Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ZULKIFLI MANTAU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
Zulkifli Mantau
NRP. H353070191
ABSTRACT
The aims of this research are : (1) to analyze the profitability of maize and
paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) to analyze the comparative
and competitive advantages of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang
Mongondow, (3) to analyze the impact of government policy on competitiveness of
maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (4) to analyze the
price changed sensitivity of input, output and wage of labor on comparative and
competitive advantages of maize farming in Kabupaten Bolaang Mongondow. The
analysis method use a Policy Analysis Matrix (PAM). The PAM results showed that
private and social profitability of maize farming are Rp. 218 926 and Rp. 3 045 938.
Private Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.97 and 0.69. Domestic
Resources Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.65 and
0.68. Based on the results of Output Transfer and Nominal Protection
Coefficient on Output can be indicated that output price in domestic market was
lower than output price in international market. Based on the results of Input
Transfer and Nominal Coefficient on Input can be indicated that there’s subsidy
policy impact in input price of maize farming. In additional, factor transfer result
indicated that there’s tax policy impact in domestic factors. The result of
Effective Protection Coefficient of maize (0.80) indicates that there’s low
protection of maize product in Bolmong. Net Transfer result was negative. The
profitability rates of maize farming just only 7 percent in private price. Subsidy
Ratio to Producers was negative. It means that there’s a high budget of
production budget of maize farming, especially in private factor. Finally, based
on sensitivity analysis can be shown that the ninth scenario (fertilizer price
decreased 10 percent and output price increased 30 percent) was the best
scenario with result of private and social profitabilities, PCR and DRCR are Rp.
3 027 171/ year and Rp. 6 849 398/ year, 0.69 and 0.46.
ZULKIFLI MANTAU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi:
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
rakhmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis Program Magister Sains ini dapat
saing serta kebijakan bagi usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang
memberikan arahan, saran serta pemikirannya dari awal penulisan proposal sampai
dengan penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sama penulis sampaikan pula
kepada Dr.Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec selaku penguji luar komisi.
1. Kepala Badan Litbang Pertanian – Deptan serta Kepala BPTP Sulawesi Utara
2. Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator serta seluruh staf dosen dan
pegawai Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian SPS – IPB (mba Rubi, mba Yani, mba
Aam, Ibu Kokom, Pak Husen) yang telah banyak membantu dan memberikan
yang telah banyak membantu penulis memperoleh data dan informasi selama
5. Para staf di dinas pertanian, dinas perdagangan propinsi dan kabupaten, bea
semangatnya.
Papi Abdullah Mantau (Alm) dan yang teristimewa untuk Mami tercinta Hj.
Kartin Ali atas doa, dukungan dan perhatiannya. Kepada Istri terkasih Salmah
Tirajoh serta dua permata hati Zahra dan Raya yang telah dengan sabar menanti
dan mendoakan penulis. Kepada Kakak-kakakku Abdul Halim dan Mercy atas
Zulkifli Mantau
RIWAYAT HIDUP
Ir.Hj.Kartin Ali.
Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1989 dan SMA Negeri 7 Manado
pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di
Universitas Sam Ratulangi Manado dan meraih gelar sarjana pada tahun 1997.
Pertanian Sulawesi Utara sejak April 1998. Pada tahun 2007 memperoleh
Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 6
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 7
1.6. Keterbatasan Penelitian .............................................................. 8
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 – 2006 ....... 46
13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung
di Lokasi Penelitian ............................................................................................... 60
14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak
Terampil Usahatani Jagung ................................................................................. 62
15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi
di Kabupaten Bolaang Mongondow .................................................................. 66
16. Hasil Perhitungan Privat Cost Ratio dan Domestic Resource Cost Ratio
Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 69
xiv
18. Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow
sesuai Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2001 ............................................ 76
19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient Input dan Factor Transfer
Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 79
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
xvii
I. PENDAHULUAN
Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara
pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah
setelah kurun waktu tersebut, dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor
(net importer) (Swastika, 2002; Nuryartono, 2005). Hal ini berkaitan erat dengan
pola konsumsi yang lambat laun berubah, dimana jagung tidak hanya digunakan
Tercatat kebutuhan jagung nasional untuk bahan baku pakan ternak pada tahun
2005 saja sudah mencapai 4.5 juta ton dan diprediksi akan meningkat setiap
kebutuhan jagung nasional secara keseluruhan sebesar 13.8 juta ton, dimana
13.2 juta ton merupakan produksi dalam negeri sementara 600 ribu ton diimpor
tersebut diperkirakan mencapai 2.40 persen per tahun (Antara News, 2007).
mengherankan karena sejak era orde lama komoditi padi (dalam hal ini beras)
dan No.1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan Nasional. Dimana pada intinya
mengatur mengenai: (1) harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah (kering
panen dan kering giling), beras dan stabilisasi harga beras, (2) fasilitasi pupuk untuk
usahatani padi, (3) penyaluran beras bersubsidi serta sasarannya, (4) masalah ekspor
dan impor beras, dan (5) menyangkut koordinasi dan instruksi bagi kementrian dan
ketahanan pangan. Sehingga aspek regulasi pun tidak semantap dan sekonsisten
Ternak (PMT) di Indonesia, sekitar 6 908 000 ton per tahun. Apabila 50 persen
berat bahan bakunya adalah jagung, berarti setiap tahun memerlukan pasokan
hampir 3.5 juta ton. Dengan rata-rata produksi jagung hibrida 5 ton per ha dan 2
kali tanam per tahun, ini berarti untuk memenuhi kebutuhan PMT saja akan
diperlukan lahan sekitar 350 000 ha per tahun (Sistem Informasi Terpadu
proyeksi kebutuhan jagung untuk pakan ternak akan naik dari 3.5 juta ton per
tahun menjadi 7 juta ton per tahun dalam kurun waktu tahun 2004 – 2010
jagung nasional pada tahun 2006 sebesar 11 610 646 ton dengan luas areal
panen sebesar 3 346 427 ha (FAO, 2008). Sedangkan Produksi jagung Sulawesi
Utara pada tahun 2006 menurut data BPS, sebesar 406 759 ton dengan luas areal
panen sebesar 115 664 ha (Badan Pusat Statistik, 2008). Hal ini menunjukkan
bahwa sekitar 30 persen dari produksi jagung nasional tersebut tersedot oleh
kebutuhan pabrik pakan ternak, dan ini akan meningkat terus setiap tahunnya
sesuai dengan proyeksi dari GPMTI. Sementara produksi jagung Sulawesi Utara
(2000-2004) yang besarnya 4.24 persen per tahun dan laju peningkatan
kebutuhan yang besarnya 2.74 persen per tahun (Badan Litbang Pertanian, 2005
dalam Suryana, 2006). Target pemerintah ini tidak lepas dari kebijakan umum
RPPK, dimana strategi kedua adalah peningkatan daya saing, produktivitas, nilai
tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha
kelapa dalam bentuk Virgin Coconut Oil (VCO). Mengacu dari strategi kedua
kebijakan RPPK tersebut (aspek daya saing komoditas unggulan), maka perlu
dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan
yang merupakan salah satu wilayah sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga
total jagung Bolmong sebesar 69 000 ton, meningkat menjadi 110 670 ton pada
tahun 2006, selanjutnya naik menjadi 119 282 ton pada tahun 2007 dan tahun 2008
meningkat lagi menjadi 126 857 ton (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Peningkatan produksi tersebut diikuti oleh
peningkatan luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitasnya. Pada tahun
2006 luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitas jagung berturut-turut
masih sebesar 38 692 ha, 36 835 ha dan 30.15 ton per ha. Kemudian meningkat
pada tahun 2008 sebesar 38 813 ha, 37 839 ha dan 35.50 ton per ha (Dinas Pertanian
dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Bahkan pada
tahun 2007 sebanyak 2000 ton jagung Bolmong telah diekspor ke Davao, Phillipina
produksi jagung di Bolaang Mongondow selama kurun waktu tiga tahun terakhir
jagung dipacu dan diangkat menjadi komoditas unggulan, sehingga bisa lebih
memiliki daya saing serta membuka peluang untuk ekspor (Dinas Pertanian dan
dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu: (1) permasalahan yang timbul
ini perlu diatasi dalam upaya pengembangan ekspor hasil pertanian guna
peluang pasar.
6
dengan nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) sebesar 0.53, sedangkan
padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61 (BPTP Sulut, 2000). Sementara itu,
selama kurun waktu hampir 10 tahun tidak banyak diperoleh informasi terbaru
serta padi di wilayah tersebut. Apakah telah mengalami peningkatan atau bahkan
keunggulan yang dimiliki tersebut dapat diambil alih oleh komoditas lain.
Padahal informasi atau data ini sangat penting tersedia sebagai acuan bagi
bahwa apakah usahatani jagung yang dilakukan selama ini masih memiliki
pada bagian 1.1. dan 1.2. maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
7
Bolaang Mongondow
4. Menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja
Mongondow.
informasi bagi pihak pengambil kebijakan daerah tentang sejauh mana atau
dan kompetitif usahatani jagung dan padi yang meliputi perhitungan/ penentuan
Domestic Resource Cost Ratio (DRCR), Private Cost Ratio (PCR), analisis
keuntungan baik sosial maupun privat serta aspek dampak kebijakan pemerintah
8
tersebut akan menunjukkan seberapa besar tingkat daya saing (komparatif dan
Disamping itu, pengamatan lebih difokuskan pada tingkat usahatani dan bukan
termasuk profitabilitas sosial dan privat serta dampak kebijakan sesuai hasil
mengenai harga beli riil jagung di tingkat petani serta keterbatasan informasi
koordinasi dan validasi data sekunder terutama data potensi serta luas lahan
umumnya.
