Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1
Sebagai contoh, data mengenai jumlah penderita gizi buruk, jumlah
penduduk miskin, rasio jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan
dan prosedur pelayanan dasar maupun rujukan hendaknya diberikan pada
publik secara transparan.
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.3.1 Mengetahui Pengertian Politik dan Pengertian Politik Kesehatan
2
1.3.2 Mengetahui Pengaruh politik terhadap kesehatan
1.3.3 Mengetahui Strategi dan esensi politik kesehatan
1.3.4 Mengetahui Politik Kesehatan dan kemiskinan
1.3.5 Mengetahui perkembangan politik kesehatan di Indonesia
3
BAB II
PEMBAHASAN
Jadi politik menurut kami adalah Suatu ilmu dan seni mengelola peran
untuk mencapai tujan yang dicapai.
4
2.1.2 Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua
aspek. Ini juga merupakan tingkat fungsional dan atau efisiensi
metabolisme organisme, sering secara implisit manusia. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), mendefinisikan kesehatan didefinisikan
sebagai "keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahteraan sosial dan
bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan"
Kesehatan adalah konsep yang positif menekankan sumber daya
sosial dan pribadi, serta kemampuan fisik. Secara keseluruhan
kesehatan dicapai melalui kombinasi dari fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial, yang, bersama-sama sering disebut sebagai
"Segitiga Kesehatan"
5
terhadap intervensi kebijakan politik. Kesehatan bagian dari politik
karena kesehatan adalah Hak Asasi manusia.
6
menciptakan masyarakat dan lingkungan sehat secara keseluruhan.
Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Dengan kekuasaan
yang dimiliki, maka akan melahirkan kebijakan yang pro rakyat untuk
menjamin derajat kesehatan masyarakat itu sendiri. Kebijakan
pemerintah dapat terwujud dalam dua bentuk.
7
mental yang balk, sumberdaya manusia tidak akan mampu berkompetisi
dengan optimal. Secara tradisional kesehatan diukur dari aspek negatifilya
seperti angka kesakitan, angka kecacatan, dan angka kematian. Melalui
paradigma sehat, kesehatan sudah tidak lagi dipandang semata - mata
sebagai terbebas dari penyakit, tetapi sebagai sumberdaya yang memberi
kemampuan kepada individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk
mengelola bahkan merubah pola hidup, kebiasaan, dan Iingkungannya.
Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi kepada
penyakit, maka paradigma baru berorientasi kepada nilai positif kesehatan,
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin melalui
pengurangan dalam penderitaan dan kecemasan, serta peningkatan dalam
harkat diri dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun dalam menghadapi
penyakit yang kronis maupun fatal (Manajemen Strategis Terpadu Bagi
Masyarakat Miskin, 1999).
Saat ini dimana lingkungan sosial, ekonomi, dan politik berada
pada situasi krisis, termasuk sektor kesehatan telah membuat masyarakat
terutama masyarakat golongan miskin bertambah menderita karena
semakin sulit menjangkau fasilitas kesehatan milik swasta maupun
pemerintah. Dalam hal ini, rumah sakit sebagai organisasi sosial
bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit
harus dapat berfungsi sebagai rumah sehat yang melaksanakan kegiatan
promotif bagi kesehatan pasien, staf rumah sakit, dan masyarakat di
wilayah cakupannya serta pengembangan organisasi rumah sakit menjadi
organisasi yang sehat.
Penerapan sebagai rumah sehat memerlukan pendekatan terpadu
dalam pengernbangan organisasi dan tenaga kesehatan. Gerakan rumah
sehat akan menghasilkan penajaman pelayanan rumah sakit dalam
menunjang gerakan kesehatan bagi semua dan pemberdayaan pasien serta
staf rumah sakit (Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat 1999).
Masyarakat selalu mengharapkan agar pelayanan rumah sakit, baik. milik
pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan yang baik dan
8
memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya, pasien
menginginkan fasilitas yang baik dari rumah sakit, keramahan pihak
rumah sakit, serta ketanggapan, kemampuan, dan kesungguhan para
petugas rumah sakit, Dengan demikian pihak rumah sakit dituntut untuk
selalu berusaha meningkatkan layanan kepada pasien.
