Вы находитесь на странице: 1из 13

Inkontinensia Urin pada Manusia Lanjut Usia

Lodowina Eresyen Rumaratu 102011092


Josua 102012034
Fridolyn Edgar Enggartiarso Ngila 102014063
Arlyn Stephani Tumimomor 102015015
Kevin Aldriano Syahputra 102015053
Merlinda 102015163
Muhamad Rizauddin Bin Che Riah 102015201
Tengku Nadira M. Binti Tengku Adnan 102015226
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta Barat 11510 Indonesia
Email: muhamad.2015fk201@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Inkontinensia urin (IU), juga dikenal sebagai kebocoran urin. Ini adalah masalah umum dan
menyedihkan, yang mungkin memiliki dampak besar pada kualitas hidup. Hal ini dua kali lebih
umum pada wanita seperti pada pria. Kehamilan, melahirkan, dan menopause adalah faktor
risiko utama. Ini telah diidentifikasi sebagai isu penting dalam perawatan kesehatan geriatri.
Inkontinensia urin sering merupakan akibat dari kondisi medis yang mendasari tetapi kurang
dilaporkan ke praktisi medis. Enuresis sering digunakan untuk merujuk pada inkontinensia urin
terutama pada anak-anak, seperti enuresis nokturnal.

Abstract

Urinary incontinence (UI), also known as involuntary urination, is any leakage of urine. It is a
common and distressing problem, which may have a large impact on quality of life. It is twice as
common in women as in men. Pregnancy, childbirth, and menopause are major risk factors. It has
been identified as an important issue in geriatric health care. Urinary incontinence is often a result
of an underlying medical condition but is under-reported to medical practitioners. Enuresis is
often used to refer to urinary incontinence primarily in children, such as nocturnal enuresis.

PENDAHULUAN

Golongan usia lanjut selalunya dikaitkan dengan masalah kesihatan. Hal ini karena dalam badan
mereka telah berlaku proses penuaan, yaitu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur
dan fungsi normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memerbaiki
kerusakan yang diderita. Berdasarkan WHO South East Regional Office di New Delhi, batasan
usia lanjut untuk Indonesia sampai saat ini masih 60 tahun ke atas. Proses menua terjadi kepada
pelbagai organ tubuh antaranya adalah penurunan komposisi tubuh, otak, jantung, paru, ginjal dan
saluran kemih, gastrointestinal dan sebagainya. Salah satu symptom yang terdapat di pelbagai
penyakit berkaitan dengan saluran kemih pada lansia adalah inkontinensia urine. Dari aspek klinik
praktis, inkontinensia urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah social dan hiegenis
penderitanya.1

Anamnesis
Perpaduan keahlian menganamnesa dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala (simptom)
dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan
diagnosis kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya
yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2

Antara perkara yang perlu diketahui sewaktu anamnesa yang baik untuk penderita golongan
lansia adalah:

1. Identitas penyakit
Ditanyakan mama, alamat, umur, perkahwinan, anak (jumlah, jenis kelamin, dan berapa
yang masih tinggal bersama penderita), pekerjaan, keadaan social ekonomi termasuk juga
anamnesis mengenai faktor risiko sakit, yaitu usia sangat lanjut (>70 tahun), duda hidup
sendiri, kematian orang yang terdekat, baru sembuh dari sakit, gangguan mental yang nyata,
menderita penyakit progresif, gangguan mobilitas dan lain-lain.
2. Anamnesis tentang obat

Ditanyakan riwayat pengobatan baik sebelum sakit ini atau yang diminum di rumah, baik
berasal dari resep dokter atau yang dibeli bebas (termasuk jamu-jamuan). Terutama bila
orang lanjut usia mendapatkan pengobatan multiple. Pastikan obatan yang diminum
meningkatkan dosis diuretic pada pasien dapat menimbulkan efek merbahaya kepada
sirkulasi.

