Вы находитесь на странице: 1из 4

Mungkinkah Revolusi di Indonesia?

Selama ini, kegagalan gerakan revolusioner di Indonesia bertumpu pada salah


memperhitungkan dinamika eksternal dan internal. Darul Islam mengabaikan dinamika
dunia internasional.

PRRI terlalu bersandar pada faktor eksternal. PKI tertipu oleh kesuksesan taktikal mereka di
dalam negeri. Gerakan jihadi hari ini terlalu berharap pada dinamika jihad internasional dan
mengabaikan tamkin internal.

Gelombang revolusi di Timur Tengah terus berlanjut. Setelah menumbangkan diktator di


Tunisia dan Mesir, sasaran berpindah ke Libya. Namun berbeda dengan di dua negeri
pertama, perlawanan sengit dilancarkan oleh Moammar Qadhafi sehingga revolusi massa
berubah menjadi revolusi bersenjata.

Sebuah pertanyaan kemudian muncul. Mungkinkah gelombang revolusi itu melanda


Indonesia? Apalagi FUI dan FPI sempat mengancam akan ‘memesirkan Indonesia” jika
Ahmadiyah tak dibubarkan dan justru FPI yang dibubarkan terkait kerusuhan di Cikeusik dan
Temanggung.

Analisis menyeluruh tentu diperlukan untuk menjawab pertanyaan itu. Namun tulisan
singkat ini mungkin bisa menjadi sebuah gambaran jawaban. jawabannya adalah bisa ya
atau tidak, tergantung pada beberapa parameter revolusi yang dikaitkan dengan kondisi di
Indonesia.

Faktor Eksternal

Pertama, faktor eksternal sangat berpengaruh untuk mengobarkan revolusi di Indonesia.


Bangsa Indonesia terdiri atas ratusan suku dan etnis dengan karakter paternalistik. Karakter
paternalistik ini membuatnya tak mudah

Selama ini, kegagalan gerakan revolusioner digerakkan kecuali oleh para pemimpin lokalnya.
Dahulu Belanda memanfaatkan betul sifat ini dengan memerintah secara tidak langsung.
Para raja, bupati hingga demang menjadi alat Belanda mengendalikan rakyatnya selama 350
tahun.

Kekuasaan Belanda seperti tak tergoyahkan oleh perlawanan dan jihad yang dilancarkan
oleh para pemimpin lokal. Bahkan Belanda dengan cerdik memanfaatkan pemimpin lokal
lainnya untuk meredam perlawanan.

Diponegoro dan Trunojoyo dihadapkan dengan para raja Jawa; Gerakan Padri dibenturkan
dengan Kaum Adat dan pasukan Diponegoro yang menyerah di bawah Sentot; Hasanuddin
diadu dengan Arung Palakka.
Belanda baru hengkang dari Indonesia ketika Perang Dunia II meletus dan mereka menyerah
pada Jepang tahun 1942. Jepang pun bercokol tanpa gangguan berarti selama sekitar tiga
tahun.

Lalu Perang Dunia II memasuki babak akhir dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki. Barulah setelah itu pintu revolusi kemerdekaan terbuka untuk Indonesia. Jadi,
revolusi di Indonesia menemukan peluangnya ketika momentum lahir dari rahim konflik
internasional.

Terkait jihad Islam, Darul Islam pun lahir dalam momentum yang sama. Sayang revolusi
jihadi ini takluk pada strategi ala Belanda, dibenturkan dengan umat yang dimobilisasi
dengan Pagar Betis.

Kurangnya akses ke dunia internasional juga membuat revolusi ini berjalan lokal dan kurang
referensi pembanding.

Namun konflik internasional tak selalu memberi peluang revolusi di Indonesia Perang Dingin
antara Blok Barat dan Blok Timur, misalnya, sempat dijadikan momentum pencetus revolusi.
PRRI dan Permesta memanfaatkan dukungan Blok Barat untuk memberontak pada
Soekarno yang dekat dengan Blok Timur. Namun lemahnya visi ideologis membuat
perlawanan ini berlangsung Setengah hati.

PKI juga gagal mengobarkan revolusi dengan Gerakan 30 Septembernya. Mereka sukses
menciptakan momentum namun tak kuasa memelihara nyalanya.

Padahal di belakang mereka ada Blok Komunis yang sepenuhnya mendukung. Namun
suksesnya nikayah mereka, menghabisi lawan-lawan kunci di Angkatan Darat, tak diiringi
dengan persiapan tamkin yang memadai.