Haryono Wiratno (1998), mengatakan bahwa kualitas pelayanan
(Service Quality) adalah pandangan konsumen terhadap hasil
perbandingan antara ekspektasi konsumen dengan kenyataan yang
diperoleh dari pelayanan. Sedangkan kepuasan adalah persepsi pelanggan
terhadap satu pengalaman layanan yang diterima
Program kesehatan di masyarakat mendapat perhatian tetapi, yang
dapat kita pelajari dari makalah ini adalah bahwa banyak kebijakan
“bagus” tetapi seperti berada di keranjang sampah. Mereka dibuang begitu
saja. Ada contoh peristiwa politik memanfaatkan kebijakan tetapi berbeda
dari masalah dan policy option yang sewajarnya lebih baik.
Muatan politik begitu kuat sehingga kebijakan itu menyeleweng
dari relevansi masalah yang dianggap oleh masyarakat dan birokrat. Ada
contoh peristiwa politik berhimpitan dengan masalah dan policy option
yang relevan dengan stakeholder lain. Politik memiliki pengaruh begitu
besar terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
9
2.3.2.2 UU Tembakau; Cukei rokok terus dinaikkan karena konsumsi
rokok di Indonesia semakin meningkat.
Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat
konsumsi tembakau terus meningkat dan beban peningkatan ini
sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka
kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar
Amerika, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang
diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya
konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di
tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya
produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US
$ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah
sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp
32,6 Triliun atau US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp
8.500,-).
2.3.2.3 Program Pembatasan Waktu Iklan Rokok
Larangan iklan secara menyeluruh merupakan upaya
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat khususnya
anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja merupakan sasaran
utama produsen rokok. Diakui oleh industri rokok bahwa anak-
anak dan remaja merupakan aset bagi keberlangsungan industri
rokok. Untuk itu kebijakan larangan iklan rokok secara
menyeluruh harus diterapkan untuk melindungi anak dan remaja
dari pencitraan produk tembakau yang menyesatkan.
Pelarangan iklan rokok menyeluruh (total ban) mencakup
iklan, promosi dan sponsorship yang meliputi pelarangan (1)
iklan, baik langsung maupun tidak langsung di semua media
massa; (2) promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan
harga, hadiah, peningkatan citra perusahaan dengan menggunakan
nama merek atau perusahaan dan (3) sponsorship dalam bentuk
10
pemberian beasiswa, pemberian bantuan untuk bidang
pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.
11
keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang
berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan,
keadaan gawat dll. Kebijaksanaan selalu mengandung makna
melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan
tertentu.[8]
Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soial dan ekonomi
(RI, 1992).[9] Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang
dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu kaadaan yang
sempurna yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya
terbebasnya dari penyakit atau kecacatan.[13] Menurut UU No. 36, tahun
2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. [12]
Jadi, analisis kebijakan kesehatan adalah pengunaan berbagai
metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan
ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan
kesehatan.
12
Adanya analisis kebijakan kesehatan akan memberikan keputusan
yang fokus pada masalah yang akan diselesaikan.
Analisis kebijakan kesehatan mampu menganalisis multi disiplin
ilmu. Satu disiplin kebijakan dan kedua disiplin ilmu kesehatan.
Pada peran ini analisis kebijakan kesehatan menggabungkan
keduanya yang kemudian menjadi sub kajian baru dalam khazanah
keilmuan.
Adanya analisis kebijakan kesehatan, pemerintah mampu
memberikan jenis tindakan kebijakan apakah yang tepat untuk
menyelesaikan suatu masalah.
Memberikan kepastian dengan memberikan kebijakan/keputusan
yang sesuai atas suatu masalah yang awalnya tidak pasti.
