Вы находитесь на странице: 1из 11

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/262525622

KARAKTERISTIK ITIK TEGAL (Anas


plantyhynchos javanicus) SEBAGAI ITIK
PETELUR UNGGULAN LOKAL JAW....

Conference Paper · July 2013

CITATIONS READS

0 2,831

3 authors, including:

Pita Sudrajad
Indonesian Agency for Agricultural Research and Development
24 PUBLICATIONS 12 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Local sheep conservation in Wonosobo District, Central Java, Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Pita Sudrajad on 23 May 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Juni, 2013 Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

KARAKTERISTIK ITIK TEGAL (Anas plantyhynchos javanicus)


SEBAGAI ITIK PETELUR UNGGULAN LOKAL JAWA TENGAH DAN
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSINYA

Subiharta, Dian Maharso Yuwono, dan Pita Sudrajad

Assessment Institute for Agricultural Technology of Central Java


PO Box 101 Ungaran E-mail : subiharta@gmail.com

ABSTRAK
Berdasarkan hasil identifikasi menunjukkan bahwa itik Tegal termasuk salah
satu bangsa yang populasinya masih tinggi diantara 15 bangsa itik lokal di Indonesia,
karena peminat dan peternak yang mengusahakan cukup banyak. Dalam
perkembangannya itik tersebut juga berkembang di Provinsi lain seperti Jawa Barat,
Papua, Sulawesi Selatan, Aceh dan Lampung. Lebih dari 50% peternak itik Tegal di
sentra pengembangan mengusahakan sebagai mata pencaharian utama. Berdasarkan
sejarahnya itik Tegal keturunan bangsa itik Indian Runner yang merupakan itik petelur
produksi tinggi. Pada tahun 1924 telah diterbitkan deskripsi itik Tegal beserta produksi
telurnya, namun sampai sekarang kesulitan menelusuri keberadaan buku tersebut. Hasil
penelitian lain menunjukkan ada 9 jenis itik berdasarkan warna bulu penutup pada itik
Tegal dewasa, dengan warna bulu dominan putih kotor kecoklatan totol coklat tua yang
jelas. Itik Tegal dengan bulu tersebut, dengan nama daerah Branjangan dan populasinya
terbanyak mencapai 56,73%. Berdasarkan hasil penelitian itik Tegal Branjangan,
merupakan warna asli itik Tegal dengan produksi telur tertinggi dibanding produksi
telur itik Tegal warna lain. Itik Tegal termasuk dalam katagori itik umur awal bertelur
cepat dibanding itik lokal yang lain, yaitu berkisar antara 132 – 162,4 hari. Namun umur
awal bertelur yang terlalu dini menyebabkan masa produksi telur pendek dan telur yang
dihasilkan kecil - kecil. Umur awal bertelur yang dianjurkan untuk itik Tegal berkisar
antara 150 – 170 hari. Berdasarkan hasil penelitian maupun komunikasi dengan ketua
tokoh – tokoh peternak itik Tegal, kemampuan produksi itik Tegal mencapai lebih 70%.
Namun pada saat sekarang ini kemampuan produksi itik Tegal mulai menurun, hal ini
disampaikan oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan antara 33,33 – 42,7%
berkemampuan produksi kurang dari 50%. Diperlukan usaha untuk peningkatan
produksi telur itik Tegal antara lain dengan melakukan seleksi (jangka pendek) dan
perbaikan perbibitan untuk jangka panjang.
Kata kunci: karakteristik, Itik Tegal, unggulan lokal, dan produksi telur.

