Вы находитесь на странице: 1из 22

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TN. R.S DENGAN


GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN “BENIGNA
PROSTAT HIPERPLASIA” DI RUANG DAHLIA
RSUD dr. T.C. HILLERS
MAUMERE

Periode Praktikum Tanggal 12 Maret s/d 04 Mei 2018

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners


Departemen Keperawatan Medikal Bedah

OLEH :

1. FRANSISKUS NANGGAR, S.Kep 6. HILDEGARDIS DEVANTI


2. ALFONS E. FALENTINO DHAE, S.Kep
MODO, S.Kep 7. STEPHANUS D. MARINO
3. MARIA M. FERNANDES, S.Kep COLA, S.Kep
4. METRIANA ABUK, S.Kep 8. FRANSISKUS NATALIS LABA,
5. STEFANUS YODI JARO, S.Kep S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NUSA NIPA
MAUMERE
2018
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Benigna prostat hiperplasia adalah kelenjar prostat mengalami


pembesaran, memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutupi orifisium uretra (Brunner & suddarth, 2013).
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat. (Yuliana Elin,
2011).
Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat bila mengalami
pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo, 2011).
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang
menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung
kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin
(Aulawi, 2014).
Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat
hiperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang
berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan.

2. Anatomi dan fisiologi


a. Anatomi
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar
Bledder Neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang
dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar
4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus
medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2
buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus
posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus
medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini
tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti
susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada
posterior kelenjar prostat terdiri dari :
1) Kapsul anatomis.
Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler.
Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian :
a) Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.
b) Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatus zone.
c) Di sekitar uretra disebut periuretral gland.
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran
dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis
yang bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas
: zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan
zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus
kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah,
secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral
verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak
dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Anderson, 1999).

GAMBAR ANATOMI

Gambar 1. Sistem Reproduksi Pria


Gambar 2. Pembesaran Prostat
b. Fisiologis
Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan
pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.
Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat,
jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan
warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan
jaringan prostat yang terdesak berwarna putih keabu-abuan dan padat.
Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan
fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak
mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan
uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga
penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar
yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang
dapat mengakibatkan peradangan.