9
Teori ini disinggung pertama kali oleh Adam Smith kemudian diperkaya
dan dikembangkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19, sehingga untuk
konsep teori ini membuat banyak orang untuk berpikir bahwa mereka paham
terdalam dari teori tersebut. Bagaimanapun, teori tersebut mudah untuk dilihat
secara matematik, tanpa perlu memahami intuisi dasar dari teori tersebut.
komparatif yang tidak intuitif, maka cara terbaik untuk memahami teori ini adalah
menyajikan dua negara, Inggris dan Portugal yang memproduksi dua barang, yaitu
pakaian dan anggur dengan menggunakan tenaga kerja sebagai input penjualan
kuantitas produksi per pekerja) bervariasi antara industri dan antar negara. Inggris
lebih produktif dalam produksi salah satu barang dan Portugal lebih produktif pada
hal yang lain, Ricardo berasumsi bahwa Portugal lebih produktif pada kedua barang
tersebut. Jika Portugal dua kali relatif lebih produktif dalam produksi kain dan tiga
kali dalam produksi anggur, maka kemudian dikatakan bahwa Portugal memiliki
memiliki keunggulan komparatif untuk produk kain. Hal ini menyiratkan bahwa
advantage oleh Paul Krugman, seorang ekonom penerima hadiah Nobel tahun
yang sama untuk tenaga kerja. Teori Krugman mencontohkan industri mobil di
Intinya, tidak seperti Ricardo yang menyarankan bahwa setiap negara atau daerah
harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi suatu barang agar dapat memiliki
barang yang sama atau tidak perlu spesialisasi produksi karena adanya kemajuan
aglomerasi dalam suatu negara akan mengurangi spesialisasi dalam industri yang
komparatif menentukan model atau pola spesialisasi. Dimana dalam aktivitas IRS,
sangat berbeda. Keungguan absolut merujuk pada perbedaan dalam tingkat biaya
12
opportunity cost yang paling rendah adalah relatif lebih efisien dan memiliki
konsep yang tidak mudah dipahami, namun dilain pihak arti pentingnya diterima
secara luas. Definisi yang paling intuitif mengenai competitiveness adalah share
suatu negara dari pasar dunia untuk produk tertentu. Hal ini membuat
competitiveness sebagai suatu “zero-sum game”, sebab salah satu keuntungan suatu
negara datang dari biaya negara lainnya. Gambaran mengenai competitiveness ini
adalah legalisasi tindakan suatu negara untuk intervensi pasar atau disebut juga
hal ini masih sering dikatakan bahwa upah yang lebih rendah atau devaluasi
produktivitas ekonominya yang diukur dengan nilai barang dan jasa per unit
yang diproduksi dari sumberdaya manusia, kapital dan sumberdaya alam suatu
negara. Produktivitas tergantung pada nilai produk dan jasa suatu negara yang
diukur dengan harga di pasar bebas serta efisiensi. Selain itu competitiveness
suatu negara atau wilayah membaik jika negara atau wilayah tersebut mampu
Martin et al. (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua belas pilar dari
ini tidak mengaburkan fakta bahwa bukan hanya terkait satu dengan lainnya namun
keduabelas pilar tersebut cenderung saling menguatkan satu sama lain. Contohnya,
inovasi (pilar keduabelas) tidak mungkin ada didunia ini tanpa suatu institusi (pilar
pertama) yang menjamin kebebasan intelektual. Dimana hal ini tidak dapat dibentuk
pada negara-negara dengan tingkat pendidikan dan kualitas angkatan kerja yang
rendah (pilar kelima). Selain itu, tidak akan mendapat tempat dalam ekonomi
dengan pasar yang inefisien (pilar keenam, tujuh dan delapan) atau tanpa
infrastruktur yang ekstensif dan efisien (pilar kedua). Namun pengaruh pilar-pilar
tersebut akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, terutama antara
Basic requirements
• Institutions Key for
• Infrastructure Factor-driven
• Macroeconomic stability economies
• Health and primary education
Efficiency enhancers
• Higher education and training Key for
• Goods market efficiency Efficiency-driven
• Labor market efficiency economies
• Financial market sophistication
• Technological readiness
• Market size
kerja rendah dan sumberdaya alam yang tidak terproses (terolah). Dimana hal
terhadap investasi dan akses yang baik pada kapital menciptakan produktivitas
hal ini menjadi sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif. Institusi dan
dengan produk-produk strategis secara global. Pada tahap ini ekonomi memiliki
high share dari jasa-jasa dalam ekonomi dan tahan terhadap external shock.
RPPK merupakan salah satu dari Triple Track Strategy Kabinet Indonesia
peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16.6
persen tahun 2004 menjadi 8.2 persen tahun 2009 dan penurunan pengangguran
terbuka dari 9.7 persen tahun 2004 menjadi 5.1 persen tahun 2009, mengharuskan
ekonomi rata-rata hingga 6.6 persen per tahun, rasio investasi terhadap PDP harus
naik dari 16 persen pada tahun 2004 menjadi 24.4 persen pada tahun 2009
mendukung pertumbuhan 6.6 persen per tahun, (2) menggerakkan kembali sektor
riil, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan (3) revitalisasi
16
kehutanan Indonesia.
masayarakat.
mencapai 11 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mencapai
9 juta ton, sedangkan impor jagung setiap tahun mencapai 2 juta ton. Produksi
jagung Sulawesi Utara sekitar 140 ribu ton pada tahun 2004, sementara lahan
yang potensial untuk pertanaman jagung sebesar 200 ribu hektar. Sehingga
17
intensif dengan target produksi 400 ribu ton per tahun. Hal ini diharapkan selain
bahan baku bagi pabrik pakan ternak yang akan dibangun di Sulawesi Utara
dengan kebutuhan sekitar 150 ribu ton per tahun. Disamping itu masyarakat
Sulawesi Utara sangat familiar dengan tanaman jagung, hal ini ditunjukkan
dengan adanya varietas unggul lokal yang bernama “Manado Kuning” (Manado
dan distribusi PPK terutama melalui praktek usaha pertanian yang baik (good
ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan usaha atas persaingan tidak adil.
14:00).
untuk komoditas jagung dan padi telah banyak dilakukan di berbagai daerah. Di
Sulawesi Utara sendiri pada tahun 1999 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Selain itu terdapat pula penelitian-penelitian di daerah lain yang relevan dengan
Haryono (1991), Emilya (2001), Anapu et al. (2005) dan Suprapto (2006).
dan holtikultura yang harus dihasilkan untuk berkompetisi dengan jagung adalah
berturut-turut kedelai 4 566.04 kg per ha, padi sawah 3 826.6 kg per ha, nenas 2
410.15 kg per ha serta kentang 4 566.04 kg per ha. Rincian nilai tersebut relatif
pula dengan tingkat harga yang ditunjukkan bahwa untuk mampu bersaing
dengan harga jagung yang sebesar Rp. 850 per kg pada tahun 1999, maka harga
(padi/ beras), Rp. 2 660 (kentang), Rp. 2 100 (kedelai) serta Rp. 1 109 (nenas)
(BPTP Sulawesi Utara, 2000). Realitas dari hasil yang diperoleh menunjukkan
produktifitas serta harga yang mampu bersaing dengan jagung karena tingkat
produktifitas dan harga yang cukup kompetitif karena berada di bawah nilai
memiliki nilai DRCR sebesar 0.61, jagung (DRCR = 0.53), nenas (DRCR = 0.36),
kemudian rasio DRC kentang dan kedelai masing-masing sebesar 0.33 dan
0.19. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa komoditas padi sawah merupakan
Sebaliknya secara finansial usahatani ubi kayu dan jagung lebih menguntungkan
(kebijakan harga) pada komoditas padi, jagung, kedele dan ubi kayu
input sebaiknya ditetapkan per wilayah. Pada daerah di luar Jawa, besaran
subsidi disesuaikan dengan biaya distribusi agar Harga Eceran Tertinggi (HET)
produsen kedelai dan jagung sementara petani produsen ubi kayu dirugikan.
kompetitif, dimana yang tertinggi komoditas padi, diikuti kedelai dan jagung.
dari pemerintah sedangkan komoditas jagung untuk orientasi subtitusi impor dan
Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor
usahatani kacang tanah memberikan keuntungan sosial yang jauh lebih tinggi dari
21
padi. Namun, petani lebih suka menanam padi dengan pertimbangan keamanan
pangan jagung dan padi merupakan komoditas unggulan untuk sub sektor
jagung lebih cepat daripada padi, namun laju pertumbuhan areal padi lebih
Tahun Laju
pertumbuhan
Komoditas
2003 2004 2005 (%)
per tahun
Produksi (ton) 369 930 407 358 432 625 8.2
Padi
Luas (ha) 84 385 92 439 94 946 6.1
Produksi (ton) 144 671 150 128 195 305 16.9
Jagung Luas (ha) 65 656 66 196 71 644 4.5
Sumber: Departemen Pertanian (2009), www.deptan.go.id/ppi/investasi/Lapora-Final.pdf.
22
komparatif dan kompetitif. Hal ini berkaitan erat pula dengan pelaksanaan
komparatif, yaitu : Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Rasio Biaya
Sumberdaya Domestik (RBSD) dan Net Economic Benefit Ratio (NEBR). Kedua
koefisien menggunakan informasi yang sama dalam penggunaan harga dan input,
namun DRCR penggunaanya lebih luas dibanding NEBR. Kedua teknik tersebut
mensyaratkan bahwa input primer dan antara dalam proses produksi dinilai atau
komoditi yang diukur dengan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (RBSD) yaitu
rasio antara BSD dan harga bayangan nilai tukar uang (V1) sebagai berikut :
dengan catatan jika nilai RBSD suatu komoditi kurang dari satu (RBSD < 1)
dipertimbangkan dua jenis harga (riil dan harga bayangan) untuk setiap
komponen input dan output. Harga riil merupakan harga ditingkat petani,
sementara harga bayangan mengacu pada harga Cost Insurance Freight (CIF)
untuk komoditi impor dan harga Free on Board (FOB) untuk komoditi ekspor.
hamparan dan musim yang sama, (2) umur komoditas pembandingnya relatif
tidak mengalami perubahan (konstan), dan (4) biaya produksi baik komoditas
tingkat produksi minimal berapa komoditas yang ditanam petani baru bisa
mengenai tingkat harga minimal yang harus diterima petani, agar komoditas yang
24
taraf hidup melalui usaha produksi dari pengelolaaan sumberdaya tanah, tenaga
kerja dan modal. Pada kenyataannya, alokasi sumberdaya sektor pertanian yang
keadaan fisik serta sumberdaya lainnya secara ekonomi sangat sesuai. Karena itu
komparatif berlaku untuk wilayah yang luas (dunia, negara) ataupun untuk
perbandingan antar usahatani. Prinsip ini sangat mudah diterima oleh setiap
2. Perubahan biaya produksi dan harga relatif dari berbagai komoditas usahatani
3. Perubahan biaya angkutan seperti yang terjadi bila jalan diperbaiki atau rusak
beberapa komoditas yang dapat memberi kepastian usaha bagi para petani
pengambil kebijakan di pusat dan daerah terhadap tiga isu sentral dari analisis
bawah teknologi dan harga-harga yang ada saat ini. Apakah para petani, pedagang
Kebijakan harga akan mengubah nilai dari output atau biaya input serta pula
profitabilitas privat dalam sistem. PAM dapat menunjukkan efek secara individual
maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor. Selain itu PAM juga menyediakan
informasi baseline yang penting dan esensial untuk analisis benefit-cost (analisis
keuntungan biaya) dari suatu investasi pertanian (Pearson et al. 2005). Selanjutnya
model PAM dapat pula digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan
Isu yang kedua adalah dampak dari investasi publik pada infrastruktur
(pada irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan
26
investasi publik dapat menjadi tolok ukur peningkatan dalam social profit. Isu
yang ketiga (hampir sama dengan komponen isu kedua) adalah dampak dari
investasi publik yang baru dalam penelitian pertanian atau teknologi pada
hasil pertanian atau hasil olahan dan sekaligus meningkatkan penerimaan atau
adanya investasi publik dalam penelitian dapat merupakan tolok ukur perolehan/
wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Tabel 2 memberi gambaran bahwa PAM
terdiri dari tiga baris, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan private
price (harga pasar/ aktual) yaitu harga yang diterima petani, baris kedua
menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur
pada baris ketiga. Jika kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu
kebijakan yang dapat dianalisis (Monke and Pearson, 1989; Emilya, 2001).
