Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
“TRICHOMONOSIS”
Oleh :
KELAS : 2016 D
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
i
RINGKASAN
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas mata
kuliah Ilmu Penyakit Parasiter yang berjudul “Trichomonosis” dengan baik. Kami
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas
ini. Dalam penyusunan dan pencetakan tugas ini mungkin terdapat kesalahan kata
baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, kami memohon maaf
yang sebesarnya. Dengan adanya tugas ini, kami berharap dapat digunakan sebagai
bahan bacaan serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan. Serta kami sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan tugas kami yang berikutnya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
RINGKASAN ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................... iv
4.1 Etiologi.................................................................................. 6
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
4. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit Trichomonosis?
5. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit Trichomonosis?
2
BAB 2
TUJUAN DAN MANFAAT
3
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Protozoa
Protozoa adalah organisme satu sel (sel tunggal), tetapi telah memiliki fungsi
metabolisme, pergerakan, digesti, respirasi, sekresi, reproduksi, pertahankan hidup
dan lain-lain diselenggarakan oleh organela sel (Oka, 2009). Protozoa merupakan
“eukaryotic” dimana intinya diselubungi oleh membran atau selaput, berbeda
dengan “prokaryotic”, contohnya bakteri, dimana intinya tidak diselubungi oleh
membran atau dengan kata lain tidak terpisah dengan sitoplasma. Karakteristik lain
dari protozoa ialah bersifat kemoheterotrof, dan aktivitas makan dilakukan dengan
fagositosis dan pinositosis. Sebagian besar protozoa hidup bebas di alam, tetapi
beberapa jenis hidup sebagai parasit pada binatang dan manusia.(Wibowo, 2015).
Struktur umum setiap protozoa tersusun oleh inti dan sitoplasma. Inti adalah
bagian yang paling penting, karena mengatur berbagai fungsi hidup dan berperan
dalam pengaturan reproduksi. Inti sel terdiri dari berbagai struktur antara lain
selaput inti, serabut-serabut linin, butir-butir kromatin, dan kariosum atau plastin.
Umumnya protozoa hanya mempunyai satu inti, akan tetapi kelas Ciliata
mempunyai dua inti (makronukleus dan mikronukleus) dan bahkan ada juga
beberapa protozoa yang memiliki banyak inti. Sedangkan sitoplasma dapat
dibedakan menjadi ektoplasma (bagian paling luar dari sitoplasma) dan endoplasma
(bagian sebelah dalam sitoplasma). Pada endoplasma ditemukan bermacam-macam
organela di antaranya retikulum endoplasma, ribosom, mitokondria, aparat golgi,
vakuola kontraktil, dan vakuola (Oka, 2009)..
Protozoa parasitik umumnya bergerak menggunakan flagela, selaput
undulasi, silia, pseudopodia, dan cara bergerak lainnya dengan membengkok,
memilin, meluncur, mengombak permukaan tubuh bagian luar yang
memungkinkan untuk bergerak, menggelinding, dan melecut (Oka, 2009). Cara
reproduksi prozoa terdiri atas reproduksi seksual dan reproduksi aseksual.
Reproduksi seksual berupa proses syngamy dan konjugasi, sedangkan reproduksi
aseksual berupa proses binary fission, skizogoni, dan endodiogeni (Wibowo, 2015).
4
3.2 Tritrichomonosis foetus
Tritrichomonas foetus merupakan protozoa penyebab ”venereal bovine
trichomonosis” pada sapi, juga pada zebu, babi, kuda dan keledai. Protozoa ini ialah
tropozoit berbentuk buah pir, dengan panjang 10 – 25 mikron dan lebar 3 – 15
mikron, cara bergerak karakteristik yaitu teramati bergerak dengan tersendat-
sendat. T. foetus memiliki 3 flagela anterior dan tidak mempunyai pelta. Protozoa
ini hanya ditemukan satu inti yang bentuknya oval terletak di anterior. Sebuah
flagela yang paling tebal berjalan ke arah belakang sepanjang tepi tubuh dan
membentuk selaput beralun (undulating membrane), lalu keluar dengan bebas di
bagian tubuh posterior yang meruncing (Oka, 2009).
