraks tertutup dan tension
pneumothoraks (Amin huda nurarif & Hardhi kusuma, 2015:220).
3. Tension pneumothoraks
Pada tension pneumothoaks ini udara yang sudah masuk kedalam
rongga pleura tidak dapat dikeluarkan lagi sehingga terjadi timbunan
udara pada rongga pleura. Timbunan udara ini menyebabkan tekanan
dalam rongga pleura meningkat melebihi tekanan atmosfir sehingga

7
mengakibatkan paru-paru kolaps total (Amin huda nurarif & Hardhi
kusuma, 2015:220).
Tension pneumothoraks merupakan jenis pneumothoraks paling
berbahaya sehingga diperlukan tindakan kedaruratan untuk mengatasi
dengan melakukan aspirasi udara dari dalam rongga pleura (Amin huda
nurarif & Hardhi kusuma, 2015:220).

Tension pneumothoraks terjadi bila udara masuk kedalam rongga


pleura tetapi tidak dapat kembali ke alveolus tempat asalnya ataupun
kedunia luar. Volume udara yang terakumulasi akan meningkat karena
volumenya meningkat, maka terdapat peningkatan tekanan atas paru
(Diane C.Baughman, JoAnn C. Hackley , 2000). Bila seluruh rongga
pleura pada satu sisi terisi udara, akan terjadi pergeseran mediastinum
ke sisi yang tidak terkena. Ia menimbulkan penurunan volume paru sisi
yang tidak terkena, yang lebih mengurangi gerakan udara dan
pertukaran gas serta menambah tingkat hipoksia, dan menekuk vena
kava, mengurangi aliran balik vena sentral. Karena curah jantung dan
penyerapan oksigen menurun, maka tension pneumothoraks cepat fatal
bila tidak terdiagnosis.

8
 Penghitungan Luas Pneumotoraks

Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam


penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada
beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru,
antara lain :

1) Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks,


dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai
volume kubus (Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah
10cm dan diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolapsadalah
8cm, maka rasio diameter kubus adalah :
83 = 512= ± 50 %
1031000

2) Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,


ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis
horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleurapada
garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh

% luas pneumotoraks

= _A+B+C(cm ) x10
3

9
11

3) Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps
dengan luas hemitoraks.

(L) hemitorak – (L)


kolaps paru

(AxB) - (axb)x 100 %

AxB

2.3 Epidermologi

Secara epidemiologi, insiden pneumotoraks bervariasi di setiap negara,


seperti Inggris, insiden pneumotoraks spontan primer adalah 24/100.000 pria per
tahunnya dan 6/100.000 wanita per tahunnya. Angka kejadian ini lebih sering
terjadi pada usia ≥ 20 tahun, dan pneumotoraks spontan primer jarang terjadi pada
usia ≥ 40 tahun. Sedangkan, pneumotoraks spontan sekunder tipikal terjadi antara
umur 60 – 65 tahun. Meskipun, angka mortalitas penyakit ini 0,99% (227 :
22749), pneumotoraks merupakan penyakit yang mengancam jiwa.[ CITATION
Kus13 \l 1057 ]/
Insiden pneumotoraks pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan
(5:1).6 Kasus PSP di Amerika 7,4/100.000 per tahun untuk laki-laki dan
1,2/100.000 per tahun untuk perempuan sedangkan insiden PSS dilaporkan
6,3/100.000 untuk laki-laki dan 2/100.000 untuk perempuan.7 PSS yang paling
sering terjadi yaitu pada PPOK sedangkan penelitian oleh Myers melaporkan
bahwa tuberkulosis selalu menunjukkan terjadinya pneumotoraks.8 Penelitian
Weissberg9 terhadap 1.199 pasien pneumotoraks mengenai insiden beberapa jenis

11
12

pneumotoraks mendapatkan 218 pasien PSP, 505 PSS, 403 pneumotoraks


traumatik, dan 73 pneumotoraks iatrogenik. Untuk letak lesi pneumotoraks, lesi
kanan lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi kiri10 sedangkan pada penelitian
Sadikot11 didapatkan letak lesi kiri lebih banyak ditemukan. [ CITATION
Mas16 \l 1057 ]

2.4 Komplikasi Pneumothoraks

1. Tension Pneumothoraks atau Pneumothoraks Ventiel : komplikasi ini


terjadi karena tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis
lebih hebat, mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi aliran darah vena
ke atrium kanan. Pada foto sinar tembus dada terlihat mediastinum terdorong
kearah kontralateral dan diafragma tertekan kebawah sehingga menimbulkan rasa
sakit.(3). Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu
yang harus segera ditangani kalau tidak akan berakibat fatal(2).