Dan analisis kebijakan kesehatan juga menelaah fakta-fakta yang
muncul kemudian akibat dari produk kebijakan yang telah
diputuskan/diundangkan. [1] [2]
13
C. Membina sistem kesehatan dan sistem hukum di bidang
kesehatan
D. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
E. Melaksanakan jejaring pembangunan kesehatan
14
B. Pembangunan sarana dan parasarana RS di daerah tertinggal
secara selektif
C. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit
D. Pengadaan obat dan perbekalan RS
E. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan
F. Pengembangan pelayanan kedokteran keluarga
G. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
2.4.3.7 Kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit
A. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
B. Peningkatan imunisasi
C. Penemuan dan tatalaksana penderita
D. Peningkatan surveilans epidemologi
E. Peningkatan KIE pencegahan dan pemberantasan penyakit
2.4.3.8 Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat
A. Peningkatan pendidikan gizi
B. Penangulangan KEP, anemia gizi besi, GAKI, kurang vitamin
A, kekuarangan zat gizi mikro lainnya
C. Penanggulangan gizi lebih
D. Peningkatan surveilans gizi
E. Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi
2.4.3.9 Kebijakan program sumber daya kesehatan
A. Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
B. Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan
kesehatan terutama untuk penduduk miskin
C. Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit
2.4.3.10 Kebijakan program kebijakan dan manajemen pembangunan
kesehatan
A. Pengkajian dan penyusunan kebijakan
B. Pengembangan sistem perencanaan dan pengangaran,
pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan penyempurnaan
administrasi keuangan, serta hukum kesehatan
15
C. Pengembangan sistem informasi kesehatan
D. Pengembangan sistem kesehatan daerah
E. Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan
2.4.3.11 Kebijakan program penelitian dan pengembagan kesehatan
A. Penelitian dan pengembangan
B. Pengembangan tenaga, sarana dan prasarana penelitian
C. Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian dan
pengembangan kesehatan
2.4.4 Kesehatan dan Komitmen Politik
16
”Aktor Politik” sebagai pembantu presiden (Menteri Kesehatan) yang
melaksanakan kebijakan politik Presiden yang telah mengangkatnya,
Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
kepada Gubernur/ Bupati/Walikota serta Aktor Politik di DPR RI / DPD/
DPRD Propinsi/ Kabupaten/Kota.
17
pula dijadikan modal politik untuk mendapatkan suara pada periode
pemilihan selanjutnya. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki komitmen
untuk menyehatkan warganya, maka jangan disalahkan jika "rakyat yang
telah sadar politik" yang memiliki hak dalam memilih akan dapat
memberikan sangsi politik dengan tidak memilihnya kembali untuk
periode kepemimpinan berikutnya.
18
Intervensi oleh Aktor Politik untuk Membuat Rakyat Sehat
Aktor politik tidak hanya cukup menyatakan keprihatinan dengan
merebaknya berbagai penyakit, masalah gizi buruk dan masalah-masalah
kesehatan masyarakat yang banyak menimpa masyarakat miskin dewasa
ini, yang semua ini menyulitkan pencapaian untuk membuat rakyat
Indonesia sehat dan komitmen global MDGs 2015. Aktor Politik baik di
pusat dan di daerah yang domisisli dari Sabang sampai Meroke dapat
membuat kebijakan dan hukum yang menekankan pada program
perlindungan kesehatan, promosi kesehatan dan pencegahan penyakit,
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, menguatkan kerjasama
lintas sektoral dan mengajak seluruh lapisan masyarakat bersama-sama
bertanggung jawab dalam pemeliharaan kesehatan lingkungan dan
perilaku hidup sehat. Dapat pula membuat kebijakan berupa program
yang bersifat nasional yang dapat menjamin kesehatan generasi
mendatang secara dini yang melindungi kelompok rentan yaitu ibu, bayi
dan anak dari berbagai gangguan gizi dan masalah kesehatan.
Jika kita perhatikan sejak Orde baru dengan program kerja yang
terencana PELITA I–VII, dilanjutkan lagi dengan era desentralisasi yang
sudah berlangsung lebih lima tahun, masih menyebabkan angka kematian
ibu dan angka kematian bayi baru lahir dengan angka yang
pergeserannya tidak signifikan. Bahkan ada data yang menunjjukan
bahwa setiap 2 jam ada ibu baru melahirkan yang meinggal dunia.