27
penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang
factors). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/ bibit, peralatan
dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor
domestik (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al. 2005). Tabel 2. Policy
Analysis Matrix
Biaya
Penerimaan
Uraian Faktor Profit
(revenue) Input tradable
domestik
Nilai finansial D=A–B–
A B C
(private price) C
Nilai ekonomi H=E–F–
E F G
(social price) G
Divergensi/
dampak L=D–H=
I=A–E J=B-F K=C-G
kebijakan dan I–J–K
distorsi pasar
Sumber : Monke and Pearson (1989)
Keterangan : D = private profitability; H = social profitability; I = output transfer; J = input
transfer; K = factor transfer; L = net transfer
Dalam analisis sosial, tinjauan aktivitas dilihat dari sudut masyarakat secara
Timur, Lolayan dan Lolak. Selanjutnya dari lima kecamatan tersebut diambil
Kegiatan penelitian ini lebih terfokus pada kegiatan survei. Dalam survei,
penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari hasil wawancara dengan para petani, pedagang pengumpul (desa dan
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara dan Bolaang
Data Primer:
Sulawesi Utara.
5. Kegiatan dan karakteristik on farm, off farm dan non farm (berhubungan
Data Sekunder:
2. Perkembangan produksi usahatani, volume dan nilai ekspor serta impor selama
kecamatan).
30
Secara garis besar prosedur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Studi pustaka berupa pengumpulan berbagai bahan bacaan baik dari berbagai
buku, makalah, laporan, jurnal, web site serta bahan lain yang berkaitan
dengan obyek yang diteliti. Data dan informasi yang diperoleh dalam tahap
dan para pakar yang berkaitan dengan kegiatan ini, pengurusan perijinan,
digunakan untuk menggali data fisik yang diperlukan untuk melengkapi data
kuisioner).
memiliki luas areal tanam maupun panen yang cukup besar namun jika jauh dari
pusat-pusat ekonomi daerah, maka akan memperlemah posisi tawar produk yang
31
penelitian karena dalam penelitian ini memang fokus utamanya adalah usahatani
(produktivitas usahatani jagung 3.44 ton per ha per tahun), Bolaang Timur
(produktivitas usahatani jagung 3.46 ton per ha per tahun), Lolak (produktivitas
usahatani jagung 3.47 ton per ha per tahun), dan Lolayan (produktivitas
usahatani jagung 3.41 ton per ha per tahun), dimana kelima kecamatan tersebut
sampling sebesar 5 persen, sehingga diperoleh rata-rata satu desa tiap kecamatan
Selanjutnya desa mana yang akan dijadikan sampel tiap kecamatan ditentukan
kegiatan usahatani utama jagung, sehingga jumlah total responden sebesar 100
32
untuk informan kunci seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), aparat desa,
pada kegiatan usahatani jagung, disamping itu sebagai pembanding digali pula
informasi mengenai usahatani lain yang juga dilakukan di lahan petani yang
bersangkutan.
Matriks Analisis Kebijakan. Dimana dalam PAM dapat diketahui besaran/ rasio
pengumpul).
intervensi pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi (dalam hal ini usahatani
jagung dan padi). Policy Analisis Matrix juga dapat digunakan untuk
1. Identifikasi input dan output secara lengkap dari usahatani jagung dan padi
2. Menentukan harga bayangan dari input dan output usahatani jagung dan padi
Nilai pada masing-masing sel dalam Tabel PAM untuk usahatani jagung
dan padi dihitung dalam periode satu siklus produksi (dua musim tanam dalam
berikut:
A. Analisis Keuntungan
teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada.
kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila
H > 0. Sebaliknya, bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing
domestik pada harga sosial. Jika DRCR > 1 maka sistem komoditi tidak
< 1 dan atau lebih kecil lagi, maka sistem komoditi makin efisien dan
2. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A – B). Nilai PCR menjelaskan berapa
komoditi akan lebih kompetitif jika nilai D > 0 atau nilai C (harga privat
cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila PCR < 1 dan atau
nilainya lebih kecil, maka artinya sistem produksi suatu usahatani mampu
a. Kebijakan Output
output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Jika nilai
tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya jika OT < 0 (negatif).
privat dan sosial terhadap harga output. Kebijakan bersifat protektif terhadap
output jika nilai NPCO > 1 atau dengan kata lain pemerintah menaikkan harga
b. Kebijakan Input
input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat
pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT > 0 (positif),
domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1,
berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, dimana hal ini dapat
jika NPCI > 1 artinya pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar
dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan negatif). Jika nilai FT > 0 atau
input non tradable, atau dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah
positif, demikian juga sebaliknya, jika negatif atau FT < 0 maka kebijakan
c. Kebijakan Input-Output
Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1 atau dengan kata lain
harga efisiensinya. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat
nilai EPC < 1 maka kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan efektif.
insentif (transfer) dari semua kebijakan (harga output, input dan faktor
domestik), sehingga merupakan proteksi dari net policy transfer. Jika PC >
Dalam penelitian ini untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat
harga, yaitu harga pasar (harga privat/ harga aktual) dan harga bayangan (harga
sosial/ harga ekonomi/ harga akuntansi). Harga pasar adalah tingkat harga pasar
yang diterima petani dalam penjualan hasil produksinya (hasil panen) atau
Squire and van der Tak (1976) dalam Suryana (1980) mendefinisikan
kebijakan yang menentukan arah pembangunan negara sekarang dan yang akan
datang.
39
imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan, maka untuk memperoleh
nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan
perbatasan (border price). Harga Free on Board (FOB) dipakai bila output
sedang diekspor atau barang ekspor potensial di masa datang dan Cost Insurance
Freight (CIF) untuk barang atau komoditi yang sedang diimpor atau
kemungkinan diimpor (Monke and Pearson, 1989; Yao, 1997; Pearson et al.
2005). Dalam penelitian ini border price yang digunakan merupakan harga FOB
pendapatan bersih usahatani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada
lahan tersebut, (2) nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan (3) nilai
tanah yang hilang karena proyek. Dalam penelitian ini harga bayangan lahan
adalah nilai sewa lahan yang berlaku di daerah setempat. Hal ini didasari pada
input tradable dan non tradable (faktor domestik). Benih, pupuk urea dan
phonska serta herbisida cair dan pestisida cair termasuk dalam input tradable
sedangkan peralatan termasuk dalam input non tradable. Harga privat pupuk
urea dan phonska merupakan harga jual aktual (harga pasaran) di lokasi
phonska mengacu pada harga di pasar bebas, sebab border price hanya pada
harga pasaran karena ketiadaan subsidi pada produk ini selain itu karena border
Namun karena benih memiliki aspek quality control maka harga bayangan
HBbenih =
dimana:
Peralatan seperti sekop, cangkul, parang, alat bajak, alat pipil jagung dan
perontok padi merupakan produk domestik. Saat ini peralatan pertanian seperti
itu banyak diproduksi di desa/ kecamatan oleh tukang setempat. Dilihat dari
keseimbangan pasar, maka barang tersebut berada dalam pasar yang mendekati
41
penelitian traktor hanya dimiliki oleh kelompok tani atau desa, sedangkan para
domestiknya sebab para penyewa atau petani responden tidak tahu menahu
mengenai masalah solar atau oli yang digunakan, lagipula terkadang satu kali
pengisian solar dapat digunakan sampai dua minggu atau untuk 2 – 3 petani
dalam input non tradable (faktor domestik). Dengan asumsi bahwa para petani
Bila pasar tenaga kerja bersaing sempurna, maka tingkat upah yang berlaku
nilai produk marginal (Gittinger, 1986). Hal ini tidak berlaku untuk sektor pertanian
karena tingkat upah pedesaan cenderung lebih tinggi (tidak mengikuti/ terikat
dengan ketentuan upah minimum) karena adanya kegiatan gotong royong (di
bahwa hampir seluruh tenaga kerja dalam kegiatan usahatani di pedesaan adalah
tenaga kerja tidak terampil. Dengan demikian tingkat upah privat (tingkat upah
pasar) dapat digunakan sebagai penduga yang baik bagi tingkat upah
42
sosialnya. Walaupun diakui divergensi akan terjadi pada upah tenaga kerja
terampil.
oleh Suryana (1980), dimana khusus untuk tenaga kerja pengolahan tanah dengan
bantuan ternak dan atau traktor, harga bayangannya disamakan dengan tingkat upah
pasar (upah yang berlaku di lokasi penelitian), karena dengan tambahan penggunaan
alat tersebut maka dapat digolongkan ke dalam tenaga kerja terampil. Disamping itu
(pengolahan tanah) begitupun pada saat panen, sehingga diasumsikan pasar tenaga
Harga bayangan suku bunga modal adalah tingkat suku bunga tertentu
Tingkat suku bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang
penentuan harga privat suku bunga modal digunakan suku bunga kredit pada
Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam
kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada
43
bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat
keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang,
Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku.
atau
atau
dimana:
SER = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan tahun ke-t)
(Rp/US$)
OER = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi pemerintah)
Xt = nilai ekspor tahun ke-t (Rp)
TXt = pajak ekspor tahun ke-t (Rp)
Mt = nilai impor tahun ke-t (Rp)
TMt = pajak impor tahun ke-t (Rp)
yang bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi
bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Analisis sensitivitas
menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis semula. Pannell
ekonomi, terdapat empat faktor yang sangat sensitif terhadap suatu perubahan.
biaya dan perubahan hasil. Untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan
kegiatan usahatani jagung. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa kebijakan
bagi usahatani padi (kebijakan perberasan nasional). Selain itu kebijakan untuk
usahatani padi merupakan kebijakan nasional yang bersifat “top down” sehingga
dianggap kebijakannya telah tetap dan tidak perlu lagi mencari suatu skenario
kebijakan baru.
1. Analisis sensitivitas harga output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual
dan harga bayangan dalam penelitian ini, dengan asumsi faktor lainnya tetap.