2. Pio-pneumothoraks : terdapatnya pneumothoraks disertai empiema


secara bersamaan pada satu sisi paru. Infeksinya berasal dari mikro-organisme
yang membentuk gas atau dari robekan septik jaringan paru atau esofagus kearah
rongga pleura.

3. Hidro-pneumothoraks/hemo-pneumothoraks: pada kurang lebih 25%


penderita pneumothoraks ditemukan juga sedikit cairan dalam pleuranya. Cairan
ini biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah).
Hidrothorak dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumothoraks pada
kasus-kasus trauma/perdarahan intrapleura atau perfosari esofagus (cairan
lambung masuk kedalam rongga pleura).

4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan : Pneumomediastinum


dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto dada. Insidennya adalah 15 dari
seluruh pneumothoraks. Kelainan ini dimulai robeknya alveoli kedalam jaringan
interstitium paru dan kemungkinan diikuti oleh pergerakan udara yang progresif
ke arah mediastinum (menimbulkan pneumomediastinum) dan kearah lapisan
fasia otot-otot leher (menimbulkan emfisema subkutan).

12
13

5. Pneumothoraks simultan bilateral: Pneumothoraks yang terjadi pada


kedua paru secara serentak ini terdapat pada 2% dari seluruh pneumothoraks.
Keadaan ini timbul sebagai lanjutan pneumomediastinum yang secara sekunder
berasal dari emfisem jaringan enterstitiel paru. Sebab lain bisa juga dari emfisem
mediastinum yang berasal dari perforasi esofagus.

6. Pneumothoraks kronik: Menetap selama lebih dari 3 bulan. Terjadi bila


fistula bronko-pleura tetap membuka. Insidensi pneumothoraks kronik dengan
fistula bronkopleura ini adalah 5 % dari seluruh pneumothoraks. Faktor penyebab
antara lain adanya perlengketan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap
terbuka, adanya fistula bronkopelura yang melalui bulla atau kista, adanya fistula
bronko-pleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul reumatoid atau
tuberkuloma. [ CITATION Als09 \l 1057 ]

2.5 Patofisiologi

Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,


iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan
primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ
paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi
diagnostik ataupun terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru
yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula

13
14

subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan


tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus
pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok
yang mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian
dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan
bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan
perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah
teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh
rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini
menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-
antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses
inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran
udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura
parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks. [ CITATION
Cow09 \l 1057 ]
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi
oleh udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai
tercapainya keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut
ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya
pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat
berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam
patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus
pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti:
sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru
yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan
tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.
Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke

14
15

rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya


pneumotoraks spontan sekunder adalah:
 Penyakit saluran napas
o PPOK
o Kistik fibrosis
o Asma bronchial
 Penyakit infeksi paru
o Pneumocystic carinii pneumonia
o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram
negatif atau staphylokokus)
 Penyakit paru interstitial
o Sarkoidosis
o Fibrosis paru idiopatik
o Granulomatosis sel langerhans
o Limfangioleimiomatous
o Sklerosis tuberus
 Penyakit jaringan penyambung
o Artritis rheumatoid
o Spondilitis ankilosing
o Polimiositis dan dermatomiosis
o Sleroderma
o Sindrom Marfan
o Sindrom Ethers-Danlos
 Kanker
o Sarkoma
o Kanker paru
 Endometriosis toraksis
Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun
non-penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat
menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes
karena tidak ada lagi tarikan ke luar dnding dada. Pengembangan dinding dada

