Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa lalu sering kita sebut dengan sejarah. Kata ‘sejarah’ berasal dari
beberapa bahasa di antaranya bahasa arab yaitu Syajarotunyabg artinya pohon.
Seperti akar pohon yang terus berkembang dari tingkay sederhana ke tingkat
kompleks. Dalam perkembangannya menjadi akar, keturunan asal-usul, riwayat
dan silsilah.

Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat yang ilmu dan pengetahuan yang


dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan
perantaraan ilmu yang lain dan pasti antara segala kejadian, serta bahwa setiap
kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan
eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya,
merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan.
Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia
yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.

Menurut Sartono Kartodirdjo kausalitas merupakan hukum sebab-akibat


mengenai suatu peristiwa. kausalitas sejarah adalah sebab terjadinya peristiwa
sejarah. Pengertian Kausalitas dalam Sejarah dalam ilmu sosial, hukum sebab-
akibat tidak dapat ditegakkan secara penuh, terlebih lagi dalam ilmu sejarah yang
ilmuwannya tidak dapat mengamati secara langsung peristiwa yang sudah lampau.
Sejarawan yang sering mengamati, meneliti, dan merekonstruksi fakta-fakta, sulit
untuk merumuskan sebab-sebab umum. Sebab sejarawan terkendala pada
subjektifnya. Maka harus menurunkan fakta-fakta dari dokumen yang dinilai
eviden. Kemudian dengan imajinasinya sejauh mungkin dalam sejarah sejarawan
merekonstruksi fakta menjadi sejarah.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah di jelaskan maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian dari Kausalitas sejarah?


2. Bagaimana Kausalitas dalam Ilmu Sosial ?
3. Bagaimana Kausalitas Dalam Ilmu Sejarah ?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penulisan ini adalah untuk:

1. Mengetahui pengertian dari Kausalitas sejarah


2. Mengetahui Kausalitas dalam Ilmu Sosial
3. Mengetahui Kausalitas Dalam Ilmu Sejarah

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kausalitas Sejarah

Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari kausalitas :

1. Kusalitas adalah suatu rangkaian peristiwa (I) yang mendahului peristiwa


yang menyusul (II)
2. Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat
3. Menurut Sartono Kartodirdjo kausalitas merupakan hukum sebab-akibat
mengenai suatu peristiwa, keadaan atau perkembangan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kausalitas


sejarah adalah sebab terjadinya peristiwa sejarah.

2.1.1 Konsep Sebab Akibat

Konsep sebab akibat ini merupakan hal yang sangat penting dalam
memberikan penjelasan tentang peristiwa sejarah.Setiap peristiwa sejarah
terjadi tentu ada sebabnya. Begitu juga peristiwa itu akan menimbulkan
akibat. Akibat dari peristiwa itu akan menjadi sebab pada peristiwa yang
berikutnya demikian seterusnya.

Mengenai sebab dari peristiwa sejarah itu bisa langsung dan sangat
dekat dengan peristiwa sejarah.Tetapi sebab itu juga dapat ditarik jauh dari
waktu peristiwanya. Sebagai contoh: peristiwa datangnya bangsa Barat ke
Indonesia karena ingin mendapatkan rempah-rempah dari negeri asalnya
agar lebih murah (sebab yang dekat/langsung dengan peristiwa datangnya
ke Indonesia). Mengapa mereka harus datang ke Indonesia untuk
mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah? rempah-rempah sulit
didapat di Eropa dan kalau pun ada harganya sangat tinggi karena
perdagangan di Laut Tengah dikuasai Turki Usmani setelah berhasil
menguasai Bizantium/Konstantinopel (sebab yang tidak langsung dengan
peristiwanya). Pertanyaan berikutnya juga ditampilkan misalnya mengapa

3
Turki Usmani menduduki Konstantinopel dan menguasai Laut Tengah,
dan begitu seterusnya.

Manusia dan sejarah memiliki suatu keterkaiatan yang erat. Tanpa


manusia, sejarah pun menjadi kosong. Kuntowijoyo mengemukakan
bahwa sejarah adalah suatu rekontruksi masa lalu yang sudah barang tentu
disusun oeh komponen-komponen tidakan manusia berupa yang
dipikirkan, yang dilakukan, dan diucapakan. Selama manusia bergerak
(bertindak, berpikir, dan berucap) maka akan mendorong terjadinya
perubahan demi perubahan yang seiring berjalannya waktu perubahan-
perubahan itu akan menjadi suatu komponen-komponen sejarah. Sejarah
hanya dapat muncul apabila perubahan-perubahan yang dilakukan
manusia terjadi didalamnya. Dengn demikian dapat dikatakan bahwa
adanya perubahan yang dilakukan manusia pasti akan dapat berubah
sebagai akiabatnya.

