Вы находитесь на странице: 1из 68

BAB III

PEMIKIRAN TASAWUF KIAI THAIFUR

Pemikiran apapun bentuk dan jenisnya tidak akan lahir

dengan sendirinya tanpa ada interaksi dan pergumulan dengan

lingkungan sosial, budaya dan politik. Oleh karenanya,

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya sebuah

pemikiran adalah sangat penting, sama pentingnya dengan

mengkaji pemikiran itu sendiri, bahkan karl Mannheim

menegaskan bahwa akan menimbulkan cara-cara berfikir yang

tidak dipahami secara memadai apabila asal-usul sosial tidak

diungkap secara jelas.1 Pengungkapan konstruksi sosial dan

budaya pemikir setidaknya memberikan data nyata sejauh mana

pemikiran itu hadir sesuai dengan konteknya, terlebih kontek

ideologi yang di hadapinya.

Oleh karena itu, sebelum mengeungkap pemikiran tasawuf

kiai Thaifur, penulis akan mengulas terlebih dahulu mengenai

riwayat hidup dan intelektual kiai Thaifur dengan pembahasan

sebagai berikut:

A. Riwayat Hidup Kiai Thaifur

1. Jejak kelahiran kiai Thaifur

1
Karl Mannheim, ideologi dan Utopia: menyingkap kaitan pikiran dan
politik

67
Kiai Thaifur, nama lengkapnya Thaifur bin Ali Wafa

bin Muharror, beliau hidup dan berkembang dalam

lingkungan pesantren, beliau lahir pada malam selasa 20

Sya’ban 1384 H. di lingkungan Pesantren al-Aswaj (Pondok

Pesantren Ahlu Al-Sunnah wa al-Jama’ah), Dusun Somor

(Sumur) Desa Ambunten Timur Kecamatan Ambunten

Kabupaten Sumenep Jawa Timur Madura.2 Dari tradisi

kepesantrenan ini serta pergumulannya dengan

masyarakat luas mengantarkan kiai Thaifur menjadi

pembela ideologi pesantren dalam kontek membumikan

spirit tasawuf sunni model imam al-Ghazali yang dianut

mayoritas komonitas pesantren atau muslim tradisional di

Madura.

Kiai Thaifur terlahir dari keturunan darah biru 3, yaitu

kiai Ali Wafa bin Muharror (selanjutnya akan disebut kiai Ali

Wafa) yang mana menurut penelitian Martin beliau tercatat

sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah di Madura. Kiai

Thaifur dari jalur ayahnya adalah bernasab kepada salah

satu syekh yang berkebangsaan hadramaut yaman, 4 kiai Ali

Wafa lahir pada malam Jumat 11 Rabi’ul awwal Tahu 1316

H. bertepatan dengan 21 Juli 1898 M adalah salah satu

2
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa (ttp: tnp, t.t), 13
3
yaitu sebutan untuk orang yang lahir dari golongan terpandang
4
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa, 9.

68
putra orang perpengaruh pada abad ke 10 H. yaitu Syeh

Abdul Kuddus yang akrap disebutan Jinhar. Beliau (Abdul

Kuddus) berasal dari hadramaut yaman dan bertempat

tinggal di desa Sarigadin5 Ambunten Sumenep Madura.

Sementara itu dari jalur ibu, kiai Thaifur adalah

putra nyai Muthmainnah. Nyai Muthmainnah putri dari dzil

Hija dan nasabnya bersambung dengan pangeran katandur

sumenep.6 Nyai Muthmainnah Wafat pada hari Ahad

tanggal 1 Dzul Hijjah 1434 H. bertepatan dengan tanggal 6

Oktober 2013 M di desa Ambunten.

Bila ditilik dari kehidupannya, Kiai Ali Wafa sebagai

pengasuh pondok pesantren al-Aswaj yang dikenal dengan

memiliki laku tasawuf yaitu selalu khumul dan selalu

menampakkan kehidupan yang sangat sederhana dalam

kesehariannya, didukung kuat dengan posisi beliau sebagai

mursyid tarekat Naqsabandiyah.7 Kiai Ali Wafa selelu

berdo’a supaya putranya menjadi seorang yang ahli ibadah

dan berbudi pekerti yang baik, dan beliau selalu

memintakan do’a kepada tamu, orang-orang shaleh dan

para pengikut tarekatnya serta orang-orang yang akan

mengikuti tarekatnya agar dido’akan supaya putranya

5
Desa sarigadin terletak di sebelah utara desa kediaman kiai Thaifur
kira-kira 5 Km.
6
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa, 9.
7
Martin Van, Tarekat Naqsabandiyah, 180.

69
menjadi orang yang ahli ibadah dan berbudi pekerti yang

baik.8

Posisi kiai Thaifur sebagi putra tunggal kiai Ali Wafa

dari istri yang kedua yaitu nyai Muthmainnah memiliki

tanggung jawab dan peran penting dalam rangka

melanjutkan kiprah dan perjuangan orang tuanya sebagai

peneguh dan penyebar Islam, khususnya Islam Ahlu al-

Sunnah wa al-Jama’ah, agar Islam semakin kuat di

lingkungan masyarakat Ambunten khususnya dan secara

umum umat Islam di seluruh Nusantara melalui ilmu-ilmu

keislamannya. Kiai Ali Wafa meminpin pondok pesantren

dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para santrinya

serta kepada para pengikut tarekatnya dengan penuh

khidat, semangat dan ikhlas hingga ajal menjemputnya

pada hari kamis 30 Sya’ban 1386 H bertepatan dengan

tanggal 26 Agustu 1976 M.9

Itulah sekilas gambaran nasab kiai Thaifur yang

dapat disimpulkan bahwa kehidupannya tidak jauh dari

tradisi kepesantrenan dan tindak laku tasawuf.

Peranan orang tua yaitu kiai Ali Wafa dan nyai

Muthmainnah banyak mempengaruhi perkembangan

karakter kiai Thaifur semenjak kecil. Sekalipun begitu, kiai

8
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa, 23.
9
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa, 35-36

70
Thaifur layaknya anak kecil pada umumnya yang memiliki

lingkungan sosiail yang cukup luas dari kultur masyarakat

yang beragam, namun dalam pergaulan, kiai Thaifur sangat

diperhatikan oleh beliau. Kiai Ali Wafa tidak melarang ia

pergi jauh beserta temannya. Akan tetapi, apabila ia ingin

bermain atau pergi jauh dari rumahnya, ia selalu ditemani

orang terpercaya ayahnya, termasuk santri senior beliau

sendiri.10

Pergaulan dan pengalaman hidup beliau dengan

orang-orang terdekat, setidaknya melalui nasab yang baik,

cukup berpengaruh dalam membentuk mentalitas

seseorang, tidak terkecuali kiai Thaifur, tetapi, bila diamati

dari perjalanan hidupnya sejak kecil kiai Thaifur telah

menampakkan perilaku atau akhlaq yang baik (perilaku

tasawuf), misalnya mengikuti titah dan perintah kedua

orang tuanya sebagai anak yang shaleh. terbukti sejak kecil

ia patuh terhadap perintah dan larangan ayahnya yang

melarang memakan ikan dan makanan yang dijual di

pasar.11 Hal itu teruji saat kiai Thaifur diajak panglakoh

thelem untuk berbelanja ke pasar pada saat itu beliau

sangat lapar, namun beliau menolaknya ketika hendak

dibelikan makanan pasar, karena beliau takut melanggar

10
Ibid, 31
11
Ibid, 32

71
perintah orang tuanya dan bermaksiat kepadanya. 12 Namun

ketika Kiai Thaifur menginginkan suatu makanan yang

dijual di pasar, maka ia memberitahukan kepada ibunya,

kemudian ibunya membuat sendiri. Ia merasa bangga dan

bersyukur mampu menjaga pesan ayahnya.13

Melalui proses peneladanan dari kiai Ali Wafa dan

nyai Muthmainnah tidak heran jika kelak mengantarkan kiai

Thaifur menjadi orang besar, bahkan ulama pesantren pada

eranya, setidaknya hal ini bisa dilihat pada prestasi luar

biasa kiai Thaifur dalam menguraikan ilmu-ilmu keislaman

dari berbagai bidang keilmuan di antaranya yaitu kitab

Firdausun Na’iem Bitaudhihi Ma’ani Alfadzi al-Qur’an (6

jilid), kitab Sullamu al- Qashidin Ila Ihya ‘Ulumuddin dan

kitab Tauwirul Bashair serta kitab-kitab yang lain yang telah

beliau tulis.

Oleh karenanya, nasab kiai Thaifur bukan saja dari

ras keturunan komonitas pesantren, tetapi juga dari para

pelaku tasawuf yang cukup terkenal di zamannya. Maka

cukup pantas pilihannya, jika kemudian kiai Thaifur juga

hanyut dalam dunia tasawuf, bahkan ia dikenal sebagai

mursyid Thariqoh Naqsabandiyah dan Thariqah Syadziliyah,

keterkenalannya itu setidaknya melalui para pengikut

12
Ibid. 35
13
Ibid, 34

72
thariqohnya dan beberapa karya tasawufnya yang di ulas

secara singkat dan gamblang sebagai pengantar bagi orang

yang memahami taswuf al-Ghazali. Kecendrungan ini tidak

lepas dari perjalanan hidupnya semenjak kecil, remaja

hingga dewasa. Pasalnya, dunia tasawuf pada dasarnya

bersifat subyektif, dalam arti mengutamakan pada

pengalaman para pelakunya sehingga setiap individu

memiliki kesimpulan sendiri-sendiri dalam memaknai

pengalaman tasawufnya.

2. Pengembaraan Intelektual

a. Pengembaraan di Madura dan Jawa

Sebagai kiai yang memiliki kemampuan dalam

menguasai ilmu-ilmu keislaman, kiai Thaifur

sebagaimana layaknya kiai pesantren lainnya berproses

tidak sekali jadi, tetapi juga mengalami tempaan belajar

di berbagai tempat. Hanya, menariknya kiai Thaifur

diakui banyak pihak berproses tidak seperti biasanya

dilakukan kebanyakan santri. Pasalnya, penguasaan ilmu

yang matang biasanya harus membutuhkan waktu yang

lama, tetapi bagi kiai Thaifur semua proses belajar

dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Sekalipun

begitu, prestasinya dalam menguasai keilmuan Islam

banyak diakui oleh para tokoh pesantren atau tokoh

73
muslim, baik lokal, nasional hingga internasioal dengan

dibuktikan melalui karya-karyanya.

Mulanya, kiai Thaifur dididik langsung oleh

ayahnya, yaitu kiai Ali Wafa dengan cara-cara yang lazim

dilakukan bagi kalangan pesantren, yaitu belajar al-

Qur’an dengan tajwidnya dan menguasai kitab kuning

dengan materi yang beragam, dari nahwu dan sharraf,

fikih, ilmu tafsir, hingga tasawuf. Di samping itu didikan

awal kiai Thaifur didukung oleh nyai Muthmainnah

sebagai ibunya. Kiai Ali Wafa dalam menjaga dan

mendidik kiai Thaifur sangat inten dan istiqomah, karena

kiai Ali Wafa sangat menginginkan putranya menjadi

orang yang berilmu dan ahli ibadah, di samping itu kiai

Thaifur diharapkan sebagai ganti dari perjuangan beliau

dalam melanggengkan ajaran-ajaran Islam yang

berideologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah di Ambunten

pada khususnya dan pada dunia Islam secara umum.

Setelah ayah beliau wafat beliau belajar kepada

kiai Ali Hisyam14 akan beberapa bidang ilmu

pengetahuan, di antaranya Kasyifatu al-Saja (syarah dari

kitab Safinatu al-Naja), Mirqatu al-Sa’ud al-Tashdiq

(syarah Sullam) dan Maraqiy al-‘Ubudiyah (syarah

14
Saudara kiai Thaifur tunggal ayah yaitu putra kiai Ali Wafa dari istri
pertama yaitu nyai Nur Dinah

74
bidayatu al-Hiadayah). pada saat kiai Thaifur menginjak

usian 15 tahun beliau memulai belajar menulis dan

mengarang sya’ir matan al-Jurumiyah dengan bahasa

Madura, namun masih belum sampai selesai satu kitab.