15
16

pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik atau
bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang normalnya
negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagian
yang mengalami pneumotoraks.
Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau
bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik
(transthoracic needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi
mekanik tekanan positif (positive pressure mechanical ventilation). Angka
kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak
berpengalaman.
Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada
parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah. Katup ini
mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya
aliran balik dari udara tersebut. Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan
intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi
mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik.
Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga
pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah
kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya
hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang,
sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang
kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah
jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika
tidak ditangani secara tepat. [ CITATION Sar11 \l 1057 ]

2.6 Manifestasi Klinis

Pada pneumothoraks akan terjadi gangguan hambatan fungsi


pengembangan paru dan berat ringannya tergantung pada ukuran dan
perkembangan penyakit penyebabnya, seperti penyakit pneumothoraks yang masif
akan sangat cepat menyebabkan dekompresi pada paru disertai syok (Amin huda
nurarif & Hardhi kusuma, 2015:221).

16
17

Menurut Amin huda nurarif & Hardhi kusuma, 2015 manifestasi klinisnya
antara lain :
1) Pasien mengeluh awitan mendadak nyeri dada pluritik akut yang
terlokalisasi pada paru yang sakit
2) Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak nafas, peningkatan kerja
pernapasan, dan dyspnea
3) Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak
mengembang seperti sisi yang sehat.
4) Suara nafas jauh atau tidak ada
5) Perkusi dada menghasilkan suara hiperresonan. Perkusi hipersonor diatas
pneumothoraks dan meredup diatas paru yang mengalami kolaps.
[ CITATION Nur151 \l 1057 ]
6) Fremitus vocal dan raba berkurang [ CITATION Nur151 \l 1057 ]
7) Takikardia sering terjadi menyertai tipe pneumothoraks
8) Tension pneumothoraks
o Hipoksemia (tanda awal)
o Ketakutan
o Gawat nafas (takipnea berat)
o Peningkatan tekanan jalan nafas puncak dan rerata, penurunan
komplian, dan auto tekanan ekspirasi akhir positif (auto-PEEP) pada
pasien yang terpasang ventilasi mekanis
o Kolaps kardiovaskular (frekuensi jantung >140 kali/menit pada setiap
hal berikut : sianosis perifer, hipotensi, aktivitas lintrik tanpa denyut
nadi). [ CITATION Mor12 \l 1057 ]
Gejala biasanya bermula pada saat istirahat dan berakhir dalam 24 jam,
meskipun pneumothoraks tetap ada.Jika ukuran pneumothoraks kurang dari 15
persen pada salah satu sisi dada, maka biasanya keluhan fisik lebih ringan.Tetapi
jika pneumothoraks luas, maka biasanya terjadi penurunan suara pernafasan,
penuruna premitus, dan berkurangnya pergerakan dada.Jika terjadi takikardi berat,
hipotensi, pergeseran mediastinum atau trakea, dan resonansi yang tinggi, maka
perlu dicurigai adanya tension pneumothoraks. Pnuemothoraks yang diserati
dengan munculnya penyakit yang mendasari seperti penyakit paru obstruksi

17
18

menahun (asma, bronchitis kronis, atau emfisema), dapat menyebabkan terjadinya


kegagalan nafas yang mengancam jiwa pasien [ CITATION Nur151 \l 1057 ]

2.7 Pemeriksaan penunjang

1) Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain[CITATION DEW11 \l 1033 ]:
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi
berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan
ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke
arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

18
19

d) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi


keadaan sebagai berikut :
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam
pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal
ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah
mendekathilus, sehingga udara yang dihasilkan akan
terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakankelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah
yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher
terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh
udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup
banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut,
bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka
akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas
diafragma

19
20

Saturasi oksigen harus diukur, biasanya normal kecuali pada penyakit


paru
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran
hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan
antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

4. BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien


5. Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan
invasive, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4
derajat yaitu:

Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang


mendekati normal (40%)
Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan disertai
hemotorak (12%)
Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau
bulla< 2cm (31%)

20
21

Derajat IV : pneumotoraks dengan banyak bulla yang


besar, diameter> 2cm (17%). (Aru W, 2009)

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Farmakologi
1. Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks

Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan


stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan
cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat
kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC
(airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw
thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head
tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab
mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada
pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah
jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan
dilakukan secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan
dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara
nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor. Bila
didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle
thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan
memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila
terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan
kristaloid (Boon, 2008).
2. Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Kebanyakan simple pneumothorax akan membutuhkan pemasangan
intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumotoraks kecil, khususnya yang
hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi
berdasarkan status klinis pasien prosedur yang direncanakan berikutnya.
Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang terdapat multiple injury, pasien

21
22

yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang akan ditransfer
dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension pneumothorax
mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).

3. Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)


Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus
dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh
menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada
open pneumothorax adalah menutup luka dan segera memasang intercostal chest
drain (Brohi, 2004).
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada
tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas
dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang dan
luka ditutup (Brohi, 2004).
4. Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
1. Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada
emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada
Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan
hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.
Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan
cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini
mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).
2. Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension
pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan
pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik
untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan
hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk

22
23

melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),


tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa
terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual
dengan tekanan positif.

5. Tindakan dekompresi

Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks


yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan
udara luar dengan cara:

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,


dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah
menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :

1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada


sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong
pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah

23
24

klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol.

2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari


gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang
tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa
plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara
yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol.

24
25

3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter)


steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau
dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui
celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada
lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula
melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah troakar masuk, maka
toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar
dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga
pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca
yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan
tekanan tersebut. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intra pleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi

tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat
mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan
intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat
dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi
positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada
saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.

25
26

6. Torakoskopi

Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga


toraks dengan alat bantu torakoskop.

7.Torakotomi

Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan


torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau
jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini
efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut.

8. Tindakan bedah yaitu:

a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian


dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit.

b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang


menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.

c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami


robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak d. Pleurodesis. Masing-
masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura
dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

26
27

9. Pengobatan Tambahan

1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan


ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya: terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator.

2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .

3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat


dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema (3).

2.8.2 Non Farmakologis


A. Rehabilitasi

1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengob

atan secara tepat untuk penyakit dasarnya.

2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin


terlalu keras.

3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah


laksan ringan.

4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan


batuk, sesak napas.

.B. Latihan Nafas

Penatalaksanaan kolaps paru atau atelektasis yang terpenting adalah


menegakkan diagnosa dini dan mengupayakan terjadi re-ekspansi dari paru yang
terkena, karena perenkim yang kolaps amat peka terjadi infeksi. Upaya untuk
mengembangkan paru yang mengalami kolaps dapat dilakukan dengan latihan
nafas.

Latihan nafas bertujuan untuk meningkatkan ventilasi dan mencegah


atelektasis . Di Unit Bedah Aster latihan nafas dilakukan dengan modifikasi

27
28

meniup balon. Pengamatan pada 12 pasien yang dilakukan latihan nafas


modifikasi meniup balon menunjukkan gambaran foto thoraks yang mengembang
dengan baik. Meskipun demikian keefektifan latihan nafas modifikasi meniup
balon yang telah menjadi alternatif latihan nafas, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut.

Kolaps paru mengakibatkan hipoventilasi, selanjutnya pasien akan


mengalami hipoksia dengan menunjukkan gejala dyspnea, takipnea, dan sianosis.
Pasien dengan gangguan paru restriktif pada pemeriksaan faal paru menunjukkan
vital capacity menurun atau normal,Force Expirasi Volume one second (FEV 1)
mengalami penuruan tipis, FEV/VC meningkat atau normal, sedangkan
padaFungsi Residual Volume, Total Lung Capasit dan Residual Volume
mengalami penurunan.Latihan nafas merupakan upaya yang harus dilakukan pada
pasien pneumothoraks.