Perinsip sebab akibat ( Kausalis ) ini dalam sejarah disebut


determinisme atau historisisme. Peristiwa sebab akibat dalam sejarah itu
menurut Sartono Kartodirdjo (1993) pengertiannya adalah bhawa suatu
peristiwa sejarah hendaknyaditerangkan dengan melihat peristiwa sejarah
yang mendahuluinya. Dengan kata lain, semua akibat itu berawal dari
adanya sebuah atau beberapa sebab yang sebelumnya terjadi. Sebagai
contohnya, dapat dikemukakan tentang peristiwa sejarah Indonesia mulai
dari masa penjajahan asing hingga proklamasi kemerdekan Indonesia.

2.2 Kausalitas dalam Sejarah

Dalam ilmu sosial hukum sebab-akibat tidak dapat ditegakkan secara


penuh, terlebih lagi dalam ilmu sejarah yang ilmuwannya tidak dapat mengamati
secara langsung peristiwa yang sudah lampau. Betapapun seringnya
sejarawan mengamati, meneliti, dan merekonstruksi fakta-fakta, kiranya akan
sulit untuk dapat merumuskan sebab-sebab umum. Hal ini dikarenakan sejarawan
terkendala dengan subjektifnya, harus menurunkan fakta-fakta dari dokumen yang

4
dinilai eviden. Kemudian dengan imajinasinya sejauh mungkin dalam sejarah
sejarawan merekonstruksi fakta menjadi sejarah.

Oleh karena subjektifitas yang melekat pada sejarawan, mengakibatkan


sebab-sebab itu menjadi beranekarangam dan subjektif pula sifatnya, sehingga
sulit untuk mengeneralisasikanya. Dalam mengatasi permasalahan ini sejarawan
harus dapat memilih dengan tepat dan mampu memberikan argumentasi yang
meyakinkan. Dalam hal ini sejarawan harus memilih sebab mana yang akan
dijadikan titik berat dalam penelitiannya. Oleh karena itu hal ini harus sudah
ditentukan pada waktu memilih dan menilai fakta sejarah, sehingga dalam
eksplanasinya semuanya sudah tersedia. Dengan demikian akan dihasilkan
laporan penelitian / penulisan sejarah yang ilmiah.

2.2.1 Multikausalitas

Apabila pengungkapan sejarah terumma bersifat deskriptif maka fakta-


fakta yang disebut lerutama bersangkutan dengan apa, siapa, kapan, dimana
dan bagaimana. Dengan mengetahui data deskriptif itu sebagian besar dari
keingintahuan kita terhadap peristiwa sejarah tertentu terpenuhi. Dalam
jawaban terhadap bagaimana nya peristiwa itu, pada umumnya telah
tercangkup beberapa keterangan tentang sebab-sebabnya meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit, hanya secara emplisit saja. Maka penanya sering
suduh puas pula dengan uraian mengenai bagaimanmya itu.

Apabila kelima pertanyaan ilu masih disusul dengan pertanyaan


mengapa, maka timbul tntutan untuk sccara eksplisit memberikan uraian
tentang sebab-sebab atau kausalitas peristiwa itu. Biasanya suatu narasi penuh
dengan data deskriptif memenuhi keingintahuan kita untuk tahu, tetapi
kesemuanya itu bagi pendengar yang cermat masih belum memuaskan karena
selain timbul pcrtanyaan, seterusnya bagaimana? (what next?) Kepuasan itu
baru akan diperoleh setelah diterima penjelasan mengenai sebab-sebabnya;
jadi, kausalitas peristiwa.