Setelah itu beliau nyantri dan belajar kitab

Mutammimah al-Ajurumiyah dan kitab al-Minhatu al-

Ihsaniyah fi al-Akhlak kepada kiai Ahmad Zaini Miftahul

Arifin di Sumenep, pada waktu belajar kepada kiai Zaini,

kiai Thaifur sangat senang menghafal al-Qur’an dan

senang puasa 40 hari, setelah menyelesaikan puasa 40

hari kiai Thaifur tertidur pada waktu dhuha dan bermimpi

kiai Ahmad Zaini kemudian beliau berkata” Thaifur

bukalah mulutmu” lalau kiai Thaifur membukanya,

kemudian mulut kiai Thaifur diludahi oleh kiai Ahmad

Zaini. Setelah kiai Thaifur bangun beliau dengan mudah

menghafal al-Qur’an dan bahkan beliau sampai hafal 30

juz dengan lancar. Sebelum kiai Thaifur tuntas menimba

ilmu dari kiai Ahmad Zaini Miftahul Arifin beliau wafat.

Kemudian beliau melanjutakan pengembaraan

intelektualnya ke pondok pesantren yang diasuh oleh kiai

As’ad bin Ahmad Dahlan dan beliau nyantri di sana

selama satu tahun. Kiai Thaifur selama nyantri di sana

beliau belajar kitab Shahih Bukhari, Usymuniy syarah

75
alfiyah ibnu Malik, syarah Baiquniyah li al-Zarqaniy,

syarah Sullamu al-Munawwaraq fi al-Manthiq, al-Luma’ li

Inbi Ishaq dan kitab-kitab lainnya yang diasuh langsung

oleh kiai As’ad bin Ahmad Dahlan.

Setelah satu tahun di bangkalan beliau pindah ke

kota Kediri, beliau nyantri dan belajar kitab Shahih

Bukhari sampai selesai dari awal hingga akhir kepada kiai

Jamaluddin Fadhil selama satu bulan di bulan Ramadhan.

Setelah itu beliau pulang ke rumahnya di Ambunten

karena saudaranya yaitu kiai Ali Hisyam wafat. Beberapa

hari dari wafatnya kiai Ali Hisyam beliau kiai Thiafur

nyantri di pondok pesantren asuhan kiai Syakir, namun

tidak lama hanya satu bulan, beliau pulang karena tidak

kerasan akibat dari kesidihan dan goncangan bathin

yang diakibatkan oleh wafatnya para guru beliau,

sehingga menembaan ilmu kepada mereka bulum tuntas

baik dari ayahhandanya, kiai Ahmad Zaini Miftahul Arifin

dan disusul kemudian oleh saudaranya sendiri yaitu kiai

Ali Hisyam. Selama satu bulan nyantri di pondok asuhan

kiai Syakir, beliau tidak bias belajar sedikitpun dan

bahkan beliau sering keluar pesantren, karena kesedihan

dan kegelisahan yang menderanya.

76
Dari kesediahan hidup yang dialami selama itu

beliau menginginkan guru yang inten untuk mengubati

kehausan batinnya dalam muguasai berbagai macam

bidang keilmuan, dari kesedihan itu Allah mengilhami

beliau untuk menimba ilmu di Mekkah al-Mukarramah,

akhirnya beliau modok di sana selama enam tahun.

b. Pengembaraan di Mekkah al-Mukarramah15

Jika Allah menghendaki hambanya lebih baik,

maka dengan mudah Allah memberikan pemahaman dan

penguasaan agama yang baik, sebagaimana dalam

sebuah hadits dinyatakan:

.َ‫ممنن أممراَمد اَللهه بههه مخنيَيرراَ فميلقمههه هف اَلدديِّهن موأمنلمممهه هرنشمده‬


16

Artinya: Barang siapa yang dikendaki lebih baik oleh


Allah maka Allah memberikan pemahaman
terhadap agama dan memberinya ilham atau
petunjuk.

Dengan demikain, pada suatu hari datanglah

seorang bangsawan Mekkah ke Sumenep tepatnya di

Ambunten yaitu Sayyid Fadhil Muhammad bin Shaleh al-

Mukhdhar dan beliau datang dalam rangka menikahi

salah satu putri sayyid Husin bin Abdullah al-Hinduan,

pada saat itu kiai Thaifur diperkenalkan oleh sayyid Husin

15
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa, 45
16
Ahmad bin Husin bin Ali bin Musa al-Khurasani, Al-Madkhal ila al-
Sunani al-Kubra (Kuwait: Daru al-Khulafa’ li al-Kutub al-Islami, t th), 254

77
kepada sayyid Fadhil Muhammad bahwa anak ini

(Thaifur) seorang yatim yang memiliki semangat belajar

dan bermaksud nyantri di Mekkah. Melihat semangat dan

keinginan kiai Thaifur tersebut, sayyid Fadhil senang dan

bahagia sehingga beliau mengatakan “ jika kamu sudah

nyampek di Mekkah datangilah saya”.

Pada bulan ramadhan di akhir tahun 1401 H/1981

M, kiai Thaifur dengan izin Allah dan restu bundanya

berangkat ke Mekkah dengan fizah (paspor) umrah

bersama sepupu dan saudarinya yaitu kiai Muhammad

Makki al-Syarqawi dan Mahfudhah serta bersama

tetanga-tetangganya untuk menunaikan ibadah umrah,

setelah beliau selesai menunaikan ibadah umrah dan

ditinggal pulang oleh paman dan saudarinya, beliau

mendatangi sayyid Fadhil Muhammad dan di sanalah kiai

Thaifur diperkenalkan oleh Sayyid Fadhil Muhammad

kepada sayyid Muhammad Alwi al-Maliki dan syekh

Isma’il Usman Zaien (selanjutkan akan disebut syekh

Isma’il). Pada saat itulah kiai Thaifur memulai

pengembaraan intelektual di tanah suci Mekkah di mana

tanah tersebut merupakan tanah kelahiran islam dan

akar ilmu pengetahuan itu ditanam.

78
Setelah di tanah suci Mekkah beliau tinggal di

rumah syekh Hasan Mushthafa Indragiri tepatnya di

dekat masjid syekh Isma’il. Beberapa hari kemudian

syekh Isma’il mendatangi kiai Thaifur dan memberikan

makanan malam untuknya, setelah kiai Thaifur selesai

makan syekh Isma’il pamit pulang dan berujar “ mainlah

ke rumahku di Misfalah”, kemudian pulanglah beliau.

Setelah kiai Thaifur mendatangi syekh Isma’il beliau

diberi kitab yang akan dipelajarinya nanti dan beliau

sangat bahagia seraya mengatkan “ jika kamu ingin

tinggal bersamaku, maka aku sangat senang dan kamu

bisa belajar kepadaku dan jika kamu tidak mau, maka

kamu hanya bisa mendatangiku pada jam belajar sebagai

mana santri-santri yang lain yang hidup di luar (santri

kalong) datang untuk belajar”. Dengan penuh

pertimbangan kiai Thaifur memilih tinggal di luar sebagai

santri kalong, karena beliau bisa leluasa menimba ilmu

kepada siapa saja dari ulama besar di Mekkah.

Ternyata pilihan beliau untuk hidup di luar

pesantren syekh Isma’il sangat tepat, karena beliau bisa

menimba ilmu dari ulama-ulama besar di luar pesantren

tersebut. Karena kiai Thaifur memilih tinggal di luar

majlis, maka kemudian kiai Thaifur pindah tempat yang

79
semuala di rumah syekh Hasan Musthafa pindah ke al-

Ribat al-Naqaybandi17 di Jabal Abi Qubis 18 kemudian

pindah lagi ke rumah cucu bibinya yaitu syekh

Muhammad Jazuli Hasyim.

Dari tempat itulah kiai Thaifur memulai belajar

kepada syekh Ismail setiap usai shalat ashar sampai

dekat waktu shalat maghrib dan setelah shalat isya’.

Setelah shalat ashar sampai dekat waktu shalat maghrib

beliau belajar kitab Nihayatu al-Muhtaj, syarhu al-Minhaj

dan beberap kitab yang lain. Kemudian setelah shalat

isya’ beliau belajar lagi dengan kitab yang berbeda yaitu

salah satu kitab hadts yang enam (kutubu al-Sittah).

Di samping beliau belajar kepada syekh Isma’il

beliau belajar kepada Syekh Abdullah bin Dardum. Syekh

Abdullah bin Dardum merupakan syekh yang ‘alimu

al-‘Allamah dalam bidang ilmu nahwu, sehingga beliau

dikenal dengan sibawaih Mekkah dan Kiai Thaifur belajar

kepadanya ilmu nahwu syarah ibnu aqil setiap pagi

sampai dekat waktu shalat duhur. dan beliau belajar

sangat inten dan istiqamah sampai hatam dan beliau

mendapatkan ijazah darinya. Di samping beliau belajar

17
Nama asrama pelajar (santri) di Mekkah
18
Tempat itu sekarang di robohkan karena akan dibangun istana raja
Saudi Fahad bin Abdul Aziz.

80
ilmu nahwu beliau belajar fikih yaitu kitab kifayatu al-

Akhyar.

Kiai Thaifur dikenal dengan santri yang cerdas,

tekun belajar dan tawaduk kepada guru-gurunya,

sehingga syekh Abdullah bin Dardum dan syekh Isma’il

keduanya sangat menyenanginya. Setelah satu tahun

pengembaraan intelektualnya, beliau sangat

menginginkan tajrid atau fokus dalam belajar, akhirnya

perasaan itu dirasakan oleh syekh Isma’il dan kemudian

syekh Isma’il meminta beliau untuk tinggal di rumahnya

dan belajar kepadanya.

Setelah beliau kiai Thaifur tinggal di rumahnya

(nyantri), beliau tambah semangat dan istiqamah belajar,

karena didukung oleh suasana dan lingkung yang

seakan-akan memanjakan ghirah belajarnya yang cukup

tinggi, tak lain itu karena keluasan dan kedalaman ilmu

syekh Isma’il di dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan, sehingga dengannya mengantarkan kiai

Thaifur menjadi ulama besar dan memiliki banyak karya

yang telah ditulisnya dan diakui oleh ulama mekkah dan

Nusantara.

81
Di samping beliau nyantri dan belajar kepada

syekh Isma’il, beliau banyak belajar kepada para syekh

besar mekah, di antaranya:19

1) Abdullah bin Sa’id ‘Ubbadi al-Luhaji al-Hadramiy al-

Sahariy.

Abdullah bin Sa’id, beliau terkenal dengan

wara’, zuhud dan berlaku khumul, dibuktikan beliau

tidak suka dengan lampu listrik, Televisi dan tidak

suka berfoto dan difoto (selfi-selfi), serta beliau jarang

keluar rumah kecuali hanya ke Madrasah untuk

nengajar, dan ke Masjidil Haram.

Pada saat kiai Thaifru duduk bersama Syekh

Abdullah bin sa’id di Masjidil Haram, beliau hendak

belajar ilmu kepadanya, namu beliau tidak berkenan,

anehnya beliau langsung mengijazahkan beberapa

ilmu kepada kiai Thaifur yang dianggap pantas

menurutnya dan beliau memberikan kebolehan dalam

meriwayatkan ilmu- ilmu furu’, usul, zikir, atsar dan

shalawat atas nabi kepada orang yang secara

keilmuan dianggap pantas menurutnya.

2) Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadaniy al-Makkiy.

19
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa, 145

82
Syekh Yasin bin Isa merupakan ulama yang

‘alim al-‘Allamah dalam segala bidang ilmu

pengetahuan dan beliau memiliki banyak karya serta

diakui oleh banyak tokoh di masanya. Para syekh Arab

banyak belajar kepada beliau, di antaranya syekh

Isma’il, syekh Abdullah al-Luhaji dan Sayyid

Muhammad Alwi al-Maliki.

Kiai Thaifur belajar beberapa kitab karya beliau

sendiri, salah satunya adalah kitab al-Mukhtashar al-

Muhadzdzab fi ma’rifati al-Tawarikh al-Tsalatsa wa al-

Auqat wa al-Qiblah bi al-Rub’I al-Mujib. Kitab tersebut

menjelaskan tentang ilmu astronomi. Beliau

mempelajari ilmu tersebut dengan tekun sehingga

beliau mendapatkan ijazah darinya.

3) Muhammad Mukhtaruddin al-Falembaniy al-Makkiy.

Muhammad Mukhtaruddin al-Falembaniy al-

Makki adalah murid syekh Muhammad Yasin al-Fadaniy

al-Makkiy. Kiai Thaifur belajar beberapa ilmu kepada

beliau, di antaranya adalah ilmu astronomi, sehingga

mendapat pemahaman darinya.

4) Sayyid Muhammad bin Abdullah al-Madaniy.