PENDAHULUAN
Populasi itik secara nasional cukup tinggi, terbukti menempati urutan ketiga
dunia setelah Cina dan Vietnam. Pada tahun 2010 populasi itik nasional mencapai
44.301.804 ekor (http://ditjennak.deptan.go.id, 2013). Apabila dilihat dari populasi

300
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

nasional, Jawa Tengah menempati urutan kedua setelah Jawa Barat. Pada tahun 2010
populasi itik di Jawa Tengah mencapai 4.848.263 ekor dan terus meningkat yakni
mencapai 5.006.163 ekor pada tahun 2011 (BPS dan Bappeda Jawa Tengah, 2012). Ada
sekitar 15 bangsa itik lokal di wilayah Indonesia, dua diantaranya berasal dari Jawa
Tengah. Kedua bangsa itik lokal Jawa Tengah tesebut salah satunya itik Tegal (Anas
plantyhynchos javanicus). Sesuai dengan namanya itik Tegal berkembang di Kabupaten
Tegal, tepatnya di Karesidenan Pekalongan mulai dari Kabupaten Batang sampai di
Kabupaten Brebes, bahkan telah berkembang sampai di Kabupaten Cirebon dan
Indramayu Jawa Barat.
Laporan diskripsi tentang itik lokal di Indonesia, bahwa itik Tegal termasuk
dalam bangsa itik yang populasinya masih cukup banyak (Susanti dan Prasetyo, 2005).
Hal ini didasarkan penyebaran itik tersebut yang tidak hanya di Jawa tapi sampai ke
Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Papua. Penyebaran yang luas tidak lepas dari
permintaan yang tinggi sebagi akibat dari tingginya produksi telur.
Kondisi itik Tegal saat ini menunjukkan bahwa itik dipelihara dengan tujuan
utama menghasilkan telur, skala pemeliharaan bervariasi dari kecil sampai menengah,
walaupun ada beberapa pemodal yang mengusahakan dalam jumlah besar. Namun yang
berkembang di pantai Utara Jawa sebagai sentra itik Tegal sebagian besar skala
pemilikan kecil dan menengah. Yuwono et al. (1995) melaporkan lebih dari 50%
peternak mengusahakan sebagai usaha pokok. Peningkatan itik Tegal sebagai
pendapatan utama terus meningkat dengan makin bertambahnya jumlah anggota
kelompok di Desa Limbangan Kabupaten Brebes (komunikasi dengan Ketua kelompok
itik di Desa Limbangan Kabupaten Brebes, 2011). Desa Limbangan merupakan sentra
itik Tegal di Kabupaten Brebes. Usaha ini dapat terjadi karena produksi telur lebih
tinggi dibanding ayam buras. Akibat model pemeliharaan dengan tujuan produksi telur,
menyebabkan perbibitan terlupakan. Hingga saat ini masalah utama berkaitan dengan
itik Tegal adalah belum dihasilkannya bibit yang banyak dan berkualitas (Subiharta et
al., 2012). Perbibitan lebih tepat disebut penetasan atau penangkaran yang dilakukan
oleh penetas di Kabupaten Pemalang, Kendal dan Kabupaten Cirebon dalam skala
rumah tangga. Hal ini yang sama dilaporkan oleh Diwyanto (2005) kalau peternak
kesulitan dalam mendapatkan itik dalam jumlah banyak dan umur yang sama untuk
peremajaan. Melihat potensi produksi telur itik Tegal dan kondisi pemeliharaan saat ini,
maka dirasa perlu untuk mengungkap karakteristik itik tersebut termasuk sejarahnya,
umur awal bertelur, diskripsi itik Tegal berdasarkan warna bulu penutup dan
penyimpangannya, termasuk kemampuan produksi telur saat ini. Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi siapapun yang akan mengusahakannya dan melakukan penelitian
dengan menggunakan materi itik Tegal, mengingat itik Tegal merupakan salah satu
bangsa itik lokal yang banyak dipakai sebagai materi penelitian.