Diantara teori-teori kausalitas yang banyak digunakan di masa lalu


ialah teori-teori yang deterministik sifatnya; artinya kausalitas suatu peristiwa,

5
keadaan, atau perkembangan dikembalikan kepada satu faktor saja. Faktor itu
dipandang sebagai faktor tunggal atau satu-satunya faktor yang menjadi faktor
kausal. Sejak abad ke-19 kita mengenal determinisme geogfaris, yaitu bahwa
faktor lokasi yang menentukan situasi/atau perkembangan suatu bangsa.
Bangsa-bangsa di negeri dingin pada umumnya maju oleh karena kondisi
ekologinya menuntut "jiwa" yang mampu menyesuaikan diri dan mengatasi
kondisi alamiah yang berat. Sebaliknya, di negeri panas (tropika) alam sangat
memudahkan hidup sehingga tidak menimbulkan banyak tantangan berat.
Determinisme rasial lebih menekankan faktor biologis sebagai penentu
kemajuan suatu bangsa.

Determinisme ekonomis menganggap bahwa faktor ekonomis adalah


determinan dari struktur dan perkembangan masyarakat. Teori K. Marx
terkenal sebagai determinisme ekonomis. Seluruh lembaga-lembaga sosial,
politik, dan kultural ditentukan oleh proses ekonomis pada umumnya dan
sistem produksi khususnya. Sistem produksi agraris dengan teknologi
tradisional menciptakan struktur politik dan sosial yang feodalistik sifatnya,
yang kesemuanya berkisar sekitar hubungan antara tuan tanah dan penggarap
atau buruh tani.

Dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan pada umumnyadan ilmu-ilmu


sosial khususnya determmisme semakin di desak oleh perspektivisme, yaitu
pandangan atau visi terhadap permasalahan atau objek pengkajian yang
mendekati dari beragai segi atau aspek dan perspektif. Timbulnya visi ini tidak
lain disebabkan oleh semakin luasnya ke sadaran bahwa beragai gejala tidak
dapat lagi dipandang secara sederhana tetapi bersifat kompleks. Maka dari itu,
kompleksitas itu hanya dapat dikupas dan dianalisis beragai unsur atau
aspeknya, dengan pendekatan dari beragai perspektif, antara lain perspektif
ekonomis, sosial, politik, kultural, dan lain sebagainya.

Perspektivisme di sini berkaitan erat dengan konsep dan pendekatan


sistem. Secara implisit pendekatan ini beranggapan bahwa antara unsur-unsur
ada saling ketergantungan serta saling hubungan maka analisisnya juga perlu
menguraikannya.

6
Dalam kaitannya dengan mencari kausalitas, maka dalam hal ini lebih
ditekankan adanya multikausalitas dan bukan monokausalitas. Di sinilah letak
perbedaan dengan determinisme.

Berbicara tentang multikausalitas, sebenarnya relevansinya lebih erat


terhadap gejala, situasi, permasalahan atas objek manapun yang kompleks.
Sudah barang tentu ada hubungan langsung antata sebab dan akibat, seperti
antara kenaikan suhu dan pemuaian benda. Hubungan antara tindakan seorang
aktor dengan yang lain pada umumnya tidak dapat lagi dianggap sederhana
apabila mulai menyangkut motivasi sikap, struktur kepribadian, latarbelakang
kondisi sosial, dan lain sebagainya. Suatu contoh yang mahakompleks antara
lain ialah tindakan mahasiswa Prinzip terhadap putra mahkota Austria di
Sarajewo pada tahun 1914. Mengapa penembakan yang dilakukan itu
mengakibatkan pecahnya Perang Dunia Pertama. Jelaslah bahwa untuk
menerangkannya diperlukan uraian yang luas sekali mengenai situasi
hubungan internasional pada tahun-tahun yang mendahuluinya.

Meskipun biasanya masalah sebab akibat tidak menyangkut dimensi


yang sedemikian besamya serta kompleksnya namun apabiiadaiam melacak
sebab-sebab suatu peristiwa itu lebih diperhatikan sebab-sebab jangka
panjang, maka kiranya lebih tepat bukan kausalitas melainkan kondisi-kondisi
yang diungkapkan. Kondisi tidak hanya menyangkut sebab jangka panjang
tetapi juga lebih menunjuk kepada situasi atau sistem; maka seperti dijeiaskan
di atas bersifat lebih kompleks, lagi pula perlu lebih diberi tekanan pada segi-
segi struktural situasi tersebut.