Sayyid Muhammad bin Abdullah al-Madani

adalah guru dari syekh Isma’il. Selama kiai Thaifur

83
berkumpul dan belajar kepada beliau, ia banyak

mendapatkan pengalaman keilmuan dan faidah yang

luas, sehingga beliau memiliki catatan yang

diabadikan dalam sebuah karya yang berjudul ”

Habailu al-Syawarid”.

5) Syekh al-‘Allamah Qasim bin Ali al-Maqruniy al-

Yamaniy.

Syekh al-‘Allamah Qasim bin Ali al-Maqruniy al-

Yamaniy adalah seorang ahli dalam bidang ilmu fikih

sehingga beliau oleh banyak tokoh dikenal dengan

nama al-Faqih. Kiai Thaifur banyak menimba ilmu

kepadanya sehingga beliau mendapat ijazah darinya.

6) Syekh Abu Yunus Shalihu al-Arkaniy al-Rabaghiy.

Syekh Abu Yunus Shalihu al-Arkaniy al-Rabaghiy

adalah seorang ulama dari Rabagh. Beliau

memberikan ijazah kepada kiai Thaifur dengan kitab

beliau yang diberi nama “ Tuhfatu al-Shidqi wa al-

Wafa.

7) Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasaniy al-

Makkiy.

Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki adalah

seorang yang dikenal dengan ‘Alim al-‘Allamah, kaya

raya dan sangat dermawan. Selama kiai Thaifur di

84
perkenalkan oleh sayyid Husin bin Abdullah kepada

sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki di awal

perjumpaannya dan sampai berguru kepada beliau, ia

banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman darinya

sehingga kiai Thaifur memberikan kenang-kenangan

kepada beliau yang berupa catatan belajarnya, yaitu

kitab Habailu al-Syawarid.

Setelah beberapa tahun belajar di mekkah dan

nyantri kepada syekh Isma’il beliau menjadi ‘Alim al-

Allamah diberbagai bidang ilmu pengetahuan dan

syekh Ismail merasa kangum atas prestasi yang

diperolehnya dibandingkan dengan santri-santri yang

lainnya, sehingga beliau mendapat ijazah untuk

mengarang kitab-kitab, sya’ir-sya’ir dan Qashidah

serta mendapat kepercayaan untuk mengajar santri-

santri beliau sebelum nyetor kepadanya bahkan putra-

putra beliau diperintah untuk belajar kepada kiai

Thaifur.

Sedangkan santri-santri syekh Isma’il yang belajar

kepada kiai Thaifur banyak sekali, di antaranya:20

1) Syekh Abu Isma’il Muhammad (putra syekh Isma’il)

2) Syekh Abdurrahman (putra syekh Isma’il)

20
Ibid, 235

85
3) Syekh Abdullah (putra syekh Isma’il)

4) Syekh al-Fadhil Asy’ari Abdul Haq (saudara kandung istri

syekh Isma’il Usman Zaien)

5) Syekh al-Fadhil al-‘Allamah Abdul Halim Usman al-

palembaniy (tinggal di jeddah)

6) Syekh Hisyam al-Su’udiy (sekarang mukim di Jeddah)

7) Kiai Muhammad Rofi’ie Baidhawi al-Pamekasaniy

8) Kiai Fakhrullah

9) Kiai Muhammad Khalil bin As’ad Syamsul Arifin

(sekarang menjadi pengasuh pondok pesantren

sokorejo).

10) Kiai Ahmad Yahya Syamsul ‘Arifin

11) Kiai Shalihuddin (saudara kiai Ahmad Yahya Syamsul

‘Arifin)

12) Kiai Ruslan (saudara kiai Ahmad Yahya Syamsul

‘Arifin)

13) Kiai Rafi’ (dari pamekasan)

14) Kiai Ahmad Shaleh (dari Sampang)

Dari sekian banyak guru-guru dan santri-santri yang

belajar kepada kiai Thaifur dan pergumulannya dengan

beberapa kiai atau syekh di Mekkah banyak menuai hal

penting bagi pertumbuhan intelektualnya sekaligus

perkembangan nilai-nilai spiritualitasnya sebab perbedaan

86
kiai-kiai di pesantren nampaknya juga menggambarkan

perbedaan keunggulan intelektual kiai-kiai itu dalam

bidang keilmuan dan praktek keagamaan tertentu. Dari

sini, pergolakan intelektual kiai Thaifur lahir dari sumber-

sumber yang beragam dan dikenal dieranya masing-

masing sehingga kiai Thaifur juga menguasai keilmuan

yang berbeda pula.

3. Kehidupan Pasca Pengembaraan

Kiai Thaifur, Setelah empat tahun dari pengembaraan

intelektualnya di Mekah, beliau pulang ke tanah di mana

beliau dilahirkan, pada detik kepulangan kiai Thaifur ke

Indonisi, syekh Isma’il merasa sedih, karena akan berpisah

dengan santri kesayangannya yang selalu membantu

mengajar santri-santrinya dan putra-putranya. Sebenarnya

kiai Thaifur sangat berat berpisah dengan beliau serta para

santri di Misfalah,21 namun apa boleh buat perpisahan itu

merupakan kehendak ibunya mengingat ibunya sudah sangat

sepuh dan membutuhkan teman dalam menjalankan tugas

kepesantrenannya yaitu mengajar santri-santrinya, serta

menginginkan kiai Thaifur agar segera menikah dengan

tunangannya.

21
Sebuah daerah di Mekkah yang mana daerah itu merupakan tempat
beliau belajar dan berkumpul dengan teman-temannya.

87
Setelah beliau berada di rumahnya, Ambunten, beliau

mulai disibukkan dengan tugas kepesantrenannya, yaitu

mengajar para santrinya, dan pada hari rabu 18 Dzul Hijjah

1407 H. beliau menikahi seorang wanita shalehah putri kiai

Abdullah keturunan kiai Khalil Bangkalan yaitu Nur Balqis,

kemudian pada tahu 1409 H/1988 M dikaruniai seorang anak

perempuan yang diberi nama Nur Hananah Thaifur. Pada

bulan ke 7 dari kelahiran putrinya beliau, kiai Thaifur diminta

untuk kembali oleh syekh Isma’il ke Mekkah untuk membantu

dan meringankan beban dan kesibukan beliau dalam

mengajar, akhirnya dengan penuh pertimbangan dan

konsekwensi dengan meninggalkan santri-santrinya, bahkah

putri kesayangannya yang masih berumur 7 bulan demi

pengabdian kepada seorang guru, beliau berangkat lagi ke

Mekkah bersama istrinya, nyai Nur Balqis. Ibu kiai Thaifur,

nyai Muthmainnah sedikit merasa berat dan ia hanya

memberikan jatah dua tahun untuk tunggal di Mekkah.

Setelah dua tahun mengabdi di Mekkah beliau kembali

lagi ke Ambunten. Perpisahan yang kedua kalinya dengan

syekh Isma’il sungguh sangat memilukan hati. Pada detik

perpisahan dengan beliau, kiai Thaifur dipanggil ke kamarnya

dengan wajah dan penglihatan yang memerah, sehingga

membuat kiai Thaifur terkejut sehingga dari syekh Isma’il

88
terlontar kata-kata dan pertanyaan yang membuat kiai

Thaifur sulit menjawabnya, yaitu:

“wahai anakku, semalam saya tidak tidur memikirkan

kepergianmu. “Wahai anakku, kenapa kamu mau pualng?

“Kenapa begitu cepat kau mau pulang?.

“Wahai anakku, diammu di sini lebih baik ketimbang

diammu di rumahmu.

“Wahai anakku, di sini ada air zam-zam yang tak munkin

ada di rumahmu, di sini ada masjidil haram dan ka’bah

dan tak mungkin ada di rumahmu.

“Wahai anakku, jika kamu pulang karena ingin mengajar

santri-santrinya, maka di sini, di mekkah al-Mukarramah

banyak santri yang butuh pengajaran dan didikanmu.

“Wahai anakku, ayahmu telah wafat, di sini aku milikmu,

aku bapakmu.

Mendengar kata-kata gurunya tersebut, Kiai Thaifur

menangis tersedu-sedu sehingga air matanya tak terbendung

dan mengalir membasahi pipinya. Kiai Thaifur tidak bisa

membayangkan akan kebesaran dan kedalaman cinta syekh

Isma’il kepada dirinya. Kemudian setelah kiai Thaifur hendak

pulang, beliau meminta ijazah kepadanya, dan syekh Isma’il

sangat senagan dan memberinya ijazah.

89
Selama pengembaraan intelektual pertama dan kedua

beliau di Mekkah yaitu kurang lebih 6 Th (4 th + 2 Th = 6 Th),

maka cukup mengantarkan kiai Thaifur menjadi orang besar

dan berpengaruh di sumenep secara khusus dan di Madura

secara umum, lebih-lebih didukung kiprah beliau dalam dunia

tasawuf dan tarekat yang mana hal tersebut banyak diminati

oleh banyak kalangan, karena tasawud dan tarekan dapat

menyentuh deminsi terdalam dari kegiatan keagamaan

mereka.

Dengan pengaruh dan karismatik beliau di masyarakat

menyebabkan banyak santri yang berdatangan dari berbagai

daeran di Madura, sehingga dalam waktu dekat santri beliau

kurang lebih 300 santri putra dan putri. Pesantren asuhan kiai

Thaifur merupakan pesantren tersendiri dari pesantren al-

Aswaj yang didirikan oleh ayahnya, yaitu pesantren Assadad.

Pondok pesantren Assadad didirikan dan diresmikan

dengan nama Assadad oleh kiai Thaifur pada tahun 1413

H/1992 M. Nama Assadad diambil dari sebagian teks yang di

ijazahkan oleh syekh Isma’il kepada beliau, kerena tafaulan

dan mengharab barakah dari pengembaran intelektual beliau

dengan syekh Isma’il.

4. Karya-Karya Intelektual

90
Dalam kontek pergumulan intelektual pesantren,

termasuk intelektual muslim nusantara, ketenaran nama kiai

Thaifur semakin hari semakin Nampak dan sangat dirasakan,

salah satunya disebabkan oleh keproduktifitasnya dalam

dunia tulis-menulis dan pergumulan beliau dalam dunia

tarekat serta berbagai karya telah ditorehkan dalam berbagai

disipilin ilmu pengetahuan. Sekalipun kiai Thaifur hidup

dalam lingkungan pesantren yang sedikit jauh dari hiruk

pikuk keramaian kehidupan kota, yaitu lingkungan pondok

pesantren assadad, ternyata karya-karyanya yang ditorehkan

mampu melampaui lingkungan komonitas pesantren di

Madura. Karya-karya itu sekaligus menjadi tanda nyata dari

posisi intelektual kiai Thaifur dalam lingkup pergumulan

pemikiran muslim Nusantara, khususnya intelektual muslim

Madura.

Oleh karenanya, karya-karya kiai Thaifur setidaknya

menggambarkan ideologi komonitas pesantren, sekaligus

potret Islam Madura. Pergumulan intelektual kiai Thaifur

diproses dari satu pesantren ke pesantren lain diakuiatau

tidak cukup perpengaruh dalam pikiran-pikirannya, yaitu

dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam ahlus sunnah wal

jama’ah sebagai ortodoksi dalam kehidupan muslim.

91
Naluri pengetahuannya yang luas memungkinkan kiai

Thaifur melalui karya-karyanya tidak hanya merespon kondisi

lokal dan nasional, tetapi juga menyikapi situasi terkini yang

dihadapi umat Islam di belahan dunia saat ini, khususnya

menyikapi kontestasi idiologi antara umat islam sebagaimana

yang tergambar dalam karya-karyanya.

Diantara karya-karya beliau sangat banyak sekali

sekitar 42 karya yang sempat terekam oleh peneliti. Di

antara karya-karya beliau ditulis terkadang atas dasar

permintaan gurunya dan terkadang permintaan masyaraka

dan kehendaknya sendiri. Sedangkan karya-karya beliau

adalah:

1. Minha al-Karim al-Mannan: Birrihlati liziyarati al-Bi’ri al-

Mubarak Biwadiy usfan.

2. Tudhihil Maqal: fi hukmi al-Ramyi wa al-Nafari ‘ala Qauli al-

Dhaif Qabla al-Zawal

3. Al-Zahabu al-Sabiik: fi al-Kalami ala Haditsi anta wa

malaka li abika

4. Riyadu al-Muhibbin: Fi bayani annal ijtima’at dauriyan min

shani’I al-Salafi al-Shalihin.

5. Daf’ul iham wal hiba: Fil Kalami ala Haditsin kulli qordin

jarro manfa’atin fahuwa riba.