Kedepan seharusnya Aktor politik dapat membuat program-program
kerja yang lebih proaktif misalnya dengan membuat program kerja yang
proaktif dengan cara melakukan intervensi di Hulu pada permasalahan
kesehatan yang ada. Misalnya untuk mengurangi secara signifikan angka
kematian ibu dan angka kematian bayi baru lahir perlu dibuat kebijakan
untuk mengintervensi sejak di ketemukan adanya Wanita Usia Subur
(WUS) dengan kategori tidak mampu, menikah dengan pria yang
dikategorikan tidak mampu pula di KUA ataupun Catatan setempat sipil
dan diketahui oleh pihak kelurahan setempat, juga diketahui oleh pihak
19
puskesmas terdekat. Intervensi untuk program penyelamatan ibu tersebut
misalnya memberikan batuan langsung tunai untuk ibu hamil (BLT-IH)
tidak mampu. Intervensi ini berupa BLT-IH ini diberikan selama 9 bulan
dan diberikan juga bantuan biaya untuk biaya melahirkan bila perlu
dengan biaya transportasi pulang-pergi dari dan kelokasi tempat
melahirkan yaitu tenaga professional yang mampu menolong kelahiran
(bidan praktek, obgyn, dll).
20
dimana Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing unit Puskesmas.
21
tidak meninggalkan upaya kuratif dengan ukuran yang mudah dan
menggunakan indikator-indikator langsung berupa menurunnya angka
kunjungan ke puskesmas, puskesmas pembantu dan Rumah Sakit(RS)
dikarenakan sakit. Fungsi pelayanan dasar harus memprioritaskan dalam
upaya membuat rakyat sehat dan produktif.
22
Pemerintah untuk diprluas dalam upaya menyelamatkan ibu dan bayi
baru lahir. Sehingga kelak kita dapat berharap di media massa akan
terlihat laporan ”neraca kesehatan” dengan persentase semakin
banyaknya warga negara yang terhindarkan dari sakit dan telah dibuat
sehat melalui berbagai kebijakan di hulu.
23
bahwa kesehatan adalah investasi, sector produktif dan bukan sector
konsumtif. Praktisi kesehatan juga belum mampu memperlihatkan secara
jelas di dalam mempengaruhi para pemegang kebijakan tentang manfaat
investasi bidang kesehatan yang dapatmenunjang pembangunan bangsa.
Tidak ada batasan yang jelas siapa aktor politik kesehatan yang
sesungguhnya, namun dapat dikatakan bahwa aktor politik kesehatan adalah
orang, lembaga atau profesi yang berjuang untuk mewujudkan rakyat yang
sehatdan sejahtera. Akan tetapi karena masalah politik adalah masalah
kesehatan, maka tentu saja tidak perlu semua aktor politik adalah orang
kesehatan atau orang dengan latar belakang kesehatan akan tetapi yang
terpenting adalah bagaimana para aktor politik mempunyai wawasan
kesehatan.
24
keputusan politik. Membiarkan dokter menumpuk dan berebut cuma di kota
besar, atau mengatur penyebarannya berdasarkan kepentingan Daerah,
contoh lain buah keputusan politik, singkatnya, politik kesehatan atau
kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan politik.
Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan
masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit
akan membiarkan rakyatnya sakit.
Contoh paling nyata yang terjadi d a l a m p e n e t a p a n a n g g a r a n
untuk kesehatan, menteri kesehatan mengajukan rancangan
anggaran kepada presiden yang kemudian akan dibahas bersama
DPR karena dalam penetapan Anggaran Belanja Negara DPR
mempunyai wewenang dalam menyetujui maupun menolak
terhadap rancangan yang diajukan tersebut.
25
kekuasaan lokal dan korupsi dicentang, dan melanggengkan
kesenjangan antara daerah kaya dan miskin.
Akurat atau terlambat diagnosa, fasilitas tidak memadai dan
pengobatan, biaya yang berada di luar jangkauan: semua ini adalah
bagian dari pengalaman sehari-hari kesehatan bagi jutaan rakyat
Indonesia. Akibatnya, setiap tahun, warga yang tak terhitung negara
meninggal akibat kondisi yang seharusnya dicegah atau disembuhkan.
Ini edisi khusus Indonesialooks dalam pada masalah yang menimpa
kesehatan, dan mencari tanda-tanda harapan di tengah perubahan politik
yang membentuk kembali Indonesia sebagai masyarakat yang lebih
demokratis.
