Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang dapat
menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru
(emboli paru). Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak ada
dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan data-data penderita
yang di rawat di rumah sakit dengan berbagai diagnosis.
Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat di
rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli paru dan 60.000 kasus
meninggal karena proses penyumbatan pembuluh darah.
Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan
yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya
trombosis dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian.
DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit koroner
arteri dan stroke (Patterson, 2011). DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun.
Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Insiden tahunan DVT di
Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun (JCS Guidelines, 2011).
Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama),
kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena
varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan,
tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) (JCS Guidelines, 2011;
Goldhaber, 2010; Sousou, 2009; Bailey, 2009). Meskipun DVT umumnya timbul karena
adanya faktor resiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT) (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya
emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan
kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan
1
karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
BAB II
LAPORAN KASUS
2
2.1 Identitas Pasien
3
A. Status Generalis
Kulit : Warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor cukup,
tidak tampak jejas trauma, tidak tampak bekas operasi.
Kepala : Simetris, normal, rambut beruban, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak tampak jejas trauma dan kelainan kongenital, tidak tampak
bekas operasi
Muka : Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak ada
kelainan kongenital
Mata : Pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm Konjungtiva
anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, terdapat reflek cahaya pada kedua
mata.
Hidung : Discharge tidak ada, nafas cuping hidung tidak ada, deviasi
septum tidak ada, deformitas tidak ada
Mulut/Gigi : Bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada, carries tidak ada,
faring tidak hiperemis, tonsil T0-T0
Telinga : Simetris, discharge tidak ada, tidak ada kelainan kongenital
Pemeriksaan Leher
Pemeriksaan Thorax
Cor :
- Inspeksi : simetris, iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis terlihat, lokasi di apex, kuat angkat (+)
- Perkusi :
Batas atas : ICS II PSL sinistra
Batas kanan : ICS V PSL dextra
Batas kiri : ICS V MCL sinistra
Batas bawah : ICS IV PCL sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, mur-mur (-).
Pulmo :
- Inspeksi : dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang tertinggal,
tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda peradangan.
4
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus dada kanan dan kiri sama.
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru, ronki basah halus
(+) , wheezing (-)
Abdomen :
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak
tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : BU (+) normal
- Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen, nyeri ketok sudut costovertebra
tidak ada.
- Palpasi : nyeri tekan (-)
o Hepar : tidak terdapat pembesaran hepar dan tidak terdapat nyeri tekan.
o Lien : tidak terdapat pembesaran lien dan tidak terdapat nyeri tekan.
o Ginjal : tidak terdapat pembesaran ginjal kanan dan kiri dan tidak terdapat
nyeri tekan, dan tidak nyeri ketok costovertebra.
Ekstermitas : Ekstermitas atas dan bawah hangat, nyeri [-], sianosis [-], jari tabuh [-]
dan bengkak [-].
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Ro Thorax, DL, BUN SC, SGOT, SGPT, EKG, ECO.
5
Interpretasi : -
Ro Thorax ( 24 – 04 – 2018)
6
Kesan : pulmo dan cor kesan normal pada proyeksi ini
7
GRAN 16,7 109/l 1,2-8,0 meningkat
GRA% 80,2 % 35,0-80,0 Meningkat
RBC 3,47 jt 1012/l 3.500.000-5.500.000 menurun
HGB 9,7 g/dl 11,5-16,5 Menurun
HCT 28,6 % 35,0-55,0 Menurun
MCV 78,6 Fl 75,0-100,0 Normal
MCH 25,5 Pg 25,0-35,0 Normal
MCHC 32,5 g/dl 31,0-38,0 Normal
RDW% 13,7 % 11,0-16,0 Normal
RDWa 62,0 Fl 30,0-150,0 Normal
PLT 77 109/l 150.000-400.000 Menurun
MPV 8,9 fl ↓ 8,0-11,0 Normal
PDW 11,4 Fl 0,1-99,9 Normal
PCT 0,16 % 0,01-9,99 Normal
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan di IGD
8
2.7 Prognosis
25 april 2018
Keluhan : nyeri kedua kaki (+)
Pasien mengeluh nyeri kedua kaki (+), kesemutan (+)
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 110/60 mmHg, N : 92x/menit, RR : 24x/mnt, T : 36°C (axilla)
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Simetris, normal, rambut beruban, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak tampak jejas trauma dan kelainan kongenital, tidak tampak bekas
operasi
Muka : Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak ada kelainan
kongenital
Mata : Pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm Konjungtiva anemis
tidak ada, sklera ikterik tidak ada, terdapat reflek cahaya pada kedua mata.