92
6. Tuhfatu al-Raki’ wa al-Sajid: fi hukmi Shalati jaril masjidi

kharijal Masjidi.

7. Kasyful Auham: Fi Bayani Masyru’iyati al-Du’a ‘aqiba

Shalawati al-Mafrudhati jama’atan ma’al imam.

8. Muzilu ghina’: fi hukmil ghina’

9. Taudhihut ta’bir: fi bayani ‘adamu qashris shalah lil aisar.

10. Kasyful Khafa’: fi bayani ‘adamu tanaqudi baina ibaratil

fuqaha’ fi ma fi wujubi satri bathinin qudimal hurrati

fisshalah minal ara’

11. Al-Qutufi al-Daniyah fi bayani ilmil lughatil arabiyah

12. Bulghtu al-Thullab: fi talkhishi fatawa masyaikhi al-Anjab

13. Jawahiru al-Tsaniyah: syarhual-Mandzuma al-Fiqhiyah

14. Habailu al-Syawarid: fi iqtinashi fawaid

15. Al-Badrul Munir: syarhul Jawabi al-Wadihi al-Syahir

16. Al-Tadrib fi Nadzmi al-Taqrib

17. Jawahiru al-Qolaid fi Nadzmi al-‘Aqaid

18. Misykatu al-Anwar fi ikhtishari sirati sayyidi al-Abrar SAW.

19. Zuraq al-Naja’ fi al-Hatstsi ala al-Ihtimam bi Syu’uni al-Abna’

20. Raf’u al-Rain wa al-Raibah: fi Mas alati al-Radha’

21. Miftah al-Ghawamidh: fi ilmi al-faraid

22. Barahin Dzawi al-Irfan: ala Butlani ma Nasaba ila sayyidina umar min

qath’ihi syajarata al-Ridhwan.

23. al-Tibyan: an Haqiqati yaumi ‘Arafah fi Mukhtalifi al-Buldan

93
24. Arij al-Nasim: fi al-Kalami ala Bismillahi al-Rahmani al-Rahim

25. Sullam al-Qashidin: Ila Ihya Ulumuddin

26. Nail Arb: syarhu Maulidi al-‘Azb

27. Al-Rawd al-Nadhir: Syarhu al-Qauli al-Munir fi ilmi Usuli al-Tafsir

28. Nur al-Dhalam: fi Bayani wujubi ishmatu sayyidina Adam AS

29. Al-Riyad al-Bahiyah: fi Nadzmi al-Jurumiyah.

30. al-Idhah: fi Tahqiqi Tarki Kalimati Ampon fi al-Nikah

31. Fath al-Lathif: fi ilmi mushthalahi al-Hadits al-Syarif

32. Alfiyah ibn Ali Wafa: fi sirati wa Syamaili wa Khashaishi al-Nabi al-

Musthafa

33. Durar al-Taj: fi Ba’di ishthilati al-Minhaj

34. Al-Iklil: fi Tarjemati Syaikhina al-‘Allamah al-Fadhil sayyidi Isma’il al-

Zaien al-Yamaniy al-Makki.

35. Al-Manhal al-Safiy: fi ilmi al-‘Arud wa al-Qawafiy

36. Al-Farqad al-Rafi’: fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’

37. Al-Nur al-Sathi’: fi Dzikri Maulidi al-Nabi al-Syafi’

38. Al-Nafhat al-Anbariyah: fi Khathbi al-Manbariyah

39. Izalah al-Wana

40. Al-Kawkab al-Aghar: fi Ba’di Fatawa Thaifur Ali Wafa Muharrar

41. Jawahir al-Shafa: fi Ba’di Fatawa Thaifur Ali Wafa

42. Manaru al-Wafa: fi Nubdzatin min Tarjemati al-Faqir ila ‘Afwillah SWT

43. Firdaus al-Naim bi Tawdih Ayat al-Qur’an al-Karim.

94
44. Al-Minhatu al-Qudsiyah fi isra’ wa Mi’raj Khairi al-Bariyah

SAW.

45. Al-Rafdu al-Maimun: fi Hukmi al-Raqshi wa Darbi al-

Arghanun

B. Pemikiran tasawuf kiai Thaifur

Sebagaimana disebutkan sebelumnya pemikiran

tasawuf kiai Thaifur tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan

dipengaruhi oleh konstruksi sosial, budaya dan pendidikannya.

Konstruksi ini yang kemudian menghanyutkan dirinya dalam

dunia tasawuf, khususnya tasawuf sunni model imam al-

Ghazali.

Kecendrungan kiai Thaifur terhadap pemikiran tasawuf

imam al-Ghazali nampaknya dipengaruhi oleh latar belakang

hidup dan pergumulannya terhadap tradisi dan kebudayaan

pesantren. Bahkan, penggunaan bahasa arab fushha dalam

beberapa karyanya dengan logika kebahasaan yang mudah

dipahami, menggambarkan kealiman kiai Thaifur dalam segala

bidang ilmu keagamaan lebih-lebih dalam bidang tasawuf.

Kealiman dalam bidang ilmu al-Qur'an dan tafsir terbukti

dengan lahirnya kitab Firdausu Al-Na'im Bitaudhihi Ma'ani

Ayati Al-Qur'an 6 jilid, dalam bidang fikih melahirkan karya

Bulghatu al-Thullab dan Tanwiru al-Bashair fi Nadzmi Zawajir,

dalam bidang sejarah melahirkan kitab Alfiyah Ibnu Ali Wafa,

95
dalam bidang tasawuf lahirlah kitab Sullamu Al-Qashidin Ila

Ihya Ulumuddin. Dan bebrapa kitab yang lain sebagai mana

yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.

Pemikiran kiai Thaifur dalam bidang tasawuf terdapat

kesamaan atau paling tidak kemiripan pola fikir atau konsep

sepiritual beliau dengan imam al-Gazali sebagai sufi

Mutafaqqih (sufi plus) yang hidup pada masa tabi'in abad ke V

H yang berhasil memadukan antara tasawuf dan syari'at

(fikih) seperti yang tercermin dalam kitabnya, ihya'

ulumuddin. Kemiripan pola fikir kiai Thaifur dengan imam al-

Ghazali ditandai dengan lahirnya kitab Sullamu Al-Qashidin

sebagai jempatan penghubung dalam memahami tasawuf

imam al-Ghazali dalam ihya ulumuddin yang seluas 4 jilid

tersebut. Di samping kemiripan dengan al-Ghazali beliau juga

memiliki kemiripan dengan konsep pemikiran imam Syafi'ie

yang dikenal sebagai faqih mutashawwif (faqih plus) yang

hidup antara abad ke-II dan ke-III H. Imam syafi'ie dalam

menjalankan pemahaman fikih bukan hanya sekedar hukum

dhahir semata, tetapi tidak menafikan adanya hukum bathin

sebagai ruh penghambaan diri kepada allah, hal ini tercermin

dengan beberapa kiritikan halus terhadap fakih ekstream dan

sufi ekstream yang menjalankan ajaran agama dari satu sisi

saja. Di antara kritikannya adalah:

96
‫فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا * فإني وحق الله اياك أنصح‬
‫فذلك قاس لم يذق قلبه تقى * وهذا جهول كيف ذو الجهل‬
‫يصلح‬22

Artinya: Berusahalah engkau menjadi orang mempelajari ilmu


fikih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah
engkau mengambil salah satunya, sesungguhnya demi
Allah saya sungguh-sungguh ingin memberikan
nasihat kepadamu. Orang yang hanya mempelajari
ilmu fikih tetapi tidak ingin menjalani tasawuf, maka
hatinya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa.
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tetapi
tidak ingin mempelajari ilmu fikih, maka bagaimana
bisa menjadi baik.

Imam syafi'ie, imam al-Ghazali dan kiai Thaifur bisa

dikatakan sufi tiga serangkai atau tri in one, namun perbedaan

latar belakang hidup, pendidikan dan kultur budaya yang

memisahkan serta membedakan antara ketiga sufi tersebut.

Dalam proses menjalani kehidupan spiriitual, menurut al-

Ghazali seorang sufi harus melalui beberapa fase, yaitu

thariqah, ma'rifah dan sa'adah (hakekat). Ketiga fase tersebut

merupakan pokok atau inti dari ajaran tasawuf. Dalam hal ini

kiai Thaifur sebagai generasi tasawuf sunni ghazaliyin

berusaha menerjemahkan ajaran-ajaran tasawufnya dalam

kehidupan spiritual keagamaannya, namun dalam

internalisasinya, kiai Thaifur memiliki model yang bisa

dikatakan sedikit berbeda dari model awal imam Ghazali, hal

22
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Sya>fi’ie, Diwa>nu al-
Ima>m al-Sya>fi’ie (Bairut: Da>rul Kutub al-Isla>my>, 1984), 52.

97
ini tidak lain dipengaruhi oleh aspek sosiokultural yang

melingkupinya serta pergumulannya dengan kegiatan

keagamaan dimasyarakat yang mengitarinya.

Oleh karenanya, bahasan dalam bab ini mencoba

memahami beberapa pikiran tasawuf kiai Thaifur yang tersirat

dalam kitab sullamu al-Qashidin untuk memperkuat bahasan

ini karya lain digunakan sebagai bentuk dialektika dalam

rangka menemukan karakter pemikiran tasawuf kiai Thaifur,

yakni kitab Firdausu Al-Na'im yang terdiri dari 6 jilid, tepatnya

ketika pemikiran kiai Thaifur diinteraksikan dengan beberapa

pemikiran lain yang juga mengulas mengenai al-Ghazali dan

pemikirannya.

Selanjutnya agar lebih sistematis dan mudah dipahami,

maka penulis akan mengulasnya dengan sub-sub bahasan

sebagai berikut:

1. Perjalanan spiritual ketasawufan kiai Thaifur


a. Makna dan usgensi bertasawuf.
Pengalaman pribadi kiai Thaifur cukuplah berarti

dalam mempengaruhi dirinya dalam menerjemahkan

beberapa term-term tasawuf dan pengaplikasikannya

dalam kegiatan keberagamaan. Sebagaimana lazimnya

bahwa karakter tasawuf selalu bersifat subyektif-intuitif

sesuai dengan pengalaman pelakunya, berbeda dengan

disiplin lain (fikih atau kalam) yang mengutamakan pada

98
pemahaman teks dengan melibatkan akal, maka kiai

Thaifur memiliki pengalaman tersendiri dalam

menafirkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai tasawuf

dalam kegiatan keberagamaan, termasuk dalam

tulisannya yaitu sullamu al-Qashidin dan Tanwirul

Bashair fi Nadzmi Zawajir.


Secara umum, posisi tasawuf dalam islam cukup

penting dalam konteks peneguhan diri seseorang.

Tasawuf mengajarkan olah jiwa agar tidak terhanyut

dalam gemerlapan dunia di satu pihak dan mendidik

agar pelakunya senantiasa menjadikan Allah SWT

sebagai sumber nilai dalam kehidupan dipihak yang

berbeda. Kesadaran ini ujung-ujujungnya secara praksis

tidak saja terjebak pada peribadatan secara formal,

tetapi juga memperhatikan aktifitas yang mampu

mengurai dalam proses peningkatan untuk menggapai

subtansi ibadah sebagai media menuju kebenaran dan

kebahagiaan hakiki, yakni ma'rifat billah.23


Itu artinya, dalam ranah praktek keagamaan,

posisi tasawuf adalah inti dari syari'at, sekaigus tafsir

atas konsep ihsan yang merupakan maqam penyaksian

(al-Syuhud) dan penampakan.24 Meskipun dari itu, secara

23
Abd al-Hafidz Farghafi 'Ali al-Qarni, al-Tasawuf wa al-Hayat al-
Asyriyah (Kairo: majmu' al-Buhuth al-Islamiyah, 1984), 13-30
24
Ihya ulumuddin II: 250

99
definitif pengertian atas tasawuf cukup beragam, dari

sekian definisi itu pada esensinya memiliki kesamaan

dalam menyingkap tujuan akhir dari praktek-praktek

sufistik, yakni terciptanya hubungan intim antara pelaku

tasawuf dengan Allah.


Mengawali perbincangannya tentang tasawuf dan

sebelum menafsirkan pikiran al-Ghazali dalam kitab ihya'

ulumddin, penulis memberikan definisi tasawuf

sebagaimana serikut:
‫التصصصوف فهصصو عبصصارة عصصن تجصصرد القلصصب للصصه تعصصالى‬
‫واستحقار ما سوى الله وحاصله يرجع الى عمل القلب‬
25
.‫والجوارح‬
Artinya: Tasawuf adalah penjelasan tentang
pengusongan hati dari selain Allah dan
menganggab hina terhadap sesuatu yang ada
selainnya, dan pada intinya hal tersebut
bertumpu pada perbuatan hati dan anggota
badan.