Kekuatan sosial dan politik yang telah menghasilkan hasil yang
tidak merata seperti untuk sektor kesehatan di Indonesia selama masa
transisi negara menuju demokrasi. Sementara perekonomian Indonesia
tumbuh dengan pesat, pemerintah terus menghabiskan lebih sedikit
pada kesehatan per kapita dibanding negara-negara tetangganya dengan
profil ekonomi yang sama, indikator kunci kesehatan - seperti rasio
penyedia kesehatan untuk penduduk - juga tertinggal. Maka timbullah
pertanyaan-pertanyaan yang kompleks seperti apa yang memegang
Indonesia kembali?' Apa yang memotivasi pejabat terpilih, profesional
kesehatan dan konsumen untuk membuat keputusan yang mereka buat?
Dan apa hasil bagi masyarakat yang paling rentan di Indonesia?
Jenis disfungsi yang mengganggu sektor: dari ketidakhadiran di
klinik kesehatan dengan rincian dalam berbagi informasi penting antara
kabupaten dan pusat. Pisani menyalahkan insentif politik condong
untuk banyak disfungsi ini. Misalnya, pejabat daerah yang terpilih
berinvestasi dalam infrastruktur kesehatan yang mahal dan mencolok
untuk meningkatkan profil politik mereka, daripada mengatasi
kebutuhan kesehatan yang lebih kompleks. Tetapi transisi demokrasi
juga membawa perubahan positif. Pisani poin bagaimana pemilihan
langsung memberikan tekanan pada politisi lokal untuk menjawab
26
tuntutan konstituen mereka untuk layanan kesehatan yang lebih baik.
Sebagai harapan masyarakat meningkat, ia berharap, demikian juga
akan kualitas pelayanan.
Edward Aspinall dan Hawa Warburton menganalisis hubungan
antara politik elektoral dan munculnya skema kesehatan lokal.
Kampanye populis yang menjanjikan kesehatan gratis sekarang biasa
dalam pemilihan provinsi di seluruh negeri dan kabupaten. Tren ini
mengungkapkan bagaimana politisi lokal terlibat dengan tuntutan
pemilih mereka dengan cara baru dan progresif. Bahkan jika biaya
kesehatan mulai turun bagi banyak orang, namun, ini tidak selalu berarti
kualitas yang membaik.
Aktivis kesehatan reproduksi, Inna Hudaya, menawarkan
wawasan ke dalam penderitaan perempuan muda yang mengalami
kehamilan yang tidak direncanakan. Dia menjelaskan bagaimana stigma
sosial dan hukum diskriminatif memaksa perempuan menjadi
berbahaya, dunia trauma dan kadang-kadang fatal aborsi ilegal. Dalam
kasus ini, juga, politik memainkan peran, tetapi merupakan politik
konservatisme sosial yang menolak kontrol perempuan atas tubuh
mereka. Untungnya, organisasi baru yang dijalankan oleh orang-orang
seperti Inna berjuang untuk mengubah hukum diskriminatif dan untuk
membantu perempuan menemukan informasi dan layanan yang mereka
butuhkan.
27
yang berganti kepala dinas, padahal di kabupaten/kota tersebut sistem
kesehatan dasar harusnya menjadi prioritas utama. Bahkan banyak
kepala daerah bukan merupakan orang yang konsen pada isu kesehatan
dan ada kepala dinas kesehatan yang bukan merupakan orang
kesehatan. Fenomena tersebut menjadi penekanan agar jangan sampai
pergantian politik menjadi hambatan dalam pembangunan kesehatan.
Kepala daerah hendaknya dipilih yang care kepada kesehatan, sehingga
akan mengalokasikan APBD untuk pembangunan kesehatan di
daerahnya.
28
Coverage bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak isu yang muncul
sebagai reaksi dari progam tersebut diataranya adalah peran serta
masyarakat, kecukupan tenaga pendidikan dan kecukupan fasilitas
kesehatan.
29
jamianan pelayanan kesehatannya. Berkaitan dengan hal itu menarik
untuk menelaah tulisan A.Maulani (peneliti Pusat studi Asia pasifik
,UGM) yang dimuat di situs Antaranews.com . Dia mengutip
pernyataan mantan Menkes Siti Fadillah Supari “Tuntut rumah sakit
yang tidak mau menerima pasien yang memiliki kartu Jamkesmas
(Jaminan Kesehatan Masyarakat). Kalau masyarakat miskinnya yang
tidak punya Jamkesmas, tuntut Pemdanya”, dalam sebuah rapat kerja
dengan DPRRI (9/02/09).