3. Etiologi
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti.
Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula
dianggap undangan (counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi
adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu
Hidayat dan Wim De Jong (2004) etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH) adalah :
a. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan
keseimbangan testosteron dan estrogen. Dengan meningkatnya usia pada
pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron
sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia
stroma.
b. Ketidakseimbangan endokrin.
c. Faktor umur / usia lanjut.
Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun.
d. Unknown / tidak diketahui secara pasti.
Penyebab BPH tidak diketahui secara pasti (idiopatik), tetapi biasanya
disebabkan oleh keadaan testis dan usia lanjut.
Menurut Alam (2014) penyebab pembesaran kelenjar prostat belum diketahui
secara pasti, tetapi hingga saat ini dianggap berhubungan dengan proses
penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama
testosteron. Para ahli berpendapat bahwa dihidrotestosteron yang memacu
pertumbuhan prostat seperti yang terjadi pada masa pubertas adalah penyebab
terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Hal lain yang dikaitkan dengan
gangguan ini adalah stres kronis, pola makan tinggi
lemak, tidak aktif olahraga dan seksual. Selain itu testis menghasilkan beberapa
hormon seks pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon
tersebut mencakup
testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenesdion. Testosteron sebagian
besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa- reduktase menjadi dihidrotestosteron
yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi
ereksi. Tugas lain dari testosteron adalah pemicu libido, pertumbuhan otot dan
mengatur doposit kalsium di tulang. Penurunan kadar testosteron telah
diketahui sebagai penyebab dari penurunan libida, massa otot, melemahnya
otot pada organ seksual dan kesulitan ereksi. Selain itu kadar testosteron yang
rendah juga dapat menyebabkan masalah lain yang tidak segera terlihat, yaitu
pembesaran kelenjar prostat. Dalam keadaan stres, tubuh memproduksi lebih
banyak steroid stres (karsitol) yang dapat menggeser produksi DHEA
(dehidroepianandrosteron). DHEA berfungsi mempertahankan kadar hormon
seks yang normal, termasuk testosteron. Stres kronis menyebabkan penuaan
dini dan penurunan fungsi testis pria. Kolesterol tinggi juga dapat mengganggu
keseimbangan hormonal dan menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Faktor lain adalah nikotin dan konitin ( produk pemecahan nikotin) yang
meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan
penurunan kadar testosteron. Begitu pula toksin lingkungan (zat kimia yang
banyak digunakan sebagai pestisida, deterjen atau limbah pabrik) dapat
merusak fungsi reproduksi pria.
4. Faktor resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
a. Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan
risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten
yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reductase, yang
memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat
b. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot
detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh
usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran
urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,
sehingga menimbulkan gejala. Testis menghasilkan beberapa hormon seks
pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut
mencakup testosteron, dihidrotestosteron dan androstenesdion. Testosteron
sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa-reduktase menjadi
dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran
sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron adalah pemacu
libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai
dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan
pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas.
c. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi
BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling
rendah.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko
terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin
banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko
anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH.
e. Obesitas
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual,
tipe bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang
membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel.
Beban di perut itulah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-
lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit lemak
berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis. Pada obesitas terjadi
peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH
melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat
proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada laki-laki
biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen.
f. Pola diet
Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh
pada fungsi reproduksi pria. Yang paling penting adalah seng, karena
defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan testis yang
selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron. Selain itu, makanan
tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan kadar testosteron.
Walaupun kolesterol merupakan bahan dasar untuk sintesis zat pregnolone
yang merupakan bahan baku DHEA (dehidroepianandrosteron) yang dapat
memproduksi testosteron, tetapi bila berlebihan tentunya akan terjadi
penumpukan lemak pada perut yang akan menekan otot-otot seksual dan
mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat
menurunkan kemampuan seksual. Akibat lebih lanjut adalah penurunan
produksi testosteron, yang nantinya mengganggu prostat.
g. Aktivitas Seksual
Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan
hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks berlebihan dan
alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami
peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke
prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan
kalenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak bersih akan
mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual
yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon
testosteron.
h. Kebiasaan merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan
aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar
testosteron.
i. Kebiasaan minum-minuman beralkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6
yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar
prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ
yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam
darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon testosteron kepada
DHT.
j. Olahraga
Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih
sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif
olahraga, kadar dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat
memperkecil risiko gangguan prostat. Selain itu, olahraga akan mengontrol
berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap stabil. Olahraga
yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan dapat
memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual.
k. Penyakit diabetes melitus
Laki-laki dengan penyakit diabetes melitus mempunyai resiko dua kali
terjadinya BPH dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal.

5. Patofisiologi dan patoflow


Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologi, anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular
pada prostat. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Menurut Purnomo (2011) pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine,
buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut, oleh pasien
disarankan sebagai keluhkan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower
urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian
bulibuli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal. Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat
benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat
uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang pada stroma
prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Menurut Mansjoer (2000) pembesaran prostat terjadi secara perlahan-
lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

6. Manifestasi klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi.
a. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
b. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih (Mansjoer, 2000)
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Sering buang air kecil, nocturia, pancaran urin lemah, urin yang keluar
menetes-netes pada bagian akhir masa buang air kecil. Gejala hiperplasia
prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan, obstruksi
dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus.
7. Pemeriksaan diagnostik
a. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus
diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih,
batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan prostate spesific
antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau
sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD
> 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA >
10 ng/ml
b. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan
biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka
fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup
Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt,
trombosit, BUN, kreatinin serum.
c. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume
BPH, menentukan derajat disfungsi buli– buli dan volume residu urine,
mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun yang tidak
berhubungan dengan BPH. Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:
1) Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli – buli.
2) Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter
belok–belok di vesika)
3) Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal,
mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli
(Mansjoer, 2000).
d. Pemeriksaan Diagnostik.
1) BUN / kreatinin : meningkat.
2) IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya
pembesaran prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih.
3) Sistogram : suatu gambaran rontgen dari kandung kemih yang diperoleh
melalui urografi intravena.
4) Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi
kandung kemih dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal.
5) Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan
kandung kemih.
6) Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur
sisa urine dan keadaan patologi seperti tumor atau batu (Sjamsuhidayat,
2004)