5
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Etiologi
Agen penyebab penyakit ini adalah Tritrichomonas foetus yaitu spesies
protozoa bersel tunggal yang berkembang biak melalui longitudinal binnary fission
(membelah diri). Adapula klasifikasi dari protozoa ini yaitu (Pudjiatmoko, et al.,
2014) :
Filum : Sarcomastigophora
Subfilum : Mastigophora
Kelas : Zoomastigophorea
Ordo : Trichomonadida
Famili : Trichomonadidae
Spesies : Tritrichomonas foetus
Ciri khas dari protozoa ini adalah adanya membrana undulans sepanjang
tubuhnya, 3 flagella anterior berasal dari blepharoplast terletak pada bagian paling
depan dari tubuh (Stockdale, 2008). Sebuah flagellum posterior berkembang ke
6
arah posterior sepanjang membrana undulans dan panjangnya hampir sama dengan
flagella anterior. Bentuk parasit menyerupai kumparan atau buah alpukat atau buah
pear dengan ujung depan membulat dan yang belakang meruncing, ukuran panjang
10-25 µm dan lebar 3-15 µm (Pudjiatmoko, et al., 2014).
Protozoa ini mempunyai satu inti besar terletak di bagian depan. Di dekat inti
terdapat blepharoplast. Sepanjang tubuhnya terdapat axostyle yang berakhir
menonjol lewat cincin chromatin di bagian posterior badannya. Kosta jelas terlihat
dan merupakan struktur khas Tritrichomonas sp. Axostyle tebal dan hialin,
mempunyai kapitulum berisi butir-butir endoaxostyler dan cincin kromatik pada
titik munculnya dan ujung posterior badan. Benda parabasalnya berbentuk sosis
atau cincin. Tidak ada pelta (Pudjiatmoko, et al., 2014).
Hospes alami dari protozoa ini adalah sapi bos taurus dan bos indicus namun
dapat juga menyerang babi, kuda, rusa, dan kucing. Pada sapi jantan, protozoa ini
ditemukan di preputium dan orificium urethralis. Konsentrasi tertinggi dari dari
protozoa ini terdapat pada mukosa penis dan perbatasan posterior mukosa
preputium ternak. Sedangkan pada betina protozoa ini sering terdapat pada serviks.
(Stockdale, 2008). Protozoa ini cenderung menyerang ternak, namun juga
ditemukan pada jalur nasal dan pencernaan babi serta saluran pencernaan (usus
besar) kucing. Pada kedua kasus tersebut, organisme ini tergolong non-patogenik
atau patogen ringan. Misalnya pada kucing dimana protozoa ini menyebabkan diare
kronis ringan (Daly, 2005).
Tritrichomonas tahan hidup pada suhu kamar dalam larutan garam faali
selama beberapa jam dan selama 24 sampai 48 jam pada suhu 40 o F. Pembekuan
cepat, fluktuasi temperatur dan konsentrasi garam tinggi akan merusak agen ini.
7
Gambar 4.1 Morfologi Gambar 4.2 Gambaran Tritricho-
Tritrichomonas foetus monas foetus pada preparat
4.2 Epidemiologi
Penyakit ini ditularkan melalui koitus secara alami. Penularan dapat juga
melalui penggunaan semen atau peralatan yang terkontaminasi pada inseminasi
buatan. Penularan non venereal jarang dijumpai. Setelah betina terinfeksi,
trichomonad mula-mula berkembang biak dalam vagina dan menyebabkan
vaginitis. Trichomonas foetus paling banyak terdapat pada 14-18 hari setelah
infeksi. Organisme T. foetus melekat pada sel-sel lining dari vagina dengan flagella
posterior kemudian diikuti tubuhnya. Setelah melekat pada sel-sel lining dari
vagina, T. foetus membentuk koloni yang menyebar ke uterus dan oviduk. Mereka
memasuki uterus melalui cervix. Trichomonad dapat menghilang dari dari vagina
atau dapat menetap disitu dan menyebabkan peradangan ringan.
Uterus bereaksi terhadap kolonisasi ini dengan respon inflamasi. Dengan
interval waktu mulai dari infeksi hingga respon inflamasi maksimum, diduga sapi
betina sudah hamil dari perkawinan tersebut. Pada infeksi yang berkembang dengan
cepat, inflamasi menyebabkan kematian dini dari embrio. Jika hal ini terjadi 18 hari
setelah perkawinan, maka sapi betina akan kembali birahi pada siklus 21 harinya.