Pernyataan keras tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa
banyak lembaga kesehatan yang hanya berorientasi ekonomi semata,
yang kurang berpihak masyarakat miskin. Mereka selalu saja menjadi
korban bahkan bulan-bulanan oleh sebuah sistem. Kesehatan dalam
konteks ini hanya dipandang sebagai perkara medis belaka. Fungsi
sosial yang seharusnya juga diemban RS ternyata terkikis oleh hasrat
penumpukan laba semata.
Dengan jumlah 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, maka
sudah saatnya Negara mengambil prakarsa untuk melindungi mereka
agar berbagai lembaga kesehatan serta hal lain yang terkait seperti
rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga obat, serta dokter tidak justru
menjadi mesin yang menggilas mereka yang miskin dan menjadikan
siklus kemismikan kian tak berujung. Itulah kira bentuk politik
kesehatan yang harus dijalankan Negara. Seperti dikatakan Jeffrey
Sachs dalam buku The End of Poverty (2005) bahwa banyak hal yang
menyebabkan seseorang akan semakin terperangkap dalam “jebakan
kemiskinan”. Salah satunya adalah tiadanya human capital di mana
salah satu variabelnya adalah dalam wujud akses kesehatan yang
memadai dan terjangkau.
2.7.4 Komitmen Pemerintah Terhadap Kesehatan Dinilai Masih Lemah
Sejumlah kalangan menilai komitmen pemerintah terhadap
masalah kesehatan di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat
30
baik dari sisi politik anggaran maupun regulasi yang belum pro
terhadap kesehatan masyarakat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Sudaryatmo,pakar kesehatan dari Universitas Hassanudin Prof Razak
Thaha dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin
dan pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif menilai pergantian
pimpinan/penguasa terus terjadi,namun masalah kesehatan tetap
berjalan di tempat.
Pertanyannya,setahun menjelang pemilu 2014,masihkah
kesehatan rakyat mendapatkan perhatian. Mereka mengimbau
maraknya politik nasional menjelang pemilu 2014 tidak boleh
mempengaruhi berbagai program pembangunan kesehatan yang telah
dicanangkan.
Sudaryatmo,mengatakan, dari sisi politik anggaran kesehatan
dan pendidikan,komitmen pemerintah Indonesia dibanding negara lain
masih ketinggalan. Ini terlihat dari alokasi untuk pendidikan dan
kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),Indonesia paling
rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%,Laos
mendekati 5%,Malaysia 10%,Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.
“Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah memang belum
berpihak pada isu kesehatan dan pendidikan. Minimnya anggaran
kesehatan menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan
balita karena kurang mendapatkan dukungan memadai,” kata
Sudaryatmo pada acara refleksi setahun menjelang Pilpres 2014 yang
digalar IDI di Jakarta, Senin (14/1). Hadir pula Wakil Menteri
Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Menurut Sudaryatmo,dibanding kesehatan,pemerintah lebih
komitmen dan disiplin untuk membayar hutang. Untuk pendidikan dan
kesehatan hanya 2% dari GDP, tetapi untuk bayar hutang mencapai
10%. Lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari
1%,Laos 3%,Malaysia 8%. Walaupun Philipina juga cukup tinggi yakni
31
12% dan Taiwan 15%, namun rasio antara anggaran kesehatan dengan
membayar hutang seimbang, sedangkan di Indonesia sangat jomplang.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap isu kesehatan dan
pendidikan juga terlihat dari struktur APBN 2013. Mengutip data
Kementerian Keuangan,menurut Sudaryatmo,dari total APBN sebesar
Rp 1,683 triliun,dialokasikan dominan ke sejumlah sektor. Di antaranya
infrastruktur Rp 201,3 triliun (11,96),pertahanan negara Rp118,3 triliun
(7,02%),subsidi Rp317,2 triliun (18,84%),transfer ke daerah Rp 526,6
triliun (31,4%).
Struktur anggaran ini menunjukkan sebagian besar untuk
subsidi,bahkan lebih besar dari pembangunan infrastruktur. Padahal,
kata dia,sebagian besar subsidi tidak jelas sasaran dan implikasinya
terhadap perbaikan masalah di masyarakat.
