Вы находитесь на странице: 1из 22

diposting oleh Nuzulul Zulkarnain Haq pada 12 October 2011

di Kep Respirasi - Copyright (c) 2017 Nuzulul Zulkarnain Haq. All rights reserved.
Lihat komentar

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) ENFISEMA


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak penyakit yang dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok. Salah satu yang
harus diwaspadai adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD).

Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan
angka kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada
tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena
PPOK sebanyak 45.000, termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS.,
1985). Menurut National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita
emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih
memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study
menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta
urutan kelima kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan, PPOK
merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90%
terjadi pada usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992
Thoracic Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK berumur
di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi
serta menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).

Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis
kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
(Hadiarto, 1998). Survey Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan angka
kesakitan 13,5%, emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Aji Widjaja
1993). Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat Inap di RSUP Persahabatan sebanyak
124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95% (Hadiarto, 1998). Di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444
(15%), dan rawat jalan 2368 (14%).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian PPOK tahun 2010
diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke-
Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi
perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK.
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun
1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi
para perokok remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu
produsen dan konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara
dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang
rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang
setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun.
Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat.

Atas dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai emfisema yang merupakan salah
satu bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan Keperawatan pada Klien Emfisema.
Sehingga diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien
emfisema.

1.2 Rumusan Masalah

1. 1. Bagaimana konsep teori dari emfisema?


2. 2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami definisi emfisema.

2. Mengetahui dan memahami etiologi emfisema.

3. Mengetahui dan memahami patofisiologi emfisema.

4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien dengan
emfisema.

5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan klien dengan emfisema.

6. Mengetahui dan memahami WOC dari emfisema.

7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari emfisema.

8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan emfisema.


1.4 Manfaat

Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus emfisema.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Emfisema

Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada
jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara
berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American Thorack
society:

1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus
menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216).

2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang


udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253).

3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveoli.(Corwin.2000.435).

4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The
American Thorack society 1962).

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran


ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara
(alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan termasuk emfisema”.
Namun, keadaan tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.

Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada
kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang
diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis
dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume
paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan
enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini

Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang
terjadi dalam paru-paru :

1. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar)

Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian
bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan
bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus
terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai
gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada
sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema
akibat usia tua dan bronchitis kronik.

Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim
alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan
cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan
sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai
oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar
emfisema, sering kali timbul pada perokok.

2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)

Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap
baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus,
biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus
respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya
cenderung menjadi satu ruang.

Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang
menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan
episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan
gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang
tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).

3. Emfisema Paraseptal

Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli)
sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak
spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula
timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen
bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa
dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali
menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.

2.2 Etiologi

1. Faktor Genetik

Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah
atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE)
serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan
defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.

2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase

Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan
elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.

3. Rokok

Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat
menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag
alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia
epitel skuamus saluran pernapasan.

4. Infeksi

Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya lebih
berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale,
dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu
menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah.
Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus
pneumoniae.

5. Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian
emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara
seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi
makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya
tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.

6. Faktor Sosial Ekonomi


Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena
perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang
lebih jelek.

7. Pengaruh usia

2.3 Patofisiologi

Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan
menyebebkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu akibat dari
perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan
paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada
emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan
nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebs
dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas
atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai
dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan
dengan bronkhitis dan merokok.

Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini
disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu
defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim
proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik.
Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan
elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang
penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah
banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator
terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan
antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan
menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara
tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan
otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas
paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru
akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien
emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya
saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan
perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak
nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus
yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau
seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi
sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam
alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi
penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.

2.4 Komplikasi

1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan


2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

1. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan

2.5 Manifestasi Klinis

Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-
bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun
mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru.Umur 35-45 tahun timbul
batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan
spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan
kegagalan nafas dan meninggal dunia.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:

1. Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit,
hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

2. Pencegahan

a. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan usaha yang optimal
harus dilakukan

b. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada


pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang
berbahaya terhadap saluran nafas.
c. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan
infeksi pneumokokus.

3. Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang
masih mempunyai komponen reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:

a. Pemberian Bronkodilator,

Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan
memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-
15mg/L.

Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama
adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.

b. Pemberian Kortikosteroid, pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil


mengurangi obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba
pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.

c. Mengurangi sekresi mukus

Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap kuning
pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan
amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan
mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.

4. Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan


kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social,
emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :

a. Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.

b. Memperbaiki efisiensi ventilasi.

c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis

5. Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan


toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau
waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih
baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan


diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat
dua bentuk kelainan, yaitu:

a. Gambaran defisiensi arter


Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.

b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular
dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.

2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh
pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien
hampir mencukupi.

4. Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II,
III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang
dari 1.

a) Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;


peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).

b) Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.

c) TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan
emfisema.

d) Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.

e) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.

f) FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronkitis dan asma.

g) GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat


menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat
(emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.

h) JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil


(asma).

i) Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer.

j) Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;


pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
k) EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema).

l) EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN EMFISEMA

Di sebuah Rumah Sakit di Surabaya

Tanggal Pengkajian : 12 Novenber 2010 Jam 11.30 WIB

Identitas Klien

Nama : Tuan A
TTL : 17/11/1970

Jenis Kelamin : Laki-laki


Umur : 40 tahun, 5 hari

Pekerjaan : Buruh bangunan


Nama Ayah/ Ibu : Tn. M (Alm) / Ny.M
Pekerjaan Istri : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Kedinding 78, Surabaya
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pendidikan terakhir : SD
Pendidikan terakhir Istri : SD

Diagnosa : Emfisema

3.1. Riwayat Sakit dan Kesehatan

1. 1. Keluhan Utama : sesak napas.


2. 2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tuan A tinggal bersama istri dan dua anaknya. Tuan A mengeluh sesak napas, batuk, dan
nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas. Banyak sekret keluar ketika batuk,
berwarna kuning kental. Tuan A tampak kebiruan pada daerah bibir dan dasar kuku. Tuan A
merasakan sedikit nyeri pada dada. Tuan A cepat merasa lelah saat melakukan aktivitas.

3. Riwayat Penyakit dahulu :

Tuan A selama 3 tahun terakhir mengalami batuk produktif dan pernah menderita
pneumonia

4. Riwayat Keluarga :

Tidak Ada

3.2. Observasi dan Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Baik, Kesadaran Kompos Mentis

2. Tanda-Tanda Vital :

S : 37,40C

N :102 x/mnt

TD :130/80 mmHg

RR : 30 x/mnt

3.3. Review of System

1. Pernafasan B1 (breath)

Bentuk dada : barrel chest

Pola nafas : tidak teratur

Suara napas : mengi

Batuk : ya, ada sekret

Retraksi otot bantu napas : ada

Alat bantu pernapasan : O2 masker 6 lpm


2. Kardiovaskular B2 (blood)

Irama jantung : regular; S1,S2 tunggal.

Nyeri dada : ada, skala 6

Akral : lembab

Tekanan darah: 130/80 mmHg (hipertensi)

Saturasi Hb O2 : hipoksia

3. Persyarafan B3 (brain)

Keluhan pusing (-)

Gangguan tidur (-)

4. Perkemihan B4 (bladder)

Kebersihan : normal

Bentuk alat kelamin : normal

Uretra : normal

5. Pencernaan B5 (bowel)

Nafsu makan : anoreksi disertai mual

BB : menurun

Porsi makan : tidak habis, 3 kali sehari

Mulut : bersih

Mukosa : lembab

6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)

Turgor kulit : Berkeringat

Massa otot : menurun

3.4 Pengkajian Psikologi dan Spiritual


Klien kooperatif, tetap rajin beribadah dan memohon agar penyakitnya bisa disembuhkan.

3.5 Pemeriksaan Penunjang

a) Sinar x dada: Xray tanggal 12 November dengan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya


diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula
(emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode
remisi (asma).