Apa yang secara populer dikatakan kondisi telah masak bagi pecahnya
suatu gejolak, sebenamya dapat dikembalikan pada struktur-struktur dalam
masyarakat yang mempunyai kecenderungan (tendensi) ke arah terjadinya
suatu gejolak. Acapkali kecenderungan struktural itu dimanifestasikan oleh
gejala-gejala seperti keresahan sosial. Perubahan sosial seringkali
menimbulkan keterasingan diri (alienasi), karena terpisah dari kelompok
primordialnya, anomi, yaitu situasi seseorang yang kehilangan keamanan

7
sosial karena pengaruh individualisasi, kehilangan ikatan-ikatan
solidaritasnya.

Kandisi lain yang menciptakan keresahan ialah antara iaindeprivasi,


perasaan kecewa karena mengalami kesenjangan antara yang diharapkan
(aspirasi) dengan situasi yang riil; kejengkelan (frustrasi) yang dirasakan
karena tak berdaya menghadapi situasi yang berbeda dengan apa yang dicita-
citakan.

Apabila berbagai kondisi mental itu dialami secara kolektif, maka pada
kelompok itu timbul kecenderungan struktural untuk bertindak secara agresif.
Dapat dikatakan pula bahwa kesemuanya itu menciptakan kondisi yang harus
ada (necessary condition) bagi terjadinya gejolak. Hal ini perlu dibedakan dari
sufficientcondition, ialah kondisi yang cukup untuk menimbulkan ledakan
kejadatau umpamanya invasi tentara Nazi ke Cekoslovakia pada tahun 1939
untuk meletuskan Perang Dunia II.

Kausalitas dalam tindakan individual biasanya dikembalikan kepada


motivasi. Motivasi sangat ditentukan oleh nilai-niiai atau norma-norma, yang
kedua-duanya merupakan faktor kultural yang berfungsi sebagai prinsip
ataudasar hidup dan yang melandasi kelakuan aktual. Ternyata kelakuan
individual senantiasa berpedoman pada orientasi nilai. Hal Ini sering terwujud
sebagai kepercayaan, ajaran agama, dan ideoligi pada umumnya. Apabila
kelakuan telah membudaya menurut pola tertentu sesuai dengan orientasi nilai
dan diekspresikan sebagai sikap dan konsistensi dalam bertindak dan
berkelakuan, maka akan membentuk "watak" tertentu dan akhirnya menjadi
kepribadian. Oleh karena banyak peristiwa sering berkisar sekitar seorang
pribadi beserta peranannya, maka cara melacak kausalitas sering perlu
dikembalikan kepada faktor-faktor kepribadian seseorang. Oleh karena itu,
seperti dijelaskan di atas, pendekatan emphaty seperti yang digunakan W.
Dilthey sangat relevan dalam mengekstrapolasikan motivasi tindakan atau
kelakuan tertentu dan dengan demikian, mengidentifikasikan kausalitas
peristiwa sekitar pribadi tersebut. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa
faktor psikologis di sini masih perlu dilengkapi dengan faktor kultural.

8
Menunjukkan kausalitas sesungguhnya merupakan inti dari penjelasan
sejarah (historical explanation), yang diharapkan dari penjelasan itu tidak lain
ialah jawaban terhadap pertanyaan: Mengapa terjadi peristiwa itu?

Dalam pada itu, ada cara lain untuk menjelaskan atau menerangkan,
ialah dengan memberikan arti atau makna kepada suatu peristiwa. Hal ini
dapat dilakukan dengan menginterpretasikan atau menafsirkan.

Apabila dalam menghadapi pertanyaan "Mengapa?" itu kita tidak tahu


atau belum pasti akan jawabannya, yaitu sebab-sebab suatu kejadian atau
timbulnya suatu gejala, maka langkah yang diambil ialah memberikan
jawaban sementara berdasarkan suatu dugaan. Secara ilmiah perbuatan ini
berarti menyusun suatu hipotesis atau teori.