Subsidi BBM misalnya mencapai Rp 193,8 triliun (61,2%) dari
total anggaran subsidi. Dibanding subsidi listrik yang sebesar Rp 80,9
triliun (25,51%), subsidi BBM bermasalah karena pemerintah tidak
memiliki data dan pertanggungjawaban soal penerima maupun
besarannya. Menurutnya, misteri subsidi BBM akan menjadi catatan
hitam sejarah ekonomi kontemporer Indonesia. “Padahal untuk
mengatasi masalah kesehatan,menurut para pakar tidak sampai
membutuhkan anggaran sebesar subsidi BBM,” katanya.
Razak Thaha mengatakan,meskipun Indonesia selalu bangga
memiliki pendapatan perkapita atau pertumbuhan ekonomi lebih dari
negara tetangga,tetapi dalam masalah kesehatan tidak lebih baik.
Masalah gizi di Indonesia misalnya belum mengalami
penurunan signifikan. Di antaranya Indonesia merupakan negara kelima
dengan jumlah orang pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain
Tiongkok,India,Pakistan,Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO
mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk
Indonesia.
32
Menurutnya, orang pendek merupakan representasi dari
kemiskinan di setiap provinsi. Di mana ada lumbung kemiskinan di situ
orang pendek lebih banyak, seperti di NTT,Papua Barat dan NTB.
Mereka terlahir dari ibu-ibu yang juga miskin dan kekurangan gizi.
Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk
adalah calon-calon penderita penyakit tidak menular di kemudian
hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.
“Padahal anggaran untuk gizi melalui pagu kesehatan terus
meningkat, bahkan saat puncak resesi ekonomi. Tahun 2000
anggarannya baru sekitar Rp 21 miliar,tetapi naik tujuh kali lipat atau
Rp 700 miliar di tahun 2007. Tetapi status gizi malah tambah jelek,lalu
kemana anggaran itu,” katanya.
Ali Ghufron Mukti,mengatakan, pemerintah sudah cukup
memberikan perhatian serius pada masalah kesehatan. Buktinya, hampir
tidak ada negara di dunia ini yang menjamin 86,4 juta warganya untuk
berobat gratis seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia. Selain itu,
progam Jampersal menjamin persalinan gratis untuk semua ibu hamil.
“Dari sisi anggaran memang dari persentase masih di bawah
2,1% dari total APBN, tetapi nominal-nya terus meningkat setiap tahun.
Tahun ini sebesar Rp 32 triliun, dan 2014 diperkirakan mencapai sekitar
Rp 40 triliun,” katanya.
Zainal Abidin,mengatakan,anggaran kesehatan setiap tahun
hanya berkisar di 2% dari total APBN. Karena itu IDI mengimbau
pemerintah untuk menaikannya sesuai dengan UU Kesehatan
36/2009,yakni minimal 5% di luar gaji pegawai. Secara politis,kata
dia,pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusi untuk menjalankan
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan baik. [D-13]
“Mengapa komitmen Negara dalam bentuk politik kesehatan
menjadi penting? Perlu dicatat bahwa kondisi orang miskin di negeri ini
sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan James C. Scott
(1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher,
33
sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya.
Ombak kecil dalam konteks ini saya kira bisa berupa mahalnya biaya
rumah sakit dan juga obat-obatan.
Pada titik inilah penting mengkorelasikan hubungan antara
sektor kesehatan dan kebijakan politik sebagai bentuk konkrit dari
kebijakan kesehatan. Banyak bukti yang menunjukkan bagaimamana
kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Data
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks/HDI) yang
memasukkan tiga parameter penting dalam menghitung tingkat
kesejahteraan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. menunjukkan
bahwa peringkat kesejahteraan Indonesia pada tahun 2010 berada di
urutan 124 dari 185 negara. Dibanding Negara-negara ASEAN.
34
Satu hal yang kira penting diketahui bahwa untuk masyarakat
yang tinggal dipedesaan yang terpencil atau pedalaman akses pada
layanan kesehatan adalah barang langka. Karena itu keberpihakan
pemerintah dalam bentuk politik kesehatan untuk mendahulukan serta
melindungi mereka yang kurang mampu kiranya adalah salah satu
wujud affirmative action dibidang kesehatan.