301
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Juni, 2013 Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Sejarah Itik Tegal


Berdasarkan sejarahnya itik lokal di Indonesia merupakan domestikasi dari itik
liar (mallard) keturunan Indian Runner. Hal ini didasarkan pada itik – itik yang
memiliki “sex feather” yaitu beberapa bulu yang mencuat ke atas pada ekor itik jantan
seperti pada itik mallard (Susanti dan Prasetyo, 2005), termasuk dalam hal ini itik
Tegal. Sedang Tanabe et al (1984) melaporkan bahwa itik Tegal merupakan keturunan
dari itik Khaki Campbell, yaitu keturunan itik Rouen dengan itik Indian Runner. Hal ini
memperkuat Tanabe et al (1984) memasukkan itik Tegal kedalam bangsa Indian
Runner. Menurut Barlet (1984), itik Tegal mempunyai ciri – ciri fisik sama dengan itik
Indian Runner yang produksi telurnya tinggi. Ciri – ciri fisik itik Tegal antara lain
kepala kecil, leher langsing, panjang dan bulat, sayap menempel erat pada badan dan
ujung bulunya menutup diatas ekor (Susanti dan Prasetyo, 2005). Bentuk badan tersebut
merupakan ciri – ciri itik Indian Runner yang dicirikan juga kalau berdiri hampir tegak
lurus, tubuh langsing bulat seperti botol (Setioko et al., 2004).
Umur Awal Bertelur
Karakteristik itik Tegal yang juga penting untuk diperhatikan adalah umur awal
bertelur. Umur awal bertelur berhubungan dengan besar telur dan lama masa produksi,
makin cepat bertelur, makan telur yang dihasilkan kecil – kecil dan masa produksi telur
menjadi pendek (Hardjosworo, 1990). Begitu sebaliknya kalau umur awal bertelur
terlalu lama akan merugikan, mengingat banyaknya biaya yang dikelurkan tanpa
mendapatkan hasil. Ada dua hal penting yang terkait dengan produk itik (telur), yaitu:
bobot telur dan warna kerabang telur. Konsumen di Indonesia menghendaki bobot telur
itik diatas 60 gram dengan warna kerabang biru muda. Kalau kedua kriteria tersebut
tidak dipenuhi, maka harga telur itik akan jauh dibawah harga yang sebenarnya. Untuk
itu yang penting dilakukan menjaga agar itik mulai bertelur sesuai dengan kriteria yang
dianjurkan, karena warna kerabang tidak akan berubah selama itk masih kawin dengan
itik lokal. Oleh karena itu Hardjosworo dan Rukmiasih (1999) menyarankan
pembatasan kebutuhan nutrisi itik antara umur 5 - 16 minggu atau periode pertumbuhan.
Pembatasan kebutuhan nutrisi bisa dilakukan dengan mengurangi jumlah pakan atau
penggembalaan itik di sawah yang habis dipanen atau mengintegrasikan ternak itik
dengan tanaman padi. Menurut Setioko (1990) melaporkan hasil identifikasi isi
tembolok itik gembala paling banyak berisi gabah, yang berarti hanya sumber energi.
Sedang Subiharta et al (2012) menyatakan bahwa integrasi ternak itik dengan padi
selain menghemat biaya pakan 50% dan biaya penyiangan maupun penggunaan
herbisida serta juga meningkatkan pendapatan, karena pada saat yang sama satu lahan
dapat memproduksi dua produk (itik dan padi). Pada Tabel 1 dibawah ini disampaikan
umur awal bertelur dari beberapa hasil penelitian

302
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Tabel 1. Umur awal bertelur pada itik Tegal dari berbagai hasil penelitian
Peneliti Umur awal bertelur (hari)
Hetzel (1981) 132
Subiharta et al (1998) 162,24 ±14,96
Hetzel dan Gunawan (1984) 5% hen-day 167
Hetzel (1984), 5% hen-day 107

