Вы находитесь на странице: 1из 15

ASPEK LEGAL

DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN

Disusun Oleh :

1. Linda Safitri (1614301043)

2. Iis Komang Reni (1614301044)

3. Rizqo Aditya Utama (1614301045)

4. Mega Meilisa Manara (1614301046)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK


KESEHATAN KEMENKES TANJUNGKARANG JURUSAN KEPERAWATAN
TANJUNGKARANG PRODI DIV KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

TAHUN AKADEMIK 2016/2017


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji hanya milik ALLAH SWT, yang senantiasa memberika
nikmatnya yang salah satunya nikmat kesehatan dan kemauan sehingga kami telah selesai
menggarap makalah yang berjudul “Aspek Legal Dalam Praktik Keperawatan” .

Sholawat Serta salam Semoga senantiasa tertuju kepada Nabi ALLAH ,Muhammad
SAW. Kepada keluarganya, Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, dan orang-orang yang
senantiasa istiqomah dalam menjalankan sunah Beliau.

Alhamdulillah, didalam makalah ini pembaca akan menemukan pengentian mengenai


aspek legal terkkhususnya dalam praktik keperawatan, beserta landasan hukumnya. Adapun
pembaca dapat menemukan pengertian mengenai malpraktek, dan apa saja yang harus kita
lakukan untuk menghadapi masalah tersebut. Kami pun menuliskan upaya-upaya apa saja
yang mungkin dapat memperkecil kemungkinan terjadinya malpraktek.

Semoga makalah ini menjadi manfaat untuk pembaca.

Bandar Lampung, Mei 2017

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ..................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN I ASPEK LEGAL

A. Pengertian Aspek Legal ............................................................ 3


B. Dasar Hukum ............................................................................. 4

BAB III PEMBAHASAN II MAPRAKTEK

A. Definisi Malpraktek................................................................... 6
B. Pembuktian Malpraktek ........................................................... 6
C. Menghadapi Tuntutan Malpraktek ......................................... 8
D. Upaya Mencegah Malpraktek .................................................. 9
E. Menghadapi Tuntutan Hukum ................................................ 10

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 15
B. Saran ........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, perawat menginginkan perubahan
mendasar dalam kegiatan profesinya. Dulu membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi
bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan
keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan. Tuntutan
perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk hubungan perawat dengan
manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik keperawatan dilihat sebagai praktik profesi,
maka harus ada otoritas atau kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa.
Karena diberi kewenangan maka perawat bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab
terhadap tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.Tuntutan perubahan paradigma tersebut
tidak mencerminkan kondisi dilapangan yangsebenarnya, hal ini dibuktikan banyak perawat
di berbagai daerah mengeluhkan mengenai semaraknya razia terhadap praktik perawat sejak
pemberlakuan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pelayanan
keperawatan diberbagai rumah sakit belum mencerminkan praktik pelayanan profesional.
Metoda pemberian asuhan keperawatan yang dilaksanakan belum sepenuhnya berorientasi
pada upaya pemenuhan kebutuhan klien, melainkan lebih berorientasi pada pelaksanaan tugas
rutin seorang perawat.
Nursing di Indonesia yang tergolong masih muda dibandingkan dengan di negara
Barat memang tertinggal jauh. Bahkan di antara negara-negara Asia sekalipun. Meskipun
demikian, geliat perubahan yang dimulai sejak tujuh tahun terakhir di tanah air merupakan
upaya positif yang sudah pasti memerlukan dukungan semua pihak. Tetapi yang lebih penting
adalah dukungan pemikiran-pemikiran kritis terutama dari nurses itu sendiri. Pola pikir kritis
ini merupakan tindakan yang mendasari evidence-based practice dunia nursingyang
memerlukan proses pembuktian sebagaimana proses riset ilmiah. Pola pikir tersebut
bukan berarti mengharuskan setiap individu menjadi peneliti/researcher. Sebaliknya, sebagai
landasan dalam praktek nursing sehari-hari. Dengan demikian kemampuan merefleksikan
kenyataan praktis lapangan dengan dasar ilmu nursing ataupun disiplin ilmu lainnya, baik
dalam nursing proses kepada pasien ataupun dalammelaksanakan program pendidikan
nursing, sudah seharusnya menyatu dalam intelektualitas Nurses.