3. Penilaian system

Berbeda dengan anamnesis penderita golongan umur lain karena tidak berdasarkan ‘model
medik’ (tergantung kepada keluhan utama). Harus selalu diingat bahawa pada usia lanjut,
keluhan tidak selalu menggambarkan penyakit yang diderita, justeru memberikan keluhan
yang tidak khas. Dilakukan secara urut, misalnya mulai dari system saraf pusat saluran
nafas atas dan bawah, seterusnya sampai ke kulit integument dan lain-lain. Untuk
mendapatkan jawapan yang baik, sering kali diperlukan alloanamnesis dari orang/
keluarga yang merawatnya sehari-hari.1-2

1. Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan


Seperti merokok, mengunyah tembakau, minum alcohol dan lain-lain
2. Anamnesis tentang berbagai gangguan yang terdapat
Seperti menelan, masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak yang
terbatas pada anggota badan dan lain-lain
3. Keperibadian perasaan hati, kesadaran dan efek (alo-anamnesis atau pengamatan)
Seperti konfusio, curiga/bermusuhan, mengembara, gangguan tidur atau keluhan malam
hari, daya ingat, dan lain-lain. Apabila dapatan dari anamnesis ini membingungkan atau
mencurigakan, perlu dicatat untuk dapat dilaksanakan asesmen khusus kejiwaan atau
bahkan konsultasi psiko-geriatrik.
4. Riwayat tentang problema utama geriatric (sindrom geriatric)
Seperti pernah stroke, TIA/RIND, hipotensi ortostatik, jatuh, inkontinensia urin/alvi,
dementia, dekubitus dan patah tulang
Pemeriksaan Fisik

Pada prinsipnya tidak diperlukan pemeriksaan fisik yang lebih lanjut karena dari anamnesis
kita sudah bisa menyimpulkan terjadinya inkontinensia serta jenis inkontinensia yang terjadi.
Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah palpasi dan perkusi untuk menentukan
batas bawah abdomen dan batas atas rongga pelvis untuk mengetahui posisi vesika urinaria.
Sedangkan untuk osteoartritis, pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu adanya hambatan
gerakan, krepitasi, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris, tanda-tanda peradangan,
deformitas sendi yang permanen dan perubahan gaya berjalan.1

Pemeriksaan Penunjang

Inkontinensia urin bukanlah merupakan suatu kasus gawat darurat. Inkontinensia urin
merupakan suatu keadaan abnormal. Tergantung dari wujud urin yang keluar, ada beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yakni urinalysis, urinary cytological studies, serta
cek serum elektrolit, kalsium, blood urea nitrogen dan kadar glukosa urin.3
Urinalysis dapat berguna untuk menghapuskan diagnosis banding seperti urinary tract
infection yang merupakan suatu reaksi inflamasi lokal yang dapat menyebabkan tidak
terhambatnya kontraksi kandung kemih akibat endotoksin yang diproduksi oleh bakteri yang
memiliki alpha-blocking effect pada sphincter uretra sehingga menurunkan tekanan intrauretra
yang kemudian berujung pada inkontinensia urin.3
Urinary cytological studies merupakan pemeriksaan untuk memeriksa eksistensi dari
karsinoma in situ pada kandung kemih yang dapat meningkatkan frekuensi dan urgensi dari rasa
ingin berkemih dan pada hasilnya dapat ditemukan mikroskopik hematuria. Sedangkan uji cek
serum blood urea nitrogen dan kadar glukosa dapat dilakukan terutama pada pasien dengan
diabetes atau poliurea dan polidipsia. Serta penurunan BUN dapat mengindikasikan adanya
penurunan masa otot yang dapat mengganggu fungsi renal.3
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan cystometry yang biasanya
dilakukan untuk mengevaluasi pengisian dan penyimpanan urin pada kandung kemih.
Cystometogram merupakan suatu hasil dari cystometry yang merupakan kurva dari
tekanan/volume intravesikal dengan cara pengisian kandung kemih dengan air steril atau karbon
dioksida pada laju infusi konstan sambil memonitor perubahan tekanan intravesikal. Pasien harus
menahan setiap rasa ingin berkemihnya selama pemeriksaan berlangsung. Kontraksi muskulus
detrusor yang melebihi 15 cmH2O dianggap kondisi abnormal. Data yang didapat pada grafik
terdiri dari lima fase yakni sensasi propriosepsi, sensasi merasa kandung kemih penuh, sensasi
ingin berkemih, munculnya kontraksi muskulus detrusor volunter dan kemampuan untuk
menghentikan kontraksi muskulus detrusor. Kondisi negatif dapat merupakan salah satu indikasi
adanya inkontinensia urine.3