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa umur awal bertelur pada itik Tegal bervariasi
yang cukup besar antara penelitian yang satu dengan penelitian yang lain. Pada
penelitian Hetzel (1991), umur awal bertelur dicapai pada umur 132 hari, sedang
Subiharta et al (1998) mendapatkan angka 162,24 ±14,96 hari. Pada penelitian
Subiharta et al (1998) kandungan protein ransum antara 15 – 16 % dan itik dipelihara
secara intensif (terkurung). Umur awal bertelur pada itik Tegal dianjurkan berkisar
antara 150 – 170 hari (Hardjosworo, 1990). Kejadian yang hampir sama terjadi pada
produksi 5%, dimana pada penelitian Hetzel (1984) dicapai pada umur 107 hari, jauh
lebih awal dari anjuran dan pada penelitian Hetzel dan Gunawan (1984) pada tahun
yang sama, umur produksi 5% dicapai pada umur 167 hari dengan kualitas pakan yang
berbeda tanpa menjelaskan kandungan nutrisi pakan. Perbedaan data yang besar antar
hasil penelitian diduga faktor penyebabnya, yaitu pakan yang diberikan selama masa
pertumbuhan. Kemungkinan kualitas dan kuantitasnya pakan yang diberikan terlalu
baik menyebabkan awal produksi lebih cepat. Seperti dilaporkan oleh Hardjosworo
(1990), bahwa itik Tegal termasuk itik lokal yang positif terhadap perbaikan pakan. Hal
ini dibuktikan oleh penelitian Raharjo (1988) pada itik Tegal fase produksi, itik yang
mendapat pakan dengan kandungan protein 17,5% dan 20% produksi telurnya nyata
lebih tinggi dibanding kandungan protein 15% dan 12%.
Diskripsi Itik Tegal Berdasarkan Warna Bulu Penutup
Diskripsi warna bulu penutup itik dewasa penting untuk dikemukakan sebagai
catatan karakteristik pada itik Tegal, mengingat saat ini telah terjadi deviasi atau
penyimpangan pada warna bulu tersebut. Warna bulu penutup yang dominan pada itik
Tegal adalah putih kotor dengan totol – totol coklat tua yang tegas, warna asli itik Tegal
tersebut oleh peternak dinamakan itik Branjangan. Ada peneliti lain menemukan itik
Tegal sering disebut juga dengan Siranu dengan ciri – ciri warna yang sama (Setioko et
al., 1994), namun nama ini kurang terkenal di peternak itik.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan ada 9 warna bulu penutup pada itik
Tegal dewasa (Srigandono dan Sarengat, 1990; Sopiyana et al., 2006). Hasil
identifikasi dari kedua peneliti tersebut, 9 warna bulu penutup pada itik Tegal dewasa
sesuai dengan jumlahnya sebagai berikut: Branjangan (56,73%), Lemahan (22,47%),
Jarakan (10,40%), Putihan (3,36%), Jalen (2,01%), Blorong (1,46%), Jambul (1,29%),
Pudak (1,18%) dan Irengan (1,10%). Namun demikian hasil penelitian sebelumnya
mendapatkan warna bulu itik Tegal dewasa lebih sedikit dibanding kedua peneliti

303
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Juni, 2013 Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