Biro Khusus dan CC PKI menjalankan skenario kudetanya sendirian di level elit saat jaringan
mantelnya di daerah-daerah tak siap mengimbangi manuver militer di pusat. Agaknya taktik
tha/abun nushrah membius Aidit dan Syam,

Padahal mereka hanya sukses menggerakkan dua. batalyon AD dan elemen AU yang tak
kuat. Ini pelajaran berharga bagi mereka yang bermimpi menegakkan khilafah dengan
bantuan dzu syaukatin.

Jadi, dinamika konflik internasional mungkin membuka peluang menyalakan api revolusi
dengan aksi nikayah. Namun kalau jaringan tamkin tak memadai, maka ibarat api yang
dinyalakan dengan kayu bakar basah.

Jamaah jihadi di Mesir adalah contoh teraktualnya, mereka sukses melakukan ightiyal pada
Anwar Sadat, namun mereka tak siap menggerakkan bangsa Mesir melakukan revolusi
Islam. Momentum dan miftah shoro’ memang bertebaran, namun itu tak berarti apa-apa
jika pembangunan tamkin tak memadai.
Faktor Internal

Yang kedua, peta situasi di dalam negeri sangat menentukan. Situasi politik di Indonesia
sangat kompleks. Revolusi ’45 meletus saat kekosongan kekuasaan politik dari militer
terjadi.

Peristiwa ’65 terjadi saat Demokrasi Terpimpin mengecewakan banyak elemen bangsa.
Reformasi ’98 memuncak saat represi Soeharto tak tertahankan lagi. Tekanan makalah
datang bertubi-tubi namun tak ada jalan Solusi, akibatnya terjadi ledakan.

Padahal cara mencegah sebuah tabung kompresor meledak adalah dengan mengatur
tekanan. Jangan sampai berlebihan, harus ada katup buka Saat tekanan meninggi.
Dahulu Soeharto berusaha mencegah ledakan dengan menghilangkan tekanan masalah
sekecil apapun. Latar belakangnya sebagai petani membuatnya mel hat ma ah seperti gulma
dan hama, Cabut semua rumput teki sebalum tumbuh besar dan sulit ditanggulangi.

Maka ia menciptakan hantu SARA dan perangkat prfPSi yang memepertahankan


kekuasaannya selama 32 tahun. Namun represi berlebihan justru menjadi masalah utama
Soeharto. Caranya menekan semua potensi masalah menciptakan tekanan besar yang justru
meledakkan kekuasaannya: kemarahan rakyat yang terlalu lama diinjak-injak.

Hari ini SBY belajar dari kegagalan Soeharto. Ia memainkan katup tekanan sehingga tak ada
masalah yang tekanannya terlalu tinggi dan membahayakan tabung negara.

Orang-orang di sekelilingnya juga lihai mengalihkan sebuah isu dengan isu lainnya. Namun
SBY dikritik karena permainan buka tutup katup ini membuatnya lamban dan tak dinamis. Di
sisi lain, manuver pengalihan isu rejimnya memunculkan masalah besar: kehilangan
kepercayaan rakyat yang terlalu sering dikibuli.

Dua faktor di atas, eksternal dan internal, harus diperhatikan oleh gerakan apapun yang
menginginkan perubahan di negeri ini. Tak cermat berhitung berarti gagal merencanakan,
hal yang sama dengan merencanakan kegagalan.

Selama ini, kegagalan gerakan revolusioner di lndonesia bertumpu pada salah


memperhitungkan dinamika eksternal dan internal. Darul Islam mengabaikan dinamika
dunia internasional.

PRRI terlalu bersandar pada faktor eksternal. PKI tertipu oleh kesuksesan taktikal mereka di
dalam negeri. Gerakan jihadi hari ini terlalu berharap pada dinamika jihad internasional dan
mengabaikan tamkin internal.

Jadi bagaimana peluang revolusi di Indonesia? Tergantung pada akumulasi tekanan masalah
dalam negeri dan manajemennya serta faktor eksternal yang datang dari dunia
internasional.
Siapa yang bisa berhitung dengan variabelvariabel tadi akan bisa merumuskan langkah
terbaik untuk melakukan perubahan. Ibarat gado-gado, siapa asyik meracik bumbu tapi abai
pada sayuran akan gagal meramu gado-gado yang lengkap.

Sementara siapa yang asyik merebus sayur tapi abai meracuk bumbu ikan gagal
menciptakan gado-gado yang enak.

Sumber : Majalah An-Najah Edisi 67 Rubrik Sekitar Kita


Editor : Helmi Alfian

Вам также может понравиться