Kesimpulan : emfisema paru.

b) pO2 : 75 mmHg (↓)

c) pCO2 : 50 mmHg (↑)

d) SO3 : 100%

Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1. DS: - Infeksi / pneumonia Gangguan
pertukaran gas
Klien mengeluh sesak napas - Polusi

DO: - Usia

a) pO2 : 75 mmHg (↓) - Ekonomi rendah

b) pCO2 : 50 mmHg (↑) - Merokok

c) SO3 : 100%

Defisiensi enzim alfa-1-


antitripsin, enzim protease

Inflamasi

- Elastisitas paru menurun

- Destruksi jaringan paru

Pelebaran ruang
udara di dalam paru (bronkus
terminal menggembung)

CO2 meningkat
/ udara terperangkap dalam
paru

- Sesak

- RR > 20 x/menit

- CO2 à hiperkapnia

- O2 à hipoksia
Gangguan pertukaran gas

Pola napas
tidak efektif
Destruktif kapiler paru

2. DS :

Klien mengeluh berat saat - Penurunan perfusi O2


bernapas
-Sianosis
DO :

- Retraksi otot bantu


napas Penurunan
perfusi jaringan perifer
- RR : 30 x/menit

Penurunan ventilasi

Peningkatan upaya menangkap


O2

3.

Peningkatan RR

Retraksi otot bantu napas

4. Pola napas tidak efektif


Bersihan jalan
napas tidak
efektif
DS :

Klien mengeluh adanya rasa Sesak (dyspnea)


penuh di tenggorokan
DO :

- Produksi sekret Nyeri dyspnea


meningkat karena klien tidak
bisa batuk efektif.

- Ditemukan suara napas Reflek batuk


ronchi menurun

Sekret tertahan
Intoleransi
DS : aktivitas

Klien selalu mengeluh


kelelahan dan lemas
Ronchi
DO ;

- RR meningkat setelah
melakukan aktivitas

- Cepat lelah saat Perfusi jaringan perifer


beraktivitas menurun

Ventilasi menurun

Upaya menangkap O2
meningkat

RR meningkat

Retraksi otot bantu napas


Kelelahan

Intoleransi aktivitas

3.6 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveoli yang reversible.

2. Pola pernapasan berhubungan dengan ventilasi alveoli.

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan


suplai oksigen.

3.7 INTERVENSI
No. Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasion
1. Gangguan pertukaran 1. Pertukaran gas pasien 1.
gas berhubungan kembali normal
dengan kerusakan 2. Tidak terjadi perubahan
alveoli yang reversible fungsi pernapasan.
3. Pasien bisa bernapas 1. Ajari pasien tentang
normal tanpa teknik penghematan
menggunakan otot energi.
tambahan pernapasan. 2. Bantu pasien untuk
4. Pasien tidak mengatakan mengidentifikasi tugas-
nyeri saat bernapas. tugas yang bisa 1.
5. PCO2 , PO2, dan SO2 diselesaikan.
normal
6. Lakukan latihan
pernapasan dalam dan
tahan sebentar untuk 1. Kolaborasi :
membiarkan diafragma • Berikan oksigen sesuai
mengembangkan secara indikasi 1.
optimal. • Berikan penekan SSP
7. Posisikan pasien dengan (anti ansietas sedatif
posisi semi fowler agar atau narkotik) dengan
pasien bisa melakukan hati-hati sesuai indikasi
respirasi dengan 2.
sempurna.
8. Kaji adanya nyeri dan
tanda vital berhubungan 3.
dengan latihan yang
diberikan.

4.

2. Pola pernapasan tidak 1. Tidak terjadi perubahan 1.


efektif berhubungan dalam frekuensi pola
dengan ventilasi alveoli pernapasan. 1. Latih pasien napas
2. Tekanan nadi (frekuensi, perlahan-lahan,
irama, kwalitas) normal. bernapas lebih efektif.
3. Pasien memperlihatkan
frekuensi pernapasan
yang efektif dan 1.
mengalami perbaikan 1. Jelaskan pada pasien
pertukaran gas pada bahwa dia dapat
paru. mengatasi hiperventilasi
4. Pasien menyatakan melalui kontrol
faktor penyebab, jika pernapasan secara
mengetahui. sadar.
5. Pastikan pasien bahwa 2. Kolaborasi:
tindakan tersebut
dilakukan untuk Pemberian obat-obatan sesuai
menjamin keamanan. indikasi dokter (ex.
6. Alihkan perhatian pasien bronkodilator)
dari pemikiran tentang
keadaan ansietas (cemas) 1.
dengan meminta pasien
mempertahankan kontak
mata dengan perawat.