Penyusunan hipotesis/teori dilakukan tidak secara sembarangan tetapi


terarah oleh kerangka referensi atau pemikiran yang ada pada kita. Kerangka
referensi itu mencakup segala pengetahuan, baik yang faktual maupun
substansi teoretis, konsep-konsep, yang kesemuanya merupakan alat-alat
analitis bagi pengupasan objek studi, antara lain yang paling awal perlu
dilakukan ialah mengidentifikasikannya. Tanpa bantuan kerangka konseptual
hal itu sukar dilakukan. Sebaliknya, begitu pengidentikaasian terlaksana,
begitu pengupasan masasah di sini melacak kausaiitas lebih terbuka untuk
dilakukan.

Berbagai kerangka teoretis juga merupakan alat analitis yang berfungsi


antara lain menjadi titik arah ke mana harus mencari jawabannya. Satu teori
yang gagal memberi jawaban perlu segera diganti oleh yang lain.

Dalam usaha melacak kausalitas seorang sejarawan berperan seperti


seorang hakim. atau detektif. Berangkat dari fakta-fakta yang diketahui
setapak demi setapak diajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke
penemuan "rahasia" peristiwa. Memang peristiwa itu diselubungi oleh
"rahasia", antara lain hubungan antara fakta-fakta, antara pelaku-pelaku, alibi
seorang aktor, dan lain sebagainya.

9
Acapkali masalah motivasi menjadi kunci untuk mengungkapkan
aktornya. Pada umumnya struktur peristiwa mengikuti suatu pola logis oleh
karena pelaku pada umumnya bertindak berdasarkan pemikiran logis pula,
juga termasuk liku-liku cara menyembunyikan perbuatannya atau usaha
mengelabui para pelacaknya. Semua berkas yang ditemukan mempunyai
fungsi sebagai petunjuk dan saksi tindakan tertentu. Di sini pelacakan berarti
mengikuti mata rantai sebab-akibat. Oleh karena pola kelakuan rasional
lazimnya mempunyai struktur logis, maka selalu diindahkan konsistensi atau
koherensi perbuatan aktor sekitar suatu peristiwa, mulai dari perencanaan
sampai pelaksanaan, dari alasan dan tujuan tindakan dengan sarana-sarana
yang dipakai. Selama fakta-fakta itu lengkap, akan lebih mudah dilakukan
rekonstruksi peristiwa, termasuk kausalitasnya. Hilangnya fakta atau
persaksian dapat menyulitkan hal itu.

Dalam bidang sejarah variasi antara kasus-kasus sangat banyak,


sehingga dalil-dalil atau hukum-hukum seperti dalam ilmu alam tidak dapat
dipakai. Seperti dijelaskan di tempat lain hukum alam berlaku tidak terikat
tempat dan waktu, sedang sifat unik dalam peristiwa sejarah sangat menonjol.

2.2.2 Kausalitas dan Pembahan Sosial

Di dalam pemikiran analitis lazimnya suatu gejala sejarah hendak


didefinisikan tempatnya dalam suatu proses sejarah serta sekaligus melihat
hubungan kausalnya dengan gejala sejarah yang lain, yaitu yang terjadi
sebelumnya atau sesudahnya atau ada hubungan fungsional dalam konteks
suatu sistem.

Gejala sejarah dipandang dengan perspektif itu merupakan suatu


momentum dalam suatu gerakan historis, suatu masyarakat yang lazim disebut
perubahan sosial. Pembicaraan tentang konsep perubahan sosial bertolak dari
butir-butir referensi sebagai berikut:

1) Dinamika masyarakat menunjukkan pergerakan dari tingkat


perkembangannya yang terdahulu ke yang kemudian, lazimnya dari

10
yang sederhana ke yang lebih maju. Unsur-unsur mana yang berubah
dan faktor-faktor apakah yang menyebabkan perubahan (kausalitas).
2) Dalam berbagai teori senantiasa perubahan sosial mempunyai arah,
yaitu dari yang sederhana bentuknya ke yang kompleks, berarti yang
Iebih baik fungsinya untuk menyelenggarakan proses hidupnya. Ada
teori evolusi, teori kemajuan, keori Darwinisme sosial, teori positivis,
dan lain sebagainya. Teori-teori ini masuk filsafat sejarah atau filsafat
sosial, maka tidak dibahas di sini.
3) Dalam studi sejarah tentang perubahan sosial yang dikaji masalah
pola-pola, struktur, dan tendensi dalam proses perubahan itu. Fokus
perhatian ada pada transformasi struktural serta faktor-faktor yang
menyebabkannya Apakah struktur yang sama berasal dari struktur lain
yang sama pula dan apakah faktor kausalnya? Apakah struktur yang
sama berasal dari kausalitas yang sama dan sebaliknya apakah
kausalitas yang sama selalu menghasilkan struktur yang sama?

