Вы находитесь на странице: 1из 13

TEXT BOOK READING

TERAPI RADIOFREKUENSI PADA TATALAKSANA


NYERI PUNGGUNG BAWAH (NPB)

Disusun oleh:

Immanuel Jeffri Paian Parulian G4A015009

Pembimbing :
dr. Tutik Ermawati, Sp.S

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


SMF SARAF
RSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING

TERAPI RADIOFREKUENSI PADA TATALAKSANA


NYERI PUNGGUNG BAWAH

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepanitraan Klinik


Di Bagian SMF Saraf
RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Immanuel Jeffri Paian Parulian G4A015009

Purwokerto, April 2017


Mengetahui

Pembimbing,

dr. Tutik Ermawati, Sp.S


I. PENDAHULUAN

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan,
sedang, maupun hingga berat. Nyeri Punggung Bawah (NPB) didefinisikan sebgai
nyeri yang dirasakan sepanjang tulang belakang, hingga panggul. NPB
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu akut, sub akut, dan kronis. NPB akut diartikan
sebagai timbulnya episode NPB yang menetap dengan durasi kurang dari enam
minggu. Durasi enam sampai dua belas minggu didefinisikan sebagai PB sub
akut, sedangkan durasi yang lebih dari duabelas minggu adalah NPB kronis.
Timbulnya rasa nyeri pada NPB diakibatkan penekanan pada saraf, kelemahan
otot, tulang yang osteoporotic, dan pembuluh darah yang menyempit (Arumsari,
2016).
Hasil penelitian PERDOSSI (Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia)
yang dilakukan di 14 kota di Indonesia pada 2002 menunjukan bahwa 18.1 %
adalah pasien NPB dari seluruh pasien yang mengeluhkan Nyeri. Studi populasi
di daerah pantai utara Jawa Indonesia ditemukan insidensi 8,2% pada pria dan
13,6% pada wanita. Di rumah sakit Jakarta, Yogyakarta dan Semarang
insidensinya sekitar 5,4 – 5,8%, frekwensi terbanyak pada usia 45-65 tahun.
Menurut data rekam medis di RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh data pada
tahun 2014 sebanyak 449 pasien NPB, dengan kasus baru sebanyak 168 orang
dimana laki-laki 69 orang dan perempuan 99 orang, sedangkan kasus lama atau
penderita yang kontrol sebanyak 281 orang (Arumsari, 2016).
Dengan demikian NPB telah menjadi salah satu masalah kesehatan.
Nyeri punggung menjadi penyebab tersering terbatasnya aktivitas pada orang-
orang berusia diatas 45 tahun keatas, penyebab kedua bagi pasien dating kedokter,
alasan kelima terbanyak perlunya perawatan di rumah sakit, dan ranking ke tiga
penyebab dilakukannya tindakan oprasi. Prevalensinya lebih daru 70% di seluruh
negara-negara industri. Sehingga mengakibatkan hilangnya 1,4 hari kerja
perorang pertahun, atau sejitar 10-15% pekerja absen dikarenakan nyeri pinggang.
Sehingga pengobatan NPB meliputi pengobatan konservatif dan invasif ditujukan
untuk menghilangkan gejala-gejala nyeri punggung tersebut. Berdasarkan
perkembangan penelitian medis selama bertahun-tahun, saat ini banyak pilihan
pengobatan untuk nyeri pinggang kronis, salah satunya adalah Terapi
Radiofrekuensi (Siahaan, 2013).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Radiofrekuensi (RF) merupakan tindakan pengobatan minimal invasif
dengan teknik selektif yang telah diterapkan secara klinis lebih dari beberapa
dekade dan memberikan hasil sukses untuk terapi terhadap aritmia jantung,
displasia, dan mengurangi rasa sakit pada beberapa kasus nyeri kronis seperti
trigeminal neuralgia, nyeri pinggang kronik, post terapi neuralgia, nyeri iskemik,
servikobrakhialgia, nyeri post torakostomi, oksipital neuralgia, atau nyeri
radicular lumbal (Siahaan, 2013).