2. Analisis sensitivitas harga input (pupuk) dan output secara bersamaan naik
10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan, dengan asumsi
output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan,
output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan,
persentase kenaikan harga output adalah berdasarkan data base harga jagung
FAO menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1991 – 2006 (15 tahun terakhir)
kenaikan harga jagung rata-rata sebesar 20 persen per tahun (Tabel 3). Sehingga,
mengacu pada persentase kenaikan harga jagung rata-rata per tahun tersebut,
persen (10 persen di bawah data FAO), 20 persen (data FAO) dan 30 persen (10
pada persentase penurunan harga eceran tertinggi pupuk (dalam hal ini urea)
yang terjadi selama kurun waktu 1973 – 2006, yaitu sebesar 13 – 14 persen (PT.
sebesar Rp. 15 000 per Hari Orang Kerja (HOK), sementara pada tahun 2009
telah mencapai rata-rata Rp. 35 000 per HOK, sehingga terdapat kecenderungan
kenaikan upah buruh tani sebesar 13 persen per tahun. Berdasarkan hal ini, maka
46
jika upah buruh tani tersebut dapat diturunkan minimal 10 persen (pada harga
privat dan sosial) pada tahun berjalan (2008 – 2009), sementara harga output
dinaikkan 10, 20, 30 persen (pada harga privat dan sosial), bagaimana
Tabel 3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 – 2006
Persentase
Tahun Keterangan
(%)
1991-1992 -8 turun
1992-1993 10
1993-1994 24
1994-1995 16
1995-1996 21
1996-1997 4
1997-1998 74
1998-1999 24
1999-2000 -13 turun
2000-2001 32
2001-2002 -2 turun
2002-2003 4
2003-2004 9
2004-2005 2
2005-2006 14
Rata-Rata Kenaikan 20
Sumber : FAO (2008) (diolah)
47
Bolaang Mongondow terbagi menjadi lima daerah tingkat dua, yaitu Kabupaten
Wilayah ini memiliki iklim tropis yang relatif basah dengan curah hujan
tinggi mencapai 2000 – 3000 mm per tahun (Tabel 4). Iklim di Bolaang
Mongondow termasuk iklim tipe A (Tipe Schmidt dan Ferguson) pada daerah
dataran tinggi. Sedangkan pada daerah dataran rendah termasuk iklim tipe B.
464 jiwa yang terdiri dari 110 221 jiwa penduduk laki-laki dan 103 243 jiwa
berusaha sebagai petani sebanyak 114 703 jiwa (Tabel 5). Keadaan ini
Jenis Kelamin
Jumlah
No. Lapangan Usaha Laki-laki Perempuan
(Jiwa)
(Jiwa) (Jiwa)
1. Pertanian 97 159 17 544 114 703
2. Industri pengolahan 5 529 2 019 7 548
Perdagangan besar dan eceran,
3. 8 298 16 480 24 778
rumah makan dan hotel
4. Jasa kemasyarakatan 11 285 12 047 23 332
Lainnya: pertambangan, listrik,
gas, air, konstruksi, angkutan,
5. penggudangan dan 23 275 1 915 25 190
komunikasi, keuangan dan
lainnya.
Total 145 546 50 005 195 551
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow (2008)
terdiri atas lahan padi (sawah + ladang), jagung, ubi kayu, dan kacang tanah
dengan luas masing-masing yaitu padi 52 888 ha, jagung 22 007 ha, ubi kayu
349 ha dan kacang tanah sebesar 619 ha. Selengkapnya mengenai luas tanam
Dumoga Utara, Timur dan Barat memiliki areal pertanaman padi (sawah dan
propinsi Sulawesi Utara pada umumnya. Sedangkan tanaman jagung luas areal
Mongondow.
rumahtangga tani baik dari on farm, off farm maupun dari non farm. Pengertian on
farm dalam penelitian ini adalah setiap pendapatan rumahtangga tani yang berasal
langsung dari hasil usahatani yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga
rumahtangga tani. Sedangkan off farm adalah setiap pendapatan rumahtangga tani
yang berasal dari hasil usaha yang masih berhubungan dengan kegiatan usahatani
yang dilakukan, seperti buruh tani, pengolah hasil pertanian dan lain-lain. Adapun
non farm merupakan hasil pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari kegiatan
selain atau tidak berhubungan dengan kegiatan usahatani yang dilakukan, seperti
Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45
tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Tabel 7
memberikan gambaran umum mengenai kondisi usia para petani responden.
30 - 40 tahun 36
40 - 50 tahun 28
50 - 60 tahun 22
> 60 tahun 7
Total 100
Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi usia para petani
responden rata-rata masih pada usia produktif (usia kerja). Hal ini
manajerial usaha. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan membaca peluang usaha
diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden hanya satu orang petani yang
Rp. 129 840 000 per tahun. Selengkapnya mengenai kondisi pendidikan petani
SMA 27
SMP 21
SD 49
Tidak Lulus SD 2
Total 100
berpendidikan SD. Hal ini berpengaruh pada kemampuan dan kesempatan untuk
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden
terdapat 31 orang petani yang menjadi buruh tani (tenaga harian dan pemanjat
buruh tani. Pilihan menjadi buruh tani di luar kegiatan rutin usahatani terpaksa
52
dilakukan karena mere ka tidak memiliki ketrampilan lain selain bert ani, hal ini
sebagai dam pak dari tingkat pendidikan yang rendah. Berhubungan dengan hal
tersebut, hasil peneliti an Puspadi et al. (200 5) menunj ukkan bahw a terdapat
hubungan (k orespondensi) antara ti ngkat pendid ikan petani dengan jenis usahatani
utama yang dikelola. Petani yang ti ngkat pendid ikannya relatif tinggi, berada pada
cenderung memilih usa hatani panga n, hal ini d idasari kare na kemajuan pola pikir
yang dimilik i oleh para petani yang berpendidikan lebih tin ggi (Gambar 3).
Tabe l 9 mempe rlihatkan sta tus dan peranan tiap a nggota kelu arga dalam
satu rumaht angga tani di lokasi p enelitian. Dapat dikem ukakan ba hwa selain
suami sebag ai pencari nafkah utam a, ternyata posisi istri bu kan hanya sebagai
rumahtangga tani, dima na terdapat r asio sebanyak 71 perse n istri yang bekerja
Istri 0 71 29
disamping itu sebagian lagi ada yang berdagang ataupun menjadi pegawai/
karyawan.
maupun perkebunan. Dimana sebagian besar merupakan pemilik lahan, hanya satu
kecamatan saja yang keseluruhan petaninya tidak memiliki lahan atau hanya
menggarap yaitu di Kecamatan Lolak (Desa Lolak II). Lahan di Desa Lolak II
Guna Usaha (HGU), sedangkan para petani merupakan keturunan keempat dari
penduduk asal Sangihe Talaud yang bertransmigrasi bedol desa karena bencana
54
alam Gunung Awu dan Gunung Karangetang pada tahun 50-an. Pada lahan HGU
penjualan komoditi (jagung dan padi) per tahunnya yang disetorkan ke mandor
Tabel 10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Usahatani
Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009
Luas Lahan Jumlah petani Persentase
No.
(ha) (orang) (%)
1. 0.25 - 0.75 24 24
2. 1- 2 70 70
3. 3- 4 4 4
4. >4 2 2
berusahatani kedelai, peternakan (sapi, kambing dan babi) dan perkebunan (kelapa-
kopra). Hal ini didasari pada curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani jagung
dan padi sebanyak 8 – 10 jam per hari. Sedangkan pendapatan rumahtangga tani
yang berasal dari off farm adalah buruh tani harian dan pemanjat kelapa musiman
serta penangkar benih pohon. Sebagian lagi petani responden memiliki alternatif
rumahtangga tani responden dari kegiatan usahatani masih rendah, terutama dari
usahatani monokultur saja, misalnya hanya jagung saja, maka dapat dipastikan
akan terjadi kesulitan keuangan dalam rumahtangga. Hal ini biasanya diatasi
56
petani dengan cara meminjam atau mengijon terlebih dahulu usahataninya pada
pedagang pengumpul desa (toko pertanian). Dari lima desa lokasi penelitian
rumahtangga tani terendah, yaitu hanya Rp. 19 972 850 per tahun atau rata-rata
per bulan Rp. 1 664 404 dan umumnya petani responden hanya
menggantungkan hidup pada satu sampai dua alternatif usaha untuk menghidupi
rumahtangga taninya Rp. 38 758 188 per tahun atau rata-rata per bulan Rp. 3
229 849 dengan dua sampai empat alternatif usaha untuk menghidupi
masing responden pada lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
definisi Gittinger (1986) (lihat kembali bagian 4.5. Metode Penentuan Harga
subsidi, pajak, penentuan upah minimum, harga pembelian pemerintah dan lain-
lain. Harga bayangan tersebut meliputi harga bayangan output, lahan, input
(sarana produksi dan peralatan), tenaga kerja, suku bunga modal dan nilai tukar
rupiah.
57
adalah harga perbatasan (border price). Berdasarkan informasi dan data yang
bahwa kegiatan ekspor jagung terakhir yang tercatat berlangsung pada tahun
harga FOB jagung di Pelabuhan Anggrek Gorontalo pada tahun 2008 sebesar
US $ 275 per ton. Kemudian dikonversi dengan Shadow Exchange Rate (SER)
Rp.9 753.59, maka diperoleh harga FOB sebesar Rp. 2 682 per kg. Selanjutnya
ditambah dengan dengan biaya angkut (ke kabupaten dan kecamatan) sebesar
Rp. 140 per kg, dan biaya bongkar muat di pelabuhan (truck losing) sebesar Rp.
19 per kg, sesuai data Pelindo (2009). Sehingga diperoleh harga sosial output
(15 persen broken) rata-rata tahun 2008 sebesar US $ 515.8 per ton, sesuai data
dengan bea masuk sebesar Rp. 450 per kg dan PPH impor 2.5 persen maka
harga border beras menjadi sebesar Rp. 4 455 per kg. Selanjutnya ditambah
dengan biaya penanganan dan angkutan, maka harga sosial beras di tingkat
Dalam penelitian ini harga bayangan lahan adalah nilai sewa lahan yang
berlaku di daerah setempat. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa mekanisme
lahan baik yang diperoleh secara beli tunai maupun warisan orang tua, namun
terdapat pula beberapa petani yang menyewa lahan bahkan di Desa Lolak II
Kecamatan Lolak keseluruhan status lahan petani adalah penggarap sewa karena
lahan di lokasi tersebut berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Sehingga untuk
lahan, dimana untuk Desa Lolak II Kecamatan Lolak berlaku ketentuan sewa 5
persen dari hasil panen per tahun, sedangkan untuk empat kecamatan lainnya
berlaku 20 persen dari hasil panen per tahun. Secara ringkas harga sewa lahan
1- 3 1 280 732
Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa para petani setempat saat ini
hanya menggunakan dua jenis pupuk yaitu urea dan phonska. Adapun KCl tidak
digunakan lagi karena harganya yang sangat mahal dan tidak terjangkau petani
59
kecil (mencapai Rp. 800 000 per 50 kg), sedangkan SP-36 sudah sangat jarang
harga jual aktual (harga pasaran) di lokasi penelitian (Tabel 13). Sedangkan
penentuan harga bayangan pupuk urea dan phonska dilakukan pendekatan yang
berbeda. Harga bayangan pupuk urea mengacu pada harga FOB pupuk urea
produksi PT. Pupuk Kaltim di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (posisi harga
tahun 2008) sebesar Rp. 4 100 per kg, sesuai data dari Forum Tani (2009).