8. Penatalaksanaan
a. Modalitas terapi BPH adalah :
1) Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan
kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.
2) Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan
ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang
digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa
repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3) Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut
(100 ml).
b) Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih
setelah klien buang air kecil > 100 ml.
c) Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem
perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.
d) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
4) Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).
Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan
melalui uretra.Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi. Dibutuhkan
kateter foley setelah operasi.
b) Prostatektomi Suprapubis
Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter
suprapubis setelah operasi.
c) Prostatektomi Neuropubis
Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah. Tidak ada penyayatan
pada kandung kemih. Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan
drainase.

9. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena
urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin,
2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari pasien meliputi:
1) Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan,
penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki-laki
berusia lebih dari 50 tahun.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah
nyeri yang berhubungan dengan spasme buli-buli . pada saat mengkaji
keluhan utama perlu di perhatikan faktor yang mempergawat atau
meringankan nyeri (provocative), rasa nyeri yang dirasakan (quality),
lokasi (region), keganasan/intensitas (severity), waktu serangan (time).
3) Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower
Urinari Tract Symptoms (LUTS) antara lain : Hesitansi, pancar urin lemah,
intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi,
urgensi, frekuensi dan disuria.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan penyakit
sekarangperlu ditanyakan. Diabetes mellitus, Hipertensi, ppom, jantung
koroner, Dekompensasi kordis, dan gangguan faal darah dapat
memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah. Ketahui pula adanya
riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan dahulu.
5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti :
Hipertensi, Diabetes mellitus, Asma perlu digali.
6) Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta
hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat timbulnya perubahan
pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca
TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli-buli memerlukan
penggunaan anti spasmodic sesuai terapi dokter.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum
sebelum flatus.
c) Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin
dapat terjadi bila, terdapat bekuan darah pada keteter. Sedangkan
inkontinensia dapat terjadi setelah keteter dilepas.
d) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi keteter selama 6-24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan keteter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
e) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f) Pola kognitif perceptual
System penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba dan penghidu
tidak mengalami gangguan pasca TURP.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan
dan komplikasi pasca TURP.
h) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan dirumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat
kerja dan masyarakat.
i) Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi
retrograd.
j) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang
perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stress pada klien
dan mekanisme koping klien terhadap stress tersebut.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi keteter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan
ibadahnya.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem-sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali
bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal (6 jam) pasca
operasi harus dimonitor tiap jam dan di catat. Bila keadaan tetap stabil
interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam saekali.
2) Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan
pernafasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah
thorakal atau servikal.
3) Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek
Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infuse,
irigasi, peroral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
4) Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati
rasa karena pengaruh anasthesi SAB.
5) Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah. Kaji bising
usus dan adanya massa pada abdomen.
6) Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri. Retensi
dapat terjadi bila keteter tersumbat bekuaan darah. Jika terjadi retensi urin,
daerah supra simfiser akan terlihat menonjol, terasa ada balotemen jika
dipalpasi dan klien terasa ingin kencing. Residual urin dapat diperkirakan
dengan cara perkusi. Traksi keteter dilonggarkan selama 6-24 jam.
7) Sistem muskuloskeletal
Traksi keteter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatkan
keteter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme otot spincter
b. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi
sekunder
c. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran
ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.
d. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme
melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
penyakit, perawatannya.
f. Ancietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan,salah interpretasi
informasi, tidak mengenal sumber informasi