tersebut. Samosir (1973) melaporkan itik Tegal yang dikenal dengan itik Indonesia,
didapatkan 3 warna bulu yaitu: Jarakan, Branjangan dan campuran. Pada penelitian
berikutnya Samosir (1983) mengidentifikasi warna bulu penutup pada itik Tegal ada 3
macam, dengan urutan populasi berbeda yaitu: Branjangan, Jarakan dan campuran.
Sedang Suwondo (1979) melaporkan hasil identifikasi bulu penutup pada itik Tegal
dewasa ada 6 jenis warna. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
awalnya hanya ada 3 warna bulu penutup pada itik Tegal, namun makin hari jumlah
warna bulu penutup makin banyak, yang berarti makin banyak terjadi penyimpangan.
Hal ini menunjukkan kemurnian itik Tegal dilihat dari warna bulu penutup makin
berkurang. Penyimpangan warna yang berarti telah mengurangi kemurnian itik Tegal
diduga akibat perbibitan yang belum tertangani dengan baik. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Subiharta et al (2012), bahwa sampai saat ini belum ada instansi
manapun atau swasta yang menangani perbibitan itik sesuai dengan kriteria perbibitan.
Perbibitan itik Tegal ditingkat peternak yang ada saat ini baru pada tingkat penetas atau
penangkar, belum memperhatikan kualitas induk penghasil telur tetas. Telur tetas pada
penetasan itik saat ini berasal itik gembala yang tidak terkontrol perkawinannya, diduga
telah terjadi perkawinan antar bangsa itik lokal pada saat digembala. Hal ini yang
diduga sebagai penyebab terjadi penyimpangan warna bulu pada itik Tegal tersebut.
Padahal hasil penelitian menunjukkan ada korelasi positif antara warna bulu dengan
produksi telur (Suwondo (1979 dan Setioko et al., 1994). Selanjutnya Suwondo (1979)
melaporkan produksi telur tertinggi pada itik Tegal warna Branjangan diikuti warna
Lemahan dan Jarakan. Sedang Setioko et al (1994) melaporkan itik Tegal warna Siranu
atau coklat khaki, produksi telurnya paling tinggi diantara warna lain.
Produksi Itik Tegal dan Upaya Peningkatannya
Tujuan utama peternak mengusahakan itik lokal adalah sebagai penghasil telur,
walaupun saat sekarang daging itik sudah dapat diterima oleh konsumen. Oleh karena
itu produksi telur menjadi fokus dalam berusaha ternak itik lokal. Itik Tegal termasuk
dalam salah satu itik lokal yang berkemampuan produksi telurnya tinggi, hal ini
dibuktikan dengan perkembangan itik tersebut sampai keluar Provinsi Jawa Tengah.
Kemampuan produksi telur yang tinggi itik Tegal telah dilaporkan Chavez dan Lasmini
(1978) bahwa sebanyak 50% lebih dari populasi bekemampuan produksi diatas 60%,
namun kemampuan produksi telur per individu itik mulai menurun sejalan dengan
makin berjalannya waktu (Tabel 2). Hetzel (1981) melaporkan kemampuan itik yang
produksinya jelek, tanpa memerinci berapa produksi telurnya mencapai 33,3%. Data
yang hampir sama dilaporkan Hardjosworo (1989) bahwa 42,7% itik Tegal kemampuan
produksi telurnya kurang dari 50%. Sedang Subiharta et al (2001) melaporkan tinggal
25% itik Tegal yang berkemampuan produksi diatas 65%, bahkan lebih dari 50% itik
Tegal yang produksinya kurang dari 50%. Kualitas bibit itik Tegal yang menurun
dilaporkan Subiharta dan Sarjana (2010), sebanyak 77,7% responden peternak itik Tegal
menyampaikan kualitas bibit itik Tegal mulai menurun. Pendapat yang sama diperkuat
304
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