Kemudian ditambah dengan biaya bongkar muat sebesar Rp. 19 per kg, biaya
angkut dari pelabuhan ke kota propinsi sebesar Rp. 70 per kg dan dari kota
propinsi ke kecamatan sebesar Rp. 70, sesuai data dari Pelindo Bitung (2009).
Sehingga diperoleh harga pupuk urea di tingkat petani sebesar Rp. 4 250 per kg
(Tabel 13).
pendekatan harga pupuk tersebut di pasar bebas. Hal ini dilakukan karena
sulitnya mencari border price pupuk phonska, yang tersedia hanya harga border
price harga pupuk tersebut. Untuk itu, dilakukan pendekatan pada harga NPK
15-15-15 yang dipasarkan oleh PT. Anugrah Tambang Pratama sebesar Rp. 5
000 per kg (Tabel 13). Hal ini dapat dilakukan karena pupuk phonska produksi
PT. Petrokimia Gresik merupakan jenis pupuk majemuk NPK 15-15-15. Selain
itu karena harga sosial merupakan harga yang bebas dari pengaruh distorsi harga
dalam ini kebijakan subsidi, sehingga produk yang tidak terkena subsidi harga
tersebut sebagai output, namun karena memiliki aspek quality control maka harga
bayangan benih lebih besar dibanding harga bayangannya sebagai output. Sehingga
harga bayangan (sosial) benih pada Tabel 13 dihitung berdasarkan rata-rata harga
aktual (harga privat) benih jagung di lokasi penelitian, kemudian dibagi dengan rata-
rata harga jual aktual jagung pipilan (output) di lokasi penelitian (rata-rata Rp. 2 138
per kg), selanjutnya dikali dengan harga bayangan jagung pipilan (output) sebesar
Rp. 2 785 per kg. Cara yang sama dilakukan untuk harga bayangan benih padi,
dimana acuan harga adalah harga privat atau harga aktual setempat yaitu sebesar Rp.
2 734 per kg. Hanya saja untuk benih padi perlu mempertimbangkan faktor
Tabel 13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung di
Lokasi Penelitian
Harga Privat Harga Sosial
No. Uraian Satuan
(Rp) (Rp)
Untuk komponen herbisida dan pestisida cair, harga privat dan sosial
pengumpul desa/ toko saprodi setempat) (Tabel 13). Hal ini didasari asumsi
61
bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pestisida
berdasarkan border price bahan baku. Selain itu karena baik herbisida maupun
pestisida merupakan input sarana produksi yang tidak mendapatkan subsidi dari
pemerintah, sehingga harga jual di lepas ke mekanisme pasar (pasar bebas). Untuk
itu harga sosial (harga bayangan) sama dengan harga privatnya (harga aktualnya).
Terlihat pada Tabel 13 bahwa untuk sewa alat pipil menggunakan satuan
Rp per kg. Hal ini karena perhitungan sewa alat pipil berdasarkan jumlah koli
(kg) jagung pipilan yang dihasilkan. Dimana untuk pembayaran sewa alat rata-
rata dihargai sebesar Rp. 56 per kg jagung pipilan. Biasanya pembayaran dalam
bentuk uang tunai namun ada pula penyewa alat yang membayar dalam bentuk
natura (jagung pipilan), hal ini terjadi sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
terampil dan tidak terampil. Tenaga kerja terampil yaitu tenaga kerja pengolahan
tanah dengan bantuan ternak dan traktor, tenaga kerja penanaman dengan bantuan
ternak (larik), tenaga kerja pengendalian hama dan penyakit (penyemprotan), tenaga
kerja pemipilan (operator alat pipil), tenaga kerja pengangkutan dengan bantuan
gerobak sapi dan kendaraan lainnya (mobil dan bentor). Harga bayangan upah
Adapun tenaga kerja tidak terampil (tanpa bantuan alat dan atau ternak)
penentuan harga bayangan tenaga kerja sebesar 80 persen dari tingkat upah yang
berlaku (Suryana, 1980) (Tabel 14). Kalau di Bolaang Mongondow saat ini upah
62
tenaga kerja harian yang berlaku rata-rata Rp. 35 000 per HOK, maka harga
bayangannya rata-rata sebesar Rp. 28 000 per HOK. Hal ini didasari pada
asumsi bahwa terdapat 20 persen opportunity cost dari para petani tersebut untuk
Tabel 14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak Terampil
Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian
Harga Privat Harga Sosial
No. Uraian Unit
(Rp) (Rp)
1. Olah tanah I (manusia) Rp/HOK 53 032 42 426
Harga bayangan suku bunga modal dalam penelitian ini mengacu pada
tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI-rate) tahun 2008. Berdasarkan data dari
Bank Indonesia tercatat BI-rate per Desember tahun 2008 sebesar 9.25 persen
hal ini adalah karena BI-rate merupakan suku bunga acuan perbankan nasional
yang belum terdapat distorsi seperti ambil untung (laba) perbankan, pajak dan
biaya-biaya lainnya.
desa. Dimana setiap nominal peminjaman (baik dalam bentuk uang maupun
natura) ada selisih Rp. 250 yang diambil pihak pemberi pinjaman. Cicilan
setahun (dua musim tanam) bunga yang dikenakan oleh pihak pemberi pinjaman
serta budget privat dan sosial suku bunga modal usahatani jagung dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Pada tahun 2008 nilai total ekspor dan impor Indonesia untuk komoditi
jagung dan padi (beras) serta turunannya masing-masing sebesar Rp. 167.2 juta
per kg dan Rp. 2.05 milliar per kg, pajak ekspor dan impor masing-masing
sebesar Rp. 4.18 juta dan Rp. 51.30 juta (Departemen Perdagangan, 2009). Nilai
SCF tahun 2008 sebesar 0.979, sehingga nilai tukar bayangan (SER) adalah Rp.
9753.59 per 1 US $.
64
Bolaang Mongondow, khususnya pada lima kecamatan lokasi penelitian. Selain itu
sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer
keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada
Mongondow selama satu tahun terakhir (dua musim tanam) menunjukkan tingkat
kelayakan usaha yang baik. Salah satu indikator sederhana dapat dilihat pada nilai
Revenue Cost Ratio (RC-ratio) yang lebih besar dari satu. Selain itu hasil
pendapatan pada analisis ini juga merupakan indikator keuntungan privat dan sosial
dalam policy analysis matrix. Selanjutnya, secara ekonomi harga jual jagung yang
diterima petani pada tingkat harga sosial lebih tinggi daripada harga aktualnya
(harga privat). Dimana terlihat bahwa pendapatan bersih (diluar komponen lahan)
secara ekonomi yaitu Rp. 4 519 566 per tahun dengan RC-ratio 1.59, lebih besar
dibandingkan secara finansial yang berjumlah Rp. 1 692 554 per tahun dengan RC-
ratio 1.23. Demikian halnya jika komponen lahan dimasukkan maka diperoleh
pendapatan bersih secara ekonomi sebesar Rp. 3 045 938 per tahun dengan RC-ratio
1.33 dan secara finansial diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 218 926 per tahun
diimbangi dengan harga jual yang memadai pada tingkat harga aktual.
nilai yang lebih rendah dibandingkan profitabilitas privat usahatani padi. Selain
itu berdasarkan analisis finansial dan ekonomi pada Lampiran 4 terlihat bahwa
secara finansial usahatani padi memiliki RC-ratio (tingkat kelayakan usaha) jauh
lebih besar dibanding usahatani jagung (1.39), namun secara ekonomi tidak
dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang
dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup nilai sewa lahan dan sewa
tenaga kerja dalam keluarga. Pada kondisi aplikasi teknologi aktual, kinerja
usahatani, pada tingkat harga yang dibayar dan diterima petani, dan kebijakan
kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan
sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi
profitabilitas sosial yang tinggi (24 persen), dimana tidak berbeda secara
signifikan dengan profitabilitas sosial usahatani padi (25 persen). Hasil ini
Tabel 15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi di
Kabupaten Bolaang Mongondow (Rp)
Faktor Domestik/ non
tradable
No Uraian Revenue Input Tradable Profit
Lahan &
Tenaga Kerja
Modal
1. Jagung:
a.Privat 9 160 790.63 2 135 557.29 4 560 657 2 245 650 218 926
b.Sosial 12 176 832.45 3 355 376.11 3 962 836 1 812 683 3 045 938
c.Divergensi -3 016 041.83 -1 219 818.82 597 821 432 968 -2 827 011
2. Padi :
a.Privat 13 705 580.09 1 268 151.97 5 434 977 3 132 345 3 870 106
b.Sosial 12 761 551.72 2 053 674.92 4 706 137 2 555 173 3 446 567
c.Divergensi 944 028.37 -785 522.96 728 840 577 172 423 539
kompetitornya yaitu padi ternyata memiliki daya saing lebih tinggi secara
bahwa adanya ketergantungan para petani pada pedagang pengumpul desa atau
menjadi satu-satunya pembeli hasil panen dan tempat bergantung petani untuk
akibatnya harga jual input menjadi tinggi sementara harga beli output justru
ditekan.
sumberdaya maupun produk yang efisien. Terdapat tiga jenis kegagalan pasar
harga pasar) atau monopsoni (pembeli menguasai harga pasar), (2) eksternalitas
negatif yaitu biaya, dimana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut
tidak bisa dibebani biaya yang ditimbulkannya atau eksternalitas positif yaitu
manfaat, dimana pihak yang menimbulkan manfaat tersebut tidak bisa menerima
kompensasi atau imbalan atas manfaat yang ditimbulkannya), dan (3) pasar
faktor domestik yang tidak sempurna, dimana tidak adanya lembaga yang dapat
kerugian efisiensi bila harga beras impor yang digantikannya ternyata lebih
murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi beras dalam
Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah
kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan
divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi (nilai-nilai divergensi pada Tabel
15) akan menjadi nol. Pada kondisi seperti itu, nilai-nilai pada bagian privat (baris
pertama tabel PAM) akan sama dengan nilai pada bagian sosial (baris kedua tabel
PAM) atau dengan kata lain pendapatan (revenue), biaya dan profitabilitas privat
berdasarkan analisis PAM dan sebagai pembanding diperlihatkan juga nilai PCR
Tabel 16. Hasil Perhitungan Private Cost Ratio dan Domestic Resource Cost
Ratio Usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow
Private Cost Ratio Domestic Resource
No. Usahatani (PCR) Cost Ratio (DRCR)
1. Jagung 0.97 0.65
terakhir dikategorikan sedikit memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR <
nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat maka usahatani padi di
domestik sebesar 0.69 atau kurang dari satu satuan. Memang jika dibandingkan
dengan nilai PCR usahatani jagung juga berada pada posisi kurang dari satu
satuan, yaitu 0.97 namun masih lebih besar memerlukan tambahan biaya faktor
Dengan nilai PCR yang hanya 0.97 maka usahatani jagung memiliki
kemampuan terbatas dalam membiayai faktor domestik. Atau dengan kata lain
tertutupnya biaya produksi jika harga output pada tingkat harga privat jatuh (turun).
diperoleh hasil sebesar Rp. –3 016 041.83 yang menunjukkan bahwa petani sebagai
produsen menerima harga output lebih rendah dari harga dunia yang pada tahun
2008 berada pada kisaran Rp. 2 600 sampai dengan 2 900 per kg (lihat pembahasan
lebih lanjut pada sub bab 5.7.1). Hal ini sesuai dengan data hasil wawancara di
lapangan yang menunjukkan bahwa harga jual tertinggi produk jagung petani di
lokasi penelitian pada satu tahun terakhir (dua musim tanam) hanya rata-rata Rp. 2
138 per kg dan terendah Rp. 1 455 per kg atau berada pada kisaran Rp. 1 000
impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, setiap US $ 1.00 yang dibutuhkan
didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan
usahatani padi yang memiliki nilai DRC sebesar 0.68, artinya bahwa untuk
mengimpornya.