Namun kasus ini jarang terjadi dikarenakan inflamasi akibat trichomonosis
biasanya membutuhkan waktu 50-60. hari. Sehingga sapi betina terlambat kembali
ke estrus (lebih dari 21 hari), kemungkinan diiringi dengan aborsi fetus, atau
terbentuknya pyometra (uterus dipenuhi nanah) (Daly, 2005). Berikut merupakan
hipotesa proses terjadinya aborsi :
1. Sejumlah besar organisme terdapat di uterus
2. Antigen permukaan dilepaskan dari T. foetus yang melekat pada sel host
di sekitar, merangsang opsonisasi dan fagositosis atau ADCC (Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity).
3. Perlekatan pada fetus atau endometrium menyebabkan toksisitas.
4. Enzim T. foetus mempengaruhi protein permukaan sel host yang
berperan dalam komunikasi fetus dan endometrium.
Organisme ini juga dilaporkan pernah ditemukan pada stroma korionik dari
plasenta fetus yang telah teraborsi. T. foetus diduga terdapat pada cairan amniotic
8
dan kantung amniotic selama perkembangan. Kemudian fetus akan mencerna
cairan ini sehingga organisme dapat masuk ke area tertentu sepertu perut, saluran
cerna, dan pernapasan dari fetus (Stockdale, 2008).
Umumnya, sapi betina yang terinfeksi akan membentuk respon imun
terhadap T. foetus dan bebas dari infeksi setelah 2 hingga 4 bulan setelah infeksi.
Sehingga sapi akan kehilangan konseptus, membebaskan diri dari infeksi, kembali
estrus, dan kembali mengandung. Maka dari itu, hal ini dapat memperpanjang
periode calving. Namun perlu diingat bahwa imunitas sapi betina tersebut bersifat
sementara sehingga sapi dapat kembali terinfeksi pada tahun-tahun berikutnya
(Daly, 2005).
Penularan dari sapi betina ke sapi betina hanya dapat terjadi apabila
diperantarai sapi jantan, dikarenakan organisme tidak dapat bertahan lama di luar
tubuh. Sapi jantan terinfeksi melalui perkawinan dengan sapi betina terinfeksi.
Penularan dari sapi jantan ke sapi jantan diduga terjadi saat sapi jantan muda
menaiki sapi jantan yang terinfeksi. Namun hal tersebut sangat jarang terjadi.
Secara teknis, T. foetus dapat menular melalui kontak dengan kulit penis yang
terinfeksi (Daly, 2005).
Adanya trichomonosis di Indonesia ditemukan oleh mansjoer pada tahun
1967 pada sapi perah di daerah Lembang (Bandung), kemudian dilaporkan adanya
kasus pada dua ekor sapi pejantan di Grati, Pasuruan tahun 1976 oleh Sidik Mulyo
yang diteguhkan oleh Bouters. Pada bulan April 1997 berhasil diisolasi protozoa
tersebut dari sapi perah di Pasuruan, Jawa Timur dalam pupukan GBS yang
kemudian disebut Trichomonas isolat pasuruan yang secara morfologik indentik
dengan T. foetus (Pudjiatmoko, et al., 2014). Saat ini penyakit ini tersebar luas di
seluruh dunia khususnya di Asia, Australia, Amerika Selatan dan Afrika Selatan,
dimana sapi seringkali masih dikawinkan secara alami (Yao, 2013).
9
semen dan perilaku seksualnya tidak terpengaruhi. Namun semen yang dihasilkan
oleh pejantan dapat terkontaminasi oleh T. foetus sehingga dapat menular ke betina
(Pudjiatmoko, et al., 2014). Menurut Stockdale, inflamasi pada preputium dan
glans penis juga dapat terjadi dikarenakan agen penyakit berada pada smegma di
antara celah dari bagian tengah dan caudal penis serta ruang prepusial sapi yang
terinfeksi. Pembengkakan prepusium dan adanya discharge mukopurulent dapat
terjadi namun tidak melebihi 2 minggu.
Sedangkan gejala klinis pada betina muncul setelah 1,5-2 bulan post infestasi.
Penyakit ini ditandai dengan munculnya vaginitis, salphingitis, endometritis,
pyometra, kawin berulang (repeat breeding), dan aborsi pada tri semester pertama
(Pudjiatmoko, et al., 2014). Infertilitas pada sapi betina juga terjadi akibat
endometritis atau salphingitis (Stockdale, 2008). Gejala klinis pada kawanan sapi
yang digembalakan (herd) (Pudjiatmoko, et al., 2014) :
a. Perpanjangan masa involusi uteri (calving interval) melebihi 90 hari.
b. Tingkat kebuntingan yang menurun.
c. Endometritis, pyometra, dan abortus.
d. Kembali estrus setelah kawin.