oleh Ketua Gabungan Kelompok Ternak itik Tegal di Kabupaten Tegal (komunikasi
langsung, 2012) yang mengatakan produksi itik Tegal saat ini kurang dari 50%, padahal
sekitar tahun 1970 produksi telur mencapai lebih 70% hen-day. Keadaan ini yang
menyebabkan Sabrani et al (1985) berpendapat pemeliharaan itik lokal secara intensif
kurang menguntungkan.
Tabel 2. Kemampuan produksi telur itik Tegal beberapa hasil penelitian
Peneliti Kemampuan produksi telur
Chavez dan Lasmini (1978) Sebanyak 50% dari populasi kemampuan produksi
telur itik tegal diatas 60%.
Hetzel (1981) Sebanyak 33.3% merupakan itik berkemampuan
produksi jelek.
Hardjoswowo (1989) Sebanyak 42,7% itik tegal berkemampuan produksi
kurang dari 50%.
Subiharta et al (2001) Tinggal 25% itik yang kemampuan produksi 65% dan
50% dari populasi berkemampuan produksi kurang
dari 50%.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi produksi telur itik Tegal yang makin
menurun dalam jangka pendek adalah dengan seleksi dan jangka panjang dengan
perbaikan bibit (Hardjosworo, 1990; Srigandono dan Sunarti, 2001). Hardjosworo
(1990) menyarankan seleksi dilakukan dengan pendekatan genetik agar pengaruhnya
lebih lama. Selama ini peternak melakukan seleksi yang tidak terkait dengan produksi
telur, tapi lebih banyak pada bentuk luar dari itik. Setioko dan Istiana (1997)
melaporkan peternak itik Alabio di desa Guha Kabupaten Hulusungai Kalimantan
Selatan melakukan seleksi berdasarkan pada penampilan luar seperti: paruh panjang
warna kuning atau coklat, leher panjang dan bulu hitam merupakan petelur yang baik.
Suwondo (1979) melaporkan itik Tegal warna bulu penutup coklat muda dengan totol
coklat (Branjangan) produksi telurnya lebih tinggi dibanding itik Tegal warna lain.
Namun pada seleksi berdasarkan bentuk luar tidak menjelaskan secara rinci kenaikan
produksinya.
Hasil penelitian tentang seleksi beberapa itik lokal berdasarkan produksi telur
dilaporkan oleh peneliti terdahulu di berbagai daerah (Tabel 3). Gunawan et al (1995)
melaporkan seleksi pada itik Alabio jantan dapat meningkatkan produksi telur dan
efisiensi pakan 0,63%. Sedang Subiharta et al (2003) melaporkan seleksi pada itik
Tegal sampai generasi 5 dengan intensitas seleksi 3% dapat meningkatkan produksi
telur 22,93%. Dari hasil penelitian ini menunjukkan dampak langsung seleksi yaitu
dapat menaikkan produksi telur dan efisiensi pakan. Ternak itik yang produksi telurnya
tinggi akan efisien dalam memanfaatkan pakan.

305
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Juni, 2013 Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Tabel 3. Hasil seleksi pada itik Tegal dan itik Alabio


Kenaikan Efisiensi Pakan
Peneliti Bangsa itik
Produksi (%) (%)
Gunawan et al., Itik Alabio 6,17 0,63
1995
Subiharta et al., Itik Tegal Generasi 5 22,93 -
2003
Peningkatan produksi telur dapat dilakukan dengan perbaikan bibit untuk jangka
panjang. Perbaikan bibit dengan kemitraan antara peternak penghasil telur tetas dengan
peternak penetas. Peternak penghasil telur tetas melakukan seleksi terhadap induk
penghasil telur tetas. Seleksi dilakukan berdasarkan warna bulu penutup pada itik Tegal
dewasa dan berdasarkan produksi telur. Seleksi peningkatan produksi telur dapat
dilakukan secara kelompok atau individu. Induk hasil seleksi selanjutnya digunakan
sebagai produsen telur tetas dan telur tetas yang dihasilkan dijual kepada peternak
penetas untuk ditetaskan sebagai penghasil anak itik berkualitas.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Itik Tegal merupakan salah satu itik lokal asli Jawa Tengah keturunan Indian
Runner yang dikenal produksi telurnya banyak. Populasi itik tersebut relatif masih
banyak dibanding bangsa lain. Penyebaran itik Tegal tidak hanya di Jawa Tengah
tetapi sampai luar Provinsi Jawa Tengah seperti Jawa Barat, Aceh, Lampung,
Sulawesi Selatan, dan Papua.
Itik Tegal termasuk dalam golongan itik umur bertelur awal, karena masak kelamin
dini yang dapat menyebabkan telur – telur yang dihasilkan kecil dan masa
produksinya pendek. Umur awal bertelur yang dianjurkan berkisar antara 150 – 170
hari untuk menghindari masa produksi yang pendek dan telur yang kecil - kecil.
Pengaturan kualitas dan kuantitas pakan dapat mengurangi awal bertelur dini.
Berdasarkan deskripsi warna bulu penutup pada itik Tegal dewasa telah terjadi
penyimpangan dari warna bulu aslinya sebagai akibat dari sistem perkawinan yang
tidak terkontrol. Perkawinan tidak terkontrol akibat belum dilakukan perbibitan
yang sesuai dengan kaidah perbibitan.
Akibat belum tertanganinya perbibitan itik Tegal dengan baik, juga berakibat
menurunnya kemampuan produksi telur. Saran untuk meningkatkan produksi telur
dilakukan seleksi berdasarkan produksi telur untuk jangka pendek dan perbaikan
perbibitan dalam jangka panjang.