Mongondow terlihat bahwa komoditas padi lebih memiliki daya saing dibanding
jagung. Hal ini tidak mengherankan karena tanaman padi merupakan tanaman
pangan utama yang keberadaannya sudah sejak lama diperhatikan dan dipacu
produksi serta dikontrol harganya oleh pemerintah, dimana secara nasional sejak
dimulainya program Pra Bimas tahun 1952 dan di Propinsi Sulawesi Utara sendiri
sejak adanya program transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali pada awal 1970-an.
Hasil penelitian BPTP Sulut pada tahun 1999 menunjukkan bahwa komoditi
jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki nilai DRCR sebesar 0.53. Jika
dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa usahatani
komparatif. Diduga hal ini terjadi karena faktor sumberdaya lahan yang semakin
berkurang akibat konversi lahan, kenaikan harga-harga input tradable dan faktor
domestik serta tidak menentunya harga jual jagung hasil panen petani. Kurangnya
umumnya. Akibat yang sangat jelas terlihat pada produksi jagung Sulut yang tidak
bisa memenuhi ketentuan kuantitas stok dan kontuinitasnya, dimana para buyers
menargetkan pembelian hingga 2000 ton sampai tahun 2009, namun belum mampu
dipenuhi sehingga jagung Sulut tidak diminati buyers, hal ini jelas sangat
komoditi-jagung-kurang-diminati-buyershtml, 2009).
kalah bersaing dari sisi harga dibanding dengan negara lain. Di negara-negara barat
sistem pertanian sudah sangat efisien dengan produktivitas yang tinggi sehingga
rendah. Dengan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada produk pertanian
maka harga produk pertanian akan bertambah mahal yang mengakibatkan daya
saing produk tersebut semakin menurun. Ketika daya saing produk menjadi rendah
maka yang dihadapi bukan saja pasar internasional, tetapi juga pasar lokal yang
pertanian lokal. Ketika pertanian dalam negeri sudah tidak berdaya maka akan
justru menurunkan tingkat daya saing komoditi jagung Bolmong (lihat Tabel 18
halaman 76). Harga jual jagung di tingkat petani menjadi rendah, dimana pada
Musim Tanam (MT) I tahun 2008 rata-rata petani masih bisa merasakan harga
sampai Rp. 2 300 per kg, namun pada MT II rata-rata harga jual hanya berkisar
Rp. 1 400 – 2 000 per kg. Di lain pihak para pedagang kemudian menjual hasil
panen petani tersebut dengan harga tinggi. Diperoleh informasi bahwa harga
jagung di pasar tradisional saja pada Bulan Pebruari 2009 rata-rata sudah sebesar
Analysis Matrix adalah Output Transfer (OT), Input Transfer (IT), Factor Transfer
(FT) dan Net Transfer (NT). Ukuran relatif ditunjukan oleh analisis koefisien
Koefisien profitabilitas atau Profitability Coeficient (PC) dan rasio subsidi bagi
menunjukkan nilai yang negatif, artinya bahwa harga output di pasar domestik
dibebankan kepada petani produsen secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan
namun secara tidak langsung justru yang menanggung adalah petani karena para
pedagang membeli hasil jagung petani lebih murah (Rp. 1000 – 2300 per kg)
dibanding harga jual kembali (diatas Rp. 2500 per kg). Hal ini dilakukan dengan
harapan dapat menutupi biaya retribusi yang akan dikeluarkan nanti pada saat
Usahatani OT NPCO
(NPCO) yang merupakan rasio untuk mengukur output transfer. Nilai NPCO pada
Tabel 17 berarti bahwa karena adanya kebijakan retribusi pajak terhadap komoditi
jagung Bolmong, maka nilai total output 25 persen lebih rendah dari nilai (harga)
jagung bersifat disinsentif terhadap output. Artinya tidak ada bantuan ataupun
atau pengendalian harga beli aktual, terhadap hasil jagung petani tersebut.
Hal ini menyebabkan tingkat permainan harga relatif tinggi, sebab para
petani tidak punya pilihan lain karena terdesak kebutuhan, utang dan terutama
belum adanya acuan harga yang baku dari pemerintah terhadap pembelian hasil
jagung mereka.
Fenomena yang terjadi pada usahatani jagung ini sangat berbeda dengan
kondisi usahatani padi, dimana dengan hasil OT dan NPCO pada Tabel 17
domestik, sehingga petani bisa menerima harga output yang lebih tinggi. Atau
dengan kata lain bahwa karena adanya kebijakan tarif impor beras maka nilai
total output 7 persen lebih tinggi dari nilai yang seharusnya, yaitu jika tidak ada
Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor
NPCO usahatani padi (beras) dalam penelitian ini. Anapu et al. (2005)
usahatani padi di Minahasa (padi tadah hujan – irigasi semi teknis luas lahan < 0.5
ha, padi tadah hujan – irigasi semi teknis luas lahan 0.5 – 1 ha, dan padi tadah hujan
– irigasi semi teknis dengan luas lahan > 1.0 ha. Diperoleh hasil rata-rata divergensi
kebijakan tarif impor. Tanpa adanya proteksi, maka keuntungan privat akan
negatif.
terhadap beras pada tahun 2009 ini sebesar Rp.4 600 per kg. Selain itu beras sebagai
makanan pokok utama masih memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasar lokal
dibanding jagung, yaitu pada kisaran Rp. 5 000 – 7 000 per kg. Hal ini berbeda
dengan harga jagung pipilan yang belum pernah menembus Rp. 4 000 per kg
komoditi pertanian (Tabel 18), menjadi salah satu penyebab tetap rendahnya
pendapatan petani produsen dari usahatani jagung ini secara finansial (privat).
penghapusan tarif impor baik yang eksplisit maupun implisit akan menyebabkan
keuntungan usahatani padi menurun sekitar Rp. 827 ribu sampai dengan Rp. 1.46
juta atau rata-rata Rp. 1.19 juta per hektar per musim atau menurun sekitar 40.41
persen sampai dengan 111.37 persen atau rata-rata 53.48 persen. Sedangkan
skenario mempertahankan seluruh tarif implisit (Rp.117.4 per kg) dan menghapus
seluruh tarif eksplisit (Rp. 430 per kg) akan menyebabkan keuntungan petani
menurun sekitar Rp. 650 ribu sampai dengan Rp. 1.06 juta atau rata-rata Rp. 933
ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 31.76 persen sampai dengan 87.53
persen atau rata-rata 42.03 persen. Sementara skenario penghapusan seluruh tarif
petani menurun sekitar Rp. 177 ribu sampai dengan Rp. 314 ribu atau rata-rata Rp.
255 ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 8.67 persen sampai dengan
23.89 persen atau rata-rata 11.47 persen. Terlihat bahwa dampak skenario kebijakan
merupakan kombinasi tarif dan non tarif berhasil meningkatkan harga produsen,
jumlah impor beras secara signifikan. Kebijakan nontarif mempunyai efek lebih
besar daripada kebijakan tarif. Namun tidak berarti bahwa salah satu kebijakan
78
dapat dihilangkan karena keduanya saling memperkuat. Jika salah satu kebijakan
dunia yang tipis akan makin besar. Kebijakan tarif saja atau kebijakan nontarif
setiap negara anggota untuk membuka pasar yang berdampak pada terjadinya
fenomena banjir impor (import surge). Ironisnya justru banjir impor terjadi pada
produk-produk bahan pangan, sehingga hal ini dapat merupakan suatu indikator
Dampak jangka panjangnya adalah ketergantungan pada bahan pangan impor atau
Protection Coefficient on Output (NPCO) dan Factor Transfer (FT) pada Tabel
input tradable dan faktor domestik (non tradable) baik pada usahatani jagung
produk akhir. Hal ini sebenarnya dilakukan dengan harapan agar para petani
sebagai pengguna (konsumen) dapat menerima harga input yang lebih rendah
lapangan jauh berbeda dengan harapan dan sasaran dari program kebijakan ini.
79
nilai yang negatif. Artinya bahwa secara implisit terdapat subsidi terhadap input
tradable (dalam hal ini pupuk) yang harus disediakan pemerintah setiap tahunnya.
Pengertian lain bahwa terdapat transfer (insentif) dari produsen pupuk ke petani.
Sedangkan NPCI yang merupakan rasio untuk mengukur tingkat input transfer
menunjukkan bahwa karena adanya subsidi terutama pada pupuk maka total biaya
input sebesar 64 persen dari biaya seharusnya untuk usahatani jagung dan 62 persen
Tabel 19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient on Input dan Factor
Transfer Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang
Mongondow
Usahatani IT NPCI FT
harus disediakan terhadap faktor domestik (tenaga kerja, modal dan lahan) pada
dua musim tanam sebesar Rp. 1 030 788.26 untuk usahatani jagung dan Rp. 1
setempat umumnya hanya menggunakan dua jenis pupuk dalam usahataninya yaitu
urea dan phonska. Kedua pupuk ini merupakan pupuk bersubsidi dengan Harga
sebesar Rp. 1 200 per dan Rp. 1 750 per kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk
harga jual pupuk yang berlaku pada lima lokasi penelitian di wilayah Kabupaten
Bolaang Mongondow.
Tabel 20. Rata-Rata Harga Beli Pupuk “Bersubsidi” pada Lima Lokasi
Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow
Harga Pupuk di Lokasi Penelitian (Rp/kg)
No. Jenis Pupuk Bolaang
Poigar Bolaang Lolayan Lolak
Timur
1. Urea 1 463 1 373 1 571 1 433 1 592
subsidi pupuk yang diterapkan pemerintah selama ini. Oleh karena itu, perlu
adanya alternatif kebijakan untuk mengatasi hal ini, misalnya dengan pengalihan
subsidi dari subsidi gas untuk proses produksi pupuk menjadi subsidi distribusi
atau transportasi ke petani yang bisa menekan biaya transportasi dan bisa
tingkat petani, (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik
sertifikasi pupuk, dan (5) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang
1. Pengelolaan subsidi relatif mudah. Hal ini karena pemerintah hanya perlu
pengecer resmi (lini IV) dapat menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja
baik petani yang berhak maupun bukan. Namun sesuai kondisi lapangan
pada saat penelitian, hal ini justru menjadi kelemahan modus subsidi
bahwa umumnya petani membeli pupuk pada toko atau pedagang pengumpul
desa dengan harga tinggi, artinya pupuk bersubsidi justru dijual ke pedagang
3. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif
tinggi. Hal ini berlaku dengan syarat apabila efektivitas HET terjamin.
