Вы находитесь на странице: 1из 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir tahun 1998 maka dibentuklah
sebuah Lembaga yang bernama Komisi Yudisial, yang merupakan salah satu dari enam agenda
reformasi yang diusung adalah penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia
(HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut
merupakan wujud kekecewaan rakyat terhadap praktik penyelenggaraan negara sebelumnya
yang dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan.
Sejarah berkuasanya Orde Baru selama 32 tahun menjadi pelajaran bagi bangsa ini akan
perlunya pembangunan hokum yang terkait tentang perundang-undangan organic tentang
pembatasan kekuasaan presiden sehingga membatasi akan praktik-praktik korupsi, kolusi serta
nepotisme yang merajalela ketika Orde Baru berkuasa.
Pembinaan Lembaga peradilan oleh eksekutif sangat berpeluang di intervensi oleh
penguasa serta praktek-praktek negative selama proses peradilan. Maka dirasa perlu untuk
dibentuk Lembaga peradilan yang independent sehingga tidak mudah di intervensi oleh pihak
penguasa atau oknum kroni nya yang memanfaatkan celah dalam system peradilan di
Indonesia.
Kebutuhan untuk pemisahan yang tegas akan fungsi-fungsi yudikatif serta fungsi
eksekutif agar tidak saling timpang tindih tugas dan ambiguitas peran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Komisi Yudisial?
2. Apa saja Wewenang, Tugas, Hak dari Komisi Yudisial?
3. Bagaimana kedudukan yang terdapat di Komisi Yudisial?

C. Tujuan Penelitian
1. Agar lebih mengetahui dan mengenal akan Komisi Yudisial beserta peran dan tanggung
jawabnya.
2. Agar dapat lebih memahami akan susunan serta tugas dari Komisi Yudisial.

KOMISI YUDISIAL 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah pembentukan Komisi Yudisial
Sejarah Komisi Yudisial dimulai pada 9 November 2001, saat sidang tahunan Majelis
Permusyarawatan Rakyat RI mengesahkan amendemen ketiga UUD 1945. Dalam sidang itulah
Komisi Yudisial resmi menjadi salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam
konstitusi/dasar negara dalam Pasal 24B UUD 1945.
Kondisi peradilan menjadi salah satu fokus pembahasaan MPR RI, sehingga perlu
diterbitkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai
Haluan Negara. Mengutip TAP tersebut digambarkan kondisi hukum sebagai berikut:

“Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum
khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang
pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang
terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada
penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah
terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan,
kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa
melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan
praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa
keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah
atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang
lemah”

Beberapa agenda kebijakan mulai digagas,sepertipemisahan yang tegas antar fungsi-


fungsi yudikatif dari eksekutifdan pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur
penegak hukum. Untuk merealisasikan hal tersebut, terdapatperubahan penting dalam tubuh
kekuasaan kehakiman melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Salah satu pokok perubahan yang mendasar ialah penempatan tiga aspek organisasi,
administratif, dan finansial kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di Mahkamah Agung.
Sebelumnya, secara administratif ada di bawah kendali Departemen Kehakiman.Sedangkan

KOMISI YUDISIAL 2
secara teknis yudisial, berada dalam kekuasaan Mahkamah Agung. Konsep ini lebih dikenal
dengan sebutan penyatuatapan kekuasaan kehakiman (one roof of justice system).
Kehadiran sistem tersebut bukan tanpa kekhawatiran. Menyadur naskah akademis
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, penyatuatapan –tanpa perubahan sistem lainnya
misalnya rekrutmen, mutasi, promosi, dan pengawasan terhadap hakim– berpotensi melahirkan
monopoli kekuasaan kehakiman.
Selain itu, ada pula kekhawatiran Mahkamah Agung belum mampu menjalankan tugas
barunya karena memiliki beberapa kelemahan organisasi yang sampai saat ini masih dalam
upaya perbaikan. Alasan lain ialah gagalnya sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan
yang lebih baik. Sehingga penyatuatapan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung belum
menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Pertimbangan itu membuat ahli dan pengamat hukum mengeluarkan ide untuk
membentuk lembaga pengawas eksternal yang diberi tugas menjalankan fungsi checks and
balances. Kehadiran lembaga pengawas peradilan diharapkan agar kinerja pengadilan
transparan, akuntabel dan imparsial, serta mengedepankan aspek kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan.