Sedangkan Latihan nafas adalah upaya untuk memperbaiki ventilasi paru


dan penggunaan otot-otot pernafasan secara wajar dan efisien. Latihan nafas
memperbaiki kerja alveoli dan mengefektifkan pertukaran gas tanpa
meningkatkan kerja nafas. Menurut penelitian yang dilakukan Pardy (1991) yang
dikutip oleh Chernis (1991) menunjukkan latihan nafas yang dilakukan dalam 15
menit akan meningkatkan ventilasi paru . Latihan nafas diharapkan dapat
mencegah terjadinya atelektasis. Berdasarkan hasil foto thoraks pada pasien yang
dilakukan latihan nafas modifikasi meniup balon menunjukkan gambaran
pengembangan paru yang membaik. Latihan nafas meniup balon perlu dijadikan
alternatif latihan nafas.[ CITATION Nur06 \l 1057 ]

2.9 Konsep dasar asuhan keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

1. Anamnesis
Identitas klien harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama, atau kepercayaan, suku bangsa,
bahasa yang dipakai, status pendidikan, dan pekerjaan

28
29

klien/asuransi kesehatan. Keluhan utaman meliputi sesak napas,


bernapas terasa berat pada dada, dan keluhan susah untuk
melakukan pernafasan.
2. Riwayat penyakit saat ini
Keluhan sesak napas sering kali datang mendadak dan semakin
lama semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit ,rasa
berat,tertekan, dan rasa nyeri pada gerakan pernafasan. Selanjutnya
dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada
seperti peluru yang menembus dada dan paru. Ledakan yang
menyebabkan peningkatan tekanan udara dan terjadi tekanan di
dada yang mendadak menyebabkan tekanan dalam paru meningkat,
kecelakan lalu lintas biasanya menyebabkan trauma tumpul di
dada/tusukan benda tajam langsung menembus pleura.
3. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit seperti
TB paru dimana sering terjadi pada pneumotoraks spontan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit yang mungkin menyebabkan pneumotoraks seperti kanker
paru,asma TB paru dll.
5. Pengkajian psikososisal
Pengkajian psikososial meliputi perasaan klien terhadap
penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana
perilaku klien pada tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.

2. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (breathing)
 Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta penggunaan
otot bantu pernafasan. Gerakan pernafasan ekspansi dada yang
asimetris, iga melebar, rongga dada asimetris.Peningkatan
batuk yang produktif dengan sputum purulen, trakea dan
jantung terdorong kesisi yang sehat.
 Palpasi
Taktil fremitus menurun pada sisi yang sakit, di samping itu,
pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang

29
30

tertingal pada dada yang sakit.Pada sisi yang sakit, ruang antar
iga bisa saja normal/melebar.
 Perkusi
Suara ketuk pada sisi sakit, hipersonor sampai tympani, dan
tidak bergetar.Batas jantung terdorong ke arah toraks yang
sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
 Auskultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit.
Pada posisi duduk,semakin ke atas letak cairan maka akan
semakin tipis, sehingga suara napas terdengar amforis, bila ada
fisel bronkopleura yang cukup besar pada pneumotorak
terbuka.
2. B2 (blood)
Perawat perlu memonitor dampak pneumotorak pada status
kardiovaskuler yang meliputi keadaan hemodinamik seperti
nadi,tekanan darah, dan pengisian kapiler darah.
3. B3(brain)
Pada inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji, selain itu diperlukan
jega pemeriksaan GCS, apakah compos mentis,somnolen, koma.
4. B4 (blader)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan,
oleh karena itu perawat perlu memonitor adanya oliguria.
5. B5 (bowel)
Akibat sesak nafas, klien biasanya mengalami mual dan muntah,
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan.
6. B6 (bone)
Pada trauma di rusuk dada, sering didapatkan adanya kerusakan otot
dan jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi, klien
sering di jumpai mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan
aktifitas sehari-hari disebabkan adanya sesak nafas,kelemahan dan
keletihan fisik secara umum.

30
31

3. Diagnosis Keperawatan

Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas b/d ekspansi paru yang tidak maksimal


sekunder terhadap akumulasi udara/cairan
2. Ketidakefektifan jalan nafas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan
batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
3. Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder
4. Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal
Intervensi

1. Ketidakefektifan pola nafas b/d ekspansi paru yang tidak maksimal karena
akumulasi udara/cairan
Tujuan : Pola nafas efektif
Kriteria Hasil :
NOC Status Pernafasan

 Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif


 Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sianosis
 Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab
NOC Status Pernafasan : Ventilasi

 Memperlihatkan irama nafas yang stabil


 Hasil rontgen dada menunjukkan berkurangnya akumulasi udara
dalam paru-paru
 Tidak ada suara nafas tambahan
 Suara perkusi nafas sonor
 Pengembangan dinding dada simetris
Intervensi : NIC Bantuan Ventilasi

 Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan posisi semifowler. Balik ke


sisi yang sakit.