10
Gambar 4.4 Pyometra pada Gambar 4.5 Abortus fetus Sapi
Uterus Sapi Betina
Adapula yang membagi gejala klinis dari Trichomonosis berdasarkan fase
dari penyakit ini, yaitu sebagai berikut :
a. Fase akut
Fase ini ditemukan banyak kegagalan perkawinan setelah adanya
pejantan yang baru masuk ke dalam suatu kelompok ternak. Panjang siklus
birahi menjadi bervariasi setrelah terjadi perkawinan gagal, dan dapat
melebihi 30 hari lamanya. Embrio atau foetus yang diabortuskan, karena
masih sangat kecil, jarang dapat dilihat. Dalam waktu dua minggu setelah
terjadi penukaran, dapat ditemukan adanya pembengkakan vulva dan jaringan
sekitarnya yang disertai keluarnya cairan mukopurulen. Pada pemeriksaan
penderita lebih lanjut, mula-mula menunjukkan adanya peradangan mukosa
vagina, kemudian diikuti oleh adanya serpihan- serpihan nanah didalam
cairan yang keluar dari alat kelamin.
b. Fase subakut
Pada penularan fase sub akut, banyak peristiwa yang berhasil dan
hewan menjadi bunting. Akan tetapi sebelum fase ini berakhir terlihat siklus
birahi diperpanjang sampai 70 hari tanpa disertai kejadian abortus yang
terlihat. Akan tetapi cairan mukopurulen dari vagina tiba-tiba ditemukan pada
ternak lain pada pertengahan pertama kebuntingan.
Pembesaran uterus dapat dirasakan melalui palpasi rectal. Pemeriksaan
vagina pada saat ini menunjukkan adanya cairan mukous yang jernih disertai
dengan serpihan nanah berwarna kelabu mengalir keluar dari alat kelamin.
Pada kasus piometra yang lanjut, cairan tersebut bersifat mukopurulen. Pada
umur 3-5 bulan masa kebuntingan, nanah banyak didapat dalam vagina.
Abortus terjadi antara umur kebuntingan beberapa minggu sampai
tujuh bulan, dan paling banyak terjadi antara umur kebuntingan empat bulan.
Fetus yang terbungkus didalam selaput didalam selaput fetus yang masih
utuh, tanpa disertai pembusukan. Jarang sekali fetus mengalami pembusukan
dan hancur. Dua sampai tiga hari setelah abortus, cairan mukopurulen masih
11
terlihat mengalir keluar vulva. Setelah abortus, cairan mukopurulen masih
terlihat mengalir keluar vulva. Setelah abortus, siklus birahi dapat normal
kembali.
c. Fase kronis
Pada fase ini penyakit telah menurun dalam suatu usaha peternakan,
namun masih terdapat gejala piometra pada beberapa ekor ternak penderita.
Abortus masih timbul secara sporadic, demikian pula siklus birahi yang
sifatnya tidak teratur masih ditemukan. Perwakilan dengan pejantan
pembawa penyakit, masih dapat berlangsung. Gejala penyakit yang akut
biasanya muncul pada beberapa sapi dara yang belum pernah tertular dan
tidak mendapatkan kekebalan terhadap penyakit ini. Sesudah beberapa tahun
mengalami periode laten atau kronis, trichomoniasis dapat muncul kembali
apabila resistensi hewan menurun.
Secara patologi kelainan pada penyakit ini tidak khas, yaitu adanya placentitis
dan endometritis. Di dalam kotiledon ditemukan sarang-sarang nekrosa dan
pendarahan. Plasenta terlihat menebal dan ditutupi eksudat kental berwarna dan
kekuningan. Bila fetus masih tertinggal di dalam biasanya dalam keadaan maserasi.
4.4 Diagnosa
Diagnosa Tritrichomonas didasarkan pada gejala klinis, sejarah dan catatan
reproduksi kelompok ternak, demikian pula catatan perkawinan pejantan perlu
dipelajari dengan seksama terlebih dahulu. Diagnosa didasarkan pada gejala -
gejala klinis pada kelompok ternak berupa siklus birahi yang tidak teratur,
infertilitas, angka S/C yang terlalu tinggi, abortus, dan piometra. Diagnosa yang
pasti dari trichomonosis adalah menemukan protozoa penyebabnya yang dapat
diketahui dari pemeriksaan melalui mikroskop. Bahan unruk pemeriksaan
mikroskopis dapat diambil dari :
1. Cairan amnion atau allantois dan isi perut foetus yang diaborsikan.
2. Cairan vagina pada fase proestrus atau 1-3 minggu setelah infeksi
pertama.