B. Tujuan Dibentuknya Komisi Yudisial


Tujuan dibentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah :
1. Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri untuk menegakkan
hukum dan keadilan.
2. Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik
dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
Sementara menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya Komisi Yudisial & Reformasi
Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di bebarapa negara, Komisi
Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:
1. Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena
pengawasan hanya dilakukan secara internal saja.
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan
pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan
kehakiman (judicial power).

KOMISI YUDISIAL 3
3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang
memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan
persoalanpersoalan teknis non-hukum.
4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena
lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu
presiden atau parlemen.

C. Wewenang Komisi Yudisial


Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai
wewenang:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama
dengan Mahkamah Agung;
4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
(KEPPH).

D. Tugas Komisi Yudisial


Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas:
1. Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
3. Menetapkan calon hakim agung; dan
4. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:
1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

KOMISI YUDISIAL 4
 Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
 Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim;
 Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
 Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim,
 Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran
martabat hakim.
2. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai
tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
3. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat
meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan
merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
4. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

E. Pertanggungjawaban dan Laporan Komisi Yudisial


Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan
laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
UU No. 22 Thn 2004 Pasal 38 :
1. Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melalui DPR.
Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara:
a. menerbitkan laporan tahunan; dan
b. membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal-
hal sebagai berikut:
a) laporan penggunaan anggaran;
b) data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan

KOMISI YUDISIAL 5
c) data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
3. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula
kepada Presiden
4. Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
menurut ketentuan undang-undang.

F. Hak Komisi Yudisial


Hak Protokoler, Keuangan, dan Tindakan Kepolisian. UU No. 22 Thn 2004
Pasal 8 :
Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial
diberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat negara.
Pasal 9 :
Anggaran Komisi Yudisial dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 10 :
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya
atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau berdasarkan bukti permulaan yang
cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

G. Kedudukan dan Susunan


UU No. 22 Thn 2004 :
Kedudukan
Pasal 2 :
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Pasal 3 :
Komisi Yudisial berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia
Susunan :
Pasal 4 :
Komisi Yudisial terdiri atas pimpinan dan anggota.
Pasal 5 :

KOMISI YUDISIAL 6
Pimpinan Komisi Yudisial terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang
merangkap Anggota.
Keanggotaan :
Pasal 6 :
1) Komisi Yudisial mempunyai 7 (tujuh) orang anggota.
2) Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara.
3) Keanggotaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas mantan
hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Pasal 7 :
1) Pimpinan Komisi Yudisial dipilih dari dan oleh Anggota Komisi Yudisial.
2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan pimpinan Komisi Yudisial diatur oleh Komisi
Yudisial.
UUD 1945 Pasal 24B Ayat :
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hokum serta memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

KOMISI YUDISIAL 7
BAB III
KESIMPULAN
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Komisi Yudisial termasuk Lembaga yang baru karena Sejarah Komisi Yudisial dimulai
pada 9 November 2001, saat sidang tahunan Majelis Permusyarawatan Rakyat RI
mengesahkan amendemen ketiga UUD 1945. Dalam sidang itulah Komisi Yudisial resmi
menjadi salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam konstitusi/dasar negara
dalam Pasal 24B UUD 1945.
Komisi Yudisial dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan independenitas dari
seorang hakim dan meningkatkan integritas, profesionalitas dari seorang hakim yang sesuai
dengan kode etik.
Komisi Yudisial mempunyai wewenang yang telah ditetapkan Sesuai Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial. Serta mempunyai Tugas yang telah diatur Berdasarkan Pasal
14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim
ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Dalam
melaksanakan Tugasnya, Komisi Yudisial melaporkan pertanggung jawaban tugasnya dengan
bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan
membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
Meskipun terhitung sebagai Lembaga yang baru Komisi Yudisial mempunyai Tugas,
Pokok, serta fungsi (TUPOKSI), Hak serta kedudukan serta susunan yang jelas dan diatur di
dalam Undang-undang.

KOMISI YUDISIAL 8
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
3. A. Ahsin Thohari (2004), Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta ISBN 979-8981-35-9
4. http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-komisi-yudisial-fungsi.html

KOMISI YUDISIAL 9
KOMISI YUDISIAL 10

Вам также может понравиться