THT : DBN
Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5 – 2 cm H2O)
- Palpasi : Kelenjar tiroid dan kelenjar limfe tidak ada pembesaran
Pemeriksaan Thorax
Cor :
- Inspeksi : simetris, iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba, lokasi di apex, kuat angkat (+)
- Perkusi :
Batas atas : ICS II PSL sinistra
Batas kanan : ICS V PSL dextra
Batas kiri : ICS IV MCL sinistra
Batas bawah : ICS IV PCL sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, mur-mur (-).
9
Pulmo :
Pulmo :
- Inspeksi : dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda –
tanda peradangan.
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus dada kanan dan kiri
sama.
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru, ronki
basah halus (+) , wheezing (-)
Abdomen :
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya
massa, tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : BU (+) normal
- Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen, nyeri ketok sudut
costovertebra tidak ada.
- Palpasi : nyeri tekan (-)
o Hepar : tidak terdapat pembesaran hepar dan tidak terdapat nyeri
tekan.
o Lien : tidak terdapat pembesaran lien dan tidak terdapat nyeri
tekan.
o Ginjal : tidak terdapat pembesaran ginjal kanan dan kiri dan tidak
terdapat nyeri tekan, dan tidak nyeri ketok costovertebra.
Ekstermitas : Ekstermitas atas dan bawah hangat, nyeri [-], sianosis [-], jari
tabuh [-] dan bengkak [-].
Diagnosis : DVT eks inferior (S)
Terapi :
- IVFD NaCl 0,9% 8tpm
- Inj. Omeprazole 1 amp
- Inj. ondansentron 1 amp
- Sanmol flash 1 gr
- Co. dr. Suryawati Sp.Jp
- IVFD NaCl 0,9% 8tpm
- Lovenox 2 x 0,6 cc
- Cilostazilol 2 x 100 mg
10
26 april 2018
Keluhan : nyeri dan bengkak kaki kiri menurun
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD 120/80, N : 84x/menit, RR : 20x/menit, T : 36°C (axilla)
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Simetris, normal, rambut beruban, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak tampak jejas trauma dan kelainan kongenital, tidak tampak bekas
operasi
Muka : Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak ada kelainan
kongenital
Mata : Pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm Konjungtiva anemis
tidak ada, sklera ikterik tidak ada, terdapat reflek cahaya pada kedua mata.
THT : DBN
Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5 – 2 cm H2O)
- Palpasi : Kelenjar tiroid dan kelenjar limfe tidak ada pembesaran
Pemeriksaan Thorax
Cor :
- Inspeksi : simetris, iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba, lokasi di apex, kuat angkat (+)
- Perkusi :
Batas atas : ICS II PSL sinistra
Batas kanan : ICS V PSL dextra
Batas kiri : ICS IV MCL sinistra
Batas bawah : ICS IV PCL sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, mur-mur (-).
Pulmo :
Pulmo :
- Inspeksi : dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda –
tanda peradangan.
11
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus dada kanan dan kiri
sama.
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru, ronki
basah halus (+) , wheezing (-)
Abdomen :
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya
massa, tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : BU (+) normal
- Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen, nyeri ketok sudut
costovertebra tidak ada.
- Palpasi : nyeri tekan (-)
o Hepar : tidak terdapat pembesaran hepar dan tidak terdapat nyeri
tekan.
o Lien : tidak terdapat pembesaran lien dan tidak terdapat nyeri
tekan.
o Ginjal : tidak terdapat pembesaran ginjal kanan dan kiri dan tidak
terdapat nyeri tekan, dan tidak nyeri ketok costovertebra.
Ekstermitas : Ekstermitas atas dan bawah hangat, nyeri [-], sianosis [-], jari
tabuh [-] dan bengkak [-].
Diagnosis : DVT eks inferior (S)
Terapi :
- IVFD NaCl 0,9% 8tpm
- Enoxapam 2 x 0,6 ml s.c (5 hari)
- clostasol 2 x 100 mg iv
- nasic 3x500 mg
- allopurinol 1x300 mg
- Paracetamol 3x1 gr
Monitoring :
- CM : 600cc CK : 1000cc
12
27 april 2018
Keluhan : nyeri dan semakin bengkak kai kiri. Kesemutan (+), sesak (-)
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD 90/60 mmHg, N : 80x/menit, RR : 20x/menit, T : 36°C (axilla)
Kepala : Simetris, normal, rambut beruban, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak tampak jejas trauma dan kelainan kongenital, tidak tampak bekas
operasi
Muka : Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak ada kelainan
kongenital
Mata : Pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm Konjungtiva anemis
tidak ada, sklera ikterik tidak ada, terdapat reflek cahaya pada kedua mata.