Pada pasien penderita inkontinensia urin terdapat 4 faktor yang dipercaya dapat membantu
diagnosis dari inkontinensia urin yakni diketahuinya pernah mengalami gangguan miksi saat
mendapatkan stress pada masa lalu, postvoid residual volume tidak melebihi 50 mL, hasil positif
pada cough stress test dan kapasitas fungsional kandung kemih mencapai 400 mL. 15% pasien
dengan inkontinensia urin hidup dengan muskulus detrusor yang tidak stabil. Anamnesis
merupakan suatu hal yang wajib dilakukan walaupun anamnesis bukanlah suatu hal utama yang
adekuat untuk menentukan basis terapi inkontinensia urin, seperti 0.91 untuk nilai sensitifitas
dari inkontinensia urin tipe stress, tetapi hanya memiliki 0.51 poin pada spesifitas dari
inkontinensia urin tipe stress.3

Diagnosis
1. Diagnosis Kerja
Incontinensia Urgensi
Kondisi dimana seseorang tidak dapat menahan kencing setelah timbul sensasi kencing.
Kandung kemih overaktif adalah diagnosis simtomatik yang meliputi gejala sering
berkemih (lebih dari delapan kali dalam 24 jam) dan keinginan berkemih dengan atau tanpa
inkontenensia urgensi terjadi baik tunggal maupun dalam kombinasi, kandung kemih
overaktif adalah kondisi kronik yang diketahui melalui pemeriksaan urosinamika sebagai
aktivitas berlebihan dari detrusor dan ditandai oleh kontraksi kandung kemih involunter
selama fase pengisian siklus berkemih. Kontraksi tersebut merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia.3
2. Diagnosis Diferential
Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan
kartilago sendi. OA didefinisikan sebagai berbagai kelompok kondisi yang menyebabkan
gejala dan tanda sendi yang berhubungan dengan kerusakan integritas kartilagi aurikular
selain perubahan pada tulang yang mendasarinya3
Incontinensia tipe stress ini itandai dengan gejala dan peristiwa yang membuktikkan
adanya kebocoran urin yang langsung terjadi begitu dapat tekanan (stress). Keadaan
dimana keluarnya urin dari uretra saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.
Inkontinensia ini disebabkan karana sfingter uretra yang tidak mempu
mempertahankankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat.3
Incontinensia tipe fungsional ditandai dengan kebocoran urin karena kesulitan mencapai
toilet secara tepat waktu karena kondisi fisik seperti artritis.3
Incontinensia tipe overflow merupakan pengeluaran urin involunter akibat detensi
berlebihan kandung kemih disebabkan berbagai kondisi termasuk obstruksi saluran keluar
kandung kemih atau obstruksi uretra yang paling sering terjadi pada pria yang mengalami
hyperplasia prostat. Jenis inkontinensia ini lebih jarang terjadi pada wanita, tetapi dapat
terjadi sebagai komplikasi setelah pembedahan untuk mengoreksi inkontinensia atau
prolapse organ panggul berat. Otot detrusos yang tidak aktif atau tidak kontraktil juga dapat
menyebabkan distensi dan aliran berlebihan. Penyebabnya meliputi gangguan neurologis,
seperti stroke atau sclerosis multiple, diabetes, dan efek samping pengobatan.3

Etiologi

Penyebab dari Inkontinensia Urin seperti pada kasus dapat terjadi akibat beberapa hal. Pada
wanita, penyebab umum terjadinya Inkontinensia urin adalah lemahnya sokongan dari pelvis.
Wanita dapat kehilangan support dari pelvis setelah melahirkan, operasi, ataupun penyakit yang
dapat melemahkan kekuatan jaringan atau juga setelah kehilangan esterogen postmenopausal.
Atau sebab yang kurang ditemui seperti defisiensi kekuatan sphincter intrinsic utethra yang dapat
terjadi karena proses penuaan, trauma pelvis, atau operasi seperti histerektomi, urethropexy atau
pubovaginal sling.4
Penuaan dapat menyebabkan inkontinensia akibat adanya pelemahan kekuatan jaringan
ikat, hipoesterogisme, peningkatan gangguan medis, peningkatan diuresis malam hari. Obesitas,
melahirkan, dan merokok dapat menyebabkan inkontinensia, bersama dengan aktivitas musculus
detrusor yang berlebihan yang masih belum diketahui sebabnya.4

Epidemiologi
Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan
perbandingan 1,5 : 1. Survei yang dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri didapatkan angka kejadian inkontinensia urin
stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5 %.5

Penelitian lain yang dilakukan oleh Diokno dkk, pada perempuan usia lanjut di atas 60
tahun mendapatkan dari 1150 subyek yang dipilih secara random, 434 orang diantaranya
mengalami inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin 55,5% merupakan
inkontinensia urin tipe campuran, 26,7% merupakan inkontinensia urin tipe stres saja, 9% dengan
inkontinensia urin tipe urgensi saja, dan 8,8% dengan diagnosis lain.5