Jawaban dalam berbagai teori tersebut di atas relatif lebih mudah,


tetapi di dalam studi sejarah jauh lebih kompleks. Justru historisitas
perkembangan masyarakat lazimnya menunjukkan variasi yang banyak.
Sehubungan dengan masalah di atas maka perlu diadakan smdi sejarah
komparatif.

2.2.3 Transformasi Struktural

Dari uraian di atas telah menjadi jelas bahwa suatu studi sejarah
komparatif hanya layak dilakukan dengan melakukan studi sejarah struktural
analitis. Yang hendak diperbandingkan bu'xan fakta dan proses ansick tetapi
berbagai pola, tendensi, dan struktur yang ada "di dalamnya".

Perubahan sosial antara lain terwujud pada perubahan struktur sosial


pada umumnya dan stratifikasi sosial khasusnya. Hal terakhir ini terjadi
karena ada difereresiasi fungsi yang lebih terinci, suatu proses yang
merupakan dampak pertumbuhan sosial-ekonomi serta sistem produksinya.

11
Golongan-golongan sosial baru, antara lain elite baru, mendapatkan
perubahan hubungan sosial serta struktur sosial pada umumnya. Di sini terjadi
transformasi struktural. Dalam membandingkan dua situasi historis A dan B
maka yang perlu dilacak ialah: (1) sistem produksi baru dengan
komersialisasi, komunikasi, dan modernisasi teknologi; (2) fungsi-fungsi baru
serta golongan sosial baru; (3) timbulnya elite baru; dan (4) struktur
kekuasaan baru beserta sistem politik baru. Struktur-struktur pada A dapat
dibandingkan dengan yang muncul pada B dan sekaligus ditunjukkan fakta-
fakta kausalnya. Baik persamaan dan perbedaannya tampak, terutama fakta-
fakta historis yang unik sebagai kausalitas, konteks, historisnya, fakta politik
yang menentukan.

Suatu perbandingan dapat dilakukan antara politik kolonial Belanda


dan Inggris, yaim di Indonesia dan di India. Dalam analisisnya akan dapat
diekstrapolasikan antara lain (1) proses modernisasi lewat edukasi; (2) sistem
sosial ekonomi, komersialistik fiskal, dan agraris feodal; (3) struktur
organisasi aliran inovatif; (4) peranan golongan inteligensia; (5) kendala dari
struktur sosial, kasta etnisitas, dan sebagainya.

Derajat modernisasi dapat diukur menurut kriteria, antara lain (1)


mobilitas sosial; (2) integtasi horisontal dan vertikal; (3) produktivitas
sumberdaya alamiah dan sosial budaya; (4) sistem teknologi; (5) struktur
kekuasaan demokratis; (6) tingkat kesejahteraan rakyat. Sudah barang tentu
akan dihadapi banyak kesulitan, antara lain:

a) Sebagai unit, Indonesia dan India terlalu besar, lagi pula sifatnya
pluralistik. Generalisasi untuk kedua negeri amat sulit, lebih-lebih
perbandingannya;
b) Sulit mengisolasi suatu proses atau aspek gejala sejarah karena selalu
tercakup dalam suatu sistem;
c) Justru perkembangan historis masing-masing menciptakan
ketidakrataan baik soal kronologi maupun soal geografi kultural. Oleh
karena itu, perbandingan perlu dibatasi pada subunit dengan membuat

12
beberapa faktor konstan, antara Iain kebudayaan yang mirip, daerah
geografis yang mirip pula.