B. Perkembangannya
Ketertarikan penggunaan arus listrik untuk menginduksi lesi dapa system
saraf sudah berlangsung sejak abad ke-19. Beaunis (1868), Fournie (1873), dan
Golsinger (1895) adalah orang-orang pertama yang menggunakan arus langsung
(DC) pada lesi di otak hewan. Tahun 1905, Horsley dan Clark mengembangkan
pengukuran secara empiris terhadap kulifikasi lesi berdasarkan waktu.
Penggunaan arus DC pada otak pertama kali pada tahun 1947. Namun lesi yang
timbul dari arus DC secara klinis tidak memuaskan karena pada lesi timbul gas
dan mempengaruhi jaringan dan vaskularnya. Radiofrekuensi baru dapat
digunakan secara klinis tahun 1920. Cushing dan Bovie merupakan orang pertama
yang menggunakan RF untuk memotong dan mengkoagulasikan jaringan.
Pertama kali digunakan secara komersial 1950. Shealy dilaporkan pertamakali
mengaplikasikan RF untuk nyeri punggung yang disebabkan facet joint tahun
1975. Sayangnya kelanjutan untuk penerapan teknologi RF untuk mengkontrol
nyeri gagal karena keterbatasan peralatan dan keamanannya. Uematsu dilaporkan
menggunakan RF untuk membuat lesi pada ganglian dorsalis untuk pengobatan
nyeri spinal yang disebabkan selain nyeri facet join. Namun saat-saat itu potensial
defisiensi motorik setelah terapi RF menyebabkan berkurangnya minat pada
penggunaan RF sebagai terapi dan berlangsung selama tiga dekade. Titik baliknya
terjadi tahun 1981 saat Sluijter dan Mehta kanula 22-gauge RF yang terdapat
thermocouple probe didalamnya dimana cara baru ini lebih menguntungkan dan
prosedunya dapat dilaksanakan secara perkutaneusdengan rasa tidak nyaman yang
minimal dan meminilalisasi trauma jaringan juga dapt meminimalkan terjadinya
cedera mekanik. Tahun 1997 Slappendel et al., mempublikasikan hasil
penelitainnya, rancangan acak tersamar ganda, tentang manfaat dari pembentukan
lesi dengan RF pada ganglia dorsalis segmen servikal. Penelitian ini juga
menyatakan tidak ada perbedaan efektivitas pembentukan lesi pada suhu 40OC
dengan 67OC. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan lesi pada suhu dibawah
45OC adalah sama efektifnya dengan pembentukan lesi pada suhu yang tinggi
dimana suhu 45OC merupakan ambang batas bawah yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan saraf yang menetap. RF pada suhu yang rendah juga dapan
mengurangi rasa nyeri yang lebih lama tanpa perlu risiko sindrom deafferentation
(Ahadian, 2004).

C. Kelebihan
Kelebihan dari RF dibandingan dengan teknik neurodestruktif lainnya
adalah lesi yang terbentuk lebih terukur dan lebih terprediksi atau tepat. Lesi yang
terbentuk dari RF tidak akan menyebabkan perlengketan atau mengubah jaringan,
tidak seperti dahulu yang menggunakan arus listrik langsung (DC) juga tidak
menghasilkan asap. Jarung dan probe yang digunakan pada RF bersifat tahan lama
dan tersedia juga dalam diameter yang kecil (22 dan 23) sehingga memungkinkan
untuk mudah digunakan dan minimal menyebabkan cedera jaringan. Oleh sebab
itu prosedurnya dapat dilakukan dengan minimal rasa tidak nyaman dan sedikit
atau bahkan tanpa analgetik atau sedatif. Sehingga stimulasi sensorik dan motoric
mudah dilakukan untuk meningkatkan presisivitas dan keamanannya. Idealnya
dilakukan dengan peralatan fluoroscopy dan panduan –omputed tomography
(Ahadian, 2004).