306
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

DAFTAR PUSTAKA
Barlet, P. 1984. Duck and Geese, Aquide to management, The Crowood Press.

BPS dan Bappeda Jawa Tengah. 2012. Jawa Tengah dalam Angka 2012. Kerjasama
BPS dan Bappeda Jawa Tengah.

Chavez and A. Lasmini 1978. Comparative performance of native Indonesia egg


laying duck. Center Report No. 6. Center for Animal Research and
Development, Bogor.
Ditjennak. 2013. Statistik populasi itik. http://ditjennak.deptan.go.id/ index.php
page=statistik&action=info&idcat=1. Diakses tanggal 3 Juni 2013.

Diwyanto, K. 2005. Perbibitan dan pengembangan unggas air.Prosiding Lokakarya


Nasional Unggas Air II. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Gunawan, B. 1988. Teknologi Pemuliabiakan Itik Petelur Indonesia. Prosiding Seminar


Nasional Peternakan dan Forum Peternak, Unggas, dan Aneka Ternak II.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak, Bogor.

Hardjosworo, P. S. 1989. Respon biologik itik Tegal terhadap pakan pertumbuhan


berbagai kadar protein. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

Hardjosworo, P. S. 1990. Usaha – usaha pemanfaatan ternak itik Tegal untuk produksi
telur. Prosiding Temu Tugas Sub Sektor Peternakan, Pembangunan Usaha
Ternak Itik di Jawa Tengah. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu.

Hetzel, D. J. S. 1981. Evaluation of native strains of duks in the Sabroa. Proc. of the
second Sabroa Workshop on Animal Gen. Resources.

Hetzel, D. J. S. 1984. Comparative performance of intensively managed Khaki


Campbell and native Indonesian ducks. Tropical Animal Productions.

Hetzel, D. J. S. and B. Gunawan. 1984. Egg production of Indonesian native and


crossbreed ducks under intensive and extensive conditions. Tropical Animal
Productions.

Raharjo, Y. C. 1988. Pengaruh berbagai tingkat protein dan energi terhadap produksi
dan kualitas telur itik Tegal. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Forum Peternak, Unggas dan Aneka Ternak II. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ternak, Bogor.

Sabrani. M., A. Mulyadi dan U. Kusnadi, 1985. Socioeconomic aspects of village duck
production in Central Java and Yogyakarta. Ducks Production Science and
Word Practices.

307
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Juni, 2013 Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Samosir, D. J. 1973. Ilmu Ternak Itik. Bagian ternak unggas Fak. Pet. IPB, Bogor.

Samosir, D. J. 1983. Ilmu Ternak Itik. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Setioko, A. R. 1990. Pola Pengembangan Itik di Indonesia. Prosiding Temu Tugas Sub
Sektor Peternakan, Pembangunan Usaha Ternak Itik di Jawa Tengah. Sub
Balai Penelitian Ternak Klepu.

Setioko, A. R., A. Samsudin, M. Rangkuti, H. Budiman dan B. Gunawan. 1994.