12
3. Cairan mukopurulen dari sapi penderita piometra.
4. Cairan sapi bunting umur 3-5 bulan.
5. Pada sapi jantan, bahan dapat diambil berupa smegma dari preputium
yang dapat diambil dangan pipet atau melalui pencucian preputium
dengan larutan NaCL Fisiologis.
Bahan Cairan yang berasal dari cairan allantois, isi perut foetus dan cairan
vagina dapat diperiksa langsung dengan dibawah mikroskop, sedangkan untuk
smegma preputium sebaiknya diendapkan atau disentrifus dengan kecepatan
1000rpm terlebih dahulu dan endapan diperiksa. Semua contoh harus segera
diperiksa empat jam setelah pengambilan pada suhu sekitar 37o C. Sebab setelah
tritrichomonas mati maka akan sulit dikenali karena bentuk tubuhnya mengalami
kerusakan yang menyebabkan sukar dibedakan dengan reruntuhan sel.
T. foetus dapat didiagnosa dengan teknik langsung maupun tidak langsung.
Diagnosa secara langsung dapat dilakukan dengan PCR, ELISA, atau kultur in
vitro. Media yang spesifik digunakan untuk kultur in vitro T. foetus antara lain
media Diamond, Mammalians Feeder Cells, atau media komersial yang tersedia.
Diagnosa tidak langsung dilakukan dengan intradermal test atau aglutination test.
Tes intradermal menggunakan dosis 0,1 ml antigen “tricin” diinjeksikan
intradermal di kulit leher. Kemudian ditunggu reaksinya 30-60 menit kemudian.
Reaksi positif ditunjukan dengan munculnya plak dangkal (>2 mm) pada daerah
injeksi.
Beberapa uji serologis dapat membantu diagnosa trichomoniasis walaupun
kurang memuaskan. Uji yang dapat dilakukan tersebut adalah uji musin, uji fiksasi,
komplemen dan reaksi presipitin. Diantara beberapa uji serologis tersebut diatas,
yang memberikan hasil paling baik adalah uji musin. (Hausmann, 2005) Deteksi
respon humoral terhadap T. foetus dapat ditunjukkan dengan serum darah, mukosa
vagina, dan sekresi preputium. Mukus vagina dan sekresi preputiom diamati
kemudian diuji dengan mucus aglutination, sedangkan serum darah diamati dengan
test ELISA. Diagnosa banding penyakit Trichomonosis ialah vibriosis dan
brucellosis yang juga terjadi abortus berurut-turut pada bagian sepertiga
pertengahan dan sepertiga terakhir masa kebuntingan. Pada brucellosis, selain
gejala abortus dapat ditemukan retensio secundinae.
13
4.5 Pencegahan
Pencegahan terhadap trichomonosis harus mencakup pengetahuan tentang
efisiensi produksi, kelompok ternak, asal pejantan dan pemeriksaan yang telah
diteliti terhadap pejantan sebelum digunakan sebagai pemacek di dalam suatu
peternakan. Perkawinan harus dilakukan dengan IB, kawin alam hendaknya
dibatasi. Semua pejantan yang dibeli oleh balai inseminasi buatan harus bebas dari
semua jenis penyakit termasuk trichomonosis. Kelompok ternak yang sehat
dipisahkan, dan hanya dikawinkan dengan pejantan yang bebas trichomoniasis,
dilakukan istirahat kelamin selama tiga bulan sampai induk sapi yang menderita
menunjukkan siklus birahi yang normal (Adjid, 2004). Belum ada vaksin untuk
menimbulkan imunitas pada sapi-sapi terhadap tritrichomonas. Oleh karena itu
kesembuhan diharapkan secara spontan dan menghindari terjadinya penularan baru
pada kawanan ternak yang belum pernah terkena atau yang sudah sembuh kembali.