Jadi sufi itu:


‫الصوفي عبارة عن رجل صالح عدل في دينه مع صصصفات‬
26
.‫أخر‬
Artinya: Sufi merupakan ungkapan bagi sesorang yang
baik dan bijak dalam menjalankan agamanya
serta diimbangi dengan sifat-sifat terpuji yang
lain.
Definisi ini setidaknya menggambarkan tentang

pengertian ilmu tasawuf secara funsional, di mana

dengan tasawuf pelakunya akan mampu mengetahui

sejauh mana kualitas jiwanya. Untuk itu, tema yang


25
Ibid
26
ibid

100
menjadikan bahasan dari ilmu ini adalah persoalan jiwa

dilihat dari prilaku dan sifatnya. Dengan tasawuf akan

tercipta proses pembersihan hati dari selain allah

(aghyar) di satu sisi dan proses menghiasi hati melalui

penyaksian kepada sang raja, yang maha pengampun di

sisi yang berbeda. Jadi, bila dibandingkan dengan ilmu

lain, khususnya fikih, maka tasawuf adalah asal dari

semua ilmu sebab berkaitan dengan dimensi bathin,

sementara fiqih berkaitan dengan dimensi dhahir.


Dengan begitu maka belajar tasawuf berkaitan

dengan bagaimana seseorang semakin hari jiwanya

mengalami penyadaran bahwa dirinya memiliki hubungan

yang tidak terpisahkan dengan sang khaliq, Allah SWT.

Tasawuf bukanlah ilmu teori, sekalipun tanpa

menafikannya, tetapi ilmu yang menekankan pada

amaliyah. Bagaimana mungkin manfaatnya akan

dirasakan, jika hanya terjebak pada diskusi-diskusi

tasawuf. Bertasawuf pada dasarnya bergumulan dengan

keilmuan hakekat, yang tidak cukup hanya mengandalkan

dimensi luar dari semua aktifitas peribadatan.


Karenanya, hakekat peribadatan dalam dimensi

tasawuf adalah proses penghambaan secara total dengan

melihat dimensi terdalam, sekaligus kesaksian pada allah

SWT dengan mengutip, Hasan al-Basri mengatakan

101
bahwa ilmu hakekat pada dasarnya adalah meninggalkan

cara pandang ganjaran amal, bukan meninggalkan amal.

Artinya, orang yang beribadah seyogyanya harus mampu

memurnikan niat, apalagi ada anggapan bahwa hanya

dengan peribadatannya yang dapat mengantarkan ia

memperoleh derajat yang tinggi, yaitu surganya.

Beribadah, kalaupun dapat pahala atas amal yang

dikerjakan itu adalah murni fadhal (keutamaan) dari Allah

Swt. Jika memang mendapat siksaan atas amal yang

dilakukan, maka murni sikap adilnya. Dalam konteks ini,

tolak ukur beribadah, bagi kalangan sufi, bukan hanya

pada kuantitas peribadatan, tapi pada kualitas

internalisasi ibadah mulai dari keikhlasan pelakunya

dalam proses hingga berharap selalu ridhanya.


b. Perjalanan spiritual kiai Thaifur
Dari persinggungan kiai Thaifur dengan tasawuf

pesantren model Ghazaliyin dan pengaruh bacaan

sufistiknya sangat berpengaruh terhadap perkembangan

intelektual ketasawufannya. Dalam perjalanan spiritual

untuk mengenal Allah (ma'rifah), kiai Thaifur melalui

kajian psikomoral yang berorientasi pada perbaikan

akhlak, mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan

manusia dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-

metode tertentu yang telah dirumuskan oleh ulama-

102
ulama sufi terdahulu seperti al-Ghazali dengan ajaran

tasawufnya yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,

serta doktrin Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah (tasawuf suni),

Hasan al-Basri dengan ajaran khauf dan Raja', Al-

Muhasibi dengan ajaran tasawufnya ketakwaan kepada

Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban dan

meneladani Rasulullah SAW, Al-Qusyairi dengan ajaran

tasawufnya adalah landasan tauhid yang benar

berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah, dan Ibnu 'Athaillah al-

Sakandari dengan ajaran tarekat Syadziliyahnya serta

ulama-ulama sufi lainnya.


Dalam proses perbaikan akhlaq untuk mencapai

wushul dan ma'rifah kepada Allah, meurut kiai Thaifur

harus melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang telah

dilakukan oleh ulama sufi terdahulu, tahapan-tahapan

tersebut di antaranya takhalli, tahalli dan tajalli. Dalam

diri manusia terdapat potensi untuk menjadi baik dan

potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik

adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk

menjadi buruk adalah an-Nafs (nafsu) yang dibantu oleh

syaithan.
Jadi, sebagai seorang salik dalam internalisasi

takhalli harus menghilangkan potensi kedua yaitu nafsu

yang dibantu oleh syaithan (nafsu al-Ammara bi al-Su').

103
Sedangkan dalam proses internalisasi tahalli, salik harus

mengembangkan potensi yang pertama yaitu al-Aql dan

al-Qlb secara seimbang. Sifat-sifat yang terkandung

dalam potensi pertama yang dapat mendorong manusi

wushul dan ma'rifah kepada Allah di antaranya taubah,

zuhud, wara', syukur, khauf dan raja', tawakkal, sabar

dan sebagainnya. Sedangkan sifat-sifat yang marusak

pada potensi yang kedua yang menjadi penghalang

ma'rifah kepada allah antara lain adalah hasad, dengki,

riya', ujub, takabbur dan sebagainya. Setelah seorang

salik melewati dua tahapan tersebut, maka akan terjadi

langkah selanjutnya secara otomatis yaitu tajalli. Tajalli

adalah tersingkapnya hijab atau tabir penghalang

ma'rifah antara salik dan rabnya.


Dari tahapan-tahapan spiritual untuk wushul dan

ma'rifa kepada Allah di atas bisa terangkum dalam

praktek kegiatan keberagamaan yang sistematis yang

lazim dipraktekkan oleh pemerhati esoteris islam di

nusantara lebih-lebih di madura. Kegiatan-kegiatan

tersebut dikenal dengan sebutan tarekat. Tarekat-tarekat

yang berlaku di nusantara sangat beragam, di antaranya,

tarekat Naqsabandiyah, Qadaryah, Qadariya wa

104
Naqsabandiyah, tijaniyah, Syadziliyah dan tarekat-tarekat

yang lain.
Dari beberapa tarekat tersebut ada dua tarekat

yang menjadi pilihan hidup spiritual kiai Thaifur yaitu

tarekat Naqsabandiyah dan tarekat Syadziliyah. Tarekat

menurutnya merupakan perjalanan hati untuk

memperoleh ridha Allah Swt. dengan cara berdzikir,

dengan tarekat seseorang bisa lebih cepat sampai’

kepada Allah dibandingkan dengan mujahadah dan sifat-

sifat tercela yang biasanya melekat dalam hati bisa cepat

hilang. Karena dalam thariqah sudah terdapat

mujahadah, riyadha dan tazkiyah al-Nafs.


Untuk lebih memperjelas jalan tarekat kiai

Thaifur, secara sistematis, penulis akan mengulasnya

sebagai berikut. Yaitu:

a. Tarekat Naqsyabandiyah
Dalam berlaku tasawuf, thariqah merupakan

jalan yang mudah dan tepat untuk ditempuh bagi

seorang salik untuk wushul dan ma'rifah kepada Allah,

karena untuk mengenal Allah dan wushul kepadanya,

seorang salik harus membersihkan dirinya dari sifat-

sifat tercela (takhalli) dan menghiasi dirinya dari

dengan sifat-sifat yang terpuji. Namun dalam proses

tazkiyah seorang salik harus berguru dan mendapat

105
bimbingan dari orang-orang yang telah wushul dan

ma'rifah kepada Allah, karena tanpa pembingbing

atau guru spiritual seorang salik akan dihawatirkan

sesat dan salah jalan. Dengan demikian, tarekatlah

yang harus menjadi pilihan seorang salik untuk

ma'rifah kepada Allah.


1) Sanad tarekat Naqsabandiyah
Kiai Thaifur dalam menjalani tarekat dan

menjadii mursyid Naqsabandiyah kurang lebih

selama 18 tahun terhitung sejak beliau berumur 33

sampai 2015 kemaren.27 Sedangkan sanad tarekat

kiai Thaifur nyambung kepada rasulallah melalui

kiai Luthfi Baidhawi. Untuk lebih jelasnya bisa

dilihat pada bagan berikut ini, yaitu:

27
Wawancara dengan kiai Thaifur Jumat 29 Juli 2016, Jam 15. 00

106
2) Konsep dasar spiritual Naqsabandiyah

107
Dalam setiap gerak dan langkah ikhwan 28

thariqah Naqsabandiyah harus tidak terlepas dari

beberapa konsep29 dasar thariqah ini, yaitu:


a) Hush dar dam
Hush dar dam adalah suatu istilah latihan

konsentrasi bathin agar disetiap keluar masuknya

nafas tidak terlepas dari mengingat Allah.


b) Nazar bar qadam
Nazar bar qadam adalah menjaga langkah di

setiap gerak-gerik baik duduk, berdiri, berjalan dan

memandang arah baik ke depan, belakang dan

samping agar tetap ingat kepada Allah dan tidak

terpengaru terhadap suasana dan lingkungan.


c) Safar dar Watan
Safar dar watan adalah melakukan rihlah

spiritual dan meninggalkan bentuk perbuatan yang

tercela menuju perbuatan yang terpuji (dari

takhalli ke tahalli).
d) Khalwat dar anjuman
Khalwat dar anjuman adalah istilah lain dari

uzlah, yaitu perintah untuk turut serta secara aktif

dalam kehidupan bermasyarakat, sementara pada

waktu yang sama hatinya tetap tertaut kepada

Allah semata dan selalu wara'


e) Yad kard

28
Sebutan bagi penganut Thariqah Naqsabandiyah
29
Muhammad Amin Kurdi, tanwiru al-Qulub fi Muamalah allamu al-
Ghuyub (Surabaya: Haramain Jaya, 2006), 506. Dan bandingkan dengan buku
Martin, Tarekat Nasabandiyah Di Indonisia (Bandung: Mizan, 1992), 77-78.

108
Yad kard adalah senantiasa ingat ingat Allah

secara permanen dalam hatinya di setiap saat

tidak hanya dalam shalat dan dzikir berjamaah.


f) Baz gasyt
Baz gasyt adalah mengendalikan hati agar

fokus dan tidak condong kepada selain Allah.

Setelah seorang salik melakukan dzikir tauhid

harus mengheningkan cipta dengan membaca "

ilahi anta maqshudiy wa ridhaka matlubiy a'thiniy

mahabbataka (ya allah engkaulah tempat

memohon dan keridhaan mu lah yang ku

harapkan, dengannya berilah kepadaku cintamu).30


g) Nigah dasyt
Nigah dasyt adalah waspada, yaitu menjaga

pikiran dan perasaan secara terus-menerus

sewaktu melakukan dzikir tauhid untuk mencegah

supaya hati dan perasaan tidak menyimpang dari

kesadaran yang tetap akan Allah. Dan untuk

memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar

sesuai dengan makna kalimat yang dibaca.

h) Wuquf adadi
Wuquf adadi adalah memeriksa hitungan

dzikir seseorang dengan hati-hati berapa kali

seseoarang mengulangi kalimat dzikir tanpa

30
Muhammad Amin Kurdi, tanwiru al-Qulub fi Muamalah allamu al-
Ghuyub, 506

109
pikirannya mengembara ke mana-mana. Dzikir itu

dilakukan dengan hitungan ganjil.


i) Wuquf qalbi
Wuquf qalbi adalah menjaga hati tetap

terkontrol dengan membayangkan hati seseorang

berada di hadirat Allah, dan dengan demikian

perhatian seseorang secara sempurna selaras

dengan dzikir dan maknanya.


