Вы находитесь на странице: 1из 5

KOMPLEKSITAS KEWENANGAN JAKSA DALAM LINGKUP TINDAK

PIDANA KORUPSI
Revia Adini
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Korupsi kerapkali mendapatkan perhatian lebih di berbagai belahan dunia,


mengingat korupsi dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi, politik dan
juga nilai-nilai demokrasi dan moralitas di suatu negara. Di Indonesia sendiri tindak
pidana korupsi tengah menjadi kejahatatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
harus didahulukan dibidang tindak pidana lainnya.i Penegakan hukum dalam tindak
pidana Korupsi diwujudkan salah satunya dengan kewenangan penuntutan oleh Jaksa
sebagaimana diatur dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Selain kewenangan Jaksa sekaku penuntut umum tunggal (single prosecution
system) sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan 15 UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, berdasarkan penjelasan Pasal penjelasan Pasal 30
ayat (1) UU tersebut, Jaksa juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu salah satunya adalah tindak pidana yang diatur di
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga dapat terlihat bahwa
dalam hal tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi, Jaksa memiliki
kewenangan lebih selain melakukan penuntutan, tetapi juga melakukan penyidikanii.
Keberadaan UU Kejaksaan dan UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi ini
merupakan wujud dari implikasi pelaksanaan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
sekaligus wujud kekhawatiran O.C Kaligis iii yang dalam bukunya menilai bahwa
KUHAP mengandung bias yang justru menimbulkan kebingungan dan interpretasi
beragam mengingat disebutkannya ketentuan acara pidana lain yang diakui oleh
KUHAP.
Selain itu, melihat sebegitu maraknya dan sebegitu besar dampak dari tindak
pidana korupsi maka pada tanggal 27 Desember 2002 dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara eksplisit, dalam konsiderans
UU KPK poin b dinyatakan bahwa dasar dibentuknya lembaga ini adalah karena
lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi

1
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Nyatanya,
sebelum berlakunya UU KPK ini atau sebelum tahun 2002, lembaga yang berwenang
menangani perkara tindak pidana korupsi berada di tangan Kepolisian dan Kejaksaan
Republik Indonesia. Sehingga yang dimaksud pada bagian konsiderans UU KPK ini
tidak lain dan tidak bukan adalah Jaksa dan Polri. Sejatinya, isu ini telah berlangsung
selama berpuluh-puluh tahun lamanya, dikutip dari surat kabar harian Kompas pada
tanggal 22 Agustus 1980 dinyatakan opini dari Wakil Direktur LBH atas
keprihatinan mengenai banyaknya berkas perkara yang dikembalikan ke Kepolisian,
akan tetapi anehnya, berkas-berkas yang dikembalikan hanyalah berkas perkara
korupsi, penggelapan dan perkara ekonomi yang disidik oleh polisi. Sedangkan,
perkara lain seperti pembunuhan dan pencurian yang disidik oleh polisi tidak
dikembalikan.

Hadirnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Tujuan KPK berdarsarkan Pasal 4 UU KPK ialah untuk meningkatan daya
guna dan hasil guna terhadap tindak pidana korupsi.. Berdasarkan Pasal 6 huruf b
dan c UU KPK, terlihat bahwa KPK memiliki wewenang supervisi yang meliputi
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi lain yang berwenang
berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang melaksanakan pelayanan
publik dan juga wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Lebih lagi, dalam Pasal 8 ayat (2) UU
KPK, KPK juga berwenang untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan. Bahkan lebih lagi, dalam pertimbangan putusannya, Hakim Konstitusi Ibu
Maria Farida berpendapativ bahwa KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan
penyadapan pembicaraan seseorang dan tidak boleh mengeuarkan SP3.

Tumpang Tindih Wewenang antar Lembaga


Kewenangan yang begitu besar yang dimiliki oleh KPK kerapkali
menjadikan dirinya disebut sebagai lembaga superbody. Lebih dari itu, keberadaan
KPK seolah-olah ingin dipandang lebih karena KPK berhak mengambil alih
penyidikan atau penuntutan yang sejatinya dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

2
Tanpa disadari, khususnya oleh tim pembentuk KPK, keberadaan KPK ini
menyebabkan adanya tumpang tindih wewenang antar lembaga kepolisian, jaksa dan
KPK. Sehingga timbul pertanyaan, siapa yang sebenarnya berhak melakukan
penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi? Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi berada di tangan Polri, Jaksa maupun KPK. Hal ini menandakan
bahwa, Jaksa tidak lagi berperan sebagai dominus litis atau pengendali proses
perkara terhadap perkara tindak pidana korupsi.
Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Admistrasi Negara khususnya Hukum
Antar Wewenang, sejatinya, suatu wewenang di suatu negara tidak pernah bertambah
tetapi yang ada ialah lahirnya instansi-instansi baru yang memiliki suatu wewenang
dengan mereduksi wewenang dari instansi yang lain. Dalam hal ini, KPK seolah-olah
lahir dengan kewenangan yang sama dengan Jaksa tanpa diikuti dengan peraturan
yang substansinya mengatur mengenai mekanisme koordinasi antara polisi, jaksa,
dan KPK dalam hal melakukan penyidikan dan penuntutan atas dugaan tindak pidana
korupsi.