D. Prinsip Kerja
Empat komponen yang dibutuhakan adalah generator RF, elektroda aktif
(jarum kanul dan probe), dan elektroda dispersive (ground), juga tubuh pasien
sebagai resistor dan pelengkap dari rangkaian sirkuit elektriknya. Arus dari RF
akan masuk kedalam tubuh pasien melalui ujung jarum elektroda aktif, biasanya
berukuran 22. Arus akan mengalir melalui tubuh pasien menuju elektroda
dispersif dan kembali kedalam generator. Luas permukaan tubuh yang kontak
pada elektroda dispersif lebih besar dari pada luas permukaan tubuh yang kontak
dengan elektroda aktif. Hal ini terjadi untuk mencegah timbulnya panas yang
dapat menyebabkan luka bakar. Namun arus akan terkonsentrasi pada ujung jarum
elektroda sehingga dapat membentuk lesi yang di harapkan pada terapi RF. Arus
RF pada ujung bebas jarum elektroda akan menyebabkan dua fenomena berbeda
pada jaringan sekitarnya yaitu menghasilkan medan listrik statis dan panas.
Penggunaan arus pada terapi RF ini berkisar 0.5-1 MHz pada ujung bebas jarum
elektroda aktif yang akan membentuk suatu medan listrik sesuai hokum
elektrofisika. Arah dan besarnya medan listrik yang terjadi berfariasi terjantung
dari bentuk dari ujung jarum elektroda aktifnya. Bentuk yang datar medan
listriknya biasanya akan lebih lemah namun yang berbentuk bulat kerapatan
muatannya akan berbanding terbalik dengan jari-jari lingkarannya. Jaringan di
sekitar ujung jarum elektroda yang terbuka berperan sebagai resistor. Arus akan
keluar dan mengalir ke jaringan sekitar ujung jarum elektroda. Suhu paling tinggi
pada jaringan yang dekat dengan ujung jarum elektroda dan berkurang jika
semakin menjauh. Tiga hal yang mempengaruhi terjadinya panas pada jaringan
adalah tegangan, arus , dan tahanan. Panas yang timbul disekitar ujung jarum akan
berbentuk sedikit seperti buah pir (pear shaped) (Ahadian, 2004).
Pada awal perkembangannya terapi RF menghasilkan panas yang
berlebih sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang cukup parah sehingga
menimbulkan komplikasi yang parah juga. Terdapat tiga cara yang digunakan
untuk untuk mempertahankan suhu yang rendah saat terapi RF berlangsung:
menerapkan RF secara penuh tapi dinginkan ujung jarum elektroda dengan cairan
salin yang dingin, menerapkan RF dengan keluaran daya yang rendah, atau
pertahankan keluaran daya secara maksimal namun gunakan denyutan arus yang
lemah dengan interval yang cukup agar suhu jaringan tetap normal. Pendinginan
terhadap ujung jarum elektroda belum terbukti dapat diterapkan sebab suhu dari
jaringan yang meningkat bukan ujung jarum elektroda. Pendinginan pada ujung
jarum elektroda ini akan membatasi kenaikan suhu sesaat pada jaringan sekitar
yang berdekatan dengan ujung jarum, namun perusakan jaringan saraf pada
jaringan sekitarnya tetap terjadi. Kedua pilihan yang lain terbukti memiliki
keuntungan yang lebih baik dimana memberikan intensitas penuh pada pemberian
arus RF disertai pembatasan terhadap peningkatan tempratur. Metode ini disebut
sebagai Pulsed-Radiofrekuensi (PRF). Standart pelaksanaannya pada arus
500.000-Hz untuk denyutan 20-ms setiap 0.5 detik (Ahadian, 2004).

E. Mekanisme Kerja
Ada dua mekanisme utama yang terjadi pada terapi radiofrekuensi ini
untuk menghasilkan efek analgesic yang cukup lama yaitu: pembentukan lesi
termogenik yang bersifat neurodestruktif dan yang lainnya adalah efek
neuromodulatif dari medan elektrostatik RF. Dahulu kerusakan jaringan adalah
tujuan utama dengan memanfaatkan efek peningkatan suhu jaringan akibat RF
namun kerusakan jaringan ini bersifat terkendali. Dengan kemampuan yang baru
kita dapat menggunakan intensitas arus secara penuh pada RF tanpa menghasilkan
suhu yang tinggi. Efek panas dari terapi ini akan menjadi efek samping yang tidak
berpengaruh namun ekef biologik yang timbul akibat adanya medan listrikstastis
akan memisahkan bermacan tipe sel. Berdasarkan studi obserfasional dengan suhu
yang konstan, medan listrik statis yang timbul akan mengskpresiakn c-fos yang
mengindikasikan suatu ekspresigen. Hal ini lah yang meungkin menyebabkan
perubahan lebih yang terjadi pada system saraf (Ahadian, 2004).