3) Zikir dan bacaan dalam tarekat Naqsabandiyah
Dzikir menurut kiai Thaifur merupakan cara

yang cepat untuk membersihkan hati dari pada

mujahadah. Sedangkan teknik dasar dzikir

Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya,

yaitu dzikir berulang-ulang menyebut nama Allah

ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah (tiada

Tuhan selain Tuhan). Menurutnya, tujuan latihan dzikir

itu adalah untuk mencapai kesadaran akan Allah yang

lebih langsung dan permanen. 31


Dzikir Naqsabandiyah dengan tarekat yang

lain terdapat beberapa perbedaan, di antaranya:

Pertama zikir diam (khafi atau fi al-Qalb ), sebagai

lawan dari zikir keras (al-Jahr ) yang lebih disukai oleh

tarekat-tarekat lain. Yang kedua, jumlah hitungan

dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada

31
Ibid. Dan diselaraskan dengan hasil wawancara dengan kiai Tahifur,
Kamis 28 Juli 2016, jam 15.00

110
tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan

tarekat yang lain.


Zikir dapat dilakukan baik secara berjamaah

maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut

Naqsyabandiyah lebih sering melakukan zikir secara

sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat

dengan seoarang Syaikh cenderung ikut serta secara

teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana

dilakukan zikir berjamaah. Di lingkungan kiai Thaifur

dan dibanyak tempat dilaksanakan dzikir bersama

selama satu kali seminggu, yaitu pada hari jumaat

pagi.
Dua zikir dasar Naqsyabandiyah tersebut

biasanya diamalkan pada waktu dan pertemuan yang

sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat nama

yang hakiki” dan dzikir al-Tauhid, “mengingat

keesaan Allah”. Yang pertama terdiri dari pengucapan

nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali

(dihitung dengan tasbih), sambill memusatkan

perhatian kapada Allah semata. Dzikir al-Tauhid

(disebut juga dzikir tahilil atau dzikir nafiy isbat)

terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan

penagaturan napas, kalimah la ilaha illallah, yang

dibanyangkan seperti menggambar jalan (garis)

111
melaui tubuh. Bunyi la permulaan digambarkan dari

daerah pusar terus ke atas sampai ke ubun-ubun.

Bunyi ilaha turun ke kanan dan berhenti di ujung

bahu kanan. Di situ, kata berikutnya illa dimulai dan

turun melewati badan dada, sampai ke jantung, dan

ke arah jantung inilah kata terakhir Allah dihujamkan

sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung

mendenyutkan nama Allah dan membara,

memusnahkan segala kotoran.


Dalam tarekat ini, menurut Kiai Thaifur

bertingkat-tingkat,32 di antara tingkat itu seperti yang

diamalkan oleh pengikut Naqsyabandiyah yang lebih

tinggi tingkatannya, ia adalah dzikir latha’if. Dengan

zikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan

membayangkan nama Allah itu bergetar dan

memancarkan panas) berturut-berturut pada tujuh

titik halus pada tubuh. Titik-titik ini (lathifah), adalah

qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting

susu kanan, sir (nurani terdalam) selebar dua jari di

atas puting susu kiri, khafi (ke dalam tersembunyi)

dua jari di atas puting susu kanan, akhfa (ke dalam

32
Wawancara dengan kiai Thaifur, kamis 28 Juli 2016, jam 15.00. dan
dibandingan dengan hasil penelitian Martin, Tarekan Naqsabandiyah Di
Indonisia, 77-78.

112
paling tersembunyi) di tengah dada dan nafs

nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama.


Bila seseorang telah mencapai tingkat zikir

yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh

tubuh akan bergetar dalam nama Allah. Konsep

latha’if dibedakan dari teknik zikir yang didasarkan

padanya bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi

terdapat berbagai sestem psikologi mistik. Jumlah

latha’if dan nama-nama dapat saja dibedakan,

kebanyakan titik-titik itu disusun menurut tingkat

kehalusannyan dan dikaitkan dengan pengembangan

spiritual. Ternyata latha’if pun persis serupa cakra

dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya

berbeda pada tubuh, tetapi perannya dalam psikologi

dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.


Mengenai bacaan dzikir, menurut kiai Thaifur,

Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan dzikir

yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan

lain bebas saja dipakai dan kaum Naqsyabandiyah di

tempat yang lain dan pada masa yang berbeda

memakai dzikir atau aurad yang berbeda-beda.


b. Tarekat Syadziliyah
Setelah kiai Thaifur mauquf (berhenti) dari tarekat

Naqsabandiyah beliau pindah kepada tarekat Syadziliyah

yang dibai'at oleh syekh Sa'duddin al-Murad Jeddah. Ke-

113
mauquf-an beliau disebabkan beberapa alasan yang

tidak mungkin diungkap, karena hal tersebut bersifat

spiritualis yang sulit dipahami oleh siapapun kecuali oleh

pelaku tarekat itu sendiri. Tarekat Syadziliyah yang baru

dijalani oleh beliau adalah merupakan tarekat yang

mu'tabarah yang didirikan oleh Syekh Abul Hasan Asy-

Syadzili. Perjalan kiai Thaifur dalam tarekat syadziliyah

masih terbilang baru, karena belum mencapai satu

tahun, meskipun demikian, tarekat Syadziliyah sudah

memiliki banyak pengikutnya, terutama santri-santri

beliau sendiri dan masyarakat sekitar.


Tarekat syadziliyah tidak jauh berbeda dengan

tarekat yang lain seperti tarekat Naqsabandiyah yang

pernah dijalani oleh beliau sebelumnya. Dalam tarekat

syadziliyah terdapat dua macam dzikir, yaitu dzikir a>m

dan dzkiri kha>s. Dzikir am adalah dzaikir yang bisa

digunakan oleh siapapun yaitu selain penganut tarekat

syadziliyah. Sedang dzikir khas adalah dzikir yang

khusus dijalankan oleh kaum Syadziliyah. Dalam

pelafatan dzikir, syadziliyah menggunakan lisan bukan

dengan qalb (hati), itulah yang membedakan antara

tarekat syadziliyah dengan tarekat Naqsabandiyah.

Meskipun demikian tujuan dalam berdzikir, semua

114
tarekat adalah sama yaitu ingin menanamkan allah

dalam hatinya secara langsung dan permanen.


c. Term-term tasawauf
a. Zuhud: sebagai strategi menyikapi dunia
Zuhud merupakan maqam tertinggli dalam

perjalanan salik menuju tuhannya. Istilah Zuhud secara

historis sudah ada sebelum istilah Tasawuf itu ada,

bahkan zuhud merupakan bibit dalam kemonculan

gerakan tasawuf dalam islam. Secara etimologi, zuhud

menurut kiai Thaifur dalam karyanya, sullamu al-

Qashidin memiliki pemahaman:


33
‫اَلزهد رهو رعبارة رعن راَنصراَف راَلرغبة رعن راَلشيء رإل رما رهو رخي رمنه‬
Artinya: Zuhud adalah suatu ibarat yang
menggambarkan berpalingnya diri dari sesuatu
kepada sesuatu yang lebih baik.

Hidup zuhud dalam bertasawuf merupakan hal

yang sangat urgen bagi salik dalam proses perjalanan

spriritual menuju ma'rifat kepada Allah, dan merupakan

keharusan untuk memahami sekaligus

mempraktekkannya dalam setiap ranah kehidupan.

Secara umum, zuhud bukanlah gerakan spiritual yang

mendorong seseorang berpaling dari gemerlapan dunia

secara total, tetapi lebih dipahami bagaimana

seharusnya seorang salik bersikap dengan dunia yang

fana ini tidak meninggalkan hubungan erat dengan

33
Kiai Thaifur Ali Wafa, Sullamu al-Qashidin (ttp: tnp, tnt)487 ‫و‬

115
Allah, karenanya, zuhud bukan mendorong salik untuk

bermalas-malasan, menerima kehinaan dan cendrung

tidak berkarya sebagaimana dipahami oleh sekelompok

orang yang menolak ajaran zuhud. Tetapi lebih dari itu

sebagai gerakan jiwa agar tetap berkarya di dunia,

sekaligus menjadikannya sebagai ladang pesemaian

menuju kehidupan yang hakiki melalui ikhlas berbuat

semata-mata hanya karena Allah bukan sebab yang

lain.
Dalam kontek ini, kiai Thaifur sangat tepat

menempatkan zuhud pada posisi penting dalam

bertasawuf. Pentingnya zuhud terletak pada relasi

manusia, dunia dan Allah sebagai khaliq. Jika dengan

Allah, manusia sebagai pelaku tasawuf mendambakan

capaian ma'rifatnya secara hakiki sebab hanya dialah

sumber kebenaran tertinggi, bersifat sakral, ruhiyah dan

senantiasa kekal. Hubungan dekat dengannya kemudian

dikembangkan sekaligus diyakini umat islam dalam

rangka mencapai kebaikan akhirat.


Sementara itu hubungan manusia dengan dunia

adalah hubungan yang sulit dipisahkan sekalipun dunia

bersifat profan atau tidak sakral. Bagaimana mungkin,

orang yang hidup di dunia tidak bersentuhan dengan

ragam jenis kehidupan. Maka perkataan umar bin

116
khattab dalam kontek ini cukup relevan untuk dipahami

kembali bahwa":
34
.‫عز الدنيا بالمال وعز الخرة بصالح العمال‬

Artinya: kemulyaan dunia ada pada harta, sementara


kemulyaan akhirat ada pada amal yang baik.

ada tarik menarik sistem nilai yang ada pada diri

manusia sehingga dalam bersikap tidak jarang ada

seorang yang ekstrem kanan (spiritualis) dan ekstrem

kiri (dunialis). Khususnya, bagi mereka yang ekstrem

kiri, misalnya, kecendrungannya adalah serba materi,

mereka menganut paham materialisme yang

beranggapan bahwa hanya dengan kekuatan materi

orang akan bahagia dan hanya dengan materi pula

seorang diukur eksistensinya, sementara dia sama

sekali bahkan tidak meyakini bahwa materi adalam

bersifat sementara dan kelak akan ditinggalkan

sekaligus akan dipertanggung jawabakan nanti di

akhirat.
Dari sikap meterialistik ini tidak salah bila

kemudian berkembang sikap individualistik dan

hedonistik, yang kemudian mendorong seseorang

berlomba-lomba menumpuk harta sekalipun dengan

jalan merugikan orang lain, seperti korupsi, kolusi dan

34
Muhammad Amin Kurdi, Tanwiru al-Qulub fi Muamalah allamu al-
Ghuyub (Surabaya: Haramain Jaya, 2006), 447

117
nepotisme, akibatnya, ia akan lupa pada tujuan hakiki

dari proses kehidupan ini, selain hanya tujuan makan

dan minum serta mengabdi pada hawa nafsu. Kaitannya

tarik menarik ini, kiai Thaifur memperhatikan perlunya

pemahaman zuhud yang jelas agar tidak dipahami

secara serampangan oleh masyarakat awam,

khususnya bagi mereka yang anti tasawuf dengan

pandangan bahwa sufi adalah potret orang yang miskin

yang jauh diri kemapanan dunia. Oleh karenanya, kiai

Thaifur memberikan pandangan yang jelas tentang

hakikat zuhud sebagaimana yang di sampaikan dalam

karyanya, yaitu:
‫ليس من الزهد ترك المال وبذله على سبيل السصصخاء‬
‫والفتوة وعلى سصصبيل اسصصتمالة القلصصوب وعلصصى سصصبيل‬
‫الطمع فذلك كله من محاسن العادات ولكن ل مدخل‬
‫لشيء منه في العبادات وإنما الزهصصد أن تصصترك الصصدنيا‬
‫لعلمك بحقارتها بالضإافة إلى نفاسة الخصصرة فالزاهصصد‬
‫هو من اتته الدنيا راغمة وهو قادر على التنعم بها من‬
‫غير نقصان جصصاه وقبصصح اسصصم ول فصصوات حصصظ للنفصصس‬
‫فتركها خوفا من ان يأنس بها فيكون مشركا في حب‬
35
‫الله غيره‬
Artinya: Zuhud bukan berarti meninggalkan harta,
menghabiskannya atas dasar kedermawanan
dan dakwah, membelanjakannya atas dasar
kecondongan hati terhadap sesuatu, dan
memfungsikannya di jalan ketamakan belaka.
Semua itu hanyalah kebiasaan yang baik saja
dan tidak termasuk katagori ibadah. Sedang
esensi zuhud yang sebenarnya adalah

35
Thaifur Ali Wafa, Sullamu al-Qashidin, hlm 488

118
meninggalkan dunia atas kesadaran bahwa ia
sesuatu yang hina dari pada akhirat. Jadi orang
yang dikatakan zahid adalah orang mendatangi
dunia karena tidak senang atas kehinaannya
namun mampu mengambil kenikmatan tanpa
mengurangi pangkat kemanusian dan
reputasinya serta tidak menghilangkan
kebahagian jiwa, denga kata lain meninggalkan
dunia karena takut menduakan cintanya kepada
Allah.

