Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PIDANA KORUPSI
Revia Adini
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
1
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Nyatanya,
sebelum berlakunya UU KPK ini atau sebelum tahun 2002, lembaga yang berwenang
menangani perkara tindak pidana korupsi berada di tangan Kepolisian dan Kejaksaan
Republik Indonesia. Sehingga yang dimaksud pada bagian konsiderans UU KPK ini
tidak lain dan tidak bukan adalah Jaksa dan Polri. Sejatinya, isu ini telah berlangsung
selama berpuluh-puluh tahun lamanya, dikutip dari surat kabar harian Kompas pada
tanggal 22 Agustus 1980 dinyatakan opini dari Wakil Direktur LBH atas
keprihatinan mengenai banyaknya berkas perkara yang dikembalikan ke Kepolisian,
akan tetapi anehnya, berkas-berkas yang dikembalikan hanyalah berkas perkara
korupsi, penggelapan dan perkara ekonomi yang disidik oleh polisi. Sedangkan,
perkara lain seperti pembunuhan dan pencurian yang disidik oleh polisi tidak
dikembalikan.
2
Tanpa disadari, khususnya oleh tim pembentuk KPK, keberadaan KPK ini
menyebabkan adanya tumpang tindih wewenang antar lembaga kepolisian, jaksa dan
KPK. Sehingga timbul pertanyaan, siapa yang sebenarnya berhak melakukan
penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi? Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi berada di tangan Polri, Jaksa maupun KPK. Hal ini menandakan
bahwa, Jaksa tidak lagi berperan sebagai dominus litis atau pengendali proses
perkara terhadap perkara tindak pidana korupsi.
Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Admistrasi Negara khususnya Hukum
Antar Wewenang, sejatinya, suatu wewenang di suatu negara tidak pernah bertambah
tetapi yang ada ialah lahirnya instansi-instansi baru yang memiliki suatu wewenang
dengan mereduksi wewenang dari instansi yang lain. Dalam hal ini, KPK seolah-olah
lahir dengan kewenangan yang sama dengan Jaksa tanpa diikuti dengan peraturan
yang substansinya mengatur mengenai mekanisme koordinasi antara polisi, jaksa,
dan KPK dalam hal melakukan penyidikan dan penuntutan atas dugaan tindak pidana
korupsi.
3
Namun, lagi-lagi tidak disadari bahwa dengan diberlakukannya sistem satu
atap di bawah Densus Tipikor maka akan terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
KUHAP. KUHAP menganut sistem spesialisasi, diferensiasi dan kompartemenisasi,
memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan
pengadilan yang terintregasi menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu
(intregated criminal justice system) yang diinginkan dapat memunculkan sinergi
antar institusi terkait. Kompartemenisasi disini memiliki makna memberikan sekat
terhadap tugas dan wewenang penyidik dan penuntut umumvii.
Mengenai hal ini, O.C Kaligis berpendapat dalam bukunya yaitu penyidikan
dan penuntutan pada hakikatnya memang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat
dipisahkan (distinguishable but not separatable). Tugas justisil ini tidak dapat
menerapkan suatu sistem pembagian kerja menurut teori ekonomi maupun
manajemen, karena tugas penyidikan dan penuntutan suatu perkara merupakan
conditio sine qua non bagi suatu hubungan yang erat sekali diantara dua tugas
tersebutviii. Namun, mengingat tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana
yang berat dan sulit dalam pembuktian dan pemberantasannya maka untuk
memudahkan Jaksa dalam menyusun surat dakwaannya, Jaksa memang dirasa perlu
untuk melakukan penyidikan.
Pada nyatanya, Mahkamah Konstitusi bahkan menegaskan tindak pidana
korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang pemberantasannya pun harus
dilakukan secara luar biasa oleh KPKix. Pernyataan ini seolah-seolah mencerminkan
baik Jaksa maupun Kepolisian tidak memiliki kompetensi setinggi yang dimiliki oleh
KPK. Padahal seharusnya, untuk memudahkan pemberantasan dan pembuktian
tindak pidana korupsi, harus terdapat Undang-Undang yang menjabarkan mengenai
pembagian fungsi dan wewenang ketiga lembaga tersebut, sehingga ketiganya
memiliki wewenang yang berbeda dengan lembaga yang lain. Akan jauh lebih baik
lagi jika terdapat satu lembaga yang memegang fungsi khusus untuk mengawasi
penerapan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh dua lembaga
yang lain. Fakta yang terjadi saat ini justru menimbulkan kesan seolah-seolah antara
lembaga tersebut saling ‘berlomba-lomba’ untuk mendapatkan wewenang yang
sebesar-besarnya dalam mengungkap kasus tidak pidana korupsi.
4
i
IGM Nurdjana. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi (Problematik
Sistem Hukum Pidana dan Implikasinya pada Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi), (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 156.
ii
Ahmad Harmaen, Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik dalam Tindak Pidana
Korupsi menurut Hukum Pidana Indonesia, (Mataram: Fakultas Hukum Univesitas
Mataram), hlm. 5.
iv
ASH, “MK: Kewenagan Supervisi KPK Konstitusional”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt508695c2d150e/mk--kewenangan-
supervisi-kpk-konstitusional diakses pada 3 April 2018.
v
Nabulla Tashandra, “Mencontoh KPK, Kapolri Ingin Jaksa Satu Atap di Densus
Tipikor” https://nasional.kompas.com/read/2017/10/12/13330051/mencontoh-kpk-
kapolri-ingin-penyidik-dan-jaksa-satu-atap-di-densus-tipikor diakses pada 3 April
2018.
viii
O.C Kaligis, Pengawasan terhadap Jaksa selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus
dalam Pemberantasan Korupsi, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2006), hlm. 93.