Biasanya hewan yang sembuh mendapat kekebalan alamiah untuk sementara
waktu. Secara umum, untuk mencegah penularan penyakit, perlu diambil tindakan
pencegahan sebagai berikut (Pudjiatmoko, et al., 2014).:
a. Mengetahui asal-usul dan fertilitas sapi yang akan dimasukkan
b. Memeriksa sapi betina dan jantan yang baru dibeli sebelum dimasukkan
dalam kawanan ternak.
c. Pembelian sapi baru bukan dara atau tidak bunting tapi sudah dikawinkan,
sebaiknya jangan dikawinkan dengan pejantan yang sudah ada, lebih baik
dikawinkan dengan IB.
d. Semua sapi yang dibeli dalam keadaan bunting, setelah partus jangan
dikawinkan secara alam sebelum lewat 90 hari post partus dan telah
mengalami dua kali birahi normal berturut-turut.
e. Bila terjadi abortus pada sapi betina, seluruh bagian dari fetus dikeluarkan
dan sapi diisolasi. Sapi yang lain diistirahatkan (tidak boleh dikawinkan).
f. Sapi betina yang sakit tidak dikawinkan sementara waktu sekurang-
kurangnya 90 hari.
g. Sapi jantan yang sakit dianjurkan dipotong.
14
h. Hewan yang dipotong dagingnya bisa dimakan, sedang alat-alat
reproduksi beserta isinya harus dimusnahkan.
4.6 Pengobatan
Pada sapi yang mengalami abortus, pertama-tama dilakukan pembersihan
sisa-sisa plasenta. Kemudian dilakukan irigasi dengan lugol 1% atau 0,5%
tripaflavin atau larutan chlor 1-3%. Setelah bersih dimasukkan sulfanilamide ke
dalam uterus karena kemungkinan terluka, juga diberikan suntikan antibiotika
untuk mencegah infeksi sekunder (Pudjiatmoko, et al., 2014). Pemberian obat
dimetridazole yang diberikan secara peroral, dan metroniadazole dengan
peradangan secara intervenous atau interuterin memberikan hasil yang memuaskan.
Walaupun terdapat laporan adanya strain tertentu yang resisten terhadap obat ini.
Pemberian dimetridazole 50mg/kg BB peroral setiap hari selama lima hari berturut–
turut, memberikan hasil cukup baik untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah
pyometra serta abortus (Ahmad, 2015).
Pada ternak jantan pengolahannya lebih rumit lagi, merepotkan, dan
memakan waktu yang lama. Pejantan yang tertular dan sudah menjadi kronis,
jarang sembuh kembali, dan disarankan untuk dipotong. Usaha pengobatan dapat
dilakukan dengan mengoleskan salep bavoflavin yang mengandung trippaflavin
atau akriflavin dengan kadar 1% pada mukosa penis dan preputiumnya. Perlu juga
dilakukan penyuntikan 30ml larutan1% acriflavin ke dalam urethranya (Ahmad,
2015).
15
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Trichomonosis merupakan penyakit veneral pada hewan ternak yang
disebabkan oleh protozoa dari spesies Tritrichomonas foetus (T. foetus). Penyakit
ini menyebabkan kerugian yang sangat besar karena dapat menyebabkan kawin
berulang, perpanjangan interval calving, dan penurunan reproduksi hewan ternak
(infertilitas). Penyakit ini dapat menular melalui kawin alami ataupun inseminasi
buatan dari sapi jantan yang terkena trichomonosis. Penularan dapat juga melalui
penggunaan semen atau peralatan yang terkontaminasi pada inseminasi buatan.
Penularan non venereal jarang dijumpai.
Gejala klinis Trichomonosis umumnya diketahui setelah penyakit menyebar
pada suatu kawanan ternak dan terjadi masalah pada fertilitas ternak tersebut. Sapi
jantan yang terinfestasi oleh T. foetus tidak menunjukkan gejala klinis
(asimptomatis). Pembengkakan prepusium dan adanya discharge mukopurulent
dapat terjadi namun tidak melebihi 2 minggu. Gejala klinis pada sapi betina antara
lain : vaginitis, cervicitis, atau endometritis, pyometra dan abortus pada
kebuntingan usia muda (50-100 hari).
T. foetus dapat didiagnosa dengan teknik langsung maupun tidak langsung.
Diagnosa secara langsung dapat dilakukan dengan PCR, ELISA, atau kultur in
vitro. Pencegahan terhadap trichomonas pemeriksaan asal pejantan sebelum
digunakan sebagai pemacek di dalam suatu peternakan serta perkawinan sebaiknya
dilakukan dengan inseminasi buatan. Pemberian obat dimetridazole yang diberikan
secara peroral, dan metroniadazole dengan peradangan secara intervenous atau
interuterin memberikan hasil yang memuaskan. Walaupun terdapat laporan adanya
strain tertentu yang resisten terhadap obat ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Daly, Russ. 2005. Bovine Trichomoniasis. Range Beef Cow Symposium. 42.
17