35
selalu menjadi harapan bagi masyarakat yang telah memilihnya sebagai
pemimpin.
36
pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur sektor sistem
kesehatan di daerahnya. Dalam prosesnya, pemerintah daerah sangat
tergantung pada beberapa faktor, yaitu dukungan pembiayaan, kerja
sama lintas sektor, dan berbagai faktor lainnya yang terkait dalam
menyukseskan sistem kesehatan di daerahnya.
Tahun 2004 juga telah dilakukan suatu “penyesuaian” terhadap
SKN (Sistem Kesehatan Nasional) 1982. Di dalam dokumen dikatakan
bahwa SKN didefinisikan sebagai suatu tatanan yang menghimpun
upaya bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna
menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai
perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan
UUD 1945. Baru setelah itu muncul UU No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.36 tahun
2009 tentang Kesehatan sebagai aturan dasar bidang kesehatan di
Indonesia.
37
anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Faktanya politik anggaran
kesehatan hingga tahun ini belum terealisasi sesuai minimal anggaran
kesehatan dan hal inilah yang terlihat bahwa politik Indonesia selama
ini belum membangun kesehatan. Sebelumnya, Nafsiah Mboi, Menteri
Kesehatan RI, menjelaskan bahwa untuk tahun 2014, pagu indikatif
Kemenkes sebesar Rp 24,67 triliun. Itu berarti menurun cukup
signifikan, hampir mencapai 30 persen dibandingkan tahun 2013.
Kepada siapa lagi mau berharap jika di saat isu BBM naik justru malah
anggaran kesehatan bangsa kita semakin anjlok. Kini rakyat semakin
jauh dari mimpi dimana visi Indonesia Sehat akan tercapai dengan
anggaran yang semakin menurun dari tahun sebelumnya. Terlebih di
saat harga Bahan Bakar Minyak dan kebutuhan lainya meningkat.
38
produktifitas manusia, dan angka harapan hidup, distribusi dan kualitas
tenaga kesehatan, yang dampaknya justru akan merugikan negara
secara sistemik.
Permasalahan yang terjadi selama ini, telah banyak dilakukan
pergantian pemimpin, tetapi permasalahan kesehatan ibarat jalan
ditempat. Padahal sebagian permasalahan kesehatan justru malah
makin meluas dan komplek. Selain hal itu, tidak sedikit pula dalam
setiap pergantian pemimpin daerah yang baru maka muncul pula
program baru yang justru kurang mendukung program-program periode
kepemimpinan sebelumnya. Akibatnya fokus penyelesaian masalah
kesehatan di daerah tidak berkembang secara konsisten dan
berkelanjutan.
Jika penulis analogikan secara sederhana, bahwa sehat memang
bukan segalanya, tetapi jika kita tidak sehat, maka segalanya akan sia-
sia. Oleh karena itu dinamika politik tahun 2014 yang harus
dipersiapkan sejak tahun 2013 ini melalui pencalonan presiden,
gubernur/walikota, anggota DPR dan DPRD haruslah diorientasikan
untuk membangun kesehatan bangsa. Sistem kesehatan bangsa dan
daerah yang mudah, efektif dan efisien harus menjadi pondasi
sekaligus ujung tombak negara. Hal ini menjadi sangat penting jika
pendapatan daerah dan negara ingin meningkat, begitu pula
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat masih menjadi tujuan utama
bangsa, sesuai empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
39
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Politik dalam arti kepentingan umum adalah suatu rangkaian
azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai
dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai tujuan
yang kita inginkan. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap
kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan
derajat kesehatan masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem
ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau negara .
Politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya
ditentukan oleh keputusan politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah
tidak sehat, jangan harap kesehatan masyarakat di daerah itu akan diurus
dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan rakyatnya sakit.
Kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan.
3.2 Saran
Demikian uraian materi tentang Politik dalam Kesehatan, Semoga
kebijakan-kebijakan politik kesehatan di indonesia bisa terlaksana dengan
baik dan semua rakyat Indonesia bisa menikmati haknya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan layak dan memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan jeminan kesehatan pemerintah.
40