1. Harga pupuk terasa relatif murah. Hal ini karena Harga Eceran Tertinggi (HET)
jauh lebih rendah daripada harga pasar bebas. Akibatnya, petani cenderung
HET pemerintah. Artinya ada kelemahan dalam pola distribusi pupuk, entah
di lini I – II ataukah di lini III – IV. Malahan sebagian petani terpaksa tidak
dan kalaupun ada kemampuan membeli pupuk, jumlah pupuk yang tersedia
pemupukan berimbang.
2. Terjadi dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga
bersubsidi dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi. Hal ini membuka
peluang terjadinya aliran pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non subsidi
dan kelemahan jika subsidi harga pupuk diberikan langsung ke petani, yaitu:
Kekuatan :
1. Harga pupuk terasa relatif mahal. Hal ini karena harga pupuk yang dibayar
2. Dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga bersubsidi
dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi, tidak terjadi. Hal ini karena
hanya ada satu harga pupuk yang berlaku di pasar yaitu harga pasar itu
sendiri. Dalam hubungan ini petani penerima subsidi membeli pupuk dengan
harga pasar.
3. Ketepatan subsidi mencapai sasaran adalah relatif tinggi. Hal ini karena petani
penerima subsidi telah melalui seleksi dengan sejumlah kriteria tertentu. Potensi
mark-up dana subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena besarnya dana
83
subsidi yang dapat di-claim oleh produsen pupuk harus sesuai dengan jumlah
Kelemahan :
1. Pengelolaan subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena pemerintah perlu
2. Diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini sudah barang tentu
(voucher). Dana ini harus tersedia setiap tahun selama modus tersebut
diterapkan.
4. Potensi konflik antara petani dan petugas lapangan relatif tinggi. Hal ini karena
walaupun petani penerima subsidi telah melalui seleksi dengan kriteria tertentu
namun tetap terbuka peluang ada petani yang tidak menerima subsidi meskipun
5. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif
rendah. Hal ini berlaku dengan syarat apabila terjadi jual beli kupon (voucher)
guna dibelikan kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, minyak tanah, dsb.
Fenomena semacam itu sangat mungkin terjadi dalam kondisi daya beli
uang tunai guna membeli makanan maka anggaran petani untuk membeli
tetap atau mungkin turun. Ini berarti daya beli petani untuk membeli
84
adalah tetap. Karena daya beli petani untuk membeli pupuk adalah tetap
maka jumlah pupuk yang sanggup dibeli petani tidak berubah. Akibatnya,
subsidi harga pupuk yang dimaksudkan oleh pemerintah agar petani mampu
murah. Namun pencapaian tujuan ini menimbulkan efek samping negatif sebagai
berikut:
1. Transfer pendapatan dari pembayar pajak kepada pekerja pabrik pupuk dan
sedikit Rp. 2 800 per kg urea produksi PT. Pupuk Kaltim. Sementara untuk
pupuk urea produksi tiga perusahaan lainnya (PT. Pusri, PT. Petrokimia, PT.
Pupuk Kujang), masyarakat mensubsidi paling sedikit Rp. 900 per kg urea.
jangka panjangnya adalah penurunan kualitas hara tanah yang justru semakin
murah dan jauh lebih praktis. Padahal pupuk organik lebih aman bagi
(EPC), Net Transfer (NT), Profitability Coeficient (PC) dan Subsidy Ratio to
pemerintah terhadap usahatani jagung dan para petani jagung karena tingkat
proteksi yang rendah terhadap hasil jagung petani, dimana hal ini berdampak
persen atau dengan NT yang negatif (Rp. -2 827 011) hanya mendatangan rasio
terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input dan output secara
biaya produksi yang besar. Hal ini mungkin saja tidak akan terjadi seandainya
profitabilitas privat.
86
Di lain pihak kebijakan subsidi input justru merugikan petani karena pada
biaya produksi usahataninya menjadi lebih besar, belum lagi ditambah serapan
dan biaya tenaga kerja yang tinggi semakin memperkecil pendapatan petani dari
mengenai usahatani jagung ini berjalan tidak efektif, hal ini ditunjukkan dengan
promosi ekspor maka memperoleh proteksi dari pemerintah yang ditandai dengan
nilai EPC > 1. Sedangkan komoditas jagung yang digunakan untuk orientasi
subtitusi impor dan perdagangan antar daerah tidak memperoleh proteksi pada harga
jika dihubungkan dengan hasil penelitian penulis maka dapat dikemukakan bahwa
komoditas jagung di Bolmong pun harus dipacu agar berorientasi ekspor, berdaya
kebijakan yang memproteksi output dan input usahatani padi, artinya harga
diharapkan hal ini dapat menghambat kegiatan ekspor ilegal. Dengan adanya
kebijakan terhadap output dan input ini semakin menambah surplus petani (nilai
NT). Kesimpulannya berdasarkan nilai PC dan SRP maka untuk usahatani padi
dibandingkan dengan usahatani padi. Hal ini tidak mengherankan karena isu
swasembada beras bukan hanya sekedar isu sosial namun juga berpengaruh secara
politis yang berdampak pada stabilitas nasional. Sehingga sejak dulu beras selain
merupakan komoditi pangan pokok, tapi juga dikenal sebaai komoditi politis yang
suatu komoditas yang jika HPP tersebut tidak ditetapkan akan dapat menimbulkan
ekonomi (Sinar Harapan, Sabtu 15 Nopember 2008). Artinya secara tersirat ada
diperlukan, jika dibandingkan dengan beras. Sebab walaupun HPP jagung tidak
untuk suatu perubahan nilai-nilai parameter dari model tersebut, dan untuk
suatu model.
tersebut, maka dalam penelitian ini pun dilakukan analisis sensitivitas sebanyak 12
skenario variasi perubahan harga pada input (pupuk), tenaga kerja serta output
(harga jual jagung petani). Hal ini dilakukan untuk mencari bentuk kebijakan yang
kira-kira efektif dalam peningkatan keuntungan dan daya saing usahatani jagung di
Bolaang Mongondow. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada Tabel 22, terlihat
bahwa skenario ke-9 yaitu harga pupuk turun 10 persen dan harga output naik 30
persen merupakan skenario terbaik. Hal ini karena skenario ke-9 menunjukkan
tingkat daya saing (komparatif dan kompetitif) terbaik yang dimiliki oleh usahatani
baik tingkat daya saing komoditi usahatani jagung, dimana nilai ini berhubungan
terbesar terhadap hasil penjualan komoditi jagung baik secara privat maupun
sosial, yaitu 25 persen dan 43 persen. Atau dengan kata lain skenario ke-9 dapat
yaitu menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-3) dengan asumsi
menyerap biaya produksi suatu usahatani. Namun penurunan harga pupuk belum
merupakan suatu solusi yang final tanpa diiringi dengan pendistribusian yang
tepat waktu serta ketersediaan di lapangan atau dengan kata lain harus benar-
benar mengacu pada 6 tepat distribusi pupuk, yaitu tepat jumlah, jenis, harga,
waktu, tempat dan mutu. Sehingga kelangkaan pupuk yang sering terjadi saat ini
dapat teratasi.
yang diberikan pemerintah bukanlah subsidi pupuk langsung bagi petani, namun
subsidi gas dari pemerintah bagi pabrik-pabrik penghasil pupuk. Padahal harga
pupuk di tingkat petani tidak berkaitan langsung dengan harga pokok pabrik pupuk
domestik. Pada tatanan pasar terbuka, seperti saat ini, harga pupuk di tingkat petani
ditentukan oleh harga paritas impornya. Pengalaman membuktikan bahwa jika harga
pupuk di pasar internasional meningkat, maka untuk mengejar laba yang lebih
pasokan pupuk di tingkat petani menjadi langka dan harganya pun meningkat
menerapkan harga pembelian pemerintah yang diperketat. Hal ini sebagai upaya
untuk mengontrol pasar agar harga ditingkat petani tidak dipermainkan oleh para
pedagang pengumpul. Selain itu, seperti terlihat pada hasil Tabel 22, bahwa
perubahan-perubahan harga input (terutama pupuk) serta tenaga kerja tidak akan
banyak mempengaruhi tingkat keuntungan dan daya saing usahatani jagung, jika
6.1. Kesimpulan
profitabilitas privat (D) > 1 dan profitabilitas sosial (H) > 1 serta
daerah. Hal ini sebagai upaya untuk mengontrol pasar agar harga
2. Beberapa hal yang harus segera dibenahi dalam sistem usahatani jagung
panennya pun harus lebih diperhatikan dan ditangani lebih baik. Untuk
secara rutin kepada para petani agar hal ini dapat terwujud.
Sehingga dapat diperoleh suatu basis data mengenai posisi daya saing
DAFTAR PUSTAKA
Antara News. 2007. Produksi Jagung 2008 Diprediksi Penuhi Kebutuhan Dalam
Negeri. Posting tanggal 12 Juli 2007 01:39. www.antara.co.id/arc/2007.
Badan Pusat Statistik. 2008. Harvested Area, Yield Rate and Production of
Maize by Province, 2006. www.bps.go.id.
Darwis, V. dan A.R. Nurmanaf. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan
Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Jurnal Forum Penelitian Agro
Ekonomi, 22 (1) : 63 – 73.
Handerson, D.R. 2008. Paul Krugman’s Nobel Prize. The Future of Freedom
Foundation. www.fff.org.
97
http://www.news.roll.co.id/komoditas/23274-komoditi-jagung-kurang-diminati-
buyershtml. 2009. Komoditi Jagung Kurang diminati Buyers. Berita
Jumat 27 Pebruari 2009.
Hadi, P.U. dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi
Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23 (2) : 159 – 175.
Martin, X.S., J.Blanke, M.D.Hanouz, T.Geiger, I.Mia and F.Paua. 2008. The Global
Competitiveness Index: Prioritizing the Economic Policy Agenda. The
Global Competitiveness Report 2008-2009. Editor: Porter, M.E. and
K.Schwab. World Economic Forum. www.weforum.org/pdf.
Manado Post. 2005. Crash Program Agribisnis Atasi Krisis. Rubrik Khusus,
Kamis 10 November 2005.
Monke, E.A. and S.K. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix For
Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca.
Nugroho, A.A. 2009. Kerugian Masyarakat dari Regulasi Pupuk. Artikel Web
Blog, Jumat Pebruari 2009. http://komentar-ekonomi.blogspot.com/
2009/02/ahmad-adi-nugroho-pegiat-kppu.html.