1
B. Rumusan Masalah
1. Makna Aspek Legal dalam praktek keperawatan?
2. Bagaimana cara pembuktian malpraktek?
3. Bagaimana cara menghadapai tuntutan malpraktek?
4. Apa saja upaya pencegahan dalam terjadinya malpraktek?
5. Upaya menghadapi tuntutan hukum?

C. Tujuan
1. Pembaca Mengetahui Makna Aspek Legal dalam praktek keperawatan?
2. Pembaca Mengetahui Bagaimana cara pembuktian malpraktek?
3. Pembaca Mengetahui Bagaimana cara menghadapai tuntutan malpraktek?
4. Pembaca Mengetahui Apa saja upaya pencegahan dalam terjadinya malpraktek?
5. Pembaca Mengetahui Upaya menghadapi tuntutan hukum?

D. Manfaat Penulisan
Alhamdulillah dalam terbentuknya makalah mengenai aspek legal dalam praktek
keperawatan ini, sangat diharapkan setelah pembaca membaca dan memahami atas apa yang
tulis pada makalah ini pembaca dapat mengambil tali kesimpulan dan kemudian
menerapkannya pada praktek keperewatannya atau tenaga kesehatan lainnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN ASPEK LEGAL

A. Pengertian Aspek Legal Keperawatan


Aspek Legal Keperawatan adalah Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan
pelayanan, termasuk hak dan kewajibannya. Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik
sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Perawat sebagai profesi dan bagian integral dari pelayanan kesehatan tidak saja
membutuhkan kesabaran. Kemampuannya untuk ikut mengatasi masalah-masalah kesehatan
tentu harus juga bisa diandalkan. Untuk mewujudkan keperawatan sebagai profesi yang utuh,
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Setiap perawat harus mempunyai ”body of
knowledge” yang spesifik, memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui praktik
keprofesian yang didasari motivasi altruistik, mempunyai standar kompetensi dan kode etik
profesi. Para praktisi dipersiapkan melalui pendidikan khusus pada jenjang pendidikan tinggi.
International Council of Nurses (ICN) mengeluarkan kerangka kerja kompetensi bagi
perawat yang mencakup tiga bidang, yaitu (1)bidang Professional, Ethical and Legal Practice,
(2)bidang Care Provision and Management (3)dan bidang Professional Development. Profesi
pada dasarnya memiliki tiga syarat utama, yaitu kompetensi yang diperoleh melalui pelatihan
yang ekstensif, komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan
memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat.
Sikap yang terlihat pada profesionalisme adalah profesional yang bertanggung jawab
dalam arti sikap dan pelaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi
maupun masyarakat luas. Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu
sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu,
sikap yang etis sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya dan khusus untuk
profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Kemampuan atau
kompetensi, diperoleh seorang profesional dari pendidikan atau pelatihannya, sedangkan
kewenangan diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang tersebut melalui
pemberian izin.
Aspek legal Keperawatan meliputi Kewenangan berkaitan dengan izin melaksanakan
praktik profesi. Kewenangan memiliki dua aspek, yakni kewenangan material dan
kewenangan formal. Kewenangan material diperoleh sejak seseorang memiliki kompetensi
3
dan kemudian teregistrasi (registered nurse) yang disebut Surat Ijin Perawat atau SIP. Aspek
legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan kewenangan
kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat Ijin Kerja (SIK)
bila bekerja di dalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara
perorangan atau berkelompok.
Kewenangan itu, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan. Namun,
memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan yang
didapat secara berjenjang, kewenangan yang diberikan juga berjenjang. Kompetensi dalam
keperawatan berarti kemampuan khusus perawat dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat
minimal yang harus dilampaui. Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat
umum saja yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di
bidang kesehatan dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti
tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi masing-masing.Aspek
Legal keperawatan tidak terlepas dari Undang-Undang dan Peraturan tentang praktek
Keperawatan.

B. Dasar Hukum
Registrasi dan Praktik Keperawatan Sesuai KEPMENKES NO. 1239 TAHUN
2001Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :
 Pasal 32 (ayat 4) : Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokterandan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyaikeahlian dan kewenangan untuk itu.
 Pasal 153 (ayat 1 dan 2) : (ayat 1) :”Tenaga kesehatan berhak memperoleh
perlindunganhukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”. Sedangkan
(ayat 2) : “tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien.”