31
32

 Observasi fungsi pernafasan, catat frekuensi pernapasan, dispneau, atau


perubahan tanda-tanda vital
 Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrl diri dengan
menggunakan pernapasa lebih lambat dan dalam
 Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau
kolaps paru
 Bantu dalam hal perubahan posisi dengan serig dan tepat
 Monitor efek-efek perubahan posisi terhadap oksigenasi: ABG, SaO2,
SvO2, tidal akhir CO2, QSP/Qt, A-aDO2
 Monitor kelelahan otot-otot pernafasan
 Mulai dan pertahankan oksigen tambahan, seperti yang ditentukan
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lain ; 1) dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi (pemberian antibiotika, analgesik, fisioterapi dada, konsul foto
thoraks)
NIC Terapi Oksigen

 Pertahankan kepatenan jalan nafas


 Berikan terapi oksigen sesuai perintah
 Monitor aliran oksigen
 Monitor posisi alatpemberian oksigen
 Monitor efektifitas pemberian terapi oksigen
 Amati tanda hipoventilasi induksi oksigen
 Pantau adanya tanda keracunan oksigen dan atelaktasis
 Monitor kerusakan kulit dengan adanya perangkat oksigen
NIC Manajemen Asam Basa

 Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2, HCO3, dalam rangka


mempertimbangkan ketidakseimbangan yang terjadi
 Monitor Gas Darah Arteri, level serum serta urin elektrolit jika perlu
 Monitor pola pernafasan
 Monitor adanya gejala kegagalan nafas
 Berikan pengobatan nyeri dengan tepat

32
33

 Berikan terapi oksigen dengan tepat

2. Ketidakefektifan jalan nafas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan


batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
Tujuan : Jalan nafas paten
Kriteria Hasil : NOC Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas

 Menunjukkan batuk yang efektif


 Tidak ada lagi peumpukan sekret di saluran pernafasan
 Klien nyaman
Intervensi :

NIC Manajemen Jalan Nafas

 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


 Identifikasi kebutuhan aktual/potensial pasien untuk memasukkan alat
membuka jalan nafas
 Posisikan untuk meringankan sesak nafas
 Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sebagaimana mestinya
NIC Monitor Pernafasan

 Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas


 Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot bantu
pernafasan, dan retraksi pada otot supraclaviculas dan intercosta
 Monitor nafas tambahan seperti ngorok atau mengi
 Monitor pola nafas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi suara nafas
 Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan auskultasi suara nafas
ronki di paru-paru
 Monitor nilai fungsi paru, terutama kapasitas vital paru, volume inspirasi
maksimal, volume ekspirasi maksimal selama 1 detik (FEV1), dan
FEV1/FEV sesui dengan data

33
34

 Monitor hasil foto thoraks

3. Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder
Tujuan : nyeri hilang/berkurang

Kriteria Hasil : NOC Kontrol Nyeri

 Nyeri berkurang/hilang
 Dapat mengidentifikasikan ativitas yang meningkatkan/menurunkan
nyeri
 Pasien tidak gelisah
Intervensi : NIC Manajemen Nyeri

 Ajarkan pasien teknik distraksi-relaksasi


 Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman
 Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab nyeri, dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlagsung
 Kolaborasi dengan dokter pemberian analgesik
 Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien setelah pemberian
analgesik
 Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
 Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup
 Kuranugi/eliminasi faktor yang mencetuskan atau meningkatkan nyeri
 Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri

4. Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan


untuk ambulasi dengan alat eksternal
Tujuan : masalah hambatan mobilitas fisik teratasi
Kriteria Hasil : NOC Orientasi Kognitif

 Orientasi diri sendiri baik

34
35

 Orientasi orang-orang yang signifikan baik


 Orientasi waktu dan tempat baik
Intervensi : NIC Perawatan Tirah Baring

 Posisikan sesuai bodyalignment


 Gunakan kasur dengan kain tidak kasar
 Monitor pasien agar tidak jatuh
 balikkan pasien sesuai kondisi kulit
 balikkan pasien yang immobilisasi minimal 2 jam sekali
 monitor kondisi kullit
 ajarkan latihan di tempat tidur dengan cara yang tepat
 monitor komplikasi tirah baring
 bantu menjaga kebersihan