Ada beberapa kemungkinan membuat perbandingan:

1) Antara dua negeri dengan periode yang sama;


2) Idem dengan persamaan tema atau jenis gejala sejarah;
3) Kombinasi antara butir (1) dan (2);
4) Antara dua periode yang berbeda dari satu negeri;
5) Antara dua periode yang berbeda dari dua negeri

Butir (4) dan (5) mencakup tema atau gejala yang sama, maka relevan
untuk studi terna tersebut, contohnya, umpamanya soal feodalisme, birokrasi,
kapitalisme, dan lain sebagainya.

Perbandingan seperti terinci di atas membawa implikasi metodologis


yang cukup rumit, sebab analisis hanya dapat dilaksanakan dengan alat-alat
konseptual serta teoretis yang tidak dimiliki oleh ilmu sejarah, maka mau tak
mau harus meminjam dari ilmu-ilmu sosial, khususnya dari sosiologi.
Sesungguhnya dalam perkembangan studi komparatif akhir-akhir ini sebagian
produk dihasilkan oleh apa yang telah kita sebut di depan sebagai historical
sociology (sosiologi sejarah). Karya-karya BarringtonMoore, N. Smelzer, R.
Bendix, Eisenstadt, kesemuanya historical sociologists, membuat
perbandingan antara berbagai negeri secara sosioiogis dan sekaligus juga tidak
mengabaikan dimensi historis.

Pada umumnya mereka melacak asal mula atau latar belakang sosial
dari sistem kekuasaan yang muncul menjelang Perang Dunia Kedua dan
sesudahnya, yaitu totalitarianisme di Jerman, Rusia, dan Jepang di satu pihak
dan negara-negara demokrasi Inggris, Francis di pihak lain. Golongan-
golongan sosial manakah vang sesungguhnya berfungsi sebagai sokoguru
demokrasi. Perbandingan juga mencakup struktur sosial pada umumnya
dengan menyertakan peran petani juga. Seluk-beluk hubungan sosial yang
bergeser-geser serta melembaga secara kokoh dapat berfungsi sebagai dasar
yang kokoh bagi tradisi dan demokrasi. Mengenai sejarah Indonesia, sejarah

13
komparatif dapat diterapkan untuk memungkinkan generalisasi yang berlaku
bagi berbagai sejarah lokal. Kalau sudah diperoleh kesamaan pola, tendensi,
dan struktur, maka unsur yang sama itu dapat dimasukkan dalam sejarah
nasional. Tema-tema yang memerlukan pelacakannya antara lain sistem
politik pada umumnya, struktur kekuasaan khususnya, feodalisme,
pratrimonialisme, birokrasi, sistem agraris, elite tradisional, elite modern,
dampak modernisasi di berbagai bidang, dan lain sebagainya. Kesemuanya
akhirnya akan mempermudah rekonstruksi sejarah nasional, khususnya dalam
aspek strukturalnya. Gambaran sejarah struktural Indonesia itu akan menjadi
komplementer dengan penulisan yang lebih berfokus pada proses integrasi; di
sini segi prosesualnyalah yang diutamakan. Sudah barang tentu kemudian
pengaruh timbal-balik antara kedua aspek dapat dikaji, sehingga tercapailah
suatu sintesis yang semakin bulat.

Perlu ditambahkan bahwa perbedaan-perbedaan tetap menarik dan


cukup berarti, justru untuk memberi tekanan kepada kebinekaan negeri kita.

14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kausalitas adalah Hubungan sebab akibat yang mana sebab adalah Peristiwa
mengapan sesuatu itu terjadi, sedangkan akibat efek suatu peristiwa. Sebab akibat
selalu berhubungan.

Dalam ilmu-ilmu sosial kedalaman ilmu pengetahuan ditunjukkan sejauh


mana ilmuwannya dapat menggali sebab-musabab (sebab-akibat/kausalitas)
fenomena yang ditelitinya.

Dalam Ilmu Sejarah Yang Ilmuwannya Tidak Dapat Mengamati Secara


Langsung Peristiwa Yang Sudah Lampau. Betapapun Seringnya
Sejarawan Mengamati, Meneliti, Dan Merekonstruksi Fakta-Fakta, Kiranya Akan
Sulit Untuk Dapat Merumuskan Sebab-Sebab Umum.

15
DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Jurnal. Purwandik. 2017. Kualitas Sejarah.

16

Вам также может понравиться