Pada Kepmenkes No.1239 tahun 2001 (pasal 16), dalam melaksanakan kewenangannya
perawat berkewajiban untuk :
1. Menghormati hak pasien
2. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
3. Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4. Memberikan informasi
5. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
6. Melakukan catatan perawatan dengan baik
4
Dalam Kepmenkes No. 1239 Tahun 2001 pasal 38, dijelaskan bahwa perawat yang
sengaja :
1. Melakukan praktik keperawatan tanpa izin
2. Melakukan praktik keperawatan tanpa mendapat pengakuan / adaptasi
3. Melakukan praktik keperawatan tidak sesuai dengan ketentuan pasal 16
4. Tidak melaksanakan kewajiban sesuai pasal 17
Berdasarkan ketentuan pasal 86 Undang-Undang No. 23 Tahun 23 1992 tentang
kesehatan, barang siapa dengan sengaja:
1. Melakukan upaya kesehatan tanpa izin sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4 ayat 1
2. Melakukan upaya kesehatan tanpa melakukanj adaptasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5ayat 1
3. Melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang
bersangkutan sebagaimana dmaksud dalam pasal 21 ayat 1
4. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1
5. Dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

5
BAB III
PEMBAHASAN MALPRAKTEK
A. Definisi Malpraktek
Istilah malpraktik sendiri telah diidentikkan dengan malpraktik yang dilakukan dalam
bidang medis. Hal ini telah terjadi di mana-mana, baik di Indonesia maupun di luar negri.
Namun sebenarnya, kalau dilihat secara harafiah, tidak tepat untuk mengarahkan istilah
malpraktik untuk bidang kesehatan saja. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hal ini telah
menjadi lumrah dalam masyarakat umum, sehingga banyak ahli yang mengartikan malpraktik
dengan selalu menghubungkannya dengan pihak atau petugas kesehatan.
Secara harafiah, malpraktik berasal dari kata “mal” yang mempunyai arti “salah”
sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Sedangkan difinisi malpraktik adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di
lingkungan wilayah yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak
diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara
tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan
dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.

B. Pembuktian Mal Praktik


Malpraktik dapat masuk ke ranah hukum pidana bila :
 Syarat sikap batin dokter : sengaja atau tidaknya seorang dokter melakukan
malpraktik medic.
 Syarat perlakuan medis : perlakuan medis yang menyimpang atau tidak sesuai
prosedur standar.
 Syarat mengenai hal akibat : timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien
6
Namun, ada juga yang disebut rahasia medic yang diatur dalam pasal 322 KUHP, yang
menerangkan bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus
rupiah. Menurut perumusan pasal 224 KUHP sesorang yang dipanggil oleh Pengadilan
sebagai saksi ahli harus datang memenuhi panggilan menghadap untuk memberikan
keterangan tentang sesuatu yang terletak di bidang keahliannya. Ini adalah kewajiban hukum
bagi setiap orang termasuk juga profesi kedokteran.
Dalam perkembangan pelayanan medis ternyata memiliki berbagai faktor yang turut
mempengaruhi sehingga telah mengakibatkan hubungan antara dokter dan pasien semakin
tidak pribadi. Misalnya, semakin banyak pasien menunggu dan dokter mengejar waktu untuk
berpraktek di tempat lain atau dengan semakin banyak peralatan diagnosis (penentuan jenis
penyakit) dan terapeutik yang digunakan sehingga tidak lagi diperlukan penanganan secara
langsung oleh dokter sendiri sehingga dokter sering lalai dan mempercayakan seluruhnya
kepada peralatan medis tersebut.
Sampai sekarang, hukum kedokteran di indonesia belum dapat dirumuskan secara
mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktek belum bisa dirumuskan, sehingga isi
pengertian batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam bergantung pada sisi mana
orang memandangnya[1]. Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran mengandung kalimat yang mengarah pada kesalahan praktek kedokteran
yaitu ”setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Aturan ini hanya memberi dasar
hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat tindakan yang
membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk menutut ganti rugi atas malpraktek
kedoteran. Pasal itu hanya mempunyai sudut hukum administrasi praktik kedokteran.
Pada umunya dalam pembuktian malpraktek / kelalaian ada dua cara yaitu :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan
haruslah bertindak berdasarkan 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati
dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

7
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari
apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
Tenaga kesehatan meninjau apakah tindakan yang telah ia berika menjadi
penyebab langsung dan pertama dalam terjadinya mal praktekk
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita, oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah
dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat diberikan sebagai dasar
menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum,
maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat
(pasien).