35
36

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pneumothoraks adalah pengumpulan udara didalam rongga pleura yang


mengakibatkan gagal napas yang dapat terjadi secara spontan atau karena trauma.
Penyebab dari penyakit ini antara lain karena Infeksi saluran nafas, adanya repture
‘bleb’ pleura, traumatic misalnya pada luka tusuk, acute lung injery yang
disebabkan materi fisik yang terinhalasi dan bahan kimia, penyakit inflamasi akut
dan kronis (penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)) , TB paru, vibrosis paru,
abses paru, kanker dan tumor metastase ke pleura.
Manifestasi klinis dari pneumothoraks yaitu hipoksemia (tanda awal),
ketakutan gawat nafas (takipnea berat), peningkatan tekanan jalan nafas puncak
dan rerata, penurunan komplian, dan auto tekanan ekspirasi akhir positif (auto-
PEEP) pada pasien yang terpasang ventilasi mekanis, kolaps kardiovaskular
(frekuensi jantung >140 kali/menit pada setiap hal berikut : sianosis perifer,
hipotensi, aktivitas lintrik tanpa denyut nadi).

3.2 Saran

Perawat perlu mengetahui tanda gejala pneumothoraks pada klien, perawat


harus mampu mengetahui kondisi pasien secara keseluruhan sehingga intervensi
yang diberikan bermanfaat untuk kemampuan fungsional pasien, perawat harus
mampu berkolaborasi dengan tim kesehatan lain dan keluarga untuk mendukung
adanya proses keperawatan serta dalam pemberian asuhan keperawatan
diperlukan pemberian pendidikan kesehatan pada keluarga tentang penyakit,
penyebab pneumothoraks, pencegahan, dan penanganan.

36
37

Bibliography

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, Mukty, & H, A. (2009). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya: Airlangga Univeristy.

Bararah, Jauhar, T. d., & M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional . Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Bararah, t., & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan : Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional Jilid 2/PRT. Jakarta: Prestas iPustaka Raya.

Bulechek, G. M., Dochterman, J. M., Butcher, H. K., & Wagner, M. C. (2013).


Nursing Interventions Classification. Indonesia: Mocomedia.

Corwin, & J, E. (2009). Buku Saku Patofisidisi 3. Jakarta: EGC.

Cowin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: Kedokteran EGC.

Dewi, L. M. (2011). PNEUMOTORAKS. Jurnal Kedokteran .

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi &


Klasifikasi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

I Made , K. W. (2013). PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN


PNEUMOTHORAKS DENGAN TUBE THORACOSTOMY DI RSUP
SANGLAH.

Jan , T. (2000). Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: buku kedokteran EGC.

Kusuma, I. M. (2013). PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN


PNEUMOTHORAKS DENGAN TUBE THORACOSTOMY DI RSUP
SANGLAH TAHUN 2012-2013 . Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar, Bali .

37
38

Masengi, W. D., Loho, E., & Tubagus, V. (2016). Profil hasil pemeriksaan foto
toraks pada pasien pneumotoraks di Bagian / SMF Radiologi FK Unsrat RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2015 – Agustus 2016 . Jurnal e-
Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2 .

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC). Indonesia: Mocomedia.

Morton, G. (2012). Keperawatan Kritis, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Mutaqqin, A. (2012). asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


pernafasan. jakarta : salemba medika.

Nurachmah, E. (2006). Pengaruh Latihan Nafas Diafragma dan Pursed lip


Breathing terhadap Aliran udara. Surabaya: Universitas Airlangga.

Nurarif, Kusuma, A. H., & Hardi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 2. Jakarta: EGC.

Raharjoe, & N.N. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.

Sarwiji, B. (2011). Nursing Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT


Indeks.

Windy D, P. M., Elvie, L., & Vonny , T. (2016). Profil hasil pemeriksaan foto
toraks pada pasien pneumotoraks di Bagian / SMF Radiologi FK Unsrat.

38

Вам также может понравиться