Patofisiologis

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali, sfingter
uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf
pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah
kontrol sistem saraf otonom (tidak sadar), yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak.5

Secara garis besar, proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras
aferen lewat persarafan somatik dan otonom, membawa informasi ke medula spinalis sesuai
pengisian kandung kemih. Tonus simpatik yang dipicu oleh noradrenalin menyebabkan tonus
parasimpatik terhambat, kontraksi sfingter (penutupan kandung kemih), dan relaksasi otot
detrusor, sehingga tidak terjadi proses miksi. Sebaliknya, ketika berkemih berlangsung, tonus
simpatik menurun dan peningkatan rangsang parasimpatik mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Semua proses ini berlangsung di bawah koordinasi dari pusat yang lebih tinggi pada batang
otak, otak kecil dan korteks serebri. Proses patologik yang mengenai pusat-pusat ini misalnya
stroke, sindroma Parkinson, demensia dapat menyebabkan inkontinensia.5

Bila kandung kemih makin terisi dengan urin, sensasi syaraf diteruskan lewat persyarafan
pelvis dan medulla spinalis ke pusat-pusat sub-kortikal dan kortikal. Pusat sub-kortikal di ganglia
basalis pada serebellum memerintahkan kandung kemih untuk relaksasi; dengan demikian proses
pengisian berlanjut tanpa orang mengalami sensasi untuk berkemih. Bila proses pengisian
berlanjut, perasaan regangan kandung kemih mencapai pusat kesadaran, dan pusat kortikal (pada
lobus frontal) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat-pusat di kortikal atau
sub-kortikal ini akibat penyakit atau obat-obatan dapat menurunkan kemampuan untuk menunda
berkemih.5

Bila dikehendaki untuk berkemih, rangsang dari kortikal diteruskan lewat medulla spinalis
dan persyarafan pelvis ke otot-otot detrusor. Kerja kolinergik dari persyarafan pelvis
mengakibatkan kontraksi dari otot-otot detrusor. Gangguan pada aktivitas kolinergik dari
persyarafan pelvis ini berakibat penurunan kontraktilitas otot-otot detrusor. Otot-otot ini juga
mempunyai reseptor untuk prostaglandin, sehingga obat-obat yang menghambat prostaglandin
dapat mengganggu kerja detrusor. Kontraksi kandung kemih juga tergantung pada kerja ion
kalsium, sehingga penghambat kalsium juga dapat mengganggu kontraksi kandung kemih.5

Inervasi dari sfingter interna dan eksterna juga kompleks. Aktivitas alfa adrenergik
menyebabkan sfingter urethra berkontraksi. Karenanya obat-obat yang bersifat alfa adrenergik
agonis, misalnya pseudoefedrin, dapat memperkuat kontraksi sfingter. Sedangkan obat-obat
penghambat alfa misalnya terazozin dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi beta
adrenergik menyebabkan relaksasi sfingter urethra dan mengakibatkan kegagalan aktivitas
kontraksi dari obat-obat alfa adrenergik.5
Komponen lain dari mekanisme sfingter adalah hubungan anatomik antara urethra dengan
kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter yang terkendali membutuhkan sudut yang
tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter yang normal juga tergantung dari posisi
yang tepat dari urethra, sehingga peningkatan tekanan intra-abdominal dapat secara efektif
diteruskan ke urethra. Bila urethra dalam posisi yang tepat, urin tidak akan keluar dengan mengejan,
batuk, dan lain-lain gerakan yang meningkatkan tekanan dalam perut.5
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa urin
dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung meningkat dan kontraksi otot-otot
kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksi-kontraksi involunter ini
ditemukan pada 40-75% orang lanjut usia yang mengalarni inkontinensia.
Pada wanita, menjadi lanjut usia juga berakibat menurunnya tahanan pada uretra dan rnuara
kandung kemih. Ini berkenaan dengan berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya jaringan otot-
otot panggul karena proses melahirkan. Menurunnya pengaruh dari estrogen pada lanjut usia, juga
dapat menyebabkan vaginitis atropi dan urethritis sehingga terjadi keluhan-keluhan disuri misalnya
polakisuri dan dapat mencetuskan inkontinensia.
Pada pria, pembesaran kelenjar prostat pada saat lanjut usia, mempunyai potensi untuk
menyebabkan inkontinensia.