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta
yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak
ada contributory negligence.

C. Menghadapi Tuntutan Mal Praktek


Dari definisi Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956 malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian
tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya
adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi, apakah bukan merupakan resiko
yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan
dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian
jenis daya upaya menuju lebih baik (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian
akan hasil (resultaat verbintenis).
8
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga kesehatan dari pasien yang menderita
radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab
hukum kepada tenaga kesehatan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis
bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga
kesehatan dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ? Hal-hal inilah
yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek.
Apabila tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah
merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah
melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut
telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a) Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b) Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga kesehatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau
kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

D. Upaya Pencegahan Mal Praktek


Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena
adanya malpraktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-
hati, yakni:
1. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya bukan perjanjian akan berhasil
2. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter
5. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
6. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.

9
E. Menghadapi Tuntunan Hukum
Sama seperti kasus sebelumnya, Apabila tuduhan kepada tenaga kesehatan
merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :
1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment),atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
2. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan
jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas
derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil
malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara
sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan
kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan
kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan tenaga perawatan.
Dengan demikian, kesehatan harus membuktikan hal-hal di atas agar dapat terlepas dari
tuntutan.

10
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Aspek legal keperawatan adalah suatu aturan keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan
pelayanan, termasuk hak dan kewajibannya. Aspek legal keperawatan meliputi kewenangan
berkaitan dengan izin melaksanakan praktik profesi, sehingga tidak terlepas dari Undang-
Undang dan Peraturan tentang praktek Keperawatan. Fungsi hukum dari aspek legal dalam
praktik keperawatan merupakan suatu pedoman atau kerangka dalam menjalankan praktik
keperawatan.
Tanggung jawab (responsibilitas) adalah eksekusi terhadap tugas- tugas yang
berhubungandengan peran tertentu dari perawat. Tanggung gugat (akuntabilitas) adalah
mempertanggungjawabkan perilaku dan hasil ± hasilnya termasuk dlam lingkup peran
profesional seseorang sebagaimana tercermin dalam laporan pendidik secara tertulis tentang
perilaku tersebut dan hasil ± hasilnya. Terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi, sesama
karyawan dan masyarakat.
Dengan semakin banyaknya kasus malpraktik, dapat dikatakan bahwa kualitas dunia
kesehatan masih belum cukup baik, bahkan perkembangan hukum yang berkaitan dengan
dunia kesehatanpun masih belum cukup untuk memenuhi harapan. Namun, aturan-aturan
yang ada dan fasilitas yang disediakan untuk dunia kesehatan tidak dapat disalahkan hanya
karena semakin banyaknya kasus malpraktik. Kita sebagai orang yang menggunakan aturan
dan fasilitaas itulah yang harus lebih meningkatkan SDM.

B. Saran

Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan
harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Apa lagi bila masalah
kesehatan itu memang memerlukan rujukan. Setiap etugas kesehatan harus memperhatikan
hal sederhana dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tetapi juga, seorang pasien harus mau
jujur secara terbuka saat menyampaikan masalah kesehatannya kepada petugas kesehatan.
Kita harus bias membedakan malpraktik dan resiko medis serta kelalaian petugas kesehatan
dan harus lebih mengerti hukum kesehatan agar tidak hanya asal mengajukan tuntutan kepada
pengadilan mengenai masalah malpraktik.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://rizsa82.wordpress.com/2009/05/20/penanganan-kasus-malpraktek-medis/

https://thexqnelson.wordpress.com/2012/11/30/pembuktian-malpraktik-medik/

http://asrultoosilajara.blogspot.co.id/2014/01/asrulmakalah-upaya-pencegahan-mal.html

http://semuagratisaja.blogspot.co.id/2014/11/makalah-tentang-malpraktek.html

12

Вам также может понравиться