F. Indikasi dan Kontraindikasi


Terapi Radiofrekuensi sebagai salah satu menejement terapi nyeri kronis
dapat bersifat invasif dan non-infasif. Indikasi dan kontra indikasinya terpampang
dalam table. Diagnosis dilakukan secara terpisah dan dapat dikelompokkan
menjadi indikasi absolut atau relatif. Penolakan persetuan selalu menjadi
kontraindikasi terapi ini. Kulit atau jaringan yang terinfeksi pada lokasi yang akan
dimasukan jarum elektroda harus selalu dihindari. Jika ada infeksi sistemik,
prosedur harus selalu di tunda hingga tidak ada lagi tanda infeksi. Kelainan
koagulasi dan trombosit harus juga di pertimbangkan (Ahadian, 2004).
Tabel 2.1. Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Radiofrekuensi (Ahadian, 2004).

G. Tahapan Pelaksanaan

1. Diagnosis Blokade Saraf


Prosedur ini merupakan penilaian awal yang dilakukan sebelum dilakukan
RF. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi penentuan segmen saraf
spinal yang terkena, jumlah suntikan, dan penentuan hasil terapi meskipun
masih kontrofersial. Sebuah studi analisis risiko-manfaat mendukung
tahapan ini dikarenakan potensianlnya yang cukup besar untuk
menghasilkan hasil yang yang tidak diinginkan karena dapat timbulnya
peningkatan suhu yang tinggi. Meskipun dengan metode PRF hal yang
dikhawatirkan ini dapat di minimalisasi. Diagnostik blokade saraf
dianjurkan untuk menentukan bagian yang terkena dan menentukan
prognosisnya (Ahadian, 2004).
2. Anestesi dan Sedasi
Iinfiltari dari anestesi lokal dibatasi hanya pada kulit dan jaringan
superfisial saja. Infiltrasi yang lebih dalam dapat mengganggu saat
stimulasi saraf dan menyulitkan penempatan dari jarum elektroda juga
memperburuk hasilnya. Lidocain 0.5% sampai 1% atau yang lainnya yang
setara adalah obat anestesi yang cukup adekuat untuk menganestesi
jaringan lunak superfisial. Karena keterbatasan local anestesi dan durasi
prosedur dari PRN mungkin diperlukan sedasi namun pasien harus tetap
sadar. Sedasi yang dalam harus dihindari karena kooperatif dari pasien
juga merupakan kunci kesuksesan dari prosedur terapi ini (Ahadian,
2004).
3. Stimulasi Sensorik
Dianjurkan untuk melakukan stimulasi sensorik terlebih dahulu sebelum
terapi RF dilakukan dibantu oleh CT radiologi untuk memastikan bahwa
ujung jarum elektroda sudah pada tempat yang tepat. Stimulasi motorik
juga di perlukan untuk memastikan bahwa ujung jarum elektroda pada
jarang yang aman, jauh dari saraf motorik. Frekuensi 50 Hz digunakan
pada mulanya untuk stimulasi sensorik dan meningkat secara perlahan
sampai pasien merasakan keram, sakit, atau kesemuatan pada daerah yang
sesuai dengan persarafannya. Tegangan dimana pasien merasakan
stimulasi pertama disebut sebagai ambang batas sensorik. Semakin redah
ambang batas sensoriknya menyatakan bahwa semakin dekat ujung jarum
elektroda dengan saraf targetnya. Jika daerah yang terjadi stimulasi tidak
sesuai secara klinis dengan saraf yang dimaksud, maka akan dibantu
secara radiologik. Ambang batas sensorik akan semakin meningkat seiring
bertambahnya usia dan tingkat sedasinya. Frekuensi yang di gunakan
untuk stimulasi motorik adalah 2 Hz. Setelah parameter stimulasi
didapatkan dan meyakinkan, barulah PRF di lakukan (Ahadian, 2004).
4. Pulsed-Radiofrekuensi
Durasi yang optimal yang digunakan masih belum diketahui pasti. Total
lama waktu yang digunakan paling singkat selama 1 menit dan yang
paling lama 6 menit. Jaraf dari probe dengan saraf yang dituju, diameter
dari sarafnya, dan vaskularisasi di sekitarnya adalah beberapa vaktor yang
mempengaruhi lamanya waktu yang diberikan. Rekomendasi terbaru
adalah 90 sampai 240 detik. Rekomendasi pengaturannya adalah 2 siklus
perdetik 20ms persiklus aktif dengan frekuensi 500.000 Hz. Output nya
dapat mencapai 42OC sampai 44 OC. Atau dengan menggunakan tegangan
45 volt. Secara empiris akan menghasilkan suhu 43 OC. Jika suhu pada
ujung dari jarum elektroda melebihi 43 OC, maka tegangan harus
diturunkan menjadi 40 volt. Pada alat RF yang moderen dapat memantau
impedansi atau tahanan. Jika impedansi lebih dari 400 ohm, harus
dilakukan sedikit penyesuaian pada ujung jarum elektroda. Jarum
elektroda mungkin telah memasuki periosteum atau jaringan ikat padat
fibrosa. Atau bisa mengunakan cairan normal salin 0.5 – 1 ml yang
disuntikan memalui jarum (Ahadian, 2004).