Dikesempatan yang lain, kiai Thaifur

menjelaskan zuhud dengan mengutip perkataan

Zainuddin al-Ma'bari:
‫ بالمصصال ل فقصصد لصصه تصصك‬# ‫وازهد وذا فقد علقصصة قلبكصصا‬
36
‫اعقل‬
Artinya: Bersifat zuhudlah engkau, dan tiadakan
ketergantungan hatimu dengan harta, bukan
berarti untuk tidak memilikinya maka dirimu
akan menjadi manusia yang berakal.

Kutipan di atas menggambarkan dengan halus

bahwa para sufi adalah mereka yang menempatkan

dunia sebagaimana mestinya, artinya, laku sufistik

melalui zuhud tidaklah menjadi penghalang untuk

mencari harta dan menggapai kekuasaan, apalagi

mengharamkannya, asal keduanya mampu dikendalikan

kepada jalan yang semestinya dan tidak sampai

menduakan cintanya kepada Allah, serta pelakunya

tidak terpengaruh oleh situasi apapun, baik dalam


36
Wawancara dengan kiai Thaifur hari jum'at sore dan telaah ulang
karya Zainuddin bin Ali al-Ma'bari al-Malibari, Hidayatu al-Atqiya' (Surabaya:
Nurul Hidayah, tt, th), hlm, 21.

119
kondisi butuh atau tidak, sebab pada intinya jalan

menggapai dunia akan lebih bermakna bila

diorientasikan pada proses pencapaian nilai-nilai

ketuhanan sebagai mudal peribadatan, bukan

disebabkan yang lain.


Di tempat yang berbeda, pemahaman ini

diperkuat oleh kiai Thaifur bahwa larangan cinta dunia

bagi kalangan pelaku tasawuf termasuk bagi muslim

pada umumnya disebabkan karena kecintaan yang

berlebihan terhadap dunia sehingga menyebabkan hati

lupa untuk senantiasa mencintai dan mengingat allah

sepanjang hari. Jadi jika tidak menyebabkan lupa, maka

pencapaian dunia dipandang tidak bermasalah, bahkan

akan menjadi anjuran jika memang menjadi sarana

ibadah.
Allah berfirman:
‫ن‬
‫مصص ت‬
‫ك غ‬‫صيب ت ت‬
‫س نت غ‬ ‫خترة ت وتتل ت تن ب ت‬ ‫داتر ابل غ‬ ‫ه ال ل‬ ‫ك الل ل ه‬‫ما آتتا ت‬ ‫تواب بت تغغ غفي ت‬
‫ك وتتل ت تب بغغ ال ب ت‬‫ه إ غل تي ب ت‬ ‫ت‬ ‫ت‬
‫ساد ت غفي‬‫ف ت‬ ‫ن الل ل ه‬‫س ت‬ ‫ح ت‬‫ما أ ب‬ ‫ن كت ت‬ ‫س ب‬ ‫ح غ‬‫الد دن بتيا وتأ ب‬
‫بت‬
‫ب ال ب ه‬ ‫ه تل ي ه غ‬ ‫ن الل ل ت‬
37
.‫ن‬
‫دي ت‬ ‫س غ‬‫ف غ‬ ‫م ب‬ ‫ح د‬ ‫ض إغ ل‬ ‫البر غ‬
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
37
Al-Qashash 77

120
Dan Hadits Nabi:
‫ه‬ ‫ه‬
‫ُ رمواَنزمهند رفيَمما رهف رأميِّنديِ راَللناهس ر ههيب م‬،‫ك راَللهه‬
‫اَنزمهند رهف راَلبد نيميَا ر ههيبل م‬
38
.‫س‬
‫ك راَللنا ه‬

Artinya: berzuhudlah anda dalam dunia, niscaya Allah akan


mencintai anda dalam apa yang dimiliki manusia,
niscaya mereka akan mencintai anda”.

Dari paparan mengenai zuhud ini, kiai Thaifur

nampaknya tidak masuk kategori kelompok zahid

ekstream dengan meninggalkan dunia secara total atau

menolak zuhud secara ekstream dengan pandangan

praktek ini sebagai bentuk kemalasan diri dan tidak

mau berkarya. Dengan begitu, zuhud dipahami sebagai

strategi menyikapi dunia secara baik sebab menulak

dunia secara total adalah masalah, bahkan berlawanan

dengan hakikat dirinya hidup di dunia. Begitu juga

menolak praktek zuhud adalah masalah sebab akan

menumbuhkan meterialisme dari dirinya sendiri.

Karenanya, zuhud menyimpulkan ulasan kiai Thaifur

adalah berkarya untuk kehidupan semaksimal mungkin

sambil tetap konsisten menjadikan Allah sebagai tujuan

sekaligus sumber nilai. Keduanya harus berjalan secara

seimbang tanpa yang satu mengalahkan yang lain.


b. Ikhlas

38
Ibnu Majah, Sunan Ibnu majah (Mesir: Daru ihya al-Kutub al-Arabiyah,
tth). II: 1373.

121
Ikhlas dalam laku tasawuf sangat penting

adanya dalam peningkatan tahapan-tahapan maqamat

dalam setiap perjalanan spiritual seorang hamba, ikhlas

dapat melatih diri untuk senantiasa menjadikan Allah

sebagai sumber tujuan bukan yang lain. Ikhlas secara

definitif menurut kiai Thaifur adalah:


‫اَ نهلنخملصاَ رهو رتريِّد رقصد راَلتقرب رهإل راَللله رتعال رعن رجيَع راَلشواَئب رفمن راَنبعث رلقصد‬
‫اَلتق ييرب رولك يين راَم ييتزج رلي يذهاَ راَلبيياعث ربيياعث رآخ يير رك ييأن ريِّص ييوم رليَنتف ييع ربانلميَ يية راَلاص ييلة‬
‫بالصوم رمع رقصد راَلتقرب رحت رصار راَلعمل راَخف رعليَه ربسبب رهذهاَ راَلبياعث راَلخيير رفقييد‬
39
.‫خرج رعمله رعن رحد راَلخلصاَ روتطرق راَليَه راَلشرك‬
Artinya: Ikhlas adalah fokusnya tujuan seseorang
hamba dalam mendekatkan dirinya kepada Allah
dari semua cacat yang ada. Maka barang siapa
yang membangkitkan tujuan mendekatkan diri
kepada Allah akan tetapi ia mencampur adukkan
dengan tujuan yang lain, seperti halnya
berpuasa dengan tujuan mendapatkan
kesatriaan (kegagahan) dan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah, maka ia keluar
dari keikhlasan dan melemparkan dirinya
kepada jurang kemusyrikan.

Berdasarkan pemahaman ini, maka kiai Thaifur

berorientasi pada satu titik ideal, yakni menjadikan

Allah sebagai tujuan. Artinya, peran apapun yang

dilakukan seseorang tidak cukup hanya dipandang baik

sebatas secara inderawi, tapi perlu pertimbangan niat

atau olah batin kaitannya kualitas makna terdalam dari

peran itu, yakni benarkah peran itu hanya karena Allah

39
Kiai Thaifur Ali Wafa, Sullamu al-Qashidin, 539.

122
atau karena yang lain (riya’), misalnya ia berpuasa

untuk taqaarub kepada Allah dan mendapatkan rizki

yang banyak maka dengan demikian ia keluar dari

keikhlasan. Jika menduakan tujuan ibadah kepada Allah

dengan yang lainnya sehingga orang yang melakukan

perbuatan ibadah bukan karena Allah semata atau

dikenal dengan sebutan riya’, maka ia termasuk

kategori tindakan penyekutuan, setidaknya

penyekutuan secara samar (al ishrak al khafi).


Cukup banyak landasan normatif yang

mengajarkan seseorang agar berlaku ikhlas dalam

kehidupan baik dari al-Qur’an, al-Hadits Nabi hingga

perkataan ulama’. Salah satunya, Kiai Thaifur mengutip

perkataan nabi Muhammad Saw. Melalui hadith

Qudthinya yang berbuyi:


40
.‫الخلصا سر من سري إستودعته من احببت من عباده‬
Artinya: Ikhlas adalah salah satu rahasia dari rahasia-
ku, yang Aku simpan kepada hamba-hambaku
yang Aku cintai.

Berdasarkan al-Hadith ini, nampaknya posisi

ikhlas cukup rahasia, yang tidak bisa dilihat secara

kasat mata sebagaimana tersirat dalam kata sir

(rahasia). Artinya, perilaku ikhlas adalah hubungan

sangat special yang dilakukan oleh seorang hamba

40
Kiai Thaifur Ali Wafa, Sullamu al-Qashidin, 539

123
dengan Allah sebagai tuhannya, sehingga tidak ada

seorangpun yang mampu melihat sejauh mana kualitas

keikhlasan itu dapat dinilai, kecuali dirinya dan Allah.

Oleh karenanya, hubungan special ini sekaligus menjadi

pertanda pada kualitas cinta seseorang kepada yang

dicintai, yakni Allah. Semakin tinggi kualitas keikhlasan

itu tertancap dalam kehidupan seseorang, maka

menandakan kecintaannya kepada Allah cukup tinggi

sehingga dalam berbuat tidak ada orientasi apapun,

kecuali kepada-Nya, termasuk orientasi pahala

sebagaimana diharapkan semua orang dalam setiap

melakukan peribadatan seperti halnya sholat, haji,

zakat, dan lain-lain.


Dengan begitu, maka ikhlas dalam bahasannya

selalu mengiringi pembahasan mengenai niat

sebagaimana menjadi prasyarat dalam setiap ibadah.

Hubungan ikhlas dengan niat ini yang kemudian dapat

memestikan setiap amal baik ibadah maupun tidak itu

memperoleh maknanya yakni dipandang memperoleh

pahala. Tetapi, jika niat itu salah atau dipengaruhi

adanya unsur riya’, maka ibadah yang dilakukan akan

bernilai buruk atau tidak berpahala, sekalipun secara

kuantitas peribadatan yang dilakukan cukup banyak.

124
Misalnya, makan dan minum sekalipun bukan ibadah

jika pelakunya berniat sebagai sarana agar kuat dalam

melaksanakan ibadah dan ketaatan, maka makan dan

minum itu tergolong sebagai ibadah. Begitu juga

sebaliknya, jika membaca al-Qur’an tidak ada niat yang

baik melainkan ada unsur pendorong selain Allah maka

membaca al-Qur’an model ini tidak akan berarti apa-

apa, bahkan menjadi ancaman siksa bagi pelakunya,

karena memang islam mengajarkan perlunya

keselarasa antara dimensi zahir dan batin, yakni

keselarasan antara perilaku dan hati.


Di tempat yang berbeda, riya’ sering kali

dilawankan dengan perilaku ikhlas sebab riya’ sama

artinya dengan menyamakan atau setidaknya pelibatan

unsur lain dengan Allah dalam setiap perbuatan atau

ibadah. Karenanya, riya’ itu dikategorikan sebagai

syirik samar, sekalipun dosanya tidak sama dengan

syirik besar seperti menyembah kepada selain Allah.

Hanya, saja perilaku syirik ini menjadi penyakit hati

sebab bukan hanya merusak kuantitas peribadatan dan

amal, tapi sekaligus juga menumbuhkan sikap munafik

dalam dirinya sendiri termasuk kepada orang lain.


Perumpamaan pelaku riya’ dan mencari

popularitas- layaknya orang mengisi kantongnya

125
dengan krikil. Kemudian dia masuk ke sebuah pasar dan

membeli dengan menggunakan apa yang ada di

kantong itu. Ketika membuka kantongya di depan

penjual, ternyata berisi krikil sehingga menyebabka

penjual itu marah-marah dan memukul wajahnya.


Gambaran ini cukup nampak bagi orang yang

selalu riya’ tidak ikhlas dalam beribadah. Peribadatan

yang dilakukan, yang semestinya dilakukan dengan

wajar sesuai dengan syarat dan rukunnya, akan dibalas

oleh Allah sesuai dengan kadar kualitasnya, ternyata

tidak bermakna apa-apa akibat ulah pelakunya yang

hanya mencari popularitas semata di hapan orang lain.


Untuk itu, perilaku ikhlas sekali lagi menjadi

penting dalam menegaskan peribadatan yang dilakukan

seseorang, sekaligus kualitasnya. Ikhlas berkaitan

dengan faktor pendorong peribadatan itu dilakukan

sehingga cukup tepat bila kemudian ikhlas dipandang

rahasia dari beberapa rahasia Tuhan yang dititipkan

kepada hamba-Nya terkasih.


