Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEJANG DEMAM
1. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C, dengan
metode pengukuran suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.1
Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun
jarang sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3
bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan
usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.2 Bila
ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang
demam.3 Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 4 minggu (1 bulan) tidak
termasuk kejang demam ini melainkan termasuk ke kejang neonatus.2 Kejang demam
harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.2
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis yang
berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai susunan
saraf pusat.2,3

2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.
Insiden di negara- negara barat berkisar antara 3-5%. di Asia berkisar antara 4,47 % di
Singapura sampai 9,9% di Jepang. Di Inonesia belum ada data secara nasional, 80%
diantaranya adalah kejang demam simpleks. Sedikit lebih banyak terjadi pada laki- laki
dibandingkan perempuan.1,2

3. KLASIFIKASI
Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua :1,2
a. Kejang Demam Sederhana ( Simple Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80 %
diantara seluruh kejang demam.
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :
1.) Kejang lama > 15 menit
2.) Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
3.) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.2,4
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau
kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau
lebih dalam 1 hari, dan di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16% anak yang mengalami kejang demam.2

4. FAKTOR RISIKO
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu
terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan
kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan
mengalami satu kali rekurensi atau lebih dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali
rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, usia dibawah 18
bulan, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah
saat kejang, riwayat keluarga kejang demam dan riwayat keluarga epilepsi. 4,5
Faktor risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari ialah adanya gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga,
lamanya demam saat awitan kejang dan lebih dari satu kali kejang demam kompleks. 4,5

5. PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida
(Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran sel dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-KATPase yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.6
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran
tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 oC sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 oC atau
lebih.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang
berlangsung singkat biasanya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa.
Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai gejala
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
makin meningkat disebkan oleh meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang
lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
“matang” dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang
demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga
terjadi epilepsi.6

6. MANIFESTASI KLINIS
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik – klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang
kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit,
gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja
diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya
kebiruan.1,6,7
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan
terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung
singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang
yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan
kerusakan permanen dari otak.3

7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
1.) Adanya kejang , jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.
2.) Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga.
3.) Singkirkan penyebab kejang lainnya.
b. Pemeriksaan fisik : kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsal meningeal, tanda
peningkatan tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP.5
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi
misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B).2
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat
ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia
<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat
mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang
demam, kecuali apabila bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada
kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang
membutuhkan evaluasi lebih lanju.2

4. Pencitraan
Foto X- ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan
(CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti ; kelainan neurologik fokal yang
menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papil edema.4

8. DIAGNOSIS BANDING
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya
meningitis atau ensefalitis. Pungsi Lumbal teriondikasi bila ada kecurigaan klinis
meningitis. Adanya sumber infeksi seperti ototis media tidak menyingkirkan meningitis
dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu pertimbangan pungsi
lumbal.1

9. TATALAKSANA
a. Penatalaksanaan saat kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena adalah 0,2
-0,5 mg/kg perlahan –lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh
orang tua atau dirumah adalah diazepam rektal. Diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg
dan 10 mg untuk berat badan >12 Kg,4
Bila setelah pemberian Diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian Diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan Diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila
kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif. Bila kejang berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung
dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
resikonya.2,4

b. Pemberian obat pada saat demam


1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). Meskipun
demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.1

2. Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang
demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
a. Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
b. Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
c. Usia <6 bulan
d. Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
e. Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.1,2
c. Pemberian Obat Rumat
1. Indikasi Pemberian obat Rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek (level of evidence 3, derajat rekomendasi D).

Indikasi pengobatan rumat:

1. Kejang fokal

2. Kejang lama >15 menit

3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,


misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Keterangan :

 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,


bukan merupakan indikasi pengobatan rumat.

 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak


mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.

 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi


untuk pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.1

2. Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat rekomendasi
B).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun,
asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat
adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari
dalam 1-2 dosis.
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam.2

10. EDUKASI PADA ORANG TUA


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:1,3,4

a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik


b. Memberitahukan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.
c. Bila anak tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
d. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam
mulut.
e. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
f. Tetap bersama pasien selama dan sesudah kejang.
g. Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
h. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih .2
11. VAKSINASI
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada
anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi
sangat jarang. Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam
terkait vaksin (vaccine-associated febrile seizure) dibandingkan dengan kejang
demam tidak terkait vaksin (non vaccine-associated febrile seizure) adalah 1,6
(IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang demam pascavaksinasi DPT
adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan setelah vaksin
MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan
pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis.2

12. PROGNOSIS
a. Kecacatan atau kelainan neurologis

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan


sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.

b. Kemungkinan berulangnya kejang demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:

1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga

2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang

4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang

5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang


demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.

c. Faktor risiko terjadinya epilepsi

Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:

1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang


demam pertama

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung

4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun. Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada
kejang demam.

d. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana
dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.2

B. ANTROPOMETRI

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang
gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum
digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan
jumlah air dalam tubuh.8

A. PEMANTAUAN PERTUMBUHAN ANAK

Pertumbuhan pada anak dapat dipantau dengan kurva pertumbuhan dari WHO untuk anak
berusia 0-5 tahun, sedangkan kurva dari centre for disease control ( CDC) digunakan untuk
usia diatas 5 tahun dan selanjutnya.9 Pada kuva WHO digunakan penyimpangan ±2SD untuk
mendefinisikan penyimpangan dalam pertumbuhan. Angka 0 menunjukkan tinggi badan atau
berat badan rerata dari anak –anak untuk usianya.

Pertumbuhan merupakan keadaan yang dinamis, sehingga untuk mendefinisikan gangguan


pertumbuhan diperlukan lebih dari satu kali pengamatan. Penting juga untuk melihat proporsi
tinggi badan dan berat badan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kurva
pertumbuhan yang dikenalkan oleh WHO atau CDC sesuai dengan usia anak.

 Berat badan menurut Umur ( BB/U)


Indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status
gizi. Berat badan menurut umur tidak sensitif untuk mengetahui apakah seseorang mengalami
kekurangan gizi masa lalu atau masa kini. Berat badan menurut umur merefleksikan status
gizi masa lalu maupun masa kini.

 Tinggi badan menurut Umur ( TB/U )


Indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton bengoa ( 1973) menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau juga lebih erat
kaitannya dengan status sosial ekonomi

 Berat badan menurut Tinggi Badan ( BB/ TB)


Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan
tertentu. Jelliffe pada tahun 1966 memperkirakan indeks ini untuk mengidentifikasi status
gizi. Indeks BB/ TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini
(sekarang). Indeks BB/ TB merupakan indeks yang independen terhadap umur.

B. Z SCORE
Merupakan indeks antropometri yang digunakan secara international untuk menentukan
status gizi dan pertumbuhan yang dideskripsikan sebagai satuan standar deviasi ( SD)
populasi rujukan. Umumnya digunakan indikator panjang atau tinggi badan anak.

Ta
bel 1.
Amba
ng
Batas
Status
Gizi
Anak
Berda
sarka
n
Indek
s (
Keme
nkes,
2010)

C. TATALAKSANA GIZI KURANG

Nutrisi berperan penting dalam penyembuhan penyakit. Kesalahan pengaturan diet dapat
memperlambat penyembuhan penyakit. Dengan nutrisi akan memberikan makanan-makanan
tinggi kalori, protein dan cukup vitamin-mineral untuk mencapai status gizi optimal. Program
pemulihan anak balita gizi buruk atau gizi kurang harus dilakukan secara terpadu. Perawatan
fase rehabilitasi, modifikasi makanan keluarga dengan energy dan protein sebanding, porsi
kecil, sering dan padat gizi, cukup minyak dan protein.
Pemberian makanan tambahan ditujukan untuk sasaran kelompok rawan gizi yang
meliputi balita kurus 6-59 bulan maupun anak sekolah dasar/MI dengan kategori kurus yaitu
balita dan anak sekolah yang berdsarkan hasil pengukuran berat badan menurut panjang
badan/ tinggi badan lebih kecil dari <-2 SD. Adapun jenis makanan tambahan yang dapat
diberikan salah satunya dalam bentuk biskuit dengan formulasi khusus yang difortifikasi
dengan vitamin an mineral yang diberikan pada anak untuk kategori gizi kurang / kurus. Tiap
kemasan terdiri dari 4 keping/ 40 gram makanan tambahan mengandung minimum 160
kalori, 3,2-4,8 gram protein, 4-7,2 gram lemak. Makanan tambahan juga diperkaya dengan 10
macam vitamin ( A,D,E,K,B1,B2,B3,B6,B12, Asam Folat) dan 7 macam mineral ( besi,
ioium,seng, kalsium, natrium, selenium, fosfor).10
Prinsip pemberian makanan tambahan adalah untuk memenuhi kecukupan gizi agar
mencapai berat badan sesuai umur. Diberikan 12 keping ( 3 bungkus) per harinya diikuti
dengan pemantauan berat badan yang dilakukan tiap bulan di posyandu. Bila sudah mencapai
status gizi baik, pemberian makanan tambahan dihentikan dan selanjutnya dilanjutkan dengan
mengkonsumsi makanan keluarga gizi seimbang.10
Selain itu diberikan juga asupan makanan sesuai dengan kebutuhan kalori anak. Pada
tahap rehabilitasi energi yang diperlukan adalah 250- 220 Kkal/KgBB/ hari, protein 4-6 g/
KgBB/ hari, dan kebutuhan cairan 150-200 ml/ KgBB/ hari.2

Вам также может понравиться