Pearson S., C.Gotsch dan S.Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada
Pertanian Indonesia. Terjemahan.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Simatupang, P. 2002. Subsidi Gas bagi Pabrik Pupuk Vs Subsidi Pupuk bagi
Petani. Kompas, Kamis 19 Juli 2002. http://www.kompas.com
Squire, L. and G.H. van der Tak. 1976. Economic Analysis of Project. The John
Hopkins University Press, Baltimore.
Swastika, D.K.S. 2002. Corn Self-sufficiency in Indonesia: The Past 30 years and
Future Prospects. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 21
(3) : 75 – 83.
Yao, S. 1997. Rice Production in Thailand seen through a Policy Analysis Matrix.
Food Policy Journal, 22 (6) : 547 – 560.
World Wild Foundation Indonesia. 2008. Impor Pakan Ternak Naik 48%.
http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-10-
114-0009-001-03-0899.pdf.
LAMPIRAN
101
B Faktor Domestik
B.1 Tenaga kerja
1Olah tanah I (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 4 13 897 11 118 58 245 46 596
b. luar keluarga HOK 10 39 135 31 308 377 601 302 081
2 Olah tanah I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 3 73 879 73 879 224 185 224 185
3 Olah tanah I (traktor) HTK 2 113 426 113 426 235 254 235 254
4 Olah tanah II (manusia):
a. dalam keluarga HOK 3 15 000 12 000 42 000 33 600
b. luar keluarga HOK 3 45 000 36 000 146 250 117 000
5 Olah tanah II (ternak):
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 3 70 000 70 000 233 333 233 333
6 Olah tanah II (traktor) HTK 0 0 0 0
7 Garu I (manusia):
a. dalam keluarga HOK 1 15 000 12 000 22 031 17 625
b. luar keluarga HOK 3 50 000 40 000 133 333 106 667
8 Garu I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 2 74 688 74 688 155 599 155 599
9 Garu II (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 2 15 000 12 000 24 000 19 200
b. luar keluarga HOK 4 50 000 40 000 200 000 160 000
10 Garu II (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 2 71 250 71 250 124 688 124 688
11 Garu II (traktor) HTK 0 0 0 0
12 Penanaman :
a. dalam keluarga HOK 2 14 155 11 324 29 538 23 631
b. luar keluarga HOK 8 35 603 28 483 269 397 215 518
c. Ternak (bajak/
larik)) HTK 1 31 280 31 280 31 000 31 000
13 Penyiangan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 7 14 634 11 707 96 193 76 954
b. luar keluarga HOK 7 35 542 28 434 247 969 198 376
14 Pemupukan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 2 14 473 11 579 31 524 25 219
104
Lampiran 3. Lanjutan
Harga
Jml Fisik Harga Finansial Ekonomi
No. Input Satuan Sosial
(rata-rata) Privat (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
b. luar keluarga HOK 4 37 839 30 271 148 114 118 491
15 Pengendalian H&P HOK 3 26 310 26 310 80 181 80 181
16 Panen & kupas tongkol:
a. dalam keluarga HOK 3 14 232 11 386 35 866 28 693
b. luar keluarga HOK 10 34 157 27 325 332 346 265 877
17 Jemur:
a. dalam keluarga HOK 4 13 795 11 036 54 516 43 613
b. luar keluarga HOK 5 35 227 28 182 174 535 139 628
18 Pemipilan:
a. dalam keluarga HOK 1 13 750 11 000 13 750 11 000
b. luar keluarga HOK 15 18 000 14 400 275 400 220 320
c. Alat pipil HTK 1 212 363 212 363 225 499 225 499
19 Pengangkutan
a. dalam keluarga HOK 3 15 556 12 444 47 243 37 794
b. luar keluarga HOK 7 35 227 28 182 229 252 183 401
c. Roda sapi HTK 1 148 970 148 970 100 393 100 393
d. Lainnya (mobil &
bentor) HTK 1 145 278 145 278 161 420 161 420
B.2 Sewa Lahan ha 1.2 1 206 409 1 206 409 1 473 628 1 473 628
B.3 Suku Bunga Modal Rp.2 749 000 25 persen 9.25 persen 687 250 254 283
Sewa alat pipil Rp/kg 1 56 56 56 56
B.4 penyusutan alat:
a. sekop 1.00 17 831 17 831 17 831 17 831
b.cangkul 1.00 18 079 18 079 18 079 18 079
c.parang 2.00 24 403 24 403 48 807 48 807
C Produksi (pipilan) Rp/kg 4 285.75 2 138 2 841 9 160 791 12 176 832
Hasil Penjualan
(Revenue) Rp 9 160 791 12 176 832
3 355
Total Input tradable Rp 2 135 557 376
Total Faktor Domestik :
3 962
a. Tenaga Kerja Rp 4 560 657 836
b. Modal Rp 687 306 254 338
d. penyusutan alat Rp 84 717 84 717
1 473
c. Lahan Rp 1 473 628 628
1 Benih Padi kg/ha 148.45 2 734 2 545 405 792 377 841
2 Urea kg/ha 199.75 1 476 4 259 294 730 850 729
3 Ponska kg/ha 103.19 2 505 5 000 258 467 515 942
4 Herbisida l/ha 3.48 72 104 72 104 251 048 251 048
5 Pestisida cair l/ha 0.87 66 882 66 882 58 115 58 115
B Faktor Domestik
B.1 Tenaga kerja
1Olah tanah I (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 4.05 14 500 11 600 58 750 47 000
b. luar keluarga HOK 28.19 36 214 28 971 1 020 790 816 632
2 Olah tanah I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 3.33 35 000 35 000 116 667 116 667
b. luar keluarga HTK 2.75 87 308 87 308 240 096 240 096
3 Olah tanah I (traktor) HTK 1.89 152 937 152 937 289 487 289 487
4 Olah tanah II (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 2.58 15 833 12 667 40 903 32 722
b. luar keluarga HOK 5.00 41 429 33 143 207 143 165 714
5 Olah tanah II (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 5.00 35 000 35 000 175 000 175 000
b. luar keluarga HTK 3.13 61 667 61 667 192 708 192 708
6 Olah tanah II (traktor) HTK 1.57 107 024 107 024 168 180 168 180
7 Garu I (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 1.76 15 000 12 000 26 413 21 130
b. luar keluarga HOK 2.88 38 750 31 000 111 406 89 125
8 Garu I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 1.73 13 333 13 333 23 077 23 077
b. luar keluarga HTK 1.71 60 577 60 577 103 846 103 846
9 Garu II (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 2.07 16 429 13 143 34 031 27 224
b. luar keluarga HOK 2.00 42 500 34 000 85 000 68 000
10 Garu II (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 1.56 10 000 10 000 15 625 15 625
b. luar keluarga HTK 1.75 84 167 84 167 147 292 147 292
11 Garu II (traktor) HTK 2.00 50 000 50 000 100 000 100 000
12 Penanaman :
a. dalam keluarga HOK 1.50 14 780 11 824 22 131 17 705
b. luar keluarga HOK 7.22 37 474 29 979 270 507 216 406
c. Ternak (bajak/ larik)) HOK 0 0 0 0 0
13 Sulam :
a. dalam keluarga HOK 1.62 17 308 13 846 27 959 22 367
b. luar keluarga HOK 4.75 46 250 37 000 219 688 175 750
14 Penyiangan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 5.11 14 881 11 905 76 058 60 847
b. luar keluarga HOK 9.37 38 329 30 663 359 160 287 328
106
Lampiran 4. Lanjutan
Harga
Jml Fisik Harga Finansial Ekonomi
No. Input Satuan Sosial
(rata-rata) Privat (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
15 Pemupukan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 1.38 16 250 13 000 22 452 17 961
b. luar keluarga HOK 1.89 40 000 32 000 75 714 60 571
16 Pengendalian H&P HOK 2.30 25 560 25 560 58 848 58 848
17 Panen & rontok:
a. dalam keluarga HOK 1.65 15 760 12 608 25 937 20 750
b. luar keluarga HOK 11.25 48 894 39 115 550 001 440 001
17 Jemur padi:
a. dalam keluarga HOK 3.53 14 796 11 837 52 239 41 791
b. luar keluarga HOK 4.40 35 600 28 480 156 640 125 312
18 Pengangkutan
a. dalam keluarga HOK 2.17 15 000 12 000 32 500 26 000
b. luar keluarga HOK 5.90 28 607 22 885 168 779 135 023
c. Roda sapi HTK 1.39 114 747 114 747 159 950 159 950
d. Lainnya (mobil &
bentor) HTK 0 0 0 0 0
1 539
B.2 Sewa lahan ha 1.12 1 539 083 083 1 717 528 1 717 528
B.3 Modal
9.25
1 Suku bunga modal Rp 3 664 585 25 persen persen 916 146 338 974
2 sewa alat rontok Rp/unit 1.00 413 954 413 954 413 954 413 954
B4 Penyusutan alat:
a. sekop 1.00 17 831 17 831 17 831 17 831
b.cangkul 1.00 18 079 18 079 18 079 18 079
c.parang 2.00 24 403 24 403 48 807 48 807
C Produksi (beras) kg/ha 2 765.57 4 956 4 614 13 705 580 12 761 552
Parameter Nilai
1. Privat Profitability (PP) Rp 218 926
2. Social Profitability (SP) Rp 3 045 938
3. Output Transfer (OT) Rp - 3 016 041.83
4. Input Transfer (IT) Rp - 1 219 818.82
5. Factor Transfer (FT) Rp 1 030 788.26
6. Net Transfer (NT) Rp - 2 827 011
7. Private Cost Ratio (PCR) 0.97
8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 0.65
9. Nominal Protection Coefficient (NPC) :
a. On Tradable Outputs (NPCO) 0.75
b. On Tradable inputs (NPCI) 0.64
10. Effective Protection Coefficient (EPC) 0.80
11. Profitability Coeficient (PC) 0.07
12. Subsidy Ratio to Producers (SRP) -0.23
108
Parameter Nilai
1. Privat Profitability (PP) Rp 3 870 106
2. Social Profitability (SP) Rp 3 446 567
3. Output Transfer (OT) Rp 944 028.37
4. Input Transfer (IT) Rp - 785 522.96
5. Factor Transfer (FT) Rp 1 306 012.31
6. Net Transfer (NT) Rp 423 539.02
7. Private Cost Ratio (PCR) 0.69
8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 0.68
9. Nominal Protection Coefficient (NPC) :
a. On Tradeble Outputs (NPCO) 1.07
b. On Tradeble inputs (NPCI) 0.62
10. Effective Protection Coefficient (EPC) 1.16
11. Profitability Coeficient (PC) 1.12
12. Subsidy Ratio to Producers (SRP) 0.03
109
Lampiran 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Sulawesi Utara Tahun 2002 - 2007
109
110
Lampiran 8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi Penelitian
Bulan
Usahatani
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
MT I/ MT II/
Padi MT I Bera Bera MT II MT II MT II Bera Bera MT I MT I
panen panen
Keterangan:
MT = Musim Tanam
110