3. Fokus Intervensi Dan Rasional


a. Nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme otot spincter.
1) Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
2) Kriteria hasil:
Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
3) Intervensi:
a) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus
serta penghilang nyeri.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan atau keefektifan intervensi.
b) Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi).
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
keefektifan dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.
c) Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot.
d) Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok,
abdomen tegang).
Rasional : Untuk menurunkan spasme kandung kemih.
e) Atur posisipasiensenyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian
dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
f) Lakukan perawatan aseptik terapeutik.
Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi.
g) Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.
Rasional : Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya sebagian
kelenjar.

b. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi


sekunder.
1) Tujuan : Tidak terjadinya retensi urine
2) Kriteria hasil :
a) Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
b) Menunjukan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak
adanya tetesan/kelebihan.
3) Intervensi :
a) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan
teknik steril.
Rasional : Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat menyumbat
kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
b) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan
tertutup.
Rasional : Untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih.
c) Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit
lembab, takikardi, dispnea).
Rasional : Untuk mencegah komplikasi berlanjut.
d) Mempertahankan kesterilan sistem drainase cuci tangan sebelum dan
sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya
bekuan darah atau jaringan.
Rasional : Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi
nosokomial. Kewaspadaan umum melindungi pemberi perawatan dan
pasien.
e) Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai
hari kedua post operasi). Rasional : Cairan membantu mendistribusikan
obat-obatan ke seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila
aliran urine encer konstan dipertahankan melalui ginjal.
f) Ukur intake output cairan.
Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pasca
operasi.
g) Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada
kontra indikasi.
Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh
tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan
dipertahankan melalui ginjal.
h) Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3
minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.
Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya sendiri.

c. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran


ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.
1) Tujuan : Tidak terjadinya disfungsi seksual
2) Kriteria hasil :
Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan
aktivitas secara optimal.
3) Intervensi :
a) Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan
dengan perubahannya.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
b) Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.
Rasional : Untuk menginformasikan kondisi klien.
c) Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya
tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan atau keefektifan intervensi.
d) Libatkan kelurga / istri dalam perawatan pemecahan masalah fungsi
seksual.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan atau keefektifan intervensi.
e) Beri penjelasan penting tentang:
(1)Impoten terjadi pada prosedur radikal
(2)Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
(3)Adanya kemunduran ejakulasi.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan atau keefektifan intervensi.
f) Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan
(3-4 minggu) setelah operasi.
Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pasca
operasi.

d. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme


melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.
1) Tujuan : Tidak terjadinya infeksi
2) Kriteria hasil:
a) Tanda-tanda vital dalam batas normal
b) Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
c) Luka insisi semakin sembuh dengan baik
3) Intervensi :
a) Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
Rasional: Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan
peregangan dan perdarahan kandung kemih.
b) Observasi insisi (adanya indurasi drainase dan kateter), (adanya
sumbatan, kebocoran).
Rasional : Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat
menyebabkan distensi kandung kemih, dengan peningkatan spasme.
c) Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter
dan drainase.
Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi
d) Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk
menjamin dressing.
Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi.
e) Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat,
dingin).
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi yang
tepat dapat mencegah kerusakan jaringan yang permanen..

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang


penyakit, perawatannya.
1) Tujuan : Pengetahuan pasien dapat meningkat
2) Kriteria hasil :
Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan
mendemonstrasikan perawatan.
3) Intervensi :
a) Motivasi pasien/keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya
tentang penyakit.
Rasional : Memberikan informasi sejauh mana pengetahuan klien
tentang penyakit yang dialami.
b) Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
(1)Perawatan lsuka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter.
(2)Perawatan di rumah, adanya tanda-tanda hemoragi.
Rasional : Memberikan informasi kepada klien/keluarga klien cara
perawatan pasca operasi.

f. Ancietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan,salah interpretasi


informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai dengan : gelisah,
informasi kurang
1) Tujuan : Tidak terjadinya ancietas.
2) kriteria hasil :
a) Klien tidak gelisah.
b) Tampak rileks
3) Intervensi :
a) Kaji tingkat anxietas.
Rasional : Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien,
sehingga memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya.
b) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang
dialami klien.
c) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
Rasional : Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang
diberikan.
d) Berikan support melalui pendekatan spiritual.
Rasional : Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam
menjalankan pengobatan untuk penyembuhan.

Вам также может понравиться