H. Hasil dan Komplikasi

Efek fisiologis dari RF haruslah dibedakan dari hasil klinis. Hampir semua
pasien merasakan keuntungannya dalam beberapa jam hingga beberapa hari
setelah dilakukan terapi RF. Namun untuk beberapa orang yang lain sulit untuk
merasakannya karena ketidaknyamanan dari prosedur terapi RF ini. Hasil
akhirnya tergantung dari ketepatan diagnosis, ketepatan dari prosedur yang
dilakukan, dan juga injeksi anestesi lokal yang dilakukan selama prosedur. Selama
follow up pasien dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menentukan
keberhasilan dari prosedur terapi RF ini. Biasanya keluhan stelah prosedur akan
berbeda dari keluhan sebelumnya. Hal ini biasanya hilangnya rasa nyeri pada satu
area namun pada area disekatnya bisa merasakan sakit yang lebih parah. Beberapa
pasien juga dapat merasakan periode perasaan yang tidak nyaman, biasanya 1
sampai 3 minggu setelah terapi. Perasaan yang dirasakan biasanya dideskripsikan
sebagai sebuah rasa sakit didalam namun pada tempat yang sedikit lebih jauh dari
lokasi dilakukan prosedur terapi RF. Studi lebih lanjut menai efek jangka panjang
dari terapi ini kiranya dapat dilakukan. Namun umumnya pasien akan datang
kembali setelah 8 sampai 15 bulan setelah terapi awal. Adapun komplikasi yang
dapat mungkin terjadi seperti pada Tabel 2.2. (Ahadian, 2004).

Tabel 2.2. Kompilasi Terapi Radiofrekuensi (Ahadian, 2004).


III. KESIMPULAN

Terapi Radiofrekuensi sudah terbukti cukup aman dan efektif sebagai salah
satu opsi pengobatan nyeri punggung bawah kronis. Dengan teknik pulsed
Radiofrekuensi risiko komplikasi yang timbul akibat tingginya suhu yang
dihasilkan telah dihilangkan tanpa mengurangi efektifitasnya. Terapi ngobatan ini
pun dapat di gunakan sebagai menejemen terapi nyeri yang lainnya. Penelitian
lebih lanjut hendaknya dapat dilakukan untuk menguatkan hasil terapi dan untuk
mengkonfirmasi protokol terapi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Ahadian Farshad M. 2004. Pulsed Radiofrequency Neurotomy: Advances in Pain


Medicine. Current Pain and Headache Reports: Anesthetic Techniques in
Pain Management. California. Vol 8: 34-40
Arumsari A, Trianggoro B, Widodo. 2016. Hubungan Tingkat Stres Seseorang
Dengan Perubahan Intensitas Nyeri Punggung Bawah (NPB) di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Semarang. Vol 5(4):
347-358
Siahaan Yusak M. Penggunaan Radiofrekuensi pada Terapi Nyeri Punggung
Bawah dalam Trianggoro B. 2013. Nyeri Punggung Bawah. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Вам также может понравиться