Dari sudut pendorong dalam setiap ibadah dan

perbuatan, Kiai Thaifur, menyebutkan beberapa

kategori, yaitu ruhaniyyah (yang disebutdenganikhlas),

shaitaniyyah (yang disebut dengan riya’), dan yang

tersusun dari keduanya.Untuk yang disebutkan terakhir

126
terbagi menjadi tiga macam. Pertama, bila unsur

ruhaniyyah lebih dominan, maka termasuk potret

perilaku orang-orang ikhlas (al-mukhlisin)

sebagaaimana muncul dari orang yang hanya

melakukan apapun termasuk ibadah semata-mata,

karena cinta kepada Allah atau mendambakan

kehidupan akhirat itu baik serta tidak ada unsur

keduniaan yang diharapkan, kecuali sebagai kebutuhan.

Orientasinya dalam berbuat, lebih-lebih beribadah

selalu menjadikan Allah sebagai manifestasinya bukan

yang lain. Karenya, dalam konteks ini minum dan

makan sebagaimana telah disebutkan akan menjadi

ibadah bilamana pelakunya berniat menjadikan aktifitas

itu sebagai sarana agar kuat beribadah, bukan karena

syahwat makanan dan minuman. Dari sini, maka yang

muncul hasrat makan dan minum didasarkan pada

kebutuhan, bukan keinginan.


Kedua, bila yang lebih dominan adalah unsur

shaitaniyyah, maka tipikal ini disebut denganorang yang

riya’ (murai), sebagaimana orang yang dalam hatinya

ketika berbuat sesuatu atau beribadah selalu terbersit

keinginan mengikuti hawa nafsu dan nilai-nilai

keduniaan, bahkan tidak ada sedikitpun kecintaan

127
kepada Allah bersarang dalam hatinya. Karena itu,

dipastikan kecuali sedikit ibadah yang dilakukan dari

puasa, sholat, dan lain-lain, bila tertanam sikap

riya’akan tidak memberikan nilai yang diharapkan.


Sementara ketiga, bila unsur ruhaniyyah dan

unsur shaitaniyyah memiliki persamaan, bahkan saling

berlawanan dan terjadi tarik-menarik, maka yang

ibadah yang dilakukan tidak berdampak apa-apa,

kecuali bila kemudian satu dari dua unsur itu mulai

mendominasi. Pastinya, ditegaskan kembali oleh Kiai

Thaifur, kaitannya dengan pahala, selalu dikaitkan

dengan keikhlasan pelakunya, bukan pada kuantitas

peribadatannya.
Dari semua paparan di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa perilaku ikhlas kaitannya dengan

praktik-praktik tasawuf mengantarkan pelakunya untuk

selalu mewaspadai bisikan apapun yang ada dalam hati,

setidaknya agar selalu ingat bahwa orientasi setiap

amal dan ibadah harus selalu menjadikan Allah sebagai

sumber energi sebab dialah hakekat semua energi ini,

yang lain adalah palsu. Pasalnya, keberadaan yang lain

sama halnya ketidak-adaannya (wujuduhu ka adamihi).

Kalaupun ada, hanya bersifat majazi (metafor), dan

hakekat yang ada adalah Allah, tegas Kiai Thaifur. Maka

128
dengan berorientasi kepada sumber kebenaran hakiki

(Allah), orang yang beribadah akan tidak mudah

dipengaruhi oleh sesuatu apapun yang ada

disekitarnya, sehingga mampu menumbuhkan

konsistensi beribadah.
2. Pokok-pokok pemikiran tasawuf kiai Thaifur
Tasawuf sering diartikan sebagai aspek ajaran islam

yang meberikan aksentuasi pada kesucian rohani manusia.

Namun dilihat dari sudut kesejarahan pemikiran Islam secara

luas, tasawuf sesungguhnya merupakan produk pemikiran

umat yang didasari oleh kesadaran untuk mengadakan

hubungan sedekat mungkin dengan Allah sebagai tuhannya

untuk mencapai kepuasan spiritual yang merupakan

kebahagiaan sejati.
Di sini, kiai Thaifur ketika dipandang dari perjalanan

intelektual dan spiritualnya pada poin-poin sebelumnya dapat

penulis tarik benang merahnya sebagai kajian lebih lanjut

sekaligus menjadi pokok dari ajaran tasawuf kiai Thaifur.

Mengingat demikian luasnya pengembaraan spiritual menuju

ma'rifah kepada Allah, maka hal terpenting dalam praktek

ketasawufan kiai Thaifur adalah thariqah, karena menurutnya,

tarekat merupakan olah jiwa yang sistematis dan cepat dalam

proses tazkiyah al-Nafs dan perbaikan moral lebih cepat

dibanding dengan mujahadah. Pada hakikatnya thariqah

129
adalah merupakan konsep tazkiyah yang meliputi mujahadah,

riyahah dan musyahadah atau ma'rifah. Konsep ini merupakan

terjemahan dan nalar kiai Thaifur terhadap konsep tasawuf

imam al-Ghazali yang mengutamakan konsep tazkiyah untuk

mencapai ma'rifah kepada Allah.


3. Krakteristik dan corak tasawuf kiai Thaifur
Setelah mempelajari dan mendalami pokok-pokok

pikiran tasawuf kiai Thaifur, maka dapat diketahui bahwa bagi

kiai Thaifur, semangat sufistik tidak lain adalah semangat

pendalaman agama, baik dalam pemahaman, penghayatan

dan pengalamannya, sebab agama pada dasarnya turun di

dunia sebagai jawaban atas panggilan dan tuntutan manusia

yang dalam (fitri). Dari sudut pandang pemikiran ini, maka

semangat sufistik adalah suatu yang inhern dalam sistem

keagamaan. Karena agama dan keberagamaan tanpa

semangat ini adalah suatu kemustahilan bahkan boleh jadi

hanya sekedar kumpulan aturan formal yang beku dan sama

sekali tidak menarik bagi siapa saja yang masih memiliki

kesadaran esoterik.
Dari sisi pandangan inilah, melalui beberapa uraian

sebelumnya dapat dipahami bahwa lewat tasawuf

sesungguhnya kiai Thaifur bertujuan untuk hidup

melaksanakan kebenaran-kebenaran agama dan menguji

130
kebenaran-kebenaran tersebut dengan metode eksperimental

para sufi. Pengujiannya ternyata berhasil dengan kesimpulan:


1) Hanya dengan mengintensifkan kehidupan bathin

(esoterik), iman yang hidup segera benar-benar dapat

diwujudkan.
2) Tasawuf tidak bertujuan selain spiritual Etik .
Atas dasar dua kesimpulan di atas, maka tasawuf yang

dibangun dan dikembangkan oleh kiai Thaifur bukanlah

tasawuf model Abu Yazid al-Bustami, Abu Mansur al-Hallaj dan

sebagainya, melainkan tasawuf religius ortodoks (sunni) yang

menitik beratkan pada kesucian rohani dan keluhuran budi

yang merupakan perwujudan paling otentik dan valid dari

relegiusitas seseorang, sehingga sangat tepat pilihan Kiai

Thaifur terhadap proses tazkiyah al-Nasf yang terangkum

dalam kegiatan thariqah. Di sinilah kekuatan sekaligus

karakteristik bangunan tasawuf Kiai Thaifur sehingga

mempunyai pengaruh yang kuat dan besar serta luas di dunia

islam pada hususnya di Madura.


Luas dan kuatnya pengaruh tasawuf Kiai Thaifur di

dunia Islam disebabkan karena beberapa hal pertama Kiai

Thaifur dapat membawa orang Islam kembali dari kegiatan-

kegiatan skolastik41 mengenai dogama-dogma teologisnya

kepada pengkajian, penafsiran dan penghayatan kalamullah

41
Skolastik: sistem logika, filsafat, dan teologi para sarjana Abad
Pertengahan atau orang terpelajar abad ke-10 hingga abad ke-15,
berlandaskan logika Aristoteles dan tulisan para ahli agama Kristen zaman
permulaan agama

131
dan sunah Nabi. Kedua, dalam nasihat-nasihat dan pengajaran

moralnya, ia memperkenalkan lagi konsep tazkiah al-Nafs

sebagai mana penjabaran imam al-Ghazali dalam ihya

ulumuddin, minhaj al-Abidin dan al-Munkidz min al-Dhalal.

Ketiga, sebagai penganut dan pengembang tarekat (mursyid

tarekat) yang sampai sekarang tetap eksis dan diminati oleh

banyak orang baik lingkungannya sendiri secara khusus dan

Madura secara umum bahkan, sejarah menyebutkan bahwa,

ada juga ikhwan (sebutan untuk jama’ah thariqah) dari luar

Madura, seperti Kalimantan dan sebagainya.


Keempat karena kekuatan dan pengaruhnyalah

tasawuf memperoleh kedudukan kuat dan terhormat serta

terjamin dalam Islam. Kiai Thaifur telah mengubah atau paling

tidak telah berusaha menyederhanakan istilah-istilah atau

term-term tasawuf yang sulit menjadi mudah bagi

pemahaman orang awam. Seperti halnya istilah tasawuf dan

zuhud. Mengenai definisi tasawuf banyak pihak yang beda

pemahaman dengan alasan yang sama-sama kuat, sehingga

membingungkan bagi masyarakat awam. Dengan sederhana

kiai Thaifur mendefinisikan tasawuf adalah tarekat (Thariqah).

Sedangkan mengenai zuhud, banyak orang memahami bahwa

zuhud ialah orang yang berpakaian compang-camping, kusut

dan tidak suka hidup mewah, sehingga menjadi pemahaman

132
bahwa tasawuf adalah cerminan bagi orang yang malas

bekerja dan benci dunia, padahal menurut Kiai Thaifur zuhud

tidaklah demikian, beliau mengibaratkan zahid (orang zuhud)

ialah orang yang meletakkan dunia di tangan dan meletakkan

Allah di hati, artinya meskipun orang bergelimang dengan

harta, namun tidak sedikitpun dapat menggoyahkan hatinya

atau bahkan menduakan Allah dengannya. 42


Melalui pendekatan sufistik, Kiai Thaifur berupaya

mengembalikan Islam kepada sumber fundamental dan

historis serta memberikan suatu tempat kehidupan emosional

keagamaan (esoterik) dalam sistemnya. Atau lebih konkritnya

Kiai Thaifur berupaya merumuskan ajaran-ajaran Islam yang

dipenuhi muatan-muatan sufistik dengan bahasa yang mudah

diterima oleh orang awam. Hal ini sangat menentukan,

mengapa ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan upaya

spiritualisasi Islam banyak tersebar di berbagai wilayah dunia

Islam hingga sekarang.


Atas dasar-dasar fakta inilah Kiai Thaifur mempunyai

pengaruh yang sedemikian besar di dunia Islam, karena dia

telah mampu membangun kembali Islam ortodoks dengan

menjadikan sufisme sebagai bagian integral dari Islam dan

membumikan nilai-nilai sufistik ke dalam praktek kegiatan

42
Wawancara dengan Kiai Thaifur Kamis 28 Juli 2016, jam 15.00-15.30
Wib.

133
keberagamaan dan dengan ajaran tarekatnya sebagai media

pengembangan sufistik terbesar di Madura.


Lebih dari itu, Kiai Thaifur telah berhasil pula

menghubungkan rumusan-rumusan dogmatik dan formal dari

Ilmu kalam ortodoks dengan agama yang dinamik. Dengan

demikian dia telah berhasil menghidupkan kembali keduanya

dan meniupkan ke dalam keduanya semangat wahyu yang

orisinal. Hal ini berarti dia telah memberi pukulan yang hebat

terhadap skolastik yang murni, melenturkan watak dogmatis

ajaran agama dan memasukkan dimensi yang vital di antara

segi-segi lahiriah (eksoterik) dan batiniah (esoterik) dari

agama.
Prinsip-prinsip di atas yang kemudian terefleksi dalam

karya tasawufnya yaitu sullamu al-Qashidin ila Ihya Ulumud

al-Din. Dengan dasar-dasar ini pula ia berhasil

mengentegrasikan tasawuf dengan fiqh dan menjadikan ilmu

kalam sebagai ajaran yang komprehensif. Sintesa yang

dilahirfkan Kiai Thaifur ini sebagian besar diterima kaum

ortodoks. Adapun kekuatan sintesa tersebut terletak pada

kenyataan bahwa ia telah berhasil memberikan dasar-dasar

spiritual bagi alam praktis moral Islam dan membawanya

kembali kapada dimensi religiusnya yang asli.

134

Вам также может понравиться