Komplikasi

- Infeksi saluran kemih: risiko infeksi saluran kemih lebih tinggi pada penderita inkontinensia
urin. Dapat juga terjadi pada pemasangan kateter.5
- Kelainan kulit: luka, ruam, atau infeksi kulit mungkin terjadi karena kulit menjadi basah
sepanjang waktu. Pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti alergi.
- Problem psikososial: problem ini dapat terjadi karena inkontinensia urin dapat mengubah
aktivitas yang biasa dilakukan (contohnya berhenti olahraga, hanya mau pergi ke tempat yang
sudah diketahui lokasi toiletnya), kehidupan sosial dan pekerjaan.5
- Dehidrasi: Ada kecenderungan untuk mengurangi minum dengan harapan mengurangi juga
kemungkinan inkontinensianya. Hal ini selain mengganggu keseimbangan cairan yang sudah
cenderung negatif pada lanjut usia, juga dapat mengakibatkan menurunnya kapasitas kandung
kemih, dan selanjutnya akan memperberat keluhan inkontinensianya.5

Penatalaksanaan
Pengelolaan inkontinensia urin akan cukup baik hasilnya bila semua faktor yang berpengaruh
diperhatikan, dan tipe dari inkontinensia dapat dikenal serta diagnosis penyebabnya diketahui.
Antara penatalaksanaan yang dilakukan adalah:6
 Teknik latihan perilaku
- Latihan kandung kemih
Latihan ini mengikuti jadwal yang ketat untuk ke kamar kecil/berkemih. Jadwal
dimulai dengan ke kamar kecil tiap dua jam, dan waktunya makin ditingkatkan. Makin
lama waktu yang dicapai untuk berkemih, makin memberikan peningkatan control
terhadap kandung kemih. Latihan ini terbukti efektif untuk inkontinensia tipe stress
maupun urgensi.
- Latihan menahan dorongan untuk berkemih
Untuk mendapatkan control atas kandung kemih, cara berikut dapat dipakai saat datang
dorongon berkemih:
 Berdiri tenang atau duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan. Tindakan ini
mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih.
 Tarik nafas teratur dan relaks.
 Kontraksikan otot-otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu menutuo
urethra dan menenangkan kandung kemih.
 Alihkan pikiran ke hal lain, untuk menjauhkan perhatian dari dorongan berkemih.
 Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum jadwal berkemih.
- Latihan otot dasar panggul
Latihan otot-otot pelvis memperkuat otot-otot yang lemah sekitar kandung kemih.
Untuk identifikasi otot yang tepat, bayangkan kita sedang menahan untuk tidak flatus.
Otot yang dipakai untuk menahan flatus adalah otot yang ingin kita latih.
 Lakukan latihan otot dasar panggul beberapa kali sehari sekitar sepuluh menit.
 Praktekkan setiap waktu dan tempat. Paling baik saat berbaring di tempat tidur.
Setelah menguasai metodenya, lakukan juga saat duduk dan berdiri.
 Jangan memakai otot-otot perut, paha dan betis saat latihan dan bernafaslah seperti
biasa.

 Obat-obatan
Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah akut sebagai pemicu
timbulnya inkontinensia urin telah diatasi dan berbagai upaya bersifat nonfarmakologis
telah dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi masalah inkontinensia tersebut.
Pemberian obat pada inkontinensia urin disesuaikan dengan tipe inkontinensia urinnya.
Obat-obat yang bisa digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah:4-6

Jenis obat Mekanisme Tipe Efek samping Nama obat dan


inkontinensia Dosis
Antikoligernik Meningkatkan Urgensi atau Mulut kering, Oksibutinin: 2,5-5
dan kapasitas stress dengan penglihatan mg tid
antispasmodic vesika urinaria instabilitas kabur,
dan detrusor atau peningkatan Tolterodine: 2 mg
mengurangi hiperrefleksia TIO, konstipasi bid
involunter dan delirium.
Dicyclomine: 10 –
vesika urinaria
20 mg
Imipramine: 10 -50
mg tid

α-Adrenergik Meningkatkan Tipe stress Sakit kepala, Pseudofedrin: 15 –


agonis kontraksi otot dengan takikardi, 30 mg tid
polos urethra kelemahan peningkatan
sphinter tekanan darah Phenylpropanolamin
e: 75 mg bid
Imipramine: 10 – 50
mg tid

Estrogen agonis Meningkatkan Tipe stress, Kanker Oral: 0,625 mg/hr


aliran darah tipe urgensi endometrial,
periurethra yang peningkatan Topical: 0,5 – 1,0
berhubungan tekanan darah, gr/aplikasi
dengan batu saluran
vaginitis atropi kemih

Kolinergik Menstimulasi Tipe luapan Bradikardi, Bethanechol: 10 –


agonis kontraksi atau overflow hipotensi, 30 mg tid
vesica urinaria dengan vesika bronkokontriks
urinaria atonik i, sekresi asam
lambung

α-Adrenergik Merelaksasi Tipe luapan Hipotensi Tetrasozine: 1 – 10


antagonis otot polos dan urgensi postural mg/hr
urethra dan yang
kapsul prostat berhubungan
dengan
pembesaran
prostat

Tabel 1: Obat-obat untuk mengobati inkontinensia urin.


 Pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk masalah inkontinensia yang tidak berhasil
diatasi dengan teknik latihan perilaku maupun obat-obatan. Dapat juga merupakan pilihan
penderita sendiri. Beberapa tindakan pembedahan antara lain adalah spincterectomi,
operasi prostat atau operasi pada prolaps rahim.5,7
 Modalitas lain
Selain itu, terdapat produk-produk untuk inkontinesia ini dapat diberikan sebagai
pelengkap terapi untuk meningkatkan kenyamanan dan percaya diri. Contoh-contoh
produk tersedia antara lain5-6
- Penyerap: Menyerap dan menampung bocoran urin.
- Stimulasi elektrik: Merangsang syaraf pudendus, mengakibatkan kontaksi maksimal
otot dasar panggul dan relaksasi otot detrusor.
- Pessarium: Mengurangi/mencegah prolaps rahim.
- Klem penis: Untuk penderita sehabis operasi prostat dan masih ada kebocoran urin saat
aktifitas. Klem dibuka saat mau berkemih dan waktu tidur.
- Kateter: Ada tiga macam cara kateterisasi pada inkontinensia urin
 Kateterisasi luar
 Kateterisasi intermiten
 Kateterisasi secar menetap

Prognosis
Prognosis inkontinensia urin cukup baik bila diketahui secara cepat dan tepat penyebabnya
sehingga dapat diberikan terapi yang baik. Jarang ada kasus inkontinensia urin yang berujung pada
komplikasi seperti gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian. Terapi sangat penting dalam
mengatasi hal ini terutama terapi non-farmakologis sebagai sarana lapis pertama untuk mengatasi
inkontinensia urin yang terjadi.3
KESIMPULAN
Inkontinensia urin adalah gejala yang umum pada golongan lanjut usia. Prevalensinya meningkat
dengan bertambahnya umur, lebih banyak pada wanita dan penderita lanjut usia yang dirawat di
bangsal akut. Definisi inkontinensia adalah pengeluaran urin atau feces tanpa disadari dalam
jumlah yang cukup, mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau social. Menjadi lanjut usia
tidak menyebabkan inkontinensia tapi perubahan berkaitan dengan proses lanjut usia dan keadaan
patologik yang sering terjadi pada lansia mendokong terjadinya inkontinensia. Gejala ini adalah
masalah yang dapat dirawat dan dapat dilakukan rawat jalan dengan perawat yang khusus bagi
penderita yang mempunyai kasus berkomplikasi. Inkontinensia urin mempunyai kemungkinan
besar untuk disembuhkan, terutama pada penderita dengan mobilitas dan status mental yang cukup
baik. Bahkan bila tidak dapat diobati sempurna, inkontinensia selalu dapat diupayakan lebih baik,
sehingga kualitas hidup penderita meningkat dan meringankan beban yang merawat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Beers M.H., Berkow R., Bogin M.R., Fletcher A.J. Incontinence urinary. The Merck
Manual of Geriatrics. Merck & Co., Inc. Whitehouse Station, N.J., U.S.A; 2009.
2. Welsby P.D., Dany F., Jaya D.P. Anamnesis dan pemeriksaan fisik geriatri. Pemeriksaan
Fisik dan Anamnesis Klinis. (Clinical History Taking and Examination). Buku Kedokteran
ECG; 2010.
3. Gleadle J. Gejala saluran kemih. Dalam: At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007.
4. Geri M. Obstetri & ginekologi: panduan praktik. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 2009.
5. Setiati S, Pramantara DP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
6. Tanagho E.A, McAninch J.W. Urodynamic studies. Smith’s General Urology. 16th ed.
McGraw Hill. New York; 2004
7. Urologic Conditions. Diunduh dari http://urologyhealth.org/urologic-conditions/urinary-
incontinence/treatment pada 19 Januari 2017.

Вам также может понравиться