THT : DBN
Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5 – 2 cm H2O)
- Palpasi : Kelenjar tiroid dan kelenjar limfe tidak ada pembesaran
Pemeriksaan Thorax
Cor :
- Inspeksi : simetris, iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba, lokasi di apex, kuat angkat (+)
- Perkusi :
Batas atas : ICS II PSL sinistra
Batas kanan : ICS V PSL dextra
Batas kiri : ICS IV MCL sinistra
Batas bawah : ICS IV PCL sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, mur-mur (-).
Pulmo :
- Inspeksi : dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda –
tanda peradangan.
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus dada kanan dan kiri
sama.
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
13
- Auskultasi : suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru, ronki
basah halus (+) , wheezing (-)
Abdomen :
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya
massa, tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : BU (+) normal
- Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen, nyeri ketok sudut
costovertebra tidak ada.
- Palpasi : nyeri tekan (-)
o Hepar : tidak terdapat pembesaran hepar dan tidak terdapat nyeri
tekan.
o Lien : tidak terdapat pembesaran lien dan tidak terdapat nyeri
tekan.
o Ginjal : tidak terdapat pembesaran ginjal kanan dan kiri dan tidak
terdapat nyeri tekan, dan tidak nyeri ketok costovertebra.
Ekstermitas : Ekstermitas atas dan bawah hangat, nyeri [-], sianosis
[-], jari tabuh [-] dan bengkak [-].
Diagnosis : DVT eks inferior (S)
Terapi :
- IVFD NaCl 0,9% 8tpm
- Enoxapam 2 x 0,6 ml s.c (5 hari)
- cilostasol 2 x 100 mg iv
- nasic 3x500 mg
- allopurinol 1x300 mg
- Paracetamol 3x1 gr
Monitoring :
- CMCK
- Keluhan
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam
(deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena
(Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah,
hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias
virchow (JCS Guidelines, 2011; Bailey, 2009; Hirsh, 2002).
3.2 patogenesis
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah
dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis aliran
darah dan hiperkoagulasi.
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan
darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
15
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena, melalui
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang
utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi
seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin,
yang dapat mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan
melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-
fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2
yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan
saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan
darah.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah
meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.
16
3.3 Factor resiko
Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status aliran
darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.
Faktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap
timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang
menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat
menimbulkan trombosis vena.
1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir
sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.
2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah
operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.
17
3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik,
statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis
aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada
pengobatan payah jantung.
18
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo plastin-like
activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat.
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke
dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi
terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat
dibandingkan penderita biasa.
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena
tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti vena poplitea,
vena femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di
kenai.
Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala
klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena tungkai
superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak
jarng menimbulkan kematian.
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul tidak
selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis
yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat.
Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi dapat
menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih proksimal.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :
19
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di
daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial
dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau
penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler.
Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah
sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler
maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan
bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur
dengan posisi kaki agak ditinggikan.
Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus.
Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.
Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin, merupakan tanda-tanda
adanya sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan
ini di sebut flegmasia alba dolens.
4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi
dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan
20
meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi
imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan membalik ke
daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan
subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang
timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous claudicatio), nyeri berkurang
waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar
lutut dan kaki sepertiga bawah.
3.5. Diagnosis
Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala klinis saja kurang sensitif dan
kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak menimbulkan
penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan dan
gejala.
Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena
dalam, yaitu:
1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena.
Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan
terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum
pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke
proksimal ke v iliaca.
21
2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai.
Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan
vena di betis.
Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang
sukar di deteksi dengan cara objektif lain.
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe
perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT
ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik
serta ditemukannya faktor resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema,
nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea
dolens/blue leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk
stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi (JCS
Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).
22
Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)
Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas
karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Hirsh,
2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai
prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat
sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis
DVT (Adam, 2009; Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan
pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. USG
Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang
simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein
thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines,
2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002: Ramzi, 2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG
doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance
venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines, 2011). Algoritme diagnosis DVT dapat
dilihat sebagai berikut :
23
Algoritme diagnosis DVT (Hirsh, 2002)
3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah pasti
dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang diberikan
mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.
Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang
jarang menimbulkan kematian.
24
Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di
usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti
koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai
adalah heparin.
Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan
tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah
timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu dipantau waktu trombo
plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu
pembekuan.
Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000 –
1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di
periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2
tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang
mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin
dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral,
selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian
heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
25
pemberian heparin standar maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius yaitu
Heparin Induced Thormbocytopenia (HIT).
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan kalau
trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan,
bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
26
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan
memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah
dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek
samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4
ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit
intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang
cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik
adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah
terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu
trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
27
2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.
Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat proses
trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang eksistensif seperti
vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya panas, edema dan
nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau
pengangkatan trombosis.
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang
makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan
terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan
terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates,
2004).
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus
diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan
kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher,
2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai
kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan
berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan
adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-
tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek
samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya
perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan
antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien.
Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika
28
target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0
(Ramzi, 2004; Bates, 2004).
29
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding
penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat
stroke perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum,
operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada
sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak
dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang
tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan
liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004).
LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal
perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat
sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan
oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB,
dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis
200 IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan
dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux
(Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa
dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi
akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg)
secara subkutan, satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).
Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan
dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah
kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin
adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor(faktor II,
VII, IX, X) melalui hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase(Dietrich, 2009).
Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi
tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil
30
(2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh,
2002).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala
diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya
diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali
perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya
dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal
(Bates, 2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang
sedang dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak
memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan
akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat
daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis
pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah
penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping
harganya yang mahal (Hirsh, 2002: Bates, 2004).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara
lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan
banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan
monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih
baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak
dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor
faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan
sebagai terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan
dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi
inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan
obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping
perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut,
selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman,
2010).
Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target tempat bekerja
31
1. Inhibitor langsung thrombin (atau faktor lIa) , seperti dabigatran etexilate (Pradaxa ®)
dan AZD0837;
2. Oral inhibitor faktor Xa
Mmeliputi Rivaroxaban (Xarelto ®), apixaban, betrixaban , edoxabandan eribaxaban,
dan
3. Inhibitor faktor Xa parenteral, yang
meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi, turunan darifondaparinux)
dan semuloparin.
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor
resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3
bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan
memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien
dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi
(Bates, 2004; Hirsh, 2002)
Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)
32
TERAPI TROMBOLITIK
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi
vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara
sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada
episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic
syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti
urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi
streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang
lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan
alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat
tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan
konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat
meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis,
2006; Bates, 2004).
33
akut, trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati
atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan,
hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS
Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
34
Tabel-3. Protokol trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)
35
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan
dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden
terjadinya post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama
kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan
resiko timbulnya PTS.
TROMBEKTOMI
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy,
lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang
dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah
dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer
harus dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah
tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai
1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang
maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT.
Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi
kompartemen dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).
36
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam kasus, pasien adalah seorang perempuan usia 45 tahun. Dengan berbagai gejala
klinis dan hasil dari pemeriksaan yang didapatkan, keterangan ini merupakan salah satu fakta
pendukung DVT. pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri kedua kaki sejak 4 hari yang
lalu. Nyeri dirasakan semakin memberat sejak 2 hari terakhir. Nyeri lebih dominan pada kaki
kiri. Kesemutan (+). Pasien juga merasa kedua kaki lemas. Merasa akan jatuh saat berjalan.
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya(+). Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), riwayat
sesak (+), riwayat HT (+).
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Alwi, Idrus. 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Hal: 1741-1754.
2. Putranto, Bondan H. 2015. Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS Indonesia. Jakarta :
PERKI. Hal: 57-73
3. Harun, S., 2009. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Hal: 1757-1764
4. Irmalita. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI. Hal: 1-
59.
5. Isselbacher, J Kurt. 2013. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 3. Jakarta : EGC.
6. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia - 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. P : 277.
7. Price, Sylvia Anderson. 2005. Penyakit Aterosklerotik Koroner. dalam Patofisiologi :
konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 589-590.
8. Sherwood, Lauralee. 2012. dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hal 287-292.
9. Trisnohadi B H. 2009. Angina Pektoris Tak Stabil. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Hal: 1728
10. Elsevier Ltd. Rang et al dalam Pharmacology 5E www.studentconsult.com
11. PUSLITBANG Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, DEPKES RI. Faktor Determinan Gejala Angina Pektoris pada
Masyarakat yang Belum Pernah Terdiagnosis Penyakit Jantung. Majalah Kedokteran
Indonesia, Vol. 59, No. 11, November 2009. P : 519.
12. R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. Nilai troponin T penderita sindrom
koroner akut. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol.
12, No. 3, Juli 2006: 123-126.
13. Ruz ME, Abu, Lennie TA, Riegel B, McKinley S, Doering LV, Moser DK. Evidence
that the brief symptom inventory can be used to measure anxiety quickly and reliably
in patients hospitalized for acute myocardial infarction. 2010.
14. Yanti, Suharyo Hadisaputra, Tony Suhartono. 2005. Journal Risk Factors Coronary
Heart Disease in Type 2 Diabetes Mellitus Patient.
38