2.

1.

3. Bersihan jalan nafas Mengatasi masalah Sekret encer dan 1. Berikan posisi yang
tidak efektif ketidakefektifan jalan napas jalan napas bersih nyaman (fowler/ semi
berhubungan dengan fowler)
meningkatnya sekret
atau produksi mukus.

1. Anjurkan untuk minum


air hangat
2. Bantu klien untuk
melakukan latihan batuk
efektif bila
memungkinkan
3. Lakukan suction bila
diperlukan, batasi
lamanya suction kurang
dari 15 detik dan
lakukan pemberian
oksigen 100% sebelum
melakukan suction
4. Pasien lebih nyaman,
karena dapat membantu
kelancaran pola
nafasnya
5. Air hangat dapat
mengencerkan sekret
6. Batuk efektif akan
membantu
mengeluarkan sekret.
7. Jalan nafas bersih.

4. Intoleransi aktivitas 1. Pasien bernafas dengan 1. Ukur tanda vital saat


berhubungan dengan efektif. istirahat dan segera
ketidakseimbangan 2. Mengatasi masalah setelah aktivitas serta 1.
antara kebutuhan dan intoleransi aktivitas pada frekuensi, irama dan
suplai oksigen. pasien kualitas.
1. Pasien bisa 2. Hentikan aktifitas bila
mengidentifikasi respon klien : nyeri 2.
kan faktor-faktor dada, dyspnea,
yang vertigo/konvusi,
Menurunkan frekuensi nadi,
toleransi pernapasan, tekanan
aktivitas. darah sistolik menurun.
2. Pasien 3. Meningkatkan aktifitas 3.
memperlihatkan secara bertahap.
kemajuan,
khususnya dalam
hal mobilitas.
1. Ajarkan klien metode
penghematan energi
untuk aktifitas. ubah
posisi setiap 2 sampai 4
jam
2. Mengakaji periode
istirahat
3. Mendapatkan tanda
vital pasien normal,
baik saat istirahat
ataupun setelah
beraktifitas.
4. Masalah intoleransi
aktivitas pada pasien
dapat teratasi untuk
mengukur
tingkat/kualitas nyeri
guna intervensi
selanjutnya

3.8 Implementasi

Lakukan tindakan sesuai dengan intervensi yang akan diberikan.

3.9 Evaluasi
1. Diagnosa 1 : a. Pasien bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan

b. Pasien tidak mengatakan nyeri saat bernapas.

2. Diagnosa 2: a. Pasien memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami

perbaikan pertukaran gas pada paru.

b. Pasien menyatakan faktor penyebab, jika mengetahui.

3. Diagnosa 3: Sekret encer dan jalan napas bersih

4. Diagnosa 4: a. Pasien bisa mengidentifikasikan faktor-faktor yang menurunkan toleran

aktivitas.

b. Pasien memperlihatkan kemajuan khususnya dalam hal mobilitas.

c. Pasien memperlihatkan turunnya tanda-tanda

3.10 WOC Emfisema

DOWNLOAD : WOC EMFISEMA

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai
berikut :

1. Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan
pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung
secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
2. Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan
yang terjadi dalam paru-paru : PLE (Panlobular Emphysema/panacinar), CLE
(Sentrilobular Emphysema/sentroacinar), Emfisema Paraseptal.
3. Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah membantu
menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen klien.

3.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap
penderita emfisema. Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini
melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-
hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman,D.C& Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001

Mills,John& Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru.Jakarta : EGC

Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet


Suryono Spd,KE

Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi.Surabaya : RSUD Dr.Soetomo

Nurhayati.2010.(online). http://ksupointer.com/2010/emfisema-bisa-timbulkan-kematian.
diakses pada tanggal 15 November 2010

Flyfreeforhelp.2010.(online).
http://lifestyle.okezone.com/read/2010/02/22/27/306051/search.html. diakses pada tanggal 15
November 2010

……,2010.(online).http://www.soft-ko.co.cc/2010/10/emfisema_06.html. diakses pada


tanggal 19 November 2010

Вам также может понравиться