Pembentukan Tim Densus Tipikor Mabes Polri


Rencana pembentukan Datasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus
Tipikor) yang hendak dibentuk oleh Mabes Polri tengah menjadi perhatian pada
akhir-akhir ini. Terkait dengan hal ini, Kapolri menyampaikan rencana pembentukan
tim densus adalah fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berada dalam satu
atap di bawah Densus Tipikor Mabes Polri, konsep ini mengadopsi sistem
penanganan perkara yang dimiliki oleh Komisi Pembentukan Korupsi (KPK) v .
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR pada hari Kamis (12/102017) Tito
Karnavian menyampaikan pembentukan Densus Tipikor membutuhkan anggaran
sebesar Rp 2,6 Triliun. Hal ini ditanggapi oleh Adery selaku peneliti MaPPI FHUI,
dimana seharusnya anggaran 2,6 Triliun tersebut diberikan kepada Dittipikor yang
sudah ada, bukan malah membentuk organisasi baru (Densus Tipikor), lebih lanjut ia
menilai bahwa Kapolri juga harus dapat menjelaskan mengapa Dittipikor saat ini
tidak berjalan dengan efektif sehingga diperlukan datasemen khusus untuk tindak
pidana korupsivi.

3
Namun, lagi-lagi tidak disadari bahwa dengan diberlakukannya sistem satu
atap di bawah Densus Tipikor maka akan terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
KUHAP. KUHAP menganut sistem spesialisasi, diferensiasi dan kompartemenisasi,
memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan
pengadilan yang terintregasi menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu
(intregated criminal justice system) yang diinginkan dapat memunculkan sinergi
antar institusi terkait. Kompartemenisasi disini memiliki makna memberikan sekat
terhadap tugas dan wewenang penyidik dan penuntut umumvii.
Mengenai hal ini, O.C Kaligis berpendapat dalam bukunya yaitu penyidikan
dan penuntutan pada hakikatnya memang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat
dipisahkan (distinguishable but not separatable). Tugas justisil ini tidak dapat
menerapkan suatu sistem pembagian kerja menurut teori ekonomi maupun
manajemen, karena tugas penyidikan dan penuntutan suatu perkara merupakan
conditio sine qua non bagi suatu hubungan yang erat sekali diantara dua tugas
tersebutviii. Namun, mengingat tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana
yang berat dan sulit dalam pembuktian dan pemberantasannya maka untuk
memudahkan Jaksa dalam menyusun surat dakwaannya, Jaksa memang dirasa perlu
untuk melakukan penyidikan.
Pada nyatanya, Mahkamah Konstitusi bahkan menegaskan tindak pidana
korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang pemberantasannya pun harus
dilakukan secara luar biasa oleh KPKix. Pernyataan ini seolah-seolah mencerminkan
baik Jaksa maupun Kepolisian tidak memiliki kompetensi setinggi yang dimiliki oleh
KPK. Padahal seharusnya, untuk memudahkan pemberantasan dan pembuktian
tindak pidana korupsi, harus terdapat Undang-Undang yang menjabarkan mengenai
pembagian fungsi dan wewenang ketiga lembaga tersebut, sehingga ketiganya
memiliki wewenang yang berbeda dengan lembaga yang lain. Akan jauh lebih baik
lagi jika terdapat satu lembaga yang memegang fungsi khusus untuk mengawasi
penerapan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh dua lembaga
yang lain. Fakta yang terjadi saat ini justru menimbulkan kesan seolah-seolah antara
lembaga tersebut saling ‘berlomba-lomba’ untuk mendapatkan wewenang yang
sebesar-besarnya dalam mengungkap kasus tidak pidana korupsi.

4
i
IGM Nurdjana. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi (Problematik
Sistem Hukum Pidana dan Implikasinya pada Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi), (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 156.

ii
Ahmad Harmaen, Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik dalam Tindak Pidana
Korupsi menurut Hukum Pidana Indonesia, (Mataram: Fakultas Hukum Univesitas
Mataram), hlm. 5.

O.C Kaligis, Pengawasan terhadap Jaksa selaku Penyidik Tindak Pidana


iii

Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2006),


hlm. 101.

iv
ASH, “MK: Kewenagan Supervisi KPK Konstitusional”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt508695c2d150e/mk--kewenangan-
supervisi-kpk-konstitusional diakses pada 3 April 2018.
v
Nabulla Tashandra, “Mencontoh KPK, Kapolri Ingin Jaksa Satu Atap di Densus
Tipikor” https://nasional.kompas.com/read/2017/10/12/13330051/mencontoh-kpk-
kapolri-ingin-penyidik-dan-jaksa-satu-atap-di-densus-tipikor diakses pada 3 April
2018.

viKristian Erdianto, “Anggaran 2.6 Triliun Pembentukan Densus Tipikor Polri


Dipertanyakan”
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/15/20403661/anggaran-rp-26-
triliun-pembentukan-densus-tipikor-polri-dipertanyakan diakses pada 4 April
2018.
vii
Mardjono Reksohadiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum Kriminologi Universitas
Indonesia, 2007), hlm 96.

viii
O.C Kaligis, Pengawasan terhadap Jaksa selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus
dalam Pemberantasan Korupsi, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2006), hlm. 93.

ix ASH, “MK: Kewenagan Supervisi KPK Konstitusional”


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt508695c2d150e/mk--kewenangan-
supervisi-kpk-konstitusional diakses pada 3 April 2018.

Вам также может понравиться