Budidaya Ternak Itik. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi
Penelitian, Badan Litbang Pertanian.

Setioko, A. R. dan Istiana. 1997. Perbibitan itik Alabio di Hulu Sungai Tengah,
Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Puslitbangnak, Bogor.
Setioko, A. R., L. H. Prasetyo, S. Sopiyana, T. Susanti, R. Hernawati dan S. Widodo.
2004. Koleksi dan Evaluasi karakterisasi biologok itik lokal dan Entog secara
Exsitu. Laporan Hasil-hasil Penelitian. Balitnak, Bogor.

Sopiyana. S., A. R. Setioko dan M. E. Yusnandar. 2006. Identifikasi sifat – sifat


kualitatif dan ukuran tubuh itik Tegal, Magelang dan Damiaking. Pros.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha Ternak
Unggas Berdaya Saing, Semarang 4 Agustus 2006. Kerjasama Puslitbangnak
dengan Fak. Peternakan UNDIP.

Srigandono, B. dan W. Sarengat. 1990. Ternak itik beridentitas Jawa Tengah. Temu
Tugas Sub Sektor Peternakan. Pengembangan Usaha Ternak Itik di Jawa
Tengah. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu dengan Balai Informasi Pertanian
dan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah.

Srigandono, B. dan D. Sunarti. 2001. Sumbangan pemikiran pengembangan peternakan


itik di Jawa Tengah. Prosiding Serasehan Pengembangan Peternakan Itik di
Jawa Tengah. Itik Sebagai Alternanif Usaha Agribisnis, Puslitbangtek Lemlit
UNDIP.

Subiharta, L. H. Prasetyo, S. Prawirodigdo, D. Pramono, Y. C. Raharjo, B. Budiharta


dan Hartono. 1998. Seleksi Itik Tegal berdaya hasil tinggi. Laporan Penelitian
kerjasama Pemerintah Kabupaten Brebes dengan BPTP Jawa Tengah.

Subiharta, L. H. Prasetyo, S. Prawirodigdo, D. Pramono, Y. C. Raharjo, B. Budiharta


dan Hartono. 2001. Seleksi Itik Tegal berdaya hasil tinggi. Laporan Penelitian
kerjasama Pemerintah Kabupaten Brebes dengan BPTP Jawa Tengah.

308
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Subiharta, L. H. Prasetyo, S. Prawirodigdo, D. Pramono, Y. C. Raharjo, B. Budiharta


dan Hartono. 2003. Seleksi Itik Tegal berdaya hasil tinggi. Laporan Penelitian
kerjasama Pemerintah Kabupaten Brebes dengan BPTP Jawa Tengah.

Subiharta dan Sarjana. 2010. Penilaian peternak terhadap kualitas itik Tegal. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Subiharta, B. Prayudi dan Seno Basuki. 2012. Sistem Usahatani Integrasi Tanaman
Padi dengan Ternak Itik pada Lahan Irigasi. Rekomendasi Paket Teknologi
Pertanian Provinsi Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Jawa Tengah.

Susanti, T. dan L. H. Prasetyo. 2007. Panduan karakterisasi ternak itik. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Suwondo, S. 1979. Perbandingan produksi telur beberapa jenis itik lokal Indonesia di
Semarang. Skripsi. Fak. Pet. UNDIP, Semarang.

Tanabe, Y., D. J. S. Hetzel, T. Kazaki and B. Gunawan. 1984. Biochemical studies of


phylogenetic breeds. Proc. XVII World’s Poultry Conggress and Exhibition
Helsinki Firland.

Yuwono, D. M., Subiharta, W. Dirdjopratono, Muryanto dan A. P. Sinurat. 1995. Studi


pemeliharaan itik Tegal sistem intensif Kabupaten Pemalang. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Komunikasi Hasil – Hasil Penelitian untuk Menunjang
Industri Peternakan di Pedesaan. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu.

309

View publication stats

Вам также может понравиться